Anda di halaman 1dari 47

ABSTRAK

Collaborative Governance merupakan proses dari


struktur jejaring multi-organisasi lintas sektoral
(government, private, civil society) yang membuat
kesepakatan bersama, keputusan bersama,
pencapaian konsensus menuju Jakarta sebagai City 4.0

Tim Penyusun

Yanto Suharto
Eko Hariadi

KOLABORASI
MODUL PELATIHAN DASAR
CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL
KOLABORASI
MODUL PELATIHAN DASAR
Calon Pegawai Negeri Sipil

PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA


2021
KATA PENGANTAR

Sejalan dengan upaya mewujudkan Aparatur Sipil Negara (ASN) berkelas


dunia setidaknya ASN memiliki lima kriteri, yakni profesional, integritas, orientasi
kepublikan, budaya pelayanan yang tinggi, serta memiliki wawasan global.
Kelima kriteria tersebut perlu aktualisasikan oleh seluruh ASN secara
berkesinambungan guna memenuhi tuntutan kualifikasi ASN yang mumpuni
untuk terlaksananya good governance di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta, melalui Pelatihan Dasar (Latsar) bagi Calon Pegawai Negeri Sipil
(CPNS)
Disadari bahwa perkembangan lingkungan staregis mempengaruhi
pembangunan Aparatur Sipil Negara (ASN), diantaranya ditentukan oleh tujuh
trend perubahan yang akan mentransformasi cara kerja birokrasi di masa depan
yakni: 1) Government as an enabler instead of solution provider, 2) Made for me
service delivery, 3) Distibuted governanve, 4) Data Smart government, 5)
Alternative forms of government funding, 6) Just in time civil service, 7) A new
basis for national prosperity, sehingga peserta Pelatihan Dasar perlu dibekali
pemahaman dan implementasi kolaborasi. Di massa mendatang diharapkan
kolaborasi menjadi pendekatan utama yang akan menggantikan pendekatan
hirarki pada prinsip-prinsip pengorganisasian untuk memimpin dan mengolola
lingkungan kerja di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Kehadiran Modul Kolaborasi pada Pelatihan Dasar memiliki nilai
staretegis kerena menjadi acuan dalam proses pembelajaran, sehingga modul
ini dapat membantu widyaiswara atau fasilitator guna mendisain pengajaran
yang akan disampaikan kepada peserta pelatihan.
Selamat memanfaatkan modul kolaborasi, semoga melalui modul ini
kompetensi CPNS di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat
tercapai.
Jakarta, April 2021

ii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR v
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Deskripsi Singkat 3
C. Hasil Belajar 3
D. Indikator Hasil Belajar 3
E. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok 3
F. Manfaat 4
BAB II COLLABORATIVE GOVERNANCE 5
A. Pengertian Kolaborasi 5
B. Karakteristik dan Komponen Kolaborasi 7
C. Tujuan Kolaborasi 8
D. Jenis-Jenis Kolaborasi 8
E. Manfaat Kolaborasi 10
F. Kendala Kolaborasi 10
G. Governance 10
H. Collaborative Governance 13
1. Pengertian Collaborative Governance 13
2. Tujuan Melaksanakan Collaborative Governance 16
3. Dimensi Dalam Collaborative Governance 18
4. Proses Kolaborasi Dalam Collaborative Governance 23
I. Latihan 26
27
J. Rangkuman

iii
BAB III KONSEP JAKARTA SEBAGAI KOTA KOLABORASI (CITY 4.0) 28
A. Perkembangan Jakarta sebagai Kota Kolaborasi 28
B. Fenomena Jakarta sebagai Kota Kolaborasi 29
C. Latihan 31
D. Rangkuman 32
BAB IV NILAI-NILAI DASAR KOLABORASI 33
A. Nilai-nilai Dasar 33
B. Internalisasi Nilai-Nilai Dasar Kolaborasi 34
C. Latihan 38
D. Rangkuman 38

DAFTAR PUSTAKA 40

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Model Hubungan Aktor dalam Collaborative Governance 17


Gambar 2: Model Collaborative Governance 26

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peran pemerintah dalam memberikan layanan kepada masyarakat
mengalami pergeseran paradigma dari New Public Management (NPM) yang
orientasinya kepada kepuasan pelanggan kepada paradigma New Public
Service (NPS) yang lebih menekankan pada aspek kualitas pelayanan publik
dengan mengutamakan hasil akhir (outcome) yang berguna bagi masyarakat,
kualitas dan nilai, produk dan keterikatan terhadap norma. Pergeseran
paradigma ditandai dengan berubahnya peran pemerintah sebagai state sector
tidak lagi menjadi satu-satunya penentu dan pelaksana kebijakan dalam
pelayanan publik, melainkan ada keterlibatan secara langsung maupun tidak
langsung sektor-sektor lain yang ada di masyarakat, seperti private sector
(bisnis) dan civil society (masyarakat).
Saat ini Jakarta tengah bertransformasi menjadi kota yang lebih
baik, berevolusi untuk menjadi kota dengan ekosistem 4.0. Hal ini menuntut
semua unsur bertransformasi baik warga, pemerintah dan juga pekerjaan
semuanya ikut berubah. Di tahapan city 1.0 yakni tentang sosialisasi, bagaimana
kita menyampaikan informasi kepada publik dan publik mengikutinya. Pada
tahapan City 2.0, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menjadi penyedia atau
pelayan, sedangkan warganya menjadi customer sehingga tahapannya seperti
konsultasi. Kemudian, pada tahapan city 3.0 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
akan bertransformasi sebagai fasilitator dan warga sebagai partisipan. Dalam
proses ini yang ditekankan merupakan partisipasi warga. Tahapan city 4.0,
pemerintah sebagai kolaborator dan warga sebagai co-creator, dengan
penekannannya pada kolaborasi.
Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia memiliki sejumlah
permasalahan seperti kemacetan, banjir, sampah, polusi, kawasan kumuh,
terbatasnya ruang terbuka hijau, dan sebagainya, yang harus diselesaikan

1
2

segera untuk mencapai visi Jakarta Kotanya, Bahagia Warganya. Melalui


penerapan kolabarasi bersama pihak pemerintah baik pemerintah pusat maupun
daerah, perusahaan/swasta, organisasi kemasyaratan maupun masyarat sipil
dan perorangan, pemerintah provinsi DKI Jakarta berusaha menyelesaikan
permasalahan-permasalahan tersebut.
Collaborative governance atau penyelenggaraan pemerintahan yang
kolaboratif merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pemerintahan atau
governance dimana peran pemerintah bermitra dengan non-state stakeholders
dalam proses menyelesaikan masalah-masalah publik. Collaborative
governance merupakan proses kegiatan kolaborasi dengan mengatur suatu
keputusan dalam proses kebijakan yang dilakukan oleh beberapa lembaga
publik dengan pihak lain yang terkait dan terlibat secara langsung maupun tidak
langsung dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah. Collaborative
Governance dapat dikatakan sebagai salah satu dari tipe governance. Konsep
ini menyatakan akan pentingnya suatu kondisi dimana aktor publik (pemerintah),
aktor privat (bisnis), dan masyarakat (civil society) bekerja sama dengan cara
dan proses tertentu yang nantinya akan menghasilkan dan
mengimplementasikan kebijakan yang tepat untuk publik atau masyarakat.
Konsep ini menunjukkan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan, aktor
publik yaitu pemerintah dan aktor privat yaitu organisasi bisnis atau perusahaan,
dan masyarakat bukanlah suatu yang terpisah dan bekerja secara sendiri-sendiri
melainkan bekerja bersama demi kepentingan masyarakat.
Collaborative governance muncul tidak begitu saja melainkan
dilatarbelakangi berbagai aspek. Munculnya collaborative governance dapat
dilihat dari aspek kebutuhan dari institusi untuk melakukan kerjasama
antarlembaga, karena keterbatasan sumber daya seperti kemampuan tiap
lembaga untuk melakukan program/kegiatannya sendiri. Selain itu, kolaborasi
juga muncul lantaran keterbatasan anggaran dari suatu lembaga, sehingga
dengan adanya kolaborasi anggaran tidak hanya berasal dari satu lembaga saja,
tetapi lembaga lain yang terlibat dalam kolaborasi.
3

Sebagai ASN Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus memahami dan


dapat menyelesaikan permasalahannya melalui kolaborasi. Melalui Modul ini
peserta memahami peran aktor-aktor dan proses Collaborative Governance
dalam proses penyelesaian masalah-masalah public. Collaborative Governance
merupakan konsep yang harus dipahami dan diterapkan peserta pelatihan
sebagai ASN dalam meningkatkan kinerja di masing-masing unit kerjanya.

B. Deskripsi Singkat
Modul ini membekali peserta untuk menerapkan kolaborasi dalam
pengelolaan kegiatannya melalui pembelajaran konsep Jakarta sebagai Kota
Kolaborasi, Collaborative Governance, dan nilai dasar dan budaya kolaborasi.
Mata pelatihan ini disajikan secara interaktif melalui metode ceramah
interaktif, tanya jawab, pemutaran film pendek, diskusi, role playing, simulasi,
dan penugasan. Keberhasilan peserta dinilai dari kemampuannya menerapkan
kolaborasi dalam dalam bentuk simulasi.

C. Hasil Belajar
Kompetensi dasar yang ingin dicapai melalui modul ini adalah peserta
mampu memahami penerapan kolaborasi dalam tata kelola pemerintahan.

D. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti pembelajaran ini diharapkan peserta mampu :
1. menjelaskan konsep kolaborasi
2. menjelaskan konsep kolaborasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
3. menunjukkan perilaku berkarakter kolaborasi

E. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok


1. Konsep Kolaborasi
2. Kolaborasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
3. Nilai-nilai Kolaborasi.
4

F. Manfaat
Modul ini merupakan salah satu sumber belajar bagi peserta Pelatihan
Dasar CPNS dalam memahami dan memaknai nilai-nilai kolaborasi dan praktik
kolaborasi dalam penyelenggaraan pemerintahan khususnya di Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta sebagai solusi penyelesaian masalah-masalah terkait
pelayanan publik.
BAB II
COLLABORATIVE GOVERNANCE

A. Pengertian Kolaborasi
Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk
menggambarkan suatu pola hubungan kerja sama yang dilakukan oleh lebih dari
satu pihak. Ada sekian banyak pengertian tentang kolaborasi yang dikemukakan
oleh berbagai ahli dengan sudut pandang yang beragam. Beragamnya
pengertian tersebut didasari oleh prinsip yang sama yaitu mengenai
kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas, kesetaraan, dan tanggung jawab.
Secara umum kolaborasi adalah hubungan antar organisasi yang saling
berpartisipasi dan saling menyetujui untuk bersama mencapai tujuan, berbagi
informasi, berbagi sumberdaya, berbagi manfaat, dan bertanggungjawab dalam
pengambilan keputusan bersama untuk menyelesaikan berbagai masalah.
Emily R. Lai menjelaskan, “Collaboration is the mutual engagement of
participants in a coordinated effort to solve a problem together. Collaborative
interactions are characterized by shared goals, symmetry of structure, and a high
degree of negotiation, interactivy, and interdependence.” (Pearson, 2011).
Definisi tersebut menjelaskan bahwa kolaborasi adalah keterlibatan
bersama dalam upaya terkoordinasi untuk memecahkan masalah secara
bersama-sama. Interaksi kolaboratif ditandai dengan tujuan bersama, struktur
yang simetris, negosiasi tingkat tinggi, lintas aktivitas dan adanya saling
ketergantungan.
Selanjutnya Grey dalam Fendt (2010) menyatakan bahwa kolaborasi
adalah sebuah proses ada kesadaran dari berbagai pihak yang memiliki
keterbatasan dalam melihat suatu permasalahan untuk kemudian mencoba
mengeksplorasi perbedaan tersebut untuk mencari solusi. (Fendt, 2010).
Pandangan ini menyebutkan bahwa karena adanya keterbatasan yang dimiliki
berbagai pihak, sehingga diperlukan kolaborasi untuk memecahkan masalah
secara bersama-sama. Adapun menurut Lindeke dan Sieckert (2005) kolaborasi
merupakan proses kompleks yang membutuhkan sharing pengetahuan yang

5
6

direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab bersama (Fatwadi,


2015).
Berdasarkan definisi di atas, maka kolaborasi pada dasarnya adalah
kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas, kesetaraan, dan tanggung jawab
dimana pihak-pihak yang berkolaborasi memiliki tujuan yang sama, kesamaan
persepsi, kemauan untuk berproses, saling memberikan manfaat, kejujuran,
kasih sayang serta berbasis masyarakat. Kolaborasi dapat dipandang
sebagai suatu proses berfikir dimana pihak yang terlibat memandang
aspek-aspek perbedaan dari suatu masalah serta menemukan solusi
dari perbedaan tersebut dan keterbatasan pandangan mereka terhadap apa
yang dapat dilakukan. Konsep kolaborasi didasari prinsip yang sama yaitu
mengenai kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas, kesetaraan, dan tanggung
jawab.
Kolaborasi tidak dibatasi oleh waktu atau periode tertentu, selama
masih ada urusan yang memiliki singgungan atau irisan dengan pihak lain maka
kolaborasi masih tetap diperlukan. Kolaborasi melibatkan beberapa pihak mulai
dari tingkat individu, kelompok kerja, dan organisasi. Dalam menjalankan
kolaborasi sangat penting untuk memahami kinerja lembaga publik. Oleh
karena itu maka studi kolaborasi lebih banyak berfokus pada tataran
organisasi sektor publik (Andrew B. Whitford, 2010).
Pada sektor publik kolaborasi dapat dipahami sebagai proses
kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas, kesetaraan, dan tanggung jawab
antara beberapa entitas yang aktivitasnya memiliki keterhubungan. Kolaborasi
dalam sektor publik dapat dilakukan dengan usaha untuk menghasilkan barang
dan pelayanan publik dalam rangka memenuhi kebutuhan dan hak publik
dimana pihak-pihak yang berkolaborasi memiliki tujuan yang sama. Oleh karena
itu maka kesamaan persepsi, kemauan untuk berproses, saling memberikan
manfaat, kejujuran, serta mendahulukan kepentingan yang berbasis pada
masyarakat atau konsumen. Pihak-pihak yang menjadi entitas dalam
berkolaborasi tersebut bisa dari government, civil society, dan private sector.
7

Tujuan utama dalam kolaborasi sektor publik diperuntukkan pada


peningkatan pelayanan pada masyarakat.

B. Karakteristik dan Komponen Kolaborasi


1. Karakteristik Kolaborasi
Menurut (Carpenter, 2009), kolaborasi mempunyai 8 (delapan)
karakteristik, yaitu:
1) Partisipasi tidak dibatasi dan tidak hirarkis.
2) Partisipan bertanggung jawab dalam memastikan pencapaian
kesuksesan.
3) Adanya tujuan yang masuk akal (logis).
4) Ada pendefinisian masalah yang jelas.
5) Partisipan saling mendidik atau mengajar satu sama lain.
6) Adanya identifikasi dan pengujian terhadap berbagai pilihan.
7) Implementasi solusi dibagi kepada beberapa partisipan yang
terlibat.
8) Partisipan selalu mengetahui perkembangan situasi.

2. Komponen Kolaborasi
Adapun komponen utama yang terdapat dalam kolaborasi
menurut Djumara (2008) adalah:
1) Collaborative Culture. Seperangkat nilai-nilai dasar yang
membentuk tingkah laku dan sikap bisnis. Di sini yang
dimaksudkan adalah budaya dari orang-orang yang akan
berkolaborasi.
2) Collaborative Leadership. Suatu kebersamaan yang merupakan
fungsi situasional dan bukan sekedar hirarki dari setiap posisi yang
melibatkan setiap orang dalam organisasi.
3) Strategic Vision. Prinsip-prinsip pemandu dan tujuan keseluruhan
dari organisasi yang bertumpu pada pelajaran yang berdasarkan
8

kerjasama intern dan terfokus secara strategis pada kekhasan dan


peran nilai tambah di pasar.
4) Collaborative Team Process. Sekumpulan proses kerja non birokrasi
yang dikelola oleh tim-tim kolaborasi dari kerjasama profesional
yang bertanggung jawab penuh bagi keberhasilannya dan
mempelajari keterampilan-keterampilan yang memungkinkan
mereka menjadi mandiri.
5) Collaborative Structure. Pembenahan diri dari sistem-sistem
pendukung bisnis (terutama sistem informasi dan sumberdaya
manusia) guna memastikan keberhasilan tempat kerja yang
kolaboratif. Para anggotanya merupakan kelompok intern yang
melihat organisasi sebagai pelanggan dan terfokus pada kualitas di
segala aspek kerjanya.

C. Tujuan Kolaborasi
Dari beberapa literatur diketahui bahwa tujuan kolaborasi adalah :
1. Untuk memecahkan masalah secara bersama-sama.
2. Untuk mencapai tujuan bersama dengan saling membantu antara
satu dengan yang lainya.
3. Untuk mempercepat pencapaian tujuan secara bersama-sama.
4. Untuk meningkatan pelayanan pada masyarakat.
5. Untuk menciptakan sesuatu

D. Jenis-Jenis Kolaborasi
Berdasarkan beberapa referensi, terdapat tiga jenis bentuk kolaborasi
yang didasarkan perbedaan antara organisasi grup atau di dalam sikap grup,
yaitu:
1. Kolaborasi Primer.
Ciri utama dari kolaborasi primer adalah bahwa grup dan individu
sungguh-sungguh dilebur menjadi satu grup. Menurut Ahmadi (2004),
grup ini berisi seluruh kehidupan dari pada individu, dan masing-masing
9

saling mengejar untuk masing-masing pekerjaan, demi kepentingan


seluruh anggota dalam grup itu. Contohnya adalah kehidupan rutin
sehari-hari dalam bicara, kehidupan keluarga pada masyarakat primitif
dan lain-lainnya. Kolaborasi dalam tipe ini terbentuk secara wajar di dalam
kelompok-kelompok yang disebut kelompok primer. Di dalam kelompok-
kelompok terdapat individu-individu cenderung membaurkan diri dengan
sesamanya di dalam kelompok, dan masing-masing berusaha menjadi
bagian dari kelompoknya. Menurut Narwoko ciri utama jenis kolaborasi
seperti ini adalah kelompok-kelompok primer yang kecil dan bersifat tatap
muka ini, orang perorangan cenderung lebih senang bekerja dalam tim
selaku anggota tim dari pada bekerja sebagai perorangan.
2. Kolaborasi sekunder.
Apabila kolaborasi primer karakteristik dan masyarakat primitif,
maka kolaborasi sekunder bercirikan sebaliknya. Kolaborasi sekunder
adalah khas pada masyarakat modern. Menurut Ahmadi, Kolaborasi
sekunder ini sangat diformalisir dan spesialisir, dan masing-masing
individu hanya membangkitkan sebagian dari pada hidupnya kepada grup
yang dipersatukan dengan itu. Sikap orang-orang di sisni lebih
individualistis dan mengadakan perhitungan-perhitungan. Contohnya
adalah kolaborasi dalam kantor-kantor dagang, pabrik-pabrik,
pemerintahan dan sebagainya
3. Kolaborasi Tertier.
Berbeda halnya dengan tipe kolaborasi Primer dan Sekunder,
Kolaborasi Tertier didasari oleh adanya konflik yang laten. Menurut
Ahmadi Kolaborasi Tertier dilandasi oleh adanya sikap-sikap dari pihak-
pihak yang melakukan kolaborasi adalah murni oportunis. Organisasi
mereka sangat longgar dan gampang pecah. Bila alat bersama itu tidak
lagi membantu masing-masing pihak dalam mencapai tujuannya.
Contohnya dalah hubungan buruh dengan pimpinan perusahaan,
hubungan dua partai dalam usaha melawan partai ketiga.
10

