Anda di halaman 1dari 85

Pamong Praja Sebagai Agent Of Change

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia
selalu berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok
baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil. Hidup dalam kelompok tentulah
tidak mudah. Apalagi seperti kebhinekaan yang ada di Indonesia. Untuk menciptakan
kondisi kehidupan yang harmonis anggota masyarakat yang berbeda dari adat, agama, ras
dan sebagainya haruslah saling menghormati dan menghargai untuk mencapai Indonesia
lebih baik.

Karakteristik sosok kepemimpinan transformasional ini menjadi begitu penting karena


kemajuan teknologi informasi plus peningkatan daya pikir prilaku masyarakat menyebabkan
seorang pamong praja tidak boleh ketinggalan jaman dalam bekerja. Pemimpin atau
pamong praja yang transformasional sudah menjadi jawaban menghadapi globalisasi dan
kompleksitas permasalahan dalam pembangunan masyarakat, oleh karena itu sosok
pamong praja juga harus meningkatkan profesionalisme kerja agar lebih meningkatkan
kerakteristik utama berupa pemberian pelayanan kepada masyarakat yang paripurna. Juga
menjadikan koordinasi sebagai alat utama guna meningkatkan efisiensi pemberian
pelayanan kepada masyarakat.
Pamong praja juga harus memiliki kemampuan dan pengetahuan yang bersifat umum
(generalis) sekaligus juga memiliki keahlian khusus (spesialisasi) yang bisa diandalkan,
memiliki semangat dan jiwa kewiraswastaan guna untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat

seperti

ulasan

lugas

David

Osborn

dalam

bukunya Reinventing

of Government (mewirausahakan birokrasi), memiliki kemampuan bernegosiasi dalam arti


positif seperti mampu membuat perencanaan dan penjelasan lengkap untuk di sajikan
kepada pemerintah atas agar program kerja yang di susun mendapatkan dukungan dana
tambahan, mampu menjalankan kepemimpinan yang bersifat mengayomi, adil dan jujur
serta berakhlak yang baik tanpa cacat, mengutamakan kualitas kerja dan kualitas
pelayanan prima kepada masyarakat yang nyata dan bukan hanya di atas kertas,

mempunyai strategic vision dalam mengantisipasi perubahan pemerintahan maupun


masyarakat yang semakin cepat dan mengalami pasang surut artinya memiliki konsep
bekerja yang jelas. Pamong praja harus mampu melahirkan gagasan-gagasan inovatif plus
kreatifitas yang imaginatif dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan yang diembannya.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang masalah yang penulis uraikan, banyak permasalahan yang penulis
dapatkan. Permasalahan tersebut antara lain:
1. Bagaimana solusi krisis kepemimpinan di Indonesia?
2. Apakah pamong praja mampu menjadi Agent Of Change?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk lebih mengerti dan memahami bagaimana pamong praja itu sebenarnya.
1.2.2 Tujuan Khusus :
1. Meningkatkan pengetahuan tentang pamong praja,
2. Meningkatkan kemampuan dalam menganalisa permasalahan yang terjadi, dan
3. Memenuhi tugas dari dosen.

BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Kapabalitas
Kapabilitas adalah gambaran kemampuan diri si pemimpin baik intelektual maupun
moral, yang dapat dilihat dari catatan jejak (track record) pendidikannya maupun jejak sikap
dan perilakunya selama ini. Pemimpin yang baik tidak akan muncul secara tiba-tiba, tetapi
melalui proses perjalanan yang panjang.
Ada pula pendapat lain menurut Akhmat Sudrajat menghubungkan kapabalitas
dengan kata kecakapan. Setiap individu memiliki kecakapan yang berbeda-beda

dalam melakukan suatu tindakan. Kecakapan ini mempengaruhi potensi yang ada
dalam

diri

individu

tersebut.

Proses

pembelajaran

mengharuskan seseorang

mengoptimalkan segala kecakapan yang dimiliki.

2.2 Pengertian Pamong Praja


Pamong berasal dari bahasa Jawa yang kata dasarnya adalah among. Kata ini serupa
dengan momong yang artinya mengasuh, misalnya seperti kata mengemong anak berarti
mengasuh anak kecil. Kata momong,ngemong dan mengasuh merupakan kata yang
multidimensional. Sedangkan praja adalah Pegawai Negeri, Pangreh Praja atau Pegawai
Pemerintahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pamong Praja berarti Pegawai
Negeri yang mengurus pemerintahan Negara.
Kepamongprajaan

dengan

demikian

adalah

suatu

proses

penyelenggaraan

pemerintahan yang dilandasi oleh kepemimpinan atas dasar pengemongan, pengayoman,


pelayanan

dan

pemberdayaan

masyarakat,

yang

dilakukan

oleh

sekelompok

orang/pegawai/pejabat yang disebut Pamong Praja.


Pamong praja adalah mereka yang menyelenggarakan pelayanan pemerintahan pada
organisasi peerintahan lini kewilayahan yang dididik secara khusus yang meiliki kualifikasi
kepemimpinan dan kemampuan manajerial untuk melayani masyarakat serta konsisten
menjaga keutuhan bangsa dan negara, dengan bidang keahliannya sebagai generalis yang
mengkoordinasikan cabang-cabang pemerintahan lainnya.
Menurut Gaspersz (1997 : 197) figur yang cocok untuk memenuhi tuntutan masyarakat
seperti itu maka Pamong Praja harus mampu menjadi sosok pemimpin/ kepemimpinan
transformasional, yang memiliki karakteristik : memiliki visi yang kuat; memiliki peta
tindakan (map for action), memiliki kerangka untuk visi (frame for the vision), memiliki
kepercayaan diri (self confidence), berani mengambil resiko, memiliki gaya pribadi
inspirasional, memiliki kemampuan merangsang usaha-usaha individual, kemudian
memiliki kemampuan mengidetifikasi manfaat-manfaat.
Pamong praja atau pangreh praja sebagaimana pengertian secara etimoligis tersebut
di atas mungkin masih relevan pada saat jaman kolonial dan awal kemerdekaan di mana
peran pemerintah masih sangat dominan, sistem pemerintahan yang sangats entralistik,
serta

paradigma

pemerintahan

yang

menempatkan

pemerintah

sebagai

pusat

kekuasasaan. Tapi ketika sistem pemerintahan berubah dan terjadi pergeseran paradigma
pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik, kewenangan untuk mengurus juga ada
pada rakyat, rakyat lebih mandiri, maka dengan kondisi ini tentunya pengertian pamong
praja sebagaimana awal berkembangnya sudah berbeda dengan kondisi saat ini, definsi
pamong praja sesuai dengan konteks dan jamannya perlu ditinjau ulang.
Jadi menurut penulis pamong praja adalah orang yang memiliki kemampuan lebih
dalam memberikan pelayanan, pengayoman dan pemberdayaan kepada masyarakat,
sehingga masyarakat bisa dan mampu menjadi lebih baik dan sejahtera sesuai dengan
amanat UUD 1945.

2.3 Esensi Kepamongprajaan


Taliziduhu

Ndraha

(2010),

mencoba

mengelaborasi

dan

merumuskan

esensi

kepamongprajaan, bicara tentang kepamongprajaan, maka esensinya antara lain :


1. Entitas (nama suatu entitas),
2. Kualitas (perilaku yang terlihat dalam ruang pemerintahan),
3. Nilai atau norma (kekatan yang mengikat), Fungsi kbhinekaan dan ketunggalikaan),
4. Lembaga atau unit kerja,
5. Struktur kepamongprajaan,
6. Profesi pemerintahan,
7. Pendidikan kepamongprajaan.
Sejalan dengan pandangan Taliziduhu Ndaha di atas dan memperhatikan sejarah dan
perkembangan

pamong

praja

atau

kepamongprajaan

di

Indonesia,

maka

setidaknya

kepamongprajaan yang akan datang dapat di pandang sebagai :


1. Profesi , yakni merupakan pekerjaan yang memerlukan kompetensi tertentu, yakni qualified
leadership dan managerial administratif, sehingga diperlukan pendidikan khusus pamong praja.
2. Struktur dalam pemerintahan daerah, yakni level pemerintahan pada lini kewilayahan, seperti
lurah/kades, camat, bupati/walikota dan gubernur (termasuk satuan kerja perangkat Gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat) yang melaksanakan fungsi pemerintahan umum dalam hal

pembinaan

wilayah,

koordinasi

pemerintahan,

pengawasan

pemerintahan

dan

residual

pemerintahan;
3. Institusi Pendidikan, yakni pendidikan yang khusus menyelenggarakan proses belajar mengajar
yang outputnya dipersiapkan untuk menjadi pamong praja
4. Perangkat nilai, yakni suatu rangkaian unit nilai-nilai yang menjadi enersi yang menguatkan
semangat pengabdian aparat sebagai abdi Negara dan masyarakat sebagaimana dalam Hasta
Budhi Bhakti sebagai pedoman atauguidance penyelenggara pemerintahan yang bersumber dari
leluhur karena tumbuh dari tradisi pemerintahan yang pernah eksis;
5. Instrumen keutuhan berbangsa, yakni keberadaan pamong praja tidak saja menjadi mesin birokrasi
dalam pelayanan pemerintahan, tapi menjadi perekat Negara kesatuan Republik Indonesia;

2.4 Kapabalitas Pamong Praja


Kapabalitas yang harus dimiliki pamong praja :

a. memiliki daya inovasi yang tinggi, karena ciri utama seorang pemimpin adalah inovasinya;
b. memiliki keberanian untuk mengambil keputusan dan menanggung resiko dari keputusan
yang diambilnya;
c. memiliki sifat konsisten antara ucapan dan perbuatannya;
d. memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi;
e. memiliki rasa dan daya untuk melindungi bawahannya ataupun pengikutnya;
f. memiliki rasa dan daya untuk mengembangkan bawahannya.
Dalam

korps

pamong

praja

dikenal

juga

adanya HASTA BUDI

BHAKTI

(KODE

KEHORMATAN KORPS PAMONG PRAJA) sebagai landasan dan mencerminkan kapabalitas


seorang praja dalam mengabdi bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Isi dari HASTA BUDI
BHAKTI (KODE KEHORMATAN KORPS PAMONG PRAJA) adalah sebagai berikut :

1) Korps Pamong Praja sebagai pengamal Pancasila dan pembela Negara Kesatuan Republik
Indonesia menjadi pengayom dari seluruh rakyat tanpa membedakan golongan, aliran dan
agama.
2) Korps Pamong Praja berkewajiban memberikan petunjuk dan bimbingan kepada rakyat
dalam pergaulan hidup bersama menuju ketertiban dan ketentraman umum.

3) Korps Pamong Praja merupakan penyuluh dalam gelap dan penolong di dalam penderitaan
bagi seluruh lapisan masyarakat sehingga tercapai ketenangan dan ketentraman lahir dan
batin.
4) Korps Pamong Praja membina semangat kehidupan masyarakat sehingga terjelma sifat
dan sikap dinamis, konstruktif, korektif.
5) Korps Pamong Praja bertugas menumbuhkan dan memupuk daya cipta rakyat menuju
kearah kesejahteraan masyarakat.
6) Korps Pamong Praja bertugas menampung dan mencarikan penyelesaian segala
persoalan hidup dan kehidupan rakyat sehari-hari sehingga diperlukan sifat sabar, tekun,
ulet dan bijaksana.
7) Korps Pamong Praja menjadi penggerak segala kegiatan dalam masyarakat menuju
tercapainya masyarakat yang adil dan makmur yang di ridhoi Tuhan Yang Maha Esa.
8) Korps Pamong Praja harus bertindak tegas, adil dan jujur dalam memberantas kejahatan
dan kemaksiatan tanpa pandang bulu, sebaliknya harus menjadi teladan dalam kebaikan
dan kemaslahatan.

BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Krisis Kepemimpinan di Indonesia
Hingga saat ini, belum terlihat kepemimpinan di Indonesia yang mampu untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada di Indonesia. Dari beragam krisis yang ada, seperti
krisis ekonomi, krisis politik, krisis sosial, krisis budaya hingga krisis agama. Selain itu,

Kepemimpinan di Indonesia juga belum ada yang bisa untuk melepaskan persoalan
kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, ketidak adilan, kekerasan, hingga penyalah
gunaan kekuasaan yang seakan-akan tidak mau beranjak dari negri ini. Praktek KKN makin
merajalela di negeri ini.
Saat ini negara membutuhkan Kepemimpinan dari seorang pemimpin yang berani,
tegas, dan pandai untuk dapat menemukan solusi atas permasalahan yang dialami oleh
Rakyat. Bukan dari seorang pemimpin yang loyo dan hanya bisa turut bersedih atas
permasalahan yang di alami rakyat tetapi tidak bisa untuk memberikan solusi. Hal ini
seperti yang diungkapkan oleh Ahli filsafat dan tokoh agama, Romo Franz magnis Suseno.
Didalam banyak kesempatan, sering kita dengar bahwa Negeri ini sudah kehilangan
figur kepemimpinan, generasi yang ada sekarang tidak memiliki panutan yang bisa
dijadikan sebagai sebuah gambaran citra diri yang di inginkannya. Walaupun dalam
pelajaran sejarah atau pendidikan kewarganegaraa yang diberikan disekolah-sekolah, para
siswa diberikan gambaran sejarah para pejuang bangsa, mulai dari zaman penjajahan,
sampai perjuangan kemerdekaan, proklamasi dan seterusnya. tetapi usaha yang dilakukan
oleh para pengajar itu tidak dapat mengisi figur pemimpinan bangsa didalam otak para
generasi muda tersebut.
Jika kita mencoba merefleksikan kembali kepada perjalanan bangsa ini, dimana diawal
berdirinya negara ini dipimpin oleh seorang tokoh yang sangat dicintai oleh rakyat dimasa
pemerintahannya, yaitu Bung Karno. Bung Karno sangat berjasa dalam memperjuangkan
berdirinya negara ini, mulai dari zaman perjuangan, proklamasi, dan turut serta
merancangbentuk sistem pemerintahan. Memang ada pasang surut dalam perjuangannya,
tetapi tidak dapat dinisbikan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Bung Karno sangat
bermanfaat bagi bangsa ini. Kemudian citra Bung Karno luluh lantak karena adanya petaka
Nasional yang ditandai oleh adanya gerakan G30S. setelah itu citra Bung Karno merosot,
hancur lebur dengan berjalannya waktu, sebagai efek sampingan tindakan-tindakan reflesif
pemerintahan orde baru.
Kemudian Bangsa ini memuja-muja Pak Harto sebagai sebuah figur yang
membanggakan, sebagai seorang tokoh yang memiliki kemampuan yang luar biasa untuk
mengisi kemerdekaan bangsa ini dalam bentuk pembangunan. seluruh aspek kehidupan di
negeri ini mengalami kemajuan pesat selama pemerintahan Pak Harto, pembanguan fisik

terlihat dimana-mana. Tingkat pendidikan masyarakat juga semakin meningkat. tentu saja
hal ini merupakan hasil perjuangan yang dilakukan dengan format tertentu dengan
melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk stabilitas nasional. Dengan adanya
stabilitas, maka pembangunan dapat dilakukan dengan baik. Tentu saja ada efek-efek
negatif dari

format pembangunan yang dilakukan Pak harto ini.

Dengan gerakan

mahasiswa yang didorong oleh beberapa tokoh tokoh nasional, akhirnya Pak Harto
mengundurkan diri.
Setelah pemilu 1999, Sidang Umum MPR mengangkat Gus Dur sebagai Presiden ke 4.
tetapi tidak lama setelah itu, MPR yang sama menjatuhkan Gus Dur dengan alasan-alasan
tertentu. Habibie danMegawati tidak dapat disebut sebagai pemimpin nomor satu di negeri
ini, karena keduanya hanya melanjutkan kepemimpinan presiden yang berhenti dan
diberhentikan.
Pemilu 2004 dan pemilu 2009 yang merupakan pemilu dengan format pemilihan
langsung terhadap kepala negara tersebut, telah menghasilkan SBY- JK ( pemilu 2004) dan
SBY- Boediono (2009) sebagai pemimpin negeri ini. pelaksanaan pemiliu dilaksanakan
dengan lancar, walaupun ada hambatan disana-sini, tetapi secara umum pemilu
dilaksanakan dengan baik. SBY merupakan pemimpin yang masih dapat dibanggakan oleh
bangsa Indonesia saat ini. sebagai presiden yang dihasilkan dari sebuah pemilihan
langsung oleh rakyat, jadi sudah sepantasnyalah rakyat Indonesia memiliki rasa kecintaan
kepada pemimpinanya.

3.2 Pamong Praja Sebagai Agent Of Change


Strategi pengembangan karakter kepemimpinan melalui basis rekrutmen pamong praja hari
ini

haruslah

di

evaluasi

kembali.

Pengembangan

karakter

kepemimpinan

melalui

aspek intelektualitas, emosional dan spiritual menjadi strategi yang tak terhindarkan. Mendidik
pamong praja melalui penanaman kekuasaan yang bersifat de jure semata (law centris) tak
menjawab dinamika perkembangan politik pemerintahan dewasa ini. Faktanya, kaderisasi elit dalam
masyarakat melalui instrument partai politik maupun lembaga kemasyarakatan lainnya tampaknya
mengalami kemacetan/kebuntuan (stagnan), bahkan berjalan tanpa proses yang memadai.
Tingkat legitimasi terhadap kepemimpinan politik pemerintahan mengalamidegradasi baik
dari aspek legitimasi religi, elit maupun demokrasi. Hal ini ditandai oleh susutnya kader partai

dengan cara merekrut artis dan birokrat dalam sejumlah kasus pemilihan anggota legislatif dan
kepala daerah. Akibatnya, banyak lulusan APDN, IIP, STPDN dan IPDN yang sekalipun muda
namun di nilai masyarakat mampu mengemban misi pemerintahan sebagai Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah. Ini menunjukkan bahwa akseptabilitas moral masyarakat (legitimasi) terhadap
alumni mengalami perluasan tidak saja dalam konteks penegasan kekuasaan secara de jure, tetapi
juga de fakto.
Asumsi ini di dukung oleh banyaknya pendaftaran kandidat Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah dalam 5 tahun terakhir yang berasal dari kalangan alumni pendidikan Pamong Praja. Tabel
dibawah ini menunjukkan kontribusi kader Pamong Praja aktif dan non aktif dalam jabatan publik
pada 5 tahun terakhir ;
Kontribusi Pamong Praja Aktif dan Non Aktif Dalam Jabatan Politik 2005-2010 :

Provinsi

DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Sulawesi
Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi
Tengah
Sulawesi
Tenggara
Sulawesi Utara
Gorontalo
Kalimantan
Barat
Kalimantan
Timur
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Selatan
Sumatera
Barat
Sumatera
Utara
Sumatera

Kepala

Wakil

Anggota

Jumlah

Daerah

Kepala

DPRD

3
3

Daerah
1
2

4
10

1
1

1
-

3
2

5
3

2
3
4

2
3
9

Selatan
Papua

Sumber: Di olah terbatas dari wawancara alumni di daerah, 2010


Apabila kita memperhatikan tabel di atas maka bisa dikatakan bahwa pamong praja
bisa sebagai solusi ke depan untuk memperbaiki tantanan pemerintahan di Indonesia di
tengah-tengah krisis kepemimpinan di negeri ini. Itulah hakikat kenapa IPDN hingga saat ini
tetap dipertahankan eksistensinya. Gelontoran uang milyaran, hasil sumbangan pajak dari
seluruh rakyat dari berbagai lapisan, dititipkan dan diamanahkan kepada kita. Dengan
harapan, diesok hari nanti, pemuda-pemudi pilihan ini mampu melaksanakan dharma
bhaktinya untuk bumi pertiwi, mampu menjadi the real agent of change.
Jika kita ingin Indonesia bebas dari korupsi. Maka, teriakanlah perlawanan terhadap
korupsi, jadilah garda terdepan untuk memeranginya, matikan segala sistem buruk yang
memungkinkan hal busuk itu terjadi. Kita ingin Indonesia sejahtera? Maka praja IPDN
memiliki prinsip bersama kita bekerja keras, bekerja cerdas, kita internalisasikan
semangat ambeg paramartha yang tiap hari kita teriakan di lapangan upacara. berjanji
untuk mengedepankan kepentingan Negara dan masyarakat diatas kepentingan pribadi
dan golongan.

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pemahaman

terhadap

Pamong

Praja

yang

mensyaratkan

kualifikasikepemimpinan dan kemampuan managerial seperti dikemukakan Ndraha dalam Ismail


(2010:8) cukup relevan dalam pemaknaan kekuasaan de fakto dan de jure. Kekuasaan de
fakto (kharismatik, politis) dapat dikembangkan melalui pengembangan karakter kepemimpinan,
sedangkan kekuasaan de jure (legal-rasional,authority) dapat di desain melalui pengembangan
karakter managerial.

Oleh karena kita percaya bahwa penumbuhan karakter kepemimpinan (leadership)


seyogyanya berhadapan dengan basis masyarakat terkecil hingga yang paling luas guna
mendorong tumbuhnya kekuasaan de fakto di atas kekuasaan de jure. Itulah mengapa kita
cenderung melarang alumni STPDN/IPDN setelah lulus menjadi ajudan kepala daerah, sekalipun
penting untuk menumbuhkan karakter managerial pada waktunya. Tetapi dengan menempatkan
alumni di level Desa, Kelurahan dan Kecamatan sebagai entitas pemerintahan paling bawah,
mereka relatif berhadapan langsung dengan basis sosial yang dengan sendirinya dapat
mengembangkan karakter kepemimpinan secara de fakto, sekaligus mengasah karakter managerial
atas kekuasaan de jure.
Tingkat legitimasi terhadap kepemimpinan politik pemerintahan mengalamidegradasi baik dari
aspek legitimasi religi, elit maupun demokrasi. Hal ini ditandai oleh susutnya kader partai dengan
cara merekrut artis dan birokrat dalam sejumlah kasus pemilihan anggota legislatif dan kepala
daerah. Akibatnya, banyak lulusan APDN, IIP, STPDN dan IPDN yang sekalipun muda namun di
nilai masyarakat mampu mengemban misi pemerintahan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah. Ini menunjukkan bahwa akseptabilitas moral masyarakat (legitimasi) terhadap alumni
mengalami perluasan tidak saja dalam konteks penegasan kekuasaan secara de jure, tetapi
juga de fakto.

4.2 Saran
Pendidikan kepamongprajaan yang kita kenal bernama IPDN harus didukung
sepenuhnya oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri, karena IPDN bisa
dan mampu menjadi solusi dalam krisis kepemimpinan yang melanda Indonesia. Sistem
pendidikan IPDN yang mengenal sistem JARLATSUH akan membentuk karakter seorang
anak bangsa untuk menjadi pemimpin yang mampu menjawab permasalahan yang
multidimensi.
Masyarakat juga harus bisa melupakan kekerasan yang pernah terjadi di IPDN.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan, 2008. Kenang-Kenangan Pangreh Praja, Balai Pustaka, Jakarta .
Ilham, Muhammad, 2008. Manajemen Strategis Peningkatan Mutu Pendidikan Kepamongprajaan,
Indra Prahasta, Bandung
Labolo, Muhadam, 2010. Memahami Ilmu Pemerintahan, Rajawali Press, Jakarta,
Ndraha, Taliziduhu, 2005. Kybernologi, Jilid 1-2, Rineka Cipta, Jakarta
.,2010. Nilai-Nilai Kepamongprajaan, Credencia, Jakarta
M Giroth, Lexie, 2004. Edukasi dan Profesi Pamong Praja, STPDN Press, Bandung
.., 2009. Status dan Peran Pendidikan Pamong Praja Indonesia, Indra Prahasta,
Bandung
Pamudji, 1985. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.
Suratno, Pardi, 2009. Sang Pemimpin Menurut Astabhrata, Jakarta
Suryaninggrat, Bayu, 1980. Pamong Praja dan Kepala Wilayah, Aksara Baru, Bandung
Tjokrowinoto, Meljarto, 2010. Birokrasi dalam Polemik, Pustaka Pelajar Unismuh, Malang
Varma, 2008. Politik Modern, Rajawali, Jakarta

Sejarah Singkat
Penyelenggaraan pendidikan kader pemerintahan di lingkungan
Departemen Dalam Negeri yang terbentuk melalui proses perjalanan
sejarah yang panjang. Perintisiannya dimulai sejak zaman pemerintahan
Hindia Belanda pada tahun 1920, dengan terbentuknya sekolah pendidikan
Pamong Praja yang bernama Opleiding School Voor Inlandshe
Ambtenaren ( OSVIA ) dan Middlebare Opleiding School Voor Inlandsche
Ambtenaren ( MOSVIA ). Para lulusannya sangat dibutuhkan dan
dimanfaatkan untuk memperkuat penyelenggaraan pemerintahan Hindia
Belanda. Dimasa kedudukan pemerintah Hindia Belanda, penyelenggaraan
pemerintahan Hindia Belanda dibedakan atas pemerintahan yang langsung
dipimpin oleh kaum atau golongan pribumi yaitu Binnenlands Bestuur
Corps ( BBC ) dan pemerintahan yang tidak langsung dipimpin oleh
kaum atau golongan dari keturunan Inlands Bestuur Corps ( IBC ).
Pada masa awal kemerdekaan RI, sejalan dengan penataan sistem
pemerintahan yang diamanatkan oleh Undang Undang Dasar 1945,
kebutuhan akan tenaga kader pamong praja untuk melaksnakan tugas-tugas
pemerintahan baik pada pemerintah pusat maupun daerah semakin
meningkat sejalan dengan tuntutan perkembangan penyelenggaraan
pemerintahannya. Untuk memenuhi kebutuhan akan kekurangan tenaga
kader pamong praja, maka pada tahun 1948 dibentuklah lembaga
pendidikan dalam lingkungan Kementrian Dalam Negeri yaitu Sekolah
Menengah Tinggi ( SMT ) Pangreh Praja yang kemudian berganti nama
menjadi Sekolah Menengah Pegawai Pemerintahan Administrasi Atas
( SMPAA ) di Jakarta dan Makassar.
Pada Tahun 1952, Kementrian Dalam Negeri menyelenggarakan Kursus
Dinas C (KDC) di Kota Malang, dengan tujuan untuk meningkatkan
keterampilan pegawai golongan DD yang siap pakai dalam melaksanakan
tugasnya. Seiring dengan itu, pada tahun 1954 KDC juga diselenggarakan
di Aceh, Bandung, Bukittinggi, Pontianak, Makasar, Palangkaraya dan
Mataram. Sejalan dengan perkembangan penyelenggaraan pemerintahan
yang semakin kompleks, luas dan dinamis, maka pendidikan aparatur di
lingkungan Kementerian Dalam Negeri dengan tingkatan kursus dinilai
sudah tidak memadai. Berangkat dari kenyataan tersebut, mendorong
pemerintah mendirikan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN)
pada tanggal 17 Maret 1956 di Malang, Jawa Timur. APDN di Malang
bersifat APDN Nasional berdasarkan SK Mendagri No. Pend.1/20/56
tanggal 24 September 1956 yang diresmikan oleh Presiden Soekarno di
Malang, dengan Direktur pertama Mr. Raspio Woerjodiningrat. Mahasiswa
APDN Nasional Pertama ini adalah lulusan KDC yang direkrut secara
selektif dengan tetap mempertimbangkan keterwakilan asal provinsi
selaku kader pemerintahan pamong praja yang lulusannya dengan gelar
Sarjana Muda ( BA ).
Pada perkembangan selanjutnya, lulusan APDN dinilai masih perlu
ditingkatkan dalam rangka upaya lebih menjamin terbentuknya kader-

kader pemerintahan yang qualified leadership and manager


administrative , terutama dalam menyelenggarakan tugas-tugas urusan
pemerintahan umum. Kebutuhan ini mendorong pemerintah untuk
menyelenggarakan pendidikan aparatur di lingkungan Departemen Dalam
Negeri setingkat Sarjana, maka dibentuklah Institut Ilmu Pemerintahan
( IIP ) yang berkedudukan di Kota Malang Jawa Timur berdasarkan
Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No. 8 Tahun 1967, selanjutnya dikukuhkan dengan Keputusan
Presiden Nomor 119 Tahun 1967. Peresmian berdirinya IIP di Malang
ditandai dengan peresmian oleh Presiden Soekarno pada tanggal 25 Mei
1967.
Pada tahun 1972 Institut Ilmu Pemerintahan ( IIP) yang berkedudukan di
Malang Jawa Timur dipindahkan ke Jakarta melalui Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 94 Tahun 1972. Pada tanggal 9 Maret 1972, kampus
IIP yang terletak di Jakarta di resmikan oleh Presiden Soeharto yang
dinyatakan : Dengan peresmian kampus Institut Ilmu Pemerintahan,
mudah-mudahan akan merupakan kawah candradimukanya Departemen
Dalam Negeri untuk menggembleng kader-kader pemerintahan yang
tangguh bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia
Seiring dengan pembentukan IIP yang merupakan peningkatan dari APDN
Nasional di Malang, maka untuk penyelenggaraan pendidikan kader pada
tingkat akademi, Kementrian Dalam Negeri secara bertahap sampai
dengan dekade tahun 1970-an membentuk APDN di 20 Provinsi selain
yang berkedudukan di Malang, juga di Banda Aceh, Medan, Bukittinggi,
Pekanbaru, Jambi, Palembang, Lampung, Bandung, Semarang, Pontianak,
Palangkaraya, Banjarmasin, Samarinda, Mataram, Kupang, Makassar,
Menado, Ambon dan Jayapura.
Pada tahun 1988, dengan pertimbangan untuk menjamin terbentuknya
wawasan nasional dan pengendalian kualitas pendidikan Menteri Dalam
Negeri Rudini melalui Keputusan No. 38 Tahun 1988 Tentang
Pembentukan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri Nasional. APDN
Nasional kedua dengan program D III berkedudukan di Jatinangor,
Sumedang Jawa Barat yang peresmiannya dilakukan oleh Mendagri
tanggal 18 Agustus 1990. APDN Nasional ditingkatkan statusnya
berdasarkan Kepres No. 42 Tahun 1992 tentang Sekolah Tinggi
Pemerintahan Dalam Negeri, maka status APDN menjadi STPN dengan
program studi D III yang diresmikan oleh Presiden RI pada tanggal 18
Agustus 1992. Sejak tahun 1995, bertititk tolak dari keinginan dan
kebutuhan untuk lebih mendorong perkembangan karier sejalan dengan
peningkatan eselonering jabatan dalam sistem kepegawaian Republik
Indonesia, maka program studi ditingkatkan menjadi program D IV.
Keberadaan STPDN dengan pendidikan profesi ( program D IV ) dan
IIP yang menyelenggarakan pendidikan akademik program sarjana
( Strata I ), menjadikan Departemen Dalam Negeri memiliki dua (2)
Pendidikan Pinggi Kedinasan dengan lulusan yang sama dengan golongan
III/a.

