TINJAUAN PUSTAKA
A. COVID-19
1. Definisi COVID-19
COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh turunan
coronavirus baru. “CO” diambil dari corona, “VI” virus, dan “D”
disease (penyakit). Sebelumnya, penyakit ini disebut “2019 novel
coronavirus” atau “2019nCoV” (Bender, 2020).
Coronavirus Disease 2019 atau COVID-19 adalah penyakit
baru yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan pernapasan dan
radang paru. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Gejala klinis
yang muncul beragam, seperti gejala flu biasa (demam, batuk,
pilek, nyeri tenggorokan, nyeri otot, nyeri kepala) seperti yang
komplikasi berat seperti pneumonia atau sepsis (Razi et al, 2020).
2. Epidemiologi COVID-19
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit
menular yang disebabkan oleh coronavirus jenis baru. Pada tanggal
7 Janari 2020, Pemerintah China kemudian mengumumkan bahwa
penyebab kasus tersebut adalah Coronavirus jenis baru yang
kemudian diberi nama SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory
Syndrome Coronavirus 2). Vamili ini berasal dari famili yang sama
dengan virus penyebab SARS dan MERS. Meskipun berasal dari
famili yang sama, namun SARS-CoV 2 lebih menular
dibandingkan dengan SARS-CoV dan MERS C0V (Kemenkes,
2020). Sejak kasus pertama di Wuhan, terjadi peningkatan kasus
COVID-19 di China setiap hari dan memuncak diantara akhir
Januari hingga awal Februari 2020. Awalnya kebanyakan laporan
datang dari Hubei dan Provinsi di sekitar, kemudian bertambah
hingga ke provinsi-provinsi lain dan seluruh China (Susilo et al,
2020).
Indonesia melaporkan kasus pertama COVID-19 pada tanggal
2 Maret 2020 dan jumlahnya terus bertambah hingga sekarang.
Sampai dengan tanggal 30 Juni 2020 Kementerian Kesehatan
melaporkan 56.385 kasus konfirmasi COVID-19 dengan 2.875
kasus meninggal (CFR 5,1%) yang tersebar di 34 Provinsi.
Sebanyak 51,5% kasus terjadi pada laki-laki. Kasus paling banyak
terjadi pada rentan usia 45-54 tahun dan paling sedikit terjadi pada
usia 0-5 tahun. Angka kematian tertinggi ditemukan pada pasien
dengan usia 55-64 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh CDC China, diketahui bahwa kasus paling banyak terjadi pada
pria (51,4%) dan terjadi pada usia 30-79 tahun dan paling sedikit
terjadi pada usia <10 tahun (1%). Sebanyak 81% kasus merupakan
kasus ringan, 14% parah, dan 5% kritis. Orang dewasa usia lanjut
atau yang memiliki penyakit bawaan diketahui lebih beresiko
untuk mengalami penyakit yang lebih parah. Usia lanjut juga
diduga berhubungan dengan tingkat kematian. CDC China
melaporkan bahwa CFR pada pasien dengan usia ≥80 tahun adalah
14,8%, sementara CFR keseluruhan hanya 2,3%. Hal yang sama
juga ditemukan pada penelitian di Italia, di mana CFR pada usia
≥80 tahun adalah 20,2% sementara CFR keseluruhan adalah 7,2%
(Kemenkes, 2020).
5. Diagnosis COVID-19
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis terutama gambaran riwayat
perjalanan atau riwayat kontak erat dengan kasus terkonfirmasi
atau bekerja di fayankes yang merawat pasien infeksi COVID-19
atau berada dalam satu rumah atau lingkungan dengan pasien
terkonfirmasi COVID-19 disertai gejala klinis dan komorbid
(PDPI, 2020).
Anamnesis
Menurut Yuliana 2020, COVID-19 dibagi menjadi beberapa
kriteria diagnostik:
a. Pasien dalam pengawasan atau kasus suspek/possible
1) Seseorang yang mengalami:
a) Demam (38°C) atau riwayat demam
b) Batuk atau pilek atau nyeri tenggorokan
c) Pneumonia ringan sampai berat berdasarkan
klinis dan/atau gambaran radiologis (pada
pasien immunocompromised presentasi
kemungkinan atipikal) dan minimal disertai
kondisi seperti:
Memiliki riwayat perjalanan ke
wilayah yang terjangkit dalam 14
hari sebelum timbul gejala.
Petugas kesehatan yang sakit dengan
gejala sama setelah merawat pasien
infeksi saluran pernapsan atas (ISPA)
yang tidak diketahui penyebab dan
riwayat berpergian atau tempat
tinggal.
