BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia
selalu berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok
baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil. Hidup dalam kelompok tentulah
tidak mudah. Apalagi seperti kebhinekaan yang ada di Indonesia. Untuk menciptakan
kondisi kehidupan yang harmonis anggota masyarakat yang berbeda dari adat, agama, ras
dan sebagainya haruslah saling menghormati dan menghargai untuk mencapai Indonesia
lebih baik.
seperti
ulasan
lugas
David
Osborn
dalam
bukunya Reinventing
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Kapabalitas
Kapabilitas adalah gambaran kemampuan diri si pemimpin baik intelektual maupun
moral, yang dapat dilihat dari catatan jejak (track record) pendidikannya maupun jejak sikap
dan perilakunya selama ini. Pemimpin yang baik tidak akan muncul secara tiba-tiba, tetapi
melalui proses perjalanan yang panjang.
Ada pula pendapat lain menurut Akhmat Sudrajat menghubungkan kapabalitas
dengan kata kecakapan. Setiap individu memiliki kecakapan yang berbeda-beda
dalam melakukan suatu tindakan. Kecakapan ini mempengaruhi potensi yang ada
dalam
diri
individu
tersebut.
Proses
pembelajaran
mengharuskan seseorang
dengan
demikian
adalah
suatu
proses
penyelenggaraan
dan
pemberdayaan
masyarakat,
yang
dilakukan
oleh
sekelompok
paradigma
pemerintahan
yang
menempatkan
pemerintah
sebagai
pusat
kekuasasaan. Tapi ketika sistem pemerintahan berubah dan terjadi pergeseran paradigma
pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik, kewenangan untuk mengurus juga ada
pada rakyat, rakyat lebih mandiri, maka dengan kondisi ini tentunya pengertian pamong
praja sebagaimana awal berkembangnya sudah berbeda dengan kondisi saat ini, definsi
pamong praja sesuai dengan konteks dan jamannya perlu ditinjau ulang.
Jadi menurut penulis pamong praja adalah orang yang memiliki kemampuan lebih
dalam memberikan pelayanan, pengayoman dan pemberdayaan kepada masyarakat,
sehingga masyarakat bisa dan mampu menjadi lebih baik dan sejahtera sesuai dengan
amanat UUD 1945.
Ndraha
(2010),
mencoba
mengelaborasi
dan
merumuskan
esensi
pamong
praja
atau
kepamongprajaan
di
Indonesia,
maka
setidaknya
pembinaan
wilayah,
koordinasi
pemerintahan,
pengawasan
pemerintahan
dan
residual
pemerintahan;
3. Institusi Pendidikan, yakni pendidikan yang khusus menyelenggarakan proses belajar mengajar
yang outputnya dipersiapkan untuk menjadi pamong praja
4. Perangkat nilai, yakni suatu rangkaian unit nilai-nilai yang menjadi enersi yang menguatkan
semangat pengabdian aparat sebagai abdi Negara dan masyarakat sebagaimana dalam Hasta
Budhi Bhakti sebagai pedoman atauguidance penyelenggara pemerintahan yang bersumber dari
leluhur karena tumbuh dari tradisi pemerintahan yang pernah eksis;
5. Instrumen keutuhan berbangsa, yakni keberadaan pamong praja tidak saja menjadi mesin birokrasi
dalam pelayanan pemerintahan, tapi menjadi perekat Negara kesatuan Republik Indonesia;
a. memiliki daya inovasi yang tinggi, karena ciri utama seorang pemimpin adalah inovasinya;
b. memiliki keberanian untuk mengambil keputusan dan menanggung resiko dari keputusan
yang diambilnya;
c. memiliki sifat konsisten antara ucapan dan perbuatannya;
d. memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi;
e. memiliki rasa dan daya untuk melindungi bawahannya ataupun pengikutnya;
f. memiliki rasa dan daya untuk mengembangkan bawahannya.
Dalam
korps
pamong
praja
dikenal
juga
BHAKTI
(KODE
1) Korps Pamong Praja sebagai pengamal Pancasila dan pembela Negara Kesatuan Republik
Indonesia menjadi pengayom dari seluruh rakyat tanpa membedakan golongan, aliran dan
agama.
2) Korps Pamong Praja berkewajiban memberikan petunjuk dan bimbingan kepada rakyat
dalam pergaulan hidup bersama menuju ketertiban dan ketentraman umum.
3) Korps Pamong Praja merupakan penyuluh dalam gelap dan penolong di dalam penderitaan
bagi seluruh lapisan masyarakat sehingga tercapai ketenangan dan ketentraman lahir dan
batin.
4) Korps Pamong Praja membina semangat kehidupan masyarakat sehingga terjelma sifat
dan sikap dinamis, konstruktif, korektif.
5) Korps Pamong Praja bertugas menumbuhkan dan memupuk daya cipta rakyat menuju
kearah kesejahteraan masyarakat.
6) Korps Pamong Praja bertugas menampung dan mencarikan penyelesaian segala
persoalan hidup dan kehidupan rakyat sehari-hari sehingga diperlukan sifat sabar, tekun,
ulet dan bijaksana.
7) Korps Pamong Praja menjadi penggerak segala kegiatan dalam masyarakat menuju
tercapainya masyarakat yang adil dan makmur yang di ridhoi Tuhan Yang Maha Esa.
8) Korps Pamong Praja harus bertindak tegas, adil dan jujur dalam memberantas kejahatan
dan kemaksiatan tanpa pandang bulu, sebaliknya harus menjadi teladan dalam kebaikan
dan kemaslahatan.
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Krisis Kepemimpinan di Indonesia
Hingga saat ini, belum terlihat kepemimpinan di Indonesia yang mampu untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada di Indonesia. Dari beragam krisis yang ada, seperti
krisis ekonomi, krisis politik, krisis sosial, krisis budaya hingga krisis agama. Selain itu,
Kepemimpinan di Indonesia juga belum ada yang bisa untuk melepaskan persoalan
kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, ketidak adilan, kekerasan, hingga penyalah
gunaan kekuasaan yang seakan-akan tidak mau beranjak dari negri ini. Praktek KKN makin
merajalela di negeri ini.
Saat ini negara membutuhkan Kepemimpinan dari seorang pemimpin yang berani,
tegas, dan pandai untuk dapat menemukan solusi atas permasalahan yang dialami oleh
Rakyat. Bukan dari seorang pemimpin yang loyo dan hanya bisa turut bersedih atas
permasalahan yang di alami rakyat tetapi tidak bisa untuk memberikan solusi. Hal ini
seperti yang diungkapkan oleh Ahli filsafat dan tokoh agama, Romo Franz magnis Suseno.
Didalam banyak kesempatan, sering kita dengar bahwa Negeri ini sudah kehilangan
figur kepemimpinan, generasi yang ada sekarang tidak memiliki panutan yang bisa
dijadikan sebagai sebuah gambaran citra diri yang di inginkannya. Walaupun dalam
pelajaran sejarah atau pendidikan kewarganegaraa yang diberikan disekolah-sekolah, para
siswa diberikan gambaran sejarah para pejuang bangsa, mulai dari zaman penjajahan,
sampai perjuangan kemerdekaan, proklamasi dan seterusnya. tetapi usaha yang dilakukan
oleh para pengajar itu tidak dapat mengisi figur pemimpinan bangsa didalam otak para
generasi muda tersebut.
Jika kita mencoba merefleksikan kembali kepada perjalanan bangsa ini, dimana diawal
berdirinya negara ini dipimpin oleh seorang tokoh yang sangat dicintai oleh rakyat dimasa
pemerintahannya, yaitu Bung Karno. Bung Karno sangat berjasa dalam memperjuangkan
berdirinya negara ini, mulai dari zaman perjuangan, proklamasi, dan turut serta
merancangbentuk sistem pemerintahan. Memang ada pasang surut dalam perjuangannya,
tetapi tidak dapat dinisbikan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Bung Karno sangat
bermanfaat bagi bangsa ini. Kemudian citra Bung Karno luluh lantak karena adanya petaka
Nasional yang ditandai oleh adanya gerakan G30S. setelah itu citra Bung Karno merosot,
hancur lebur dengan berjalannya waktu, sebagai efek sampingan tindakan-tindakan reflesif
pemerintahan orde baru.
Kemudian Bangsa ini memuja-muja Pak Harto sebagai sebuah figur yang
membanggakan, sebagai seorang tokoh yang memiliki kemampuan yang luar biasa untuk
mengisi kemerdekaan bangsa ini dalam bentuk pembangunan. seluruh aspek kehidupan di
negeri ini mengalami kemajuan pesat selama pemerintahan Pak Harto, pembanguan fisik
terlihat dimana-mana. Tingkat pendidikan masyarakat juga semakin meningkat. tentu saja
hal ini merupakan hasil perjuangan yang dilakukan dengan format tertentu dengan
melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk stabilitas nasional. Dengan adanya
stabilitas, maka pembangunan dapat dilakukan dengan baik. Tentu saja ada efek-efek
negatif dari
Dengan gerakan
mahasiswa yang didorong oleh beberapa tokoh tokoh nasional, akhirnya Pak Harto
mengundurkan diri.
Setelah pemilu 1999, Sidang Umum MPR mengangkat Gus Dur sebagai Presiden ke 4.
tetapi tidak lama setelah itu, MPR yang sama menjatuhkan Gus Dur dengan alasan-alasan
tertentu. Habibie danMegawati tidak dapat disebut sebagai pemimpin nomor satu di negeri
ini, karena keduanya hanya melanjutkan kepemimpinan presiden yang berhenti dan
diberhentikan.
Pemilu 2004 dan pemilu 2009 yang merupakan pemilu dengan format pemilihan
langsung terhadap kepala negara tersebut, telah menghasilkan SBY- JK ( pemilu 2004) dan
SBY- Boediono (2009) sebagai pemimpin negeri ini. pelaksanaan pemiliu dilaksanakan
dengan lancar, walaupun ada hambatan disana-sini, tetapi secara umum pemilu
dilaksanakan dengan baik. SBY merupakan pemimpin yang masih dapat dibanggakan oleh
bangsa Indonesia saat ini. sebagai presiden yang dihasilkan dari sebuah pemilihan
langsung oleh rakyat, jadi sudah sepantasnyalah rakyat Indonesia memiliki rasa kecintaan
kepada pemimpinanya.
haruslah
di
evaluasi
kembali.
Pengembangan
karakter
kepemimpinan
melalui
aspek intelektualitas, emosional dan spiritual menjadi strategi yang tak terhindarkan. Mendidik
pamong praja melalui penanaman kekuasaan yang bersifat de jure semata (law centris) tak
menjawab dinamika perkembangan politik pemerintahan dewasa ini. Faktanya, kaderisasi elit dalam
masyarakat melalui instrument partai politik maupun lembaga kemasyarakatan lainnya tampaknya
mengalami kemacetan/kebuntuan (stagnan), bahkan berjalan tanpa proses yang memadai.
Tingkat legitimasi terhadap kepemimpinan politik pemerintahan mengalamidegradasi baik
dari aspek legitimasi religi, elit maupun demokrasi. Hal ini ditandai oleh susutnya kader partai
dengan cara merekrut artis dan birokrat dalam sejumlah kasus pemilihan anggota legislatif dan
kepala daerah. Akibatnya, banyak lulusan APDN, IIP, STPDN dan IPDN yang sekalipun muda
namun di nilai masyarakat mampu mengemban misi pemerintahan sebagai Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah. Ini menunjukkan bahwa akseptabilitas moral masyarakat (legitimasi) terhadap
alumni mengalami perluasan tidak saja dalam konteks penegasan kekuasaan secara de jure, tetapi
juga de fakto.
Asumsi ini di dukung oleh banyaknya pendaftaran kandidat Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah dalam 5 tahun terakhir yang berasal dari kalangan alumni pendidikan Pamong Praja. Tabel
dibawah ini menunjukkan kontribusi kader Pamong Praja aktif dan non aktif dalam jabatan publik
pada 5 tahun terakhir ;
Kontribusi Pamong Praja Aktif dan Non Aktif Dalam Jabatan Politik 2005-2010 :
Provinsi
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Sulawesi
Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi
Tengah
Sulawesi
Tenggara
Sulawesi Utara
Gorontalo
Kalimantan
Barat
Kalimantan
Timur
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Selatan
Sumatera
Barat
Sumatera
Utara
Sumatera
Kepala
Wakil
Anggota
Jumlah
Daerah
Kepala
DPRD
3
3
Daerah
1
2
4
10
1
1
1
-
3
2
5
3
2
3
4
2
3
9
Selatan
Papua
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pemahaman
terhadap
Pamong
Praja
yang
mensyaratkan
4.2 Saran
Pendidikan kepamongprajaan yang kita kenal bernama IPDN harus didukung
sepenuhnya oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri, karena IPDN bisa
dan mampu menjadi solusi dalam krisis kepemimpinan yang melanda Indonesia. Sistem
pendidikan IPDN yang mengenal sistem JARLATSUH akan membentuk karakter seorang
anak bangsa untuk menjadi pemimpin yang mampu menjawab permasalahan yang
multidimensi.
Masyarakat juga harus bisa melupakan kekerasan yang pernah terjadi di IPDN.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan, 2008. Kenang-Kenangan Pangreh Praja, Balai Pustaka, Jakarta .
Ilham, Muhammad, 2008. Manajemen Strategis Peningkatan Mutu Pendidikan Kepamongprajaan,
Indra Prahasta, Bandung
Labolo, Muhadam, 2010. Memahami Ilmu Pemerintahan, Rajawali Press, Jakarta,
Ndraha, Taliziduhu, 2005. Kybernologi, Jilid 1-2, Rineka Cipta, Jakarta
.,2010. Nilai-Nilai Kepamongprajaan, Credencia, Jakarta
M Giroth, Lexie, 2004. Edukasi dan Profesi Pamong Praja, STPDN Press, Bandung
.., 2009. Status dan Peran Pendidikan Pamong Praja Indonesia, Indra Prahasta,
Bandung
Pamudji, 1985. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.