Kebijakan Nasional mengenai pendidikan tinggi sejak tahun 1999 antara


lain yang mengatur bahwa suatu Departemen tidak boleh memiliki dua
atau lebih perguruan tinggi dalam menyelenggarakan keilmuan yang sama,
maka mendorong Departemen Dalam Negeri untuk mengintegrasikan
STPDN ke dalam IIP . Usaha pengintegrasiaan STPDN kedalam IIP secara
intensif dan terprogram sejak tahun 2003 sejalan dengan dikeluarkannya
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pengintegrasian terwujud dengan ditetapkannya Keputusan Presiden
Nomor 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan STPDN ke dalam IIP dan
sekaligus merubah nama IIP menjadi Institut Ilmu Pemerintahan ( IPDN ).
Tujuan penggabungan STPDN ke dalam IIP tersebu, selain untuk
memenuhi kebijakan pendidikan nasional juga untuk meningkatkan
efektivitas penyelenggaraan pendidikan kader pamong praja di lingkungan
Departemen Dalam Negeri. Kemudian Kepres No. 87 Tahun 2004 ditindak
lanjuti dengan Keputusan Mendagri No. 892.22-421 tahun 2005 tentang
Pelaksanaan Penggabungan dan Operasional Institut Pemerintahan Dalam
Negeri, disertai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun
2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja IPDN dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri 43 Tahun 2005 Tentang Statuta IPDN serta peraturan
pelaksanaan lainnya.
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan
Atas Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan
Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri ke dalam Institut Ilmu
Pemerintahan menjadi IPDN, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 36
Tahun 2009 tentang Statuta Institut Pemerintahan Dalam Negeri dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2009 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Bahwa IPDN
merupakan salah satu komponen di lingkungan Kementerian Dalam Negeri
yang melaksanakan tugas menyelenggarakan pendidikan tinggi
kepamongprajaan. Sejalan dengan tugas dan fungsi melaksanakan
pendidikan tinggi kepamongprajaan serta dengan mempertimbangkan
tantangan, peluang dan pilihan-pilihan strategik yang akan dihadapi dalam
lima tahun kedepan, Renstra IPDN 2010-2014 disusun dengan
memperhatikan pencapaian program dan kegiatan yang dilakukan agenda
pembangunan pada lima tahun terakhir (20052009), serta kondisi internal
dan dinamika ekternal lingkup IPDN.
Presiden Republik Indonesia pada tanggal 9 April 2007 mengeluarkan
kebijakan dengan menetapkan 6 (enam) langkah pembenahan yang segera
dilakukan untuk membangun budaya organisasi yang barn bagi IPDN.
Kebijakan Presiders memperoleh dukungan dad DPR-RI.
Untuk melaksanakan kebijakan pembenahan, Menteri Dalam Negeri telah
mengeluarkan serangkaian kebijakan yaku:
1. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Pembenahan IPDN;
2. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 890.05-506 Tahun 2007

tentang Pembentukan Tim Implementasi Pendidikan Kader


Pemerintahan;
Pada tahap selanjutnya, ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun
2009 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004
tentang Penggabungan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri Ke
Dalam Institut Ilmu Pemerintahan menjadi IPDN mengamanatkan
penataan sistem pendidikan tinggi kepamongprajaan meliputi jenis
pendidikan, pola pendidikan, kurikulum, organisasi penyelenggara
pendidikan, tenaga kependidikan dan peserta didik serta pembiayaan.
Pendidikan tinggi kepamongprajaan selain diselenggarakan di Kampus
IPDN Pusat Jatinangor, serta Kampus IPDN di Cilandak Jakarta, jugs
diselenggarakan di Kampus IPDN Daerah yang menyelenggarakan
program studi tertentu sebagai satu kesatuan yang ticlak terpisahkan.
Untuk memenuhi persyaratan menjadi Institut, di IPDN telah dibentuk 2
(dua) Fakultas yaitu Fakultas Politik Pemerintahan yang terdiri dari 2 (dua)
jurusan yaitu jurusan Kebijakan Pemerintahan dan Jurusan Pemberdayaan
Masyarakat; Fakultas Manajemen Pemerintahan yang terdiri dari 4 (empat)
jurusan yaitu Jurusan Manajemen Sumber Daya Aparatur, Jurusan
Pembangunan Daerah, Jurusan Keuangan Daerah, dan Jurusan
Kependudukan dan Catatan Sipil.
Kampus IPDN di daerah tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 39 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja IPDN
ditetapkan: Kampus IPDN Manado, Kampus IPDN Kampus Makassar,
Kampus IPDN Pekanbaru, dan Kampus IPDN Bukittinggi, yang
selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 892.1829 Tahun 2009 ditetapkan lokasi pembangunan kampus IPDN di daerah
yaitu: di Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara, di Kabupaten
Gowa Provinsi Sulawesi Selatan, di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau,
dan di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat, serta pada saat ini
sedang dipersiapkan pengembangan Kampus IPDN di Pontianak di
Provinsi Kalimantan Barat, Kampus IPDN di Mataram diProvinsi Nusa
Tenggara Barat dan Kampus IPDN di Jayapura Provinsi Papua.
Kampus IPDN di daerah sejak tahun 2009 telah melaksanakan operasional
pendidikan dengan kapasitas Praja 100 Praja setiap kampus dengan
penetapan Jurusan/Program Studi yaitu: pertama, Kampus IPDN di Kab.
Agam menyelenggarakan Program Studi Keuangan Daerah, Kampus IPDN
di Kab. Rokan Hilir menyelenggarakan program studi pembangunan
daerah, Kampus IPDN di Kab. Gowa menyelenggarakan Program Studi
Pemberdayaan Masyarakat, sedangkan kampus IPDN di Minahasa
direncanakan menyelenggarakan Program Studi Kependudukan dan
Catatan Sipil.
Mulai tahun 2010 kebijakan Pendidikan Kepamongprajaan
dikonsentrasikan pada Program Diploma IV (D-IV) pada semester I, II,
111, IV, V dan VI setelah masuk semester VI I dan VIII dilaksanakan

penjurusan dan pengalihan ke Program Strata Satu (S-1). Pada Kampus


IPDN di Cilandak Jakarta diselenggarakan Program Pascasarjana Strata
Dua (S-2) dan Strata Tiga (S-3), program profesi kepamongprajaan serta
kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat.

Analisis Relevansi Basis Rekrutmen Pamong Praja Terhadap


Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia
Filed under: Uncategorized Leave a comment

February 8, 2011
Abstrak
Pamong praja merupakan konsep yang mengalami pergeseran makna seiring dengan
perubahan rezim pemerintahan daerah. Sebagai konsekuensi perubahan dimaksud, secara
historis basis rekrutmen mengalami penyempitan dan perluasan sejak era prakemerdekaan hingga pasca-kemerdekaan. Kebutuhan terhadap kepemimpinan
pemerintahan yang kuat sekaligus simpul pengikat perbedaan dari pusat hingga level
bawah memungkinkan berjalannya pemerintahan secara stabil. Kondisi demikian
membutuhkan kepemimpinan pemerintahan yang di dukung secara de fakto maupun de
jure. Secara de fakto,kepemimpinan pamong praja diharapkan dapat menjembatani
kebutuhan masyarakat pada pemerintah. Secara de jure, kemampuan managerial pamong
praja diharapkan dapat mewujudkan tujuan pemerintah sebagai representasi paling
konkrit dari negara. Perbedaan karakteristik masalah yang dihadapi membutuhkan
pembentukan pamong praja yang khas guna menjamin terselenggaranya tugas-tugas
kepemimpinan pemerintahan dilapangan. Keistimewaan tersebut berkaitan dengan fungsi
dan tugas pemerintahan baik secara luas maupun dalam arti yang paling sempit.

Kata kunci : Pamong Praja, kepemimpinan de fakto dan de jure.

Pendahuluan
Tinjauan tentang konsepsi pamong praja seringkali diuraikan secara normatif berdasarkan
kajian historikal. Gambaran ini cukup jelas ditangkap, namun kajian demikian seakan
menemui jalan buntu (deadlock) karena tak mampu menguak substansi dan relevansinya
dari masa lalu hingga masa depan. Makalah Nurdin (2010) yang berpijak dari sumber
Ndraha (2007), Wasistiono (2009), Giroth (2007) dan dokumen pengembangan IPDN
(2008) merupakan jawaban normatif terhadap pertanyaan makalah Quo Vadis Pamong
Praja. Ini adalah respon terhadap keprihatinan atas berbagai gugatan akademik dari
sebagian besar dosen yang nota bene berasal dari pendidikan non Pamong Praja. Suatu
indikasi positif yang merefleksikan tanggungjawab kolegial akademik sehingga
mendorong mendiskusikannya secara lebih tajam. Tulisan ini mengambil bagian lewat

analisis basis rekruitman Pamong Praja dan mencoba menarik relevansinya dalam realitas
kebutuhan dan fungsi kepemimpinan pemerintahan dewasa ini. Dengan demikian kita
dapat menelusuri salah satu persoalan utama selama ini yaitu dimanakah relevansi
Pamong Praja dalam konteks kebutuhan kepemimpinan pemerintahan dimasa lalu, hari
ini dan akan datang. Dengan menggunakan sentuhan teori elit, legitimasi, kekuasaan dan
kepemimpinan pemerintahan, konsepsi Pamong Praja dimaknai secara substansial
kemudian dihubungkan dengan basis rekruitmen masa lalu untuk mengkonstruksi
kepemimpinan pemerintahan sesuai kebutuhan dimasa mendatang. Beberapa data
sekunder yang sifatnya terbatas namun berhubungan dalam proses rekruitmen menjadi
bahan perbandingan yang patut dilengkapi dalam kajian ini. Tentu saja pijakan kita adalah
aspek historikal pada era pra-kemerdekaan, pasca kemerdekaan hingga periode 20 tahun
terakhir. Catatan historis lain yang menjadi pijakan Pamong Praja adalah buku kecil Bayu
Suryaninggrat (1973), Makalah Ateng Syafruddin (2007) dan Makalah Aziz Haily (2008).

Konsep Pamong Praja Dalam Birokrasi Jawa


Dalam serat Wulangreh[1], term Pamong Praja dapat ditelusuri menurut sastra
Jawa. Wulangreh merupakan kitab yang di desain bagi para calon pemimpin atau
penguasa. Wulang berarti pelajaran, Rehmengandung makna penguasa atau pemimpin.
Karya ini dijadikan kurikulum rujukan untuk mengendalikan hawa nafsu para penguasa
seperti pemahaman halal-haram, hidup sederhana, tidak sombong, loyal pada negara,
tidak berwatak pedagang, rendah hati dan adil. Tujuannya agar tidak kehilangan arah
dalam menjalankan roda pemerintahan[2]. Dalam birokrasi Jawa kita mengenal
istilah Pangreh Praja danPamong Praja. Makna Pangreh (Pang[3] dan Reh)
menunjukkan pada kekuataan penguasa atau pemimpin. Praja sendiri memiliki
arti rakyat kebanyakan, publik, masyarakat atau mereka yang dilayani. Dalam konteks
normatif, istilah Praja identik dengan pegawai pemerintahan, pegawai negeri sipil (civil
servant)[4]. Istilah ini jelas berbeda dengan kata Raja yang menunjukkan arti sebaliknya,
sebagaimana kecurigaan sebagian masyarakat terhadap istilah Praja yang seakan di didik
menjadi Raja di IPDN Jatinangor. Jadi, kalau diartikan bebas, Pangreh Praja lebih
merujuk pada pejabat politik yang memiliki derajat kekuasaan tertentu. Berbeda dengan
istilah Pamong yang merujuk pada kata among, ngemong atau momong. Istilah ini
menurut Nurdin (2010)[5] merupakan kata yang bersifatmultidimensional, seperti
kata mengemong anak atau mengasuh anak kecil. Dalam perspektif pragmatis, Tursandi
(2010) menambahkan, istilah Pamong paling tidak menekankan pada seorang pelayan
publik agar mampu mengemong (melayani), ngomong (berkomunikasi) dan siap diomong (dinilai). Dalam kaitan itu Pamong Praja diartikan sebagai pegawai negeri yang

mengurus pemerintahan negara. Maknanya, birokrasi Jawa di bentuk untuk melayani


rakyat sebagaimana mengasuh anak, penuh perlindungan dan kasih sayang selama
kapanpun. Jika demikian maka dari aspek substansi, birokrasi Jawa dapat dibagi dalam
dua level yaitu, kelompok Pangreh Praja yang menitikberatkan pada pola kekuasaan atau
kepemimpinan (cenderung bersifat dilayani), dan kelompok Pamong Praja yang
menitikberatkan pada pola pelayanan kepada masyarakat (cenderung melayani). Secara
historik, hal ini dapat dihubungkan dengan timbulnya birokrasi dalam organisasi
pemerintahan di tanah air. Dahulu, raja-raja Jawa khususnya raja-raja di nusantara pada
umumnya membentuk birokrasi bukan untuk kepentingan rakyat (Arif dan Putra dalam
Tjokrowinoto, 2001:45). Para Punggowo yang bekerja di kerajaan disebut abdi
dalem atau abdi raja, bukan abdi rakyat. Dalam kaitan itulah para abdi dalem merupakan
kelompok birokrasi abdi dalem. Eksistensi mereka hanyalah untuk memperkuat
kekuasaan raja. Ketergantungan pada raja menjadikan birokrasi pada saat itu
sangat paternalistik. Tradisi yang kuat sebagai sistem nilai diindikasi oleh transaksi
berupa upeti, srahsrahan atau pajak. Bahkan ketika Belanda tiba di Indonesia, tradisi
tersebut justru menjadi jembatan emas dalam mencapai tujuan, karena dipandang tak
mengganggu, bahkan menyempurnakan pola penjajahan dalam waktu lama. Melalui
sistem sentralistik, tradisi birokrasi demikian terpelihara baik semenjak prakemerdekaan
hingga jaman kemerdekaan. Praktek tersebut menjadi relatif langgeng ketika pola
pengaturan sistem pemerintahan diaplikasikan secara seragam. Kini, apakah Pangreh
Praja adalah kelompok suprastruktur politik yang berada dilingkar kekuasaan (elit yang
berkuasa), dan Pamong Praja adalah kelompok administrator semata yang berada
dibawah dan melayani penguasa dan masyarakat umum? Untuk melihat lebih jauh
kiranya membutuhkan pengamatan terhadap basis rekruitmen dari masa kemasa.

Peran Legitimasi, Kekuasaan dan Kepemimpinan Elit Pamong Praja Dalam


Organisasi Pemerintah
Alasan pembahasan konsep ini karena legitimasi sebagai konsep yang tak terpisahkan
dari kekuasaan, serta praktis berkaitan dengan tingkat akseptabilitas Pamong Praja di
tengah masyarakat. Oleh karena Pamong Praja memiliki posisi strategis di tengah
masyarakat, maka penting untuk mengemukakan konsep legitimasi. Legitimasi
menyangkut keyakinan moral yang menguatkan hak untuk memanfaatkan berbagai
sumber daya. Secara umum legitimasi menunjuk pada penerimaan (akseptablitas) atau
pengakuan pihak yang dipimpin. Kemerosotan legitimasi pemimpin pada akhirnya
berkaitan dengan penolakan publik atas kepemimpinannya[6]. Legitimasi merupakan
sistem nilai yang dipercaya sehingga mengukuhkan tingkat penerimaan seseorang dalam

masyarakat. Suseno (1999)[7] membaginya dalam bentuk legitimasi religius, eliter dan
demokratis. Kepemimpinan seseorang dapat saja diterima apalagi secara religi dapat
menopang keyakinan spiritual orang banyak. Legitimasi eliter merujuk pada seberapa
besar tingkat penerimaan masyarakat terhadap aspek prakmatis yang dijanjikan.
Sedangkan legitimasi demokratis berhubungan dengan proses dan hasil yang dicapai
dalam mekanisme prosedural.
Selanjutnya, tanpa membahas birokrasi lebih dalam sebagai organisasi pemerintah paling
konkrit (apalagi membahas idealisme Maximilliam Weber), elaborasi berikutnya
menitikberatkan pada konsep kekuasaan dan kepemimpinan dalam organisasi pemerintah
serta kontribusinya bagi kepemimpinan pemerintahan Indonesia. Oleh karena organisasi
pemerintah adalah bentuk dari pelembagaan kekuasaan, maka penting membahas
kekuasaan hingga ke level yang lebih formal yaitu kewenangan (authority). Menurut
Friedman (1973), Lukes (1978) dan Raz (1989)[8] terdapat enam alasan yang mendorong
perlunya kekuasaan dikonstruksikan. Diantara alasan tersebut, terdapat pembedaan antara
kekuasaan de fakto dan kekuasaan de jure (Peters,1967;Wich,1967). Kekuasaan de
fakto terjadi manakala masyarakat mematuhi pemimpinnya dalam bentuk yang sesuai,
sedangkan kekuasaan de jure ada tatkala pemimpin memiliki hak atas kepatuhan
masyarakat dalam wilayah yang diatur melalui kelembagaan[9]. Banyak ahli yang
mengacu pada kekuasaan sebagai penerapan kekuasaan yang dilegitimasi. Ini dapat
berarti bahwa paksaan dapat diterapkan kepada seseorang dengan kekuasaan de
jure sekalipun orang yang dipaksa tidak merespon kekuasaan tersebut. Namun demikian,
dapat saja perintah-perintah para pemimpin menghasilkan kepatuhan secara non-coersif.
Secara sederhana kekuasaan adalah konsep yang memiliki makna ganda,
yaitu pengaruh dan kepatuhan. Agar pengaruh dapat dijalankan, maka kekuasaan mesti
dilakukan dalam batas-batas normatif yang disepakati semua pihak (Friedman:1973).
Kepatuhan seseorang kepada pemimpinnya memiliki dua bentuk, yaitu kepatuhan tanpa
pertanyaan (kharismatik-Weber), dan kepatuhan dengan kritis. Dalam kaitan itu
pemimpin setidaknya memiliki otoritas yang cukup, yaitu seperangkat kekuasaan yang
terinstitusionalisasikan secara sah. Authority menunjuk pada kewenangan yang
terlembagakan, memiliki batas dan ukuran-ukuran tertentu. Kewenangan pada hakekatnya
merupakan kekuasaan. Keduanya dibedakan dalam hal keabsahan. Kewenangan
merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan (formal power), sedangkan kekuasaan
tidak selalu demikian. Masih menurut Freidman, pembedaan dilakukan antara menjadi
otoritas (being an authority) dan memegang otoritas (being in authority). Menjadi
otoritas berkaitan dengan masalah keyakinan, dimana kepatuhan terbentuk oleh klaim
pengetahuan, kesadaran dan keahlian khusus. Seseorang dipatuhi kemungkinan ia
dipercaya memiliki pengetahuan yang luas, kesadaran yang tinggi atau memiliki keahlian
yang luar biasa. Kondisi ini menegaskan kekuasaan de fakto di tengah-tengah

masyarakat. Sedangkan memegang otoritas adalah masalah tempat seseorang dalam


tatanan normatif dimana seseorang diakui memiliki posisi kekuasaan secara de jure. Para
pemimpin traditional dan kharismatik menjadi otoritas melalui keyakinan dan nilai,
sedangkan para pemimpin dalam sistem-sistem legal rasional memegang otoritas dalam
wilayah tindakan tertentu saja. Para pemimpin traditional biasanya berasal dari keturunan
raja dan bangsawan yang memiliki otoritas de fakto. Mereka memiliki otoritas yang
relatif luas dengan batasan otoritas penguasa yang lebih tinggi. Sedangkan para pegawai
pemerintah (civil servant) memiliki otoritas de jure sesuai batasan normatif yang
ditetapkan secara rasional-legalistik. Rekrutmen basis kepemimpinan dengan
memanfaatkan otoritas de fakto dalam masyarakat bangsawan akan semakin
mengukuhkan efektifitas pemerintahan. Sebab dengan demikian, maka kepemimpinan
pemerintahan baik di level puncak maupun menengah akan memiliki otoritas de jure,
sekaligus de fakto. Dalam kasus di Papua, seorang camat yang telah lama bertugas dan
menunjukkan predikat baik dimana secara de jure memperoleh otoritas dari pemerintah
daerah, kadang sulit dimutasi bukan karena faktor lain, tetapi lebih disebabkan oleh
tingkat akseptabilitas masyarakat yang tinggi secara de fakto. Camat telah dianggap
sebagai bagian dari komunitas mereka, bahkan dikukuhkan sebagai pemimpin mereka,
sehingga memindahkan seorang camat sama saja dengan menggugurkan kepercayaan
mereka terhadap pemerintah, atau bahkan melukai perasaan mereka.
Persoalannya, apakah Pamong Praja dengan posisinya dalam struktur kekuasaan adalah
kelompok elit dalam organisasi pemerintahan? Berpijak pada Pareto dan Mosca[10],
terdapat elit yang memerintah (governing elite) yang terdiri dari individu-individu yang
secara langsung atau tak langsung memainkan peran besar dalam pemerintahan selain
elite yang tak memerintah (non governing elit). Mosca melengkapi konsep ini dengan
menegaskan bahwa dalam masyarakat selalu terdapat kelas yang berkuasa dengan jumlah
sedikit terhadap kelas yang dikuasai dengan jumlah yang banyak.
Dalam konteks Indonesia, Kartodihardjo (1981) menjelaskan bahwa terdapat dua jenis
elite, yaitu elit modern dan elite traditional[11]. Elite traditional dipengaruhi oleh tata
struktur traditional, cenderung mempertahankan status quo dan memandang setiap
perubahan sebagai ancaman. Sedangkan elite modern cenderung melancarkan perubahan.
Penjelasan tersebut tampaknya akan menarik jika dikaitkan dengan uraian Van Niel
(1984)[12] dan Sutherland (1983)[13] yang menggambarkan terbentuknya elit modern
Hindia-Belanda dari politik birokrasi kolonial. Sutherland melihat tingginya pengaruh
politik birokrasi kolonial Belanda terhadap elit birokrasi modern pada era postkolonial.
Menurutnya, Hindia Belanda adalah negara modern pertama yang mewariskan tidak
sedikit tradisi kelembagaan Indonesia pasca kemerdekaan. Birokrasi Indonesia adalah
potret dari pengaruh sistem pemerintahan Belanda yang mengedepankan pendekatan

sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule), dengan tetap mempertahankan


simbol-simbol penguasa traditional. Hal ini tampak dengan cara memanfaatkan para
pejabat pribumi dalam jabatan-jabatan birokrasi pemerintahan, karena dipandang lebih
murah dibanding mendatangkan pejabat asli Belanda. Atas dasar itu, Emmerson (1976)
[14] menyimpulkan bahwa secara institusional kerajaan (keraton) dan birokrasi pribumi
amat berpengaruh, selain pengalaman berpolitik di era volksraad serta kemunculan kaum
terpelajar di wilayah politik-kritis.
Kepemimpinan pemerintahan di Indonesia adalah satu jenis kepemimpinan di bidang
pemerintahan (Pamudji, 1985:1). Ini membedakan dengan jenis kepemimpinan pada
organisasi lain seperti perusahaan. Kepemimpinan pada dasarnya adalah gejala
kelompok. Kepemimpinan adalah seni atau kemampuan mempengaruhi atau mengajak
orang lain untuk melakukan apa saja (D.Eisenhower dalam Alfan,2010:50). Pemimpin
(leader) melakukan tindakan-tindakan yang menunjukkan kepemimpinan (leadership).
Memimpin pada hakekatnya melayani, bukan dilayani (Ndraha:1999). Ini merupakan
pergeseran dari konsepsteering (mengatur) sebagai refleksi dari sistem sentralistik
kearah rowing (mengarahkan) sebagai wujud dari sistem demokrasi. Dewasa ini,
kepemimpinan pemerintahan lebih diharapkan pada upaya untuk membangun harapan
dan mimpi (make to hope and dreams), bukan sekedar memerintah dengan segenap
otoritas yang melekat. Hal ini didasarkan pada kepercayaan bahwa kepemimpinan
merupakan sentral dari proses perubahan dalam masyarakat. Oleh karena inti dari
manajemen pemerintahan adalah kepemimpinan, maka kepemimpinan menjadi faktor
esensial dalam pencapaian tujuan bersama. Tujuan dimaksud secara umum
diperjuangkan lewat organisasi istimewa, yaitu pemerintah (government). Pemerintah
adalah instrumen konkrit negara dalam upaya mewujudkan tujuan dimaksud. Demikian
setidaknya menurut Samuel Edwar Finer (1974:3), pemerintah setidaknya menunjukkan
kegiatan atau proses, masalah-masalah negara, para pejabat yang memerintah serta
bagaimana cara atau metode dimana keseluruhan tujuan tadi dapat diwujudkan.
Akhirnya, kepemimpinan pemerintahan Indonesia merupakan refleksi dari keseluruhan
indikasi diatas dalam rangka mewujudkan tujuan sebagaimana termuat dalam
konstitusinya.