E. Manfaat Kolaborasi
Manfaat kolaborasi adalah :
1. Mendapatkan inspirasi
2. Melatih kerjasama sebagai sebuah tim
3. Belajar satu sama lain
4. Lebih mengenal diri sendiri
5. Menyelesaikan masalah dengan cepat & mudah
6. Meningkatkan efisiensi
7. Kemudahan berkomunikasi
8. Memperluas networking
9. Menciptakan perubahan yang positif

F. Kendala Kolaborasi
Menurut Grey (1989) kolaborasi akan sulit dilakukan bila menghadapi
kendala-kendala sebagai berikut ini (Fatwadi, 2015).
1. Komitmen yang bertentangan dengan kolaborasi
2. Sejarah permusuhan yang dilandasi perbedaan ideologi dalam waktu
lama
3. Kondisi dimana kebijakan tidak memperhatikan alokasi sumber daya
(resources)
4. Perbedaan persepsi atas resiko
5. Kerumitan bersifat teknis
6. Budaya kelembagaan dan politik atau tidak memiliki legitimasi
7. Unilateral action (satu pihak memiliki power melakukan aksi sepihak)

G. Governance
Manajemen publik merupakan suatu rangkaian proses untuk mencapai
tujuan suatu organisasi dengan cara tujuan suatu organisasi dengan cara
melakukan fungsi merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan
mengendalikan sumberdaya yang ada pada suatu organisasi. Paradigma
Manajemen publik mengalami pergeseran-pergeseran sesuai dengan
11

perkembangan zaman, awalnya dari paradigma Old Public Administration


(OPA) berkembang menjadi paradigma New Public Management Management
(NPM) yang menyebabkan perubahan penyebutan government menjadi
governance. Dari pergeseran paradigma inilah muncul istilah tentang
collaborative governance, dengan melibatkan pihak ketiga selain institusi
pemerintah, yaitu kelompok- kelompok kepentingan masyarakat atau Non
Governmental Organization (NGO) dalam proses pengambilan keputusan dan
penyelesaiaan masalah yang ada di publik (Fawwaz Aldi Tilano, 2019)
Paradigma governance merupakan paradigma baru yang dianut dan
menjadi populer di beberapa negara di dunia. Pemahaman dari paradigma yakni
implementing agency tidak hanya menjadi monopoli pemerintah. Pada tahun
1980-an paradigma ini mulai dirancang oleh negara-negara barat dengan tujuan
untuk meminimalisir peran-peran negara dalam pembangunan dan
mendelegasikannya kepada aktor lain. Hal ini dikarenakan tumbuhnya
kesadaran bahwa kemampuan pemerintah semakin terbatas dari segi :
anggaran, sumber daya manusia, teknologi dan kapasitas manajemen untuk
dapat memecahkan urusan publik sendiri. Era demokrasi juga menuntut
pemerintah makin terbuka dan makin inklusif dalam memberikan ruang bagi Civil
Society Organizations (CSOs) dan sektor swasta untuk dapat terlibat dalam
implementasi suatu kebijakan (Purwanto dan Sulistyastuti, 2015). Dalam
paradigma governance, ada tiga aktor (Government, Private Sector, Civil
Society) yang berperan dalam pembangunan. Pemerintah mulai
mengikutsertakan aktor nonpemerintah (sektor swasta dan masyarakat madani)
dalam program pembangunan. Kapasitas ketiganya dibutuhkan untuk saling
melengkapi kapasitas aktor lain (Arrozaaq, 2016).
Penggunaan istilah governance sebagai suatu konsep yang berbeda
dengan government, mulai dipopulerkan secara efektif oleh Bank Dunia sejak
tahun 1989. Dalam sebuah laporan yang berjudul “Sub-Saharan Africa: From
Crisis to Sustainable Growth”, Bank Dunia (1989) mendefinisikan governance
sebagai “exercise of political power to manage nation” yaitu seperti latihan atau
praktek kekuatan politik untuk mengelola negara (htt).
12

Dalam laporan ini, Bank Dunia menekankan bahwa legitimasi politik dan
konsensus merupakan prasyarat bagi pembangunan berkelanjutan. Aktor yang
ada dalam sebuah Negara yaitu pemerintah, pebisnis dan civil society harus
bersinergi dalam membangun sebuah konsensus. Dengan demikian maka
peran negara tidak lagi bersifat regulatif, tetapi hanya sebatas fasilitatif. Oleh
karena itu, Abrahamsen dalam Wiratraman (tahun 2007) menjelaskan bahwa
legitimasi politik dan konsensus menjadi pilar utama bagi good governance versi
Bank Dunia ini hanya bisa dibangun dengan melibatkan aktor nonnegara yang
seluas-luasnya dan melimitasi keterlibatan negara atau pemerintah
(Wiratraman, 2007).
Sementara itu, The Commission on Global Governance mengartikan
governance sebagai “the sum of the many ways individuals and institutions,
public and private, manage their common affairs”, yaitu sejumlah cara atau jalan
bagi individu, lembaga, publik dan privat dalam mengelola urusan umum. Dalam
bahasa lain Weiss (Pratikno tahun 2007) mengatakan bahwa governance
merupakan proses yang berkelanjutan melalui mana perbedaan kepentingan
diakomodasi dan diwujudkan dalam praktek (Pratikno, 2007)
Governance merujuk kepada hubungan antara pemerintah/negara
dengan warganya sehingga memungkinkan berbagai kebijakan dan program
dapat dirumuskan, diimplementasikan, dan dievaluasi. Pergeseran government
ke governance dimaksudkan untuk mendemokratisasi administrasi publik.
Government menunjuk kepada institusi pemerintah terutama dalam kaitannya
dengan pembuatan kebijakan. Sementara itu, governance menunjuk kepada
keterlibatan Non Governmental Organization (NGO), kelompok-kelompok
kepentingan, dan masyarakat, disamping institusi pemerintah dalam
pengelolaan kepentingan umum, terutama dalam perumusan dan pelaksanaan
kebijakan publik. Berbagai kebijakan dan program diarahkan untuk memenuhi
kepentingan warga masyarakat dan dilakukan melalui tindakan kolektif dan
proses kolaboratif.
Governance menurut Kooiman (2007) sebagai sebuah konsepsi
tentang interaksi dalam memerintah, di mana interaksi itu sendiri merupakan
13

hubungan saling menguntungkan antara dua atau lebih aktor atau entitas
(Denok Kurniasih, 2017). Adapun menurut Kurniawan (2017) governance adalah
proses pembuatan kebijakan dimana kebijakan tersebut dilaksanakan
melibatkan negara (pemerintah), sektor privat maupun masyarakat madani
dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan. Menurut Stoker dalam
Kurniawan (2017) terdapat lima prosisi mengenai governance yaitu :
1. Governance merujuk kepada institusi dan aktor.
2. Governance mengindentifikasikan kaburnya batas-batas dan
tanggungjawab mengatasi isu sosial dan isu ekonomi.
3. Governance mengindentifikasikan adanya ketergantungan hubungan
antara institusi terlibat.
4. Governance adalah mengenai self-governing otonom dari
aktor-aktor.
5. Governance menyadarkan untuk memperbaiki sesuatu tidak perlu
bergantung kepada kekuasaan pemerintah melalui perintah dan
kewenangannya (Dewi, 2019)
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut governance dapat dilihat
sebagai proses pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh penyelenggara
pemerintah. Kebijakan yang ditetapkan membutuhkan kerjasama antar pihak
terkait yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan kolaborasi yaitu
meliputi pemerintah, swasta dan masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah
disepakati sebelumnya.

