Anda di halaman 1dari 21

A.

Pendahuluan

Dalam perspektif Al-Qur’an, terdapat tiga model system ekonomi, yakni


riba, perdagangan, dan sedekah. Al-Qur’an mengharamkan sistem riba dan
menghalalkan sistem perdagangan, serta merekomendasikan system sedekah.
Dalam hal ini sedekah meliputi sedekah wajib (zakat), sedekah jariyah (wakaf)
dan sedekah langsung berupa infak yang bersifat konsumtif. Zakat hukumnya
wajib bagi setiap muslim yang kaya dalam rangka mewujudkan keadilan social.
Sedangkan wakaf dan infak merupakan perbuatan baik atas dasar kerelaan dalam
rangka mengharapkan rida Allah.

Wakaf dalam bentuk sedekah jariyah, yang pahalanya selalu mengalir,


walaupun orangnya sudah lama meninggal dunia. Aset wakaf bersifat produktif
dan menghasilkan nilai tambah secara berkesinambungan untuk kepentingan
kemaslahatan umum, dakwah dan jihad dijalan Allah. Bentuk wakaf sebagai
investasi abadi bisa berupa harta,kekayaan intelektual,dan lain-lain sebagaimana
sabda Rassulullah berikut:

َ ‫إِ َذا َماتَ ا ِإل ْن َسانُ ا ْنقَطَ َع َع َملُهُ إِالَّ ِم ْن ثَالَثَ ٍة ِم ْن‬
ِ ‫ص َدقَ ٍة َج‬
‫اريَ ٍة‬

“Apabila manusia mati, amalnya terputus kecuali 3 amal, (salah satunya):


sedekah jariyah…” (HR. Muslim 4310, Nasai 3666, dan yang lainnya)

Tahukah anda, apa itu sedekah jariyah? Sedekah jariyah adalah wakaf.

Ada tujuh amalan pahalanya senantiasa mengalir bagi seorang hamba


setelah wafat ketika berada di alam kubur, yaitu: Barang siapa yang mengajarkan
ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanam pohon kurmaa, membangun
masjid, mewariskan mushaf, atau meningalkan seorang anak yang memohonkan
ampun untuknya setelah wafat. (Diriwayatkan oleh Abu Nu-aim dalam al-
hilyah(2/344), al-baihaqi dalam al-jami’li Syu’abul iman (5/122-123)(3175), al-
mundiri menyebutkan dalam al-targhib wa al-tarhib(1/124)(113), (1/725)(1408)
dan (3/356/357) dengan nukilan hadist (3828) dari hadist anas radhiyallahu’anhu )
Adapun yang diriwayatkan oleh ibnu majah (424) dan ibnu khuzaimah dalam

1
shahihnya (4/121)(2490) semisal hadist ini dari hadist abu Hurairah, dan al-
baihaqi telah menyebutkan dalam al-jami’li Syu’ab al-iman dengan nomor(3174)
sebelum hadist anas rdhiyallahu’anhu di atas.

Wakaf tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur’an, tetapi


keberadaannya diilhami oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan berbagai contoh dari Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya. Fikih wakaf telah berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman sejalan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat,
seperti wakaf saham. Masalah cabang dalam fikih pada intinya berjalan sesuai
dengan dua hal, yaitu: 1).perluasan praktik ibadah amaliyah dan munculnya
kebutuhan baru yang perlu pemecahan hokum melalui cara ijtihad; 2).penjabaran
fikih yang mengarah pada masalah dari cabang masalah pokok dan upaya untuk
mengambil kesimpulan hokum yang bersumber dari nash dan pendapat para
ulama terdahulu.

Tidak adanya ketentuan yang tegas terkait hokum wakaf menimbulkan


perselisihan diantara para ahli hokum islam (fuqaha’). Oleh karena itu, fikih
wakaf menyediakan pandangan dan sejumlah aturan hokum mengenai bagaimana
wakaf seharusnya dipraktikan dalam kerangka Syariah dimana pandangan hokum
ini tidaklah sepenuhnya tunggal akan tetapi terbagi dalam beberapa mazhab
pemikiran yang beragam.

