Anda di halaman 1dari 7

Hakikat Agama : Akhlakul Karimah

Dr. Amru Khaled dalam sebuah pengantar bukunya, Buku Pintar


Akhlak, mensitir sebuah riwayat, “Seorang lelaki menemui Rasulullah
saw. dan bertanya, Ya Rasulullah, apakah agama itu?” Rasulullah
menjawab, “Akhlak yang baik.” Kemudian ia mendatangi Nabi dari
sebelah kanannya dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?”
Rasulullah menjawab, “Akhlak yang baik.” Kemudian ia menghampiri
Nabi dari sebelah kiri dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?”
Rasulullah menjawab, “Akhlak yang baik.” Kemudian ia mendatangi Nabi
dari belakang dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?”
Rasulullah menoleh kepadanya dan bersabda, “Belum jugakah engkau
mengerti? Agama itu akhlak yang baik.” (al-Targhib wa al-Tarrhib 3:405)

Dalam buku Wahy al-Qalam, al-Rafi’i menuturkan, “Seandainya


aku diminta untuk merangkum filosofi seluruh ajaran Islam dalam dua
kata, maka akan kukatakan : kekukuhan akhlak. Seandainya filosof
terbesar dunia diminta untuk meringkas solusi seluruh umat manusia
dalam dua kata, pastilah ia berkata sama : kekukuhan akhlak. Andaikata
seluruh ilmuan Eropa berkumpul untuk mempelajari peradapan Eropa,
lalu mengutarakan apa yang betul-betul sulit diraih, mereka akan
berkata, “Kekukuhan akhlak.” Sekarang, marilah kita hiasi diri dan
kehidupan kita dengan akhlak mulia.

Namun, kita patut bertanya : Mengapa harus akhlak? Apa tujuan


dan manfaat mempelajari akhlak bagi kita?

Pertama, Tujuan Diutusnya Nabi saw.

Kita mempelajari akhlak karena ia merupakan tujuan diutusnya Nabi


saw.. Nabi sendiri mengatakan dalam sebuah hadits, “Aku diutus untuk
menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Imam Malik (hadis no. 1723).
Allah juga berfirman, “Kami tidak mengutusmu (wahai Muhammad)
kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta.”(Al-Anbiya 21 : 107). Dan
bukankah tidak ada rahmat bagi alam semesta kecuali dengan akhlak
yang mulia.

Boleh jadi ada yang bertanya, bukankah ibadah lebih utama dari
akhlak? Ketahuilah bahwa tujuan utama seluruh ibadah adalah
memperbaiki akhlak. Allah berfirman, “Dirikanlah shalat. Sesungguhnya

1
shalat mencegahmu dari perbuatan keji dan mungkar.” (Al-Ankabut 29 :
45). Subhanallah, Jadi, siapa yang shalatnya tidak mencegah pelakunya
dari perbuatan keji dan mungkar, berarti shalat itu hanya berupa gerakan
olahraga. Ia mengerjakan shalat, tetapi akhlaknya tidak baik. Dan
kemudian kita bisa memahami kenapa Allah menyatakan celaka bagi
orang yang salat, yang salatnya lalai (hanya melakukan salat secara fisik,
tetapi dimensi ruhaninya tidak ikut salat, dan dia enggan memberi makan
kepada orang miskin). Q.S. Al Maa`uun (107) : 4-5
Dalam hadits qudsi Allah swt. berfirman, “Aku hanya menerima
shalat dari orang yang dengannya ia tawaduk pada keagungan-Ku, tidak
menyakiti makhluk-Ku, berhenti bermaksiat pada-Ku, melewati siangnya
dengan zikir pada-Ku, serta mengasihi orang fakir, orang yang sedang
berjuang di jalan-Ku, para janda, dan orang yang ditimpa musibah.” (HR.
al-Zubaidi 3/21)

Demikian juga dengan ibadah zakat. Allah berfirman, “Ambillah


zakat dari sebagian harta mereka yang dengan zakat tersebut engkau
membersihkan dan menyucikan mereka.” (Al-Taubah 9 : 103)
Subhanallah, tujuan zakat adalah untuk menyucikan. Makna menyucikan
adalah mendidik dengan akhlak yang baik. Zakat bukan semata-mata
berapa persen dari harta kita yang mesti kita keluarkan. Tetapi, orang
yang mengeluarkan zakat akan belajar mengasihi dan bermurah hati.
Ibadah mengalir menuju akhlak.