H. Collaborative Governance
1. Pengertian Collaborative Governance
Chris Ansell dan Alison Gash mendefinisikan collaborative
governance sebagai berikut: A governing arrangement where one or
more public agencies directly engage non-state stakeholders in a
collective decision-making process that is formal, consensus-oriented,
and deliberative and that aims to make or implement public policy or
manage public programs or assets (Chris Ansell, 2007). Ansell dan
14

Gash menyebutkan bahwa collaborative governance sebagai sebuah


strategi baru dalam tatakelola pemerintahan yang membuat beragam
pemangku kebijakan berkumpul di forum yang sama untuk membuat
sebuah konsensus bersama. Selanjutnya Ansell dan Gash
mendefinisikan collaborative governance sebagai sebuah aransemen
tata kelola pemerintahan yang mana satu atau lebih institusi publik
secara langsung melibatkan aktor nonpemerintahan dalam sebuah
proses pembuatan kebijakan kolektif yang bersifat formal, berorientasi
konsesus, dan konsultatif dengan tujuan untuk membuat atau
mengimplementasikan kebijakan publik, mengelola program atau asset
publik.
Berdasarkan definisi tersebut Chris Ansell (2007) menekankan
kriteria yang terdapat dalam collaborative governance, yaitu :
1. Forum tersebut diinisiasi oleh institusi publik.
2. Partisipan dalam forum tersebut mencakup aktor nonpemerintah.
3. Partisipan harus terlibat secara langsung dalam pembuatan
kebijakan dan tidak sekedar “berkonsultasi” dengan pihak
pemerintah.
4. Forum harus teroganisasi secara formal dan ada pertemuan secara
kolektif.
5. Forum bertujuan membuat keputusan yang diambil berdasarkan
konsesus.
6. Fokus kolaborasi pada kebijakan publik atau manajemen public.
Pada prinsipnya collaborative governance melibatkan aktor
state dan aktor non-state. Definisi yang disampaikan oleh Ansell dan
Gash memberikan gambaran akan adanya peran tertentu antar
lembaga/aktor. Ansell dan Gash lebih tertarik menggunakan istilah
badan atau lembaga secara umum, dengan niatan untuk menyertakan
lembaga-lembaga publik lainnya seperti birokrasi, pengadilan,
legislatif, dan badan-badan pemerintah lainnya baik di tingkat lokal,
negara bagian dan federal (Chris Ansell, 2007).
15

Menurut Agrawal dan Lemos (2007) collaborative governance


tidak hanya sebatas stakeholder yang terdiri dari pemerintah dan non
pemerintah, tetapi juga multipartner governance yang meliputi sektor
private, masyarakat komunitas sipil, dan terbangun atas sinergi peran
stakeholder dan penyusunan rencana yang bersifat hybrid seperti
kerjasama publik-privat dan privat sosial (Maulidya, 2019).
Charalabidis (2012) menjelaskan bahwa collaborative governance
muncul di era paradigma governance, dimana pada saat itu
masyarakat semakin berkembang sehingga pemerintah menghadapi
masalah yang lebih kompleks. Di sisi lain, pemerintah juga memiliki
keterbatasan waktu untuk mengatasi masalah tersebut sehingga
membutuhkan kolaborasi dengan aktor-aktor eksternal (Maulidya,
2019).
Beberapa ahli lain menggambarkan collaborative governance
sebagai interagency koordinasi sebagai pemerintahan kolaboratif.
Smith misalnya, berpendapat bahwa collaboratives divolve
direpresentasikan oleh kelompok-kelompok kunci kepentingan
(Smith, 1998). Adapun Connick dan Innes mendefinisikan kolaboratif
pemerintahan sebagai wakil-wakil dari semua kepentingan yang
relevan. Pihak-pihak yang berkepentingan dimaksud tidak hanya
berasal dari pemerintah, tetapi juga swasta serta warga yang memiliki
kepedulian terhadap suatu isu (Connick, 2003). Hal ini sebagaimana
dikatakan oleh Reilly yang menggambarkan upaya-upaya kolaboratif
sebagai jenis pemecahan masalah yang melibatkan instansi
pemerintah dan warga yang peduli (Reilly, 1998).
Selanjutnya collaborative governance menurut Jung (2009)
adalah sebagai proses pembentukan, mengemudikan, memfasilitasi,
mengoperasionalisasikan dan memonitor pengaturan organisasi lintas
sektoral dalam penyelesaian masalah kebijakan publik yang tidak dapat
diselesaikan hanya dengan satu organisasi atau publik sendiri (Denok
Kurniasih, 2017).
16

Collaborative governance juga dapat mengambarkan keadaan


saling ketergantungan antar aktor. Keinginan melakukan collaborative
governance muncul karena para aktor menyadari adanya keterbatasan
yang mereka miliki. Kemudian, aktor tersebut perlu menyatakan
keinginan dan kesedian mereka untuk menjalin hubungan yang lebih
erat dengan aktor lain. Tiap aktor yang terlibat perlu mengakui
legitimasi yang dimiliki oleh aktor lain. Setelah para aktor berkomitmen
untuk berkolaborasi, maka perlu dibangun rasa kepemilikan bersama
kepada terhadap setiap proses kolaborasi (Ansell, 2014).
Berdasarkan pendapat berbagai ahli dapat disimpulkan bahwa
Collaborative Governance merupakan proses dari struktur jejaring
multi- organisasi lintas sektoral (government, private sector, civil
society) yang membuat kesepakatan bersama, keputusan bersama,
pencapaian konsensus -melalui interaksi formal maupun informal-
pembuatan dan pengembangan norma-norma dalam interaksi yang
bersifat saling menguntungkan dalam mencapai tujuan bersama. Oleh
karena itu, di dalam kolaborasi interaksi yang muncul bersifat egaliter
yaitu seluruh aktor mempunyai kedudukan yang sama.

2. Tujuan Melaksanakan Collaborative Governance


Collaborative governance merupakan instrumen yang
digunakan untuk mengatasi suatu masalah. Collaborative governance
merupakan instrumen yang tepat untuk berkonfrontasi dengan
masalah, sebab collaborative governance menciptakan “kepemilikan
bersama” terhadap masalah tersebut. Berbagai aktor memiliki
perspektif yang berbeda dalam melihat suatu permasalahan. Bukan hal
yang mudah untuk menciptakan suatu kepahaman di antara peran
aktor tersebut. Collaborative governance berperan sebagai penengah
agar para aktor dapat merumuskan kesepahaman yang sama terhadap
suatu masalah (Ansell, 2014).
17

Collaborative governance merupakan suatu forum yang


digunakan untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Donahue dan
Zeckhauser collaborative governance merupakan kondisi yang mana
pemerintah untuk memenuhi tujuan publik melalui kolaborasi antar
organisasi maupun individu (Donahue, 2011). Hal senada juga
diungkapkan oleh Holzer et al., (2012: 349) yang menyatakan bahwa
collaborative governance adalah kondisi ketika pemerintah dan swasta
berupaya mencapai suatu tujuan bersama untuk masyarakat (Holzer,
2012).
Mengacu pada pendapat di atas maka tujuan dilaksanakan
collaborative governance adalah untuk mengatasi suatu masalah,
merumuskan kesepahaman yang sama terhadap suatu masalah oleh
aktor-aktor yang terlibat dalam forum tersebut, yang pada akhirnya
adalah untuk mencapai suatu tujuan bersama bagi masyarakat
(publik). Aktor-aktor yang terlibat dalam kolaborasi merupakan bagian
dari koalisi sosial yang dapat dibentuk secara informal dari penyatuan
koordinasi antar sektor atau lembaga, tanpa perlu membentuk
pelembagaan khusus namun bekerja sama dalam menyelesaikan
masalah-masalah publik. Aktor-aktor dalam koalisi sosial ini dapat
terdiri dari pemerintah (estate), bisnis (private), dan masyarakat (civil
society) yang saling bersinergi dalam mencapai tujuan bersama
(Suwarno & Sejati, 2016). Berikut ini bagan yang menggambarkan
sinergi antar aktor :

ESTATE

CIVIL
PRIVATE
SOCIETY

Gambar 1 : Model hubungan aktor dalam Collaborative Governance


18

3. Dimensi Dalam Collaborative Governance


Collaborative governance menurut Ansell dan Gash (2007)
terdiri dari empat variabel utama, yaitu kondisi awal (starting
conditions), desain kelembagaan (institutional design), kepemimpinan
(leadership), dan proses kolaboratif (collaborative process).

a. Kondisi Awal (Starting Conditions)


Pada tahap ini dibangun dasar-dasar kepercayaan, konflik,
dan modal sosial yang menjadi sumber daya selama kolaborasi.
Kondisi awal kolaborasi terdiri dari tidak seimbangnya sumber daya
atau tenaga antara berbagai stakeholder, insentif stakeholder
dalam berkolaborasi, sejarah masa lalu mengenai konflik ataupun
kerjasama antara stakeholder.
1) Ketidakseimbangan Sumber Daya/Tenaga (Power/Resource
Imbalances)
Ketidakseimbangan sumber daya/tenaga antara
stakeholder merupakan masalah yang umum terjadi dalam
collaborative governance. Jika beberapa stkaholder tidak
memiliki kapasitas, organisasi, status, atau sumber daya untuk
berpartisipasi atau berpartisipasi pada tingkat yang sama
dengan stakeholder lainnya, maka proses collaborative
governance akan rentan dimanipulasi oleh aktor yang lebih
kuat.
Masalah tidak seimbangnya sumber daya/energi bisa
terjadi karena stakeholder utama tidak memiliki infrastruktur
organisasi untuk dihadirkan dalam proses collaborative
governance, kelompok-kelompok stakeholder tidak
mempresentasikan setiap stakeholder secara kolektif,
beberapa stakeholder tidak memiliki keahlian dan pengalaman
untuk diikutsertakan dalam diskusi masalah-masaah teknis,
19

serta beberapa stakeholder tidak memiliki waktu, tenaga, dan


kebebasan dalam proses collaborative governance.
Menurut Ansell dan Gash jika terdapat
ketidakseimbangan sumber daya/tenaga yang besar antara
stakeholder, sehingga stakeholder utama tidak dapat
berpartisipasi secara maksimal, maka efektifitas collaborative
governance membutuhkan komitmen untuk membuat strategi
memberdayakan stakeholder yang lebih lemah.
2) Insentif Untuk Berpartisipasi (Incentives to Participate)
Dalam berpartisipasi perlu dipahami insentif-insentif
stakeholder yang terlibat dalam collaborative governance dan
faktor-faktor yang mempengaruhi insentif tersebut. Berbagai
studi menunjukan bahwa ketidakseimbangan tenaga dan
sumber daya akan mempengaruhi insentif kelompok untuk
berpartisipasi dalam proses kolaborasi.
Insentif untuk berpartisipasi tergantung pada harapan
para stakeholder apakah proses kolaborasi akan
menghasilkan manfaat terutama dengan keseimbangan waktu
dan tenaga yang dikeluarkan dalam kolaborasi. Insentif akan
meningkat jika para stakeholder melihat ada hubungan
langsung antara partisipasi mereka secara nyata dengan
efektifitas kebijakan yang dihasilkan. Insentif untuk
berpartisipasi dalam collaborative governance juga akan
meningkat jika para stakeholder melihat pencapaian tujuan
mereka tergantung pada kerja sama dengan stakeholder
lainnya. Insentif akan menurun jika stakeholder melihat
collaborative governance hanya berisi saran atau lebih banyak
seremonial saja.
20