Suratno, Pardi, 2009. Sang Pemimpin Menurut Astabhrata, Jakarta
Suryaninggrat, Bayu, 1980. Pamong Praja dan Kepala Wilayah, Aksara Baru, Bandung
Tjokrowinoto, Meljarto, 2010. Birokrasi dalam Polemik, Pustaka Pelajar Unismuh, Malang
Varma, 2008. Politik Modern, Rajawali, Jakarta
Sejarah Singkat
Penyelenggaraan pendidikan kader pemerintahan di lingkungan
Departemen Dalam Negeri yang terbentuk melalui proses perjalanan
sejarah yang panjang. Perintisiannya dimulai sejak zaman pemerintahan
Hindia Belanda pada tahun 1920, dengan terbentuknya sekolah pendidikan
Pamong Praja yang bernama Opleiding School Voor Inlandshe
Ambtenaren ( OSVIA ) dan Middlebare Opleiding School Voor Inlandsche
Ambtenaren ( MOSVIA ). Para lulusannya sangat dibutuhkan dan
dimanfaatkan untuk memperkuat penyelenggaraan pemerintahan Hindia
Belanda. Dimasa kedudukan pemerintah Hindia Belanda, penyelenggaraan
pemerintahan Hindia Belanda dibedakan atas pemerintahan yang langsung
dipimpin oleh kaum atau golongan pribumi yaitu Binnenlands Bestuur
Corps ( BBC ) dan pemerintahan yang tidak langsung dipimpin oleh
kaum atau golongan dari keturunan Inlands Bestuur Corps ( IBC ).
Pada masa awal kemerdekaan RI, sejalan dengan penataan sistem
pemerintahan yang diamanatkan oleh Undang Undang Dasar 1945,
kebutuhan akan tenaga kader pamong praja untuk melaksnakan tugas-tugas
pemerintahan baik pada pemerintah pusat maupun daerah semakin
meningkat sejalan dengan tuntutan perkembangan penyelenggaraan
pemerintahannya. Untuk memenuhi kebutuhan akan kekurangan tenaga
kader pamong praja, maka pada tahun 1948 dibentuklah lembaga
pendidikan dalam lingkungan Kementrian Dalam Negeri yaitu Sekolah
Menengah Tinggi ( SMT ) Pangreh Praja yang kemudian berganti nama
menjadi Sekolah Menengah Pegawai Pemerintahan Administrasi Atas
( SMPAA ) di Jakarta dan Makassar.
Pada Tahun 1952, Kementrian Dalam Negeri menyelenggarakan Kursus
Dinas C (KDC) di Kota Malang, dengan tujuan untuk meningkatkan
keterampilan pegawai golongan DD yang siap pakai dalam melaksanakan
tugasnya. Seiring dengan itu, pada tahun 1954 KDC juga diselenggarakan
di Aceh, Bandung, Bukittinggi, Pontianak, Makasar, Palangkaraya dan
Mataram. Sejalan dengan perkembangan penyelenggaraan pemerintahan
yang semakin kompleks, luas dan dinamis, maka pendidikan aparatur di
lingkungan Kementerian Dalam Negeri dengan tingkatan kursus dinilai
sudah tidak memadai. Berangkat dari kenyataan tersebut, mendorong
pemerintah mendirikan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN)
pada tanggal 17 Maret 1956 di Malang, Jawa Timur. APDN di Malang
bersifat APDN Nasional berdasarkan SK Mendagri No. Pend.1/20/56
tanggal 24 September 1956 yang diresmikan oleh Presiden Soekarno di
Malang, dengan Direktur pertama Mr. Raspio Woerjodiningrat. Mahasiswa
APDN Nasional Pertama ini adalah lulusan KDC yang direkrut secara
selektif dengan tetap mempertimbangkan keterwakilan asal provinsi
selaku kader pemerintahan pamong praja yang lulusannya dengan gelar
Sarjana Muda ( BA ).
Pada perkembangan selanjutnya, lulusan APDN dinilai masih perlu
ditingkatkan dalam rangka upaya lebih menjamin terbentuknya kader-
February 8, 2011
Abstrak
Pamong praja merupakan konsep yang mengalami pergeseran makna seiring dengan
perubahan rezim pemerintahan daerah. Sebagai konsekuensi perubahan dimaksud, secara
historis basis rekrutmen mengalami penyempitan dan perluasan sejak era prakemerdekaan hingga pasca-kemerdekaan. Kebutuhan terhadap kepemimpinan
pemerintahan yang kuat sekaligus simpul pengikat perbedaan dari pusat hingga level
bawah memungkinkan berjalannya pemerintahan secara stabil. Kondisi demikian
membutuhkan kepemimpinan pemerintahan yang di dukung secara de fakto maupun de
jure. Secara de fakto,kepemimpinan pamong praja diharapkan dapat menjembatani
kebutuhan masyarakat pada pemerintah. Secara de jure, kemampuan managerial pamong
praja diharapkan dapat mewujudkan tujuan pemerintah sebagai representasi paling
konkrit dari negara. Perbedaan karakteristik masalah yang dihadapi membutuhkan
pembentukan pamong praja yang khas guna menjamin terselenggaranya tugas-tugas
kepemimpinan pemerintahan dilapangan. Keistimewaan tersebut berkaitan dengan fungsi
dan tugas pemerintahan baik secara luas maupun dalam arti yang paling sempit.
Pendahuluan
Tinjauan tentang konsepsi pamong praja seringkali diuraikan secara normatif berdasarkan
kajian historikal. Gambaran ini cukup jelas ditangkap, namun kajian demikian seakan
menemui jalan buntu (deadlock) karena tak mampu menguak substansi dan relevansinya
dari masa lalu hingga masa depan. Makalah Nurdin (2010) yang berpijak dari sumber
Ndraha (2007), Wasistiono (2009), Giroth (2007) dan dokumen pengembangan IPDN
(2008) merupakan jawaban normatif terhadap pertanyaan makalah Quo Vadis Pamong
Praja. Ini adalah respon terhadap keprihatinan atas berbagai gugatan akademik dari
sebagian besar dosen yang nota bene berasal dari pendidikan non Pamong Praja. Suatu
indikasi positif yang merefleksikan tanggungjawab kolegial akademik sehingga
mendorong mendiskusikannya secara lebih tajam. Tulisan ini mengambil bagian lewat
analisis basis rekruitman Pamong Praja dan mencoba menarik relevansinya dalam realitas
kebutuhan dan fungsi kepemimpinan pemerintahan dewasa ini. Dengan demikian kita
dapat menelusuri salah satu persoalan utama selama ini yaitu dimanakah relevansi
Pamong Praja dalam konteks kebutuhan kepemimpinan pemerintahan dimasa lalu, hari
ini dan akan datang. Dengan menggunakan sentuhan teori elit, legitimasi, kekuasaan dan
kepemimpinan pemerintahan, konsepsi Pamong Praja dimaknai secara substansial
kemudian dihubungkan dengan basis rekruitmen masa lalu untuk mengkonstruksi
kepemimpinan pemerintahan sesuai kebutuhan dimasa mendatang. Beberapa data
sekunder yang sifatnya terbatas namun berhubungan dalam proses rekruitmen menjadi
bahan perbandingan yang patut dilengkapi dalam kajian ini. Tentu saja pijakan kita adalah
aspek historikal pada era pra-kemerdekaan, pasca kemerdekaan hingga periode 20 tahun
terakhir. Catatan historis lain yang menjadi pijakan Pamong Praja adalah buku kecil Bayu
Suryaninggrat (1973), Makalah Ateng Syafruddin (2007) dan Makalah Aziz Haily (2008).
masyarakat. Suseno (1999)[7] membaginya dalam bentuk legitimasi religius, eliter dan
demokratis. Kepemimpinan seseorang dapat saja diterima apalagi secara religi dapat
menopang keyakinan spiritual orang banyak. Legitimasi eliter merujuk pada seberapa
besar tingkat penerimaan masyarakat terhadap aspek prakmatis yang dijanjikan.
Sedangkan legitimasi demokratis berhubungan dengan proses dan hasil yang dicapai
dalam mekanisme prosedural.
Selanjutnya, tanpa membahas birokrasi lebih dalam sebagai organisasi pemerintah paling
konkrit (apalagi membahas idealisme Maximilliam Weber), elaborasi berikutnya
menitikberatkan pada konsep kekuasaan dan kepemimpinan dalam organisasi pemerintah
serta kontribusinya bagi kepemimpinan pemerintahan Indonesia. Oleh karena organisasi
pemerintah adalah bentuk dari pelembagaan kekuasaan, maka penting membahas
kekuasaan hingga ke level yang lebih formal yaitu kewenangan (authority). Menurut
Friedman (1973), Lukes (1978) dan Raz (1989)[8] terdapat enam alasan yang mendorong
perlunya kekuasaan dikonstruksikan. Diantara alasan tersebut, terdapat pembedaan antara
kekuasaan de fakto dan kekuasaan de jure (Peters,1967;Wich,1967). Kekuasaan de
fakto terjadi manakala masyarakat mematuhi pemimpinnya dalam bentuk yang sesuai,
sedangkan kekuasaan de jure ada tatkala pemimpin memiliki hak atas kepatuhan
masyarakat dalam wilayah yang diatur melalui kelembagaan[9]. Banyak ahli yang
mengacu pada kekuasaan sebagai penerapan kekuasaan yang dilegitimasi. Ini dapat
berarti bahwa paksaan dapat diterapkan kepada seseorang dengan kekuasaan de
jure sekalipun orang yang dipaksa tidak merespon kekuasaan tersebut. Namun demikian,
dapat saja perintah-perintah para pemimpin menghasilkan kepatuhan secara non-coersif.
Secara sederhana kekuasaan adalah konsep yang memiliki makna ganda,
yaitu pengaruh dan kepatuhan. Agar pengaruh dapat dijalankan, maka kekuasaan mesti
dilakukan dalam batas-batas normatif yang disepakati semua pihak (Friedman:1973).
Kepatuhan seseorang kepada pemimpinnya memiliki dua bentuk, yaitu kepatuhan tanpa
pertanyaan (kharismatik-Weber), dan kepatuhan dengan kritis. Dalam kaitan itu
pemimpin setidaknya memiliki otoritas yang cukup, yaitu seperangkat kekuasaan yang
terinstitusionalisasikan secara sah. Authority menunjuk pada kewenangan yang
terlembagakan, memiliki batas dan ukuran-ukuran tertentu. Kewenangan pada hakekatnya
merupakan kekuasaan. Keduanya dibedakan dalam hal keabsahan. Kewenangan
merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan (formal power), sedangkan kekuasaan
tidak selalu demikian. Masih menurut Freidman, pembedaan dilakukan antara menjadi
otoritas (being an authority) dan memegang otoritas (being in authority). Menjadi
otoritas berkaitan dengan masalah keyakinan, dimana kepatuhan terbentuk oleh klaim
pengetahuan, kesadaran dan keahlian khusus. Seseorang dipatuhi kemungkinan ia
dipercaya memiliki pengetahuan yang luas, kesadaran yang tinggi atau memiliki keahlian
yang luar biasa. Kondisi ini menegaskan kekuasaan de fakto di tengah-tengah
demokrasi, kemenangan sekutu dalam perang dunia, besarnya kerugian perang Belanda
dan yang paling pokok adalah lahirnya politik etis. Disadari Belanda bahwa terbatasnya
birokrasi kolonial membutuhkan perpanjang tangan guna melanggengkan kekuasaan serta
mengembalikan sedikit banyak kebaikan terhadap daerah jajahan yang selama ini menjadi
basis harta rampasan perang. Dengan pertimbangan itu maka rekrutmen pegawai
pemerintah yang berasal dari kelompok pribumi dilakukan pada kelompok middle
class (bangsawan) dengan pertimbangan; pertama, memiliki nilai lebih dari
aspek charismatic[15]. Suatu aspek penting dalam konsep kekuasaan yang
memungkinkan para pegawai pemerintah mampu mempengaruhi masyarakat Jawa dalam
melaksanakan pesan-pesan pemerintah kolonial secara efektif. Berdasarkan kultur
masyarakat Jawa, kepemimpinan dan masyarakatnya adalah dua sisi yang sangat
berhubungan erat. Sisi pemerintah menganut nilai feodalisme,yaitu suatu sistem
kekuasaan yang sangat kuat tersentralisasi, dimana kekuasaan adalah aset yang tak boleh
berkurang, penuh klenik, tak sopan dibantah, totaliter, wakil Tuhan, sabda pandito dan
cenderung mewakili kepentingan penguasa. Sedangkan sisi masyarakatnya cenderung
menganut nilai patron klien, dimana semua ucapan pemimpin merupakan refleksi
seutuhnya kemauan masyarakat, suka atau tidak. Kondisi ini seringkali mendorong para
pemimpinnya memanipulasi kepentingan rakyat bagi kepentingan diri dan kelompoknya.
Dalam perspektif ini, basis rekrutmen pegawai pemerintah diharapkan terbentuk dari
kelompok middle class(bangsawan Jawa) yang sejak awal telah memiliki kepemimpinan
secara de fakto[16]. Kedua, rekrutmen pegawai pemerintah Belanda yang berasal dari
pribumi dimaksudkan untuk membentuk sosok pemerintah yang tangguh dan paham
dengan masalah hukum. Keinginan ini mendorong Pemerintah Belanda cenderung
menyiapkan kurikulum yang bersifat law centris. Para pegawai pemerintah dibekali
dengan pelajaran hukum positif dengan sedikit pelajaran antropologie. Dampaknya,
Pemerintah Belanda memperoleh keuntungan besar dimana aktivitas pemerintahan
berjalan diatas kekuatan kerja dua sistem nilai yaitu feodalisme dan patron klien yang
lebih efektif dan efisien.
