Anda di halaman 1dari 13

PERBANDINGAN KEBIJAKAN KEPENDUDUKAN

MARAKNYA PERNIKAHAN DINI DI PROVINSI SUMATERA UTARA


PADA ERA PANDEMI COVID19

Tugas Individu Praja

.diajukan guna memenuhi Tugas

Dalam mata kuliah perbandingan kebijakan kependudukan

pada.Institut.Pemerintahan.Dalam.Negeri

Dosen Pengampu : Dra. HESTIWATI BASIR, M.si

oleh.

MUHAMMAD AFIF NASUTION

30.0118

Program.Studi : Kependudukan.dan.Catatan Sipil

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya saya
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Saya mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas akhir dari mata kuliah Perbandingan Kebijakan
Kependudukan dengan judul “Maraknya Pernikahan Dini pada Era Pandemi Covid 19”

Saya tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, saya mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini saya mohon
maaf yang sebesar-besarnya.

Jatinangor, 15 September 2021

Muhammad Afif Nasution


30.0118

2|Maraknya Pernikahan dini provinsi sumatera utara era covid


19
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4
A. Latar Belakang.................................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................5
BAB II.........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................6
A. Maraknya Pernikahan dini era Covid 19 di Provinsi Sumatera Utara serta Faktor Penyebabnya........6
B. Pencegahan Agar Turunnya Angka Pernikahan Dini Pada Era Covid 19 Ini...................................9
BAB III......................................................................................................................................................12
PENUTUP.................................................................................................................................................12
A. Kesimpulan....................................................................................................................................12
B. Saran..............................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................13