3) Sejarah Konflik dan Kerja Sama (Prehistory of Antagonism and


Cooperation)
Dari berbagai literatur diketahui bahwa sejarah konflik
atau kerja sama antar stakeholder akan menghalangi atau
memfasilitasi kolaborasi. Ketika stakeholder saling
ketergantungannya tinggi, konflik tingkat tinggi mungkin akan
menciptakan insentif yang kuat untuk collaborative
governance. Dalam berbagai kasus buntunya kebijakan dapat
menciptakan dorongan yang kuat untuk collaborative
governance.
Sejarah konflik menciptakan kecurigaan, ketidak-
percayaan, dan stereotipe. Sebaliknya sejarah kesuksesan
kerja sama masa lalu dapat menciptakan modal sosial dan
kepercayaan tinggi yang dapat menghasilkan kolaborasi.
Ansell dan Gash menyatakan jika ada sejarah konflik antar
stakeholder, maka collaborative governance tidak akan
berhasil kecuali jika tingkat ketergantungan antar stakeholder
tinggi, dan diambil langkah membangun kepercayaan dan
modal sosial diantara para stakeholder.

b. Kepemimpinan Fasilitatif (Facilitative Leadership)


Kepemimpinan adalah faktor kunci untuk mengajak
berbagai kelompok mau berdiskusi dan mengarahkan mereka
dalam proses kolaborasi. Walaupun mungkin dapat dilakukan
negosiasi, tetapi studi menunjukan bahwa kepemimpinan yang
fasilitatif diperlukan untuk membawa stakeholder secara bersama-
sama dan mendapatkan mereka untuk terlibat satu sama lain
dalam semangat kolaborasi. Kepemimpinan adalah faktor kunci
dalam membuat dan memelihara aturan-aturan dasar yang jelas,
membangun kepercayaan, memfasilitasi dialog, dan menggali
keuntungan bersama. Kepemimpinan diperlukan untuk merangkul,
21

memberdayakan, dan melibatkan para stakeholder serta


menggerakan mereka dalam kolaborasi.
Efektifitas pemimpin yang kolaboratif ditentukan oleh
kemampuan mengelola proses kolaborasi, memelihara kredibilitas,
dan memastikan bahwa kolaborasi adalah untuk memberdayakan,
membuat keputusan yang kredibel dan meyakinkan dan diterima
oleh semua pihak. Pemimpin kolaboratif harus memiliki
kemampuan untuk mendorong partisipasi yang aktif dan luas,
memiliki kontrol dan pengaruh yang luas, memfasilitasi
produktifitas kelompok secara dinamis, dan dapat memperluas
ruang lingkup proses. Kesuksesan kolaborasi memerlukan
berbagai pemimpin baik formal maupun informal tidak hanya
bertumpu pada satu orang pemimpin. Efektifitas pemimpin yang
kolaboratif memerlukan waktu, sumber daya dan kemampuan
yang intensif.
Kepemimpinan juga diperlukan untuk memberdayakan dan
menghadirkan stkaholder yang lebih lemah. Ketika insentif untuk
berpartisipasi lemah, tenaga dan sumber daya tidak terdistribusi
secara merata, dan konflik sangat tinggi, maka kepemimpinan
menjadi lebih diperlukan lagi. Menurut Ansell dan Gash ketika
konflik tinggi dan kepercayaan rendah, tetapi distribusi kekuatan
relatif sama dan stakeholder memiliki insentif untuk berpartisipasi,
maka collaborative governance akan berjalan sukses dengan
mengandalkan pada mediator profesional yang dipercaya oleh
para stakeholder collaborative process. Dilain pihak, ketika
keuatan tidak terdistribusi, insentif untuk berpartisipasi lemah,
maka collaborative governance akan berhasil jika ada pemimpin
yang kuat dan memberi komando berbagai stakeholder pada
proses kolaborasi. Pemimpin “organic” ini muncul dari dalam
komunitas stakeholder sendiri.
22

c. Desain Kelembagaan (Institutional Design)


Desain kelembagaan adalah protokol dan ketentuan dasar
mengenai kolaborasi yang akan melegitimasi proses kolaborasi.
Akses terhadap proses kolaborasi merupakan isu desain yang
paling mendasar dimana proses tersebut harus terbuka dan inklusif
karena hanya kelompok-kelompok yang merasa memiliki legitimasi
mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi mengembangkan
komitmen untuk diproses. Kondisi pertama suksesnya kolaborasi
adalah inklusif seluruh stakeholder yang peduli terhadap isu.
Seperti diketahui stakeholder tidak memiliki insentif untuk
berpartisipasi jika mereka melihat ada alternatif forum lain untuk
mewujudkan agenda mereka. Adanya alternatif forum dapat
menunjukan prakondisi yang negatif unutk kolaborasi yang efektif.
Ketika alternatif forum muncul untuk resolusi, secara teori dapat
dikatakan bahwa kolaborasi metode resolusi tidak optimal.
Aturan dasar dan proses transparansi yang jelas
merupakan gambaran desain yang penting. Keduanya dapat
dipahami sebagai prosedur legitimasi dan membangun
kepercayaan. Legitimasi proses tergantung pada persepsi
stakeholder bahwa mereka mendapat dengar pendapat yang adil.
Jelas dan konsisten dalam menerapkan aturan meyakinkan
kembali stakeholder bahwa proses berjalan adil, sederajat (sama)
dan terbuka. Proses transparan berarti stakeholder percaya bahwa
negosiasi publik nyata dan proses kolaborasi tidak berdasarkan
keinginan individu.
Ketentuan mengenai konsensus adalah penting.
Collaborative governance didefinisikan berorientasi pada
konsensus meskipun tidak selalu konsensus dapat dicapai. Isunya
adalah seluruh keputusan kolaborasi seharusnya secara formal
membutuhkan konsensus.
23

Isu akhir desain kelembagaan adalah adanya jangka waktu


untuk membatasi ruang lingkup diskusi, ada jadwalnya, dan
realistik ketika dipergunakan.

d. Proses Kolaborasi
Proses collaborative governance terkadang digambarkan
sebagai tahapan perkembangan. Menurut Ansell dan Gash proses
kolaborasi terdiri dari dialog face to face (face to face dialogue),
membangun kepercayaan (trust building), komitmen terhadap
proses (commitment to the process), pemahaman bersama
(shared understanding), dan hasil antara (intermediate outcomes).

4. Proses Kolaborasi Dalam Collaborative Governance


Proses kolaborasi merupakan inti dari model collaborative
governance Ansell dan Gash yang berjalan secara iteratif (nonlinear)
seperti lingkaran (cycle). Kolaborasi sering dipandang tergantung pada
pencapaian antara komunikasi, kepercayaan, komitmen, pemahaman,
dan hasil yang secara iteratif penting di semua tahap kolaborasi.
Meskipun proses kolaborasi sulit untuk direpresentasikan karena
bersifat nonlinear, namun karena komunikasi merupakan inti dari
kolaborasi, maka proses kolaborasi dimulai dari dialog face-to-face.

a. Dialog Face-to-Face (Face-to-Face Dialogue)


Seluruh collaborative governance dibangun berdasarkan
dialog face-to-face antar stakeholder. Dialog face-to-face lebih dari
media negosiasi, tetapi merupakan inti dari proses memecah
stereotipe dan halangan lainnya, serta inti dari proses membangun
kepecayaan, saling menghormati, pemahaman bersama, dan
komitmen terhadap proses.
24

b. Membangun Kepercayaan (Trust Building)


Tidak adanya kepercayaan antar stakeholder merupakan
awal yang biasa terjadi dalam collaborative governance. Proses
kolaborasi tidak hanya negosiasi tetapi juga mengenai membangun
kepercayaan antar stakeholder. Seringkali ditemukan membangun
kepercayaan merupakan aspek utama pada awal proses kolaborasi
dan cukup sulit untuk ditangani.
Membangun kepercayaan merupakan proses yang
membutuhkan waktu dan memerlukan komitmen jangka panjang
untuk mendapatkan hasil kolaborasi. Menurut Ansell dan Gash jika
dalam sejarahnya ada konflik yang besar, maka para pembuat
kebijakan atau stakeholder akan memerlukan waktu untuk
membangun kembali kepercayaan tersebut secara efektif. Jika
mereka tidak dapat menilai berapa waktu dan ongkos yang
diperlukan maka strategi kolaborasi tidak dapat dimulai.

c. Komitmen Terhadap Proses (Commitment to the Process)