Menyadari hal tersebut, Pemerintah Belanda kemudian mengembangkan pendidikan
Pangreh Praja yang lebih modern[17]. Korps Ambtenar Belanda lebih lanjut mendorong
terbentuknya pendidikan dimaksud dengan tekanan perlunya pendidikan tersebut
diperluas dan diperdalam[18]. Dengan demikian maka terbentuklah sekolah
pendidikan Pangreh Praja lewat lembaga tertinggi yaitu Bestuurs Academie. Sekolah ini
terkenal dengan nama OSVIA (Opleidings School Voor Inheemsche Amstenaren). Sekali
lagi, kekuatan pendidikan ini karena basis rekrutmen Pangreh Praja berasal dari kelompok
elit, sehingga efektifivitas kepemimpinannya dilapangan tak diragukan. Gambaran
tersebut menyimpulkan bahwa basis rekrutmen pamong praja adalah semata-mata untuk
memperkuat kepentingan kolonial Pemerintah Belanda. Sekalipun demikian, secara
sengaja kepemimpinan lokal (de fakto) menguat kembali, bahkan diatas tumpukan
otoritas de jure (formal-legalistik).
berlangsung dikalangan elit saja. Walaupun demikian, secara umum basis rekrutmen dari
kelompok masyarakat lebih terwakili dengan semakin luasnya kepercayaan pemerintah
terhadap masalah yang dihadapi. Sebagai perbandingan dapat dilihat pada tabel berikut;
Elit/Aristokrat
Masyarakat
Biasa
Jumlah
85 %
130
Sumatera
10 %
(Utara,Barat,Selatan, Atjeh,
Riau,Djambi,Lampung)
90 %
114
Kalimantan
10%
(Barat,Tengah,Timur,Selata
n)
90%
57
Sulawesi
25%
(Utara,Tengah,Tenggara,Sel
atan)
75%
63
Bali
80%
20%
14
20%
80%
20
Maluku
10%
90%
26
Irian barat
5%
95%
16
Sumber: di olah dari dokumentasi Sasana Karya, 1956-1966, APDN Malang. Klasifikasi
ini di luar unsur militer dan perguruan tinggi dengan jumlah terbatas yang menjadi
tugas belajar selama periode tersebut. Identifikasi kelompok elit didasarkan pada nama
dan marga besar dari keseluruhan alumni tersebut.
Angkatan
Jumlah
1.
01
487
2.
02
490
3.
03
933
4.
04
807
5.
05
905
6.
06
611
7.
07
632
8.
08
624
9.
09
612
10.
10
621
11.
11
982
12.
12
793
13.
13
1.154
14.
14
995
15.
15
16.
16
17.
17
18.
18
19.
19
97
20.
20
99
Sumber: diolah dari dokumentasi Buku Kenangan Praja dan Laporan Pendidikan Tahun
2005-2006, serta Dokumen Praja IPDN Makassar.
Dari hasil identifikasi kelompok elit praja yang didasarkan pada pekerjaan/profesi orang
tua dalam birokrasi (PNS/TNI/POLRI), nama/gelar (Andi,Lalu,Raden,La Ode, I
Gede/Gusti) dan marga besar, diperoleh rata-rata jumlah praja yang berasal dari
kelompok dimaksud mencapai 70 %.
Identifikasi sederhana tersebut menunjukkan bahwa sekalipun pemerintah sebenarnya
lebih menitikberatkan pembentukan kepemimpinan pamong praja secara de jure melalui
pembentukan karakter, namun faktanya basis rekrutmen cenderung berasal dari kelompok
elit birokrasi yang secara turun temurun sudah ada. Untuk memperkuat basis rekrutmen
tersebut, maka pemerintah melalui sistem pengajaran, pelatihan dan pengasuhan, kader
Pamong Praja dibentuk agar mampu melayani masyarakat secara optimal, tangguh
menghadapi setiap tantangan, berani, jujur serta berkepribadian yang kuat sebagaimana
nilai-nilai dalam simbol kepemimpinan universal Jawa, yaitu Astabhrata.
Oleh karena basis rekrutmen Pamong Praja berasal dari masyarakat yang secara de
fakto memiliki akar yang kuat dalam soal kepemimpinan birokrasi, maka misi pemerintah
idealnya adalah mengembangkan karakter kepemimpinan pamong praja yang tidak saja
dapat diterima dan memiliki kekuasaan secara de jure, tetapi juga secara de fakto di
tengah-tengah masyarakat. Sebab, pengembangan karakter pendidikan yang semata
bersifat de jure (law centris) hanya akan membentuk pamong negara[22].
Peran Pendidikan Pamong Praja dan Penguatan Basis Rekrutmen Bagi Masa Depan
Kepemimpinan Pemerintahan
Kepala
Wakil
Anggota
Jumlah
Daerah
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Sulawesi Selatan
10
Sulawesi Barat
Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara 1
Sulawesi Utara
Gorontalo
Kalimantan Barat
Kalimantan Timur 1
Kalimantan Tengah 1
Kalimantan
Selatan
Sumatera Barat
Sumatera Utara
Sumatera Selatan 1
Papua
Papua Barat
Bangka Belitung
Riau
Kepulauan Riau
Jambi
Lampung
11
11
Bali
Nusa Tenggara
Barat
Nusa Tenggara
Timur
Maluku
Maluku Utara
Bengkulu
Nanggroeh Aceh D 2
Jogjakarta
Masyarakat
Bentuk
Aristokrat
Umum
Kekuasaan
De fakto>De jure
Pra Kemerdekaan x
Pasca
Kemerdekaan
De fakto> De jure
Periode 19902010
Periode 20102020
Pergurua IPDN
n Tinggi
Pada ilmu
pemerintahan
dengan karakter
kompetensiqualifield
leadership danmana
gerial
administrative(de
fakto dande jure)
Jadi jelas, jika ada kekhususan (spesialisasi) dalam memainkan senjata secara praktis
dilapangan untuk mengamankan (to saved) atau membunuh (to killed), maka Pamong
Praja memiliki kekhususan dalam memainkan kekuasaan yang lebih dari sekedar
memainkan senjata, yaitu mengelola kekuasaan yang luas. Sebab itulah, mengapa
penting untuk di didik secara khusus/istimewa. Sekali lagi, karena Pamong Praja
disiapkan untuk mengelola/memainkan kekuasaan baik secara de jure maupun de
fakto. Apalah artinya senjata tanpa kekuasaan? Mana lebih besar dan berpengaruh,
apakah senjata M-16 atau kekuasaan yang dapat sewaktu-waktu memerintahkan senjata
tersebut meledak? Lalu, pekerjaan rumah selanjutnya adalah bagaimana mengembangkan
karakter kepemimpinan yang dapat diterima baik secarade fakto maupun de jure di tengah
masyarakat yang semakin demokratis dewasa ini? Sebagai saran akhir, penting membaca
kembali konsep dan kurikulum yang telah disusun oleh Ndraha dalam buku Nilai-Nilai
Kepamongprajaan, Credentia, Jakarta, 2010.
Referensi:
Alfian, M Alfan, 2010. Menjadi Pemimpin Politik, Gramedia, Jakarta
Anwar, Rosihan, 2008. Kenang-Kenangan Pangreh Praja, Balai Pustaka, Jakarta
Bottomore, T.B., 2006. Elite dan Masyarakat, Akbar Tanjung Institute.
Emmerson, Donald K, 1976. Political Culture and Cultural Politics, Cornell University
Press, Ithaca and London
Finer, S.E, 1974. Comparative Government, Penguin Books Ltd.,Harmonds Worth,
Middlesex, England
Haryanto, 2005. Kekuasaan Elite, JIP UGM, Jogjakarta,
Ilham, Muhammad, 2008. Manajemen Strategis Peningkatan Mutu Pendidikan
Kepamongprajaan, Indra Prahasta, Bandung
Kartodihardjo, Sartono, 1981. Elite Dalam Perspektif Sejarah, LP3ES, Jakarta
Kuper, Adam, & Jessica, 2000. The Social Science Encyclopedia (terj), PT.Raja Grafindo,
Jakarta
Labolo, Muhadam, 2010. Memahami Ilmu Pemerintahan, Rajawali Press, Jakarta,
Pengantar
Memasuki setahun periode pemerintahan baru 2014-2019, sepertinya kita
diingatkan kembali pada konsepsi Revolusi Mental yang menjadi kata kunci (key
word) dalam membentuk kerangka visi dan misi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf
Kalla yaitu, Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan
Berkepribadian. Visi tersebut selanjutnya dipolakan lewat seperangkat misi
yaitu Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian
Berlandaskan Gotong-royong.[3] Secara historis visi tersebut didasarkan pada
pemikiran Soekarno lewat konsep Tri Sakti. Konsep ini dikemukakan Soekarno dalam
pidato berjudul Tahun Vivere Pericoloso (Taviv) dalam rangka memperingati Hari
Kemerdekaan RI tahun 1964. [4] Inti konsep Tri Sakti adalah pentingnya bangsa
Indonesia memperjuangkan dan mewujudkan kedaulatan di bidang politik,
kemandirian dalam ekonomi serta kepribadian dalam bidang kebudayaan. Konsepsi ini
lahir tidak saja karena dorongan faktor internal, juga tekanan eksternal dimana
terdapat dua kekuatan politik internasional yaitu blok Barat yang bersifat kapitalistik
dan blok Timur yang cenderung berkarakter komunistik. Dalam konteks itu Soekarno
hendak memastikan bahwa bangsa Indonesia mesti teguh pada posisinya sebagai
bangsa yang merdeka dan tidak ikut menceburkan diri dalam pusaran arus politik
global, baik Timur maupun ke Barat. Terlepas bahwa sejarah dikemudian hari
memberikan catatan lain atas kecenderungan realitas politik luar negeri Indonesia,
namun secara domestik gagasan Tri Sakti dalam jangkauan sejarah yang panjang
sepatutnya dapat direvitalisasi menjadi pondasi yang kuat dalam membangun bangsa
di tengah persoalan internal yang lebih membutuhkan perhatian serius.
Jika faktor internal hari-hari ini lebih mendominasi persoalan bangsa maka
tidaklah salah jika focus group discuss kali ini menjadi pemantik untuk
mengembangkan sejumlah pertanyaan mendasar, sekaligus menyiapkan action
plan guna mencapai tujuan konstitusional negara melalui kepeloporan revolusi mental.
Sumber persoalan utama dalam relasi ini menurut tesis sementara terkait pada
pembangunan individu bangsa. Apabila kita asumsikan bahwa setiap individu
memiliki karakter postitif yang memadai, maka dalam kumpulan yang luas (keluarga)
hingga organisasi paling kompleks laiknya negara akan mampu berdaulat secara
politik, ekonomi dan sosial budaya. Dengan imaji semacam itu maka tidak saja
persoalan internal seperti isu transisi demokratisasi, Hak Asasi Manusia, desentralisasi
hingga reformasi birokrasi akan mudah terselesaikan dengan sendirinya. Dampak lebih
jauh dari itu persoalan eksternal yang selama ini menyentuh harga diri bangsa seperti
mobilitas tenaga kerja ke luar negeri karena dorongan ekonomi, kemampuan
melaksanakan hukuman mati bagi siapa saja yang bersalah sebagai refleksi kedaulatan
politik bangsa, serta kemampuan menampilkan karakter individu yang cemerlang dari
berbagai aspek kehidupan dapat segera menggeser identitas budaya negara lain yang
kini justru menjadi trending di negara sendiri. Indikasi yang dapat dilihat adalah
kebiasaan generasi muda yang lebih mudah beradaptasi dengan budaya bangsa lain
lewat film, fashion dan food. Film dengan mudah mempengaruhi cara berpikir dan
spirit generasi muda lewat layar lebar (Theater), layar sedang (Televisi) hingga layar
mini (Handphone). Dalam titik tertentu gejala ini mampu memompa kebanggaan bagi
negara lain, sekaligus pada saat yang sama mengikis nasionalisme bangsa
sendiri. Fashion tampak dari melimpahnya asesoris dan sentuhan life style yang secara
perlahan menggerus motif dan cara hidup sederhana. Dipenghujung upaya menggapai
semua titik kepuasan tersebut melahirkan cara hidup hedonisme, dimana korupsi
menjadi jalan pintas di segala bidang. Sementara kontribusi makanan (food) kini
menjadi semacam ketergantungan hidup dalam berbagai bentuknya, mulai dari
kegemaran mengkonsumsi makanan kecil (snack) dari Malaysia, buah dari Bangkok
hingga menunggu import beras dan daging dari Vietnam dan Australia sebagai
pengganti kebutuhan pokok manusia Indonesia.
Pada akhirnya, semua gejala di atas kini menjadi sebuah pertanyaan strategis di
atas kerangka visi dan misi Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Bagaimanakah
mewujudkan revolusi mental dalam jangka panjang? Siapakah pelopor dan wadah
seperti apakah yang ideal menjadi daya dorong (starting point) untuk mewujudkan visi
dan misi revolusi mental dimaksud? Apabila IPDN diminta mengambil porsi
terdepan dalam keramaian konsepsi tersebut, maka bagaimanakah action plan yang
paling konkrit dari rencana besar revolusi mental dilakukan dalam kampus yang khas
seperti Institut Pemerintahan Dalam Negeri?[5]Ketiga pertanyaan tersebut hanyalah
bagian kecil dari upaya menemukan jawaban atas berbagai pandangan terhadap
konsepsi revolusi mental baik dari sudut teoritik filsafati, politik, budaya, agama,
ekonomi, hukum, maupun praktek dilapangan empirik.
Misi dan Nawacita Revolusi Mental
Untuk mewujudkan visi revolusi mental yang telah dikemukakan sebelumnya,
Jokowi-JK menetapkan 7 (tujuh) misi strategis yang akan ditempuh dalam lima tahun
kedepan,pertama, mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan
wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumberdaya maritim
dan
mencerminkan
kepribadian
Indonesia
sebagai
negara
kepulauan. Kedua, mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan dan demokratis
berlandaskan negara hukum. Ketiga,mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan
memperkuat jati diri sebagai negara maritim.Keempat, mewujudkan kualitas hidup
manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera.Kelima, mewujudkan bangsa yang
berdaya-saing. Keenam, mewujudkan Indonesia menjadi Negara maritim yang
mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional. Ketujuh,mewujudkan
masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan. Dalam dokumen itu juga
dirumuskan Sembilan
Agenda
Prioritas yang
dikenal
dengan
istilah Nawacita (Nawa artinya Sembilan, Cita artinya Tujuan/Keinginan/Harapan).
Kesembilan agenda prioritas itu adalahpertama, menghadirkan kembali negara untuk
melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga
negara. Kedua, membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola
pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. Ketiga,membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat Daerah dan Desa dalam kerangka
Negara Kesatuan. Keempat, menolak negara lemah dengan melakukan reformasi
sistim
penegakan
hukum
yang
bebas
korupsi,
bermartabat
dan
terpercaya. Kelima, meningkatkan
kualitas
hidup
manusia
Indonesia. Keenam, meningkatkan produktifitas rakyat dan daya saing di pasar
internasional. Ketujuh, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan
sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kedelapan, melakukan revolusi karakter
bangsa.Kesembilan, memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial
Indonesia. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah mewujudkan Nawacita
tersebut? Apakah dimulai secara sikuensi, ataukah cukup menentukan prioritas utama
yang dengan sendirinya mampu menjawab semua agenda yang tersisa? Pilihan lain
dilakukan secara simultan dengan membagi pada semua sektor terkait untuk
dituntaskan bersama.
Menurut hemat saya alternatif kedua lebih tepat kita lakukan, namun perlu
ditetapkan satu sumbu utama untuk melahirkan output Nawacita dalam jangka
panjang, bukan sekedar menanti kinerja day to day sebagaimana tampak sementara ini.
Buah dari revolusi mental pada dasarnya hanya dapat dinikmati dalam jangka panjang,
sepuluh hingga dua puluh tahun kedepan dengan menyiapkan landasan kokoh hari ini.
Sebagaimana negara-negara di asia lainnya seperti Jepang, Korea, India, Malaysia dan
Singapura yang hanya berselisih hari, bulan dan tahun dari pijakan kemerdekaan awal,
kini telah memasuki suatu masa yang diperhitungkan dalam percaturan dunia
international. Untuk menggapai harapan itu, maka tidaklah berlebihan jika kita
bermaksud menjadikan IPDN sebagai wadah pelopor bagi terciptanya revolusi mental
dimasa akan datang.
IPDN sebagai Wadah Strategis Pelopor Revolusi Mental
Sejak kelahiran Institut Ilmu Pemerintahan pada tahun 1964, Soekarno
menyatakan dengan jelas dalam pidato pengantar di depan segenap civitas akademika
APDN Malang, bahwa pembentukan pendidikan Pamongpraja dimaksudkan sebagai
sosok perekat bangsa selain ujung tombak pemerintah pusat dalam penyelenggaraan
roda pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di daerah.[6] Jika dua peran
strategis itu menjadi dasar kita bertolak, maka IPDN setidaknya memiliki misi penting
sebagai pelopor revolusi mental dalam menciptakan kader yang memiliki kemampuan
kenegarawanan (statemanship) dan kemampuan memberikan pelayanan bagi
kepentingan masyarakat. Dua kemampuan tersebut hanya mungkin dibentuk melalui
pendidikan dan pengalaman yang panjang. Pendidikan dibutuhkan untuk mengubah
diri dan lingkungannya menuju suatu tujuan yang dikehendaki. Perubahan diri
dimaksud adalah perubahan karakter individu. Perubahan karakter individu dapat
memicu perubahan luas pada masyarakat baik pada tingkat mikro hingga yang paling
kompleks, negara. Karakter (kharassein) sendiri adalah lukisan jiwa, cetakan dasar
kepribadian seseorang/sekelompok orang yang terkait dengan kualitas moral,
integritas, ketegaran serta kekhasan potensi dan kapasitasnya, sebagai hasil dari suatu
proses pembudayaan dan pelaziman (habitus). Menurut Yudi Latif dalam pengantar
bukunya, cara mencetak nilai menjadi karakter tidak cukup diajarkan lewat hafalan.
[7] Mengutip peribahasa Inggris, moral is not taught but caught. Nilai-nilai
keteladanan dan kepahlawanan tidaklah cukup diajarkan (taught) secara kognitif lewat
hafalan dan pilihan ganda, melainkan ditangkap(caught) lewat penghayatan emotif.
Pendidikan karakter seringkali diintrodusir kedalam kelas melalui contoh-contoh
keteladanan dan kepahlawanan. Pengaruh kesusastraan terhadap kehidupan tak bisa
diremehkan begitu saja. Tokoh-tokoh fiksi dalam deskripsi kualitatif seringkali
mempengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi, bahkan
mengubah dunia. Bukankah kisah Rosie the Riveter menjadi pengungkit bagi Womens
Liberation
Movement.
Kisah Siegfried, kesatria-pahlawan
legendaris
dari
nasionalismeTeutonik mendorong pecahnya perang saudara Jerman. Kisah Barbie,
boneka molek menjadirole model bagi jutaan gadis-gadis cantik cilik dengan standar
gaya dan kecantikan. Bandingkan pula bagaimana sinetron Korea akhir-akhir ini yang
mampu melahirkan role model bagi ibu-ibu dan remaja di Indonesia. Jika rekayasa
fiksi semacam itu dapat berpengaruh kuat bagi moralitas bangsa kita, apatah lagi jika
mereka benar-benar pernah ada dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dalam kaitan itu, IPDN mengemban tugas melakukan perubahan karakter praja
untuk mengemban dua misi besar sebagaimana disebutkan diatas. Lewat pendidikan
khas yang mengintegrasikan aspek pengajaran, pelatihan dan pengasuhan diharapkan
mampu membentuk karakter yang dapat merevolusi diri dan lingkungannya dalam
kerangka tujuan bermasyarakat, berpemerintahan dan bernegara. Pada titik ini
pertanyaan dasarnya adalah apakah nilai inti dari proses pengajaran, pengasuhan dan
pelatihan di IPDN? Apabila nilai penting dari ketiga aspek tersebut dapat kita jawab,
maka pilihan berikutnya adalah kenderaan (vehicle) seperti apakah yang akan kita
siapkan secara konkrit agar semua nilai tadi dapat mewujud kedalam pribadi
pembelajarnya (praja), bahkan kalau boleh civitasnya. Tanpa itu, saya kuatir FGD ini
hanya akan mengantar kita pada perbincangan vehicle yang penuh sesak dengan
kegiatan projek, bukan menjawab persoalan inti dari revolusi mental itu sendiri.
Akibatnya, hayalan buruk saya dapat mengantarkan kita pada perbincangan revolusi
projek, dimana IPDN menjadi objek yang paling mudah dikambinghitamkan akibat
dari kegagalan revolusi mental lewat kelinci percobaan. Akhirnya, IPDN-lah yang
paling mungkin dituding sebagai objek sekaligus subjek yang perlu di revolusi mental.
Karena itu, amanah revolusi mental ini dapat menjadi semacam dua bilah mata pedang
yang membawa harapan optimisme dan pesimisme, menantang IPDN sebagai titik
pijak revoluasi mental ke-Indonesiaan, sekaligus ujian bagi masa depan IPDN jika
gagal mengawal revolusi mental. Namun satu hal yang tak dapat dibantah bahwa
konsepsi revolusi mental berupa kemandirian pada tiga aspek penting yaitu politik,
ekonomi dan sosial budaya sangat konsentrik dengan paradigma ilmu pemerintahan
baru (kybernology)sebagaimana digagas oleh Taliziduhu Ndraha sejak tahun
2003. Menurut pendapat saya, dalam hubungan inilah IPDN patut memperoleh tempat
paling strategis dibanding perguruan tinggi lain karena memiliki pondasi akademik
paling siap secara ontologik, epistemologik dan aksiologik.
Nilai penting dari aspek pengajaran adalah mendorong area kognitif praja agar
mampu memecahkan problem pemerintahan yang dihadapi dilapangan. Pengajaran
teoritik diperlukan untuk memperkuat peran salah satu asas penting dalam
pemerintahan, yaitu asas berpikir panjang.[8] Dalam praktek, asas ini membutuhkan
cara pandang terhadap suatu hal secara menyeluruh. Sebagai contoh, berdasarkan
program penegakan hukum, rumah liar di bantaran Kali Ciliwung dibongkar paksa
dengan berbagai alasan pemerintah kota. Pertanyaannya, apakah pemerintah kota
peduli dengan nasib penduduk yang kehilangan tempat tinggal dan mungkin saja
lapangan kerjanya sebagai dampak dari penggusuran tersebut? Harus di ingat bahwa
asas perintah adalah perintah tidak berlaku dalam masyarakat civil. Inilah salah satu
hal fundamental yang membedakan IPDN dengan perguruan tinggi kedinasan lain
termasuk AKPOL dan AKMIL. Standar rekrutmen boleh jadi sama, namun fokus yang
menjadi lahan garapan jauh berbeda. Dalam masyarakat civil setiap warga negara
berhak mengetahui mengapa dan apa akibat dari tindakan pemerintah. Kesadaran akan
hubungan sebab-akibat dan sebaliknya akibat-sebab dapat diperoleh lewat
ditanamkan lewat aspek pengasuhan, maka setiap kader pemerintahan yang akan
datang dapat menjadi simbol penggerak, dan sumber inspirasi hadirnya pemerintahan
dimanapun masyarakat berada. Inilah makna hakiki dari asas omnipresence guna
menjawab problem nawacita pertama, yaitu hilangnya ruh pemerintahan yang
mengakibatkan masyarakat merasa hilangnya peran pemerintah dalam berbagai
persoalan yang dihadapi dewasa ini.
Membangun Pemerintahan Yang Baik, Menjawab Nawacita 2
Pada dasarnya masyarakat berhak mendapatkan pemerintahan yang baik.
Pemerintah sendiri adalah produk dari dinamika politik masyarakat. Pemerintah yang
baik hanya mungkin tumbuh dan berkembang dari masyarakat yang baik pula.
Masyarakat sendiri terdiri dari kelompok-kelompok tertentu yang terorganisasikan
sedemikian rupa. Kelompok tersebut dapat berupa organisasi masyarakat (ormas),
politik maupun institusi pendidikan yang di desain untuk mencapai tujuan bersama.
Semua organisasi pada pokoknya bertujuan baik sekalipun memiliki nilai, budaya dan
tujuan yang berbeda-beda. Tekanan penting diletakkan pada komponen masyarakat
sebab diantara tiga komponen penting dalam konsepsi good governance (pemerintah,
wiraswasta dan masyarakat), inilah komponen yang paling lemah dalam relasi itu.
Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan masyarakat tak memiliki akses yang kuat
dalam menentukan masa depan dirinya sendiri. Atas kesadaran itu maka penting bagi
kita untuk membangun kembali pemerintahan yang baik dengan memberi akses yang
lebih luas pada masyarakat dalam menentukan masa depannya masing-masing.
Dengan maksud itu maka salah-satu fungsi pemerintahan menurut Rasyid (1999) yaitu
pemberdayaan(empowerment) mesti dilakukan dalam jangka panjang sehingga
masyarakat sebagai pemetik manfaat dapat memiliki posisi tawar yang lebih
menguntungkan diantara komponen pemerintah dan wiraswasta. Sayang sekali semua
kegiatan yang berkaitan dengan upaya pemberdayaan masyarakat dan tersebar pada
hampir semua departemen dan instansi terkait di tingkat pusat dan daerah belum
menunjukkan hasil yang maksimal, kecuali masyarakat itu sendiri yang kerap
dijadikan objek proposal dimana-mana. Menyadari hal itu maka penting bagi lembaga
pendidikan kedinasan IPDN untuk membekali kader Pamongpraja teknik perencanaan,
strategi implementasi, penerapan program hingga bentuk-bentuk kegiatan nyata yang
dapat memampukan (memberdayakan) masyarakat hingga lepas dari sifat dan
kondisipowerless.
Pemerintahan yang baik mengandung sejumlah prinsip penting seperti
akuntabilitas, transparansi, kepastian hukum, efisiensi, efektivitas dan memiliki visi
yang jauh kedepan. Prinsip-prinsip tersebut lahir sebagai koreksi atas munculnya
gejala bad governance dalam tubuh birokrasi pemerintahan. Nilai-nilai buruk dalam
birokrasi pemerintahan kini menggejala pada negara-negara berkembang seperti
lamban, arogan, korup, birokratisme, boros, naluriah, enggan berubah dan tak
berorientasi pada kepentingan publik. Untuk memperbaiki semua gejala itu maka
tugas pemerintah tidak saja melakukan perubahan struktur, tetapi jauh lebih penting
adalah perubahan kultur birokrasi. Oleh karena itu, menjadi penting meletakkan kader
Pamongpraja IPDN sebagai objek perubahan kultur untuk memasuki ruang struktur
yang kini sedang mengalami perubahan evolutif melalui reformasi birokrasi. Dengan
demikian kita percaya bahwa kultur dapat mengubah struktur secara rasional,
sekalipun dalam realitasnya struktur terkadang melenyapkan semua idealisme
pemerintah, termasuk idealisme kader pemerintahan dilingkungan masyarakat tempat
bertugas.
Memperkuat Otonomi Desa, Menjawab Nawacita 3
Sebagaimana kita ketahui bahwa desa adalah akar-akar pemerintahan yang
secara sosiologis menjadi basis perkembangan pemerintahan hingga mengubah diri
menjadi kompleks dalam bentuk negara. Maknanya, memperkuat desa berarti
memperkuat negara yang merefleksikan sel-sel penyangga dilapis terbawah
pemerintahan. Problem desa sebagai penyangga utama negara sangat menyolok jika
dibandingkan dengan pusat pemerintahan. Kemiskinan dan kebodohan sebagai
masalah utama 60% bertengger di wilayah pesisir desa. Masalah ini mendorong
pemerintah mendirikan Kementrian Desa sebagai instrumen untuk merespon
ketertinggalan desa selama ini. Menyadari masalah itu, sebenarnya sejak awal 1994,
STPDN menyiapkan kader pemerintahan yang ditempatkan di pelosok desa terpencil
sebagai Kasubag Pemerintahan Desa. Sampai hari ini sebagian besar alumni IPDN
memulai karir sebagai Pamong Desa baik sebagai Sekretaris Desa maupun staf
kelurahan untuk menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat pada unit
pemerintahan terendah. Pertanyaannya, bagaimanakah memperkuat peran tersebut
dalam sistem pemerintahan desa yang bersifat otonom penuh sebagaimana gambaran
UU Nomor 6/2014 dan PP 43/2014? Jika IPDN dapat mengambil peran dalam konteks
ini maka sebaiknya mereka dipersiapkan menjadi pendamping dalam penyusunan
RPJM Desa, APB Desa, Administrasi Desa, Peraturan Desa, hingga Pelaporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (LPPD). Peran ini penting dilakukan dimana
Desa saat ini sedang mempersiapkan diri untuk mengelola dana desa guna
mewujudkan desa yang berdaya, mandiri, kreatif, inovatif dalam kerangka otonom
desa.
Memperkuat Fungsi Negara, Mencegah Negara Gagal, Menjawab Nawacita 4
Oleh karena pemerintah adalah personifikasi paling konkrit negara,
maka fungsi pemerintahan menurut Rasyid (1999) meliputi pelayanan (public
service), pengaturan (regulation), pembangunan (development) dan
pemberdayaan (empowerment). [9] Pelayanan merupakan akar utama dari
fungsi pemerintahan itu sendiri. Semua fungsi berikutnya pada dasarnya
bermakna pelayanan, atau dengan kata lain pelayanan dalam arti luas
mencakup keseluruhan fungsi pemerintahan. Pelayanan bermakna
memastikan tersedianya pengaturan dan pengurusan bagi kepentingan
masyarakat agar dapat hidup wajar, aman dan nyaman dalam kerangka
bernegara. Lewat pengaturan dimungkinkan setiap warga negara memperoleh
akses bagi terpenuhinya hak dan kewajibannya. Dengan pengaturan pula
Referensi Pilihan;
Alfian, M Alfan, 2010. Menjadi Pemimpin Politik, Gramedia, Jakarta
Anwar, Rosihan, 2008. Kenang-Kenangan Pangreh Praja, Balai Pustaka, Jakarta
Finer, S.E, 1974. Comparative Government, Penguin Books Ltd.,Harmonds Worth, Middlesex, England
Haryanto, 2005. Kekuasaan Elite, JIP UGM, Jogjakarta,
Ilham, Muhammad, 2008. Manajemen Strategis Peningkatan Mutu Pendidikan Kepamongprajaan, Indra Prahasta,
Bandung
Kartodihardjo, Sartono, 1981. Elite Dalam Perspektif Sejarah, LP3ES, Jakarta
Kuper, Adam, & Jessica, 2000. The Social Science Encyclopedia (terj), PT.Raja Grafindo, Jakarta
Labolo, Muhadam, 2012. Mencegah Negara Gagal, Indrapress, Jakarta,
Labolo dkk, 2008. Beberapa Pandangan Dasar Tentang Ilmu Pemerintahan, Bayu Media, Jogjakarta
Latif, Yudi, 2014. Pancasila, Mata Air Keteladanan. Kompas Gramedia, Jakarta
Ndraha, Taliziduhu, 2005. Kybernologi, Jilid 1-2, Rineka Cipta, Jakarta
...............................,2010. Nilai-Nilai Kepamongprajaan, Credencia, Jakarta
M Giroth, Lexie, 2004. Edukasi dan Profesi Pamong Praja, STPDN Press, Bandung
.........................., 2009. Status dan Peran Pendidikan Pamong Praja Indonesia, Indra Prahasta, Bandung
Pamudji, 1985. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.
Rasyid, Ryass, 2001. Makna Pemerintahan. Yarsif Watampone, Jakarta
Sutherland, Heather, 1983. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, Sinar Harapan, Jakarta
Suratno, Pardi, 2009. Sang Pemimpin Menurut Astabhrata, Jakarta
[1] Sebuah catatan dalam rangka menyiapkan Praja IPDN sebagai pelopor Revolusi Mental.
[2] Dosen IPDN, Ketua Pusat Kajian Desentralisasi Forum Doktor.
[3] [3] Kpu.go.id., dokumen Visi, Misi dan Program Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI
Periode 2014-2019.
[4]Roso Daras, Benang Merah Pidato Bung Karno, dalam Rosodaras.wordpress.com
[5] Hal yang sama dilakukan pula misalnya oleh Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) dalam Seminar
Nasional, Dari Trisaksi Melalui Nawacita Menuju Revolusi Mental, Minggu, 22 Maret 2015 di Jakarta.
[6] Dokumentasi Sasana Karya 1956-1966. Menjongsong Peningkatannja Mendjadi Institut Ilmu
Pemerintahan, APDN Malang
[7] Yudi Latif, 2014. Menemukan Tetes Mata Air Pancasila, hal. Xvi, Gramedia, Jakarta.
[8] Taliziduhu Ndraha, 2003. Kybernology, Jilid 2, hal.686, Rineka Cipta, Jakarta.
[9] Rasyid, Ryaas, 1999. Makna Pemerintahan, Tinjauan dari Segi Etika, Yarsif Watampone, Jakarta.
[10] Lihat makalah Taliziduhu Ndraha dalam Labolo dkk, 2008, edisi 2. Beberapa Pandangan Dasar
Tentang Ilmu Pemerintahan, Bayu Media, Jogjakarta.
[11] Sesuai data Direktorat Otda Kemendagri, sampai 2015, lebih dari 300 Kepala Daerah bertalian dengan kasus korupsi
Kepemimpinan Pemerintahan
\\
A. PENGERTIAN KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi
orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses
mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk
mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya.
Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang orang
sedemikian rupa untuk memperoleh kepatuhan, kepercayaan, respek, dan kerjasama
secara royal untuk menyelesaikan tugas.
Fungsi pemimpin dalam suatu organisasi tidak dapat dibantah merupakan sesuatu
fungsi yang sangat penting bagi keberadaan dan kemajuan organisasi yang bersangkutan.
Pada dasarnya fungsi kepemimpinan memiliki 2 aspek yaitu :
Fungsi administrasi, yakni mengadakan formulasi kebijaksanakan administrasi dan
menyediakan fasilitasnya.
Fungsi sebagai Top Mnajemen, yakni mengadakan planning, organizing, staffing, directing,
commanding, controling, dsb.
Beberapa hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa prestasi dan kepuasan kerja
pegawai dapat ditingkatkan apabila konsiderasi merupakan gaya kepemimpinan yang
dominan. Sebaliknya, para pemimpin yang berorientasi tugas yang terstruktur, percaya
bahwa mereka memperoleh hasil dengan tetap membuat orang orang sibuk dan
mendesak mereka untuk berproduksi.
Alasan program studi: Ditinjau dari sudut substansi pendidikan, STPDN diberi
otoritas untuk menyelenggarakan program pendidikan Profesional dan Akademik, namun
selama ini baru melaksanakan program Diploma IV Pemerintahan. Padahal dengan adanya
Otonomi Daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab, diperlukan ahli-ahli
pemerintahan daerah pada tingkat Magister.
Alasan yuridis: Ditinjau dari kebijakan pendidikan tinggi kedinasan lembaga
pendidikan di lingkungan Departemen Dalam Negeri serta berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku (PP Nomor 60 Tahun 1999), terdapat cukup alasan
yuridis untuk mempertahankan dan mengembangkan STPDN dengan membuka
pendidikan S2.
Alasan akademik: Ditinjau dari segi akademik, STPDN saat ini mempunyai otoritas,
kapasitas dan kapabilitas untuk mengembangkan disiplin pemerintahan sebagai ilmu dan
keahlian. Jumlah dan kualitas tenaga pengajar, perpustakaan maupun dukungan sarana
maupun prasarana pendidikan untuk mengembangkan program-program lain di luar
program D-IV cukup memadai.
Alasan historis: STPDN yang berawal dari dua puluh APDN daerah berdasarkan
KEPRES No. 42 Tahun 1992, mempunyai pengalaman luas dan strategis dalam
pengelolaan pendidikan tinggi di jajaran Departemen Dalam Negeri, yang sejak awal
mempunyai komitmen untuk mendidik kader Pimpinan Pemerintahan (Pamong Praja),
melalui pendekatan Akademik dan Praktis. Untuk kepentingan tersebut, kurikulum disusun,
disesuaikan dan ditingkatkan berdasarkan kebutuhan dan tuntutan keilmuan, keterampilan
dan kepribadian guna melaksanakan tugas di lingkungan Pemerintahan Dalam Negeri
secara proporsional dan profesional.
Alasan empiris: Alumni STPDN Program D-III dan D-IV sampai Angkatan Ke-XII
berjumlah 8.496 orang dengan penugasan yang tersebar pada seluruh propinsi
di Indonesia. Di antara mereka secara terbatas sudah melanjutkan S1 dan S2 di Perguruan
Tinggi Negeri atau Swasta. Mereka pada umumnya telah menduduki jabatan pada jenjang
menengah ke bawah pada jajaran pemerintahan provinsi maupun daerah kabupaten/kota.
Dengan demikian terbuka peluang untuk menampung hasrat alumni untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang lebih tinggi sesuai tuntutan kebutuhan kedinasan.
A. HAKEKAT KEPEMIMPINAN
Dalam kehidupan sehari hari, baik di lingkungan keluarga, organisasi, perusahaan
sampai dengan pemerintahan sering kita dengar sebutan pemimpin, kepemimpinan serta
kekuasaan. Ketiga kata tersebut memang memiliki hubungan yang berkaitan satu dengan
lainnya.
Manusia adalah makhluk social yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup,
manusia selalau berinteraksi dengan sesame serta dengan lingkungan. Manusia hidup
berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil. Hidup dalam
kelompok tentulah tidak mudah. Untuk menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis
anggota kelompok haruslah saling menghormati & menghargai. Keteraturan hidup perlu
selalu dijaga. Hidup yang teratur adalah impian setiap insan. Menciptakan & menjaga
kehidupan yang harmonis adalah tugas manusia.
Dengan berjiwa pemimpin manusia akan dapat mengelola diri, kelompok &
lingkungan dengan baik. Khususnya dalam penanggulangan masalah yang relatif pelik &
sulit. Disinilah dituntut kearifan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan agar
masalah dapat terselesaikan dengan baik.
Seorang pemimpin boleh berprestasi tinggi untuk dirinya sendiri, tetapi itu tidak
memadai apabila ia tidak berhasil menumbuhkan dan mengembangkan segala yang
terbaik dalam diri para bawahannya. Dari begitu banyak definisi mengenai pemimpin, dapat
penulis simpulkan bahwa : Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta memiliki
sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau mengatur orang lain.
B. GAYA KEPEMIMPINAN
Gaya kepemimpinan ialah cara pemimpin membawa diri sebagai pemimpin, cara
berlagak dalam menggunakan kekuasaannya, misalnya (1) gaya kepemimpinan otoriter, (2)
gaya kepemimpinan demokratis, (3) gaya kepemimpinan paternalistik. Selanjutnya Keating
(1986:9) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan hanya ada dua macam, yaitu: (1) gaya
kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (task oriented) dan (2) gaya kepemimpinan
yang berorientasi pada manusia (Human relationship oriented).
Antara gaya kepemimpinan dan tipe kepemimpinan diartukan sebagai suatu yang
identik, seperti yang dikemukakan oleh Siagian (1994:30) bahwa gaya kepemimpinan
seseorang akan identik dengan tipe kepemimpinan orang yang bersangkutan yang
meliputi:
gaya/tipe otokratik
gaya/tipe paternalistik
gaya/tipe kharismatik
gaya/tipe laissez-faire
gaya/tipe demokratis
Kepemimpinan pada hakekatnya merupakan produk situasional. Dalam hubungan
ini, keberhasilan kepemimpinan di sekolah sebenarnya akan lebih banyak ditentukan oleh
faktor-faktor situasi seperti: karakteristik individu yang dipimpin, pekerjaan lingkungan
sekolah, kebudayaan setempat, kepribadian kelompok, dan bahkan waktu yang dimiliki
oleh kepala sekolah.
Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan
dari kekuasaanya, bukan kecerdasannya, tapi dari kekuatan pribadinya. Seorang pemimpin
sejati selalu bekerja keras memperbaiki dirinya sebelum sibuk memperbaiki orang
lain. Pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan
sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari
proses internal (leadership from the inside out).
Kata pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan memiliki keterikatan yang tak dapat
dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka satu sama
lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria
yang tergantung pada sudut pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu
kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki
yang mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang
akan diterapkan.
Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian
dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap
ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika
keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang
lahir menjadi pemimpin sejati. Kehidupan manusia tidak lepas dari masalah. Serangkaian
masalah tidaklah boleh didiamkan. Setiap masalah yang muncul haruslah diselesaikan.
Dengan memiliki jiwa kepemimpinan, seseorang akan mampu menaggulangi setiap
masalah yang muncul.
Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mau mendengar. Mau mendengar
setiap kebutuhan, impian, dan harapan dari mereka yang dipimpin. Pemimpin yang
melayani adalah pemimpin yang dapat mengendalikam ego dan kepentingan pribadinya
melebihi kepentingan public atau mereka yang dipimpinnya. Mengendalikan ego berarti
dapat mengendalikan diri ketika tekanan maupun tantangan yang dihadapi menjadi begitu
berat,selalu dalam keadaan tenang, penuh pengendalian diri, dan tidak mudah emosi.
Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan
dari kekuasaanya, bukan kecerdasannya, tapi dari kekuatan pribadinya. Maka jika ingin
menjadi pemimpin yang baik jangan pikirkan orang lain, pikirkanlah diri sendiri dulu. Tidak
akan bisa mengubah orang lain dengan efektif sebelum merubah diri sendiri.
C. MORAL KEPEMIMPINAN
Moral kepemimpinan nasional yang bersumber pada Pancasila tercermin secara
terpadu dalam kelima sila Pancasila yaitu :
Pertama, moral ketakwaan yang dicirikan dengan keimanan, dan kesetaraan sesama
manusia di mata Tuhan. Refleksi yang muncul ialah menghargai pekerjaan, mempercayai
kemampuan dan menghormati orang pada bidang pengabdiannya. Dalam konteks otonomi
daerah, ciri ini penting untuk memberikan delegasi wewenang dengan prinsip kepercayaan
tersebut.
Kedua, moral kemanusiaan, pengakuan akan HAM, membangun kohesi sosial,
mendorong harmoni kehidupan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks
otonomi daerah, ciri ini penting untuk menjaga harmonisasi daerah dan dalam hubungan
pusat daerah serta antar daerah.
Ketiga, moral kebersamaan dan kebangsaan, semangat persatuan diantara sesama warga
dan untuk mencapai tujuan bersama, mengutamakan kepentingan nasional dari pada
pribadi atau golongan.
Di antara berbagai teori yang menjelaskan sebab-sebab timbulnya kepemimpinan
terdapat tiga teori yang menonjol, yaitu:
kecerdasan. Orang yang cerdas akan mampu mengatasi masalah dalam waktu yang lebih
cepat dan cara yang lebih efektif.
keterampilan mengajar Pemimpin yang baik adalah yang mampu menuntun, mendidik,
mengarahkan, mendorong, dan menggerakkan anak buahnya untuk berbuat sesuatu.
kepercayaan Keberhasilan kepemimpinan didukung oleh kepercayaan anak buahnya,
yaitu percaya bahwa pemimpin dengan anggota berjuang untuk mencapai tujuan.
karena pamong praja tidak saja memainkan peran sebagai abdi negara dan abdi
masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan masyarakat tapi juga peran strategis
dalam menjaga keutuhan Negara Republik Indonesia. Pamong praja berperan dalam
mengelola berbagai keragaman dan mengukuhkan keutuhan Negara. Ndaraha (2009)
mengatakan pamong praja adalah mereka yang mengelola kebhinekaan dan mengukuhkan
ketunggalikaan.