3|Maraknya Pernikahan dini provinsi sumatera utara era covid


19
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 1 perkawinan adalah ikatan
lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Oleh karena itu bagi siapa yang hendak melangsungkan pernikahan haruslah benar-
benar siap mental dan fisik. Pasal 7 UU No. 1/1974 tentang perkawinan menjelaskan
bahwa usia minimal untuk suatu perkawinan adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun
untuk pria. Aturan ini sudah sangat jelas bahwa undang-undang tersebut menggangap
orang diatas usia tersebut bukan lagi anak-anak sehingga mereka sudah boleh menikah.
Walaupun begitu selama seseorang belum mencapai usia 21 tahun masih
diperlukan izin orang tua untuk menikahkan orang tersebut. Populasi remaja, menurut
WHO adalah kelompok penduduk yang berusia 10-19 tahun yang terbilang cukup besar,
angkanya hampir 43 juta jiwa lebih (18,3 %) dari total jumlah penduduk. Hal ini
dikarenakan pertumbuhan dan perkembangan yang pesat baik secara fisik, psikologis
maupun sosial mereka yang memasuki masa strorm and stress, yaitu masa Pubertas.
Berangkat dari masalah pokok ini WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai
batasan usia remaja. Kehamilan dalam usia-usia tersebut memang mempunyai risiko
yang lebih tinggi (kesulitan waktu melahirkan, sakit/cacat/kematian bayi/ibu) dari pada
usia-usia diatasnya (WHO, 2010).
Tingginya angka pernikahan usia anak, menunjukkan bahwa pemberdayaan
dalam hukum perkawinan masih rendah. Apapun alasannya, masa muda adalah masa
yang sangat indah untuk dilewatkan, dengan hal-hal yang positif. Masa muda adalah
waktu untuk membangun emosi, kecerdasan dan fisik. Ketiganya merupakan syarat
dalam menjalani kehidupan yang lebih layak pada masa depan.
Bila bicara mengenai batasan usia anak/remaja, menurut UU Perlindungan Anak No. 23
Tahun 2012, yaitu mereka yang belum berusia delapan belas tahun. Maka, siapapun yang
menikah di bawah batas usia tersebut bisa dibilang termasuk dalam pernikahan dini.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan, angka pernikahan
usia dini di bawah usia 19 tahun, sebesar 46,7 persen. Pernikahan di kelompok umur
antara 10-14 tahun sejumlah hampir 5 persen. Sementara diperkirakan bahwa 1 dari 5
perempuan di Indonesia menikah di bawah usia delapan belas tahun. Di samping itu,
Indonesia menempati urutan ke-37 di di antara negara-negara yang memiliki jumlah
pernikahan usia dini tertinggi di dunia (World Fertility Policies, United Nations, 2011).
Menurut data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun
4|Maraknya Pernikahan dini provinsi sumatera utara era covid
19
2015, angka pernikahan usia dini di Indonesia peringkat kedua di kawasan Asia
Tenggara. Ada sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia di bawah umur 15 tahun
sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 3
juta orang di tahun 2030.
Menurut WHO (World Health Organization) batasan usia muda adalah 11-20
tahun. Di Afrika Sub-Sahara danAmerika Latin, 60% wanita tanpa pendidikan dasar
menikah sebelum usia 18 tahun. Perbedaan ini juga tampak di Negara-negara maju
seperti AS, 30% dari wanita yang menempuh pendidikan kurang dari 10 tahun akan
menikah sebelum usia 18 tahun. Hal ini berbeda dengan wanita yang menempuh
pendidikan lebih dari 10 tahun menikah di usia sebelum 18 tahun terjadi kurang dari 10%
(WHO, 2012).
Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN),
Sugiri Syarief (2012) menyatakan angka usia menikah pertama penduduk Indonesia yang
berusia di bawah 20 tahun masih tinggi,yakni mencapai 20 persen. Kondisi ini
menghambat pencapaian program keluarga berencana (KB), sebab usia menikah yang
rendah berbanding terbalik dengan angka fertilisasi. Populasi penduduk usia remaja (16-
24) mencapai 27,6 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau 64 juta jiwa. Jumlah
tersebut merupakan sasaran potensial untuk mendorong kesuksesan program Keluarga
Berencana (KB).
Data dari berbagai kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan bahwa pernikahan
usia dini juga terjadi hampir di setiap daerah. Pernikahan usia dini banyak ditemukan di
Kabupaten Serdang Bedagai (Sumatera Utara), Kota Bogor (Jawa Barat), dan Kabupaten
Pasuruan (Jawa Timur). Beberapa daerah memiliki angka yang cukup tinggi seperti di
Jawa Timur (39,43%), Kalimantan (35,48%), Jambi (30.63%), Jawa Barat (36%) dan
Jawa Tengah (27,84%) (Kemenkes RI, 2013).
Di tengah masa pandemi Covid-19 yang belum usai, terjadi lonjakan angka
pernikahan dini di Indonesia.  Sumatera Utara salah satunya menjadi provinsi
penyumbang angka perkawinan bawah umur tertinggi di Indonesia berdasarkan data
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional tahun 2020. Praktik pernikahan dini
tetap marak, meskipun pemerintah sudah merevisi batas usia minimal perkawinan di
Indonesia menjadi 19 tahun melalui Undang-undang Nomor 19 tahun 2019. Selain itu,
ada aturan yang menetapkan penyimpangan batas usia minimal dalam pernikahan hanya
bisa dimohonkan dispensasi ke pengadilan. Faktanya, regulasi ini belum menekan praktik
pernikahan dini di Indonesia. Dispensasi ke pengadilan semakin meningkat.

B. Rumusan Masalah
B.1. Apa saja Faktor Penyebab dari Maraknya Pernikahan Dini era Pandemi Covid 19 di
Provinsi Sumatera Utara?
B.2. Bagaimana Solusi Agar Turunnya Angka Pernikahan Dini Pada Era Covid 19 Ini?