Tingkat komitmen stakeholder terhadap kolaborasi
merupakan variabel penting dalam menjelaskan berhasil tidaknya
kolaborasi. Komitmen yang lemah dari lembaga publik untuk
berkolaborasi khususnya pada tingkat kantor pusat seringkali dilihat
sebagai masalah khusus.
Komitmen erat hubungannya dengan motivasi untuk
berpartisipasi dalam collaborative governance. Komitmen juga
merupakan dilema karena komitmen dalam proses kolaborasi
memerlukan keinginan kuat untuk tetap mendukung kebijakan yang
dihasilkan meskipun stakeholder lainnya tidak sepenuhnya
mendukung kebijakan tersebut. Dasar collaborative governance
yang berorientasi pada konsensus secara signifikan mengurangi
risiko para stakeholder. Komitmen tergantung pada kepercayaan
stakeholder lainnya dalam menghargai pandangan dan
25

keinginanmu. Bagaimana prosedur transparan, adil, dan jelas


adalah hal utama dalam komitmen.
Komitmen terkadang disebut sebagai kepemilikan terhadap
proses. Collaborative governance merubah kepemilikan membuat
keputusan dari lembaga ke para stakeholder secara kolektif. Hal ini
menimbulkan dilema karena stakeholder menjadi tidak kritis
terhadap proses, mengingat mereka sekarang sebagai pemilik
pembuatan keputusan yang diproses secara kolektif dengan
stakeholder lainnya.
Kepemilikan keputusan berimplikasi pada tanggung jawab
bersama terhadap proses. Tanggung jawab ini membuat
stakeholder melihat hubungan mereka dengan stakeholder lainnya
dalam pandangan yang baru, yaitu mereka bertanggung jawab
bersama dengan lawannya.

d. Pemahaman Bersama (Shared Understanding)


Dalam proses kolaborasi stakeholder harus membangun
pemahaman bersama mengenai apa yang mereka dapat dicapai
bersama secara kolektif. Membangun pemahaman bersama dapat
dilihat sebagai bagian dari proses pembelajaran kolaborasi yang
lebih besar.

e. Hasil Antara (Intermediate Outcomes)


Dari beberapa studi menunjukan bahwa kolaborasi terjadi
ketika tujuan dan keuntungan kolaborasi relatif konkrit dan ketika
“kemenangan kecil” dari kolaborasi adalah memungkinkan. Hasil
antara merupakan proses hasil yang kritis dan esensial untuk
membangun momentum menuju kolaborasi yang sukses.
Kemenangan kecil dapat sebagai umpan balik terhadap proses
kolaborasi, mendorong iterasi membangun kepercayaan dan
komitmen. Menurut Ansell dan Gash jika konflik tinggi dan komitmen
26

jangka panjang untuk membangun kepercayaan diperlukan, maka


hasil antara yang menghasilkan kemenangan kecil menjadi krusial.
Jika dalam kondisi ini stakeholder atau pembuat kebijakan tidak
dapat mengantisipasi kemenangan kecil ini, maka kemungkinan
mereka tidak akan dapat memulai kolaborasi.
Untuk dapat mengetahui model Collaborative Governance dari
Chris Ansell dan Alison Gash dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar Model Collaborative Governance (Chris Ansell, 2007).

I. Latihan
1. Jelaskan definisi, tujuan dan manfaat dari kolaborasi?
2. Jelaskan apa yang anda pahami tentang Collaborative Gonernance ?
27

3. Sebutkan dan jelaskan peran masing-masing komponen (pihak) yang


dapat terlibat dalam kolaborasi !
4. Jelaskan bagaimanakan proses kolaborasi dalam collaborative
governance?

J. Rangkuman
1. Kolaborasi adalah hubungan antar organisasi yang saling berpartisipasi
dan saling menyetujui untuk bersama mencapai tujuan, berbagi informasi,
berbagi sumberdaya, berbagi manfaat, dan bertanggungjawab dalam
pengambilan keputusan bersama untuk menyelesaikan berbagai
masalah.
2. Pihak-pihak yang menjadi entitas dalam berkolaborasi terdiri dari
government, civil society, dan private sector.
3. Paradigma manajemen publik mengalami pergeseran dari Old Public
Administration (OPA) berkembang menjadi New Public Management
(NPM) dan kemudian menjadi New Public Service (NPS) yang lebih
menekankan pada aspek kualitas pelayanan publik dengan
mengutamakan hasil akhir (outcome) yang berguna bagi masyarakat..
4. Governance adalah sejumlah cara atau jalan bagi individu, lembaga,
publik dan privat dalam mengelola urusan umum (The Commission on
Global Governance).
5. Collaborative governance adalah tata kelola pemerintahan yang
melibatkan aktor nonpemerintahan dalam sebuah proses pembuatan
kebijakan kolektif yang bersifat formal, berorientasi konsesus, dan
konsultatif dengan tujuan untuk membuat atau mengimplementasikan
kebijakan publik, mengelola program atau asset publik.
6. Collaborative governance terdiri dari empat variabel utama, yaitu kondisi
awal (starting conditions), desain kelembagaan (institutional design),
kepemimpinan (leadership), dan proses kolaboratif (collaborative
process).
BAB III
KONSEP JAKARTA SEBAGAI KOTA KOLABORASI (CITY 4.0)

A. Perkembangan Jakarta sebagai Kota Kolaborasi


Kota Jakarta termasuk salah satu kota terbesar dan terpadat di Indonesia
dengan penduduk lebih dari 10 juta orang pada tahun 2019. kondisi ini
berpotensi mendorong kegiatan ekonomi kota Jakarta tumbuh pesat. Meskipun
demikian, tantangan permasalahan kota Jakarta sangat kompleks yaitu tingginya
masalah kemiskinan, akses publik yang tidak merata, perkonomian,
pengembangan kota, dan kualitas warganya yang belum cukup baik untuk
menghadapi tantangan di masa depan. Oleh karena itu, Jakarta menetapkan
komitmen untuk memperbaharui struktur perkotaan yang disebut "Jakarta City
Regeneration", yang meliputi pembaharuan paradigma, fisik, dan sosial budaya.
Jakarta City Regeneration menggunakan model Kota 4.0, yang mana warga
sebagai co-creator dan pemerintah sebagai kolaborator.
Kota 4.0 yang ditandai dengan kolaborasi lahir dari evolusi yang diawali
dengan Jakarta 1.0 dimana peran pemerintah (state actor) hanya
sebagai administrator, sedangkan masyarakat (civil society) hanya sebagai
penghuni. Tahap Jakarta 2.0 ditandai dengan peran pemerintah sebagai
penyedia jasa/layanan, sedangkan masyarakat sebagai konsumen. Selanjutnya
pada tahap Jakarta 3.0 pemerintah berperan sebagai fasilitator, sedangkan
masyarakat sebagai partisipan. Tahap akhir adalah Jakarta 4.0 yaitu terjadinya
perubahan besar dimana pemerintah berperan sebagai kolaborator dan peran
masyarakat yang berkembang menjadi co-creator.
Perkembangan kota kolaborasi ditentukan oleh empat aspek penting
yang mendukung perkembangan interaksi antara pemerintah dengan
masyarakat yaitu sosialisasi, konsultasi, partisipasi dan kolaborasi. Keempat
aspek inilah yang akan mempengaruhi pembangunan dan evolusi dari sebuah
kota. Sangat ditekankan mengenai perlunya sebuah kolaborasi antar pemerintah
dan masyarakat sehingga akan terwujudnya pengidentifikasian masalah
bersama untuk menghasilkan hasil yang setara dan memuaskan semua pihak.

28
29

Perkembangan kota pada tahap Jakarta 1.0 ditandai oleh interaksi antara
pemerintah dengan masyarakat berlangsung satu arah dalam bentuk sosialisasi
dimana pemerintah berperan sebagai administrator sedangkan masyarakat
hanya sebagai penghuni. Peran pemerintah pada tahap ini sangat dominan
dibandingkan aktor lainnya. Pada tahap ini pemerintah menjadi penyedia tunggal
fasilitas bagi warganya dan arah pemberian informasi bersifat satu arah dan
terbatas.
Tahap berikutnya Jakarta 2.0 ditandai oleh interaksi antara pemerintah
dengan masyarakat berlangsung dua arah dalam bentuk konsultasi dimana
pemerintah berperan sebagai penyedia jasa/layanan, sedangkan masyarakat
sebagai konsumen. Pada tahap ini peran masyarakat dan private sector mulai
meluas dan memiliki akses untuk memberikan feedback dalam perumusan
maupun evaluasi kebijakan pemerintah melalui dengar pendapat, musrenbang,
dan sebagainya.
Selanjutnya tahap Jakarta 3.0 ditandai oleh interaksi antara pemerintah
dengan masyarakat berlangsung partisipatif dimana pemerintah berperan
sebagai fasilitator sedangkan masyarakat dan private sector sebagai partisipan.
Pada tahap ini peran masyarakat dan private sector mulai lebih luas dan
dilibatkan untuk memberikan masukan dalam perumusan maupun evaluasi
kebijakan pemerintah melalui musrenbang dan berbagai forum diskusi
kebijakan.
Pada tahap akhir Jakarta 4.0 bentuk interaksi antara pemerintah dengan
masyarakat berlangsung secara kolaboratif dimana pemerintah berperan
sebagai kolaborator sedangkan masyarakat sebagai co-creator. Peran
masyarakat dan private sector lebih dominan dibandingkan pemerintah dalam
pengelolaan sektor publik.