Rasulullah pun pernah menyatakan tentang sedekah akhlaki dalam


sebuah hadits, “Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah. Amar
makruf dan nahi mungkar yang kaulakukan adalah sedekah.
Menunjukkan jalan untuk seseorang yang tersesat adalah sedekah.
Menuangkan air dari embermu ke ember saudaramu adalah sedekah.
Menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah. Menuntun orang buta
adalah sedekah. Dan sedekah paling utama adalah sesuap makanan yang
kauberikan kepada istrimu.” (HR. Muslim, hadits no 2700)

Begitu juga ibadah puasa, nabi saw. bersabda, “Jika kalian sedang
berpuasa, jangan berbuat kotor dan membentak. Jika dimaki atau diajak
berkelai, katakanlah, ‘Aku sedang puasa.’” (HR Muslim). Mahasuci Allah,
hari saat kita berpuasa adalah hari akhlak. Karena itu, kita tidak boleh
berbuat fasik, mencela, menyakiti, dan seterusnya. Rasulullah pernah
menyuruh berbuka seorang majikan perempuan yang di siang hari
2
marah-marah kepada pembantunya, dengan mengatakan, “ifthariy,
berbukalah”. Karena tidak ada gunanya puasa majikan tersebut kalau
ketika ia berpuasa dia marah-marah. Artinya puasanya tidak
membuahkan akhlak, yaitu menahan diri (imsak) untuk tidak marah
(baca : sabar).

Nabi juga bersabda, “Berapa banyak dari orang yang berpuasa tidak
akan mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”.
Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa ibadah puasa tidak hanya
tidak makan dan minum serta melakukan hubungan seksual dari terbit
fajar sampai terbenam matahari (yang merupakan dimensi akidah dan
figh puasa), tetapi lebih dari itu, puasa adalah menahan semua dimensi
lahiriyah maupun batiniyah manusia dari hal yang membatalkan dan
merusak ibadah puasa. Memang, puasa secara syari`at sudah sah dengan
tidak makan dan minum dan melakukan hubungan seksual, tapi secara
thariqat puasa juga harus menahan semua panca indera, pikiran, dan hati
kita dari sesuatu yang akan merusak ibadah puasa kita. Itulah kenapa Al-
Qur`an menyebutkan bahwa tujuan puasa adalah agar bertakwa
(menjaga segala dimensi dari diri manusia dari hal-hal yang dilarang
Allah). Selain itu puasa juga berdimensi sosial (akhlaki), bahwa kita
diajarkan oleh Allah untuk menumbuhkan kepedulian sosial kita dengan
mencoba merasakan rasa lapar dan dahaga sebagaimana orang yang tak
berpunya sering merasakannya di kehidupan mereka sehari-hari.

Kita telah mengetahui bahwa tujuan shalat adalah akhlak. Begitu


pula zakat dan puasa. Apakah kita sekarang lebih yakin bahwa tujuan
utama seluruh ibadah adalah perbaikan akhlak? Jika masih ragu, maka
ibadah haji akan melenyapkan keraguan kita.

Allah berfirman, “Haji adalah beberapa bulan yang telah diketahui.


Siapa yang menetapkan niat dalam bulan itu untuk mengerjakan haji
maka tidak boleh berbuat kotor, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan
dalam masa haji.” (Al-Baqarah 2 : 197). Haji merupakan latihan disiplin
akhlak yang cukup berat. Di sana kita harus benar-benar berusaha
berakhlak baik. Kita tidak boleh bersuara keras, tidak boleh mencela
seseorang, tidak boleh memaki, tidak boleh menganiaya, bahkan kita
harus berupaya sekuat-kuatnya memperbaiki akhlak. Kita akan tinggal di
sana selama kira-kira sebulan. Benar-benar sebuah pendisiplinan.

3
Rasulullah pun ketika ditanya sahabat apa itu ciri haji yang mabrur
(yang balasannya adalah surga), beliau menjawab, “ith’amut tha’am
waifsyaaus salam, memberi makan kepada yang kelaparan dan selalu
menyebarkan kedamaian”. (HR Ahmad)

Kedua, Melenyapkan Kesenjangan Antara Akhlak dan Ibadah

Tujuan kedua kita mempelajari akhlak adalah menepis


kesenjangan yang sangat jauh antara ibadah dan akhlak. Dalam konteks
yang lebih luas, untuk melenyapkan jarak antara agama dan dunia. Kita
mungkin menemukan orang yang begitu baik ketika berada di masjid,
tetapi begitu buruk di luar masjid. Padahal Islam mengajarkan satu
kesatuan ibadah dan akhlak. Masing-masing saling melengkapi dan tidak
terpisah. Jangan sampai kita seperti orang yang ibadahnya
mengagumkan, tetapi akhlaknya sangat jauh dari Islam.