Di lingkungan Kementerian Dalam Negeri sebutan Pamong Praja terkait dengan
Satuan Polisi Pamong Praja (UU 32/2004 dan PP 6 Tahun 2010) dan lembaga pendidikan
Institut
Pemerintahan
Dalam
Negeri
(IPDN)
sebagai
Pendidikan
Tinggi
Kepamongprajaan sebagaimana dalam Peraturan Presiden No 1 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Keptusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan
Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri ke dalam Institut Ilmu Pemerintahan. Peserta
didik atau mahasiswa IPDN disebut Praja dan lulusannnya disebut sebagai Pamong
Praja Muda.
Kalau pamong praja diartikan secara etimologis sebagai aparat atau pejabat
pemerintahan yang bertugas mengemong dan menjadi abdi Negara, abdi masyarakat,
maka pamong praja adalah semua aparat yang melakukan aktivitas melayani, mengayomi,
mendampingi serta memberdayakan masyarakat, dengan demikian koorps pamong praja
sangat meluas, termasuk di dalamnya aparat kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Tentara Nasional Indonesia serta semua aparat pemerinatahan lainya yang melaksanakan
urusan pemerintahan selain di lingkungan Kementerian Dalam Negeri. Pamong praja
adalah mencakup pejabat pusat yang ada di pusat, pejabat pusat yang ada di daerah
maupun pejabat daerah yang ada di daerah.
Selain prinsip kepemimpinan yang dicetuskan Ki Hadjar Dewantara, ada satu prinsip
kepemimpinan Jawa lain yang dikenal dengan nama HASTA BRATA. Hasta yang artinya
delapan dan Brata yang artinya pegangan atau pedoman. Secara singkat inilah yang
dimaksud Hasta Brata itu:
o Matahari (surya) Matahari merupakan sumber energi dan sumber kehidupan, bahkan
proses fotosintesa tumbuhan juga menggunakan matahari sebagai sumber utama. Oleh
karena itu diharapkan seorang pemimpin bisa menjadi layaknya matahari, pemimpin harus
bisa menumbuhkan motivasi-semangat para bawahan (dan rakyatnya) supaya menjadi
produktif.
o Bulan (candra) Bulan memiliki sinar yang indah dan memberi penerangan di saat malam.
Seorang pemimpin idealnya harus dapat menyenangkan,menarik hati dan memberi terang
kepada anak buahnya.
o Bintang (kartika) Bintang dapat digunakan sebagai pedoman arah mata angin. Seorang
pemimpin diharapkan dapat memberikan petunjuk, bimbingan dan arahan kepada para
bawahan.
o Mega-Mendung Mendung bersifat menakutkan,berwibawa, tetapi setelah berubah menjadi
air atau hujan, dapat menyegarkan semua makhluk hidup. Seorang pemimpin harus
menjaga kewibawaan dengan berbuat jujur, terbuka dan pada akhirnya tetap memberikan
manfaat bagi rakyat dan bawahannya.
o Angin (maruta) Sifat angin adalah selalu mengisi kekosongan, yaitu mengalir ke tempat
dengan tekanan lebih rendah. Seorang pemimpin harusnya selalu tanggap dengan
kekosongan (penderitaan) yang dialami oleh rakyatnya. Seorang pemimpin juga
diharapkan tidak hanya selalu berada di tempat yang tinggi tetapi dia juga harus rela
mengalir ke tempat rendah, rela melibatkan diri membantu masyarakat bawah.
o Samudra Samudera memiliki sifat air, yaitu permukaannya datar. Jadi seorang pemimpin
seharusnya juga memiliki permukaan yang datar dalam artian memiliki sifat adil. Orang
Jawa sering menggunakan istilah jembar segaran (luas laut/samuderanya) untuk
menyatakan sifat pemaaf. Seorang pemimpin harusnya bersifat pemaaf (tapi ya harus tahu
kesalahan yang seperti apa yang layak dimaafkan, jangan lantas semua koruptor
dimaafkan dan dibebaskan). Samudera juga sangat luas, sebagian besar permukaan bumi
merupakan perairan/laut. Begitu juga dengan pemimpin, diharapkan seorang pemimpin
memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas.
o Api (dahana) Api bersifat membakar apa saja yang bersentuhan dengannya. Api juga akan
bermanfaat jika jumlahnya proporsional, jika jumlahnya berlebihan maka api akan
berbahaya. Jadi seorang pemimpin harus mampu bertindak tegas dan adil tanpa pandang
bulu. Di samping tegas, seorang pemimpin harus mempunyai prinsip konsisten serta dapat
menahan emosi atau mengendalikan diri.
o Bumi Bumi merupakan tempat tumbuhnya berbagai macam tumbuhan dan juga tempat
berbagai macam mineral yang sangat dibutuhkan secara langsung oleh manusia. Seorang
pemimpin idealnya meniru sifat bumi yaitu dermawan dan rela berkorban termasuk dirinya
sendiri.
menjadi Raja di IPDN Jatinangor. Jadi, kalau diartikan bebas, Pangreh Praja lebih
merujuk pada pejabat politik yang memiliki derajat kekuasaan tertentu. Berbeda dengan
istilah Pamong yang merujuk pada kata among, ngemong atau momong. Istilah ini
menurut Nurdin (2010)[5] merupakan kata yang bersifat multidimensional, seperti
kata mengemong anak atau mengasuh anak kecil. Dalam perspektif pragmatis, Tursandi
(2010) menambahkan, istilah Pamong paling tidak menekankan pada seorang pelayan
publik agar mampu me-ngemong (melayani), ngomong (berkomunikasi) dan siap diomong (dinilai). Dalam kaitan itu Pamong Praja diartikan sebagai pegawai negeri yang
mengurus pemerintahan negara. Maknanya, birokrasi Jawa di bentuk untuk melayani
rakyat sebagaimana mengasuh anak, penuh perlindungan dan kasih sayang selama
kapanpun. Jika demikian maka dari aspek substansi, birokrasi Jawa dapat dibagi dalam
dua level yaitu, kelompok Pangreh Praja yang menitikberatkan pada pola kekuasaan atau
kepemimpinan (cenderung berst dilayani), dan kelompok Pamong Praja yang
menitikberatkan pada pola pelayanan kepada masyarakat (cenderung melayani).
Untuk memudahkan pengamatan terhadap perkembangan basis rekrutmen
pendidikan pamong praja maka pilihan periode 1990-2009 dijadikan tolok ukur sehubungan
penyatuan seluruh Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) daerah menjadi APDN
Nasional pada tahun 1990. Pada tahun 1992 status APDN berubah menjadi Sekolah
Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) hingga tahun 2004. Penggabungan IIP dan
STPDN pada tahun 2004 menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dengan pola
regionalisasi setidaknya menunjukkan kembalinya pola-pola rekruitmen dengan basis
lokal. Pada periode 1990 sd 2004, basis rekrutmen pamong praja berasal dari masyarakat
biasa (lulusan SMU) yang diintegrasikan di Jatinangor. Sekalipun pemerintah lebih
membuka kesempatan pada masyarakat umum melalui seleksi ketat di daerah hingga
pusat, namun faktanya rekrutmen relatif mewakili kelompok elite dibanding masyarakat
umum melalui standar yang ditetapkan.
Strategi pengembangan karakter kepemimpinan melalui basis rekrutmen pamong
praja hari ini haruslah di evaluasi kembali. Pengembangan karakter kepemimpinan melalui
aspek intelektualitas, emosional dan spiritual menjadi strategi yang tak terhindarkan.
Mendidik pamong praja melalui penanaman kekuasaan yang bersifat de jure semata (law
centris) tak menjawab dinamika perkembangan politik pemerintahan dewasa ini. Faktanya,
kaderisasi elit dalam masyarakat melalui instrument partai politik maupun lembaga
kemasyarakatan lainnya tampaknya mengalami kemacetan/kebuntuan (stagnan), bahkan
berjalan tanpa proses yang memadai.
banyak lulusan APDN, IIP, STPDN dan IPDN yang sekalipun muda namun di nilai
masyarakat mampu mengemban misi pemerintahan sebagai Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah. Ini menunjukkan bahwa akseptabilitas moral masyarakat (legitimasi)
terhadap alumni mengalami perluasan tidak saja dalam konteks penegasan kekuasaan
secara de jure, tetapi juga de fakto. Asumsi ini di dukung oleh banyaknya pendaftaran
kandidat Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam 5 tahun terakhir yang berasal dari
kalangan alumni pendidikan Pamong Praja.
Sepanjang elit dalam masyarakat (termasuk partai politik) mampu menciptakan
sirkulasi secara sehat dan memadai, maka pendidikan pamong praja tentu saja lebih
relevan jika ditempatkan secara proporsionalitas sebagai manajer yang tangguh dalam
birokrasi modern. Sebaliknya, jika partai politik gagal membangun pola sirkulasi sesuai
mekanisme dalam praktek demokrasi prosedural, maka suka atau tidak, basis pendidikan
pamong praja secara alamiah berpeluang mengambil bagian berdasarkan mekanisme dan
konsensus yang disepakati.
Pada dasarnya semua itu bergantung pada tujuan pemerintah dalam kaitan dengan
pembentukan kepemimpinan pemerintahan. Pertanyaan mendasar adalah basis dan
otoritas apa yang kita butuhkan ke depan dalam konteks pendidikan Pamong Praja dengan
berpijak pada realitas sistem politik dan pemerintahan yang berlangsung saat ini? Belajar
dari basis rekrutmen masa lalu serta kebutuhan otoritas, tampaknya perlu dipikirkan
kebutuhan kepemimpinan pemerintahan dalam road map 10 sd 20 tahun ke depan
sehingga basis rektrutmen dapat disesuaikan.
konsep pamong praja bahkan menjadi lebih terbuka dengan perubahan sistem
pemerintahan, dimana istilah urusan pemerintahan umum dan urusan umum pemerintahan
semakin sulit dibedakan dalam kenyataan dilapangan. Bahkan menurutnya, individu yang
melakonkan jabatan pamong praja boleh berasal darimana saja, tanpa melihat latar
belakang pengalaman dan pendidikannya. Tinggal bagaimana membentuk mereka agar
memahami makna pelayanan masyarakat serta dibekali lewat pelatihan jangka pendek
(short courses) dan jangka panjang.
Sebagai korps yang sudah berusia lama serta sudah mengalami pasang surutnya politik
pemerintahan daerah, Pamong Praja telah memiliki kode etik (code of conduct) yang
dinamakan Hasta Budi Bhakti, yang artinya Delapan Nilai Pegangan Untuk Berbakti.
Kode Etik ini sebenarnya merupakan pegangan moral bagi siapapun yang masuk kategori
Korps Pamong Praja.
Kode etik ini juga merupakan sebuah komitmen moral. Tetapi kelemahan bangsa
Indonesia, banyak membuat komitmen tetapi seringkali tidak konsisten.
KESIMPULAN
Terlepas dari persoalan tersebut, tampaknya, pemahaman terhadap Pamong Praja
yang mensyaratkan kualifikasi kepemimpinan dan kemampuan managerial seperti
dikemukakan Ndraha dalam Ismail (2010:8) cukup relevan dalam pemaknaan
kekuasaan de fakto dan de jure. Kekuasaan de fakto (kharismatik, politis) dapat
dikembangkan melalui pengembangan karakter kepemimpinan, sedangkan kekuasaan de
jure (legal-rasional,authority) dapat di desain melalui pengembangan karakter managerial.
Itulah mengapa kita cenderung melarang alumni STPDN/IPDN setelah lulus menjadi
ajudan kepala daerah, sekalipun penting untuk menumbuhkan karakter managerial pada
waktunya. Tetapi dengan menempatkan alumni di level Desa, Kelurahan dan Kecamatan
sebagai entitas pemerintahan paling bawah, mereka relatif berhadapan langsung dengan
basis sosial yang dengan sendirinya dapat mengembangkan karakter kepemimpinan
secara de fakto, sekaligus mengasah karakter managerial atas kekuasaan de jure.
Pamong Praja sebagai representasi pemerintah dalam melayani masyarakat perlu di
didik secara istimewa/khusus, sebab pemerintah memiliki kekhususan/keistimewaan dalam
memainkan kekuasaan baik secara de jure maupun de fakto. Perlu dibedakan sifat khusus
pada sekolah lain seperti Jaksa, Hakim, Auditor, Polisi atau Tentara yang walaupun di didik
secara khusus namun hanya melaksanakan kekuasaan de jure semata (law centris) tanpa
berhadapan
langsung
dalam
konteks
pelayanan
masyarakat
sehingga
membutuhkan qualified leadership (Ndraha:2010). Inilah yang disebut dengan model
pendidikan specialist-generalis. Kalau alumni AKPOL dan AKMIL bersifat specialist
mengamankan dan mempertahankan, lulusan perguruan tinggi lain bersifat generalistspecialist dalam keilmuan, maka lulusan pamong praja lebih bersifat specialist-generalist
dalam praktek pemerintahan.
atau
membimbing
atau
mendidik.
Dari
menjadi pangamong atau pangemong artinya orang yang mengasuh atau orang yang membimbing
atau orang yang mendidik. Adapun istilah praja" berasai dari bahasa Jawa kuno yang diartikan
kerajaan atau negara, misalnya Praja Ngamarto artinya Kerajaan Ngamarto atau Pendovvo_ Jadi
secara asal kata pamong praja diartikan sebagai :
a. pembimbing kerajaan,
b. pengasuh negara,
c. pendidik negara.
Dalam sejarah tercatat bahwa kata among merupakan metode terkenal sebagai pendidikan
Nasional Taman Siswo yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantoro di Yogyakarta tanggal 3 Juli 1992.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pamong Praja berarti pegawai - Negeri yang
mengurus pemerintahan Negara. Dalam Kamus Indonesia-Inggris diterjemahkan Pamong Praja
sebagai Civil Service. Jadi Pamong Praia dapat diartikan sebagai pengasuh pemerintahan, atau
abdi mayarakat_
Menurut Wajong (1972. -13), bahwa dinas pemerintahan umum dengan Pamong Prajanya
merupakan organisasi tua, dimulai dari kedatangan Belanda pada lahun 1596. Adapun sejarah
penggunaan istilah pamong antara lain :
Dalam sejarah tercatat bahwa kata among merupakan metode terkenal sebagai
pendidikan Nasional Taman Siswo yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantoro di Yogyakarta
tanggai 3 Juli 1992.
