Anda di halaman 1dari 17

WALISONGO

Di susun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Islam Indonesia

Dosen Pengampu : Imamul Huda, M.Pd.I.

Di Susun Oleh :

Alifia Wahyu Khoirunnisa 23040190035

Lutfi Nur Ma’arif 20340190036

Indah Puspitasari 23040190046

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS TARBIAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Sejarah Islam Indonesia.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Salatiga, 11 Maret 2020

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah masuknya Islam ke wilayah Nusantara sudah berlangsung demikian lama,
sebagian berpendapat bahwa Islam masuk  pada abad ke-7 M  yang datang langsung dari
Arab. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam masuk pada abad ke-13 M dan ada juga
yang berpendapat bahwa Islam masuk pada sekitar abad ke 9 M atau 11 M. Perbedaan
pendapat tersebut dari pendekatan historis semuanya benar, hal tersebut didasari bukti-
bukti sejarah serta penelitian para sejarawan yang menggunakan pendekatan
dan metodenya masing-masing. Berdasarakan beberapa buku dan keterangan sumber
referensi sejarah, bahwa Islam mulai berkembang di Nusantara sekitar abad ke-13 M. Hal
tersebut tak lepas dari  peran tokoh serta ulama yang hidup pada saat itu, dan diantara
tokoh yang sangat berjasa dalam proses Islamisasi di Nusantara terutama di tanah Jawa
adalah “ Walisongo”. Peran Walisongo dalam proses Islamisasi di tanah Jawa sangat
besar. Tokoh Walisongo yang begitu dekat dikalangan masyarakat muslim kultural Jawa
sangat mereka hormati. Hal ini karena ajaran-ajaran dan dakwahnya yang unik serta
sosoknya yang menjadi teladan serta ramah terhadap masyarakat Jawa sehingga dengan
mudah Islam menyebar ke seluruh wilayah Nusantara. Walisongo menyebarkan agama
Islam di Pulau Jawa yang terbagi dari Surabaya, Lamongan Jawa Timur, Jawa Tengah,
dan Cirebon di Jawa Barat. Keberhasilan Islamisasi Jawa merupakan hasil perjuangan
dan kerja keras Walisongo. Proses Islamisasi berjalan dengan damai, baik politik maupun
kultural, meskipun terdapat konflik itupun sangat kecil sehingga tidak mengesankan
sebagai perang maupun kekerasan ataupun pemaksaan budaya. Penduduk Jawa menganut
dengan suka rela. Walisongo menerapkan metode dakwah yang lentur atau baik sehingga
dapat diterima baik oleh masyarakat jawa. Kehadiran para Wali ditengah-tengah Pulau
Jawa tidak dianggap sebagai ancaman. Para Wali ini menyebarkan agama Islam dengan
menggunakan pendekatan budaya dengan cara akuluturasi seni budaya lokal yang
dikemas dengan Islam seperti wayang, tembang jawa, gamelan, upacara-upacara adat
yang digabungkan dengan Islam dan dengan kepiawaan para Wali menggunakan unsur-

3
unsur lama (Hindu-Buddha) sebagai media dakwah mereka dan sedikit demi sedikit
memasukan nilai-nilai ajaran agama islam kedalam unsur tersebut atau dapat disebut
metode sinkretisme yang berarti pencampuradukan sebagai unsur aliran atau paham
sehingga yang bentuk abstrak yang berbeda membentuk keserasiaan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa makna Walisongo ?
2. Bagaimana Riwayat Walisongo ?
3. Strategi dan Metode Dakwah Walisongo ?

C. Tujuan
1. Mengetahui makna Walisongo
2. Mengetahui Riwayat Walisongo
3. Mengetahui Strategi dan Metode Dakwah Walisongo

