PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia
selalu berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik
dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil. Hidup dalam kelompok tentulah tidak
mudah. Apalagi seperti kebhinekaan yang ada di Indonesia. Untuk menciptakan kondisi
kehidupan yang harmonis anggota masyarakat yang berbeda dari adat, agama, ras dan
sebagainya haruslah saling menghormati dan menghargai untuk mencapai Indonesia lebih baik.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk lebih mengerti dan memahami bagaimana pamong praja itu sebenarnya.
1.2.2 Tujuan Khusus :
1. Meningkatkan pengetahuan tentang pamong praja,
2. Meningkatkan kemampuan dalam menganalisa permasalahan yang terjadi, dan
3. Memenuhi tugas dari dosen.
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Kapabalitas
Kapabilitas adalah gambaran kemampuan diri si pemimpin baik intelektual maupun moral,
yang dapat dilihat dari catatan jejak (track record) pendidikannya maupun jejak sikap dan
perilakunya selama ini. Pemimpin yang baik tidak akan muncul secara tiba-tiba, tetapi melalui
proses perjalanan yang panjang.
Ada pula pendapat lain menurut Akhmat Sudrajat menghubungkan kapabalitas dengan
kata kecakapan. Setiap individu memiliki kecakapan yang berbeda-beda dalam melakukan
suatu tindakan. Kecakapan ini mempengaruhi potensi yang ada dalam diri individu
tersebut. Proses pembelajaran mengharuskan seseorang mengoptimalkan segala
kecakapan yang dimiliki.
3. Nilai atau norma (kekatan yang mengikat), Fungsi kbhinekaan dan ketunggalikaan),
5. Struktur kepamongprajaan,
6. Profesi pemerintahan,
7. Pendidikan kepamongprajaan.
Sejalan dengan pandangan Taliziduhu Ndaha di atas dan memperhatikan sejarah dan
1. Profesi , yakni merupakan pekerjaan yang memerlukan kompetensi tertentu, yakni qualified
leadership dan managerial administratif, sehingga diperlukan pendidikan khusus pamong praja.
2. Struktur dalam pemerintahan daerah, yakni level pemerintahan pada lini kewilayahan, seperti
lurah/kades, camat, bupati/walikota dan gubernur (termasuk satuan kerja perangkat Gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat) yang melaksanakan fungsi pemerintahan umum dalam hal pembinaan wilayah,
3. Institusi Pendidikan, yakni pendidikan yang khusus menyelenggarakan proses belajar mengajar yang
4. Perangkat nilai, yakni suatu rangkaian unit nilai-nilai yang menjadi enersi yang menguatkan semangat
pengabdian aparat sebagai abdi Negara dan masyarakat sebagaimana dalam “Hasta Budhi Bhakti”
sebagai pedoman atau guidance penyelenggara pemerintahan yang bersumber dari leluhur karena
5. Instrumen keutuhan berbangsa, yakni keberadaan pamong praja tidak saja menjadi mesin birokrasi
dalam pelayanan pemerintahan, tapi menjadi perekat Negara kesatuan Republik Indonesia;
KORPS PAMONG PRAJA) sebagai landasan dan mencerminkan kapabalitas seorang praja dalam
mengabdi bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Isi dari HASTA BUDI BHAKTI (KODE
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Krisis Kepemimpinan di Indonesia
Hingga saat ini, belum terlihat kepemimpinan di Indonesia yang mampu untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada di Indonesia. Dari beragam krisis yang ada, seperti
krisis ekonomi, krisis politik, krisis sosial, krisis budaya hingga krisis agama. Selain itu,
Kepemimpinan di Indonesia juga belum ada yang bisa untuk melepaskan persoalan kemiskinan,
pengangguran, keterbelakangan, ketidak adilan, kekerasan, hingga penyalah gunaan
kekuasaan yang seakan-akan tidak mau beranjak dari negri ini. Praktek KKN makin merajalela
di negeri ini.
Saat ini negara membutuhkan Kepemimpinan dari seorang pemimpin yang berani, tegas,
dan pandai untuk dapat menemukan solusi atas permasalahan yang dialami oleh “Rakyat”.
Bukan dari seorang pemimpin yang loyo dan hanya bisa turut bersedih atas permasalahan yang
di alami rakyat tetapi tidak bisa untuk memberikan solusi. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh
Ahli filsafat dan tokoh agama, Romo Franz magnis Suseno.