5|Maraknya Pernikahan dini provinsi sumatera utara era covid


19
BAB II
PEMBAHASAN

A. Maraknya Pernikahan dini era Covid 19 di Provinsi Sumatera Utara serta Faktor
Penyebabnya.
Mencuatnya kasus di atas menjadi pengingat bahwa perkawinan anak masih menjadi
pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Meskipun data Unicef Indonesia (2020b)
menunjukkan penurunan perkawinan anak yang berjalan lambat dari tahun ke tahun,
namun jumlahnya masih 13 Vol. XIII, No. 4/II/Puslit/Februari/2021 menjadikan
Indonesia sebagai negara kedua dengan angka perkawinan anak tertinggi di Asia
Tenggara setelah Kamboja. Sepanjang tahun 2019 hingga 2020 memang telah terjadi
penurunan sebanyak 0,6%, tapi masih jauh dari target penurunan hingga 8,74% pada
2024 (Kementerian PPPA, 2021). Perkawinan anak dapat memiliki efek negatif yang
serius dan bertahan lama. Ketika seorang remaja perempuan hamil, hal ini dapat
berdampak signifikan pada pendidikan, kesehatan (akibat komplikasi dari persalinan),
dan kesempatan kerja, yang memengaruhi kehidupan dan pendapatannya di masa depan.
Anak yang dilahirkannya juga berisiko kematian pada saat bayi, stunting, dan rendahnya
berat badan lahir (Buentjen & Walton, 2019: Rosalin, 16 Februari 2021). Permasalahan
lain yang dialami pasangan suami istri belia adalah rentannya praktik Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT) karena belum mampu mengelola emosi. Perkawinan anak
menimbulkan masalah baru pada keluarga besar karena banyak orang tua yang terpaksa
membantu mengurusi cucu. Pada kasus perkawinan anak dengan pasangan yang belum
siap secara finansial, maka akan menggantungkan beban pada keluarga besarnya. Di
masa pandemi ini, angka perkawinan anak tetap meroket. Menurut Kemen
PPN/Bappenas, 400–500 anak perempuan usia 10–17 tahun berisiko menikah dini akibat
pandemi Covid-19. Penyebab meningkatnya angka perkawinan anak pada masa pandemi
tidak jauh berbeda dengan penyebab perkawinan anak pada kondisi normal. Perkawinan
anak tetap dilakukan oleh kelompok miskin dan kurang berpendidikan. Kondisi
kesejahteraan yang terus menurun ini telah memaksa orang tua membiarkan anaknya
menikah. Penutupan sekolah ketika situasi ekonomi memburuk juga membuat banyak
anak dianggap sebagai beban keluarga yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi.
Terbukti dengan adanya 34.000 permohonan dispensasi kawin yang diajukan kepada
Pengadilan Agama pada Januari hingga Juni 2020, yang 97%-nya dikabulkan (katadata.
co.id, 16 September 2020). Angka ini meningkat dari tahun 2019 yaitu sebanyak 23.126
perkara dispensasi kawin. Kementerian PPPA mencatat hingga Juni 2020 angka
perkawinan anak meningkat menjadi 24 ribu saat pandemi (suara.com, 2020).
Perkawinan anak menambah risiko yang harus dihadapi anak selama pandemi, selain
6|Maraknya Pernikahan dini provinsi sumatera utara era covid
19
peningkatan kekerasan dan permasalahan mental pada anak. Tulisan ini mengulas
penyebab perkawinan anak selama masa pandemi Covid-19 beserta kebijakan dalam
menghadapi fenomena ini.
Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak 2020 telah serta merta
mengubah pola hidup masyarakat. Untuk memperlambat penularan virus, pemerintah
telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang berdampak pada penurunan aktivitas
masyarakat. Kondisi tersebut tidak hanya memengaruhi orang dewasa, tapi juga anak-
anak, terutama karena penutupan sekolah yang merupakan aktivitas utama mereka.
Pandemi Covid-19 telah memaksa perubahan sistem pembelajaran menjadi pembelajaran
jarak jauh (PJJ) dengan kurikulum darurat yang ternyata masih sulit dilaksanakan secara
optimal. Sekolah, anak didik, dan juga keluarga tidak siap untuk beradaptasi dengan
perubahan drastis dan membentuk kebiasaan-kebiasaan baru. Hal ini terjadi karena
selama ini sekolah diposisikan sebagai sentral pelaksana tugas-tugas pendidikan.
Masyarakat menganggap bahwa dengan mengirimkan anak ke sekolah maka semua
tanggung jawab pembentukan karakter dan perubahan perilaku dibebankan kepada
sekolah. Akibatnya, saat sekolah ditutup banyak orang tua yang kelabakan untuk
mengelola pembelajaran anak di rumah. Keluarga yang selama ini minim peran dalam
melakukan proses belajar mengajar menjadi bingung, stres, bahkan kesal, dan menuduh
sekolah melepaskan tanggung jawab. Untuk mengetahui keluhan masyarakat, KPAI
melakukan survei yang menunjukkan bahwa dalam proses PJJ masih masih minim
interaksi antara guru dan murid sehingga murid banyak tidak mengerti (Listyarti, 2021).
Hal ini akhirnya menyebabkan beban kepada orang tua untuk menjelaskan kepada anak.
Tidak sedikit yang berujung melampiaskan kekesalan pada anak. Kondisi ini jelas
membuat rumah menjadi lingkungan yang tidak nyaman bagi anak.
Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN),
(2012) menyatakan angka pernikahan usia di bawah 19 tahun masih tinggi yakni
mencapai 20 %. Populasi penduduk usia remaja ( 16-24 tahun) mencapai 27.6 % dari
jumlah penduduk Indonesia yaitu 64 juta jiwa.Menurut Badan Pusat Statistik (2012) di
Provinsi Sumatera Utara menunjukkan Angka Kelahiran Bayi pada ibu yang berusia 15-
19 tahun berkisar 33 %. Adapun jumlah kematian bayi di Sumatera Utara cukup tinggi
sebanyak 40 / 1000 kelahiran hidup Dari jumlah tersebut 30-35 persen diantaranya sudah
melakukan pernikahan di usia dini.
Didukung dengan kenyataan bahwa saat pandemi Covid-19 pun peningkatan
angka permohonan pernikahan dini melonjak dari tahun sebelumnya. Pada Januari-Juni
2020, 34.000 permohonan dispensasi pernikahan dini (di bawah 19 tahun) diajukan, 97%
di antaranya dikabulkan. Padahal sepanjang 2019, hanya terdapat 23.700 permohonan.
Berdasarkan data 2018, pernikahan dini ditemukan di seluruh bagian Indonesia.
Sebanyak 1.184.100 perempuan berusia 20-24 tahun telah menikah di usia 18 tahun.
Jumlah terbanyak berada di Jawa dengan 668.900 perempuan. Untuk menghindari
peningkatan kasus tersebut maka dibuatlah sebuah persyaratan untuk dapat menikah dan