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna Walisongo
Wali dan manusia adalah dua entitas yang berbeda. Untuk bisa kearah itu
diperlukan penyadaran bahwa wali-wali adalah sosok yang memiliki kelebihan, karena
kedekatannya dengan Allah SWT. Wali dapat menjadi wasilah atau perantara yang
menghubungkan antara manusia dengan Allah. Untuk dapat menjadi wasilah tentu harus
memiliki atau memenuhi persyaratan kedekatan dan kesucian atau menjadi orang suci.
Kedekatan tersebut diperoleh melalui upaya-upaya individual yang dilakukan seseorang
dalam berhubungan dengan Allah lewat dzikir atau wirid dan riyadha yang sistematis dan
terstruktur. Melalui kedekatan (taqarrub) akan memunculkan aura yang disebut dengan
kesucian. Dengan demikian kesucian adalah level kedua yang diperoleh seseorang setelah
level pertama dipenuhi, dan lewat kesucian wasilah dapat dimaknai. Wali memiliki
kekuatan supranatural dan manusia biasa hanya memiliki kekuata natural. Agar sampai
kepada kesadaran diperlukan penyadaran yang dibarengi dengan penguatan-penguatan
kelebihan dalil-dalil dan nash-nash yang memberikan rujuan kepada Nabi Muhammad
SAW. 1Walisongo menempati posisi penting dalam masyarakat muslim di Jawa terutama
di daerah tempat mereka dimakamkan. Jumlah maupun nama-nama yang disebut dalam
sumber tradisional tidak selalu sama. Jumlah sembilan atau delapan diperkirakan di ambil
dari dewa-dewa Astadikspalaka atau Nawasanga seperti di Bali. Kata walisongo, kata
yang mirip diperhitungkan yaitu Walisana. Kata Walisongo terdiri atas dua kata Wali dan
Songo. Disini kita melihat adanya perpaduan dua kata yang berasal dari pengaruh budaya
yang berbeda. Wali berasal dari bahasa Arab (pengaruh Al-Qur’an) dan songo. Disini kita
melihat adanya perpaduan dua kata yang berasal dari pengaruh budaya Jawa. Jadi dari
segikata Walisongo merupakan interelasi dari pengaruh dua kebudayaan.2 Kata Waly
dalam bahasa Arab berarti “yang berdekatan”. Sedangkan Auliya kata jamak dari kata
1 Nur Syam, 2005, Islam Pesisir,LkiS, Yogyakarta, h. 253
2 YB. Suparlan, 1991, Kamus Indonesia Kawi, Kanisius, Yogyakarta, h. 225

5
Waly. Dalam Al-Qur’an Surat Yunus ayat 62 dapat dipahami seorang Wali adalah orang
yang senantiasa beriman dan bertaqwa kepada Allah, mereka menyampaikan kebenaran
dari Allah, dan dalam menyampaikan kebenaran itu karena mendapat karomah dari
Allah, tiada rasa kawatir dan sedih. Keistimewaan ini sebenarnya sama dengan para rasul,
yang membedakan terletak pada wahyu yang diterima rasul. Wali tidak menerima wahyu,
dan juga tidak akan pernah menjadi Nabi atau rasul, tetapi wali mendapat karomah, suatu
kemampuan diluar adat kebiasaan manusia.3 Kata berikutnya Songo dan Sana juga harus
merujuk pada sudut pandang budaya Jawa. Kata songo dalam bahasa Jawa berarti
sembilan, sedangkan Sana berarti tempat, juga nama kayu yang dinisbahkan kepada para
Wali. Namun semua ini tidak bisa dilepaskan dari sudut pandang bahasa Jawa. Artinya
sembilan dalam pengertian tersebut juga memiliki makna multitafsir. Bisa juga Sembilan,
memiliki makna angka keramat, karena dalam bilangan angka sembilan adalah terbesar.
Hanya saja bila diperhatikan wali-wali yang banyak disebut sumber sejarah berbeda-
beda, maka songo menunjuk makna kedua.4 Dengan demikian angka sembilan
merupakan angka mistik pada masyarakat Jawa sebelum Islam didasarkan pada faham
klasifikasi bahwa manusia dan alam semesta mempunyai hubungan yang erat.

B. Riwayat singkat Walisongo


1. Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
Maulana Malik Ibrahim dipanggil juga Syekh Magribi yang dalam Babad Tanah
Jawi disebut Makdum Brahim Asmara. Maulana Malik Ibrahim merupakan wali
tertua di antara walisongo yang menyiarkan Islam di Jawa Timur, khususnya di
Gresik. Maulana Magribi datang ke Jawa tahun 1404 M. Beliau berasal dari
Samarkandi di Asia Kecil. Dari Asia Kecil beliau bermukim dulu di Campa dan
kemudian datang ke Jawa Timur. Kedatangan beliau jauh sesudah agama Islam
masuk di Jawa Timur. Hal ini dapat diketahui dari batu nisan seorang wanita muslim
bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 476 H. atau 1087M. Menurut
literatur yang ada, Malik Ibrahim seorang yang ahli pertanian dan ahli pengobatan.