Didalam banyak kesempatan, sering kita dengar bahwa Negeri ini sudah kehilangan figur
kepemimpinan, generasi yang ada sekarang tidak memiliki panutan yang bisa dijadikan sebagai
sebuah gambaran citra diri yang di inginkannya. Walaupun dalam pelajaran sejarah atau
pendidikan kewarganegaraa yang diberikan disekolah-sekolah, para siswa diberikan gambaran
sejarah para pejuang bangsa, mulai dari zaman penjajahan, sampai perjuangan kemerdekaan,
proklamasi dan seterusnya. tetapi usaha yang dilakukan oleh para pengajar itu tidak dapat
mengisi figur pemimpinan bangsa didalam otak para generasi muda tersebut.
Jika kita mencoba merefleksikan kembali kepada perjalanan bangsa ini, dimana diawal
berdirinya negara ini dipimpin oleh seorang tokoh yang sangat dicintai oleh rakyat dimasa
pemerintahannya, yaitu Bung Karno. Bung Karno sangat berjasa dalam memperjuangkan
berdirinya negara ini, mulai dari zaman perjuangan, proklamasi, dan turut serta
merancang bentuk sistem pemerintahan. Memang ada pasang surut dalam perjuangannya,
tetapi tidak dapat dinisbikan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Bung Karno sangat
bermanfaat bagi bangsa ini. Kemudian citra Bung Karno luluh lantak karena adanya petaka
Nasional yang ditandai oleh adanya gerakan G30S. setelah itu citra Bung Karno merosot,
hancur lebur dengan berjalannya waktu, sebagai efek sampingan tindakan-tindakan reflesif
pemerintahan orde baru.
Kemudian Bangsa ini memuja-muja Pak Harto sebagai sebuah figur yang membanggakan,
sebagai seorang tokoh yang memiliki kemampuan yang luar biasa untuk mengisi kemerdekaan
bangsa ini dalam bentuk pembangunan. seluruh aspek kehidupan di negeri ini mengalami
kemajuan pesat selama pemerintahan Pak Harto, pembanguan fisik terlihat dimana-mana.
Tingkat pendidikan masyarakat juga semakin meningkat. tentu saja hal ini merupakan hasil
perjuangan yang dilakukan dengan format tertentu dengan melakukan tindakan-tindakan yang
diperlukan untuk stabilitas nasional. Dengan adanya stabilitas, maka pembangunan dapat
dilakukan dengan baik. Tentu saja ada efek-efek negatif dari format pembangunan yang
dilakukan Pak harto ini. Dengan gerakan mahasiswa yang didorong oleh beberapa tokoh tokoh
nasional, akhirnya Pak Harto mengundurkan diri.
Setelah pemilu 1999, Sidang Umum MPR mengangkat Gus Dur sebagai Presiden ke 4.
tetapi tidak lama setelah itu, MPR yang sama menjatuhkan Gus Dur dengan alasan-alasan
tertentu. Habibie dan Megawati tidak dapat disebut sebagai pemimpin nomor satu di negeri ini,
karena keduanya hanya melanjutkan kepemimpinan presiden yang berhenti dan diberhentikan.
Pemilu 2004 dan pemilu 2009 yang merupakan pemilu dengan format pemilihan langsung
terhadap kepala negara tersebut, telah menghasilkan SBY- JK ( pemilu 2004) dan SBY-
Boediono (2009) sebagai pemimpin negeri ini. pelaksanaan pemiliu dilaksanakan dengan
lancar, walaupun ada hambatan disana-sini, tetapi secara umum pemilu dilaksanakan dengan
baik. SBY merupakan pemimpin yang masih dapat dibanggakan oleh bangsa Indonesia saat ini.
sebagai presiden yang dihasilkan dari sebuah pemilihan langsung oleh rakyat, jadi sudah
sepantasnyalah rakyat Indonesia memiliki rasa kecintaan kepada pemimpinanya.
3.2 Pamong Praja Sebagai Agent Of Change
Strategi pengembangan karakter kepemimpinan melalui basis rekrutmen pamong praja hari ini
emosional dan spiritual menjadi strategi yang tak terhindarkan. Mendidik pamong praja melalui
penanaman kekuasaan yang bersifat de jure semata (law centris) tak menjawab dinamika
perkembangan politik pemerintahan dewasa ini. Faktanya, kaderisasi elit dalam masyarakat melalui
Tingkat legitimasi terhadap kepemimpinan politik pemerintahan mengalami degradasi baik dari
aspek legitimasi religi, elit maupun demokrasi. Hal ini ditandai oleh susutnya kader partai dengan cara
merekrut artis dan birokrat dalam sejumlah kasus pemilihan anggota legislatif dan kepala daerah.