2) Pasien infeksi pernapasan akut dengan tingkat
keparahan ringan sampai berat dan memiliki salah
satu riwayat berikut dalam 14 hari sebelum onset
gejala:
a) Kontak erat dengan pasien kasus
terkonfirmasi atau probable COVID-19, atau
b) Kontak erat dengan hewan penular (jika
hewan sudah teridentifikasi), atau
c) Bekerja atau mengunjungi fasilitas layanan
kesehatan dengan kasus terkonfirmasi atau
probable infeksi COVID-19 di wilayah yang
terjangkit.
b. Orang dalam pemantauan
Seseorang yang mengalami gejala demam atau riwayat
demam tanpa pneumonia yang memiliki riwayat perjalanan
ke wilayah yang terjangkit. Memiliki riwayat seperti:
1) Riwayat kontak erat dengan kasus konfirmasi
COVID-19.
2) Kontak erat dengan hewan penular (jika hewan
sudah teridentifikasi).
3) Bekerja atau mengunjungi fasilitas layanan
kesehatan dengan kasus terkonfirmasi atau probable
infeksi COVID-19 di wilayah yang terjangkit.
c. Kasus probable
Pasien dalam pengawasan yang diperiksa untuk
COVID-19 tetapi inkonklusif atau tidak dapat disimpulkan
atau seseorang dengan hasil konfirmasi positif pan-
coronavirus atau bera coronavirus.
d. Kasus terkonfirmasi
Seseorang yang secara laboratorium terkonfirmasi
COVID-19.
Pemeriksaan fisis
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2020, pada
pemeriksaan fisis dapat ditemukan tergantung ringan atau beratnya
manifestasi klinis :
a. Tingkat kesadaran: kompos mentis atau penurunan
kesadaran.
b. Tanda vital: frekuensi nadi meningkat, frekuensi napas
meningkat, tekanan darah normal atau menurun, suhu tubuh
meningkat. Saturasi oksigen dapat normal atau turun.
c. Dapat disertai retraksi otot pernapasan.
d. Pemeriksaan fisis paru didapatkan inspeksi dapat tidak
simetris statis dan dinamis, fremitus raba mengeras, redup
pada daerah konsolidasi, suara napas bronkovesikuler atau
bronkial dan ronki kasar.
Pemeriksaan penunjang
Menurut Yulianan 2020, pemeriksaan penunjang yang
dilakukan diantaranya:
a. Pemeriksaan radiologi: foto toraks, CT-Scan toraks, USG
toraks.pada pencitraan dapat ditemukan : opasitas bilateral,
konsolidasi subsegmental, lobar atau kolaps paru atau
nodul, tampilan groundglass.
b. Pemeriksaan spesimen saluran atas dan bawah
1) Saluran napas atas dengan swab tenggorok
(nasofaring dan orofaring).
2) Saluran napas bawah (sputum, bilasan bronkus,
BAL, bila menggunakan endotrakeal tube dapat
berupa aspirat endotrakeal).
c. Bronkoskopi
d. Pungsi pleura sesuai kondisi
e. Pemeriksaan kimia darah
f. Biakan mikroorganisme dan uji kepekaan dari bahan
saluran napas (sputum, bilasan bronkus, cairan pleura) dan
darah. Kultur darah untuk bakteri dilakukan, idealnya
sebelum terapi antibiotik. Namun, jangan menunda terapi
antibiotik dengan menunggu hasil kultur darah
g. Pemeriksaan feses dan urin (untuk investasigasi
kemungkinan penularan)
6. Prognosis COVID-19
Hingga saat ini mortalitas mencapai 2% tetapi jumlah kasus
berat mencapai 10%. Prognosis bergantung pada derajat penyakit,
ada tidaknya komorbid dan faktor resiko (PDPI, 2020). Menurut
studi Yang X, dkk dalam Susilo 2020, tingkat mortalitas pasien
COVID-19 berat mencapai 38% dengan median lama perawatan
ICU hingga meninggal sebanyak 7 hari. Peningkatan kasus yang
cepat dapat membuat rumah sakit kewalahan dengan beban pasien
yang tinggi. Hal ini meningkatkan laju mortalitas di fasilitas
tersebut. Laporan lain menyatakan perbaikan eosinofil pada pasien
yang awalnya eosinofil rendah diduga dapat menjadi prediktor
kesembuhan. Reinveksi pasien yang sudah sembuh masih
kontroversial. Studi pada hewan menyatakan kera yang sembuh
tidak dapat terkena COVID-19, tetapi telah ada laporan yang
menemukan pasien kembali positif rRT-PCR dalam 5-13 hari
setelah negatif dua kali berturut-turut dan dipulangkan dari rumah
sakit. Hal ini kemungkinan karena reinfeksi atau hasil negatif palsu
pada rRT-PCR saat dipulangkan. Peneliti lain jugga melaporkan
deteksi SARS-CoV-2 di feses pada pasien yang sudah negatif
berdasarkan swab orofaring.
7. Penatalaksanaan COVID-19
Menurut Yuliana 2020, tatalaksana umum kasus COVID-19
diantaranya sebagai berikut:
a. Isolasi pada semua kasus
Sesuai dengan gejala klinis yang muncul, baik ringan
maupun sedang.
b. Implementasi pencegahan dan pengendalian infeksi
c. Serial foto toraks untuk menilai perkembangan penyakit
d. Suplementasi oksigen
Pemberian terapi oksigen segera kepada pasien dengan:
distress napas, hipoksemia atau syok. Terapi oksigen
pertama sekitar 5L/menit dengan target SpO2 ≥90% pada
pasien tidak dan ≥92-95% pada pasien hamil.
e. Kenali kegagalan napas hipoksemia berat
f. Terapi cairan
g. Terapi cairan konservatif jika tidak ada bukti syok pasien
dengan Severe Acute Respiratory Infection (SARI) harus
diperhatikan dalam terapi cairannya, karena jika pemberian
cairan terlalu agresif dapat memperberat kondisi distresss
napas atau oksigenasi. Monitoring keseimbangan cairan
dan elektrolit.
h. Pemberian antibiotik empiris
i. Terapi simtomatik
Terapi simptomatik diberikan seperti antipiretik, obat batuk
dan lainnya jika memang diperlukan.
j. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak rutin diberikan
pada tatalaksana pneumonia viral atau ARDS selain ada
indikasi lain.
k. Observasi ketat
l. Pahami komorbid pasien
Saat ini belum ada penelitian atau bukti tatalaksana spesifik
pada COVID-19. Belum ada tatalaksana antiviral untuk infeksi
coronavirus yang terbukti efektif. Pada studi terhadap SARS-CoV,
kombinasi lopinavir dan ritonavir dikaitkan dengan memberi
manfaat klinis. Saat ini penggunaan lopinavir dan ritonafir masih
diteliti terkait efektivitas dan keamanan pada infeksi COVID-19.
Tatalaksana yang belum teruji/terlisensi hanya boleh diberikan
dalam situasi uji klinis yang disetujui oleh komite etik atau melalui
Monitored Emergency Use of Unregistered Interventions
Framework (MEURI), dengan pemantauan ketat. Selain itu, saat
ini belum ada vaksin untuk mencegah pneumonia COVID-19
(PDPI, 2020).
8. Pencegahan COVID-19
Menurut PDPI 2020, saat ini masih belum ada vaksin untuk
mencegah infeksi COVID-19. Cara terbaik untuk mencegah infeksi
adalah dengan menghindari terpapar virus penyebab. Lakukan
tindakan-tindakan pencegahan penularan dalam praktik kehidupan
sehari-hari. Beberapa upaya pencegahan yang dapat dilakukan
pada masyarakat:
1) Cuci tangan dengan sabun dan air sedikitnya selama 20
menit. Gunakan hand sanitizer berbasis alkohol yang
setidaknya mengandung alkohol 60%, jika air dan sabun
tidak tersedia.
2) Hindari menyentuh mata, hidung, dan mulut dengan tangan
yang belum dicuci.
3) Sebisa mungkin hindari kontak dengan orang yang sedang
sakit.
4) Saat sakit, gunakan masker medis. Tetap tinggal di rumah
saat sakit atau segera ke fasilitas kesehatan yang sesuai,
jangan banyak beraktifitas di luar.
5) Tutup mulut dan hidung saat batuk dan bersin dengan
tissue. Buang tissue pada tempat yang telah ditentukan.
6) Bersihkan dan lakukan disinfeksi secara rutin permukaan
dan benda yang sering disentuh.
7) Menggunakan masker medis
Cara penggunaan masker medis yang efektif:
Pakai masker secara seksama untuk menutupi mulut
dan hidung, kemudian eratkan dengan baik untuk
meminimalisasi celah antara masker dan wajah.
Saat digunakan, hindari menyentuh masker.
Lepas masker dengan teknik yang benar.
Setelah dilepas jika tidak sengaja menyentuh
masker yang telah digunakan segera cuci tangan.
Gunakan masker baru yang bersih dan kering.
Jangan pakai ulang masker yang telah dipakai
Buang segera masker sekali pakai dan lakukan
pengolahan sampah medis sesuai SOP.
Masker pakaian seperti katun tidak
direkomendasikan.
B. Usia
1. Definisi Usia
Umur adalah usia individu yang terhidung mulai saat dilahirkan
sampai saat berulang tahun (Santika, 2015).
Jenis perhitungan umur/usia terdiri atas:
a. Usia Kronologis yaitu perhitungan usia yang dimulai dari
saat kelahiran seseorang sampai dengan waktu penghituan
usia.
b. Usia Mental yaitu perhitungan usia yang didapatkan dari
taraf kemampuan mental seseorang. Misalnya sesorang
anak secara kronologis berusia empat tahun akan tetapi
masih merangkak dan belum dapat berbicara dengan
kalimat lengkap dan menunjukkan kemampuan yang setara
dengan anak berusia satu tahun maka, dinyatakan bahwa
usia mental anak tersebut adalah satu tahun.
c. Usia Biologis adalah perhitungan usia berdasarkan
kematangan biologis yang dimiliki oleh seseorang.