Kesenjangan yang jauh antara akhlak dan ibadah menghasilkan


dua tipe manusia : Pertama, manusia yang rajin beribadah, tetapi buruk
akhlaknya. Kedua, manusia yang berakhlak baik, tetapi buruk ibadahnya.
Kita sering dihadapkan pada sebuah kenyataan ada orang yang di satu
sisi menjaga amanah dan sangat jujur, tetapi di sisi lain ia tidak
mengerjakan shalat. Sebaliknya, ada orang yang sangat tekun beribadah,
tetapi di sisi lain sangat buruk akhlaknya.

Dua tipe manusia di atas tidak dibenarkan di dalam Islam. Karena


itu, tujuan kita mempelajari akhlak adalah membentuk pribadi yang tekun
beribadah sekaligus berakhlak mulia. Begitu banyak ayat al-Quran dan
hadits Nabi yang mengkonfirmasi tujuan ini.

Allah berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang


beriman. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya. dan
orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang
tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-
orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka
atau budak yang mereka miliki. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal
ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu. Maka mereka
Itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang
memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-
orang yang memelihara sembahyangnya.” (Al-Mukminun 23 : 1-9)

4
Di ayat yang lain Allah berfirman, “Dan hamba-hamba Tuhan yang
Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi
dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka,
mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan
orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan
mereka. Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, jauhkan azab
Jahannam dari kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang
kekal". Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan
tempat kediaman. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta),
mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. “ (Al-Furqan
25 : 63-67)

Di dalam surat al-Maaun 107 ayat 4-7 Allah berfirman, “ Maka


kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang
lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya. Dan enggan
(menolong dengan) barang berguna kepada orang yang membutuhkan.

Rasulullah bersabda, “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak


beriman, demi Allah tidak beriman.” Mereka bertanya, “Siapa ya Rasul?”
Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya merasa tidak aman dari
keburukannya.” (HR. Muslim hadits no 170) Subhanallah, bukankah
ketika seorang wanita menjemur cucian yang masih basah, lalu bekas
airnya berjatuhan di atas cucian tetangga yang tinggal di bawahnya.
Dengan begitu, ia terkena hadits ini. Begitu juga, seseorang yang
memarkir mobilnya di depan garasi tetangga. Lalu ia memasang rem
tangan, dan pergi ke rumahnya untuk shalat. Ia pun terkena hadits ini.
Karena sekali lagi, Islam tidak memisahkan antara akhlak dan ibadah.

Beberapa orang datang kepada Rasulullah dan mereka berkata,


“Wahai Rasulullah, Fulanah terkenal rajin mengerjakan shalat, berpuasa,
dan berzakat. Hanya saja, ia sering menyakiti tetangganya.” Rasulullah
saw. menjawab, “Dia di neraka.” Lalu disebutkan pula ada seorang wanita
yang shalat, puasa, dan zakatnya biasa-biasa saja, tetapi ia tidak
menyakiti tetangganya. Maka rasul saw. menjawab, “dia di surga.” (HR
Imam Ahmad, hadits no 2/440)

5
Di hadits yang lain Rasulullah bersabda, “Orang yang paling buruk
kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang dijauhi
manusia karena takut pada kejahatannya.” (HR Bukhari, hadits no 6054)

Di hadits yang lain, nabi bersabda, “Tahukah kalian siapa orang


yang bangkrut?” mereka menjawab, “orang yang bangkrut adalah yang
tidak mempunyai uang dan harta.” Beliau lalu menjelaskan, “Orang yang
bangkrut di antara umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat
dengan membawa shalat, puasa, dan zakatnya. Namun ia pernah
mencela orang, mencaci orang, memakan harta orang, memukul, dan
menumpahkan darah orang. Maka, ia pun harus memberikan pahala amal
baiknya kepada orang-orang itu. Jika amal baiknya sudah habis sebelum
dibayar semua, diambillah dosa mereka untuk diberikan kepadanya.
Maka, ia pun dilemparkan ke neraka.” HR Muslim hadits no 6522)