7|Maraknya Pernikahan dini provinsi sumatera utara era covid


19
juga menghindari peningkatan angka perceraian sebagai efek dari ketidaksiapan dan
pemikiran matang untuk menikah. Program Pendewasaan Usia Perkawinan dari
Puslitbang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
disebutkan anjuran menikah di usia 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun tahun bagi
laki-laki.
Dalam maraknya pernikahan dini ini , mempunyai penyebab apa yang angka
membuat pernikahan dini semakin terus melonjak tinggi , mengingat wabah pandemi
Covid-19 hingga kini belum usai, dimana berbagai dampak negatif yang telah dirasakan
tidak hanya lumpuhkan sektor ekonomi dan kesehatan semata, melainkan picu
peningkatan 10 juta anak melakukan pernikahan yang belum cukup umur atau yang biasa
disebut dengan pernikahan dini. Fenomena pernikahan dini kian meningkat signifikan
tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan di berbagai negara yang ada di dunia.
Terlihat selama dua tahun terakhir yaitu tahun 2019 hingga 2020 Indonesia
termasuk negara kedua dengan angka perkawinan anak di usia dini tertinggi di Asia
Tenggara. Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan dibawah usia yang
seharusnya belum siap untuk melangsungkan pernikahan. Normalnya usia pernikahan
yang ideal berdasarkan usia pernikahan yang sehat adalah 20 tahun untuk perempuan dan
25 tahun untuk laki-laki. Dapat dikatakan bahwasannya pernikahan dini juga merupakan
isu yang kompleks, sebab tidak akan pernah berakhir dan sudah ada dikalangan umat
Yahudi dan Nasrani sebelum Islam.
 Zaman dahulu mungkin pernikahan dini itu penting agar tidak menimbulkan
bahaya atau fitnah, namun dengan kondisi zaman seperti ini pernikahan dini hanya akan
menambah kerusakan atau permasalahan, karena dibalik itu semua pernikahan dini
memiliki efek negatif yang serius. Apabila seorang remaja perempuan hamil, hal ini
dapat berdampak signifikan pada kesehatan (akibat komplikasi dari persalinan),
pendidikan, kesempatan kerja, sangat berpotensi besar mengalami kekerasan hingga
memengaruhi kehidupan dan pendapatannya di masa depan. Dampak anak yang telah
dilahirkannya juga sangat berisiko pada kematian. 
Ironisnya, angka pernikahan dini selama masa pandemi kian meroket meskipun
sudah tertera pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan bahwa
batas usia minimal perkawinan bagi perempuan telah ditingkatkan menjadi 19 tahun,
namun pernikahan dini tetap tidak disarankan. Salah satu pemicu pernikahan dini di
Indonesia pada masa pandemi tidak jauh berbeda dengan penyebab perkawinan anak
pada kondisi normal. Berbagai faktor yang melatar belakangi yaitu faktor ekonomi, pola
pikir atau mindset, kultur masyarakat, dan perilaku seks bebas.
Penutupan Sekolah dan Perkawinan Anak di tengah Pandemi Covid-19 sangat
relavan sebab telah serta merta mengubah pola hidup tatanan kehidupan masyarakat.
Dimana perubahan sistem pembelajaran kini menjadi pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau
secara daring (online), namun sayangnya masih sulit untuk dilaksanakan secara optimal.
Bahkan anak didik, sekolah, maupun keluarga pun banyak yang tidak siap akan