3 Syekh Thohir Ibn Sholih Al-Jazairy, tt, Jawahirul Kalamiyah, Multazam, h. 14-29
4 Joko Tri Haryanto, 2003, IAIN Walisongo Mengeja Tradisi Merajut Masa Depan, Pustakindo
Pratama, Semarang, h. 67-69

6
Sejak beliau berada di Gresik, hasil pertanian rakyat Gresik meningkat tajam. Dan
orang-orang yang sakit banyak disembuhkannya dengan daun-daunan tertentu.
Sifatnya lemah lembut, belas kasih dan ramah kepada semua orang, baik sesama
muslim atau non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang
disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk
setempat sehingga mereka berbondong-bondong untuk masuk agama Islam dengan
suka rela dan menjadi pengikut beliau yang setia. Malik Ibrahim menetap di Gresik
dengan mendirikan mesjid dan pesantren untuk mengajarkan agama Islam kepada
masyarakat sampai ia wafat. Maulana Malik Ibrahim wafat pada hari Senin, 12
Rabiul Awal 822 H/ 1419 M, dan dimakamkan di Gapura Wetan, Gresik. Pada
nisannya terdapat tulisan Arab yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang
penyebar agama yang cakap dan gigih.5
2. Raden Rahmat (Sunan Ampel)
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat
sebagai sesepuh walisongo, sebagai mufti atau pemimpin agama Islam se-Tanah
Jawa. Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat, sedangkan sebutan Sunan
merupakan gelar kewaliannya, dan nama Ampel atau Ampel Denta, atau Ngampel
Denta (menurut Babad Tanah Jawi versi Meinsme), itu dinisbahkan kepada tempat
tinggalnya, sebuah tempat dekat Surabaya. Raden Rahmat diperkirakan lahir pada
awal abad ke-15 di Campa, sebagai putera raja Campa. Tentang nama Campa ini,
menurut Endiklopaedi Van Nederlandish Indie adalah suatu negeri kecil yang terletak
di Kamboja (Indocina) yang kemudian dikuasai oleh bangsa Khmer dari Vietnam.
Sedangkan menurut Raffles yang dimaksud adalah Jempa, suatu negeri di Aceh.
Sunan Ampel adalah penerus cita-cita dan perjuangan Maulana Malik Ibrahim. Ia
memulai aktivitasnya dengan mendirikan pondok pesantren di Ampel Denta, dekat
Surabaya yang sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam yang pertama di Jawa. Di
tempat inilah dididik pemuda-pemudi Islam sebagai kader yang terdidik, untuk
kemudian disebarkan ke berbagai tempat di seluruh pulau Jawa. Muridnya antara lain
Raden Paku yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Giri, Raden Patah yang
kemudian menjadi sultan Pertama dari kerajaan Islam di Bintoro Demak, Raden
5 Ridin Sofwan, H.Wasit, H.Mundiri, Islamisasi di Jawa, Walisongo Penyebar
Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), h.24

7
Makdum Ibrahim yang dikenal dengan Sunan Bonang, Raden Kosim Syarifuddin
yang dikenal dengan Sunan Drajat, Maulana Ishak yang pernah diutus ke daerah
Blambangan untuk mengislamkan rakyat disana, dan banyak lagi mubalig yang
mempunyai andil besar dalam islamisasi Pulau Jawa. Raden Makdum Ibrahim (Sunan
Bonang) dan Raden Kosim Syarifuddin (Sunan Drajat) adalah putera Raden Rahmat.6
3. Raden Paku (Sunan Giri)
Sunan Giri lahir di Blambangan, pada tahun 1442 M. Nama aslinya Raden Paku,
disebut juga Prabu Satmata dan kadang-kadang disebut Sultan Abdul Fakih. Ia adalah
putera Maulana Ishak yang ditugaskan Sunan Ampel untuk mengembangkan agama
Islam di Blambangan. Salah seorang saudaranya juga termasuk Walisongo, yaitu
Raden Abdul Kadir (Sunan Gunung Jati), dan ia mempunyai hubungan keluarga
dengan Raden Fatah karena istri mereka bersaudara. Sunan Giri memulai aktivitas
dakwahnya di daerah Giri dan sekitarnya dengan mendirikan pesantren, yang
santrinya banyak berasal dari golongan masyarakat ekonomi lemah. Ia mengirim juru
dakwah terdidik ke berbagai daerah di luar Pulau Jawa, yaitu Madura, Bawean,
Kangean, Ternate dan Tidore. Kegiatan-kegiatan ini menjadikan pesantren yang
dipimpinnya menjadi terkenal di seluruh nusantara. Dalam menentukan hukum
agama, Sunan Giri sangat berhati-hati. Beliau sangat berpegang teguh kepada al-
Qur’an dan sunnah Nabi yang shahih. Ibadah menurut beliau haruslah sesuai dengan
ajaran Nabi, tidak boleh dicampuri dengan berbagai kepercayaan lama yang justru
bertentangan dengan agama Islam. Karena pintarnya Sunan Giri dalam ilmu fiqih,
maka beliau mendapat sebutan Sultan Abdul Fakih. Di bidang tauhid, beliau tak
kenal kompromi dengan adat istiadat dan kepercayaan lama. Kepercayaan Hindu-
Budha atau animisme dan dinamisme harus dikikis habis. Adat istiadat lama yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam harus dilenyapkan agar tidak menyesatkan umat di
belakang hari. Pelaksanaan syariat Islam di bidang agama haruslah sesuai dengan
ajaran aslinya. Karena sikapnya ini, maka Sunan Giri dan pengikutnya disebut kaum
Putihan atau Islam Putih.7
4. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)

6 Ibid, h.35 Lihat, Ensiklopedi Islam, h.174


7 Rahimsah, op.cit, h.77

8
Sunan Bonang adalah putera Raden Rahmat dari perkawinannya dengan Dewi
Candrawati dan merupakan saudara sepupu Sunan Kalijaga. Ia terkenal dengan nama
Raden Maulana Makhdum Ibrahim atau Raden Ibrahim (Makdhum adalah gelar yang
biasa diberikan kepada seorang ulama besar di India, dan berarti orang yang
dihormati). Dari perkawinannya dengan Dewi Hiroh, ia memperoleh seorang puteri
bernama Dewi Rukhil yang kemudian diperisteri Sunan Kudus. Sejak kecil, Raden
Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.
Disebutkan, sewaktu masih remaja Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku
meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke tanah seberang, yaitu Negeri Pasai.
Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung
dari Sunan Giri. Dan juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di
Negeri Pasai, seperti ulama-ulama yang berasal dari Baghdad, Mesir, Arab, dan Parsi.
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim sering mempergunakan kesenian rakyat
untuk menarik simpati, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang.
Sunan Bonang dianggap sebagai pencipta gending pertama dalam rangka
mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa Timur. Dalam menyebarkan
agama Islam, Sunan Bonang selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan
masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang serta musik gemelan. Mereka
memanfaatkan pertunjukan tradisional itu sebagai media dakwah Islam, dengan
menyisipkan nafas Islam ke dalamnya. Syair lagi gamelan ciptaan para wali tersebut
berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Setiap
bait lagu diselingi dengan syahadatain (usapan dua kalimat syahadat), gamelan yang
mengiringinya kini dikenal dengan istilah sekaten, yang berasal dari syahadatain.
Sunan Bonang sendiri menciptakan lagu yang dikenal dengan tembang durma, sejenis
macapat yang melukiskan usaha tegang, bengis dan penuh amarah.8
5. Raden Qasim (Sunan Drajat)
Nama aslinya adalah Raden Kosim atau Syarifuddin. Sunan Drajat adalah putra
Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang). Raden Qosim yang sudah mewarisi ilmu dari ayahnya
kemudian diperintahkan untuk berdakwah di sebelah barat Gresik, yaitu daerah antara

8 Rahimsah, op.cit, h.89

9
Tuban dan Gresik. Sunan Drajat turut serta dalam musyawarah para wali untuk
memutuskan siapa yang menggantikan Sunan Ampel untuk memimpin pesantren
Ampel Denta, dan ketika para wali memutuskan untuk mengadakan pendekatan
kultural pada masyarakat Jawa dalam menyiarkan agama Islam, Sunan Drajat tidak
ketinggalan untuk menciptakan tembang Jawa yang sampai saat ini masih digemari
masyarakat, yaitu Gending Pangkung, semacam lagu rakyat di Jawa. Hal yang paling
menonjol dalam dakwah Sunan Drajat adalah perhatiannya yang sangat serius pada
masalah-masalah sosial. Ia terkenal mempunyai jiwa sosial dan tema-tema
dakwahnya selalu berorientasi pada kegotongroyongan. Ia selalu memberi
pertolongan kepada masyarakat umum, menyantuni anak yatim dan fakir miskin
sebagai suatu aktivitas sosial yang dianjurkan agama Islam. Usahanya itu memang
tepat sekali, jika dikaitkan dengan suasana kritis dan prihatin yang ada pada waktu itu
akibat pertentangan politik dan perang saudara. Periode itu termasuk yang paling
buruk dalam kehidupan negara dan rakyat Majapahit.9
6. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
Sunan Gunung Jati adalah salah seorang dari walisongo yang banyak berjasa
dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa, terutama di daerah Jawa Barat dan juga
pendiri Kesultanan Cirebon. Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah. Dialah pendiri
dinasti raja-raja Cirebon dan Banten. Sunan Gunung Jati adalah cucu raja Pajajaran,
Prabu Siliwangi. Dari perkawinan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang,
lahirnya dua putera dan satu puteri, masing-masing bernama Raden Walangsungsang,
Nyai Lara Santang dan Raja Sengsara. Setelah pamannya itu wafat, ia menggantikan
kedudukannya dan kemudian berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah
kesultanan. Ia kemudian terkenal dengan gelar Sunan Gunung Jati. Setelah Cirebon
resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam yang bebas dari kekuasaan Pajajaran,
Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi kerajaan yang belum menganut agama
Islam itu. Dari Cirebon, ia mengembangkan agama Islam ke daerah-daerah lain di
Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa dan
Banten. Ia meletakkan dasar bagi pengembangan Islam dan perdagangan orang-orang
Islam di Banten pada tahun 1525/ 1526 M. Ketika ia kembali ke Cirebon, Banten

9 Ibid, h.226

10
diserahkan kepada anaknya, Sultan Maulana Hasanuddin yang kemudian menurunkan
raja-raja Banten. Di tangan raja-raja Banten inilah kemudian Kerajaan Pajajaran
dikalahkan. Atas prakarsa Sunan Gunung Jati, penyerangan ke Sunda Kelapa
dilakukan pada tahun 1527. Penyerangan ini dipimpin oleh Faletehan atau Fatahilah
(w. 1570), panglima perang Kerajaan Demak dan menantu Sunan Gunung Jati.10
7. Raden Ja’far Shodiq (Sunan Kudus)
Nama aslinya adalah Ja’far Sadiq, tetapi sewaktu kecil dipanggil Raden Undung.
Kadang-kadang ia dipanggil dengan Raden Amir Haji, sebab ketika menunaikan
ibadah haji ia bertindak sebagai pimpinan rombongan (amir). Sunan Kudus adalah
putera Raden Usman Haji yang menyiarkan Islam di daerah Jipang Panolan, Blora.
Menurut silsilahnya, Sunan Kudus masih mempunyai hubungan keturunan dengan
Nabi Muhammad SAW. Silsilah selengkapnya adalah : Ja’far Sadiq bin Raden
Usman Haji bin Raja Pendeta bin Ibrahim as-Samarkandi bin Maulana Muhammad
Jumadalkubra bin Zaini al Husein bin Zaini al-Kubra bin Zainul Alim bin Zainul
Abidin bin Sayyid Husein bin Ali r.a. Sunan Kudus menyiarkan agama Islam di
daerah Kudus dan sekitarnya, dan memiliki keahlian khusus dalam bidang ilmu
agama, terutama ilmu fiqih, ushul fiqih, tauhid, hadis, tafsir serta logika. Karena
itulah di antara walisongo hanya ia yang mendapat julukan sebagai wali al ‘ilmi
(orang yang luas ilmunya), dan karena keluasan ilmunya ia didatangi oleh banyak
penuntut ilmu dari berbagai daerah di nusantara. Di samping menjadi juru dakwah,
Sunan Kudus juga menjadi panglima perang Kesultanan Demak Bintoro yang
tangguh, dan dipercaya untuk mengendalikan pemerintahan di daerah Kudus,
sehingga ia menjadi pemimpin pemerintahan sekaligus pemimpin agama di daerah
tersebut.11
8. Raden Said (Sunan Kalijaga)
Sunan Kalijaga terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, berpandangan
jauh, berpikiran tajam, intelek, serta berasal dari suku Jawa asli. Nama Kalijaga
konon berasal dari rangkaian bahasa Arab qadi zaka yang berarti pelaksana dan
membersihkan. Qadizaka yang kemudian menurut lidah dan ejaan menjadi Kalijaga
berarti pemimpin atau pelaksana yang menegakkan kebersihan atau kesucian. Sunan
10 Ibid, h.183
11 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op.cit, h. 180