Analisis Basis Rekrutmen Pangreh Praja Pra Kemerdekaan


Rekrutmen pegawai pemerintah pribumi oleh penguasa Belanda sebelum kemerdekaan
dan awal kemerdekaan di dorong oleh perkembangan revolusi industri, perkembangan

demokrasi, kemenangan sekutu dalam perang dunia, besarnya kerugian perang Belanda
dan yang paling pokok adalah lahirnya politik etis. Disadari Belanda bahwa terbatasnya
birokrasi kolonial membutuhkan perpanjang tangan guna melanggengkan kekuasaan serta
mengembalikan sedikit banyak kebaikan terhadap daerah jajahan yang selama ini menjadi
basis harta rampasan perang. Dengan pertimbangan itu maka rekrutmen pegawai
pemerintah yang berasal dari kelompok pribumi dilakukan pada kelompok middle
class (bangsawan) dengan pertimbangan; pertama, memiliki nilai lebih dari
aspek charismatic[15]. Suatu aspek penting dalam konsep kekuasaan yang
memungkinkan para pegawai pemerintah mampu mempengaruhi masyarakat Jawa dalam
melaksanakan pesan-pesan pemerintah kolonial secara efektif. Berdasarkan kultur
masyarakat Jawa, kepemimpinan dan masyarakatnya adalah dua sisi yang sangat
berhubungan erat. Sisi pemerintah menganut nilai feodalisme,yaitu suatu sistem
kekuasaan yang sangat kuat tersentralisasi, dimana kekuasaan adalah aset yang tak boleh
berkurang, penuh klenik, tak sopan dibantah, totaliter, wakil Tuhan, sabda pandito dan
cenderung mewakili kepentingan penguasa. Sedangkan sisi masyarakatnya cenderung
menganut nilai patron klien, dimana semua ucapan pemimpin merupakan refleksi
seutuhnya kemauan masyarakat, suka atau tidak. Kondisi ini seringkali mendorong para
pemimpinnya memanipulasi kepentingan rakyat bagi kepentingan diri dan kelompoknya.
Dalam perspektif ini, basis rekrutmen pegawai pemerintah diharapkan terbentuk dari
kelompok middle class(bangsawan Jawa) yang sejak awal telah memiliki kepemimpinan
secara de fakto[16]. Kedua, rekrutmen pegawai pemerintah Belanda yang berasal dari
pribumi dimaksudkan untuk membentuk sosok pemerintah yang tangguh dan paham
dengan masalah hukum. Keinginan ini mendorong Pemerintah Belanda cenderung
menyiapkan kurikulum yang bersifat law centris. Para pegawai pemerintah dibekali
dengan pelajaran hukum positif dengan sedikit pelajaran antropologie. Dampaknya,
Pemerintah Belanda memperoleh keuntungan besar dimana aktivitas pemerintahan
berjalan diatas kekuatan kerja dua sistem nilai yaitu feodalisme dan patron klien yang
lebih efektif dan efisien.
Menyadari hal tersebut, Pemerintah Belanda kemudian mengembangkan pendidikan
Pangreh Praja yang lebih modern[17]. Korps Ambtenar Belanda lebih lanjut mendorong
terbentuknya pendidikan dimaksud dengan tekanan perlunya pendidikan tersebut
diperluas dan diperdalam[18]. Dengan demikian maka terbentuklah sekolah
pendidikan Pangreh Praja lewat lembaga tertinggi yaitu Bestuurs Academie. Sekolah ini
terkenal dengan nama OSVIA (Opleidings School Voor Inheemsche Amstenaren). Sekali
lagi, kekuatan pendidikan ini karena basis rekrutmen Pangreh Praja berasal dari kelompok
elit, sehingga efektifivitas kepemimpinannya dilapangan tak diragukan. Gambaran
tersebut menyimpulkan bahwa basis rekrutmen pamong praja adalah semata-mata untuk
memperkuat kepentingan kolonial Pemerintah Belanda. Sekalipun demikian, secara

sengaja kepemimpinan lokal (de fakto) menguat kembali, bahkan diatas tumpukan
otoritas de jure (formal-legalistik).

Analisis Basis Rekrutmen Pamong Praja Era Kemerdekaan


Basis rekrutmen pegawai pemerintah dalam konteks pendidikan yang sama dimasa
kemerdekaan perlahan mengalami pergeseran. Misi pendidikan mengalami masalah
sepeninggal Pemerintah Belanda. Mengharapkan basis rekrutmen Pangreh Praja dari
kelompok elit tentu saja berhadapan dengan dua kendala pokok, yaitu; pertama,
terbatasnya sumber daya kepemimpinan dari kelompok bangsawan. Kedua, tingginya
masalah yang dihadapi pasca kemerdekaan, khususnya masalah-masalah sosial sehingga
membutuhkan kepemimpinan secara kuantitatif yang dapat menjawab masalah di tingkat
bawah. Ketiga,timbulnya kesadaran disebagian besar elit bahwa kepemimpinan perlu
dipersiapkan untuk mengisi kekosongan yang ada melalui rekrutmen khusus tanpa
melihat status sosial dalam masyarakat. Pemberian kesempatan pada anak muda yang
berprestasi dalam pendidikan pemerintahan akan lebih memperkuat pencapaian tujuan
awal pemerintah.[19]. Ketiga alasan tersebut setidaknya mendorong pemerintah
kemudian membentuk lembaga pendidikan dalam lingkungan Kementrian Dalam Negeri
seperti Middelbare Bestuurschool (MBS) pada tahun 1948, Sekolah Menengah Tinggi
(SMT) Pangreh Praja, SMA Pamong Praja yang kemudian berganti nama menjadi
Sekolah Menengah Pegawai Pemerintahan/Administrasi Atas (SMPAA) di Jakarta dan
Makassar. Sekalipun demikian, tampak bahwa nomenklaturlembaga pendidikan seakan
tetap mempertahankan nilai-nilai feodalisme di tengah keinginan pemerintah merekrut
pegawai pemerintah baru. Dalam catatan peserta didik dan alumni yang dimuat pada
beberapa dokumen yang masih tersisa, tampak bahwa kebanyakan para peserta didik
berasal dari kelompok elit bangsawan Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan
Sumatera[20]. Bahkan basis rekrutmen pegawai pemerintah beberapa diantaranya berasal
dari militer aktif ketika meningkat menjadi Institut Ilmu Pemerintahan. Peningkatan
kelompok bangsawan dalam rekrutmen pendidikan pamong praja dalam tahun 1956-1966
hingga angkatan terakhir di APDN daerah (1990) juga mengalami penguatan dari aspek
lokal khususnya wilayah tertentu seperti Sulawesi Selatan dan Bali. Bahkan untuk
beberapa kasus di wilayah yang masih kental kultur lokalitasnya, distribusi alumni
dilapangan lebih efektif jika memiliki gelar kebangsawanan[21]. Kecenderungan
demikian sulit dihindari, sebab selain masih menyisakan misi Pemerintah Belanda, juga
kelompok bangsawan memiliki akses yang lebih mudah dibanding masyarakat biasa
dalam pola rekrutmen pegawai pemerintah. Kondisi ini memungkinkan rekrutmen
berlangsung secara internal dan tertutup, sehingga basis rekrutmen terjaga dan

berlangsung dikalangan elit saja. Walaupun demikian, secara umum basis rekrutmen dari
kelompok masyarakat lebih terwakili dengan semakin luasnya kepercayaan pemerintah
terhadap masalah yang dihadapi. Sebagai perbandingan dapat dilihat pada tabel berikut;

Tabel 1. Perbandingan Persentase Basis Rekrutmen Elit dan Masyarakat


di APDN Malang (1956-1966)
Asal Daerah

Elit/Aristokrat

Masyarakat
Biasa

Jumlah

Jawa (Timur, Tengah, Barat, 15 %


Djakarta)

85 %

130

Sumatera
10 %
(Utara,Barat,Selatan, Atjeh,
Riau,Djambi,Lampung)

90 %

114

Kalimantan
10%
(Barat,Tengah,Timur,Selata
n)

90%

57

Sulawesi
25%
(Utara,Tengah,Tenggara,Sel
atan)

75%

63

Bali

80%

20%

14

Nusa Tenggara (Barat,


Timur)

20%

80%

20

Maluku

10%

90%

26

Irian barat

5%

95%

16

Sumber: di olah dari dokumentasi Sasana Karya, 1956-1966, APDN Malang. Klasifikasi
ini di luar unsur militer dan perguruan tinggi dengan jumlah terbatas yang menjadi
tugas belajar selama periode tersebut. Identifikasi kelompok elit didasarkan pada nama
dan marga besar dari keseluruhan alumni tersebut.

Analisis Basis Rekrutmen Pamong Praja Periode 1990-2009

Untuk memudahkan pengamatan terhadap perkembangan basis rekrutmen pendidikan


pamong praja maka pilihan periode 1990-2009 dijadikan tolok ukur sehubungan
penyatuan seluruh Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) daerah menjadi APDN
Nasional pada tahun 1990. Pada tahun 1992 status APDN berubah menjadi Sekolah
Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) hingga tahun 2004. Penggabungan IIP dan
STPDN pada tahun 2004 menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dengan
pola regionalisasi setidaknya menunjukkan kembalinya pola-pola rekruitmen dengan
basis lokal. Pada periode 1990 sd 2004, basis rekrutmen pamong praja berasal dari
masyarakat biasa (lulusan SMU) yang diintegrasikan di Jatinangor. Sekalipun pemerintah
lebih membuka kesempatan pada masyarakat umum melalui seleksi ketat di daerah
hingga pusat, namun faktanya rekrutmen relatif mewakili kelompok elite dibanding
masyarakat umum melalui standar yang ditetapkan. Sebelumnya dapat dilihat jumlah
peserta didik di IPDN dari angkatan 1 sd 14. Data selanjutnya belum dapat dilengkapi
kecuali dua angkatan terakhir di IPDN Makassar.

Table 2. Jumlah Rekrutmen Praja Angkatan 1 sd 14


No

Angkatan

Jumlah

1.

01

487

2.

02

490

3.

03

933

4.

04

807

5.

05

905

6.

06

611

7.

07

632

8.

08

624

9.

09

612

10.

10

621

11.

11

982

12.

12

793

13.

13

1.154

14.

14

995

15.

15

16.

16

17.

17

18.

18

19.

19

97

20.

20

99

Sumber: diolah dari dokumentasi Buku Kenangan Praja dan Laporan Pendidikan Tahun
2005-2006, serta Dokumen Praja IPDN Makassar.
Dari hasil identifikasi kelompok elit praja yang didasarkan pada pekerjaan/profesi orang
tua dalam birokrasi (PNS/TNI/POLRI), nama/gelar (Andi,Lalu,Raden,La Ode, I
Gede/Gusti) dan marga besar, diperoleh rata-rata jumlah praja yang berasal dari
kelompok dimaksud mencapai 70 %.
Identifikasi sederhana tersebut menunjukkan bahwa sekalipun pemerintah sebenarnya
lebih menitikberatkan pembentukan kepemimpinan pamong praja secara de jure melalui
pembentukan karakter, namun faktanya basis rekrutmen cenderung berasal dari kelompok
elit birokrasi yang secara turun temurun sudah ada. Untuk memperkuat basis rekrutmen
tersebut, maka pemerintah melalui sistem pengajaran, pelatihan dan pengasuhan, kader
Pamong Praja dibentuk agar mampu melayani masyarakat secara optimal, tangguh
menghadapi setiap tantangan, berani, jujur serta berkepribadian yang kuat sebagaimana
nilai-nilai dalam simbol kepemimpinan universal Jawa, yaitu Astabhrata.
Oleh karena basis rekrutmen Pamong Praja berasal dari masyarakat yang secara de
fakto memiliki akar yang kuat dalam soal kepemimpinan birokrasi, maka misi pemerintah
idealnya adalah mengembangkan karakter kepemimpinan pamong praja yang tidak saja
dapat diterima dan memiliki kekuasaan secara de jure, tetapi juga secara de fakto di
tengah-tengah masyarakat. Sebab, pengembangan karakter pendidikan yang semata
bersifat de jure (law centris) hanya akan membentuk pamong negara[22].

Peran Pendidikan Pamong Praja dan Penguatan Basis Rekrutmen Bagi Masa Depan
Kepemimpinan Pemerintahan

Strategi pengembangan karakter kepemimpinan melalui basis rekrutmen pamong praja


hari ini haruslah di evaluasi kembali. Pengembangan karakter kepemimpinan melalui
aspek intelektualitas, emosionaldan spiritual menjadi strategi yang tak terhindarkan.
Mendidik pamong praja melalui penanaman kekuasaan yang bersifat de jure semata (law
centris) tak menjawab dinamika perkembangan politik pemerintahan dewasa ini.
Faktanya, kaderisasi elit dalam masyarakat melalui instrument partai politik maupun
lembaga kemasyarakatan lainnya tampaknya mengalami kemacetan/kebuntuan (stagnan),
bahkan berjalan tanpa proses yang memadai. Tingkat legitimasi terhadap kepemimpinan
politik pemerintahan mengalami degradasi baik dari aspek legitimasi religi, elit maupun
demokrasi[23]. Hal ini ditandai oleh susutnya kader partai dengan cara merekrut artis dan
birokrat dalam sejumlah kasus pemilihan anggota legislatif dan kepala daerah. Akibatnya,
banyak lulusan APDN, IIP, STPDN dan IPDN yang sekalipun muda namun di nilai
masyarakat mampu mengemban misi pemerintahan sebagai Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah. Ini menunjukkan bahwa akseptabilitas moral masyarakat (legitimasi)
terhadap alumni mengalami perluasan tidak saja dalam konteks penegasan kekuasaan
secara de jure, tetapi juga de fakto. Asumsi ini di dukung oleh banyaknya pendaftaran
kandidat Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam 5 tahun terakhir yang berasal
dari kalangan alumni pendidikan Pamong Praja. Tabel dibawah ini menunjukkan
kontribusi kader Pamong Praja aktif dan non aktif dalam jabatan publik pada 5 tahun
terakhir ;
Tabel 3. Kontribusi Pamong Praja Aktif dan Non Aktif Dalam
Jabatan Politik 2005-2010
Provinsi

Kepala

Wakil

Anggota

Jumlah

Daerah

Kepala Daerah DPRD

DKI Jakarta

Jawa Barat

Jawa Timur

Jawa Tengah

Sulawesi Selatan

10

Sulawesi Barat

Sulawesi Tengah

Sulawesi Tenggara 1

Sulawesi Utara

Gorontalo

Kalimantan Barat

Kalimantan Timur 1

Kalimantan Tengah 1

Kalimantan
Selatan

Sumatera Barat

Sumatera Utara

Sumatera Selatan 1

Papua

Papua Barat

Bangka Belitung

Riau

Kepulauan Riau

Jambi

Lampung

11

11

Bali

Nusa Tenggara
Barat

Nusa Tenggara
Timur

Maluku

Maluku Utara

Bengkulu

Nanggroeh Aceh D 2

Jogjakarta

Sumber: Di olah terbatas dari wawancara alumni di daerah, 2010

Tampaknya, penajaman nilai-nilai kepemimpinan politik pemerintahan melalui aspek


Jarlatsuh penting untuk didalami kembali dengan mengembangkan nilai-nilai
kepemimpinan politik lokal yang ditumbuhkembangkan secara proporsional. Hal ini
untuk menjawab dan mengurangi kebuntuan dari pola sirkulasi kekuasaan pada kelompok
elit dengan instrument yang dimiliki. Sepanjang elit dalam masyarakat (termasuk partai
politik) mampu menciptakan sirkulasi secara sehat dan memadai, maka pendidikan
pamong praja tentu saja lebih relevan jika ditempatkan secara proporsionalitas sebagai
manajer yang tangguh dalam birokrasi modern. Sebaliknya, jika partai politik gagal
membangun pola sirkulasi sesuai mekanisme dalam praktek demokrasi prosedural, maka
suka atau tidak, basis pendidikan pamong praja secara alamiah berpeluang mengambil
bagian berdasarkan mekanisme dan konsensus yang disepakati. Saya pikir ini lazim
terjadi dimanapun negara yang mengalami sirkulasi pemerintahan transisi. Tentu akan
jauh lebih mudah jika revisi UU No.32 Tahun 2004 mampu melapangkan sekaligus
menemukan jalan keluar (way out) dengan cara mengimbangi kandidat kepala daerah
yang berasal dari partai politik dengan wakil kepala daerah yang bersumber dari
kelompok birokrasi yang tentu saja memiliki standar pengalaman dan basis keilmuan
pemerintahan (baca pamong praja).
Pada dasarnya semua itu bergantung pada tujuan pemerintah dalam kaitan dengan
pembentukan kepemimpinan pemerintahan. Pertanyaan mendasar adalah basis dan
otoritas apa yang kita butuhkan ke depan dalam konteks pendidikan Pamong Praja dengan
berpijak pada realitas sistem politik dan pemerintahan yang berlangsung saat ini? Belajar
dari basis rekrutmen masa lalu serta kebutuhan otoritas, tampaknya perlu dipikirkan
kebutuhan kepemimpinan pemerintahan dalam road map 10 sd 20 tahun ke depan
sehingga basis rektrutmen dapat disesuaikan. Secara sederhana dapat dilihat pada tabel
berikut;

Tabel 4. Hubungan antara Basis Rekrutmen dan Kekuasaan


Elit/

Masyarakat

Bentuk

Aristokrat

Umum

Kekuasaan

De fakto>De jure

Pra Kemerdekaan x

Pasca
Kemerdekaan

De fakto> De jure

Periode 19902010

De jure > De fakto

Periode 20102020

Seiring dengan pergeseran sistem pemerintahan otoriter menuju demokrasi, makna


Pangreh Praja (Pamong Negara) secara perlahan mengalami koreksi total sehingga
melahirkan konsep Pamong Praja. Suatu konsep yang mengandung misi melayani
masyarakat secara optimal dimana saja dan kapan saja sebagai suatu tanggungjawab de
jure sekaligus de fakto. Dewasa ini, seperti disinyalir oleh Tursandi (2010), konsep
pamong praja bahkan menjadi lebih terbuka dengan perubahan sistem pemerintahan,
dimana istilah urusan pemerintahan umum dan urusan umum pemerintahan semakin sulit
dibedakan dalam kenyataan dilapangan. Bahkan menurutnya, individu yang melakonkan
jabatan pamong praja boleh berasal darimana saja, tanpa melihat latar belakang
pengalaman dan pendidikannya. Tinggal bagaimana membentuk mereka agar memahami
makna pelayanan masyarakat serta dibekali lewat pelatihan jangka pendek (short courses)
dan jangka panjang. Kalau para kepala daerah yang baru terpilih saja dapat dilatih selama
21 hari di Badan Diklat guna meletakkan dasar-dasar kepemimpinan pamong praja,
mengapa untuk para Camat yang nota bene saat ini banyak berasal dari berbagai
pengalaman dan basis keilmuan berbeda sulit dikendalikan pemerintah untuk taat pada
PP No.19 Tahun 2007 berkaitan dengan sertifikasi camat? Faktanya, untuk rekrutmen
Camat saja lebih didasarkan atas Daftar Urutan Kedekatan, jauh dari tata merit sistem
yang kita harapkan.

Kesimpulan dan Saran


Terlepas dari persoalan tersebut, tampaknya, pemahaman terhadap Pamong Praja yang
mensyaratkan kualifikasi kepemimpinan dan kemampuan managerial seperti
dikemukakan Ndraha dalam Ismail (2010:8) cukup relevan dalam pemaknaan
kekuasaan de fakto dan de jure. Kekuasaan de fakto (kharismatik, politis) dapat
dikembangkan melalui pengembangan karakter kepemimpinan, sedangkan kekuasaan de
jure (legal-rasional,authority) dapat di desain melalui pengembangan karakter
managerial. Lalu mengapa Pamong Praja harus berada di garis lini/kewilayahan dengan
pendidikan khusus? Oleh karena kita percaya bahwa penumbuhan karakter

kepemimpinan (leadership) seyogyanya berhadapan dengan basis masyarakat terkecil


hingga yang paling luas guna mendorong tumbuhnya kekuasaan de fakto di atas
kekuasaan de jure. Itulah mengapa kita cenderung melarang alumni STPDN/IPDN setelah
lulus menjadi ajudan kepala daerah, sekalipun penting untuk menumbuhkan karakter
managerial pada waktunya. Tetapi dengan menempatkan alumni di level Desa, Kelurahan
dan Kecamatan sebagai entitas pemerintahan paling bawah, mereka relatif berhadapan
langsung dengan basis sosial yang dengan sendirinya dapat mengembangkan karakter
kepemimpinan secara de fakto, sekaligus mengasah karakter managerial atas
kekuasaan de jure. Pertanyaan berikut adalah mengapa perlu di didik khusus? Oleh
karena pemerintah merupakan organisasi paling sempurna yang memiliki
keistimewaan[24], maka profesi Pamong Praja sebagai representasi pemerintah dalam
melayani masyarakat perlu di didik secara istimewa/khusus, sebab pemerintah memiliki
kekhususan/keistimewaan dalam memainkan kekuasaan baik secara de jure maupun de
fakto. Perlu dibedakan sifat khusus pada sekolah lain seperti Jaksa, Hakim, Auditor,
Polisi atau Tentara yang walaupun di didik secara khusus namun hanya melaksanakan
kekuasaan de jure semata (law centris) tanpa berhadapan langsung dalam konteks
pelayanan masyarakat sehingga membutuhkan qualified leadership (Ndraha:2010). Inilah
yang disebut dengan model pendidikan specialist-generalis. Kalau alumni AKPOL dan
AKMIL bersifat specialist mengamankan dan mempertahankan, lulusan perguruan tinggi
lain bersifat generalist-specialist dalam keilmuan, maka lulusan pamong praja lebih
bersifat specialist-generalist dalam praktek pemerintahan.Pembedaan
istilah specialist (kekhususan) dapat di lihat pada tabel berikut;

Tabel 5. Pembedaan Kekhususan Pada AKPOL/AKMIL, PT dan IPDN


Perbandinga AKPOL/AKMIL
n
Spesialisasi

Pergurua IPDN
n Tinggi

Mengamankan/mempertah Pada ilmu


ankan/
tertentu
sesuai
menyelidik/membunuh
jurusan

Pada ilmu
pemerintahan
dengan karakter
kompetensiqualifield
leadership danmana
gerial
administrative(de
fakto dande jure)

Jadi jelas, jika ada kekhususan (spesialisasi) dalam memainkan senjata secara praktis
dilapangan untuk mengamankan (to saved) atau membunuh (to killed), maka Pamong
Praja memiliki kekhususan dalam memainkan kekuasaan yang lebih dari sekedar
memainkan senjata, yaitu mengelola kekuasaan yang luas. Sebab itulah, mengapa
penting untuk di didik secara khusus/istimewa. Sekali lagi, karena Pamong Praja
disiapkan untuk mengelola/memainkan kekuasaan baik secara de jure maupun de
fakto. Apalah artinya senjata tanpa kekuasaan? Mana lebih besar dan berpengaruh,
apakah senjata M-16 atau kekuasaan yang dapat sewaktu-waktu memerintahkan senjata
tersebut meledak? Lalu, pekerjaan rumah selanjutnya adalah bagaimana mengembangkan
karakter kepemimpinan yang dapat diterima baik secarade fakto maupun de jure di tengah
masyarakat yang semakin demokratis dewasa ini? Sebagai saran akhir, penting membaca
kembali konsep dan kurikulum yang telah disusun oleh Ndraha dalam buku Nilai-Nilai
Kepamongprajaan, Credentia, Jakarta, 2010.

Referensi:
Alfian, M Alfan, 2010. Menjadi Pemimpin Politik, Gramedia, Jakarta
Anwar, Rosihan, 2008. Kenang-Kenangan Pangreh Praja, Balai Pustaka, Jakarta
Bottomore, T.B., 2006. Elite dan Masyarakat, Akbar Tanjung Institute.
Emmerson, Donald K, 1976. Political Culture and Cultural Politics, Cornell University
Press, Ithaca and London
Finer, S.E, 1974. Comparative Government, Penguin Books Ltd.,Harmonds Worth,
Middlesex, England
Haryanto, 2005. Kekuasaan Elite, JIP UGM, Jogjakarta,
Ilham, Muhammad, 2008. Manajemen Strategis Peningkatan Mutu Pendidikan
Kepamongprajaan, Indra Prahasta, Bandung
Kartodihardjo, Sartono, 1981. Elite Dalam Perspektif Sejarah, LP3ES, Jakarta
Kuper, Adam, & Jessica, 2000. The Social Science Encyclopedia (terj), PT.Raja Grafindo,
Jakarta
Labolo, Muhadam, 2010. Memahami Ilmu Pemerintahan, Rajawali Press, Jakarta,

Ndraha, Taliziduhu, 2005. Kybernologi, Jilid 1-2, Rineka Cipta, Jakarta


.,2010. Nilai-Nilai Kepamongprajaan, Credencia, Jakarta
M Giroth, Lexie, 2004. Edukasi dan Profesi Pamong Praja, STPDN Press, Bandung
.., 2009. Status dan Peran Pendidikan Pamong Praja Indonesia, Indra
Prahasta, Bandung
Pamudji, 1985. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.
Sutherland, Heather, 1983. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, Sinar Harapan, Jakarta
Suratno, Pardi, 2009. Sang Pemimpin Menurut Astabhrata, Jakarta
Susetya, Wawan, 2007. Kepemimpinan Jawa, Jogjakarta.
Sasana Karya 1956-1966. Menjongsong Peningkatannja Mendjadi Institut Ilmu
Pemerintahan, APDN Malang
Suseno, F Magnis, 1999. Etika Kekuasaan, Prinsip-Prinsip Kewarganegaraan, Kanisius,
Jakarta.
Suryaninggrat, Bayu, 1980. Pamong Praja dan Kepala Wilayah, Aksara Baru, Bandung
Tjokrowinoto, Meljarto, 2010. Birokrasi dalam Polemik, Pustaka Pelajar Unismuh,
Malang
Webe, Agung, 2007. Javanese Wisdom, Berpikir dan Berjiwa Besar, Indonesia Cerdas,
Yogyakarta
Varma, 2008. Politik Modern, Rajawali, Jakarta
Van Niel, Robert, 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia, Pustaka Jaya, Jakarta
Visser, Leontine, 2009. Bakti Pamong Praja Papua, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Makalah :
Nurdin, Ismail, 2010, Quo Vadi Pamong Praja, IPDN Jatinangor
Salim Said, 2004, Meningkatkan Nilai-Nilai Kebangsaan di Era Otonomi Daerah, Jakarta

Wasistiono, 2009, Redefenisi Kode Kehormatan dan Nilai-Nilai Kepamongprajaan,


Materi TOT Diklat Kemendagri.
Haily, Aziz, 2006, Sejarah Pendidikan Kedinasan di Indonesia, Jakarta
IPDN, 2006, Laporan Pendidikan IPDN Tahun Akademik 2005-2006, Jatinangor
Syafruddin, Ateng, 2007, Ilmu Pemerintahan Dalam Konteks Kepamongprajaan,
Makalah, Jatinangor
Syafruddin, Ateng, 1963, Pamong Praja sebagai Golongan Karya Pemerintahan
Umum, Makalah, Bandung
Syafruddin, Ateng, 1963, Jabatan Pamong Praja Dalam Penelitian Antroplogi dan
Hukum Adat, Makalah, Bandung.
Tursandi, (2010), Testimoni, Silaturahmi Alumni Sekolah Pamong Praja, (sambutan)
Jakarta, Sahid Hotel, 24 November 2010.