8|Maraknya Pernikahan dini provinsi sumatera utara era covid


19
perubahan pembelajaran yang ada dan harus beradaptasi dengan menerapkan kebiasaan-
kebiasaan baru.
Penutupan sekolah dengan situasi ekonomi memburuk juga membuat banyak
anak dianggap sebagai beban keluarga. Kondisi seperti ini telah memaksa orang tua
membiarkan anaknya menikah. Berdasarkan Kementerian PPPA tercatat bahwa angka
perkawinan anak meningkat dari tahun 2019 hingga Juni 2020 menjadi 24 ribu saat
pandemi (Kementerian PPN/Bappenas, 2020). 
Faktanya, kebijakan penutupan sekolah banyak orang tua merasa kebingungan
untuk melakukan pembelajaran anak di rumah. Tidak hanya itu, peningkatan angka
perkawinan dini terjadi karena terbatasnya ekonomi, para orang tua tidak sanggup untuk
membeli gadget (handphone) serta kuota untuk pembelajaran daring (online) meskipun
sudah mendapatkan bantuan kuota dari Kemendikbud, nampaknya belum sepenuhnya
mencukupi. Sehingga pernikahan inilah yang menjadi titik awal solusi dari permasalahan
tersebut.
Padahal, pernikahan bukan siapa cepat dia dapat, pernikahan bukan sarana
sebagai wahana untuk menyatukan dua insan yang berbeda, akan tetapi pernikahan itu
merupakan sunnahtullah karena setiap makhluk diciptakan secara berpasang-pasangan.
Pernikahan juga bukan melulu soal kesenangan semata karena didalamnya penuh dengan
perjuangan yang tiada hentinya. 
Melihat realitas permasalahan tersebut peran sosiolog tentunya dapat memberikan
solusi untuk mengatasi pernikahan dini salah satunya melalui penguatan, pemahaman,
dan peran dari orang tua, keluarga, sekolah, lembaga organisasi atau kemasyarakatan dan
sebagainya. Di samping itu, Pencegahan pernikahan dini juga dapat dilakukan dengan
cara mengubah pola pikir (mindset) masyarakat mengenai perlu dan pentingnya
pendidikan sehingga mereka tidak terburu-buru menikahkan anak, mengadakan
penyuluhan seperti mensosialisasikan antisipasi pernikahan dini melalui berbagai media
pada setiap daerah. Sedangkan untuk menekan angka pernikahan dini bisa ditekan
melalui pengoptimalan program KB, berupa perencanaan dalam proses keluarga, mulai
dari perencanaan pendidikan anak, kesehatan keluarga, dan ekonomi keluarga.