11
Kalijaga bernama asli Raden Mas Syahid dan kadang-kadang dijuluki Syekh Malaya.
Ayahnya bernama Raden Sahur Tumenggung Wilatikta yang menjadi bupati Tuban,
sedang ibunya bernama Dewi Nawang Rum. Sunan Kalijaga kawin dengan Dewi
Sarah binti Maulana Ishaq dan berputra 3 orang, Raden Umar Said (Sunan Muria),
Dewi Rukayah dan Dewi Sofiyah. Dalam pemeritahan Demak, di samping sebagai
ulama dan juru dakwah, Sunan Kalijaga juga penasihat Kesultanan Demak Bintoro.
Ketika para wali memutuskan untuk mempergunakan pendekatan kultural terhadap
masyarakat, termasuk di antaranya pemanfaatan wayang dan gamelan sebagai media
dakwah, maka orang yang paling berjasa dalam hal ini adalah Sunan Kalijaga. Atas
jasajasanya, Raden Fatah sebagai penguasa Kesultanan Demak Bintoro
menghadiahkan sebidang tanah di sebelah tenggara Demak sebagai desa perdikan
(bebas pajak) yang diperuntukkan bagi ahli waris dan keturunan Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga juga sangat berjasa dalam perkembangan wayang purwa atau wayang
kulit yang bercorak Islami seperti sekarang ini. Ia mengarang aneka cerita wayang
yang bernafaskan Islam, terutama mengenai etika. Kecintaan masyarakat terhadap
wayang digunakannya sebagai sarana untuk menarik mereka untuk masuk Islam.Jasa
Sunan Kalijaga terhadap kesenian bukan hanya terlihat pada wayang dan gamelan,
tetapi juga dalam seni suara, seni ukir, seni busana, seni pahat dan kesusastraan.
Banyak corak batik yang oleh Sunan Kalijaga diberi motif burung. Burung dalam
bahasa Kawi disebut kukula. Kata tersebut ditulis dalam Bahasa Arab menjadi qu dan
qila yang berarti “peliharalah ucapanmu sebaik-baiknya”, dan menjadi salah satu
ajaran etik Sunan Kalijaga melalui corak batik.12
9. Raden Umar Said (Sunan Muria)
Sunan Muria adalah salah seorang wali songo yang banyak berjasa dalam
menyiarkan agama Islam di pedesaan Pulau Jawa. Ia adalah putra Sunan Kalijaga.
Nama aslinya Raden Umar Said atau Raden Said. Sedang nama kecilnya adalah
Raden Prawoto, namun ia lebih terkenal dengan nama Sunan Muria karena pusat
kegiatan dakwahnya dan makamnya terletak di Gunung Muria (18 km di sebelah
utara kota Kudus sekarang). Seperti wali-wali yang lain, hari kelahiran dan hari
wafatnya tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan ia lahir sekitar pertengahan abad

12 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op.cit, h.180

12
ke-15 dan wafat pada awal abad ke-16. Menurut sumber-sumber yang ada, Sunan
Muria adalah putra Sunan Kalijaga dan ibunya bernama Dewi Saroh. Ia kawin dengan
Dewi Sujinah, kakak kandung Sunan Kudus Sunan Muria termasuk wali-wali yang
memutuskan untuk memindahkan pesantren Ampel Denta (sepeninggal Sunan
Ampel) ke Demak di bawah pimpinan Raden Patah. Ia sangat rajin berdakwah ke
pelosok-pelosok desa dan gunung-gunung. Sarana dakwah yang dipakainya adalah
melalui gamelan dan wayang serta kesenian Jawa lainnya. Ciri khas Sunan Muria
dalam upaya menyiarkan agama Islam adalah menjadikan desa-desa terpencil sebagai
tempat operasinya. Ia lebih suka menyendiri dan bertempat tinggal di desa dan
bergaul dengan rakyat biasa. Ia mendidik rakyat di sekitar Gunung Muria. Cara yang
ditempuhnya dalam menyiarkan agama Islam adalah dengan mengadakan kursus-
kursus bagi kaum pedagang, para nelayan dan rakyat biasa.13