Pengantar
Memasuki setahun periode pemerintahan baru 2014-2019, sepertinya kita
diingatkan kembali pada konsepsi Revolusi Mental yang menjadi kata kunci (key
word) dalam membentuk kerangka visi dan misi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf
Kalla yaitu, Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan
Berkepribadian. Visi tersebut selanjutnya dipolakan lewat seperangkat misi
yaitu Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian
Berlandaskan Gotong-royong.[3] Secara historis visi tersebut didasarkan pada
pemikiran Soekarno lewat konsep Tri Sakti. Konsep ini dikemukakan Soekarno dalam
pidato berjudul Tahun Vivere Pericoloso (Taviv) dalam rangka memperingati Hari
Kemerdekaan RI tahun 1964. [4] Inti konsep Tri Sakti adalah pentingnya bangsa
Indonesia memperjuangkan dan mewujudkan kedaulatan di bidang politik,
kemandirian dalam ekonomi serta kepribadian dalam bidang kebudayaan. Konsepsi ini

lahir tidak saja karena dorongan faktor internal, juga tekanan eksternal dimana
terdapat dua kekuatan politik internasional yaitu blok Barat yang bersifat kapitalistik
dan blok Timur yang cenderung berkarakter komunistik. Dalam konteks itu Soekarno
hendak memastikan bahwa bangsa Indonesia mesti teguh pada posisinya sebagai
bangsa yang merdeka dan tidak ikut menceburkan diri dalam pusaran arus politik
global, baik Timur maupun ke Barat. Terlepas bahwa sejarah dikemudian hari
memberikan catatan lain atas kecenderungan realitas politik luar negeri Indonesia,
namun secara domestik gagasan Tri Sakti dalam jangkauan sejarah yang panjang
sepatutnya dapat direvitalisasi menjadi pondasi yang kuat dalam membangun bangsa
di tengah persoalan internal yang lebih membutuhkan perhatian serius.
Jika faktor internal hari-hari ini lebih mendominasi persoalan bangsa maka
tidaklah salah jika focus group discuss kali ini menjadi pemantik untuk
mengembangkan sejumlah pertanyaan mendasar, sekaligus menyiapkan action
plan guna mencapai tujuan konstitusional negara melalui kepeloporan revolusi mental.
Sumber persoalan utama dalam relasi ini menurut tesis sementara terkait pada
pembangunan individu bangsa. Apabila kita asumsikan bahwa setiap individu
memiliki karakter postitif yang memadai, maka dalam kumpulan yang luas (keluarga)
hingga organisasi paling kompleks laiknya negara akan mampu berdaulat secara
politik, ekonomi dan sosial budaya. Dengan imaji semacam itu maka tidak saja
persoalan internal seperti isu transisi demokratisasi, Hak Asasi Manusia, desentralisasi
hingga reformasi birokrasi akan mudah terselesaikan dengan sendirinya. Dampak lebih
jauh dari itu persoalan eksternal yang selama ini menyentuh harga diri bangsa seperti
mobilitas tenaga kerja ke luar negeri karena dorongan ekonomi, kemampuan
melaksanakan hukuman mati bagi siapa saja yang bersalah sebagai refleksi kedaulatan
politik bangsa, serta kemampuan menampilkan karakter individu yang cemerlang dari
berbagai aspek kehidupan dapat segera menggeser identitas budaya negara lain yang
kini justru menjadi trending di negara sendiri. Indikasi yang dapat dilihat adalah
kebiasaan generasi muda yang lebih mudah beradaptasi dengan budaya bangsa lain
lewat film, fashion dan food. Film dengan mudah mempengaruhi cara berpikir dan
spirit generasi muda lewat layar lebar (Theater), layar sedang (Televisi) hingga layar
mini (Handphone). Dalam titik tertentu gejala ini mampu memompa kebanggaan bagi
negara lain, sekaligus pada saat yang sama mengikis nasionalisme bangsa
sendiri. Fashion tampak dari melimpahnya asesoris dan sentuhan life style yang secara
perlahan menggerus motif dan cara hidup sederhana. Dipenghujung upaya menggapai
semua titik kepuasan tersebut melahirkan cara hidup hedonisme, dimana korupsi
menjadi jalan pintas di segala bidang. Sementara kontribusi makanan (food) kini
menjadi semacam ketergantungan hidup dalam berbagai bentuknya, mulai dari
kegemaran mengkonsumsi makanan kecil (snack) dari Malaysia, buah dari Bangkok
hingga menunggu import beras dan daging dari Vietnam dan Australia sebagai
pengganti kebutuhan pokok manusia Indonesia.
Pada akhirnya, semua gejala di atas kini menjadi sebuah pertanyaan strategis di
atas kerangka visi dan misi Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Bagaimanakah
mewujudkan revolusi mental dalam jangka panjang? Siapakah pelopor dan wadah

seperti apakah yang ideal menjadi daya dorong (starting point) untuk mewujudkan visi
dan misi revolusi mental dimaksud? Apabila IPDN diminta mengambil porsi
terdepan dalam keramaian konsepsi tersebut, maka bagaimanakah action plan yang
paling konkrit dari rencana besar revolusi mental dilakukan dalam kampus yang khas
seperti Institut Pemerintahan Dalam Negeri?[5]Ketiga pertanyaan tersebut hanyalah
bagian kecil dari upaya menemukan jawaban atas berbagai pandangan terhadap
konsepsi revolusi mental baik dari sudut teoritik filsafati, politik, budaya, agama,
ekonomi, hukum, maupun praktek dilapangan empirik.
Misi dan Nawacita Revolusi Mental
Untuk mewujudkan visi revolusi mental yang telah dikemukakan sebelumnya,
Jokowi-JK menetapkan 7 (tujuh) misi strategis yang akan ditempuh dalam lima tahun
kedepan,pertama, mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan
wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumberdaya maritim
dan
mencerminkan
kepribadian
Indonesia
sebagai
negara
kepulauan. Kedua, mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan dan demokratis
berlandaskan negara hukum. Ketiga,mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan
memperkuat jati diri sebagai negara maritim.Keempat, mewujudkan kualitas hidup
manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera.Kelima, mewujudkan bangsa yang
berdaya-saing. Keenam, mewujudkan Indonesia menjadi Negara maritim yang
mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional. Ketujuh,mewujudkan
masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan. Dalam dokumen itu juga
dirumuskan Sembilan
Agenda
Prioritas yang
dikenal
dengan
istilah Nawacita (Nawa artinya Sembilan, Cita artinya Tujuan/Keinginan/Harapan).
Kesembilan agenda prioritas itu adalahpertama, menghadirkan kembali negara untuk
melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga
negara. Kedua, membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola
pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. Ketiga,membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat Daerah dan Desa dalam kerangka
Negara Kesatuan. Keempat, menolak negara lemah dengan melakukan reformasi
sistim
penegakan
hukum
yang
bebas
korupsi,
bermartabat
dan
terpercaya. Kelima, meningkatkan
kualitas
hidup
manusia
Indonesia. Keenam, meningkatkan produktifitas rakyat dan daya saing di pasar
internasional. Ketujuh, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan
sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kedelapan, melakukan revolusi karakter
bangsa.Kesembilan, memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial
Indonesia. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah mewujudkan Nawacita
tersebut? Apakah dimulai secara sikuensi, ataukah cukup menentukan prioritas utama
yang dengan sendirinya mampu menjawab semua agenda yang tersisa? Pilihan lain
dilakukan secara simultan dengan membagi pada semua sektor terkait untuk
dituntaskan bersama.
Menurut hemat saya alternatif kedua lebih tepat kita lakukan, namun perlu
ditetapkan satu sumbu utama untuk melahirkan output Nawacita dalam jangka

panjang, bukan sekedar menanti kinerja day to day sebagaimana tampak sementara ini.
Buah dari revolusi mental pada dasarnya hanya dapat dinikmati dalam jangka panjang,
sepuluh hingga dua puluh tahun kedepan dengan menyiapkan landasan kokoh hari ini.
Sebagaimana negara-negara di asia lainnya seperti Jepang, Korea, India, Malaysia dan
Singapura yang hanya berselisih hari, bulan dan tahun dari pijakan kemerdekaan awal,
kini telah memasuki suatu masa yang diperhitungkan dalam percaturan dunia
international. Untuk menggapai harapan itu, maka tidaklah berlebihan jika kita
bermaksud menjadikan IPDN sebagai wadah pelopor bagi terciptanya revolusi mental
dimasa akan datang.
IPDN sebagai Wadah Strategis Pelopor Revolusi Mental
Sejak kelahiran Institut Ilmu Pemerintahan pada tahun 1964, Soekarno
menyatakan dengan jelas dalam pidato pengantar di depan segenap civitas akademika
APDN Malang, bahwa pembentukan pendidikan Pamongpraja dimaksudkan sebagai
sosok perekat bangsa selain ujung tombak pemerintah pusat dalam penyelenggaraan
roda pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di daerah.[6] Jika dua peran
strategis itu menjadi dasar kita bertolak, maka IPDN setidaknya memiliki misi penting
sebagai pelopor revolusi mental dalam menciptakan kader yang memiliki kemampuan
kenegarawanan (statemanship) dan kemampuan memberikan pelayanan bagi
kepentingan masyarakat. Dua kemampuan tersebut hanya mungkin dibentuk melalui
pendidikan dan pengalaman yang panjang. Pendidikan dibutuhkan untuk mengubah
diri dan lingkungannya menuju suatu tujuan yang dikehendaki. Perubahan diri
dimaksud adalah perubahan karakter individu. Perubahan karakter individu dapat
memicu perubahan luas pada masyarakat baik pada tingkat mikro hingga yang paling
kompleks, negara. Karakter (kharassein) sendiri adalah lukisan jiwa, cetakan dasar
kepribadian seseorang/sekelompok orang yang terkait dengan kualitas moral,
integritas, ketegaran serta kekhasan potensi dan kapasitasnya, sebagai hasil dari suatu
proses pembudayaan dan pelaziman (habitus). Menurut Yudi Latif dalam pengantar
bukunya, cara mencetak nilai menjadi karakter tidak cukup diajarkan lewat hafalan.
[7] Mengutip peribahasa Inggris, moral is not taught but caught. Nilai-nilai
keteladanan dan kepahlawanan tidaklah cukup diajarkan (taught) secara kognitif lewat
hafalan dan pilihan ganda, melainkan ditangkap(caught) lewat penghayatan emotif.
Pendidikan karakter seringkali diintrodusir kedalam kelas melalui contoh-contoh
keteladanan dan kepahlawanan. Pengaruh kesusastraan terhadap kehidupan tak bisa
diremehkan begitu saja. Tokoh-tokoh fiksi dalam deskripsi kualitatif seringkali
mempengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi, bahkan
mengubah dunia. Bukankah kisah Rosie the Riveter menjadi pengungkit bagi Womens
Liberation
Movement.
Kisah Siegfried, kesatria-pahlawan
legendaris
dari
nasionalismeTeutonik mendorong pecahnya perang saudara Jerman. Kisah Barbie,
boneka molek menjadirole model bagi jutaan gadis-gadis cantik cilik dengan standar
gaya dan kecantikan. Bandingkan pula bagaimana sinetron Korea akhir-akhir ini yang
mampu melahirkan role model bagi ibu-ibu dan remaja di Indonesia. Jika rekayasa

fiksi semacam itu dapat berpengaruh kuat bagi moralitas bangsa kita, apatah lagi jika
mereka benar-benar pernah ada dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dalam kaitan itu, IPDN mengemban tugas melakukan perubahan karakter praja
untuk mengemban dua misi besar sebagaimana disebutkan diatas. Lewat pendidikan
khas yang mengintegrasikan aspek pengajaran, pelatihan dan pengasuhan diharapkan
mampu membentuk karakter yang dapat merevolusi diri dan lingkungannya dalam
kerangka tujuan bermasyarakat, berpemerintahan dan bernegara. Pada titik ini
pertanyaan dasarnya adalah apakah nilai inti dari proses pengajaran, pengasuhan dan
pelatihan di IPDN? Apabila nilai penting dari ketiga aspek tersebut dapat kita jawab,
maka pilihan berikutnya adalah kenderaan (vehicle) seperti apakah yang akan kita
siapkan secara konkrit agar semua nilai tadi dapat mewujud kedalam pribadi
pembelajarnya (praja), bahkan kalau boleh civitasnya. Tanpa itu, saya kuatir FGD ini
hanya akan mengantar kita pada perbincangan vehicle yang penuh sesak dengan
kegiatan projek, bukan menjawab persoalan inti dari revolusi mental itu sendiri.
Akibatnya, hayalan buruk saya dapat mengantarkan kita pada perbincangan revolusi
projek, dimana IPDN menjadi objek yang paling mudah dikambinghitamkan akibat
dari kegagalan revolusi mental lewat kelinci percobaan. Akhirnya, IPDN-lah yang
paling mungkin dituding sebagai objek sekaligus subjek yang perlu di revolusi mental.
Karena itu, amanah revolusi mental ini dapat menjadi semacam dua bilah mata pedang
yang membawa harapan optimisme dan pesimisme, menantang IPDN sebagai titik
pijak revoluasi mental ke-Indonesiaan, sekaligus ujian bagi masa depan IPDN jika
gagal mengawal revolusi mental. Namun satu hal yang tak dapat dibantah bahwa
konsepsi revolusi mental berupa kemandirian pada tiga aspek penting yaitu politik,
ekonomi dan sosial budaya sangat konsentrik dengan paradigma ilmu pemerintahan
baru (kybernology)sebagaimana digagas oleh Taliziduhu Ndraha sejak tahun
2003. Menurut pendapat saya, dalam hubungan inilah IPDN patut memperoleh tempat
paling strategis dibanding perguruan tinggi lain karena memiliki pondasi akademik
paling siap secara ontologik, epistemologik dan aksiologik.
Nilai penting dari aspek pengajaran adalah mendorong area kognitif praja agar
mampu memecahkan problem pemerintahan yang dihadapi dilapangan. Pengajaran
teoritik diperlukan untuk memperkuat peran salah satu asas penting dalam
pemerintahan, yaitu asas berpikir panjang.[8] Dalam praktek, asas ini membutuhkan
cara pandang terhadap suatu hal secara menyeluruh. Sebagai contoh, berdasarkan
program penegakan hukum, rumah liar di bantaran Kali Ciliwung dibongkar paksa
dengan berbagai alasan pemerintah kota. Pertanyaannya, apakah pemerintah kota
peduli dengan nasib penduduk yang kehilangan tempat tinggal dan mungkin saja
lapangan kerjanya sebagai dampak dari penggusuran tersebut? Harus di ingat bahwa
asas perintah adalah perintah tidak berlaku dalam masyarakat civil. Inilah salah satu
hal fundamental yang membedakan IPDN dengan perguruan tinggi kedinasan lain
termasuk AKPOL dan AKMIL. Standar rekrutmen boleh jadi sama, namun fokus yang
menjadi lahan garapan jauh berbeda. Dalam masyarakat civil setiap warga negara
berhak mengetahui mengapa dan apa akibat dari tindakan pemerintah. Kesadaran akan
hubungan sebab-akibat dan sebaliknya akibat-sebab dapat diperoleh lewat

pengalaman. Namun upaya untuk memperoleh pengalaman tersebut dibatasi oleh


waktu hidup manusia yang singkat guna menyadari hubungan kausalitas, maka
teorilah yang memungkinkan orang mengetahui hubungan kausal sebanyak mungkin
tanpa harus mengalaminya satu persatu. Oleh karena itu setiap praja sebagai bakal
aktor pemerintah mutlak memerlukan bekal pengetahuan teoritik umum(filsafat,
metodologi, logika dan sebagainya), serta pengetahuan teoritik khusus dibidangnya
masing-masing. Maka amat naiflah jika sejumlah orang mengatakan bahwa perguruan
tinggi kedinasan yang bertugas membentuk calon kader/aktor pemerintahan tidak
perlu mengajarkan pengetahuan teoritik, cukup pengetahuan teknik-administratifoperasional belaka.
Dalam kaitan dengan nilai pengasuhan, penting mengingatkan bahwa pola
transaksional dalam menyelesaikan masalah pemerintahan kini menjadi trend yang
jika tak dihentikan dapat menjadi subur dan beban bagi pemerintahan selanjutnya.
Dengan kelihaian semacam itu bukan mustahil kita secara tak langsung telah
berkontribusi bagi terbentuknya birokrat yang ulet memeras rakyat untuk
menyelesaikan setiap masalah. Inilah seni, yang menurut kritik Adam Smith tak ada
seni yang paling cepat dipelajari suatu pemerintahan, kecuali seni menguras uang dari
saku
rakyatnya.
Lewat
aspek
pengasuhan
kita
berharap
terbentuk kesadaranindividu sekaligus kesadaran kolektif yang bertumpu pada
moralitas dan etika, apakah etika pendidikan yang kita sepakati sebagai modal
bermasyarakat dan berpemerintahan, maupun moralitas agama yang menjadi pondasi
paling kuno di muka bumi. Lewat kesadaran semacam itulah maka pengasuhan IPDN
diharapkan mampu memberikan kontribusi signifikan bagi terbangunnya kesadaran
seorang praja untuk mengubah dirinya, sekaligus secara kolektif mendorong dinamika
masyarakat lewat prinsip good governance. Jika bagian ini tercapai, maka pendidikan
dalam bentuk apapun sebagaimana dikatakan oleh pakar pendidikan Jhon Dewey
(1999) telah mencapai tujuan sebenarnya, yaitu mengubah diri dan lingkungannya
menjadi lebih baik, dan bukan sebaliknya. Namun perlu di ingat bahwa sebelum
kesadaran itu muncul ia membutuhkan intervensi pengetahuan dan contoh tauladan
yang memadai. Kesadaran tak akan muncul hanya dengan mengucapkan
mantra abrakadabra dan alakazam. Disini menginspirasikan bahwa semua civitas
harus menjadi contoh, bukan menjadi momok yang menakutkan sehingga kesadaran
lahir karena dorongan luhur sebagai manusia biasa, bukan karena rasa takut sehingga
membentuk pribadi robot (formalistik).
Pada level selanjutnya keseluruhan pengetahuan dan karakter yang dibentuk
lewat pengajaran dan pengasuhan membutuhkan percontohan untuk diujicobakan.
Dalam konteks inilah kita menyertakan nilai pelatihan, dimana kampus sekaligus
menjadi laboratorium alamiah yang dapat dipraktekkan secara kasat mata. Ketika kita
menguraikan pelajaran tentang pemerintahan yang baik, maka pada saat yang sama
semua prinsip yang mengkonstruksi makna pemerintahan yang baik harus mampu
teraplikasikan dengan cara dilatih terus-menerus. Sebagai contoh, prinsip akuntabilitas
dan transparansi dalam pemerintahan yang baik membutuhkan pelatihan lewat
pemberian
tanggungjawab
yang
memungkinkan
setiap
praja
dapat

mempertanggungjawabkan tugasnya secara baik, tepat waktu dan terang-benderang.


Alokasi pelatihan yang banyak dalam bentuk PPL, PKL, BKP, KKN, Latsitarda,
Magang hingga Laboratorium Unit Kerja di Desa merupakan strategi yang diharapkan
dapat menyerap sejumlah keterampilan lapangan secara langsung (direct) untuk
menjadi modal bagi penyelesaian problem pemerintahan yang sesungguhnya di kelak
hari.
Jika dari ketiga aspek di atas yang menjadi wadah bagi penanaman nilai-nilai
yang diharapkan di IPDN, maka apakah cukup kita sepakati saja ataukah perlu
direvitalisasi, reposisi, reaktualisasi maupun direformasi kembali dalam kerangka
revolusi mental? Bagi saya, dan mungkin kita semua akan sependapat bawah sistem
diatas realtif cukup ideal, terbukti mampu dipraktekkan lebih dari 15 tahun dengan
hasil yang tak begitu mengecewakan dilapangan tugas sebagai Pamongpraja.
Persoalan pentingnya adalah vehicle seperti apakah yang akan kita gunakan untuk
mengkonkritkan dan memaksimumkan semua nilai penting yang diharapkan kedepan
agar sejalan dengan konsepsi revolusi mental? Tentu saja FGD ini dapat menjadi
bagian untuk merangkum semua unek-unek peserta undangan yang akan diramu dalam
bentuk vehicle perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang bagi upaya
mewujudkan IPDN sebagai pelopor revolusi mental. Pada tahap implementasi ini
menjadi bagian birokrat tulen sekelas kepala biro kebawah yang menekuni dan
menyukai program dan kegiatan semacam itu. Saya akan fokus pada beberapa hal
sebagai respon atas Nawacita Revolusi Mental.
Menanamkan Azas Omnipresence, Menjawab Nawacita 1
Omnipresence bermakna bahwa pemerintah semestinya dapat hadir dimanamana. Namun dengan keterbatasan pemerintah secara kuantitas sekaligus manusia
biasa, maka kehadiran pemerintah hanya dapat dimunculkan lewat spirit ilahiah pada
setiap aktor pemerintahan. Artinya, konsepsi pemerintahan dapat ditanamkan pada
dua aspek penting yaitu, sebagai pengatur yang dipercaya dan sebagai ruh (geist, spirit
dan jiwa). Sebagai pengatur, pemerintah dapat hadir dimana saja secara fisik (physical
power). Namun pada saat yang sama dengan menyadari kelemahan itu, maka
pemerintah dapat hadir secara spirit dimana saja tanpa hadir secara fisik. Untuk
mewujudkan peran kedua itu, pemerintah harus mampu membangun
kepercayaan (trust) sebagai modal utama, sehingga tanpa kehadiran pemerintah secara
fisik sekalipun, masyarakat akan merasa bahwa pemerintah hadir memberi
perlindungan. Sebagai contoh, Polisi dapat saja tak berada di lokasi lampu merah
pada tengah malam ketika seorang warga negara berkenderaan lewat, namun atas spirit
tadi setiap warga negara dengan sendirinya berhenti sebagai bentuk kesadaran adanya
pemerintah sekalipun nyata-nyatanya tak tampak secara fisual.
Menanamkan kesadaran sedemikian rupa mulai dari tingkat Muda Praja hingga
Wasana Praja dapat menjadi investasi yang mahal dan langka, dimana setiap kader
pemerintahan menyadari diri sebagai pengatur sekaligus spirit ditengah-tengah
masyarakat. Dengan kesadaran itu setiap kader pemerintahan harus mampu menjaga
diri agar kepercayaan masyarakat dapat dipertahankan. Jika konsep ilahiah ini dapat

ditanamkan lewat aspek pengasuhan, maka setiap kader pemerintahan yang akan
datang dapat menjadi simbol penggerak, dan sumber inspirasi hadirnya pemerintahan
dimanapun masyarakat berada. Inilah makna hakiki dari asas omnipresence guna
menjawab problem nawacita pertama, yaitu hilangnya ruh pemerintahan yang
mengakibatkan masyarakat merasa hilangnya peran pemerintah dalam berbagai
persoalan yang dihadapi dewasa ini.
Membangun Pemerintahan Yang Baik, Menjawab Nawacita 2
Pada dasarnya masyarakat berhak mendapatkan pemerintahan yang baik.
Pemerintah sendiri adalah produk dari dinamika politik masyarakat. Pemerintah yang
baik hanya mungkin tumbuh dan berkembang dari masyarakat yang baik pula.
Masyarakat sendiri terdiri dari kelompok-kelompok tertentu yang terorganisasikan
sedemikian rupa. Kelompok tersebut dapat berupa organisasi masyarakat (ormas),
politik maupun institusi pendidikan yang di desain untuk mencapai tujuan bersama.
Semua organisasi pada pokoknya bertujuan baik sekalipun memiliki nilai, budaya dan
tujuan yang berbeda-beda. Tekanan penting diletakkan pada komponen masyarakat
sebab diantara tiga komponen penting dalam konsepsi good governance (pemerintah,
wiraswasta dan masyarakat), inilah komponen yang paling lemah dalam relasi itu.
Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan masyarakat tak memiliki akses yang kuat
dalam menentukan masa depan dirinya sendiri. Atas kesadaran itu maka penting bagi
kita untuk membangun kembali pemerintahan yang baik dengan memberi akses yang
lebih luas pada masyarakat dalam menentukan masa depannya masing-masing.
Dengan maksud itu maka salah-satu fungsi pemerintahan menurut Rasyid (1999) yaitu
pemberdayaan(empowerment) mesti dilakukan dalam jangka panjang sehingga
masyarakat sebagai pemetik manfaat dapat memiliki posisi tawar yang lebih
menguntungkan diantara komponen pemerintah dan wiraswasta. Sayang sekali semua
kegiatan yang berkaitan dengan upaya pemberdayaan masyarakat dan tersebar pada
hampir semua departemen dan instansi terkait di tingkat pusat dan daerah belum
menunjukkan hasil yang maksimal, kecuali masyarakat itu sendiri yang kerap
dijadikan objek proposal dimana-mana. Menyadari hal itu maka penting bagi lembaga
pendidikan kedinasan IPDN untuk membekali kader Pamongpraja teknik perencanaan,
strategi implementasi, penerapan program hingga bentuk-bentuk kegiatan nyata yang
dapat memampukan (memberdayakan) masyarakat hingga lepas dari sifat dan
kondisipowerless.
Pemerintahan yang baik mengandung sejumlah prinsip penting seperti
akuntabilitas, transparansi, kepastian hukum, efisiensi, efektivitas dan memiliki visi
yang jauh kedepan. Prinsip-prinsip tersebut lahir sebagai koreksi atas munculnya
gejala bad governance dalam tubuh birokrasi pemerintahan. Nilai-nilai buruk dalam
birokrasi pemerintahan kini menggejala pada negara-negara berkembang seperti
lamban, arogan, korup, birokratisme, boros, naluriah, enggan berubah dan tak
berorientasi pada kepentingan publik. Untuk memperbaiki semua gejala itu maka
tugas pemerintah tidak saja melakukan perubahan struktur, tetapi jauh lebih penting
adalah perubahan kultur birokrasi. Oleh karena itu, menjadi penting meletakkan kader