B.Pengertian Wakaf

Secara etimologi, wakaf berarti menahan, mencegah, selama, tetap,


paham, menghubungkan, mencabut, meninggalkan dan lain sebagainnya. Dalam
kamus al-munjid diterangkan bahwa wakaf mempunyai 25 arti lebih, akan tetapi
yang biasa dipakai adalah arti menahan dan mencegah, contoh kata wakaf yang
diartikan dengan menahan dan mencegah adalah:

‫لل يل ا ْ ي ي ب َ س ْ ا يِف َ ه َ َس ب َ ْ ح أَى َ َف ال َّدار ْ ق َ و‬

“Ia mewakafkan rumahnya, maksudnya ia menahan rumahnya untuk


(kepentingan) agama Allah.”

2
َ ‫ق َ و َه ف ْه ن َ ع ه َ َع ن َ ين ال َّش يئ أَي م َ ع‬

“Ia mewakafkannya dari sesuatu, maksudnya ia mencegahnya dari sesuatu”

Para ulama berbeda pendapat tentang arti wakaf secara istilah. Mereka
mendefinisikan wakaf dengan definisi yang beragam sesuai dengan perbedaan
madhab yang mereka anut.2 Arti yang banyak ini mempengaruhi para mujtahid
dalam membuat definisi tentang wakaf, sebagaimana di bawah ini:

1. Menurut mazhab Hanafi Menahan benda yang statusnya masih tetap milik
wāqif (orang yang mewakafkan hartanya), sedangkan yang disedekahkan adalah
manfaatnya.

2. Menurut mazhab Maliki Menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik berupa
sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada yang berhak, dengan penyerahan
berjangka waktu sesuai dengan kehendak wāqif.

3. Menurut mazhab Syafi’i Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya disertai
dengan kekekalan benda, dan harta itu lepas dari penguasaan wāqif, serta
dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan oleh agama.

4. Menurut mazhab Hambali Menahan kebebasan pemilik harta dalam


membelanjakan hartanya yang bermanfaat disertai dengan kekekalan benda serta
memutus semua hak wewenang atas benda itu, sedangkan manfaatnya
dipergunakan dalam hal kebajikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

5. Wakaf menurut UU nomor 41/2004, tentang wakaf adalah perbuatan hokum


wakif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta beda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingan guna keperluan ibadah dan kesejahteraan umum menurut Syariah
(pasal 1).

6. Wakaf menurut kompilasi hokum islam adalah perbuatan hokum seseorang


atau kelompok orang atau badan hokum yang memisahkan sebagian dari benda

3
miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah
atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam.

Dari paparan tersebut diatas, dapat diambil pengertian bahwa :

1. Harta wakaf lepas/atau putus dari hak milik waqif, kecuali pendapat
Hanafiyah, Malikiyah, dan menurut hokum positif.
2. Harta wakaf harus kekal, kecuali pendapat Malikiyah yang
mengatakan bahwa boleh mewakafkan sesuatu walaupun akan habis
dengan sekali pakai, seperti makanan, asalakn manfaatnya berlanjut.
3. Yang dihodakohkan hanyalah manfaatnya saja.

C.Sejarah Perkembangan Wakaf

Mengenai sejarah munculnya istilah wakaf, memang sulit menetapkan


kapan munculnya istilah tersebut, karena dalam buku-buku fiqih tidak ditemui
sumber yang menyebutkan secara tegas. Tetapi secara tidak langsung dapat
dikatakan bahwa sebelum Islam lahir, belum dikenal istilah wakaf. Begitu juga
halnya bahwa orang-orang jahiliyah belum pernah mengenal dan mengetahui
tentang wakaf.

Sejalan dengan itu, Imam Syafi’I juga berpendapat bahwa pada zaman
Jahiliyah tidak ditemukan suatu indikasi yang menunjukkan bahwa mereka pernah
melakukannya. Mereka tidak pernah mewakafkan rumahnya atau pun tanahnya
yang saya ketahui, kata Imam Syafi’I, “Sesungguhnya wakaf itu (habs) itu khusus
milik orang Islam.”

Pendapat yang senada juga datang dari An-Nawawi, “wakaf itu khusus ada
bagi orang-orang Muslim”. