Hakikat Agama Adalah Akhlah Yang Mulia
Hakikat Agama Adalah Akhlah Yang Mulia
Boleh jadi ada yang bertanya, bukankah ibadah lebih utama dari
akhlak? Ketahuilah bahwa tujuan utama seluruh ibadah adalah
memperbaiki akhlak. Allah berfirman, “Dirikanlah shalat. Sesungguhnya
1
shalat mencegahmu dari perbuatan keji dan mungkar.” (Al-Ankabut 29 :
45). Subhanallah, Jadi, siapa yang shalatnya tidak mencegah pelakunya
dari perbuatan keji dan mungkar, berarti shalat itu hanya berupa gerakan
olahraga. Ia mengerjakan shalat, tetapi akhlaknya tidak baik. Dan
kemudian kita bisa memahami kenapa Allah menyatakan celaka bagi
orang yang salat, yang salatnya lalai (hanya melakukan salat secara fisik,
tetapi dimensi ruhaninya tidak ikut salat, dan dia enggan memberi makan
kepada orang miskin). Q.S. Al Maa`uun (107) : 4-5
Dalam hadits qudsi Allah swt. berfirman, “Aku hanya menerima
shalat dari orang yang dengannya ia tawaduk pada keagungan-Ku, tidak
menyakiti makhluk-Ku, berhenti bermaksiat pada-Ku, melewati siangnya
dengan zikir pada-Ku, serta mengasihi orang fakir, orang yang sedang
berjuang di jalan-Ku, para janda, dan orang yang ditimpa musibah.” (HR.
al-Zubaidi 3/21)
Begitu juga ibadah puasa, nabi saw. bersabda, “Jika kalian sedang
berpuasa, jangan berbuat kotor dan membentak. Jika dimaki atau diajak
berkelai, katakanlah, ‘Aku sedang puasa.’” (HR Muslim). Mahasuci Allah,
hari saat kita berpuasa adalah hari akhlak. Karena itu, kita tidak boleh
berbuat fasik, mencela, menyakiti, dan seterusnya. Rasulullah pernah
menyuruh berbuka seorang majikan perempuan yang di siang hari
2
marah-marah kepada pembantunya, dengan mengatakan, “ifthariy,
berbukalah”. Karena tidak ada gunanya puasa majikan tersebut kalau
ketika ia berpuasa dia marah-marah. Artinya puasanya tidak
membuahkan akhlak, yaitu menahan diri (imsak) untuk tidak marah
(baca : sabar).
Nabi juga bersabda, “Berapa banyak dari orang yang berpuasa tidak
akan mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”.
Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa ibadah puasa tidak hanya
tidak makan dan minum serta melakukan hubungan seksual dari terbit
fajar sampai terbenam matahari (yang merupakan dimensi akidah dan
figh puasa), tetapi lebih dari itu, puasa adalah menahan semua dimensi
lahiriyah maupun batiniyah manusia dari hal yang membatalkan dan
merusak ibadah puasa. Memang, puasa secara syari`at sudah sah dengan
tidak makan dan minum dan melakukan hubungan seksual, tapi secara
thariqat puasa juga harus menahan semua panca indera, pikiran, dan hati
kita dari sesuatu yang akan merusak ibadah puasa kita. Itulah kenapa Al-
Qur`an menyebutkan bahwa tujuan puasa adalah agar bertakwa
(menjaga segala dimensi dari diri manusia dari hal-hal yang dilarang
Allah). Selain itu puasa juga berdimensi sosial (akhlaki), bahwa kita
diajarkan oleh Allah untuk menumbuhkan kepedulian sosial kita dengan
mencoba merasakan rasa lapar dan dahaga sebagaimana orang yang tak
berpunya sering merasakannya di kehidupan mereka sehari-hari.
3
Rasulullah pun ketika ditanya sahabat apa itu ciri haji yang mabrur
(yang balasannya adalah surga), beliau menjawab, “ith’amut tha’am
waifsyaaus salam, memberi makan kepada yang kelaparan dan selalu
menyebarkan kedamaian”. (HR Ahmad)
4
Di ayat yang lain Allah berfirman, “Dan hamba-hamba Tuhan yang
Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi
dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka,
mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan
orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan
mereka. Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, jauhkan azab
Jahannam dari kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang
kekal". Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan
tempat kediaman. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta),
mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. “ (Al-Furqan
25 : 63-67)
5
Di hadits yang lain Rasulullah bersabda, “Orang yang paling buruk
kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang dijauhi
manusia karena takut pada kejahatannya.” (HR Bukhari, hadits no 6054)
َّسنِ َها ِإ َّل َ ِي ِِل َ ْح َّْ ل يَ ْهد َِّ اِل َ ْخ ََل
ََّ ُفَإِنَّ َّه, ق َ ي ِِل َ ْح
َّس ِن َّْ ِأَللَّ ُه ََّّم ا ْه ِدن
ََّ س ِِّيئ َ َها ِإ َّلأ َ ْن
ت َ ي َّْ ع ِِّن
َ ف َُّ ص ِر َ س ِِّيئ َ َه
ْ ال َي َ َّْ ع ِِّن
ي َ ف َّْ ص ِر ْ ت َوا ََّ أ َ ْن
“Allahummah diniy liahsanil akhlaq laa yahdiy li-ihsaniha illa anta, washrif
‘anniy sayyiaha laa yashrifu ‘anniy sayyiaha illa anta, Ya Allah, berikan
petunjuk kepadaku untuk memperbaiki akhlakku, tidak ada yang bisa
memberi petunjuk untuk memperbaiki akhlak kecuali Engkau. Ya Allah,
jauhkanlah aku dari akhlak yang tidak baik, karena tidak ada yang
mampu menjauhkannya dariku selain Engkau”. (H.R. Muslim)