2. Pembagian usia
Pembagian Usia menurut Departemen Kesehatan RI dalam
Santika 2015, sebagai berikut:
a. Masa Balita = 0-5 Tahun
b. Masa Kanak-kanak = 6-11 Tahun
c. Masa Remaja Awal = 12-16 Tahun
d. Masa Remaja Akhir = 17-25 Tahun
e. Masa Dewasa Awal = 26-35 Tahun
f. Masa Dewasa akhir = 36-45 Tahun
g. Masa Lansia Awal = 46-55 Tahun
h. Masa Lansia Akhir = 56-65 Tahun
i. Masa Manula = ≥65 Tahun
C. Hubungan Usia dengan Berat Ringan Kejadian COVID-19 pada
Dewasa
COVID-19 cenderung memiliki kejadian (morbiditas) yang lebih
tinggi pada individu yang lebih muda, tetapi mortalitas yang lebih tinggi
pada orang tua. Namun dalam beberapa kasus, menunjukkan tingkat
morbiditas yang lebih tinggi pada orang tua juga (Cortis, 2020). Tingkat
kematian akibat COVID-19 sangat bervariasi tergantung negaranya.
Variasi dalam tingkat kematian ini mungkin disebabkan oleh perbedaan
kecukupan perawatan kesehatan dan/atau karakteristik epidemiologi
pasien, seperti frekuensi skrining diagnostik pada pasien asimtomatik atau
gejala ringan. Semua usia rentan terpapar virus COVID-19, tetapi seiring
bertambahnya usia maka gejala infeksi yang timbul semakin rentan (Kang
& Jung, 2020). Menurut penelitian Guo et al 2020, pasien usia muda
menunjukkan komplikasi yang lebih sedikit (14,1%) dindingkan dengan
pasien usia tua (40,0%; p=0,0014). Pasien tua membutuhkan dukungan
ventilator mekanik invasif lebih dari pasien usia muda (25,0% vs 3,5%
p=0,045).
Di usia tua produksi sel T dan B yang naif menurun, dan fungsi sel
imun bawaan terganggu, sehingga sel-sel yang terlibat dalam imunitas
bawaan tidak diaktifkan secara efisien selama infeksi. Secara biologis
menjelaskan perbedaan kerentanan terhadap infeksi SARS-CoV-2
melibatkan apa yang disebut peningkatan ketergantungan antibodi (ADE).
Selain faktor imunitas penuaan atau ADE, ada beberapa faktor lain yang
terkait dengan penuaan yang dapat menjadi penyebab tingginya mortalitas
dan morbiditas pada lansia. Lansia yang tinggal di fasilitas perawatan
jangka panjang berada pada resiko tertinggi karena penyakit kronis dan
dampak dari lingkungan sekitarnya. Respon imun bawaan yang lebih aktif
dan cepat terhadap antigen, serta peningkatan jumlah limfosit B dan
limfosit T sebagai mekanisme imunologi bagi anak-anak dan usia muda
untuk melawan infeksi COVID-19. Sehingga banyak anak diketahui tidak
menunjukkan gejala atau memiliki gejala ringan, yang dikhawatirkan
tentang peran anak dalam menularkan penyakit (Kang & Jung, 2020)
Gejala ringan COVID-19 pada pasien dengan infeksi akut saluran
napas atas tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam, fatigue, batuk
(dengan atau tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri tenggorokan,
kongesti nasal, atau sakit kepala. Pasien tidak membutuhkan suplementasi
oksigen dan pada beberapa kasus pasien juga mengeluhkan diare dan
muntah. Pasien COVID-19 dengan pneumonia berat ditandai dengan
demam, ditambah salah satu dari gejala : frekuensi pernapasan >
30x/menit, distress pernapasan berat, atau saturasi oksigen <93% tanpa
bantuan oksigen. Pada pasien geriatri dapat muncul gejala–gejala yang
atipikal (Susilo et al, 2020). COVID-19 juga mengakibatkan dampak yang
buruk dan tingkat kematian yang lebih tinggi pada pasien dengan penyakit
penyerta seperti hipertensi, penyakit kardiovaskuler, diabetes, penyakit
pernapasan kronis, dan penyakit ginjal kronis (Shahid et al, 2020).
D. Penelitian Terkait
Tabel 2.1: Penelitian yang Pernah Dilakukan
COVID-19
Faktor Resiko
Gejala Klinis
Ringan Berat
Keterangan:
= Diteliti
= Tidak Diteliti