Pamongpraja IPDN sebagai objek perubahan kultur untuk memasuki ruang struktur
yang kini sedang mengalami perubahan evolutif melalui reformasi birokrasi. Dengan
demikian kita percaya bahwa kultur dapat mengubah struktur secara rasional,
sekalipun dalam realitasnya struktur terkadang melenyapkan semua idealisme
pemerintah, termasuk idealisme kader pemerintahan dilingkungan masyarakat tempat
bertugas.
Memperkuat Otonomi Desa, Menjawab Nawacita 3
Sebagaimana kita ketahui bahwa desa adalah akar-akar pemerintahan yang
secara sosiologis menjadi basis perkembangan pemerintahan hingga mengubah diri
menjadi kompleks dalam bentuk negara. Maknanya, memperkuat desa berarti
memperkuat negara yang merefleksikan sel-sel penyangga dilapis terbawah
pemerintahan. Problem desa sebagai penyangga utama negara sangat menyolok jika
dibandingkan dengan pusat pemerintahan. Kemiskinan dan kebodohan sebagai
masalah utama 60% bertengger di wilayah pesisir desa. Masalah ini mendorong
pemerintah mendirikan Kementrian Desa sebagai instrumen untuk merespon
ketertinggalan desa selama ini. Menyadari masalah itu, sebenarnya sejak awal 1994,
STPDN menyiapkan kader pemerintahan yang ditempatkan di pelosok desa terpencil
sebagai Kasubag Pemerintahan Desa. Sampai hari ini sebagian besar alumni IPDN
memulai karir sebagai Pamong Desa baik sebagai Sekretaris Desa maupun staf
kelurahan untuk menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat pada unit
pemerintahan terendah. Pertanyaannya, bagaimanakah memperkuat peran tersebut
dalam sistem pemerintahan desa yang bersifat otonom penuh sebagaimana gambaran
UU Nomor 6/2014 dan PP 43/2014? Jika IPDN dapat mengambil peran dalam konteks
ini maka sebaiknya mereka dipersiapkan menjadi pendamping dalam penyusunan
RPJM Desa, APB Desa, Administrasi Desa, Peraturan Desa, hingga Pelaporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (LPPD). Peran ini penting dilakukan dimana
Desa saat ini sedang mempersiapkan diri untuk mengelola dana desa guna
mewujudkan desa yang berdaya, mandiri, kreatif, inovatif dalam kerangka otonom
desa.
Memperkuat Fungsi Negara, Mencegah Negara Gagal, Menjawab Nawacita 4
Oleh karena pemerintah adalah personifikasi paling konkrit negara,
maka fungsi pemerintahan menurut Rasyid (1999) meliputi pelayanan (public
service), pengaturan (regulation), pembangunan (development) dan
pemberdayaan (empowerment). [9] Pelayanan merupakan akar utama dari
fungsi pemerintahan itu sendiri. Semua fungsi berikutnya pada dasarnya
bermakna pelayanan, atau dengan kata lain pelayanan dalam arti luas
mencakup keseluruhan fungsi pemerintahan. Pelayanan bermakna
memastikan tersedianya pengaturan dan pengurusan bagi kepentingan
masyarakat agar dapat hidup wajar, aman dan nyaman dalam kerangka
bernegara. Lewat pengaturan dimungkinkan setiap warga negara memperoleh
akses bagi terpenuhinya hak dan kewajibannya. Dengan pengaturan pula

setiap orang dibolehkan, dibatasi bahkan dilarang sejauh bermaksud untuk


melindungi kepentingan setiap warga dan negara pada umumnya. Pelayanan
pada ujungnya bermuara pada upaya penyediaan kebutuhan masyarakat
secara umum (public goods) sekaligus memenuhi kepentingan individu pada
skala tertentu (privat goods). Dalam banyak defenisi fungsi pengaturan
pemerintah seringkali disandingkan dengan fungsi pengurusan. Jika
pengaturan berbentuk regulasi untuk memastikan terciptanya landasan yang
kokoh bagi negara dalam memberikan perlindungan, maka pengurusan
berkenaan dengan pelayanan pemerintah secara langsung guna menjamin
terpenuhinya kepentingan masyarakat secara luas. Fungsi pembangunan
bermakna pada kemampuan pemerintah dalam menyediakan sarana dan
prasarana bagi kepentingan setiap warga negaranya. Kemampuan pemerintah
dalam memastikan fungsi kedua berjalan meliputi pembangunan jasmani dan
rohani. Pembangunan jasmani bermakna negara mampu mewujudkan
kebutuhan warga negara agar tumbuh dan berkembang wajar untuk mencapai
tujuan hidupnya sekaligus tujuan bernegara. Pembangunan rohani berarti
negara hendaknya mampu mewujudkan kebutuhan warga agar bebas
berekspresi guna memperoleh modal spiritual sebagai produk meditasi
vertikal dengan penciptanya. Fungsi pemberdayaan berkaitan dengan upaya
memberikan penguatan terhadap keterbatasan sebagian masyarakat agar
tercipta kemandirian.
Dalam relasi itu pemerintahan membutuhkan kepemimpinan
pemerintahan yang mampu menyatukan sumber daya menjadi satu
kekuatan. Kepemimpinan pemerintahan yang memiliki kecakapan abstraktif,
kemampuan teknikal, teruji serta memiliki aksebilitas yang luas inilah yang
kita sebut negawaran (statemanship).Dalam pikiran ideal Plato, negarawan
tidak saja memiliki suatu keahlian tetapi mampu mengendalikan keahlian lain
menjadi irama konser yang padu lagi dinamis. Menilik dari filosofis
pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya dan masyarakat Indonesia
seluruhnya, kualifikasi setiap negawaran sebagaimana dikonstruksikan oleh
Ndraha (1985) meliputi dimensi performance, scientific, moralistic-filosofis,
otoritatif
dan
generatif.[10] Dimensi-dimensi
tersebutmerupakan
tanggungjawab yang seharusnya dipikul IPDN sebagai kontribusi penting
dalam menjawab permasalahan yang muncul dari waktu ke waktu. Dengan
demikian dimensi tersebut harus terpikul di pundak setiap Pamongpraja guna
melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan sekaligus menyelesaikan tantangan
yang dihadapi. Dimensi performance merujuk pada terpenuhinya persyaratan
kesehatan jasmani dan rohani sebagai modal bagi tercapainya fungsi
pemerintahan (terkait sistem seleksi IPDN). Scientific bermakna pemimpin
memiliki pengetahuan yang luas (generalis) sekaligus mampu menerapkannya
secara khusus/specialist (terkait sistem pengajaran IPDN). Persyaratan
tersebut diperlukan agar negara dan pemerintahan berjalan menurut visi dan
misi yang telah ditetapkan, bukan bersandar pada rencana kompromistik-

pragmatis semata. Moralis-filosofis berarti setiap Pamongpraja dipersyaratkan


memiliki kandungan moralitas yang memungkinkan pemerintahan memiliki
kepercayaan (trust) bagi jalannya roda pemerintahan (terkait sistem praktek
kepemimpinan pemerintahan IPDN). Tanpa itu pemerintahan tak lebih dari
segerombolan bandit yang sewaktu-waktu dapat menipu rakyatnya sendiri.
Pamongpraja dalam konteks ini menjadi examplary center, yaitu pusat
percontohan dari moralitas dan kebersihan diri. Otoritatif bermakna bahwa
setiap Pamongpraja selayaknya memiliki kemampuan mengelola kewenangan
yang diberikan sesuai aturan yang berlaku sehingga tak menjadi ancaman bagi
masyarakat luas lewat perilaku diktatorial. Generatif bermakna bahwa setiap
Pamongpraja semestinya memiliki visi bernegara sebagai suatu bentuk
peradaban yang membutuhkan keberlanjutan. Dengan kesadaran inilah
diperlukan regenerasi IPDN untuk melanjutkan tanggungjawab dalam
bermasyarakat, berbangsa, berpemerintahan dan bernegara.
Pemberdayaan Masyarakat, Menjawab Nawacita 5
Fungsi Pemberdayaan pada dasarnya diorientasikan pada aspek politik,
ekonomi dan sosial (kerangka revoluasi mental). Aspek politik berhubungan
dengan kemampuan pemerintah memampukan masyarakat guna memahami
negara dan tujuan dibentuknya pemerintahan sehingga setiap warga negara
memiliki tanggungjawab atas masa depan negaranya. Aspek ekonomi
berkaitan dengan upaya pemerintah memampukan setiap warga negara agar
memiliki semangat kemandirian, kreativitas dan inovasi dalam
mengembangkan
diri
dan
masyarakat
menuju
terciptanya
kesejahteraan individu dan kolektif. Aspek sosial berhubungan dengan upaya
pemerintah guna memampukan warga negara dalam memahami masalahmasalah sosial sebagai tanggungjawab bersama guna mencapai persatuan dan
kesatuan berbangsa, bernegara serta berpemerintahan. Output dari fungsi
pemberdayaan sosial memungkinkan tercapainya integrasi dan toleransi
antara kelompok mayoritas dan minoritas. Pemahaman yang selaras tentang
masalah-masalah sosial sebagai tanggungjawab bersama pada akhirnya
mampu mengurangi tekanan demografis, pelanggaran hak asasi manusia serta
diskriminasi sosial dalam kerangka mayoritas-minoritas. Kesadaran
masyarakat tentang pentingnya keseimbangan lahan sebagai ruang hidup
sekaligus tempat tinggal setidaknya mampu mengendalikan tekanan
demografis yang membahayakan masa depan bangsa dan negara. Kesadaran
tentang pentingnya menghargai hak asasi orang lain setidaknya mampu
mendorong terciptanya tertib sosial (social order) sebagai harapan dan tujuan
bernegara (ketertiban umum). Sedangkan kesadaran terhadap persamaan
atas mahluk ciptaan Tuhan serta penghargaan terhadap kelompok-kelompok
tertentu yang memperjuangkan kepentingan patut dihargai sebagai wujud
kebebasan dalam negara demokrasi. Terhadap keseluruhan fungsi pemerintah

tersebut negara patut hadir untuk melindungi serta memastikan tercapainya


tujuan bersama sebagaimana termaktub dalam konstitusi.
Bagi IPDN, peran penting yang dapat dikonstruksikan adalah bagaimana
menggali lebih banyak problem masyarakat di level terbawah (lewat blusukan
kualitatif) agar dapat diformulasikan secara konkrit lewat Lembaga
Pengabdian Masyarakat (LPM) sehingga upaya pemberdayaan dibidang
politik, ekonomi dan sosial dapat diwujudkan. Sejauh ini peran LPM IPDN
baru sebatas menyelenggarakan program dan kegiatan, belum menyentuh
akar persoalan yang kini dihadapi oleh masyarakat di level terendah.
Meningkatkan Kualitas Bangsa, Menjawab Nawacita 6
Kualitas bangsa ditentukan oleh kualitas individu. Bangsa pada dasarnya
merupakan puncak perkembangan suatu masyarakat. Kualitas individu tercermin dari
nilai-nilai yang ditanamkan. Nilai-nilai tersebut membutuhkan vehicle sehingga dapat
dirasakan oleh orang lain (Ndraha:1999). Jika IPDN menyangga dua nilai utama
sebagai pemersatu dan pelayan masyarakat, maka kualitas Pamongpraja hendaknya
memiliki dua hal utama yaitu pertama,kekuatan pengikat berbagai masyarakat, sosok
pengintegrasi bangsa, serta mediator atas berbagai perbedaan dalam masyarakat.
Kekuatan pemersatu juga harus diimbangi dengan kesadaran akan perbedaan sebagai
rahmat yang dapat dirajut menjadi modal bagi kekuatan bangsa, bukan sumber
perpecahan dan disintegrasi bangsa. Sebab itu perbedaan tidaklah mesti semata-mata
diikat oleh nilai persatuan, demikian pula nilai perbedaan agar membentuk semacam
jaring (jala) yang terikat diatas (center) dan terjalin juga dibawah (coperiferal).
Selama ini yang terikat hanya diatas, namun tercerai dibawah seperti sapu lidi. Kedua,
nilai input dalam proses budaya (nation building) seharusnya adalah nilai-nilai
faktual kebhinekaanmasyarakat yang dapat dikelola menjadi nilai ideal yaitu tunggal
ika (persatuan). Ironisnya, yang dijadikan nilai input selama ini bukan realitas
kebhinekaan dimaksud, namun mythos. Akibatnya yang terjadi bukan proses budaya,
namun proses mythicizing. Pada keyakinan sebagian elite di IPDN, siklus kekerasan
dan pelanggaran kehidupan praja masih dianggap sebagai siklus lima tahunan. Ini
contoh kegagalan melihat perbedaan (IPDN sebagai miniatur kebhinekaan) guna
membangun kecerdasan untuk mencari solusi sebagai proses budaya dalam dunia
akademik, namun yang muncul adalah kepasrahan pada mitos. Simpelnya, IPDN harus
mampu melakukan revolusi mental pada aspek budaya akademik, bukan strategi
politik praktis yang dapat menjebak dirinya tak lebih dari sekedar kantor pendidikan
dan pelatihan.
Meningkatkan Kualitas Ekonomi, Menjawab Nawacita 7
Peningkatan kualitas ekonomi dapat dilakukan dengan menyadari
pengembangan nilai sumber daya yang tersedia dalam masyarakat dilapis bawah.
Realitas menunjukkan bahwa masyarakat mengalami masalah dalam hal keberdayaan
dirinya (powerless) dan ketiadaan akses terhadap sumber daya yang tersedia. Jika
kedua hal tersebut dapat diatasi pemerintah, maka kesejahteraan ekonomi dalam

wujud dimana masyarakat dapat membeli semurah mungkin, menjual seuntung


mungkin dan membuat sehemat mungkin dapat menjadi kenyataan.
Hilangnya sense pemerintah terhadap problem dibidang ekonomi dapat mendorong
terciptanya seleksi alam, struggle for life, survival of the fittest, konflik dan
ketidakadilan.Dalam konteks itulah diperlukan aturan pemerintah, dan untuk
menegakkan aturan diperlukan kekuasaan. Kekuasaan dalam bentuk formal adalah
kewenangan (authority). Kewenangan tak dapat disangkal adalah modal utama
pemerintah dalam menjalankan fungsinya guna mewujudkan kesejahteraan ekonomi.
Peran IPDN berkenaan dengan hal diatas adalah bagaimana menanamkan nilai
kekuasaan (kewenangan) dalam hal ini (Pamongpraja) agar dapat digunakan untuk
memberikan akses seluas mungkin pada masyarakat sehingga aktivitasnya dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi pada lingkup mikro guna membebaskan dirinya
dari lingkaran setan kemiskinan. Dalam banyak realitas menggambarkan bahwa
kekuasaan sering dan menjadi jamak digunakan untuk memberi akses pada aktor
pemerintahan dan kelompoknya untuk memperkaya diri, bukan membebaskan
masyarakat dari problem ekonomi.[11] Nilai ini penting ditanamkan agar kekuasaan
tak digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri, sebagaimana orientasi umum
masyarakat ketika menjadi PNS yang ingin menjadi kaya, bukan melayani rakyat.
Meningkatkan Kualitas Budaya, Menjawab Nawacita 8
Kualitas sosial budaya yang ingin diwujudkan adalah lahirnya kepedulian,
kesadaran dan keberanian (heroisme) individu sebanyak mungkin dalam
masyarakat. Indikasi paling mudah ditemukan adalah semakin sulit menemukan
individu berani dalam kasus pemberantasan korupsi. Selain itu terkait realitas dewasa
ini tantangan terberat adalah bagaimana mengurangi budaya konsumeristik. Jika
kesadaran individu lahir sebagaimana dikemukakan, maka pada ujungnya lahir pula
kesadaran kolektif (collective action). Bangsa-bangsa besar dan maju hari-hari ini
memiliki kesadaran kolektif yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsanya
dimata dunia international. Kesadaran kolektif semacam itu hanya mungkin jika
terbentuk kesadaran individu. Kesadaran individu terbentuk mulai dari lingkungan
keluarga, pendidikan dan sistem bernegara (contoh kepemimpinan) yang akan
membentuk kualitas budaya suatu bangsa (Van Poeltje,1953:28). Dalam relasi itu
peran IPDN sebagai institusi pendidikan harus mampu membentuk kesadaran individu
pada semua civitas dan alumni tentang kepedulian, kesadaran diri, keberanian dan
kemampuan mengurangi hidup konsumeristik. Kesadaran kolektif IPDN akan menjadi
simbol bagi perubahan sebagian agenda bangsa. Nilai-nilai kepemimpinan
Pamongpraja yang selama ini ditanamkan melaluiasthabhrata setidaknya menjadi
modal untuk menggerakkan secara kolektif dalam interaksi dilapangan tugas.
Mengukuhkan Kebhinekaan, Menjawab Nawacita 9
Sebagaimana dikatakan pada Nawacita 6, realitas kebhinekaan adalah kodrat
yang tak dapat hindari. Kesadaran akan kemajemukan adalah modal dalam
mewujudkan nilai ideal ke-ikaan (persatuan). Indonesia adalah cermin atas

kebhinekaan dimaksud. Dalam kebhinekaan itulah kita membangun kesadaran untuk


mencapai tujuan bersama. Demokrasi menjadi wadah untuk mencapai kehendak
bersama berdasarkan konstitusi. Perbedaan adalah nilai bagi upaya memperkuat dan
menjalin kebersamaan dalam bentuk jejaring (web) sehingga kelemahan yang satu
dapat diperkuat oleh kelebihan yang lain. Peran IPDN dalam hal ini adalah
memastikan agar nilai kebhinekaan dan keikaan dapat terawat dengan baik dalam
interaksi kehidupan kampus sehari-hari. Perbedaan latar belakang, agama, keyakinan,
ras, suku, golongan, kedaerahan serta jenis kelamin bukanlah halangan dalam
membentuk kesadaran bersama tentang tujuan berbangsa dan bernegara. Seluruh
fasilitas yang dihadirkan untuk Praja dalam prakteknya harus mampu menjamin
hilangnya diskriminasi sehingga tak muncul perbedaan menyolok antara yang kaya
dan miskin mulai bangun pagi hingga tidur kembali. Penanaman nilai ini penting
mulai dari pembatasan kumpul kontingen (kedaerahan) guna menghindari dominasi
kesukuan, pemberian ruang bagi ekspresi kehidupan beragama (perayaan agama),
serta pemberian kesempatan bagi upaya mengembangkan kemampuan yang sekalipun
berbeda menjadi modal bagi upaya pencapain tujuan bersama.
Inilah sejumlah penting nilai dan mungkin saja beberapa bentuk vehicle yang
muncul secara tak sengaja sehingga membutuhkan diskusi yang lebih intensif guna
memperoleh formulasi yang sistematik dan bentuk yang lebih konkrit
bagi roadmap IPDN sebagai Pelopor Revolusi Mental.

Referensi Pilihan;
Alfian, M Alfan, 2010. Menjadi Pemimpin Politik, Gramedia, Jakarta
Anwar, Rosihan, 2008. Kenang-Kenangan Pangreh Praja, Balai Pustaka, Jakarta
Finer, S.E, 1974. Comparative Government, Penguin Books Ltd.,Harmonds Worth, Middlesex, England
Haryanto, 2005. Kekuasaan Elite, JIP UGM, Jogjakarta,
Ilham, Muhammad, 2008. Manajemen Strategis Peningkatan Mutu Pendidikan Kepamongprajaan, Indra Prahasta,
Bandung
Kartodihardjo, Sartono, 1981. Elite Dalam Perspektif Sejarah, LP3ES, Jakarta
Kuper, Adam, & Jessica, 2000. The Social Science Encyclopedia (terj), PT.Raja Grafindo, Jakarta
Labolo, Muhadam, 2012. Mencegah Negara Gagal, Indrapress, Jakarta,
Labolo dkk, 2008. Beberapa Pandangan Dasar Tentang Ilmu Pemerintahan, Bayu Media, Jogjakarta
Latif, Yudi, 2014. Pancasila, Mata Air Keteladanan. Kompas Gramedia, Jakarta
Ndraha, Taliziduhu, 2005. Kybernologi, Jilid 1-2, Rineka Cipta, Jakarta
...............................,2010. Nilai-Nilai Kepamongprajaan, Credencia, Jakarta
M Giroth, Lexie, 2004. Edukasi dan Profesi Pamong Praja, STPDN Press, Bandung
.........................., 2009. Status dan Peran Pendidikan Pamong Praja Indonesia, Indra Prahasta, Bandung
Pamudji, 1985. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.
Rasyid, Ryass, 2001. Makna Pemerintahan. Yarsif Watampone, Jakarta
Sutherland, Heather, 1983. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, Sinar Harapan, Jakarta
Suratno, Pardi, 2009. Sang Pemimpin Menurut Astabhrata, Jakarta

Susetya, Wawan, 2007. Kepemimpinan Jawa, Jogjakarta.


Sasana Karya 1956-1966. Menjongsong Peningkatannja Mendjadi Institut Ilmu Pemerintahan, APDN Malang
Suseno, F Magnis, 1999. Etika Kekuasaan, Prinsip-Prinsip Kewarganegaraan, Kanisius, Jakarta.
Suryaninggrat, Bayu, 1980. Pamong Praja dan Kepala Wilayah, Aksara Baru, Bandung
Tjokrowinoto, Meljarto, 2010. Birokrasi dalam Polemik, Pustaka Pelajar Unismuh, Malang
Webe, Agung, 2007. Javanese Wisdom, Berpikir dan Berjiwa Besar, Indonesia Cerdas, Yogyakarta
Varma, 2008. Politik Modern, Rajawali, Jakarta
Van Niel, Robert, 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia, Pustaka Jaya, Jakarta
Visser, Leontine, 2009. Bakti Pamong Praja Papua, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Makalah :
Nurdin, Ismail, 2010, Quo Vadis Pamong Praja, IPDN Jatinangor
Salim Said, 2004, Meningkatkan Nilai-Nilai Kebangsaan di Era Otonomi Daerah, Jakarta
Wasistiono, 2009, Redefenisi Kode Kehormatan dan Nilai-Nilai Kepamongprajaan, Materi TOT Diklat Kemendagri.
Haily, Aziz, 2006, Sejarah Pendidikan Kedinasan di Indonesia, Jakarta
IPDN, 2006, Laporan Pendidikan IPDN Tahun Akademik 2005-2006, Jatinangor
Syafruddin, Ateng, 1963, Pamong Praja sebagai Golongan Karya Pemerintahan Umum, Makalah, Bandung
Syafruddin, Ateng, 1963, Jabatan Pamong Praja Dalam Penelitian Antroplogi dan Hukum Adat, Makalah,
Bandung.

[1] Sebuah catatan dalam rangka menyiapkan Praja IPDN sebagai pelopor Revolusi Mental.
[2] Dosen IPDN, Ketua Pusat Kajian Desentralisasi Forum Doktor.
[3] [3] Kpu.go.id., dokumen Visi, Misi dan Program Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI
Periode 2014-2019.
[4]Roso Daras, Benang Merah Pidato Bung Karno, dalam Rosodaras.wordpress.com
[5] Hal yang sama dilakukan pula misalnya oleh Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) dalam Seminar
Nasional, Dari Trisaksi Melalui Nawacita Menuju Revolusi Mental, Minggu, 22 Maret 2015 di Jakarta.
[6] Dokumentasi Sasana Karya 1956-1966. Menjongsong Peningkatannja Mendjadi Institut Ilmu
Pemerintahan, APDN Malang
[7] Yudi Latif, 2014. Menemukan Tetes Mata Air Pancasila, hal. Xvi, Gramedia, Jakarta.
[8] Taliziduhu Ndraha, 2003. Kybernology, Jilid 2, hal.686, Rineka Cipta, Jakarta.
[9] Rasyid, Ryaas, 1999. Makna Pemerintahan, Tinjauan dari Segi Etika, Yarsif Watampone, Jakarta.
[10] Lihat makalah Taliziduhu Ndraha dalam Labolo dkk, 2008, edisi 2. Beberapa Pandangan Dasar
Tentang Ilmu Pemerintahan, Bayu Media, Jogjakarta.
[11] Sesuai data Direktorat Otda Kemendagri, sampai 2015, lebih dari 300 Kepala Daerah bertalian dengan kasus korupsi

Kepemimpinan Pemerintahan

\\

A. PENGERTIAN KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi
orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses
mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk
mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya.
Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang orang
sedemikian rupa untuk memperoleh kepatuhan, kepercayaan, respek, dan kerjasama
secara royal untuk menyelesaikan tugas.

Fungsi pemimpin dalam suatu organisasi tidak dapat dibantah merupakan sesuatu
fungsi yang sangat penting bagi keberadaan dan kemajuan organisasi yang bersangkutan.
Pada dasarnya fungsi kepemimpinan memiliki 2 aspek yaitu :
Fungsi administrasi, yakni mengadakan formulasi kebijaksanakan administrasi dan
menyediakan fasilitasnya.
Fungsi sebagai Top Mnajemen, yakni mengadakan planning, organizing, staffing, directing,
commanding, controling, dsb.
Beberapa hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa prestasi dan kepuasan kerja
pegawai dapat ditingkatkan apabila konsiderasi merupakan gaya kepemimpinan yang
dominan. Sebaliknya, para pemimpin yang berorientasi tugas yang terstruktur, percaya
bahwa mereka memperoleh hasil dengan tetap membuat orang orang sibuk dan
mendesak mereka untuk berproduksi.

Yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk dapat mengembangkan gaya


kepemimpinan situasional ini, seseorang perlu memiliki tiga kemampuan khusus yakni :
Kemampuan analitis (analytical skills) yakni kemampuan untuk menilai tingkat pengalaman
dan motivasi bawahan dalam melaksanakan tugas.
Kemampuan untuk fleksibel (flexibility atau adaptability skills) yaitu kemampuan untuk
menerapkan gaya kepemimpinan yang paling tepat berdasarkan analisa terhadap situasi.
Kemampuan berkomunikasi (communication skills) yakni kemampuan untuk menjelaskan
kepada bawahan tentang perubahan gaya kepemimpinan yang kita terapkan.
Ketiga kemampuan di atas sangat dibutuhkan bagi seorang pemimpin, sebab
seorang pemimpin harus dapat melaksanakan tiga peran utamanya yakni peran
interpersonal, peran pengolah informasi (information processing), serta peran pengambilan
keputusan (decision making).

B. LATAR BELAKANG SEJARAH IPDN


Awalnya, perkembangan sekolah kepamongprajaan di Indonesia tidak terlepas dari
apa dan bagaimana pembelajaran ilmu pemerintahan, ilmunegara, ilmu politik, dan
administrasi negara di Indonesia. Pada masa penjajahan kolonial Belanda, pembelajaran
ilmu-ilmu ini sangat dilarang. Namun, di negeri Belanda, pengkajian ilmu pemerintahan
masih tetap dilakukan, bahkan berada dibawah ilmu politik.
Mata kuliah ilmu pemerintahan disampaikan dalam bentuk ilmu hukum tata negara,
untuk menghilangkan segi politis yang dianggap berbahaya bagi bangsa Belanda. Serta

untuk meminimalkan keberadaan dan keinginan masyarakat pribumi (inlander) dalam


mengurus dirinya sendiri.
Para lulusan APDN diberi gelar sarjana muda dengan singkatan BA (Bacaloriat of
Art) dan untuk mendapatkan sarjana penuh, sebagian besar harus melanjutkan ke Institut
Ilmu Pemerintahan (IIP) di Jakarta atau berbagai perguruan tinggi lain baik negeri maupun
swasta yang memiliki ilmu pemerintahan, ilmu politik, atau ilmu administrasi negara,
dengan penyesuaian pada tingkat IV (semester 7).
Pada 1989, kedua puluh APDN ini diintegrasikan menjadi satu di wilayah Jatinangor,
Jabar. Pada 14 Agustus 1992, sekolah ini berubah nama menjadi STPDN (Sekolah Tinggi
Pemerintahan Dalam Negeri) dan diresmikan peningkatan statusnya oleh Presiden
Soeharto. Setiap kelulusannya dikukuhkan oleh Presiden RI sebagai calon pamong
prajamuda.
Perbedaan antara STPDN dengan IIP yaitu, STPDN cenderung mengkaji ilmu
pemerintahan sebagai ilmu terapan (applied science) sehingga para lulusannya diharapkan
menjadi kader pimpinan pemerintahan dalam negeri yang siap pakai oleh para pengguna.
Sayangnya, perubahan sistem pendidikandari tahun ke tahun tidak diikuti dengan perilaku
perubahan perilaku praja.
Dalam proses perkembangan selanjutnya dikeluarkan Keputusan Presiden No.42
Tahun 1992, yang mengubah APDN menjadi Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri
disingkat menjadi STPDN. Bagi lulusan Program D-IV STPDN berhak menyandang gelar
"SSTP" (Sarjana Sains Terapan Pemerintahan). Lulusan atau alumni STPDN diharapkan
memiliki tiga kompetensi dasar yaitu:
Kepemimpinan (Leadership),
Kepelayanan (Stewardship),
Kenegarawanan (Statemanship).
Pada 10 Oktober 2007, IPDN kembali diubah menjadi Institut Ilmu Pemerintahan
(IIP), namun IIP yang baru ini tidak akan hanya mempunyai kampus di Jatinangor,
melainkan juga di beberapa daerah lain seperti Bukittinggi (Sumatera Barat), Rokan Hilir
(Riau), Makassar (Sulawesi Selatan), Manado (Sulawesi Utara), Mataram (Nusa Tenggara
Barat), Kubu Raya (Kalimantan Barat), dan Jayapura (Papua). IIP juga akan berbeda dari
IPDN dari segi sistem pendidikannya, meskipun pada saat keputusan perubahan ini diambil
sistem pendidikan yang baru tersebut belum diatur secara dirinci.
Seiring dengan tuntutan kebutuhan sumber daya manusia berkualitas di lingkungan
Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah, STPDN segera merespons dengan
membuka Program Pengembangan Pendidikan Magister (S2).
C. Alasan pengembangan program studi
Terdapat beberapa alasan STPDN menyelenggarakan berbagai program pendidikan
baik yang bersifat diploma atau profesional maupun akademik yaitu:

Alasan program studi: Ditinjau dari sudut substansi pendidikan, STPDN diberi
otoritas untuk menyelenggarakan program pendidikan Profesional dan Akademik, namun
selama ini baru melaksanakan program Diploma IV Pemerintahan. Padahal dengan adanya
Otonomi Daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab, diperlukan ahli-ahli
pemerintahan daerah pada tingkat Magister.
Alasan yuridis: Ditinjau dari kebijakan pendidikan tinggi kedinasan lembaga
pendidikan di lingkungan Departemen Dalam Negeri serta berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku (PP Nomor 60 Tahun 1999), terdapat cukup alasan
yuridis untuk mempertahankan dan mengembangkan STPDN dengan membuka
pendidikan S2.
Alasan akademik: Ditinjau dari segi akademik, STPDN saat ini mempunyai otoritas,
kapasitas dan kapabilitas untuk mengembangkan disiplin pemerintahan sebagai ilmu dan
keahlian. Jumlah dan kualitas tenaga pengajar, perpustakaan maupun dukungan sarana
maupun prasarana pendidikan untuk mengembangkan program-program lain di luar
program D-IV cukup memadai.
Alasan historis: STPDN yang berawal dari dua puluh APDN daerah berdasarkan
KEPRES No. 42 Tahun 1992, mempunyai pengalaman luas dan strategis dalam
pengelolaan pendidikan tinggi di jajaran Departemen Dalam Negeri, yang sejak awal
mempunyai komitmen untuk mendidik kader Pimpinan Pemerintahan (Pamong Praja),
melalui pendekatan Akademik dan Praktis. Untuk kepentingan tersebut, kurikulum disusun,
disesuaikan dan ditingkatkan berdasarkan kebutuhan dan tuntutan keilmuan, keterampilan
dan kepribadian guna melaksanakan tugas di lingkungan Pemerintahan Dalam Negeri
secara proporsional dan profesional.
Alasan empiris: Alumni STPDN Program D-III dan D-IV sampai Angkatan Ke-XII
berjumlah 8.496 orang dengan penugasan yang tersebar pada seluruh propinsi
di Indonesia. Di antara mereka secara terbatas sudah melanjutkan S1 dan S2 di Perguruan
Tinggi Negeri atau Swasta. Mereka pada umumnya telah menduduki jabatan pada jenjang
menengah ke bawah pada jajaran pemerintahan provinsi maupun daerah kabupaten/kota.
Dengan demikian terbuka peluang untuk menampung hasrat alumni untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang lebih tinggi sesuai tuntutan kebutuhan kedinasan.