Dari peristilahan dan makna pamong praja di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian
pamong praja meliputi :
a. Pembimbing kerajaan artinya pembimbing masyarakat kerajaan;
b. Pengasuh negara artinya pengasuh masyarakat negara;
c. Pendidik negara artinya pendidik masyarakat negara.
2. Definisi Parnong Praia
Pada masa kini Pamong Praia menurut Sadu Wasistiono dalam makalahnya yang
disampaikan pada Temu Akbar Alumni Pendidikan Pamong Praja Propinsi Jawa Barat pada
tanggal 29 Maret 1999 dengan judul Redefinisi, Reposisi dan Refungsianalisasi Korps Pamong
Praia (Wasistiono, 1999). Ditawarkannya definisi Pamong Praja dengan paradigma baru, yaitu
sebagai berikut :
Pamong Praja adalah Aparatur (pusat maupun Daerah) yang dididik secara khusus untuk menjalankan
tugas-lugas pemerintahan dengan kompetensi dasar Koordinasi, Kolaborasi dan Konsensus (3K) dalarn
rangka memberikan i
Indonesia.
Menurut beliau definisi ini masih terbuka untuk diperdebatkan, terutama mengenai tiga
kompetensi dasar yang perlu diimiliki oleh anggota Korps Parnong Praja. Selain melakukan
redifinisi, bagi Sadu Wasistiono, Korps Pamong Praja juga harus melakukan reposisi, dalam arti
menata ulang kedudukan dan hubungannya dengan pemerintah serta partai yang berkuasa,
sejalan dengan kebijakan pemerintah nasional sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 yang diperbaiki dengan Peraturan Pemerintah Nornor 12
Tahun1999 Tentang Netralitas Pegawai Negeri Sipil. Selain itu, Korps Pamong Praja harus
melakukan refungsionalisasi, yaitu menata lagi fungsi-fungsi yang selama ini dijalankan oleh
pamong praja. Selanjutnya dijelaskan :
Perlu diakui secara jujur hahwa selama ini fungsi-fungsi yang dijalankan oleh Korps
Pamong Praja belum tampak secara jelas, bercampur aduk karena adanya pengembangan karier
secara lintas keahlian. Pada akhimya pengetahuan dan kemahiran yang dimiliki Korps Pamong
Praja menjadi tidak jelas juga, sehingga sulit untuk dikategorikan sebagai sebuah profesi yang
utuh dan mandiri. Syarat untuk menjadi sebuah profesi yang utuh dan mandiri adalah (Sadu
Wasistiono, 1999) :
1. Disiapkan melalui pendidikan khusus;
2. Mengembangkan pekerjaan dan kariernya melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat khusus
berkaitan dengan pendidikannya;
3. Tergabung dalam sebuah organisasi profesi;
4. Terikat pada kode etik.
Perdebatan mengenai profesi pamong praja sudah berjalan sejak lama. Pada akhimya
telah
sebuah profesi
umum (general profession). Konsekuensi logisnya profesi umum tersebut dapat masuk ke
mana-mana (fidak spesifik) dan dapat dimasuki oieh siapapun yang berminat dan memenuhi
syarat yang bersifat sangat longgar. Sehubungan dengan hal tersebut, maka kurikulum di IPDN
mengikuti acuan outputnya sebagai generalist.
Menurut Wajong (1972:13), bahwa dinas pemerintahan umum dengan Pamong Prajanya
merupakan organisasi tua, dimulai dari kedatangan Belanda pada tahun 1596. Adapun sejaran
pentggunaan istiiah pamong antara lain :
1. lnstitusi dan korps Pangreh Praja - istilah pada zaman penjajahan Belanda - disebut
dengan Binnenfanas Besfuvr (BB), terdiri dari para pejabat departemen dalam negeri yang
ditempatkan di daerah yang bertugas memelihara ketentraman dan ketertiban serta
menyelenggarakan kesejahteraan umum. Tugas korps Pangreh Praja mencakup bidang yang
sangat luas. Pada masa itu, korps Pangreh Praja merupakan alat pemerintahan asing
(Koesoemahatrnadja, 1979 - 44) 1
2. Pada masa sesudah kemerdekaan, istilah Pangreh Praja diganti menjadi Pamong Praja
dengan alasan bahwa kedudukan dan tugas Pangreh Praja dalam Negara yang merdeka
berbeda dengan pada masa penjajahan. Presiden R1 pada tahun 1953 mengatakan bahwa
pengertian pamong lebih dalam artinya dari pada pengertian pemimpin ataupun pengasuh.
Prinsip pokok dalam mengemong adaJah TUT WURI HANDAYANI, mengikuti di belakang
tetapi tetap mempengaruhi (dalam The Liang Gie, 1988:170);
3. Dalam statuta 1PDN ditetapkan bahwa IPDN merupakan komponen Kementrian Dalam
Negeri
yang
menyelenggarakan
pendidikan
kedinasan
Kader
Pamong
Praja.
maka
kepamongprajaan
berarti
kemampuan
membuat
sejarah (history
making), sehingga buah pemikiran besar pamong praja Indonesia - yaitu mereka yang memiliki
kualitas kepamongprajaan yang dapat mempengaruhi perjalanan sejarah Indonesia di tengahtengah dunia beratus-ratus tahun kemudian.
Kepamong-prajaan pada puncak kualitasnya yaitu kenegarawanan, bukanlah hanya milik
Kementrian Dalam Negeri akan tetapi milik dunia.
kebutuhan
akan
tenaga
ahli,
yang
tenaga-tenaga
Pamong praja sebagai kader pemerintahan sipil di lingkungan Kementrian Dalam Negeri
Pamong praja sebagai kader pemerintahan sipil diperlukan pada setiap jenjang
Pamong praja generalis yang mengetahui dan mengenal sedikit demi sedikit tentang
semakin banyak hal. Dalam hubungan ini, kepamongprajaan lebih sebagai seni (art) dan
kreativitas ketimbang tekhnik dan spesialisasi. Kualitas ini tidak dapat dipenuhi oleh perguruan
tinggi umum yang cenderung spesialistik.
4.
Pamong
praja
adalah
dinas
karier.
Kesinambungan,
konsistensi,
keselarasan,
keseimbangan dan keserasian program memberikan tenaga yang bebas dari pengaruh rezim
politik lima tahunan seperti yang terjadi selama ini. Hubungan antara pamong praja dengan
politisi harus bersifat transformasional, bukan transaksional. Selama ini masing-masing unsur
struktur supra (trias politika) asik bertransaksi antara mereka, sehingga stuktur infra terlupakan.
Pamong praja sendiri harus selektif, bukan elektif.
5.
Pamong praja memerlukan kecerdasan. Kecerdasan tidak dapat terbentuk melalui diklat
jangka pendek, doktrin, instruksional, dan rekrutmen berdasarkan spoil system, bersifat
insidental, tetapi melalui pendidikan formal berijazah dan pengalaman yang luas.
6.
Pamong praja adalah tenaga pemikir dan perancang pemerintahan. Kemampuan berpikir
teoritik dan konseptual tidak dapat terbentuk rnelalui pendidikan profesional berprogram diploma
atau spesialis. Pendidikan seperti itu ditujukan pada profesi dan job tertentu yang ditawarkan
pasar. Sebaliknya profesi dan job pamong praja bersifat publik, sudah tersedia. Oleh sebab itu,
kualitas pamong praja dibentuk melalui program pendidikan akademik.
7.
Pamong praja perlu dibekali dengan llmu Pemerintahan sebagai pedoman dalam
menjalankan tugas-tugasnya.
8.
Pamong praja adalah profesional. Seorang profesional mengabdi pada profesi (pekerjaan),
bukan pada orang. Pengabdian tersebut bersumber pada pertimbangan- pertimbangan ilmiah
(teoritik), dan karena ilmu yang menjadi andalan adalah Kybernologi, maka pertimbanganpertimbangan itu demi perlindungan kemanusiaan dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
9.
Pamong
praja
adalah
kepala,
manajer,
pemirnpin,
koordinator, conductor
(dirigen), penyelamat, dan pengelola sisa. Pemerintahan dapat dipandang sebagai organisasi,
usaha, dan komunitas, yang terdiri dari komponen yang berbeda-beda dengan kondisi yang
berlain-lainan. Gerakan komponen-komponen itu harus harmoni satu dengan yang lain agar
bersama-sama menghasilkan kinerja optimal. Oleh sebab itu, pamong praja harus memiliki
kekepalaan, manajemen, dan kepemimpinan.
10.
kenegarawanan.
Seorang
negarawan
menghasilkan
pikiran-pikiran
Negeri yaitu lnstitut Pemerintahan Dalam Negeri (1PDN) rnelalui jenjang pendidikan D4, S1, S2
dan S3.
12.
Kepamongprajaan adalah jiwa kerja korps yang berwawasan nusantara dan bersemangat
kesebangsaan.
1. Pemimpin Transfromasional
Pada masa yang akan datang aktivitas kepamongprajaan di Indonesia sudah dipastikan
akan mengalami perubahan-perubahan yang cepat sebagai konsekuensi logis dari adanya
pembaruan pemerintahan dan reformasi Pamong Praja. Berdasarkanmodeling system dynamics,
maka visi dan misi Pamong Praja abad 21 dapat dipetakan.
Beberapa karakteristik penting dari pemimpin transformasional diperlukan dalam
dinamika perbaikan manajemen kualitas (Gaspersz, 1997:197), yaitu :
1. Memiliki visi yang kuat
2. Memiliki peta tindakan (map for action)
3. Memitiki kerangka untuk visi (frame for the vision)
4. Memiliki kepercayaan diri (self confidence)
5. Berani mengambil resiko
6. Memiliki gaya pribadi inspirasional
7. Memiliki kemampuan merangsang usaha-usaha individual
8. Memiliki kemampuan mengidentifikasikan manfaat-manfaat
2. Pemimpin Visioner
Kepemimpinan Visioner. Seperti yang sudah disebutkan dimuka bahwa, Pamong
Praja merupakan Leader (Pemimpin) maupun Headship (Kepala). Kepemimpinan dalam
mewujudkan pemerintahan yang baik adalah kepemimpinan yang harus memenuhi syarat
berakhlak bersih dan tidak cacat moral (Thoha, 1997:112). Pemimpin yang bermoral dan
berakhlak yang ditandai dengan kebersihan akidah, akhlak, tujuan hidup, harta dan bersih
pergaulan sosial. Syarat ini yang harus perta ma dan utama untuk memilih dan mengangkat
pemimpin dalam birokrasi pemerintah termasuk Pamong Praja . Selain itu, pemimpin harus
memiliki visi mau dibawa ke mana tugas-tugas pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
Selanjutnya dijelaskan bahwa, visi mencakup upaya yang mampu melihat jangkauan ke
depan yang berskala nasional maupun global. Ia menanamkan "Kepemimpinan Visioner"
atau dengan kata lain seorang pemimpin yang mampu melihat jangkauan ke depan secara
"Glokal (bervisi global-action lokal).
Visi pada hakekatnya adalah untuk menjelaskan arah pencapaian tujuan, diikuti
peningkatan kualitas kerja peningkatan kinerja organisasi. Menurut Suradinata (Abdi
Praja 1997:11), ada lima fenomena kualitas Pamong Praja, yaitu:
1. Memberikan pelayanan pada masyarakat baik dalam iingkup aparatur maupun masyarakat
umum.
2. Pengembangan diri, tuntunan terhadap kemampuan setiap Pamong Praja. Untuk itu,
mereka harus terus belajar dan meningkatkan pendidikan dan pelatihan baik melalui
penjenjangan maupun diklat tekhnis fungsional.
3. Pelaksanaan tugas, yaitu melaksanakan tugas tanggung jawabnya selaku aparatur
pemerintah dalam negeri yang lebih mengutarnakan tugas pokok.
4. Keteladanan. Sebagai seorang Pamong Praja, keteladanan merupakan aspek yang
menentukan. Dalam Kepemimpinan Pancasila, keteladanan merupakan sikap konsisten
dan konsekuen dalam menghayati dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya.
5. Lingkungan, mencakup faktor alam dan sosial yang antara lain terdiri dari etika, moral,
budaya, serta jati diri bangsa Indonesia.
Di samping itu, organisasi birokrasi pemerintah (Pamong Praja) harus berkualitas.
Kualitas Pamong Praja yang diharapkan pemerintah menurut Taufik (1999:86-87) adalah :
1.
Profesionalisme aparatur pemerintah yang memadai dan secara tepat tanggap terhadap
terpadu dengan didasari pembinaan yang spesifik selain pembinaan kemampuan tekhnis
administratif dan pembinaan moral-agamis (Suradinata, 1997:92).
Merujuk pada uraian di atas (Wasistiono, Gaspersz, Sarundajang, Thoha, Suradinata dan
Taufik), maka dapatlah disusun Visi Pamong Praja Abad Ke-21,sebagai berikut ;
1.
Profesionalisme Korps Pamong Praja sudah lebih meningkat dengan karakteristik utama
berupa pemberian pelayanan kepada masyarakat
2.
Koordinasi menjadi alat utama guna meningkatkan efisiensi pemberi pelayanan kepada
masyarakat
3.
Selain mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang bersifat umum (generalis), Pamong
Praja juga mempunyai keahlian khusus (spesialisasi) yang bisa diandalkan.
4.
5.
Memiliki kemampuan bernegosiasi yang telah menjadi satu keahlian Korps Pamong Praja
yang dapat ditonjolkan
6.
Menjalankan Kepemimpinan Transformasional yang bersifat mengayomi, adil dan jujur serfa
berakhlak yang baik tanpa ada cacat moral
7.
Mengutamakan kualitas kerja dan kualitas pelayanan, baik pada instansi pemerintah maupun
pelayanan prima kepada masyarakat
8.
Mempunyai Strategic
Vision dalam
mengantisipasi
perubahan
pemerintahan
maupun
K o d e E t i k P e t u g a s Ad m i n i s t r a s i
The Lang Gie (1993:7.11), menjelaskan sebagai berikut : Perhimpunan -perhimpunan para
petugas administrasi di Amerika dalam tahun 1984 menyetujui sebuah kode etik yang memuat
asas-asas dan ukuran-ukuran baku moral yang menjadi petunjuk bagi para anggotanya
sebagai petugas administrasi pemerintahan, sebagai berikut :
1.
keyakinan
dan
kepercayaan
rakyat
pada
pranata-pranata
bangsa : (demonstrate the higest standards of personal integrity, truthfulness, honesty and
tortitude in all our public activities in order to inspire public confidence and trust in public
institutions) :
2.