C. Strategi Dan Metode Dakwah Walisongo


a. Strategi Dakwah Walisongo
Beberapa strategi Walisongo dalam pelaksanaan dakwah dapat dikemukakan
antara lain sebagai berikut:

Pertama, Pembagian Wilayah Dakwah. Para Walisongo dalam melakukan


aktivitas dakwahnya antara lain sangat memperhitungkan wilayah strategis. Beranjak
dari sinilah, para Walisongo yang dikenal jumlahnya ada sembilan orang tersebut
melakukan pemilihan wilayah dakwahnya tidak sembarangan. Penentuan tempat
dakwahnya dipertimbangkan pula dengan faktor geostrategi yang sesuai dengan
kondisi zamannya. Kalau kita perhatikan dari kesembilan wali dalam pembagian
wilayah kerjanya ternyata mempunyai dasar pertimbangan geostrategis yang mapan
sekali. Kesembilan wali tersebut membagi kerja dengan rasio 5:3:1 (Suryanegara,
1995: 104). Jawa Timur mendapat perhatian besar dari para Walisongo. Di sini
terdapat 5 Wali, dengan pembagian teritorial dakwah yang berbeda. Maulana Malik
Ibrahim, sebagai wali perintis, mengambil wilayah dakwahnya di Gresik. Setelah
Malik Ibrahim wafat, wilayah ini dikuasai oleh Sunan Giri. Sunan Ampel mengambil
13 Ibid, h.694

13
posisi dakwah wilayahnya di Surabaya, Sunan Bonang sedikit ke Utara di Tuban.
Sedangkan Sunan Drajat di Sedayu. Berkumpulnya kelima wali ini di Jawa Timur
adalah karena kekuasaan politik saat itu berpusat di wilayah ini. Kerajaan Kediri, di
Kediri dan Majapahit di Mojokerto. Di Jawa Tengah para wali mengambil posisi di
Demak, Kudus, dan Muria. Sasaran dakwah para wali yang ada di Jawa Tengah tentu
berbeda dengan yang ada di Jawa Timur. Di Jawa Tengah dapat dikatakan bahwa
pusat kekuasaan politik Hindu dan Budha sudah tidak berperan lagi. Hanya para wali
melihat realiatas masyarakat yang masih dipengaruhi oleh budaya yang bersumber
dari ajaran Hidu dan Budha. Saat itu para Wali mengakui seni sebagai media
komunikasi yang mempunyai pengaruh besar terhadap polapikir masyarakat. Oleh
kerana itu, seni dan budaya yang sudah berakar di tengah- tengah masyarakat
menurut mereka perlu dimodifikasi, dan akhirnya bisa dimanfaatkan untuk
kepentingan dakwah. Terakhir yaitu di Jawa Barat, menempatkan seorang wali yaitu
Sunan Gunung Jati.

Kedua, sistem dakwah dilakukan dengan pengenalan ajaran Islam melalui


pendekatan persuasif yang berorientasi pada penaman aqidah Islam yan disesuaikan
dengan situasi dan kondisi yang ada. Rangkaian penggunaan sistem dakwah ini,
misalnya kita dapati ketika Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan kawankawan
berdakwah kepada Adipati Aria Damar dari Palembang. Berkat keramahan dan
kebijaksanaan Raden Rahmat, akhirnya Raden Aria Damar sudi masuk Islam bersama
isrinya, yang diikuti pula oleh hamper seluruh anak negerinya (Ali Murtopo,
1971:88).

Ketiga, adalah melakukan perang ideologi untuk memberantas etos dan nilainilai
dogmatis ang bertentangan dengan aqidah Islam, di mana para ulama harus
menciptakan mitos dan nilai-nilai tandingan baru yang sesuai dengan Islam. Salah
satu tugas utama dari para ulama yang telah dikader oleh Raden Rahmat adalah
menyebarkan ajaran Islam, sebagimana telah dijelaskan di atas, adalah dengan nilai
tandingan bagi ajaran Yoga-Tantra yang berazaskan Ma-Lima. (Ridin Sofwan, dkk,
2000: 261).