B. Pencegahan Agar Turunnya Angka Pernikahan Dini Pada Era Covid 19 Ini
Perjuangan menurunkan angka perkawinan anak mendapatkan titik terang ketika
Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) direvisi
pada tahun 2019. Dalam revisi UU tersebut, negara menaikkan usia minimal calon
pengantin menjadi 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Sebelumnya,
perkawinan dapat diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak
wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Ketentuan usia tersebut memungkinkan
terjadinya perkawinan anak perempuan yang berkorelasi terhadap tingginya
diskriminasi terhadap anak perempuan. Akibatnya di Indonesia, 1 dari 9 anak

9|Maraknya Pernikahan dini provinsi sumatera utara era covid


19
perempuan menikah sebelum usia 18 tahun di tahun 2018 (UNICEF Indonesia et al.,
2020a: iii). Dengan adanya revisi UU Perkawinan maka selaras dengan UU
Perlindungan Anak dalam upaya mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak.
Meskipun begitu, baru Provinsi Nusa Tenggara Barat yang sudah memiliki peraturan
pelaksananya, yaitu Peraturan Daerah (Perda) Pencegahan Perkawinan Anak di
Provinsi Nusa Tenggara Barat yang diterbitkan pada tanggal 29 Januari 2021 lalu. Ini
adalah perda provinsi pertama di Indonesia yang mengatur perkawinan anak.
Peraturan ini memperkuat Perda Provinsi NTB No. 8 Tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak yang menyinggung
pengembangan program pendewasaan usia perkawinan sebagai salah satu upaya
perlindungan perempuan dan anak. Strategi lain yang secara tidak langsung
mendorong penurunan perkawinan anak berfokus pada komunikasi, informasi, dan
edukasi dilakukan oleh berbagai instansi, antara lain Kementerian PPPA,
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes
PDTT) bekerja sama dengan Badan Pengembangan Hukum Nasional (BPHN) dan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) baik melalui
advokasi hukum, promosi kesehatan reproduksi, maupun sosialisasi pencegahan
perkawinan anak kepada masyarakat. Sedangkan di Sumatera Utara sampai saat ini
belum ada peraturan daerah yang dibuat seperti itu, seharusnya dibuat juga aturan
seperti itu
Dengan adanya aturan tersebut tentunya pemerintah telah memikirkan dampak yang
terjadiketika seseorang menikah di usia yang terlalu dini. Akan tetapi yang terjadi di
lingkungan masyarakat kini masih banyak orang yang menikah di usia dini tanpa
memiliki wawasan tentang pernikahan.
Pernikahan bisa dikategorikan sebagai pernikahan dini bila orang tersebut
berumur dibawah 19 tahun atau dikatakan masih remaja. Dampak negatif pernikahan
dini lebih dominan daripada dampak positifnya, karenabisa berdampak pada
kesehatan ibu, kematian bayi, kurangnya gizi pada anak, dan banyaknya anak putus
sekolah sehingga bertambahnya angka pengangguran dan menurunnya kualitas SDM
di Indonesia.
Dimasa pandemi saat ini, tekanan ekonomi jangka panjang menuntut para orang
tua untuk menikahkan anak perempuannya demi mengurangi jumlah anak yang harus
ditanggung. Tentu pernikahan dini bukan solusi yang tepat untuk menurunkan
tekanan ekonomi yang dihadapi suatu keluarga.
Dalam catatan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, terdapat 34.000
permohonan dispensasi yang diajukan pada Januari hingga Juni 2020. Sebanyak 97%
permohonan dikabulkan. Kendati usia pernikahan telah dibatasi minimal 19 tahun,
namun 60% yang mengajukan adalah anak di bawah 18 tahun.
Sejumlah faktor yang melatarbelakangi pernikahan dini di masa pandemi Covid-19
dan banyaknya dampak negatif yang didapat, maka penting bagi pemerintah dan

10 | M a r a k n y a P e r n i k a h a n d i n i p r o v i n s i s u m a t e r a u t a r a e r a c o v i d
19
masyarakat untuk menahan tingginya kasus pernikahan dini dengan berbagai cara.
Terdapat beberapa cara yang dapat mencegah terjadinya pernikahan dini seperti,
memberdayakan anak dengan informasi dan keterampilan, mendidik dan memberikan
wawasan kepada para orang tua untuk menciptakan lingkungan yang baik,
meningkatkan kualitas pendidikan formal bagi anak, mengedukasi anak terkait
kesehatan dan reproduksi, dan menawarkandukungan ekonomi kepada anak dan
keluarganya.
Oleh karena itu, kita patut bersyukur atas penetapan minimal usia 19 tahun yang
dibuat oleh pemerintah. Lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar dituntut untuk
memiliki wawasan luas mengenai pernikahan dini agar anak-anak tetap fokus
menggali potensi dirinya serta mampu mengatasi kesulitan sosial dan ekonomi.

