Tugas
pada.Institut.Pemerintahan.Dalam.Negeri
oleh.
30.0118
2021
A. INDONESIA DARURAT PERLINDUNGAN DATA PRIBADI
Kasus kebocoran data pribadi meningkat secara kuantitas, sehingga kebutuhan akan
regulasi tentang perlindungan data pribadi dan otoritas perlindungan data independen
sangat tinggi.
Awalnya kebocoran dari pihak swasta, Bukalapak, Tokopedia, tetapi kemudian data BRI
Life yang bocor juga BPJS, apalagi hari ini keluar berita di Kemenkes yang juga soal
kebocoran e-HAC
Ini bukan kasus pertama. Beberapa bulan sebelumnya, data pribadi milik 279 juta warga
Indonesia di Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan juga bocor.
September 2021 Nomor Induk Kependudukan (NIK) para calon presiden dan wakil
presiden dalam Pemilu 2019 beredar di media sosial.
Sebelumnya, pada Juli 2021 dua juta data nasabah perusahaan asuransi BRI Life juga
diduga bocor dan diperjualbelikan di dunia maya. Kemudian pada April 2021 data
pribadi sekitar 130.000 pengguna Facebook di Indonesia juga diduga bocor. September
2020 data pribadi sekitar 5,8 juta pengguna aplikasi RedDoorz di Indonesia diduga dijual.
Agustus 2020 data sekitar 890.000 nasabah perusahaan teknologi finansial Kreditplus
diduga bocor dan dijual di Raidforums. Sebanyak 2,3 juta data pribadi warga Indonesia
dari daftar Pemilu 2014 diduga diretas. Kebocoran data juga menimpa jutaan pengguna
market place seperti Bhineka dan Tokopedia.
Bahkan baru baru ini Beredarnya sertifikat vaksinasi milik Presiden Jokowi di media
social
Maraknya kasus kebocoran data ini menunjukkan lemahnya proteksi data pribadi di
negeri ini. Kabarnya, di kalangan peretas, situs-situs milik pemerintah Indonesia memang
dikenal mudah dibobol.
Data pribadi ini berisi sekumpulan informasi terkait identitas seseorang. Bocornya data
pribadi seperti tanggal lahir, nama ibu kandung, nomor telepon, alamat, hingga email
pribadi dapat digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan
kejahatan. Artinya, ketika informasi ini dikelola serampangan dan bocor, pemilik data
rentan menjadi korban kejahatan.
dengan kejadian seperti ini , pemerintah mempunyai kebijakan dengan membuat RUU
PDP atau Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi.
Kebocoran data pribadi ini merupakan buah dari rapuhnya sistem keamanan siber
pemerintah Indonesia. Tak hanya itu, ketiadaan regulasi yang mengatur dan melindungi
juga dituding menjadi penyebab maraknya pencurian data pribadi. Saat ini Indonesia
belum memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Berbagai kebijakan dan
aturan masih tersebar di setidaknya di 32 UU dan regulasi yang berbeda-beda. Rancangan
Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang sebelumnya ditargetkan
rampung setelah lebaran atau sekitar bulan Mei 2021 molor lagi. Pada Juni lalu,
pembahasan RUU PDP ini kembali diperpanjang untuk yang kedua kali.
Kebutuhan UU PDP sangat mendesak. Ketiadaan regulasi ini membuat lembaga negara
dan swasta cenderung serampangan dalam mengelola data pribadi karena tak bisa
dituntut saat ada kasus peretasan dan kebocoran data. Selain itu, belum adanya payung
hukum perlindungan data pribadi ini menjadi salah satu faktor yang memungkinkan
terjadinya kasus kebocoran data pribadi di kemudian hari. Rentetan kasus kebocoran dan
pencurian data pribadi ini menunjukkan Indonesia sangat rentan sehingga pengesahan
RUU PDP tak bisa ditunda-tunda lagi.
Menurut saya sendiri, agar RUU PDP ini segera di sahkan menjadi UU PDP, sehingga
bisa memberikan kejelasan terhadap keamanan dan perlindungan data maupun penegakan
hukum terhadap pelanggaran penggunaan data, Warga berhak memilih informasi apa saja
yang bisa dikumpulkan oleh laman atau aplikasi internet, kemudian Warga berhak
menghapus data pribadi yang disimpan oleh perusahaan atau perpanjangannya serta
dengan adanya UU PDP ini Melindungi warga ketika bersengketa dengan perusahaan
besar.