Melayani rakyat secara hormat, perhatian, sopan, dan tanggap dengan mengakui bahwa
pelayanan kepada rakyat adalah di atas pelayanan terhadap diri sendiri : (service the public
with respect, concern, courtesy, and responsiveness, recognizing that service to the public is
beyond service to oneself) :
3.
4.
5.
Melayani dalam suatu cara sedemikian hingga kita tidak mewujudkan keuntungan pribadi
yang tidak semestinya dari pelaksanaan kewajibankewajiban resmi kita : (serve in such a way
that we do not realize undue personal gain from the performance of our official duties) :
6.
7.
Menghormati dan melindungi keterangan berdasarkan hak-hak istimewa yang kita dapat
memperolehnya dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban resmi : (respect an protect the
privileged information to which we have acces in the course of official duties) :
8.
Menjalankan wewenang kebijaksanaan apapun yang kita miliki menurut hukum untuk
memajukan kepentingan umum : (exercisewhatever discreationary authority we have under law
to promote the public interest) :
9.
Menerima sebagai suatu kewajiban pribadi tanggung jawab untuk mengikuti perkembangan
baru terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dan menangani urusan rakyat dengan
kecakapan profesional : (accept as a personal duty the responsibility to keep up to date on
emerging issues and to administer the public's business with professional competences, fairbess,
impartiafy, efficiency and effectiveness) :
10. Mendukung, menjalankan, dan memajukan penempatan tenaga kerja menurut penilaian,
kecakapan serta program-program tindakan afirmatifguna menjamin kesempatan yang sama
pada penerimaan, pemeliharaan, dan peningkatan kita terhadap orang-orang yang memenuhi
persyaratan dari segenap unsur masyarakat : (support,implement, and promote merit
employment and programs of affirmative action to assure equal opportunity by our recruitmens
selection, and advancement of qualified persons from all elements of society) :
11. Melenyapkan semua bentuk pembedaan yang tak sah, kecurangan, salah urus keuangan
Negara serta mendukung rekan-rekan kalau mereka berada dalam kesulitan karena usaha yang
bertanggung jawab untuk memperbaiki pembedaan, kecurangan, salah urus atau salah pakai
yang demikian itu : (eliminate all forms of illegal discrimination, fraud, and mismanagement of
public funds and support collegagues if they are in difficulty because of responsible efford to
correct such discrimination, fraud, mismanagement or abuse) :
12. Menghormati, mendukung, meneiaah, dan bilamana periu berusaha untuk menyempurnakan
konstitusi-konstitusi Negara federal dan Negara bagian serta hukum-hukum lainnya yang
mengatur hubungan-hubungan di antara instansi-instansi pemerintah, pegawai-pegawai,
nasabah-nasabah, dan semua warga-warga : (respect, support, study, and when necessary, work
to improve federal and state constitutions, and other laws which define relationship among public
agencies, employees, clients, and all citizens).
1.
2.
3.
Beranjak dari definisi pamong praja yang telah ada, Sdr diminta merumuskan kembali definisi
pamong praja sehingga menjadi jelas !
Jelaskan apa yang dimaksud dengan pemimpin visioner ?
7. Jelaskan Visi Pamong Praja yang sangat mendesak pada Abad Ke-21!
Profesionalisme Korps Pamong Praja sudah lebih meningkat dengan karakteristik utama
berupa pemberian pelayanan kepada masyarakat
2.
Koordinasi menjadi alat utama guna meningkatkan efisiensi pemberi pelayanan kepada
masyarakat
3.
Selain mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang bersifat umum (generalis), Pamong
Praja juga mempunyai keahlian khusus (spesialisasi) yang bisa diandalkan.
4.
5.
Memiliki kemampuan bernegosiasi yang telah menjadi satu keahlian Korps Pamong Praja
yang dapat ditonjolkan
6.
Menjalankan Kepemimpinan Transformasional yang bersifat mengayomi, adil dan jujur serfa
berakhlak yang baik tanpa ada cacat moral
7.
Mengutamakan kualitas kerja dan kualitas pelayanan, baik pada instansi pemerintah maupun
pelayanan prima kepada masyarakat
8.
Mempunyai Strategic
Vision dalam
mengantisipasi
perubahan
pemerintahan
maupun
Internalisasi Nilai-Nilai
Kebijakan internalisasi nilai-nilai kepamongprajaan di IPDN diterapkan dalam beberapa
tahapan pengasuhan yaitu : Tahap Penanaman (Muda Praja), Penumbuhan (Madya Praja),
Pengembangan (Nindya Praja) dan Pendewasaan (Wasana Praja).
Muda Praja (Tahap Penanaman), meliputi penanaman nilai-nilai etis yang berkaitan dengan sikap
dan sifat seorang pamong yang mampu memberikan pelayanan prima pada masyarakat. Pada
tahap Penumbuhan (Madya Praja), meliputi penanaman nilai-nilai yang berkaitan dengan
menumbuhkembangkan disiplin pribadi, harga diri, kesadaran akan tugas dan tanggung jawab,
mempertinggi percaya diri, kerjasama dan meningkatkan motivasi berprestasi. Internalisasi nilainilai pada tahap Pengembangan (Nindya Praja), meliputi penanaman nilai-nilai yang berkaitan
dengan mengintegrasikan nilai-nilai yang telah ditanamkan pada tahapan sebelumnya agar
tercipta kesadaran praja terhadap kualitas diri dan pekerjaan .
Pendewasaan (Wasana Praja), berkaitan dengan mengembangkan praja sebagai pribadi yang
mandiri dan adaptif.
kegiatan
ekstrakurikuler
meliputi Pembinaan
Kreativitas (pembinaan
ketaatan
beribadah;
toleransi
kehidupan
beragama;
kegiatan
Iman dan
kejujuran;dan
kebersihan. Kepedulian dan Pengabdian meliputi : empati dan kepekaan sosial; adaptasi; rasa
tanggung jawab; dan tanpa pamrih. Kualitas meliputi : percaya diri; terampil; berfikir kritis, kreatif
dan inovatif; serta kestabilan jasmani dan rohani. Integritas meliputi : pantang menyerah; berani;
loyal; konsisten; dan kesatria. Kepemimpinan meliputi : kemampuan memotivasi; keteladanan;
dan kerjasama. Sedangkan Disiplin meliputi : aktualisasi diri; ketaatan pada aturan; mawas diri;
dan kemandirian.
2. Belajar bagaimana memahami dan bekerja dengan kekuatan pembaharuan (dengan tidak melawan
kekuatan tersebut);
3. Selalu ingin tahu, memiliki komitmen untuk secara terus menerus melihat realitas (kenyataan) yang
lebih akurat;
4. Merasa terkait satu dengan yang lain dan dengan kehidupan itu sendiri, tanpa mengorbankan
keunikan masing-masing;
5. Sangat menyadari ketidaktahuan, ketidakmampuan bidang pertumbuhan mereka;
6. Sangat percaya diri;
7. Mengambil banyak prakarsa;
8. Mempunyai rasa tanggung jawab penuh atas pekerjaan;
9. Belajar lebih cepat;
10. Mereka lebih dekat dengan hati mereka;
11. Hidup dalam semangat belajar yang terus menerus;
12. Dll.
Perkembangan emosional seperti tersebut diatas memberikan daya ungkit (leverage) yang
besar untuk menggali potensi diri (kita); termasuk potensi diri pamong praja yang menunjang
penegakan nilai-nilai etis individu, profesi dan organisasi.
Model-model Mental (MM) merupakan citra, asumsi dan ceritera-ceritera yang ada dalam
pikiran sendiri dan orang lain tentang setiap aspek kehidupan di dunia. Asumsi-asumsi yang telah
tertanam secara mendalam, generalisasi, bahkan gambar-gambar atau persepsi-persepsi yang
mempengaruhi bagaimana kita memahami dunia, dan bagaimana kita mengambil tindakan. Mental
model seorang pamong praja akan mempengaruhi perilakunya. MM akan menentukan seorang
pamong praja bagaimana ia memberi warna dunianya; menentukan bagaimana langkah
tindakannya; mempengaruhi penglihatan, sikap serta tindakannya; dan membentuk perbuatan
yang dia lakukan.
MM sangat menentukan perbuatan seorang pamong praja, karena MM mempengaruhi apa
yang dia lihat. Sebagai contoh dua orang pamong praja yang berlainan, menangani masalah yang
sama, akan menghasilkan hal yang berbeda karena fokus pengamatannya berbeda. MM seorang
pamong praja tidak bisa dikatakan benar atau salah, tetapi masalah akan timbul apabila MM
dibawah sadar. Yang penting MM seorang pamong praja yang berkaitan dengan nilai-nilai etis
individu, profesi dan organisasi terbentuk dengan esensi cinta kebenaran dan keterbukaan.
Building Shared Vision atau Membangun Visi Bersama (MVB) adalah membangun
komitmen kelompok dengan mengembangkan citra bersama tentang wujud masa depan yang ingin
diciptakan, dan prinsip-prinsip serta pedoman-pedoman untuk menciptakan hal tersebut. Beberapa
proses membangun visi bersama yang dilakukan pamong praja antara lain: mencermati lingkungan
organisasi; mencermati siapa pelanggan organisasi dan stakeholdersnya, berfikir terbuka;
menghargai nilai visi yang ada; serta dalam mengoperasionalkan visi melakukan komunikasi yang
efektif, memperkuat jejaring hubungan (networking), dan menjadikan dirinya sebagai perwujudan
visi tersebut. Selain itu visi yang dibangun harus dapat menarik minat anggota organisasi,
pelanggan dan stakeholders; menggelorakan semangat anggota serta merebut komitmen melalui
bakat, keterampilan, dan sumberdaya yang ada. Hubungan dalam organisasi antara visi yang
dibangun, misi yang ditetapkan untuk mencapai visi, dan nilai-nilai termasuk nilai-nilai etis dalam
menjalankan visi dan misi adalah : Visi tanpa misi = Keinginan yang tidak praktis; Misi tanpa nilai =
Menjurus kearah menghalalkan segala cara; Misi + nilai tanpa Visi = Tak ada inspirasi; sedangkan
Visi + Misi + Nilai-nilai =Identitas organisasi yang menentukan masa depan yang didambakan.
Selain itu esensi dalam membangun visi bersama adalah: Maksud dan tujuan bersama
(commonality of purpose), dan Kemitraan (Partnership).
Tim Pembelajaran (Team Learning) membantu menyelaraskan pikiran dan energi yang
menggerakkan
resonansi
dan
sinergi
dalam
proses
pembelajaran.
Tim
Pembelajaran
temuan-temuan,
dan
wawasan.
Meskipun
kadang-kadang
tercapai
suatu
kesepakatan dalam dialog, namun hal itu bukan tujuan dari dialog itu sendiri. Akan tetapi yang
paling baik adalah pamong praja mempunyai kemampuan untuk memadukan dialog dengan diskusi
terampil. Setelah berdialog selama waktu tertentu, mampu mengalihkannya untuk melakukan
diskusi terampil guna mendapatkan kesepakan-kesepakatan. Untuk
dan diskusi terampil yang optimal, peserta dialog dan diskusi terampil sebaiknya mengenal dan
memahami instrumen-instrumen model-model mental.
Berfikir Serba Sistem (System Thinking) merupakan dasar konseptual bagi membangun
organisasi pembelajaran dan menghadapi kerumitan dinamik yang semakin meningkat (Nusyirwan
Zen, 2003). System thinking mempunyai arti pemikiran yang dilakukan berdasarkan sistem atau
suatu cara berpikir dengan menggunakan sistem. Cara berpikir demikian sering juga disebut cara
berpikir sistemik. Pemahaman pamong praja terhadap pentingnya menerapkan perilaku berpikir
serba sistem karena: Meningkatnya kompleksitas dalam kehidupan; Meningkatnya interdependensi
di dunia; Revolusi dalam teori maupun praktek manajemen; Meningkatnya kesadaran global,
walaupun dengan keputusan lokal; Meningkatnya kesadaran pembelajaran sebagai kunci
kapabilitas organisasi; serta masalah tak dapat diselesaikan dengan cara
berpikir yang
Penutup
Penegakan etika individu, etika profesi, dan etika organisasi melalui penanaman nilai-nilai
etis
yang
menunjang
berjalannya
fungsi-fungsi
pemerintahan
secara
dini
bisa
tinggi
nilai-nilai
etis
pemerintahan.
Pendekatan learning
organization dalam
penanaman nilai-nilai etis pemerintahan, diterapkan melalui internalisasi nilai-nilai secara konsisten
dan berkesinambungan di IPDN dalam rangka
professional.
Daftar Pustaka
Anwar, Dodo. 2005. Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima. Bahan Materi Diklatpim III. Tidak
dipublikasikan.
Dimyati dan Mujiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Cetakan Kedua. Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.
Gabriel Lele. 2010. Peningkatan Kapasitas Etika Dalam Mendorong Perwujudan Good Governance.
Reformasi Aparatur Negara Ditinjau Kembali. Editor Dr. Wahyudi Kumorotomo dan Dr. Ambar
Widaningrum. Pengantar Prof. Dr. Agus Dwiyanto. Diterbitkan atas kerjasama Penerbit Gava Media
dengan Jurusan Manajemen Kebijakan Publik dan Magister Administrasi Publik.
LAN RI. 2003. SANKRI. Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Buku I Prinsip-Prinsip
Penyelenggaraan Negara. Diterbitkan oleh Lembaga Administrasi Negara. Cetakan Pertama.
Nusyirwan Zen. 2003. System Thinking (Berfikir Serba Sistem). Dasar Konseptual Bagi Membangun
Organisasi Pembelajaran dan Menghadapi Kerumitan Dinamik Yang Semakin Meningkat. Bahan
Materi TOT Learning Organization. Tidak Dipublikasikan.
Sumantri, Mulyani. 2003. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi. Disampaikan Pada
Kegiatan Applied Approach 25 Agustus-30 September 2003 di STPDN. Tidak dipublikasikan.
Syafri, Wirman dan Israwan Setyoko. 2008. Implementasi Kebijakan Publik dan Etika Profesi
Pamong Praja.ALQA Prisma Interdelta. Jatinangor.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 1996. Globalisasi dan Pembinaan Kader Pemerintahan. Suatu Tinjauan SosialPsikologik. Bahan Ceramah di STPDN Bandung, 1 Mei 1996. Tidak dipublikasikan.
Peraturan Perundang-Undangan