14
Keempat, adalah melakukan pendekatan terhadap para tokoh yang dianggap
mempunyai pengaruh di suatu tempat dan berusaha menghindari konflik. Salah satu
azas dakwah yang dicanangkan oleh Walisongo adalah menghindari konflik-konflik
dengan cara melakukan pendekatan kepada para tokoh setempat, diilhami oleh cara
dakwah yang dilakukan oleh para Nabi Muhammad saw, apa yang pernah dirintis
oleh para Rasulullah untuk memperkuat kedudukan Islam di tengah peradaban
Jahiliyah dewasa itu, yang kenyataannya relevan juga untuk diterapkan di Jawa oleh
para Wali, meski dengan taktik yang disesuaikan. (Ridin Sofwan, dkk, 2000: 262).
Kelima, berusaha mengguasai kebutuhan-kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan
oleh masyarakat, baik kebutuhan yang bersifat materil maupun spiritual. Faktor
kebutuhan pokok amat vital bagi masyarakat dewasa itu adalah menyangkut masalah
air, baik air sebagai kebutuhan keluarga sehari-hari maupun sebagai irigasi pertanian.
(Ridin Sofwan, dkk, 2000: 262)

b. Metode Dakwah Walisongo

Pertama, metode pembentukan dan penanaman kader, serta penyebaran juru


dakwah ke berbagai daerah. Kedua, dakwah melalui jalur keluarga / perkawinan.
Ketiga, mengembangkan pendidikan pesantren yang mula-mula dirintis oleh Syekh
Maulana Malik Ibrahim adalah suatu model pendidikan Islamm yang mengambil
bentuk pendidikan biara dan asrama yang dipakai oleh pendeta dan biksu dalam
mengajar dan belajar. Keempat, dengan mengembangkan kebudayaan Jawa. Dalam
kebudayaan Jawa Walisongo memberikan andil yang sangat besar. Kelima, metode
dakwah melalui sarana dan prasarana yang berkait dengan masalah perekonomian
rakyat. Keenam, dalam mengembangkan dakwa Islamiyah di tanah Jawa para wali
menggunakan sarana politik untuk mencapai tujuannya.

BAB III

15
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa walisongo mempunyai peranan yang sangat
penting dalam menyebarkan agama Islam. Peranan tersebut antara lain terlihat :
1. Dalam bidang pendidikan, banyak pesantren yang didirikan oleh walisongo sebagai
wadah mendidik kader yang Islami dan siap menyebarkan agama Islam.
2. Dalam bidang politik, terutama pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-
kerajaan Islam di Jawa, walisongo mempunyai peranan yang sangat besar. Di antara
mereka menjadi penasehat raja, bahkan ada yang menjadi raja.
3. Dalam bidang dakwah, peran walisongo yang sangat dominan adalah di bidang
dakwah, baik dakwah bil lisan maupun bil hal. Sebagai mubalig, walisongo berkeliling
dari satu daerah ke daerah lain dalam menyebarkan agama Islam. Adapun sarana dakwah
yang digunakan melalui pesantren dan media seni-budaya.
4. Bidang Sosial. Perhatian yang sangat serius pada masalah-masalah sosial terlihat pada
dakwah Sunan Drajat. Ia terkenal mempunyai jiwa sosial yang tinggi dan tema-tema
dakwahnya selalu berorientasi pada kegotongroyongan.
5. Bidang Seni dan budaya. Walisongo yang memanfaatkan media seni dan budaya dalam
menyebarkan agama Islam, di antaranya yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Drajat,
Sunan Bonang dan Sunan Ampel.
Para Walisongo dalam melakukan aktivitas dakwahnya antara lain sangat
memperhitungkan wilayah strategis. Beranjak dari sinilah, para Walisongo yang dikenal
jumlahnya ada sembilan orang tersebut melakukan pemilihan wilayah dakwahnya, di
Jawa Timur 5 wali, Jawa Tengah 3 wali, dan Jawa Barat 1 wali.

B. Saran
Penulis telah menyadari jika makalah diatas masih banyak kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan.

DAFTAR PUSTAKA

16
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid V, Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, 1994
MB.Rahimsah, Legenda dan Sejarah Lengkap Walisongo, Amanah, Surabaya,
t.th.
Ridin Sofwan, H.Wasit, H.Mundiri, Islamisasi di Jawa, Walisongo Penyebar
Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,1999
Suryanegara, Ahmad Mansur, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia,
Mizan, Bandung, 1995.
Ali Motofo, Strategi Kebudayaan. CSIC, Jakarta, 1971.
Ridin Sofwan, dkk. Islamisasi di jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Solichin Salam, Sekitar Walisongo, Menara Kudus, 1960

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia,


Djambatan, Jakarta, 1992

17

Anda mungkin juga menyukai