B. Fenomena Jakarta sebagai Kota Kolaborasi


Collaborative Governance merupakan sebuah konsep berpemerintahan
yang mendorong nilai-nilai transparansi, partisipasi, responsif, dan kolaborasi
antara negara, masyarakat sipil, dan pihak swasta. Melalui konsep pemerintahan

29
30

tersebut, warga dapat memonitor dan mempengaruhi proses pembuatan


kebijakan publik. Titik tekannya ialah adanya pemerintahan yang terbuka dan
adanya keaktifan dari warga negara. Keterbukaan dari pemerintah dapat
diupayakan dengan membuka data pemerintah kepada publik. Mulai dari data
terkait APBD, RT/RW, dan data-data pemerintah lainnya yang dibutuhkan oleh
masyarakat.
Pembangunan Jakarta membutuhkan banyak sumber daya tidak bisa
semuanya ditangani oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tetapi memerlukan
Collaborative Governance untuk mengatasi berbagai masalah yang ada baik
mulai dari aspek perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengoperasian
dan pemeliharaan, serta pengendalian pembangunan.
Membangun kota yang lebih baik dengan lebih banyak pihak antara
pemerintah, masyarakat, dan private sektor yang terlibat dalam Collaborative
Governance, jelas memerlukan pergeseran pola pikir dalam bekerjanya., seperti
yang tadinya bekerja secara silo dan kompetensi antar aktor menjadi bekerja
secara bersama melalui kolaborasi, program kerja yang tadinya diturunkan dari
tugas pokok dan fungsinya menjadi pola bekerja yang berdasarkan gagasan,
narasi, dan karya, yang tadinya fokus hanya mengelola APBD menjadi
bagaimana mengelola perkonomian Jakarta secara keseluruhan, serta bila
tadinya tanpa APBD maka permasalahan pembangunan tidak bisa ditangani
menjadi sekarang tanpa APBD masalah pembangunan dapat ditangani melalui
kolaborasi bersama stakeholder terkait.
Berbagai upaya yang dilakukan untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota
kolaborasi, antara lain :
1. Dibentuknya Jaringan Kolaborasi Pembangunan Jakarta (Jakarta
Development Collaboration Network). JDCN adalah forum yang dibentuk
oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarata untuk melaksanakan pembangunan
Provinsi DKI Jakarta melalui paradigma dan sistem kolaborasi dan ko-
kreasi bersama unsur di luar Pemerintah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta. (Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor
24 Tahun 2020 Tentang Jaringan Kolaborasi Pembangunan Jakarta (Jakarta
31

Development Collaboration Network). JDCN sebagai inti orkestrator


kolaborasi pembangunan mempunyai misi mengoptimalkan pertemuan
antara pemilik sumber daya dengan yang membutuhkan, melalui interaksi
yang seamless, transparan, dan terpadu.
2. Diterbitkannya Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor
54 Tahun 2020 Tentang Budaya Kerja untuk meningkatkan kinerja serta
kualitas pelayanan publik guna mendukung percepatan pelaksanaan
reformasi birokrasi.
Budaya Kerja adalah sikap serta perilaku individu dan kelompok yang
didasari atas nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta
kebiasaan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan masing-masing, yaitu.
berintegritas; kolaboratif; akuntabel, inovatif; dan berkeadilan
Kolaborasi telah dilaksanakan lama oleh Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta, beberapa pencapaian kolaborasi yang telah dilakukan oleh antara lain
e-Musrenbang, e-Budgeting, laporan dan aduan warga untuk kota Jakarta
melalui Citizen Relation Management (CRM), hibah Waste Water Treatment
Plant (WWTP) Sudirman, grant studi Bus Rapid Transit (BRT) di Jakarta,
pendataan dasawisma secara aktual dari dan untuk warga, membangun
kampung & taman bersama warga, Christmas Carol Thamrin Street pada Bulan
Desember Tahun 2019, Kolaborasi Sosial Berskala Besar (KSBB) pada tahun
2020, Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS) yang disediakan
melalui swakelola tipe 4, serta Sekolah Kolaborasi.

C. Latihan
1. Apa ciri utama dari model kota 4.0?
2. Mengapa Jakarta memutuskan untuk menerapkan prinsip collaborative
governance dalam pengelolaan pembangunan?
3. Apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam
penerapan prinsip collaborative governance?
32

D. Rangkuman
1. Jakarta menetapkan komitmen untuk memperbaharui struktur perkotaan
yang disebut "Jakarta City Regeneration". Konsep ini meliputi
pembaharuan paradigma, fisik, dan sosial budaya. Jakarta City
Regeneration menggunakan model Kota 4.0, yang mana warga berperan
sebagai co-creator dan pemerintah sebagai kolaborator.
2. Pembangunan Jakarta membutuhkan banyak sumber daya dan tidak bisa
semuanya ditangani oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Untuk itu
diperlukan penerapan Collaborative Governance dalam mengatasi
berbagai masalah yang ada baik mulai dari aspek perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengoperasian dan pemeliharaan, serta
pengendalian pembangunan.
3. Upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalama
menerapkan Collaborative Governance antara lain: pembentukan Jakarta
Development Collaboration Network (JDCN) yang berperan sebagai
orkestrator kolaborasi pembangunan ; menerbitkan Peraturan Gubernur
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 54 Tahun 2020 Tentang Budaya
Kerja untuk meningkatkan kinerja serta kualitas pelayanan publik guna
mendukung percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi.
BAB IV
NILAI-NILAI DASAR KOLABORASI

A. Nilai-nilai Dasar
Ada sejumlah nilai yang menjadi dasar dalam melakukan kolaborasi. Nilai
(value) tersebut harus menjadi pegangan bagi kolaborator sehingga apa yang
menjadi tujuan bersama dapat tercapai. Menurut Djumara (2008) terdapat tujuh
nilai dasar (The seven core values) yang digunakan untuk mengembangkan
hubungan kerja dengan konsep kolaborasi, yaitu;
1. Menghormati orang lain (Respect for people).
Landasan utama dari setiap organisasi adalah kepuasan masing-masing
individu. Setiap orang yang akan berkolaborasi menginginkan posisi yang
kuat dan adanya kesamaan. Mereka menginginkan kepuasan pribadi yang
tinggi dan atau lingkungan kerja yang mendukung dan mendorong kepuasan
terhadap dirinya.
2. Penghargaan dan integritas rnemberikan pengakuan, etos kerja (Honor and
integrity). Dalam banyak budaya, kehormatan dan integritas membentuk
perilaku individu.
3. Rasa memiliki dan bersekutu (Ownership and alignment).
Ketika semua pegawai merasa memiliki tempat kerjanya, pekerjaan dan
perusahaannya maka mereka akan memeliharanya dengan baik.
4. Konsensus (Consensus).
Ini adalah kesepakatan umum bahwa kegunaan yang amat besar adalah
hubungan kerja yang dilandasi oleh keinginan untuk menang-menang (win-
win amounts to).
5. Penuh rasa tanggung jawab dan tanggung-gugat (Full responsibility and
Accountability).
Dalam paradigma hirarki biasanya orang menjadi tertutup satu dengan yang
lainnya, karena uraian pekerjaannya, karena tugas-tugasnya dan karena unit
organisasinya. Faktanya setiap orang hanya akan bertanggung jawab pada
daftar tugas pekerjaannya saja.

33
34

6. Hubungan saling mempercayai (Trust-based Relationship).


Semua orang menginginkan adanya kepercayaan dan keterbukaan dalam
bekerja. Pada prinsipnya mereka juga ingin dipercaya. Akan tetapi
kepercayaan tidak datang dengan mudahnya. Pada kenyataannya, banyak
di antara mereka antara satu dengan yang lainya kurang saling
mempercayai. Inilah yang menyulitkan dalam suatu organisasi.
7. Pengakuan dan pertumbuhan (Recognition and Growth).
Hal yang tidak kalah penting dalam tempat kerja yang kolaboratif adalah
adanya upaya mendorong orang untuk mau bekerja, dan segera memberi
pengakuan terhadap hasil kerja seseorang bagi semua anggota tim atau
kelompok.
Menurut Nasrulhaq (2020) ada empat nilai dasar yakni: 1) Orientasi
konsensus, poin ini menjelaskan tujuan collaborative governance; 2)
Kepemimpinan kolektif, poin ini menjelaskan bentuk struktur kelembagaan
collaborative governance; 3) Komunikasi multi arah, poin ini menjelaskan
interaksi antar aktor dalam proses collaborative governance; 4) Berbagi sumber
daya, poin ini menjelaskan proses yang terjadi selama aksi collaborative
governance.

