Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini
dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikan dengan baik.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Pelayanan Publik
Pemerintahan Daerah, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai
sumber.Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan.Baik itu yang
datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar.Namun dengan penuh kesabaran
dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Makalah ini memuat tentang “Pengaruh Budaya Feodal yang Menyebabkan Sulitnya
Good Governance Sulit Diterapkan di Indonesia” Walaupun makalah ini mungkin kurang
sempurna tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen Ni Wayan Supriliani, S.Sos.,
M.AP. yang telah membimbing penyusun agar dapat mengerti tentang bagaimana cara kami
menyusun Makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan.Penyusun mohon untuk saran
dan kritiknya. Terima kasih.

Denpasar, September 2019

Penulis

14
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………………………1

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………………………………….2

BAB I

1.1 LATAR BELAKANG……………………………………………………………………………………………………3

1.2 TUJUAN MASALAH……………………………………………………………………………………………………4

1.3 RUMUSAN MASALAH………………………………………………………………………………………………...4

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………………………………………...5

BAB III KESIMPULAN……………………………………………………………………………………………………13

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………………………………..14

14
BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Feodalisme sendiri pada dasarnya ialah struktur pendelagasian kekuasaan


sosial dan politik yang dijalankan oleh kalangan bangsawan untuk mengendalikan
berbagai wilayah yang diklaimnya melalui kerja sama dengan pimpinan-pimpinan
lokal sebagai mitra, namun sekarang lebih mengarah pada golongan atau kasta
dalam suatu posisi kalangan masyarakat.

Istilah feodalisme sendiri di Indonesia dipakai sejak abad ke-17. Kondisi jiwa
feodal di indonesia bisa diambil contoh dari zaman demokrasi saat ini, dimana
orang-orang di indonesia saling bersaing untuk mendapatkan satu kursi untuk
menduduki jabatan hanya sebagai untuk mendapatkan barisan kasta golongan atas
di masyarakat sebagai penguasa, dan tentu bukan untuk kepentingan utamanya
untuk masyarakat sendiri.

Semenjak tahun 1960-an, para sejarawan memperluas penggunaan istilah


feodalisme dengan memasukkan pula aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di
lahan yang dikuasai oleh tuan tanah, sehingga muncul istilah “masyarakat feodal”.
Karena penggunaan istilah feodalisme semakin lama semakin berkonotasi negatif
oleh para pengkritiknya, istilah ini sekarang dianggap tidak membantu memperjelas
keadaan dan dianjurkan untuk tidak dipakai dipakai tanpa kualifikasi yang jelas.
Dalam penggunaan bahasa sehari-hari di Indonesia, seringkali kata ini digunakan
untuk merujuk pada perilaku-perilaku negatif yang mirip dengan perilaku para
penguasa yang lalim, seperti ‘kolot’, ‘selalu ingin dihormati’, atau ‘bertahan pada
nilai-nilai lama yang sudah banyak ditinggalkan’. Arti ini sudah banyak yang
melenceng dari pengertian politiknya dalam dunia modern feodalisme dimaknai
dengan orang yang memiliki arogansi jabatan, maksudnya arogansi muncul karena
jabatan. Sering kali kita jumpai di beberapa tempat di Indonesia, hal ini dalam teori
sosiologi mengatakan bahwa, manusia memiliki tingkat arogansi karena kedudukan

14
yang dimiliki. Secara teori jabatan adalah amanah ini yang dikemukakan oleh Imam
Umar bin Abdul Aziz dalm masa pemerintahannya, tetapi teori ini sulit diaplikasikan
di masyarakat Indonesia yang sering mengartikan jabatan adalah kekuasaan, ini
yang memunculkan sifat feodal sehingga arogan, keserakahan dan ketamakan
tertanam menjadi satu budaya yang dilestarikan. Seandainya saja masa
pemerintahan Umar bin Abdul Azis tentu saja pemerintahan atau pemimpin adalah
bagian dari rakyat, bukan pemimpin adalah atasan rakyat.

1.2Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian feodal
2. Mengetahui pengertian good governance
3. Mengetahui tentang pengaruh budaya feodal di pemerintahan Indonesia
4. Mengetahui tentang penyebab sulitnya good governance diterapkan di
Indonesia
1.3Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian budaya feodal?
2. Apakah pengertian good governance?
3. Bagaimana pengaruh budaya feodal di pemerintahan Indonesia?
4. Apakah yang menyebabkan sulitnya good governance diterapkan di
Indonesia?

14
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Feodal
Pengertian feodal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
berhubungan dengan susunan masyarakat yang dikuasai oleh kaum
bangsawan; mengenai kaum bangsawan (tentang sikap, cara hidup, dan
sebagainya); mengenai cara pemilikan tanah pada abad pertengahan di Eropa
Sedangkan, pengertian feodalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan
bangsawan; sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan
bukan mengagungkan prestasi kerja; sistem di Eropa pada Abad Pertengahan yang
ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah.
2. Pengertian Good Governance
Good Governance adalah suatu peyelegaraan manajemen pembangunan yang
solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang
efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik
secara politik maupun secara administratif menjalankan disiplin anggaran serta
penciptaan legal dan politican framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
Tata kepemimpinan yang baik (Good Governance) merupakan suatu konsep
yang akhir-akhir ini dipergunakan secara regular dalam ilmu politik dan
administrasi publik. Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminology
demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia, dan
pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Pada akhir dasa warsa yang lalu,
konsep good governance ini lebih dekat dipergunakan dalam reformasi sector public.
Di dalam disiplin atau profesi manajemen public konsep ini dipandang sebagai suatu
aspek dalam paradigma baru ilmu administrasi publik. Paradigma baru ini menekan
pada peranan manajer publik agar memberikan pelayanan yang berkualitas kepada
masyarakat, mendorong meningkatkan otonomi manajerial terutama sekali
mengurangi campur tangan control yang dilakukan oleh pemerintah pusat,
transparansi, akuntabilitas publik, dan diciptakan pengelolaan manajerial yang
bersih bebas dari korupsi.

14
United Nations Development Programme (UNDP) merumuskan istilah
governance sebagai suatu exercise dari kewenangan politik, ekonomi, dan
admnistrasi untuk menata, mengatur, dan mengelola masalah-masalah sosialnya
(UNDP, 1997). Istilah governance menunjukkan suatu proses dimana rakyat bisa
mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak
hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi,
integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian, jelas sekali bahwa
kemampuan suatu negara mencapai tujuan-tujuan pembangunan itu sangat
tergantung pada kualitas tata kepemerintahannya dimana pemerintah melakukan
interaksi dengan organisasi-organisasi komersial dan civil society.
Seperti dikatakan di atas, bahwa tata kepemerintahan yang baik itu
merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan,
kohesi dan keseimbangan peran serta adanya saling mengontrol yang dilakukan
oleh tiga komponen, yakni pemerintah (government), rakyat (citizen) atau civil
society, dan usahawan (business) yang berada di sector swasta (Taschereau dan
Campos, 1997; UNDP, 1997). Ketiga komponen itu mempunyai tata hubungan yang
sama dan sederajat. Kesamaan derajat ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya
menciptakan tata kepemerintahan yang baik tersebut.
3. Pengaruh Budaya Feodal di Pemerintahan Indonesia
Dalam buku yang berjudul SIstem Administrasi Negara Republik Indonesia
(SANRI) yang di tulis oleh Drs. H. Inu Kencana Syaffie, M. Si., menyebutkan bahwa
karakteristik dan perilaku birokrat yang akhir-akhir ini menjadi patologis (penyakit)
dalam pemerintahan, diagnosisnya adalah salah satunya “Budaya feodalistik masih
terasa.”
Sebelum bangsa kita dijajah oleh Belanda, Inggris, Portugis, dan Jepang,
beberapa suku bangsa kita telah mengenal berbagai budaya kerajaan. Dalam budaya
ini kawula begitu segan serta cinta kepada gustinya. Setelah penjajah meninggalkan
negeri ini, bangsa asing itu pun begitu menjadi momok yang serba ditakuti, baik
dalam sanksi-sanksi maupun intimidasi kaum penjajah.
Oleh karena itu, pemerintah baik di pusat maupun di daerah dianggap seakan
mengambil alih fungsi kerajaan. Jadi, bagaimanapun kecilnya gaji suatu kantor
pemerintah tetap saja dirindukan sebagai idola pekerjaan. Atau bagi yang tidak

14
memperoleh kedudukan tetap saja mengemisi kehadirannya menjadi pegawai
negeri sipil.
Pengaruh budaya feodalistik ini yaitu hubungan antara bawahan terhadap
atasan, akan memunculkan pengkultusan. Itulah sebabnya, setiap kegiatan menjadi
abash bila dianggap sudah mendapat restu dari atas atau dari pusat kekuasaan
pemerintah.
Dalam sejarah Feodalisme, sekelompok orang yang disebut bangsawan yang
menguasai suatu wilayah, memiliki hak atas segala yang ada di wilayah tersebut.
Dengan kata lain, di dalam feodalisme, kedaulatan rakyat berada di tangan satu
orang atau sekelompok orang yang mengambil hak kemerdekaan individual
masyarakat dalam suatu komunitas dan ini bertentangan dengan demokrasi.
Berikut dampak negatif adanya feodalisme dalam masyarakat yang perlu
diperhatikan :

 Bidang Politik
Munculnya kekuasan yang terpusat hanya pada sekelompok orang tertentu
yang memiliki pangkat dan jabatan. Semua urusan pemerintah tidak boleh
dicampuri rakyat tetapi harus selalu mematuhi perintah. Saat ini, mayoritas
penguasa saat ini merupakan pihak-pihak yang memiliki kondisi strategis
yang memungkinkan untuk berkuasa. Yang menjadi pejabat atau penguasa
tentunya bukan dari golongan yang masih muda melainkan, masyarakat
Indonesia masih terbayang-bayang dengan pemerintah yang dipimpin oleh
seorang yang memiliki kharisma atau wibawa. Akan tetapi, ini menjadi
boomerang. Para pemimpi yang dianggap ‘dewasa’ dan mampu menjadi
pemimpin kini hanyalah menjadi seorang yang merugikan bawahannya,
akibat dari prinsip yang mengganggap bahwa seorang pemimpin merupakan
orang yang harus dihormati dan kebijakannya tidak bisa diganggu gugat. Hal
ini berarti kepemimpinan yang dianut adalah kepemimpinan otoriter.

 Bidang Agama
Masyarakat feodal menjadikan kepercayaan animisme dan dinamisme
mereka tidak dapat meninggalkan kebiasaan itu. Oleh sebab itu, banyak kita
jumpai agama atau kepercayaan serupa, yang lebih kita kenal dengan istilah

14
kejawen (Hindhu Jawa). Dan kita juga masih sering menjumpai orang dengan
pola pikir terbelakang, yang masih menyertakan tradisi-tradisi kejawen
kedalam praktik agama Islam. Pola pikir masyarakat kita masih cenderung
lamban. Contohnya kita merupakan masyarakat agraris, mayoritas tidak
terlalu mengedepankan orientasi waktu. Oleh sebab itu, masyarakat kita
terkenal malas untuk bekerja, dan menjunjung tinggi kedisplinan , sebaliknya
kita lebih menyukai hal-hal yang semu atau santai.

 Bidang Kebudayaan
Adanya asas setia dan tunduk dalam diri masyarakat kepada penguasa yang
membuat daya saing dalam masyarakat menjadi terbatas oleh karena rasa
takut dan segan kepada atasan atau penguasa. Masyarakat menjadi pasrah
dan tidak suka bekerja, mereka berpikr untuk menurut kepada penguasa dan
mereka mendapat yang terbaik. Maka timbullah mental penjilat dalam
budaya feodalisme dimana mental dan tekad sulit terwujud hanya karena
berharap pada atasan. Sekarang itu feodalisme tercermin dalam bentuk nilai
yang tumbuh dipikiran masyarakat yang selalu berorientasi pada orang-
orang yang memiliki pangkat tinggi. Masyarakat tanpa sadar selalu meminta
pendapat dan restu untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu dan itu
menunjukkan adanya indikator ketergantungan kepada penguasa secara
berlebihan.

14
4. Penyebab Sulitnya Good Governance diterapkan di Indonesia
Efendi (2005) mengungkapkan setidaknya ada beberapa hal mendasar yang
menjadi permasalahan dan harus diperbaiki dalam penerapan good governance,
antara lain :
 Integritas Pelaku Pemerintahan
Pelaku pemerintahan memiliki peran yang sangat penting dalam berhasil
atau tidaknya good governance yang ingin diterapkan. Integritas pelaku
pemerintahan yang tinggi akan bisa mencegah terjadinya penyimpangan-
penyimpangan, seperti korupsi, praktik suap dan penyimpangan-
penyimpangan lainnya. Integritas pelaku pemerintahan yang rendah
seringkali menjadi penyebab korupsi dan cara mengatasinya.
 Kondisi Politik Dalam Negeri
Jangan anggap sepele peran politik dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Politik bisa jadi membawa masalah dan menghambat dilaksanakannya good
governance di sebuah negara. Good governance akan sulit terwujud dalam
sebuah negara yang memegang konsep politik tidak atau kurang demokratis.
Misalnya, di Indonesia, yang termasuk negara demokrasi, masih cukup
banyak kasus yang terjadi akibat suara rakyat minoritas yang kurang
diperhatikan yang tidak menunjukkan ciri-ciri masyarakat demokratis.
 Kondisi Ekonomi Masyarakat
Krisis ekonomi di sebuah negara juga bisa menjadi permasalahan good
governance di Indonesia. Banyak masalah sosial yang muncul di masyarakat
akibat krisis ekonomi yang jika tidak segera diatasi bisa mengganggu kinerja
pemerintahan secara keseluruhan. Di Indonesia, hal ini masih sering terjadi,
misalnya dengan melonjaknya harga bahan makanan akibat kesalahan
pengambilan kebijakan ekspor dan impor.
 Kondisi Sosial Masyarakat
Sebagai salah satu wujud nyata dari berhasil atau tidaknya kebijakan
pemerintahan yang diterapkan yaitu adanya masyarakat yang solid dan
secara aktif berpartisipasi dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan
sebuah negara. Masyarakat diharapkan juga melakukan pengawasan dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Namun, pada kenyataannya masyarakat
masih tidak berdaya di depan negara dan masih ada banyak sekali contoh

14
konflik sosial dalam masyarakat yang terjadi di Indonesia, seperti konflik
antar suku, anarkisme kelompok dan lain sebagainya yang menjadi
permasalahan good governance di Indonesia.
 Sistem Hukum
Sistem hukum sudah jelas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
proses penyelenggaraan negara. Sistem hukum merupakan faktor yang
sangat penting dalam penerapan good governance. Sistem hukum yang
lemah akan bisa mempengaruhi kinerja pemerintahan secara siginifikan.
good governance akan sangat sulit diterapkan di negara yang memiliki sistem
hukum yang lemah. Hukum hendaknya tidak memandang jabatan atau
kedudukan seseorang di masyarakat, melainkan diterapkan sama tanpa
pandang bulu. Hal ini seringkali tidak diterapkan di Indonesia, seperti masih
adanya perlakuan spesial bagi para pejabat korup dan lain-lain.
Selain poin-poin yang telah disebutkan oleh Efendi di atas, masih ada banyak hal lain
yang menjadi permasalahan good governance di Indonesia. Jika kita ingin menelaah
lebih lanjut, misalnya pada proses akuntansi atau pelaporan keuangan negara, ada
beberapa hal lain yang menghambat good governance bisa diterapkan dan berhasil
di Indonesia. Hal-hal tersebut antara lain :
 Tidak Adanya Sistem Akuntansi Yang Handal
Di Indonesia, sistem akuntansi masih dianggap kurang handal dalam
mendukung proses pencatatan dan pelaporan keuangan. Hal ini pada
akhirnya menyebabkan pengendalian internal di pemerintahan daerah
menjadi lemah. Jika demikian, maka good governance pun akan sulit untuk
diterapkan.
 Kurangnya Sumber Daya Manusia Yang Mumpuni Di Bidangnya
Masih banyak daerah yang kekurangan sumber daya manusia yang memiliki
latar belakang pendidikan akuntansi. Selain itu, masih sangat sedikit sarjana
akuntansi yang sesuai kriteria yang tertarik untuk mengembangkan profesi
di pemerintahan daerah. Hal ini bisa jadi akibat rendahnya kompensasi atau
benefit yang ditawarkan kepada mereka.
 Belum Ada Standar Akuntansi Keuangan Publik Yang Baku
Selain permasalahan di atas, masih belum ada juga standar akuntansi
keuangan yang baku di sektor publik. Padahal hal ini sangat penting untuk

14
menjadi acuan dalam pembuatan laporan keuangan yang akan menjadi salah
satu mekanisme pengendalian. Dengan belum adanya standar yang baku ini,
proses transparansi pun masih sulit dilaksanakan karena
pertanggungjawaban keuangan tidak dapat ditampilkan secara kasat mata.
Masih banyak pertanggungjawaban yang direkayasa dengan pengeluaran-
pengeluaran fiktif dan hal ini sulit untuk dipertanggungjawabkan secara
transparan.

Sebagai contoh dari masalah ini misalnya pada kasus mafia pajak yang menyoroti
sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menggunakan hak angket. Hal ini
menunjukkan pejabat publik di bidang perpajakan tidak mampu melaksanakan
tugasnya dengan transparan dan bertanggung jawab kepada masyarakat. Selain itu,
ada juga kasus Bank Centuri yang hingga saat ini belum tuntas yang juga
menunjukkan good governance masih belum bisa diterapkan di Indonesia.

Dari semua permasalahan good governance yang disebutkan di atas, permasalahan


yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah di bidang integritas pelaku
pemerintahan, khususnya dalam hal praktik korupsi. Meski sudah ada undang-
undang tentang korupsi beserta hukumannya, di Indonesia, korupsi banyak terjadi
di tingkat otonomi daerah, dimana keberadaan otonomi daerah ini merupakan
perwujudan dari desentralisasi yang sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat melalui pemerataan pembangunan, meningkatkan daya saing
daerah, keadilan, dan kekhususan potensi dan keragaman di Indonesia.

Adanya kebijakan otonomi daerah ini membawa konsekuensi dalam


penyelenggaraan pemerintahan. Kelebihan dan kekurangan otonomi
daerah tersebut yaitu secara politik keberadaan otonomi daerah merupakan langkah
menuju demokrasi karena pemerintah bisa menjadi lebih dekat dengan rakyatnya
sehingga bisa membuat rakyat lebih merasakan keberadaan pemerintah. Selain
konsekuensi politik, terdapat juga konsekuensi secara ekonomi yaitu desentralisasi
diharapkan bisa menciptakan inovasi masyarakat dan memotivasi masyarakat agar
lebih produktif.

14
BAB III

KESIMPULAN

14
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Miftah Thoha, MPA. 2003. Tata Kepemerintahan yang Baik.

Drs. H. Inu Kencana Syaffie, M. Si. 2003. Karakteristik dan Perilaku Birokrat.

https://smpsma.com/apa-yang-dimaksud-dengan-feodalisme.html

https://www.kompasiana.com/www.kompasnino.com/55285d2c6ea8344c798b45b8/ant
ara-jabatan-dan-sikap-feodal-di-indonesia

http://ariskaputri88.blogspot.com/2014/10/sistem-feodalisme-dan-pengaruhnya-
bagi.html

https://guruppkn.com/permasalahan-good-governance-di-indonesia

14

Anda mungkin juga menyukai