Akibatnya, banyak lulusan APDN, IIP, STPDN dan IPDN yang sekalipun muda namun di nilai
masyarakat mampu mengemban misi pemerintahan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Ini menunjukkan bahwa akseptabilitas moral masyarakat (legitimasi) terhadap alumni mengalami
perluasan tidak saja dalam konteks penegasan kekuasaan secara de jure, tetapi juga de fakto.
Asumsi ini di dukung oleh banyaknya pendaftaran kandidat Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah dalam 5 tahun terakhir yang berasal dari kalangan alumni pendidikan Pamong Praja. Tabel
dibawah ini menunjukkan kontribusi kader Pamong Praja aktif dan non aktif dalam jabatan publik pada 5
tahun terakhir ;
Kontribusi Pamong Praja Aktif dan Non Aktif Dalam Jabatan Politik 2005-2010 :
Daerah
DKI Jakarta - - - -
Jawa Barat 3 1 - 4
Jawa Timur - - - -
Jawa Tengah - - - -
Sulawesi 3 2 5 10
Selatan
Sulawesi Barat 1 1 3 5
Sulawesi 1 - 2 3
Tengah
Sulawesi 1 - 2 3
Tenggara
Sulawesi Utara - - 2 2
Gorontalo - - 3 3
Kalimantan 1 4 4 9
Barat
Kalimantan 1 1 2 4
Timur
Kalimantan 1 1 1 3
Tengah
Kalimantan - 1 2 3
Selatan
Sumatera Barat 2 1 5 8
Sumatera Utara 3 1 - 4
Sumatera 1 - - 1
Selatan
Papua 2 - - -
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pemahaman terhadap Pamong Praja yang mensyaratkan
kualifikasi kepemimpinan dan kemampuan managerial seperti dikemukakan Ndraha dalam Ismail
(2010:8) cukup relevan dalam pemaknaan kekuasaan de fakto dan de jure. Kekuasaan de
managerial.
Oleh karena kita percaya bahwa penumbuhan karakter kepemimpinan (leadership) seyogyanya
berhadapan dengan basis masyarakat terkecil hingga yang paling luas guna mendorong tumbuhnya
kekuasaan de fakto di atas kekuasaan de jure. Itulah mengapa kita cenderung melarang alumni
STPDN/IPDN setelah lulus menjadi ajudan kepala daerah, sekalipun penting untuk menumbuhkan
karakter managerial pada waktunya. Tetapi dengan menempatkan alumni di level Desa, Kelurahan dan
Kecamatan sebagai entitas pemerintahan paling bawah, mereka relatif berhadapan langsung dengan
basis sosial yang dengan sendirinya dapat mengembangkan karakter kepemimpinan secara de fakto,
aspek legitimasi religi, elit maupun demokrasi. Hal ini ditandai oleh susutnya kader partai dengan cara
merekrut artis dan birokrat dalam sejumlah kasus pemilihan anggota legislatif dan kepala daerah.
Akibatnya, banyak lulusan APDN, IIP, STPDN dan IPDN yang sekalipun muda namun di nilai
masyarakat mampu mengemban misi pemerintahan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Ini menunjukkan bahwa akseptabilitas moral masyarakat (legitimasi) terhadap alumni mengalami
perluasan tidak saja dalam konteks penegasan kekuasaan secara de jure, tetapi juga de fakto.
4.2 Saran
Pendidikan kepamongprajaan yang kita kenal bernama IPDN harus didukung sepenuhnya
oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri, karena IPDN bisa dan mampu
menjadi solusi dalam krisis kepemimpinan yang melanda Indonesia. Sistem pendidikan IPDN
yang mengenal sistem JARLATSUH akan membentuk karakter seorang anak bangsa untuk
menjadi pemimpin yang mampu menjawab permasalahan yang multidimensi.
Masyarakat juga harus bisa melupakan kekerasan yang pernah terjadi di IPDN.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan, 2008. Kenang-Kenangan Pangreh Praja, Balai Pustaka, Jakarta .
Ilham, Muhammad, 2008. Manajemen Strategis Peningkatan Mutu Pendidikan Kepamongprajaan, Indra
Prahasta, Bandung
M Giroth, Lexie, 2004. Edukasi dan Profesi Pamong Praja, STPDN Press, Bandung
…………………….., 2009. Status dan Peran Pendidikan Pamong Praja Indonesia, Indra Prahasta,
Bandung
Suryaninggrat, Bayu, 1980. Pamong Praja dan Kepala Wilayah, Aksara Baru, Bandung
Tjokrowinoto, Meljarto, 2010. Birokrasi dalam Polemik, Pustaka Pelajar Unismuh, Malang