Ketiga : Agar Kita Menjadi Orang-Orang yang Mengamalkan

Tujuan ketiga kita mempelajari akhlak adalah agar kita


mengamalkannya, bukan hanya pandai berbicara. Allah berfirman,
“Sangatlah dibenci disisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak
kamu kerjakan”. (Q.S. Shaff 61 : 3). Dakwah Rasulullah begitu efektif
dan berhasil karena apa yang disampaikan Rasulullah sudah diamalkan
terlebih dahulu. Dan bukan sekedar kata-kata. Pada diri Rasulullah SAW.
Al-Quran bukan lagi sebagai sebuah hafalan dan pemahaman tapi sudah
menjadi akhlak. Maka, ketika Aisyah ditanya tentang bagaimana akhlak
Nabi, Aisyah menjawab, “kaana khuluquhul qur’an, akhlaknya Nabi adalah
Al-Qur’an”.

Keempat : Agar Kita Tidak Menjadi Sebab yang Menyesatkan


Manusia

Tujuan keempat sekaligus terakhir dari belajar tentang akhlak


adalah agar kita tidak menjadi sebab yang menyesatkan manusia. Apa
maksudnya? Maksudnya, jangan sampai kita menjadi contoh buruk. Yaitu,
ibadahnya menakjubkan banyak orang, tetapi akhlak buruknya
menyesatkan mereka. Dalam kondisi demikian, orang-orang akan
berkata, “Kamu ingin kita seperti dia? Tanda shalatnya yang terdapat di
wajahnya memang masya Allah. Namun ia sering tidur saat bekerja,
sering terlambat masuk kerja, sering mengambil hak orang lain, suka
menfitnah.”
6
Keutamaan Akhlak Yang baik

Begitu banyak hadits Nabi yang mengabarkan kepada kita


keutamaan akhlak yang baik, di antaranya adalah : Nabi saw. bersabda,
“Tidak ada yang lebih berat dalam timbangan manusia di hari kiamat
daripada akhlak yang baik.” (HR Abu Daud, hadits no 4799).

Dalam kesempatan lain Rasulullah bersabda, “Mukmin yang paling


sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR Abu Daud,
hadits no 4682)

Di hadits lain Rasulullah bersabda, “Orang yang paling kucintai


dan yang paling dekat denganku di hari kiamat adalah yang paling baik
akhlaknya.” (HR at-Tirmidzi, hadits no 2018)

Rasulullah juga pernah bersabda, “Yang paling banyak


memasukkan manusia ke dalam surga adalah takwa kepada Allah dan
akhlak yang baik.” (HR at-Tirmidzi, hadits no 2004)

Karena begitu penting dan agungnya akhlak yang baik Rasulullah


berdoa :

َّ‫سنِ َها ِإ َّل‬ َ ‫ِي ِِل َ ْح‬ َّْ ‫ل يَ ْهد‬ َِّ ‫اِل َ ْخ ََل‬
ََّ ُ‫فَإِنَّ َّه‬, ‫ق‬ َ ‫ي ِِل َ ْح‬
َّ‫س ِن‬ َّْ ِ‫أَللَّ ُه ََّّم ا ْه ِدن‬
ََّ ‫س ِِّيئ َ َها ِإ َّلأ َ ْن‬
‫ت‬ َ ‫ي‬ َّْ ‫ع ِِّن‬
َ ‫ف‬ َُّ ‫ص ِر‬ َ ‫س ِِّيئ َ َه‬
ْ ‫ال َي‬ َ َّْ ‫ع ِِّن‬
‫ي‬ َ ‫ف‬ َّْ ‫ص ِر‬ ْ ‫ت َوا‬ ََّ ‫أ َ ْن‬
“Allahummah diniy liahsanil akhlaq laa yahdiy li-ihsaniha illa anta, washrif
‘anniy sayyiaha laa yashrifu ‘anniy sayyiaha illa anta, Ya Allah, berikan
petunjuk kepadaku untuk memperbaiki akhlakku, tidak ada yang bisa
memberi petunjuk untuk memperbaiki akhlak kecuali Engkau. Ya Allah,
jauhkanlah aku dari akhlak yang tidak baik, karena tidak ada yang
mampu menjauhkannya dariku selain Engkau”. (H.R. Muslim)

Wallaahu a’lam bish shawab, dan Allah lebih mengetahui


yang sejatinya benar

Anda mungkin juga menyukai