A. HAKEKAT KEPEMIMPINAN
Dalam kehidupan sehari hari, baik di lingkungan keluarga, organisasi, perusahaan
sampai dengan pemerintahan sering kita dengar sebutan pemimpin, kepemimpinan serta
kekuasaan. Ketiga kata tersebut memang memiliki hubungan yang berkaitan satu dengan
lainnya.
Manusia adalah makhluk social yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup,
manusia selalau berinteraksi dengan sesame serta dengan lingkungan. Manusia hidup
berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil. Hidup dalam
kelompok tentulah tidak mudah. Untuk menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis
anggota kelompok haruslah saling menghormati & menghargai. Keteraturan hidup perlu

selalu dijaga. Hidup yang teratur adalah impian setiap insan. Menciptakan & menjaga
kehidupan yang harmonis adalah tugas manusia.
Dengan berjiwa pemimpin manusia akan dapat mengelola diri, kelompok &
lingkungan dengan baik. Khususnya dalam penanggulangan masalah yang relatif pelik &
sulit. Disinilah dituntut kearifan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan agar
masalah dapat terselesaikan dengan baik.
Seorang pemimpin boleh berprestasi tinggi untuk dirinya sendiri, tetapi itu tidak
memadai apabila ia tidak berhasil menumbuhkan dan mengembangkan segala yang
terbaik dalam diri para bawahannya. Dari begitu banyak definisi mengenai pemimpin, dapat
penulis simpulkan bahwa : Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta memiliki
sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau mengatur orang lain.

Menurut Pancasila, Pemimpin harus bersikap sebagai pengasuh yang mendorong,


menuntun, dan membimbing asuhannya. Dengan kata lain, beberapa asas utama dari
kepemimpinan Pancasila adalah :
Ing Ngarsa Sung Tuladha : Pemimpin harus mampu dengan sifat dan perbuatannya
menjadikan dirinya pola anutan dan ikutan bagi orang orang yang dipimpinnya.
Ing Madya Mangun Karsa : Pemimpin harus mampu membangkitkan semangat
berswakarsa dan berkreasi pada orang orang yang dibimbingnya.
Tut Wuri Handayani : Pemimpin harus mampu mendorong orang orang yang diasuhnya
berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab.
Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk
mau melakukan pap yang diinginkan pihak lainnya.The art of influencing and directing
meaninsuch away to abatain their willing obedience, confidence, respect, and loyal
cooperation in order to accomplish the mission.
Jika saja Indonesia memiliki pemimpin yang sangat tangguh tentu akan menjadi luar
biasa. Karena jatuh bangun kita tergantung pada pemimpin. Pemimpin memimpin, pengikut
mengikuti. Jika pemimpin sudah tidak bisa memimpin dengan baik, cirinya adalah pengikut
tidak mau lagi mengikuti. Oleh karena itu kualitas kita tergantung kualitas pemimpin kita.
Makin kuat yang memimpin maka makin kuat pula yang dipimpin.

B. GAYA KEPEMIMPINAN
Gaya kepemimpinan ialah cara pemimpin membawa diri sebagai pemimpin, cara
berlagak dalam menggunakan kekuasaannya, misalnya (1) gaya kepemimpinan otoriter, (2)
gaya kepemimpinan demokratis, (3) gaya kepemimpinan paternalistik. Selanjutnya Keating
(1986:9) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan hanya ada dua macam, yaitu: (1) gaya
kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (task oriented) dan (2) gaya kepemimpinan
yang berorientasi pada manusia (Human relationship oriented).
Antara gaya kepemimpinan dan tipe kepemimpinan diartukan sebagai suatu yang
identik, seperti yang dikemukakan oleh Siagian (1994:30) bahwa gaya kepemimpinan
seseorang akan identik dengan tipe kepemimpinan orang yang bersangkutan yang
meliputi:
gaya/tipe otokratik

gaya/tipe paternalistik
gaya/tipe kharismatik
gaya/tipe laissez-faire
gaya/tipe demokratis
Kepemimpinan pada hakekatnya merupakan produk situasional. Dalam hubungan
ini, keberhasilan kepemimpinan di sekolah sebenarnya akan lebih banyak ditentukan oleh
faktor-faktor situasi seperti: karakteristik individu yang dipimpin, pekerjaan lingkungan
sekolah, kebudayaan setempat, kepribadian kelompok, dan bahkan waktu yang dimiliki
oleh kepala sekolah.
Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan
dari kekuasaanya, bukan kecerdasannya, tapi dari kekuatan pribadinya. Seorang pemimpin
sejati selalu bekerja keras memperbaiki dirinya sebelum sibuk memperbaiki orang
lain. Pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan
sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari
proses internal (leadership from the inside out).
Kata pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan memiliki keterikatan yang tak dapat
dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka satu sama
lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria
yang tergantung pada sudut pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu
kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki
yang mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang
akan diterapkan.
Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian
dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap
ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika
keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang
lahir menjadi pemimpin sejati. Kehidupan manusia tidak lepas dari masalah. Serangkaian
masalah tidaklah boleh didiamkan. Setiap masalah yang muncul haruslah diselesaikan.
Dengan memiliki jiwa kepemimpinan, seseorang akan mampu menaggulangi setiap
masalah yang muncul.
Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mau mendengar. Mau mendengar
setiap kebutuhan, impian, dan harapan dari mereka yang dipimpin. Pemimpin yang
melayani adalah pemimpin yang dapat mengendalikam ego dan kepentingan pribadinya
melebihi kepentingan public atau mereka yang dipimpinnya. Mengendalikan ego berarti
dapat mengendalikan diri ketika tekanan maupun tantangan yang dihadapi menjadi begitu
berat,selalu dalam keadaan tenang, penuh pengendalian diri, dan tidak mudah emosi.
Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan
dari kekuasaanya, bukan kecerdasannya, tapi dari kekuatan pribadinya. Maka jika ingin
menjadi pemimpin yang baik jangan pikirkan orang lain, pikirkanlah diri sendiri dulu. Tidak
akan bisa mengubah orang lain dengan efektif sebelum merubah diri sendiri.

C. MORAL KEPEMIMPINAN
Moral kepemimpinan nasional yang bersumber pada Pancasila tercermin secara
terpadu dalam kelima sila Pancasila yaitu :
Pertama, moral ketakwaan yang dicirikan dengan keimanan, dan kesetaraan sesama
manusia di mata Tuhan. Refleksi yang muncul ialah menghargai pekerjaan, mempercayai
kemampuan dan menghormati orang pada bidang pengabdiannya. Dalam konteks otonomi
daerah, ciri ini penting untuk memberikan delegasi wewenang dengan prinsip kepercayaan
tersebut.
Kedua, moral kemanusiaan, pengakuan akan HAM, membangun kohesi sosial,
mendorong harmoni kehidupan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks
otonomi daerah, ciri ini penting untuk menjaga harmonisasi daerah dan dalam hubungan
pusat daerah serta antar daerah.
Ketiga, moral kebersamaan dan kebangsaan, semangat persatuan diantara sesama warga
dan untuk mencapai tujuan bersama, mengutamakan kepentingan nasional dari pada
pribadi atau golongan.
Di antara berbagai teori yang menjelaskan sebab-sebab timbulnya kepemimpinan
terdapat tiga teori yang menonjol, yaitu:

1. Teori Keturunan (Heriditary Theory)


2. Teori Kejiwaan (Psychological Theory)
3. Teori Lingkungan (Ecological Theory)
Jadi, kepemimpinan seorang pemimpin harus dapat menjalin hubungan pribadi yang
baik antara yang dipimpin dengan yang memimpin, sehingga timbul rasa saling hormatmenghormati, percaya-mempercayai, saling tolong-menolong, dan rasa senasip
sepenanggungan. Jadi, seorang pemimpin harus mampu berpikir secara sistematis dan
teratur, mempunyai pengalaman dan pengetahuan serta mampu menyusun rencana
tentang apa yang akan dilakukan.
D. SIFAT KEPEMIMPINAN
Teori kesifatan menurut Ordway Tead adalah sebagaiberikut:
energi jasmaniah dan mental Yaitu mempunyai daya tahan, keuletan, kekuatan baik
jasmani maupun mental untuk mengatasi semua permasalahan.
kesadaran akan tujuan dan arah, mengetahui arah dan tujuan organisasi, serta yakin akan
manfaatnya.
antusiasme pekerjaan mempunyai tujuan yang bernilai, menyenangkan, memberikan
sukses, dan dapat membangkitkan antusiasme bagi pimpinan maupun bawahan.
keramahan dan kecintaan Dedikasi pemimpin bisa memotivasi bawahan untuk melakukan
perbuatan yang menyenangkan semua pihak, sehingga dapat diarahkan untuk mencapai
tujuan.
integritas. Pemimpin harus bersikap terbuka; merasa utuh bersatu, sejiwa dan seperasaan
dengan anak buah sehingga bawahan menjadi lebih percaya dan hormat.
Penguasaan teknis. Setiap pemimpin harus menguasai satu atau beberapa kemahiran
teknis agar ia mempunyai kewibawaan dan kekuasaan untuk memimpin.
ketegasan dalam mengambil keputusan. Pemimpin yang berhasil pasti dapat mengambil
keputusan secara cepat, tegas dan tepat sebagai hasil dari kearifan dan pengalamannya.

kecerdasan. Orang yang cerdas akan mampu mengatasi masalah dalam waktu yang lebih
cepat dan cara yang lebih efektif.
keterampilan mengajar Pemimpin yang baik adalah yang mampu menuntun, mendidik,
mengarahkan, mendorong, dan menggerakkan anak buahnya untuk berbuat sesuatu.
kepercayaan Keberhasilan kepemimpinan didukung oleh kepercayaan anak buahnya,
yaitu percaya bahwa pemimpin dengan anggota berjuang untuk mencapai tujuan.

Teori Kesifatan menurut George R. Terry adalah sebagai berikut:


o kekuatan.
Kekuatan badaniah dan rokhaniah merupakan syarat yang pokok bagi pemimpin sehingga
ia mempunyai daya tahan untuk menghadapi berbagai rintangan.
o Stabilitas emosi.
Pemimpin dengan emosi yang stabil akan menunjang pencapaian lingkungan sosial yang
rukun, damai, dan harmonis.
o pengetahuan tentang relasi insane.
Pemimpin memiliki pengetahuan tentang sifat, watak, dan perilaku bawahan agar bisa
menilai kelebihan/kelemahan bawahan sesuai dengan tugas yang diberikan.
o kejujuran.
Pemimpin yang baik harus mempunyai kejujuran yang tinggi baik kepada diri sendiri
maupun kepada bawahan.
o obyektif.
Pemimpin harus obyektif, mencari bukti-bukti yang nyata dan sebab musabab dari suatu
kejadian dan memberikan alasan yang rasional atas penolakannya.
o dorongan pribadi.
Keinginan dan kesediaan untuk menjadi pemimpin harus muncul dari dalam hati agar ikhlas
memberikan pelayanan dan pengabdian kepada kepentingan umum.
o keterampilan berkomunikasi.
Pemimpin diharapkan mahir menulis dan berbicara, mudah menangkap maksud orang lain,
mahir mengintegrasikan berbagai opini serta aliran yang berbeda-beda untuk mencapai
kerukunan dan keseimbangan.
o kemampuan mengajar.
Pemimpin diharapkan juga menjadi guru yang baik, yang membawa orang belajar pada
sasaran-sasaran tertentu untuk menambah pengetahuan, keterampilan agar bawahannya
bisa mandiri, mau memberikan loyalitas dan partisipasinya.
o Keterampilan social.
Dia bersikap ramah, terbuka, mau menghargai pendapat orang lain, sehingga ia bisa
memupuk kerjasama yang baik.

o kecakapan teknis atau kecakapan manajerial


George R. Terry (yang dikutip dari Sutarto, 1998 : 17) Kepemimpinan adalah
hubungan yang ada dalam diri seseorang atau pemimpin, mempengaruhi orang lain untuk
bekerja secara sadar dalam hubungan tugas untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Sedangkan, Ordway Tead (1929) Kepemimpinan sebagai perpaduan perangai yang
memungkinkan seseorang mampu mendorong pihak lain menyelesaikan tugasnya.
E. KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN
Karateristik kepemimpinan pada umumnya dimanapun dan apapun tingkatannya
adalah jelas yait dia harus mempunyai kewibawaan dan kelebihan untuk mempengaruhi
serta mengajak orang lain guna bersama-sama berjuang , bekerja, dan berusaha
mencapai satu tujuan bersama. Sedangkan karateristik kepemimpinan Indonesia, setiap
pemimpin Indonesia perlu memiliki dan mencerminkan Kepemimpinan Pancasila.
Kepemimpinan Pancasila yang berasaskan hal-hal tersebut dibawah ini :
Ke- Tuhanan Yang Maha Esa
Hing Ngarsa Sung Tulada (di depan memberikan teladan)
Hing Madya Mangun Karsa (ditengah memberi motivasi dan kemauan)
Tut Wuri Handayani (dibelakang member kekuatan)
Waspada Purba Wisesa (waspada dan berkuasa)
Ambeg Parama Artha (mempunyai sifat kebenaran)
Prasaja
Satya (setia)
Hemat (Gemi, Nastiti, ati-ati) (hemat,cermat,hati-hati)
Terbuka
Legawa (rela dan tulus ikhlas)
Bersifat Ksatria
Seorang pemimpin adalah orang yang menjadi panutan atau lebih tepatnya : Ing
ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Disamping itu ada yang
paling khas dari sseorang pemimpin yaitu kemampuan untuk menambil keputusan. Maka
sering disebut seorang pemimpin itu adalah Decision maker (pengambil keputusan).
Namun dari semua itu, sifat seorang pemimpin dapat dilihat dalam 10 hal yang
terwujud dalam tindakan sehari-hari, yaitu :
Visioner
Pemimpin harus mempunyai visi atau pemahaman yang jelas tentang mau dibawa ke
mana perusahaan(organisasinya) dan memiliki strategi yang jelas untuk mencapainya.
Berkomunikasi dengan baik
Pemimpin yang baik dapat memastikan pesan yang disampaikannya diterima oleh setiap
orang dalam organisasinya dengan persepsi yang sama dan jelas.
Bersahabat dan membumi
Kemampuan untuk menjadi teman yang menyenangkan dapat membantu seorang
pemimpin untuk membangun relasi dan mengembangkan semangat tim yang baik.

Membuat orang lain melakukannya


Seorang pemimpin yang baik mampu mendorong orang lain untuk melakukan tugasnya,
dan bukan melakukan sendiri semua tugas-tugas itu.
Paham tentang bidang yang digeluti
Tidak hanya sekedar visioner dengan strategi dan arah yang jelas, pemimpin yang baik
harus memahami seluk beluk, kekurangan dan kelebihan, risiko serta segala hal tentang
bidang yang digeluti.
Jadi panutan
Pemimpin harus berada di garda terdepan dan memberikan pengaruh yang baik bagi
perusahaan dan bawahannya. Dalam segala hal dirinya mampu menjadi teladan.
Mudah untuk dinilai
Berubah-ubah sikap untuk menyamarkan citra diri yang sesungguhnya, bukanlah sikap
seorang pemimpin yang baik. Seorang pemimpin mengambil sikap yang jelas tentang
bagaimana dia akan mendengarkan, menyampaikan sesuatu, melihat dan menilai sesuatu,
serta konsisten dengan sikapnya itu.
Memiliki kharisma
Beriringan dengan citra dan kemampuan berkomunikasi yang baik, pemimpin yang baik
memiliki sesuatu yang istimewa di dalam dirinya yang membuat orang lain pun
merasakannya.
Sangat tekun
Tidak cukup hanya punya skill, pemimpin yang baik sangat tekun dalam pencapaian tujuan
dan visi yang telah ditetapkan. Pemimpin bisa sangat kejam untuk itu, namun pemimpin
yang baik melakukannya dengan cara yang sangat bersahabat.
Penuh semangat
Seorang pemimpin yang baik harus membawa energi yang sangat besar bagi bawahannya,
dan selalu mempunyai semangat yang senantiasa dikobarkan dalam setiap tugas yang
diberikan, dalam setiap bidang yang ditangani kapanpun dan dimanapun.

F. KETERKAITAN PAMONG PRAJA DENGAN KEPEMIMPINAN


IPDN adalah suatu lembaga pendidikan yang khusus untuk mencetak calon aparat
dan bahkan juga pejabat/pemimpin. Mungkin mengingat status sebagai percetakan
pimpinan itulah yang akhirnya menjadi alasan mengapa para praja dididik secara militer.
Dengan dididik dengan cara seperti itu harapan idealnya para praja akan memiliki
kedisiplinan dan bisa memberikan contoh-teladan yang baik untuk para bawahannya,
walaupun pada kenyatannya sepertinya gaya pendidikan seperti itu malahan
melahirkan lingkaran setan arogansi .
Pamong praja (sebelumnya disebut pangreh praja sampai awal kemerdekaan)
dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,

karena pamong praja tidak saja memainkan peran sebagai abdi negara dan abdi
masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan masyarakat tapi juga peran strategis
dalam menjaga keutuhan Negara Republik Indonesia. Pamong praja berperan dalam
mengelola berbagai keragaman dan mengukuhkan keutuhan Negara. Ndaraha (2009)
mengatakan pamong praja adalah mereka yang mengelola kebhinekaan dan mengukuhkan
ketunggalikaan.
Di lingkungan Kementerian Dalam Negeri sebutan Pamong Praja terkait dengan
Satuan Polisi Pamong Praja (UU 32/2004 dan PP 6 Tahun 2010) dan lembaga pendidikan
Institut
Pemerintahan
Dalam
Negeri
(IPDN)
sebagai
Pendidikan
Tinggi
Kepamongprajaan sebagaimana dalam Peraturan Presiden No 1 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Keptusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan
Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri ke dalam Institut Ilmu Pemerintahan. Peserta
didik atau mahasiswa IPDN disebut Praja dan lulusannnya disebut sebagai Pamong
Praja Muda.
Kalau pamong praja diartikan secara etimologis sebagai aparat atau pejabat
pemerintahan yang bertugas mengemong dan menjadi abdi Negara, abdi masyarakat,
maka pamong praja adalah semua aparat yang melakukan aktivitas melayani, mengayomi,
mendampingi serta memberdayakan masyarakat, dengan demikian koorps pamong praja
sangat meluas, termasuk di dalamnya aparat kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Tentara Nasional Indonesia serta semua aparat pemerinatahan lainya yang melaksanakan
urusan pemerintahan selain di lingkungan Kementerian Dalam Negeri. Pamong praja
adalah mencakup pejabat pusat yang ada di pusat, pejabat pusat yang ada di daerah
maupun pejabat daerah yang ada di daerah.
Selain prinsip kepemimpinan yang dicetuskan Ki Hadjar Dewantara, ada satu prinsip
kepemimpinan Jawa lain yang dikenal dengan nama HASTA BRATA. Hasta yang artinya
delapan dan Brata yang artinya pegangan atau pedoman. Secara singkat inilah yang
dimaksud Hasta Brata itu:
o Matahari (surya) Matahari merupakan sumber energi dan sumber kehidupan, bahkan
proses fotosintesa tumbuhan juga menggunakan matahari sebagai sumber utama. Oleh
karena itu diharapkan seorang pemimpin bisa menjadi layaknya matahari, pemimpin harus
bisa menumbuhkan motivasi-semangat para bawahan (dan rakyatnya) supaya menjadi
produktif.
o Bulan (candra) Bulan memiliki sinar yang indah dan memberi penerangan di saat malam.
Seorang pemimpin idealnya harus dapat menyenangkan,menarik hati dan memberi terang
kepada anak buahnya.
o Bintang (kartika) Bintang dapat digunakan sebagai pedoman arah mata angin. Seorang
pemimpin diharapkan dapat memberikan petunjuk, bimbingan dan arahan kepada para
bawahan.
o Mega-Mendung Mendung bersifat menakutkan,berwibawa, tetapi setelah berubah menjadi
air atau hujan, dapat menyegarkan semua makhluk hidup. Seorang pemimpin harus
menjaga kewibawaan dengan berbuat jujur, terbuka dan pada akhirnya tetap memberikan
manfaat bagi rakyat dan bawahannya.
o Angin (maruta) Sifat angin adalah selalu mengisi kekosongan, yaitu mengalir ke tempat
dengan tekanan lebih rendah. Seorang pemimpin harusnya selalu tanggap dengan
kekosongan (penderitaan) yang dialami oleh rakyatnya. Seorang pemimpin juga

diharapkan tidak hanya selalu berada di tempat yang tinggi tetapi dia juga harus rela
mengalir ke tempat rendah, rela melibatkan diri membantu masyarakat bawah.
o Samudra Samudera memiliki sifat air, yaitu permukaannya datar. Jadi seorang pemimpin
seharusnya juga memiliki permukaan yang datar dalam artian memiliki sifat adil. Orang
Jawa sering menggunakan istilah jembar segaran (luas laut/samuderanya) untuk
menyatakan sifat pemaaf. Seorang pemimpin harusnya bersifat pemaaf (tapi ya harus tahu
kesalahan yang seperti apa yang layak dimaafkan, jangan lantas semua koruptor
dimaafkan dan dibebaskan). Samudera juga sangat luas, sebagian besar permukaan bumi
merupakan perairan/laut. Begitu juga dengan pemimpin, diharapkan seorang pemimpin
memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas.
o Api (dahana) Api bersifat membakar apa saja yang bersentuhan dengannya. Api juga akan
bermanfaat jika jumlahnya proporsional, jika jumlahnya berlebihan maka api akan
berbahaya. Jadi seorang pemimpin harus mampu bertindak tegas dan adil tanpa pandang
bulu. Di samping tegas, seorang pemimpin harus mempunyai prinsip konsisten serta dapat
menahan emosi atau mengendalikan diri.
o Bumi Bumi merupakan tempat tumbuhnya berbagai macam tumbuhan dan juga tempat
berbagai macam mineral yang sangat dibutuhkan secara langsung oleh manusia. Seorang
pemimpin idealnya meniru sifat bumi yaitu dermawan dan rela berkorban termasuk dirinya
sendiri.

G. REKRUTMEN PAMONG PRAJA TERHADAP KEPEMIMPINAN


PEMERINTAHAN INDONESIA
Pamong praja merupakan konsep yang mengalami pergeseran makna seiring
dengan perubahan rezim pemerintahan daerah. Sebagai konsekuensi perubahan
dimaksud, secara historis basis rekrutmen mengalami penyempitan dan perluasan sejak
era pra-kemerdekaan hingga pasca-kemerdekaan. Kebutuhan terhadap kepemimpinan
pemerintahan yang kuat sekaligus simpul pengikat perbedaan dari pusat hingga level
bawah memungkinkan berjalannya pemerintahan secara stabil.
Kondisi demikian membutuhkan kepemimpinan pemerintahan yang di dukung
secara de fakto maupun de jure. Dengan menggunakan sentuhan teori elit, legitimasi,
kekuasaan dan kepemimpinan pemerintahan, konsepsi Pamong Praja dimaknai secara
substansial kemudian dihubungkan dengan basis rekruitmen masa lalu untuk
mengkonstruksi kepemimpinan pemerintahan sesuai kebutuhan dimasa mendatang.

Konsep Pamong Praja Dalam Birokrasi Jawa


Dalam serat Wulangreh[1], term Pamong Praja dapat ditelusuri menurut sastra
Jawa. Wulangreh merupakan kitab yang di desain bagi para calon pemimpin atau
penguasa. Wulang berarti pelajaran, Reh mengandung makna penguasa atau pemimpin.
Karya ini dijadikan kurikulum rujukan untuk mengendalikan hawa nafsu para penguasa
seperti pemahaman halal-haram, hidup sederhana, tidak sombong, loyal pada negara,
tidak berwatak pedagang, rendah hati dan adil. Tujuannya agar tidak kehilangan arah
dalam menjalankan roda pemerintahan[2]. Dalam birokrasi Jawa kita mengenal
istilah Pangreh
Praja dan Pamong
Praja.
Makna Pangreh (Pang[3] dan Reh)
menunjukkan
pada kekuataan
penguasa atau pemimpin. Praja sendiri
memiliki
arti rakyat kebanyakan, publik, masyarakat atau mereka yang dilayani. Dalam konteks
normatif, istilah Praja identik dengan pegawai pemerintahan, pegawai negeri sipil (civil
servant)[4]. Istilah ini jelas berbeda dengan kata Raja yang menunjukkan arti sebaliknya,
sebagaimana kecurigaan sebagian masyarakat terhadap istilah Praja yang seakan di didik

menjadi Raja di IPDN Jatinangor. Jadi, kalau diartikan bebas, Pangreh Praja lebih
merujuk pada pejabat politik yang memiliki derajat kekuasaan tertentu. Berbeda dengan
istilah Pamong yang merujuk pada kata among, ngemong atau momong. Istilah ini
menurut Nurdin (2010)[5] merupakan kata yang bersifat multidimensional, seperti
kata mengemong anak atau mengasuh anak kecil. Dalam perspektif pragmatis, Tursandi
(2010) menambahkan, istilah Pamong paling tidak menekankan pada seorang pelayan
publik agar mampu me-ngemong (melayani), ngomong (berkomunikasi) dan siap diomong (dinilai). Dalam kaitan itu Pamong Praja diartikan sebagai pegawai negeri yang
mengurus pemerintahan negara. Maknanya, birokrasi Jawa di bentuk untuk melayani
rakyat sebagaimana mengasuh anak, penuh perlindungan dan kasih sayang selama
kapanpun. Jika demikian maka dari aspek substansi, birokrasi Jawa dapat dibagi dalam
dua level yaitu, kelompok Pangreh Praja yang menitikberatkan pada pola kekuasaan atau
kepemimpinan (cenderung berst dilayani), dan kelompok Pamong Praja yang
menitikberatkan pada pola pelayanan kepada masyarakat (cenderung melayani).
Untuk memudahkan pengamatan terhadap perkembangan basis rekrutmen
pendidikan pamong praja maka pilihan periode 1990-2009 dijadikan tolok ukur sehubungan
penyatuan seluruh Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) daerah menjadi APDN
Nasional pada tahun 1990. Pada tahun 1992 status APDN berubah menjadi Sekolah
Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) hingga tahun 2004. Penggabungan IIP dan
STPDN pada tahun 2004 menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dengan pola
regionalisasi setidaknya menunjukkan kembalinya pola-pola rekruitmen dengan basis
lokal. Pada periode 1990 sd 2004, basis rekrutmen pamong praja berasal dari masyarakat
biasa (lulusan SMU) yang diintegrasikan di Jatinangor. Sekalipun pemerintah lebih
membuka kesempatan pada masyarakat umum melalui seleksi ketat di daerah hingga
pusat, namun faktanya rekrutmen relatif mewakili kelompok elite dibanding masyarakat
umum melalui standar yang ditetapkan.
Strategi pengembangan karakter kepemimpinan melalui basis rekrutmen pamong
praja hari ini haruslah di evaluasi kembali. Pengembangan karakter kepemimpinan melalui
aspek intelektualitas, emosional dan spiritual menjadi strategi yang tak terhindarkan.
Mendidik pamong praja melalui penanaman kekuasaan yang bersifat de jure semata (law
centris) tak menjawab dinamika perkembangan politik pemerintahan dewasa ini. Faktanya,
kaderisasi elit dalam masyarakat melalui instrument partai politik maupun lembaga
kemasyarakatan lainnya tampaknya mengalami kemacetan/kebuntuan (stagnan), bahkan
berjalan tanpa proses yang memadai.
banyak lulusan APDN, IIP, STPDN dan IPDN yang sekalipun muda namun di nilai
masyarakat mampu mengemban misi pemerintahan sebagai Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah. Ini menunjukkan bahwa akseptabilitas moral masyarakat (legitimasi)
terhadap alumni mengalami perluasan tidak saja dalam konteks penegasan kekuasaan
secara de jure, tetapi juga de fakto. Asumsi ini di dukung oleh banyaknya pendaftaran
kandidat Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam 5 tahun terakhir yang berasal dari
kalangan alumni pendidikan Pamong Praja.
Sepanjang elit dalam masyarakat (termasuk partai politik) mampu menciptakan
sirkulasi secara sehat dan memadai, maka pendidikan pamong praja tentu saja lebih
relevan jika ditempatkan secara proporsionalitas sebagai manajer yang tangguh dalam
birokrasi modern. Sebaliknya, jika partai politik gagal membangun pola sirkulasi sesuai

mekanisme dalam praktek demokrasi prosedural, maka suka atau tidak, basis pendidikan
pamong praja secara alamiah berpeluang mengambil bagian berdasarkan mekanisme dan
konsensus yang disepakati.
Pada dasarnya semua itu bergantung pada tujuan pemerintah dalam kaitan dengan
pembentukan kepemimpinan pemerintahan. Pertanyaan mendasar adalah basis dan
otoritas apa yang kita butuhkan ke depan dalam konteks pendidikan Pamong Praja dengan
berpijak pada realitas sistem politik dan pemerintahan yang berlangsung saat ini? Belajar
dari basis rekrutmen masa lalu serta kebutuhan otoritas, tampaknya perlu dipikirkan
kebutuhan kepemimpinan pemerintahan dalam road map 10 sd 20 tahun ke depan
sehingga basis rektrutmen dapat disesuaikan.
konsep pamong praja bahkan menjadi lebih terbuka dengan perubahan sistem
pemerintahan, dimana istilah urusan pemerintahan umum dan urusan umum pemerintahan
semakin sulit dibedakan dalam kenyataan dilapangan. Bahkan menurutnya, individu yang
melakonkan jabatan pamong praja boleh berasal darimana saja, tanpa melihat latar
belakang pengalaman dan pendidikannya. Tinggal bagaimana membentuk mereka agar
memahami makna pelayanan masyarakat serta dibekali lewat pelatihan jangka pendek
(short courses) dan jangka panjang.