B. Internalisasi Nilai-Nilai Dasar Kolaborasi


Kolaborasi yang dibangun berlandaskan kesamaan tujuan, kesamaan
persepsi, kemauan untuk berproses, saling memberikan manfaat, serta
kejujuran akan melahirkan nilai-nilai dasar yang penting bagi keberlangsungan
pembangunan kualitas sumber daya manusia.
Nilai-nilai Dasar Kolaborasi dapat ditemukan pada kegiatan-kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan banyak stakeholder dan
berdampak langsung pada penyelesaian masalah pelayanan publik, sebagai
contoh adalah Kegiatan Sosial Berskala Besar (KSBB), Pasar Keliling berkonsep
piknik, perumahan pendudukan di kawasan jembatan laying tapal kuda Lenteng
Agung, dan sebagainya.
35

Kegiatan Sosial Berskala Besar (KSBB) merupakan wujud nyata


Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengimplementasikan Collaborative
Governance sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan sosial yang timbul
akibat pandemi Covid-19 pada tahun 2020. Pemerintah selaku kolaborator
sekaligus estate sector menggandeng private sector dari kalangan
kelompok/perusahaan maupun perseorangan yang berkomitmen untuk
memberikan donasi, dan bermitra dengan lembaga-lembaga swadaya sebagai
civil society atau masyarakat dalam menngumpulkan dan mendistribusi bantuan
social bagi masyarakat yang terdampak pandemik Covid-19 di wilayah Provinsi
DKI Jakarta. Berikut ini merupakan gambaran kasus KSBB yang telah
dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai salah satu bentuk
kolaborasi :
Jakarta, CNN Indonesia --
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggelar program Kolaborasi Sosial Berskala Besar
(KSBB). Program tersebut merupakan inisiatif Pemprov yang menyadari bahwa
dibutuhkan kerja sama berbagai pihak untuk menghadapi pandemi Covid-19.
Lewat KSBB, Pemprov DKI mengajak masyarakat untuk saling menguatkan dan
meringankan beban. Warga yang ingin berbagi akan dipertemukan dengan yang
membutuhkan bantuan. Terlebih, pandemi berdampak besar terhadap sektor
kesehatan dan ekonomi.
"Jadi melalui program ini, masyarakat yang ingin membantu difasilitasi agar
bantuannya diterima masyarakat [yang membutuhkan]," kata Kepala Biro Kerja Sama
Daerah Provinsi DKI Jakarta, Andhika Permata.
Ia menjelaskan, program KSBB dirancang untuk memudahkan donatur mencari calon
penerima bantuan melalui data terbuka yang disediakan Pemprov DKI di situs
corona.jakarta.go.id. Sehingga selain tepat sasaran, bantuan juga tidak tumpang tindih.
Selain itu, kata Andhika, data bantuan yang dapat diakses publik akan membantu
pemerataan distribusi. Saat ini, Pemprov DKI telah merancang empat program KSBB,
yakni KSBB Pangan, KSBB UMKM, KSBB Pendidikan, dan KSBB Penataan
Pemukiman.
KSBB Pangan sendiri telah dimulai sejak bulan April lalu. Donatur dapat memberi
bantuan berupa sembako, makanan siap saji, paket Lebaran, dan paket THR. Andhika
menegaskan, kriteria penerima bantuan tak berbeda dari krieria penerima bansos dari
DKI selama PSBB.
Untuk KSBB UMKM, Pemprov DKI memfasilitasi pelatihan, prasarana, hingga
permodalan. Tujuannya, agar para pelaku UMKM dapat kembali beraktivitas, dan
mampu bertahan di tengah pandemi lewat pelatihan yang disampaikan
secara online dan offline.
36

Melalui kasus tersebut di atas dapat diambil pembelajaran tentang


pentingnya nilai kepedulian terhadap orang lain (respect for people), nilai rasa
memiliki (ownership), nilai pengakuan, membangun rasa saling percaya (trust),
kesepakatan (consensus), dan rasa tanggung jawab (full responsibility).
37

LEMBAR KERJA

LK 01 : LEARNING JOURNAL
Petunjuk :
1. Bacalah modul dengan cermat
2. Buatlah learning journal secara perorangan dengan rambu-rambu sebagai
berikut :
LEARNING JOURNAL

Nama : …………………………….
No. Daftar Hadir : …………………………….
Jabatan : …………………………….
Unit Kerja : …………………………….

a. Pengalaman belajar :
(tuliskan pengalaman saudara dalam mempelajari materi ini, apa
motivasinya, bagaimana memulainya, bagaimana memahaminya, apa
yang saudara rasakan dan pikirkan setelah mempelajarinya)
b. Materi yang telah dipahami :
(buatlah resume materi yang sudah saudara pahami)
c. Materi yang belum dipahami :
(tuliskan topik-topik yang belum dipahami dan jelaskan kendala-
kendalanya)
d. Upaya untuk mengatasi kendala :
(tuliskan upaya yang saudara lakukan untuk mengatasi kendala tsb)
e. Upaya pengayaan :
(tuliskan upaya untuk menambah pengetahuan dan pemahaman melalui
sumber lain, sebutkan)
3. Dikumpulkan kepada penyelenggara secara kolektif paling lambat hari ini
pukul 23.59 WIB.
38

LK 02 : STUDI KASUS
Petunjuk :
1. Kerjakan secara kelompok
2. Baca dan cermati lah kasus berikut (pilih salah satu) atau silakan temukan
kasus yang lain.:
a. Kolaborasi dengan Pemprov DKI, Go-Tix Promosikan Wisata Jakarta - Katadata.co.id
b. DKI Gelar Pasar Keliling Berkonsep Piknik di Lapangan Banteng (sindonews.com)
3. Deskripsikan hal-hal berikut :
1) Identifikasi Aktor-aktor yang terlibat dan peran masing-masing
2) Identifikasi nilai-nilai kolaborasi
3) Mengapa kolaborasi ini dilakukan
4) Dampak apa yang dapat dirasakan dari kolaborasi ini
5) Tindakan apa yang akan saudara lakukan jika dilibatkan dalam
kolaborasi.
4. Buatlah bahan tayang untuk paparan
5. Masing-masing kelompok memaparkan hasil analisanya.

C. Latihan
1. Jelaskan nilai kolaborasi yang terkait dengan kepuasan diri !
2. Jelaskan nilai kolaborasi Recognition and Growth !
3. Kolaborasi Sosial Berskala Besar adalah inisiatif Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta, mengapa pemerintah melakukan langkah tersebut ?

D. Rangkuman
Terdapat tujuh nilai dasar (The seven core values) yang digunakan untuk
mengembangkan hubungan kerja dengan konsep kolaborasi, yaitu : 1) Respect
for people; 2) Honor and integrity; 3) Ownership and alignment; 4) Consensus;
5) Full responsibility and Accountability; 6) Trust-based Relationship; 7)
Recognition and Growth.
Kolaborasi Sosial Berskala Besar merupakan salah satu implementasi
kolaborasi dalam bentuk kerjasama yang melibatkan pihak pemerintah,
39

masyarakat, dan donatur dalam mengatasi masalah pelayanan masyarakat yang


tidak dapat ditangani sendiri oleh pemerintah, baik dari aspek pembiayaan
maupun pengelolaan. KSBB ini dilaksanakan dalam berbagai sector, yakni
KSBB Pangan, KSBB UMKM, KSBB Pendidikan, dan KSBB Penataan
Pemukiman.
DAFTAR PUSTAKA

(n.d.).http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/21630/BAB%20II
%20KERANGKA%20TEORITIS.pdf?sequence=2&isAllowed=y
Andrew B. Whitford, S.-Y. L. (2010). Collaborative Behavior And The
Performance Of Government Agencies. International Public Management
Journal.
Ansell, C. (2014). Pragmatist Democracy: Evolutionary Learning as Public
Philosophy. New York: Oxford University Press, Inc.
Arrozaaq, D. L. (2016). Collaborative Governance (Studi Tentang Kolaborasi
Antar Stakeholders Dalam Pengembangan Kawasan Minapolitan di
Kabupaten Sidoarjo).
Carpenter, M. A. (2009). Stategic Management: A Dynamic Prespective. New
Jersey: Pearson Printice Hall.
Chris Ansell, A. G. (2007). Collaborative Governance in Theory and Practice.
Journal of Public Administration Research and Theory.
Connick, S. a. (2003). Outcomes of collaborative water policy making: Applying
complexity thinking to evaluation. ournal of Environmental Planning and
Management.
Denok Kurniasih, P. I. (2017). Collaborative Governance Dalam Penguatan
Kelembagaan Program Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat
(SLBM) Di Kabupaten Banyumas. Sosiohumaniora, Volume 19 No. 1.
Dewi, N. L. (2019). Dinamika Collaborative Governance Dalam Studi Kebijakan
Publik. Jurnal Ilmiah Dinamika Sosial Vol 3, No. 2.
Djumara, N. (2008). Negosiasi, Kolaborasi dan Jejaring Kerja. Jakarta: LAN RI.
Donahue, J. D. (2011). Collaborative Governance: provate roles for public goals
in turbulent times. New Jersey: Princenton University Press.
Fatwadi, M. (2015). Koordinasi Dan Kolaborasi. Jakarta: LAN RI.
Fawwaz Aldi Tilano, S. S. (2019). (Collaborative Governance Dalam Upaya
Keselamatan Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Di Kota Semarang .
Fendt, T. C. (2010). Introducting Electronic Suplly Chain Collaboration in China:
Evidence from Manufacturing Industries. . Berlin: Universitatsverlag der
Technischen Universitat Berlin.

40
41

Holzer, M. (2012). An Analysis of Collaborative Governance Models the Context


of Shared Services. In H. K. Lauer Schachter, The State of Citizen
Participation in America. Charlotte: Information Age Publishing.
Maulidya, N. M. (2019). Diskontinuitas Kota Kreatif Pekalongan Dalam Perspektif
Collaborative Governance.
Pearson. (2011). Collaborations: A Literature Review.
Pratikno. (2007). Governance dan Krisis Teori Organisasi. Jurnal Administrasi
KebijakanPublik MAP UGM.
Reilly, T. (1998). Communities in conflict: Resolving differences through
collaborative efforts in environmental planning and human service
delivery. Journal of Sociology and Welfare.
Smith, S. (1998). Collaborative approaches to Pacific Northwest fisheries
management: The salmon experience. Willamette Journal of International
Law and Dispute Resolution.
Suwarno, Y., & Sejati, T. A. (2016). Whole Of Governance . Jakarta: Lembaga
Administrasi Negara.
Wiratraman, R. H. (2007). Good governance and legal reform in Indonesia.
Office of Human Rights Studies and Social Development, Mahidol
University.

Anda mungkin juga menyukai