11 | M a r a k n y a P e r n i k a h a n d i n i p r o v i n s i s u m a t e r a u t a r a e r a c o v i d
19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam maraknya pernikahan dini ini , mempunyai penyebab apa yang angka
membuat pernikahan dini semakin terus melonjak tinggi , mengingat wabah pandemi
Covid-19 hingga kini belum usai, dimana berbagai dampak negatif yang telah dirasakan
tidak hanya lumpuhkan sektor ekonomi dan kesehatan semata, melainkan picu
peningkatan 10 juta anak melakukan pernikahan yang belum cukup umur atau yang biasa
disebut dengan pernikahan dini. Strategi lain yang secara tidak langsung mendorong
penurunan perkawinan anak berfokus pada komunikasi, informasi, dan edukasi dilakukan
oleh berbagai instansi, antara lain Kementerian PPPA, Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) bekerja sama dengan Badan
Pengembangan Hukum Nasional (BPHN) dan Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) baik melalui advokasi hukum, promosi kesehatan
reproduksi, maupun sosialisasi pencegahan perkawinan anak kepada masyarakat.
Terdapat beberapa cara yang dapat mencegah terjadinya pernikahan dini seperti,
memberdayakan anak dengan informasi dan keterampilan, mendidik dan memberikan
wawasan kepada para orang tua untuk menciptakan lingkungan yang baik, meningkatkan
kualitas pendidikan formal bagi anak, mengedukasi anak terkait kesehatan dan
reproduksi, dan menawarkandukungan ekonomi kepada anak dan keluarganya.

B. Saran
terdapat beberapa saran mengenai permasalahan mengenai perkawinan usia muda
dikalangan remaja, yaitu :
1. Untuk mengurangi pernikahan usia dini sebaiknya lebih ditingkatkan mutu pendidikan.
2. Fungsi dan peran keluarga harus lebih ditingkatkan dan diperhatikan karena dapat
memberikan kontribusi positif dalam mengurangi angka perkawinan usia muda dan
dampak negatif dari perkawinan usia muda itu sendiri, melalui pola asuh proteksi anak.
3. Diharapkan kepada para remaja kiranya dapat menghindari pola pergaulan yang dapat
merusak diri.
4. Agar perkawinan pada usia dini yang terjadi di masyarakat tidak semakin meningkat,
sebagai orangtua perlu terus menerus melakukan pendampingan pada anak agar dapat
tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya.
5. Bagi aparat pemerintah, kiranya dapat membuat program-program yang dapat
membantu memperkecil angka pernikahan dini, serta program lainnya yang bisa
menjauhkan remaja untuk berbuat zina. Untuk itu para aparat pemerintah dan masyarakat
lebih peduli dengan lingkungan sekitar dan tegas menegakkan hukum.

12 | M a r a k n y a P e r n i k a h a n d i n i p r o v i n s i s u m a t e r a u t a r a e r a c o v i d
19
DAFTAR PUSTAKA

Anita, 2008. Faktor-Faktor Penyebab Perkawinan Usia Muda dan Pengaruhnya


terhadap Rumah Tangga.

Fatawie Yusuf, 2013. Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama dan Negara.

Sumiharjo, 2009. Perkawinan Dini dan Implikasinya.

http://digilib.unimus.ac.id/

http://siat.ung.ac.id/

http://scholar.unand.ac.id/

https://kabarbangka.com/

https://www.unpad.ac.id/

https://berkas.dpr.go.id/

https://wawasanproklamator.com/

https://kawanhukum.id/

https://www.merdeka.com/

https://medan.tribunnews.com/

https://www.unicef.org/

13 | M a r a k n y a P e r n i k a h a n d i n i p r o v i n s i s u m a t e r a u t a r a e r a c o v i d
19

Anda mungkin juga menyukai