H. KODE ETIK KEPAMONGPRAJAAN

Sebagai korps yang sudah berusia lama serta sudah mengalami pasang surutnya politik
pemerintahan daerah, Pamong Praja telah memiliki kode etik (code of conduct) yang
dinamakan Hasta Budi Bhakti, yang artinya Delapan Nilai Pegangan Untuk Berbakti.

Kode Etik ini sebenarnya merupakan pegangan moral bagi siapapun yang masuk kategori
Korps Pamong Praja.

Kode etik ini juga merupakan sebuah komitmen moral. Tetapi kelemahan bangsa
Indonesia, banyak membuat komitmen tetapi seringkali tidak konsisten.

KESIMPULAN
Terlepas dari persoalan tersebut, tampaknya, pemahaman terhadap Pamong Praja
yang mensyaratkan kualifikasi kepemimpinan dan kemampuan managerial seperti
dikemukakan Ndraha dalam Ismail (2010:8) cukup relevan dalam pemaknaan
kekuasaan de fakto dan de jure. Kekuasaan de fakto (kharismatik, politis) dapat
dikembangkan melalui pengembangan karakter kepemimpinan, sedangkan kekuasaan de
jure (legal-rasional,authority) dapat di desain melalui pengembangan karakter managerial.
Itulah mengapa kita cenderung melarang alumni STPDN/IPDN setelah lulus menjadi
ajudan kepala daerah, sekalipun penting untuk menumbuhkan karakter managerial pada

waktunya. Tetapi dengan menempatkan alumni di level Desa, Kelurahan dan Kecamatan
sebagai entitas pemerintahan paling bawah, mereka relatif berhadapan langsung dengan
basis sosial yang dengan sendirinya dapat mengembangkan karakter kepemimpinan
secara de fakto, sekaligus mengasah karakter managerial atas kekuasaan de jure.
Pamong Praja sebagai representasi pemerintah dalam melayani masyarakat perlu di
didik secara istimewa/khusus, sebab pemerintah memiliki kekhususan/keistimewaan dalam
memainkan kekuasaan baik secara de jure maupun de fakto. Perlu dibedakan sifat khusus
pada sekolah lain seperti Jaksa, Hakim, Auditor, Polisi atau Tentara yang walaupun di didik
secara khusus namun hanya melaksanakan kekuasaan de jure semata (law centris) tanpa
berhadapan
langsung
dalam
konteks
pelayanan
masyarakat
sehingga
membutuhkan qualified leadership (Ndraha:2010). Inilah yang disebut dengan model
pendidikan specialist-generalis. Kalau alumni AKPOL dan AKMIL bersifat specialist
mengamankan dan mempertahankan, lulusan perguruan tinggi lain bersifat generalistspecialist dalam keilmuan, maka lulusan pamong praja lebih bersifat specialist-generalist
dalam praktek pemerintahan.

KEPEMIMPINAN PAMONG PRAJA

1. Pengertian Pamong Praja


Asal kata "pamong" berasal dari bahasa Jawa "among", atau emong" yang artinya adalah
mengasuh

atau

membimbing

atau

mendidik.

Dari

kata among atau emong kemudian

menjadi pangamong atau pangemong artinya orang yang mengasuh atau orang yang membimbing
atau orang yang mendidik. Adapun istilah praja" berasai dari bahasa Jawa kuno yang diartikan
kerajaan atau negara, misalnya Praja Ngamarto artinya Kerajaan Ngamarto atau Pendovvo_ Jadi
secara asal kata pamong praja diartikan sebagai :
a. pembimbing kerajaan,
b. pengasuh negara,
c. pendidik negara.
Dalam sejarah tercatat bahwa kata among merupakan metode terkenal sebagai pendidikan
Nasional Taman Siswo yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantoro di Yogyakarta tanggal 3 Juli 1992.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pamong Praja berarti pegawai - Negeri yang
mengurus pemerintahan Negara. Dalam Kamus Indonesia-Inggris diterjemahkan Pamong Praja
sebagai Civil Service. Jadi Pamong Praia dapat diartikan sebagai pengasuh pemerintahan, atau
abdi mayarakat_
Menurut Wajong (1972. -13), bahwa dinas pemerintahan umum dengan Pamong Prajanya
merupakan organisasi tua, dimulai dari kedatangan Belanda pada lahun 1596. Adapun sejarah
penggunaan istilah pamong antara lain :
Dalam sejarah tercatat bahwa kata among merupakan metode terkenal sebagai
pendidikan Nasional Taman Siswo yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantoro di Yogyakarta
tanggai 3 Juli 1992.
Dari peristilahan dan makna pamong praja di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian
pamong praja meliputi :
a. Pembimbing kerajaan artinya pembimbing masyarakat kerajaan;
b. Pengasuh negara artinya pengasuh masyarakat negara;
c. Pendidik negara artinya pendidik masyarakat negara.
2. Definisi Parnong Praia
Pada masa kini Pamong Praia menurut Sadu Wasistiono dalam makalahnya yang
disampaikan pada Temu Akbar Alumni Pendidikan Pamong Praja Propinsi Jawa Barat pada
tanggal 29 Maret 1999 dengan judul Redefinisi, Reposisi dan Refungsianalisasi Korps Pamong
Praia (Wasistiono, 1999). Ditawarkannya definisi Pamong Praja dengan paradigma baru, yaitu
sebagai berikut :

Pamong Praja adalah Aparatur (pusat maupun Daerah) yang dididik secara khusus untuk menjalankan
tugas-lugas pemerintahan dengan kompetensi dasar Koordinasi, Kolaborasi dan Konsensus (3K) dalarn
rangka memberikan i

pelayanan umum serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.
Menurut beliau definisi ini masih terbuka untuk diperdebatkan, terutama mengenai tiga
kompetensi dasar yang perlu diimiliki oleh anggota Korps Parnong Praja. Selain melakukan
redifinisi, bagi Sadu Wasistiono, Korps Pamong Praja juga harus melakukan reposisi, dalam arti
menata ulang kedudukan dan hubungannya dengan pemerintah serta partai yang berkuasa,
sejalan dengan kebijakan pemerintah nasional sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 yang diperbaiki dengan Peraturan Pemerintah Nornor 12
Tahun1999 Tentang Netralitas Pegawai Negeri Sipil. Selain itu, Korps Pamong Praja harus
melakukan refungsionalisasi, yaitu menata lagi fungsi-fungsi yang selama ini dijalankan oleh
pamong praja. Selanjutnya dijelaskan :
Perlu diakui secara jujur hahwa selama ini fungsi-fungsi yang dijalankan oleh Korps
Pamong Praja belum tampak secara jelas, bercampur aduk karena adanya pengembangan karier
secara lintas keahlian. Pada akhimya pengetahuan dan kemahiran yang dimiliki Korps Pamong
Praja menjadi tidak jelas juga, sehingga sulit untuk dikategorikan sebagai sebuah profesi yang
utuh dan mandiri. Syarat untuk menjadi sebuah profesi yang utuh dan mandiri adalah (Sadu
Wasistiono, 1999) :
1. Disiapkan melalui pendidikan khusus;
2. Mengembangkan pekerjaan dan kariernya melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat khusus
berkaitan dengan pendidikannya;
3. Tergabung dalam sebuah organisasi profesi;
4. Terikat pada kode etik.
Perdebatan mengenai profesi pamong praja sudah berjalan sejak lama. Pada akhimya
telah

diperoleh sebuah pengertian

bahwa Pamong Praja merupakan

sebuah profesi

umum (general profession). Konsekuensi logisnya profesi umum tersebut dapat masuk ke
mana-mana (fidak spesifik) dan dapat dimasuki oieh siapapun yang berminat dan memenuhi
syarat yang bersifat sangat longgar. Sehubungan dengan hal tersebut, maka kurikulum di IPDN
mengikuti acuan outputnya sebagai generalist.

Menurut Wajong (1972:13), bahwa dinas pemerintahan umum dengan Pamong Prajanya
merupakan organisasi tua, dimulai dari kedatangan Belanda pada tahun 1596. Adapun sejaran
pentggunaan istiiah pamong antara lain :

1. lnstitusi dan korps Pangreh Praja - istilah pada zaman penjajahan Belanda - disebut
dengan Binnenfanas Besfuvr (BB), terdiri dari para pejabat departemen dalam negeri yang
ditempatkan di daerah yang bertugas memelihara ketentraman dan ketertiban serta
menyelenggarakan kesejahteraan umum. Tugas korps Pangreh Praja mencakup bidang yang
sangat luas. Pada masa itu, korps Pangreh Praja merupakan alat pemerintahan asing
(Koesoemahatrnadja, 1979 - 44) 1
2. Pada masa sesudah kemerdekaan, istilah Pangreh Praja diganti menjadi Pamong Praja
dengan alasan bahwa kedudukan dan tugas Pangreh Praja dalam Negara yang merdeka
berbeda dengan pada masa penjajahan. Presiden R1 pada tahun 1953 mengatakan bahwa
pengertian pamong lebih dalam artinya dari pada pengertian pemimpin ataupun pengasuh.
Prinsip pokok dalam mengemong adaJah TUT WURI HANDAYANI, mengikuti di belakang
tetapi tetap mempengaruhi (dalam The Liang Gie, 1988:170);
3. Dalam statuta 1PDN ditetapkan bahwa IPDN merupakan komponen Kementrian Dalam
Negeri

yang

menyelenggarakan

pendidikan

kedinasan

Kader

Pamong

Praja.

istilah "Pamong Praja":


4. Menurut Samadikoen (dalam The Liang Gie, 1988:171), tugas Pamong Praja dalam rangka
dekosentrasi pada awal kemerdekaan dapat diringkas menjadi tiga macam, yaitu ;
(1) Sebagai instansi penengah (arbiter), di antara kepentingan-kepentingan yang saling
bertentangan dan bermusuhan;
(2) Sebagai instansi penghubung di antara lingkungan hukum tata Negara yang berlain-lainan;
(3) Sebagai pemelihara dari penegak ketentraman dan keamanan umum dan dalam hubungan ini
memiliki hubungan yang erat sekali dengan jawatan kepolisian. Konsep kepamong-prajaan
sebagai kualitas berkembang sepanjang sejarah dan oleh sebab itu mengandung arti :
a. Sebagai nomina (nama) beberapa institusi di lingkungan Departemen Dalam Negeri, yaitu
sebutan bagi pejabat pusat di daerah pada zaman dahulu sampai sekitar tahun enam-puluhan
(korps Pangreh, kemudian Pamong Praja), sesudah itu dijadikan sebutan sebagai unit kerja
penegak hukum di lingkungan pemerintah daerah, yaitu Polisi Pamong Praja.
b. Sebagai fungsi objektif di lingkungan Pemerintahan Dalam Negeri, yang menjembatani tiap
komponen dengan komponen lain, dan hadir antara komponen sebuah system. Pemerintahan
terdiri dari beberapa kualitas ini sekaligus fungsi utama yang harus dipenuhi agar kinerja
pemerintahan berkualitas yaitu conducting, coordinating, dan "all weather serving."
c. Sebagai lembaga di lingkungan Departemen Dalam Negeri. Kualitas lembaga diharapkan
profesional agar kinerjanya dapat lebih baik dan berkualitas tinggi.
d. Sebagai kekuatan visioner yang mengatasi waktu dan tempat, yaitu membaca tanda-tanda zaman,
bersikap dalam ketidak-pastian, dan mengantisipasi sejauh mungkin masa depan, sehingga proses

kesebangsaan dari kebhinekaan menuju ketunggal-ikaan terus-menerus berjalan. Berdasarkan


kekuatan itu, kepamong-prajaan mengemban misi suci (mission sacre) bangsa dan negara, yaitu
mengelola keunikan tiap masyarakat menjadi kekuatan mata-rantai nusantara, mengurangi
kesenjangan vertikal dan horizontal antar masyarakat secepatnya dan memproses kesebangsaan
guna mewujudkan Bhineka Tunggal Ika. Misi itu diselenggarakan melalui strategi pemerintahan
yaitu redistribusi nilai-nilai yang dihasilkan oleh subkultur ekonomi melalui pelayanan kepada
subkultur pelanggan, baik pelayanan civil sebagai kewajiban Negara maupun pelayanan publik
sebagai kewenangan pemerintah.
e. Sebagai pioner pertama, buah pemikiran besar, roh zaman, yang berkualitas sebagai
kenegerawanan,

maka

kepamongprajaan

berarti

kemampuan

membuat

sejarah (history

making), sehingga buah pemikiran besar pamong praja Indonesia - yaitu mereka yang memiliki
kualitas kepamongprajaan yang dapat mempengaruhi perjalanan sejarah Indonesia di tengahtengah dunia beratus-ratus tahun kemudian.
Kepamong-prajaan pada puncak kualitasnya yaitu kenegarawanan, bukanlah hanya milik
Kementrian Dalam Negeri akan tetapi milik dunia.

1. Makna Strategis Pamong Praja


Kosoemahatmadja, Guru Besar llmu Pemerintahan di Universitas PadjadjaranBandung
dalam Pidato Pengukuhannya yang berjudul Peranan llmu Pemerintahandalam Negara Hukum
Modern , tanggal 17 Januari 1981 antara lain menyatakan, bahwa oleh karena Negara Indonesia
yang berdasarkan falsafah Pancasila bercita-cita juga untuk mewujudkan suatu keadilan dan
kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia pada hemat saya Negara Indonesia pun dapat
menamakan diri sebagai Negara Hukum Modern. Sedangkan dalam disertasinya ditegaskan lagi,
bahwa dalam suasana demokrasi Pancasila, maka pada hemat Penulis fungsi Pamong Praja di
daerah jangan dianggap remeh sebab korps inilah yang harus mendukung kepentingan
Pemerintah Pusat.
Pamong Praja tidak boleh diombang-ambingkan oleh pergolakan politik di daerah,
karena instansi ini ialah membina atau mendukung dari ideologi Negara, alat dari Pancasila.
Berhubung dengan itu maka alat Pemerintah Pusat di daerah harus diperkuat, Kepala Daerah,
yang dipilih perlu dibantu oleh staf pegawai yang permanen dan ahli dalam bidangnya.
Pemilihan Kepala Daerah dan pengangkatan pegawai-pegawai Pamong Praja sedikit banyaknya
harus ditekankan pada faktor pendidikan karena semakin kompleks masyarakat semakin banyak

kebutuhan

akan

tenaga

ahli,

yang

mempunyai leadership, itu

tenaga-tenaga

yang technisch dan practisch.


Dalam hal ini Penulis menyokong sepenuhnya usaha memupuk kader-kader Pamong
Praja melalui pendidikan Akademi Pemerintahan Da1am Negeri ( APDN), ~ sekarang Sekolah
Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) di Jatinangor dan Institut llmu Pemerintahan (11P)
di Jakarta, Koesoemahatmadja (1981 ;1978).
2. Standar Pamong Praja
Pamudji datam Pidato Ilmiah pada Hari Wisuda APDN Malang dan Peresmian IIP
Tanggal 25 Mei 1967 di Malang Berjudul Membina Dinas Pamong Praja Ke Arah Dinas Karier
Datam Administrasi Negara , menyatakan bahwa kepamongprajaan itu adalah "kualitas kinerja
yang secara objektif dibutuhkan," :profesi berkualitasgeneralist, dan pertu dilembagakan menjadi
dinas karier.
Pamong praja adalah aparatur pemerintah harus mempunyai standar yang dapat
diandalkan, guna menunjang pelaksanaan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Oleh
karena itu, kualitas pamong praja selalu dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan agar
mampu menangani masalah-masalah pemerintahan di masa kini dan. masa yang akan datang.
Adapun standar Kepamongprajaan Dalam Statuta IPDN dijelaskan bahwa standar pamong praja
adalah :
1.

Pamong praja sebagai kader pemerintahan sipil di lingkungan Kementrian Dalam Negeri

dan Pemerintah Daerah.


2.

Pamong praja sebagai kader pemerintahan sipil diperlukan pada setiap jenjang

administratif pemerintahan. Strukturya mengerucut. Di tingkat Desa/Kelurahan diperlukan ribuan


orang Pamong Desa/Pamong Kelurahan, dan dipuncaknya Pamong Bangsa/Negara, yaitu
Presiden.
3.

Pamong praja generalis yang mengetahui dan mengenal sedikit demi sedikit tentang

semakin banyak hal. Dalam hubungan ini, kepamongprajaan lebih sebagai seni (art) dan
kreativitas ketimbang tekhnik dan spesialisasi. Kualitas ini tidak dapat dipenuhi oleh perguruan
tinggi umum yang cenderung spesialistik.
4.

Pamong

praja

adalah

dinas

karier.

Kesinambungan,

konsistensi,

keselarasan,

keseimbangan dan keserasian program memberikan tenaga yang bebas dari pengaruh rezim
politik lima tahunan seperti yang terjadi selama ini. Hubungan antara pamong praja dengan
politisi harus bersifat transformasional, bukan transaksional. Selama ini masing-masing unsur
struktur supra (trias politika) asik bertransaksi antara mereka, sehingga stuktur infra terlupakan.
Pamong praja sendiri harus selektif, bukan elektif.

5.

Pamong praja memerlukan kecerdasan. Kecerdasan tidak dapat terbentuk melalui diklat

jangka pendek, doktrin, instruksional, dan rekrutmen berdasarkan spoil system, bersifat
insidental, tetapi melalui pendidikan formal berijazah dan pengalaman yang luas.
6.

Pamong praja adalah tenaga pemikir dan perancang pemerintahan. Kemampuan berpikir

teoritik dan konseptual tidak dapat terbentuk rnelalui pendidikan profesional berprogram diploma
atau spesialis. Pendidikan seperti itu ditujukan pada profesi dan job tertentu yang ditawarkan
pasar. Sebaliknya profesi dan job pamong praja bersifat publik, sudah tersedia. Oleh sebab itu,
kualitas pamong praja dibentuk melalui program pendidikan akademik.
7.

Pamong praja perlu dibekali dengan llmu Pemerintahan sebagai pedoman dalam

menjalankan tugas-tugasnya.
8.

Pamong praja adalah profesional. Seorang profesional mengabdi pada profesi (pekerjaan),

bukan pada orang. Pengabdian tersebut bersumber pada pertimbangan- pertimbangan ilmiah
(teoritik), dan karena ilmu yang menjadi andalan adalah Kybernologi, maka pertimbanganpertimbangan itu demi perlindungan kemanusiaan dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
9.

Pamong

praja

adalah

kepala,

manajer,

pemirnpin,

koordinator, conductor

(dirigen), penyelamat, dan pengelola sisa. Pemerintahan dapat dipandang sebagai organisasi,
usaha, dan komunitas, yang terdiri dari komponen yang berbeda-beda dengan kondisi yang
berlain-lainan. Gerakan komponen-komponen itu harus harmoni satu dengan yang lain agar
bersama-sama menghasilkan kinerja optimal. Oleh sebab itu, pamong praja harus memiliki
kekepalaan, manajemen, dan kepemimpinan.
10.

Pamomg praja sebagai kenegarawanan. Kualitas tertinggi kepamongprajaan adalah

kenegarawanan.

Seorang

negarawan

menghasilkan

pikiran-pikiran

besar(magnanimous), memandang sejauh mungkin ke depan, berwatak impartial, dannon


partisan. Berperan menjalankan misi pemerintahan Indonesia yaitu mengelola keunikan tiap
mayarakat menjadi keuatan mata rantai nusantara, rnengurangi kesenjangan vertical antar lapisan
masyarakat dan mengurangi kesenjangan horizontal antar daerah secepatnya, sehingga " the
people who get the pain are the
people who share the gain," dan memproses kesebangsaan guna mewujudkan Bhinneka Tunggat
lka, adalah Departemen Da1am Negeri.
11.

Kepamong-prajaan dibentuk melalui pendidikan kedinasan di bawah Kementrian ` Datam

Negeri yaitu lnstitut Pemerintahan Dalam Negeri (1PDN) rnelalui jenjang pendidikan D4, S1, S2
dan S3.
12.

Kepamongprajaan adalah jiwa kerja korps yang berwawasan nusantara dan bersemangat

kesebangsaan.

1. Pemimpin Transfromasional
Pada masa yang akan datang aktivitas kepamongprajaan di Indonesia sudah dipastikan
akan mengalami perubahan-perubahan yang cepat sebagai konsekuensi logis dari adanya
pembaruan pemerintahan dan reformasi Pamong Praja. Berdasarkanmodeling system dynamics,
maka visi dan misi Pamong Praja abad 21 dapat dipetakan.
Beberapa karakteristik penting dari pemimpin transformasional diperlukan dalam
dinamika perbaikan manajemen kualitas (Gaspersz, 1997:197), yaitu :
1. Memiliki visi yang kuat
2. Memiliki peta tindakan (map for action)
3. Memitiki kerangka untuk visi (frame for the vision)
4. Memiliki kepercayaan diri (self confidence)
5. Berani mengambil resiko
6. Memiliki gaya pribadi inspirasional
7. Memiliki kemampuan merangsang usaha-usaha individual
8. Memiliki kemampuan mengidentifikasikan manfaat-manfaat
2. Pemimpin Visioner
Kepemimpinan Visioner. Seperti yang sudah disebutkan dimuka bahwa, Pamong
Praja merupakan Leader (Pemimpin) maupun Headship (Kepala). Kepemimpinan dalam
mewujudkan pemerintahan yang baik adalah kepemimpinan yang harus memenuhi syarat
berakhlak bersih dan tidak cacat moral (Thoha, 1997:112). Pemimpin yang bermoral dan
berakhlak yang ditandai dengan kebersihan akidah, akhlak, tujuan hidup, harta dan bersih
pergaulan sosial. Syarat ini yang harus perta ma dan utama untuk memilih dan mengangkat
pemimpin dalam birokrasi pemerintah termasuk Pamong Praja . Selain itu, pemimpin harus
memiliki visi mau dibawa ke mana tugas-tugas pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
Selanjutnya dijelaskan bahwa, visi mencakup upaya yang mampu melihat jangkauan ke
depan yang berskala nasional maupun global. Ia menanamkan "Kepemimpinan Visioner"
atau dengan kata lain seorang pemimpin yang mampu melihat jangkauan ke depan secara
"Glokal (bervisi global-action lokal).
Visi pada hakekatnya adalah untuk menjelaskan arah pencapaian tujuan, diikuti
peningkatan kualitas kerja peningkatan kinerja organisasi. Menurut Suradinata (Abdi
Praja 1997:11), ada lima fenomena kualitas Pamong Praja, yaitu:

1. Memberikan pelayanan pada masyarakat baik dalam iingkup aparatur maupun masyarakat
umum.
2. Pengembangan diri, tuntunan terhadap kemampuan setiap Pamong Praja. Untuk itu,
mereka harus terus belajar dan meningkatkan pendidikan dan pelatihan baik melalui
penjenjangan maupun diklat tekhnis fungsional.
3. Pelaksanaan tugas, yaitu melaksanakan tugas tanggung jawabnya selaku aparatur
pemerintah dalam negeri yang lebih mengutarnakan tugas pokok.
4. Keteladanan. Sebagai seorang Pamong Praja, keteladanan merupakan aspek yang
menentukan. Dalam Kepemimpinan Pancasila, keteladanan merupakan sikap konsisten
dan konsekuen dalam menghayati dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya.
5. Lingkungan, mencakup faktor alam dan sosial yang antara lain terdiri dari etika, moral,
budaya, serta jati diri bangsa Indonesia.
Di samping itu, organisasi birokrasi pemerintah (Pamong Praja) harus berkualitas.
Kualitas Pamong Praja yang diharapkan pemerintah menurut Taufik (1999:86-87) adalah :
1.

Birokrasi pemerintah (Aparatur Pemerintah/Pamong Praja) yang bersih dan berwibawa,

baik ditingkat pusat maupun di daerah.


2.

Profesionalisme aparatur pemerintah yang memadai dan secara tepat tanggap terhadap

permasalahan yang dihadapi.


3. Reformasi birokrasi pemerintah agar dapat difokuskan pada kuaiitas dan kesempatan pelayanan
terhadap masyarakat sesuai dengan slogan "Abdi Negara
4.
5.

dan Abdi Masyarakat'.

Kerjasama tim (team work) yang efektif dan efesien.


Kemampuan manajemen dalam unit birokrasi pernerintah yang dapat menangani setiap

permasalahan pembangunan yang dihadapi.


6. Birokrasi yang memihak pada kepentingan rakyat banyak sesuai dengan visi dan misi yang telah
disetujui bersama.
Oleh karena itu, Pamong Praja harus mempunyai strategic vision seperti yang diajukan
oleh UNDP sebagai karakterisitik good governance (Lembaga Administrasi 'Negara, 2007:7) di
mana diharapkan Pamong Praja mempunyai perspektit luas dan 4 yang jauh ke depan.
Terlebih lagi dalam menghadapi tuntutan visi kesejagatan (globafisasi) yang ~ melekat
pada setiap Pamong Praja, dengan demikian perlu disiapkan sistem ` Pemerintahan yang bersifat
dinamis, berorientasi pada wirausaha, lebih pro-aktif pada perubahan, mampu menarik investasi
asing serta membina para pengusaha nasional untuk lebih berpartisipasi dalam pembangunan
nasional. Ini semua berkaitan dengan pembinaan etos kerja melalui pembudayaan sistem kerja

terpadu dengan didasari pembinaan yang spesifik selain pembinaan kemampuan tekhnis
administratif dan pembinaan moral-agamis (Suradinata, 1997:92).
Merujuk pada uraian di atas (Wasistiono, Gaspersz, Sarundajang, Thoha, Suradinata dan
Taufik), maka dapatlah disusun Visi Pamong Praja Abad Ke-21,sebagai berikut ;
1.

Profesionalisme Korps Pamong Praja sudah lebih meningkat dengan karakteristik utama
berupa pemberian pelayanan kepada masyarakat

2.

Koordinasi menjadi alat utama guna meningkatkan efisiensi pemberi pelayanan kepada
masyarakat

3.

Selain mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang bersifat umum (generalis), Pamong
Praja juga mempunyai keahlian khusus (spesialisasi) yang bisa diandalkan.

4.

Memiliki semangat dan jiwa kewirausahaan guna meningkatkan kesejahteraan rnasyarakat

5.

Memiliki kemampuan bernegosiasi yang telah menjadi satu keahlian Korps Pamong Praja
yang dapat ditonjolkan

6.

Menjalankan Kepemimpinan Transformasional yang bersifat mengayomi, adil dan jujur serfa
berakhlak yang baik tanpa ada cacat moral

7.

Mengutamakan kualitas kerja dan kualitas pelayanan, baik pada instansi pemerintah maupun
pelayanan prima kepada masyarakat

8.

Mempunyai Strategic

Vision dalam

mengantisipasi

perubahan

pemerintahan

maupun

perubahan masyarakat yang semakin cepat dan mengalami pasang-surut.


Dwight Wardo dengan bukunya yang berjudul "The Enterprese of Administration", 1980
dalam The Liang Gie (1993:7.2), menjelaskan :
Petugas Negara memiliki kewajiban-kewajiban etis (ethical obligations) yang lebih
banyak dalam kaitan dengan kelakuannya ketimbang orang swasta. Demikian pula para petugas
dengan jabatan tinggi dalam badan-badan pemerintah mempunyai lebih banyak kewajibankewjliban etis dari pada seorang siapa saja. Implikasi lebih lanjut dari pendapat itu ialah setiap
petugas dalam adminitrasi pemerintahan wajib memiliki sikap-mental dan perilaku yang
mencerminkan keunggulan watak, keluhuran budi, dan berbagai etis yang bersumber pada
kebajikan moral khususnya keadilan. Tanpa asas-asas etis itu seorang petugas negara tidak
mungkin membina suatu kehidupan bangsa dan keadaan masyarakat yang tentram dan
sejahtera. Bahkan kebalikannya, kehidupan rakyat mungkin dijerumuskan pada kegelisahan dan
kesengsaraan.
3,

K o d e E t i k P e t u g a s Ad m i n i s t r a s i
The Lang Gie (1993:7.11), menjelaskan sebagai berikut : Perhimpunan -perhimpunan para

petugas administrasi di Amerika dalam tahun 1984 menyetujui sebuah kode etik yang memuat

asas-asas dan ukuran-ukuran baku moral yang menjadi petunjuk bagi para anggotanya
sebagai petugas administrasi pemerintahan, sebagai berikut :
1.

Menunjukkan ukuran-ukuran baku yang tertinggi mengenai keutuhan watak perseorangan,


kebenaran, kejujuran, dan ketabahan dalam semua kegiatan publik kita agar supaya
membangkitkan

keyakinan

dan

kepercayaan

rakyat

pada

pranata-pranata

bangsa : (demonstrate the higest standards of personal integrity, truthfulness, honesty and
tortitude in all our public activities in order to inspire public confidence and trust in public
institutions) :
2.

Melayani rakyat secara hormat, perhatian, sopan, dan tanggap dengan mengakui bahwa
pelayanan kepada rakyat adalah di atas pelayanan terhadap diri sendiri : (service the public
with respect, concern, courtesy, and responsiveness, recognizing that service to the public is
beyond service to oneself) :

3.

Berjuang kearah keunggulan professional perseorangan dan menganjurkan pengembangan


profesional dari rekan-rekan kita dan mereka yang berusaha memasuki bidang administrasi
Negara : (strive for personal professional excellence and encourage the professional development
of our associates and those seeking to enter the field of public administration)

4.

Menghampiri kewajiban-kewajiban operasional dan organisasi kita dengan suatu sikap


positif dan secara konstruktif mendukung komunikasi yang terbuka, kreativitas, pengabdian,
dan welas asih :(approach our organization and operational duties with a positive attitude and
constructively support open communication, creativity, dedication, and compassion) :

5.

Melayani dalam suatu cara sedemikian hingga kita tidak mewujudkan keuntungan pribadi
yang tidak semestinya dari pelaksanaan kewajibankewajiban resmi kita : (serve in such a way
that we do not realize undue personal gain from the performance of our official duties) :

6.

Menghindari suatu kepentingan berdasarkan hak-hak istimewa, pertentangan dengan


penunaian dari kewajiban-kewajiban resmi kita :(avoid any interest or activity which is in
conflict with the conduct of our official duties) :

7.

Menghormati dan melindungi keterangan berdasarkan hak-hak istimewa yang kita dapat
memperolehnya dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban resmi : (respect an protect the
privileged information to which we have acces in the course of official duties) :

8.

Menjalankan wewenang kebijaksanaan apapun yang kita miliki menurut hukum untuk
memajukan kepentingan umum : (exercisewhatever discreationary authority we have under law
to promote the public interest) :

9.

Menerima sebagai suatu kewajiban pribadi tanggung jawab untuk mengikuti perkembangan
baru terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dan menangani urusan rakyat dengan
kecakapan profesional : (accept as a personal duty the responsibility to keep up to date on

emerging issues and to administer the public's business with professional competences, fairbess,
impartiafy, efficiency and effectiveness) :
10. Mendukung, menjalankan, dan memajukan penempatan tenaga kerja menurut penilaian,
kecakapan serta program-program tindakan afirmatifguna menjamin kesempatan yang sama
pada penerimaan, pemeliharaan, dan peningkatan kita terhadap orang-orang yang memenuhi
persyaratan dari segenap unsur masyarakat : (support,implement, and promote merit
employment and programs of affirmative action to assure equal opportunity by our recruitmens
selection, and advancement of qualified persons from all elements of society) :
11. Melenyapkan semua bentuk pembedaan yang tak sah, kecurangan, salah urus keuangan
Negara serta mendukung rekan-rekan kalau mereka berada dalam kesulitan karena usaha yang
bertanggung jawab untuk memperbaiki pembedaan, kecurangan, salah urus atau salah pakai
yang demikian itu : (eliminate all forms of illegal discrimination, fraud, and mismanagement of
public funds and support collegagues if they are in difficulty because of responsible efford to
correct such discrimination, fraud, mismanagement or abuse) :
12. Menghormati, mendukung, meneiaah, dan bilamana periu berusaha untuk menyempurnakan
konstitusi-konstitusi Negara federal dan Negara bagian serta hukum-hukum lainnya yang
mengatur hubungan-hubungan di antara instansi-instansi pemerintah, pegawai-pegawai,
nasabah-nasabah, dan semua warga-warga : (respect, support, study, and when necessary, work
to improve federal and state constitutions, and other laws which define relationship among public
agencies, employees, clients, and all citizens).

1.

Jelaskan asal kata Pamong Praja sehingga jelas pengertiannya!

2.

Jelaskan definisi Pamong Praja menurut pakar pemerintahan !

3.

Beranjak dari definisi pamong praja yang telah ada, Sdr diminta merumuskan kembali definisi
pamong praja sehingga menjadi jelas !
Jelaskan apa yang dimaksud dengan pemimpin visioner ?

Jelaskan karakteristik penting dari pemimpin transformasional berikut ini :


a. Memiliki visi yang kuat
b . Memiliki peta tindakan (map for a c t i o n )
c. Memiliki kerangka untuk visi (frame for the vision)
6. Berilah contoh karakteristik kepemimpinan transformasional berikut :
a.
Memiliki kepercayaan diri (self confidence)
b.
Berani mengambil resiko
c.
Memiliki gaya pribadi inspirasional
d.
Memiliki kemampuan merangsang usaha-usaha individual
e. Memiliki kemampuan mengidentifikasikan manfaat-manfaat

7. Jelaskan Visi Pamong Praja yang sangat mendesak pada Abad Ke-21!

Kepemimpinan dalam mewujudkan pemerintahan yang baik adalah kepemimpinan


yang harus memenuhi syarat berakhlak bersih dan tidak cacat moral (Thoha, 1997:112).
Pemimpin yang bermoral dan berakhlak yang ditandai dengan kebersihan akidah, akhlak,
tujuan hidup, harta dan bersih pergaulan sosial. Syarat ini yang harus perta ma dan utama
untuk memilih dan mengangkat pemimpin dalam birokrasi pemerintah termasuk Pamong
Praja. Selain itu, pemimpin harus memiliki visi mau dibawa ke mana tugas-tugas
pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Selanjutnya dijelaskan bahwa, visi mencakup
upaya yang mampu melihat jangkauan ke depan yang berskala nasional maupun global. Ia
menanamkan "Kepemimpinan Visioner" atau dengan kata lain seorang pemimpin yang
mampu melihat jangkauan ke depan secara "Glokal (bervisi global-action lokal).
Terlebih lagi dalam menghadapi tuntutan visi kesejagatan (globafisasi) yang ~ melekat
pada setiap Pamong Praja, dengan demikian perlu disiapkan sistem ` Pemerintahan yang bersifat
dinamis, berorientasi pada wirausaha, lebih pro-aktif pada perubahan, mampu menarik investasi
asing serta membina para pengusaha nasional untuk lebih berpartisipasi dalam pembangunan
nasional. Ini semua berkaitan dengan pembinaan etos kerja melalui pembudayaan sistem kerja
terpadu dengan didasari pembinaan yang spesifik selain pembinaan kemampuan tekhnis
administratif dan pembinaan moral-agamis (Suradinata, 1997:92).
Merujuk pada uraian di atas (Wasistiono, Gaspersz, Sarundajang, Thoha, Suradinata dan
Taufik), maka dapatlah disusun Visi Pamong Praja Abad Ke-21,sebagai berikut ;
1.

Profesionalisme Korps Pamong Praja sudah lebih meningkat dengan karakteristik utama
berupa pemberian pelayanan kepada masyarakat

2.

Koordinasi menjadi alat utama guna meningkatkan efisiensi pemberi pelayanan kepada
masyarakat

3.

Selain mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang bersifat umum (generalis), Pamong
Praja juga mempunyai keahlian khusus (spesialisasi) yang bisa diandalkan.

4.

Memiliki semangat dan jiwa kewirausahaan guna meningkatkan kesejahteraan rnasyarakat

5.

Memiliki kemampuan bernegosiasi yang telah menjadi satu keahlian Korps Pamong Praja
yang dapat ditonjolkan

6.

Menjalankan Kepemimpinan Transformasional yang bersifat mengayomi, adil dan jujur serfa
berakhlak yang baik tanpa ada cacat moral

7.

Mengutamakan kualitas kerja dan kualitas pelayanan, baik pada instansi pemerintah maupun
pelayanan prima kepada masyarakat

8.

Mempunyai Strategic

Vision dalam

mengantisipasi

perubahan

pemerintahan

perubahan masyarakat yang semakin cepat dan mengalami pasang-surut.

Internalisasi Nilai - Nilai Kepamongprajaan

maupun

Internalisasi Nilai-Nilai
Kebijakan internalisasi nilai-nilai kepamongprajaan di IPDN diterapkan dalam beberapa
tahapan pengasuhan yaitu : Tahap Penanaman (Muda Praja), Penumbuhan (Madya Praja),
Pengembangan (Nindya Praja) dan Pendewasaan (Wasana Praja).

Internalisasi nilai-nilai pada

Muda Praja (Tahap Penanaman), meliputi penanaman nilai-nilai etis yang berkaitan dengan sikap
dan sifat seorang pamong yang mampu memberikan pelayanan prima pada masyarakat. Pada
tahap Penumbuhan (Madya Praja), meliputi penanaman nilai-nilai yang berkaitan dengan
menumbuhkembangkan disiplin pribadi, harga diri, kesadaran akan tugas dan tanggung jawab,
mempertinggi percaya diri, kerjasama dan meningkatkan motivasi berprestasi. Internalisasi nilainilai pada tahap Pengembangan (Nindya Praja), meliputi penanaman nilai-nilai yang berkaitan
dengan mengintegrasikan nilai-nilai yang telah ditanamkan pada tahapan sebelumnya agar
tercipta kesadaran praja terhadap kualitas diri dan pekerjaan .

Sedangkan pada tahap

Pendewasaan (Wasana Praja), berkaitan dengan mengembangkan praja sebagai pribadi yang
mandiri dan adaptif.

Berdasarkan kurikulum, internalisasi nilai-nilai kepamongprajaan di IPDN tidak lepas dari


penanaman nilai-nilai yang meliputi aspek-aspek pengasuhan, yaitu melalui Pembinaan Mental
Kepribadian (iman dan taqwa, kepedulian dan pengabdian, kualitas, integritas, dan kerjasama).
Sedangkan

kegiatan

ekstrakurikuler

meliputi Pembinaan

Kreativitas (pembinaan

kemasyarakatan, pembinaan kesenian dan olah raga, pembinaan keterampilan).


Taqwa meliputi

ketaatan

beribadah;

toleransi

kehidupan

beragama;

kegiatan
Iman dan

kejujuran;dan

kebersihan. Kepedulian dan Pengabdian meliputi : empati dan kepekaan sosial; adaptasi; rasa

tanggung jawab; dan tanpa pamrih. Kualitas meliputi : percaya diri; terampil; berfikir kritis, kreatif
dan inovatif; serta kestabilan jasmani dan rohani. Integritas meliputi : pantang menyerah; berani;
loyal; konsisten; dan kesatria. Kepemimpinan meliputi : kemampuan memotivasi; keteladanan;
dan kerjasama. Sedangkan Disiplin meliputi : aktualisasi diri; ketaatan pada aturan; mawas diri;
dan kemandirian.

Pendekatan Learning Organization


Salah satu tujuan Renstra IPDN adalah mewujudkan IPDN sebagai Learning Organization
. Menurut Peter Senge (1990); Organisasi Pembelajaran adalah organisasi yang manusiamanusianya terus menerus meningkatkan kapasitasnya untuk menciptakan hasil-hasil yang
sungguh-sungguh mereka inginkan, terus menerus mengembangkan dan memelihara pola-pola
pikir baru yang sistemik, membebaskan aspirasi-aspirasi kolektif berkembang, dan terus menerus
belajar bagaimana belajar bersama secara sinergik. Lima disiplin pembelajaran atau keterampilanketerampilan untuk membangun organisasi pembelajaran adalah : Personal Mastery (Kepiawaian
Pribadi); Mental Models (Model-model Mental); Shared Vision (Membangun Visi Bersama); Team
Learning (Tim Pembelajaran); dan Systems Thinking (Berfikir Serba Sistem).
Upaya dini dalam penegakan etika pemerintahan atau etika birokrasi di lingkungan
Kementerian Dalam Negeri antara lain melalui internalisasi nilai-nilai etis pada kegiatan pendidikan
berdimensi afektif di IPDN. Praja sebagai kader pemerintahan dalam negeri dibekali berbagai nilainilai guna menunjang penegakan etika profesi pamong praja pada saat mereka bertugas
melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan. Salah satu alternatif pendekatan yang diterapkan dalam
kegiatan internalisasi nilai-nilai adalah melalui learning organization. Melalui pendekatan ini
diharapkan purna praja sebagai pamong praja muda menguasai kelima keterampilan atau disiplin
diatas.
Personal Mastery (PM) adalah suatu tingkat keahlian khusus dalam setiap aspek kehidupan
pribadi dan professional, terletak di luar kompetensi dan keterampilan, tapi didasari oleh kedua hal
tersebut. PM bukan sesuatu yang dimiliki dari lahir tapi merupakan suatu proses dan suatu
disiplin sepanjang hayat. Pamong praja muda diharapkan mempunyai PM yang tinggi dalam
penegakan etika profesi, sehingga menjadi pendorong bagi organisasi birokrasi untuk maju atau
berkembang sehingga menumbuhkan komitmen dan kapasitas belajar anggotanya. Organisasi
yang berkembang menjadi besar akan mempunyai komitmen untuk mengembangkan pertumbuhan
anggotanya; sedangkan perkembangan menyeluruh orang-orang dalam organisasi merupakan
esensi dari pencapaian tujuan keunggulan organisasi tersebut.
Ciri-ciri PM yang tinggi antara lain :
1. Secara khusus memiliki sense of purpose di belakang visi dan tujuannya;

2. Belajar bagaimana memahami dan bekerja dengan kekuatan pembaharuan (dengan tidak melawan
kekuatan tersebut);
3. Selalu ingin tahu, memiliki komitmen untuk secara terus menerus melihat realitas (kenyataan) yang
lebih akurat;
4. Merasa terkait satu dengan yang lain dan dengan kehidupan itu sendiri, tanpa mengorbankan
keunikan masing-masing;
5. Sangat menyadari ketidaktahuan, ketidakmampuan bidang pertumbuhan mereka;
6. Sangat percaya diri;
7. Mengambil banyak prakarsa;
8. Mempunyai rasa tanggung jawab penuh atas pekerjaan;
9. Belajar lebih cepat;
10. Mereka lebih dekat dengan hati mereka;
11. Hidup dalam semangat belajar yang terus menerus;
12. Dll.

Perkembangan emosional seperti tersebut diatas memberikan daya ungkit (leverage) yang
besar untuk menggali potensi diri (kita); termasuk potensi diri pamong praja yang menunjang
penegakan nilai-nilai etis individu, profesi dan organisasi.
Model-model Mental (MM) merupakan citra, asumsi dan ceritera-ceritera yang ada dalam
pikiran sendiri dan orang lain tentang setiap aspek kehidupan di dunia. Asumsi-asumsi yang telah
tertanam secara mendalam, generalisasi, bahkan gambar-gambar atau persepsi-persepsi yang
mempengaruhi bagaimana kita memahami dunia, dan bagaimana kita mengambil tindakan. Mental
model seorang pamong praja akan mempengaruhi perilakunya. MM akan menentukan seorang
pamong praja bagaimana ia memberi warna dunianya; menentukan bagaimana langkah
tindakannya; mempengaruhi penglihatan, sikap serta tindakannya; dan membentuk perbuatan
yang dia lakukan.
MM sangat menentukan perbuatan seorang pamong praja, karena MM mempengaruhi apa
yang dia lihat. Sebagai contoh dua orang pamong praja yang berlainan, menangani masalah yang
sama, akan menghasilkan hal yang berbeda karena fokus pengamatannya berbeda. MM seorang
pamong praja tidak bisa dikatakan benar atau salah, tetapi masalah akan timbul apabila MM
dibawah sadar. Yang penting MM seorang pamong praja yang berkaitan dengan nilai-nilai etis
individu, profesi dan organisasi terbentuk dengan esensi cinta kebenaran dan keterbukaan.

Building Shared Vision atau Membangun Visi Bersama (MVB) adalah membangun
komitmen kelompok dengan mengembangkan citra bersama tentang wujud masa depan yang ingin
diciptakan, dan prinsip-prinsip serta pedoman-pedoman untuk menciptakan hal tersebut. Beberapa
proses membangun visi bersama yang dilakukan pamong praja antara lain: mencermati lingkungan
organisasi; mencermati siapa pelanggan organisasi dan stakeholdersnya, berfikir terbuka;
menghargai nilai visi yang ada; serta dalam mengoperasionalkan visi melakukan komunikasi yang
efektif, memperkuat jejaring hubungan (networking), dan menjadikan dirinya sebagai perwujudan
visi tersebut. Selain itu visi yang dibangun harus dapat menarik minat anggota organisasi,
pelanggan dan stakeholders; menggelorakan semangat anggota serta merebut komitmen melalui
bakat, keterampilan, dan sumberdaya yang ada. Hubungan dalam organisasi antara visi yang
dibangun, misi yang ditetapkan untuk mencapai visi, dan nilai-nilai termasuk nilai-nilai etis dalam
menjalankan visi dan misi adalah : Visi tanpa misi = Keinginan yang tidak praktis; Misi tanpa nilai =
Menjurus kearah menghalalkan segala cara; Misi + nilai tanpa Visi = Tak ada inspirasi; sedangkan
Visi + Misi + Nilai-nilai =Identitas organisasi yang menentukan masa depan yang didambakan.
Selain itu esensi dalam membangun visi bersama adalah: Maksud dan tujuan bersama
(commonality of purpose), dan Kemitraan (Partnership).
Tim Pembelajaran (Team Learning) membantu menyelaraskan pikiran dan energi yang
menggerakkan

resonansi

dan

sinergi

dalam

proses

pembelajaran.

Tim

Pembelajaran

mentransformasi keterampilan-keterampilan konversasi dan berfikir kolektif sehingga kelompok


dapat mengembangkan kecerdasan kolektif dan kemampuan yang lebih besar dari jumlah talenta
para anggotanya; jadi esensinya adalah kecerdasan kolektif dan penyatuan. Dalam hal ini pamong
praja harus memahami prinsip-prinsip Team Learning yaitu dialog (dialogue), memadukan dialog
dengan diskusi (integrated dialogue and discussion), dan berdalih (defensive routine). Sedangkan
prakteknya adalah : menunda asumsi (suspending assumptions), bertindak sebagai mitra (acting
as colleagues), memunculkan sikap mempertahankan pendirian (surfacing own defensiveness),
latihan ( practising).
Keterampilan yang harus dikuasai pamong praja adalah dialog dan diskusi terampil, yaitu
suatu metoda komunikasi dan konversasi untuk meraih kecendekiaan kolektif dan kesepakatan
yang optimal. Perbedaan utama antara diskusi terampil dengan dialog terletak pada tujuannya.
Diskusi terampil bertujuan untuk sampai pada suatu kesimpulan, keputusan, kesepakatan, atau
paling tidak mengidentifikasi prioitas-prioritas; sedangkan dialog bertujuan untuk mengeksplorasi
fikiran-fikiran,

temuan-temuan,

dan

wawasan.

Meskipun

kadang-kadang

tercapai

suatu

kesepakatan dalam dialog, namun hal itu bukan tujuan dari dialog itu sendiri. Akan tetapi yang
paling baik adalah pamong praja mempunyai kemampuan untuk memadukan dialog dengan diskusi
terampil. Setelah berdialog selama waktu tertentu, mampu mengalihkannya untuk melakukan
diskusi terampil guna mendapatkan kesepakan-kesepakatan. Untuk

mendapatkan hasil dialog

dan diskusi terampil yang optimal, peserta dialog dan diskusi terampil sebaiknya mengenal dan
memahami instrumen-instrumen model-model mental.
Berfikir Serba Sistem (System Thinking) merupakan dasar konseptual bagi membangun
organisasi pembelajaran dan menghadapi kerumitan dinamik yang semakin meningkat (Nusyirwan
Zen, 2003). System thinking mempunyai arti pemikiran yang dilakukan berdasarkan sistem atau
suatu cara berpikir dengan menggunakan sistem. Cara berpikir demikian sering juga disebut cara
berpikir sistemik. Pemahaman pamong praja terhadap pentingnya menerapkan perilaku berpikir
serba sistem karena: Meningkatnya kompleksitas dalam kehidupan; Meningkatnya interdependensi
di dunia; Revolusi dalam teori maupun praktek manajemen; Meningkatnya kesadaran global,
walaupun dengan keputusan lokal; Meningkatnya kesadaran pembelajaran sebagai kunci
kapabilitas organisasi; serta masalah tak dapat diselesaikan dengan cara

berpikir yang

menciptakan masalah itu.


Beberapa kaidah yang perlu dipedomani (oleh pamong praja) dalam menerapkan berpikir
serba sistem menurut Senge (1990), adalah :
1. Permasalahan hari ini berasal dari solusi hari kemarin;
2. Semakin keras anda mendorong, semakin keras pula sistem itu mendorong balik;
3. Perilaku berkembang lebih baik, sebelum memburuk;
4. Pemecahan masalah yang mudah umumnya menggiring kembali ke masalah tersebut;
5. Upaya penyembuhan dapat lebih buruk dari penyakitnya sendiri;
6. Sesuatu yang lebih cepat biasanya akan lebih lambat;
7. Sebab dan akibat tidak begitu erat terkait dengan waktu dan ruang;
8. Perubahan kecil dapat menghasilkan hasil yang besar, namun wilayah dengan kemampuan daya
ungkit terbesar itu biasanya tersembunyi;
9. Anda dapat memiliki kue anda, dan juga memakannya, tetapi jangan sekaligus;
10. Membelah seekor gajah menjadi dua, tak akan menghasilkan dua ekor gajah kecil;
11. Jangan salah menyalahkan, jangan menghujat

Penutup
Penegakan etika individu, etika profesi, dan etika organisasi melalui penanaman nilai-nilai
etis

yang

menunjang

berjalannya

fungsi-fungsi

pemerintahan

secara

dini

bisa

diterapkan melalui kebijakan pendidikan kedinasan di lingkungan Kementerian Dalam Negeri.


Internalisasi nilai-nilai dalam penyelenggaraan pendidikan dimensi afektif di IPDN merupakan salah
satu upaya untuk menghasilkan pamong praja muda sebagai aparatur pemerintahan yang
menjunjung

tinggi

nilai-nilai

etis

pemerintahan.

Pendekatan learning

organization dalam

penanaman nilai-nilai etis pemerintahan, diterapkan melalui internalisasi nilai-nilai secara konsisten
dan berkesinambungan di IPDN dalam rangka

mempersiapkan sosok pamong praja yang

professional.

Daftar Pustaka
Anwar, Dodo. 2005. Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima. Bahan Materi Diklatpim III. Tidak
dipublikasikan.

Dimyati dan Mujiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Cetakan Kedua. Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.

Gabriel Lele. 2010. Peningkatan Kapasitas Etika Dalam Mendorong Perwujudan Good Governance.
Reformasi Aparatur Negara Ditinjau Kembali. Editor Dr. Wahyudi Kumorotomo dan Dr. Ambar
Widaningrum. Pengantar Prof. Dr. Agus Dwiyanto. Diterbitkan atas kerjasama Penerbit Gava Media
dengan Jurusan Manajemen Kebijakan Publik dan Magister Administrasi Publik.

LAN RI. 2003. SANKRI. Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Buku I Prinsip-Prinsip
Penyelenggaraan Negara. Diterbitkan oleh Lembaga Administrasi Negara. Cetakan Pertama.

Nusyirwan Zen. 2003. System Thinking (Berfikir Serba Sistem). Dasar Konseptual Bagi Membangun
Organisasi Pembelajaran dan Menghadapi Kerumitan Dinamik Yang Semakin Meningkat. Bahan
Materi TOT Learning Organization. Tidak Dipublikasikan.

Peter Senge. 1990. The Fifth Dicipline.

Sudarmadi. 2007. Membangun Potensi Diri. Badan Diklat Depdagri.

Sumantri, Mulyani. 2003. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi. Disampaikan Pada
Kegiatan Applied Approach 25 Agustus-30 September 2003 di STPDN. Tidak dipublikasikan.

Syafri, Wirman dan Israwan Setyoko. 2008. Implementasi Kebijakan Publik dan Etika Profesi
Pamong Praja.ALQA Prisma Interdelta. Jatinangor.

Sarwono, Sarlito Wirawan. 1996. Globalisasi dan Pembinaan Kader Pemerintahan. Suatu Tinjauan SosialPsikologik. Bahan Ceramah di STPDN Bandung, 1 Mei 1996. Tidak dipublikasikan.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.

Anda mungkin juga menyukai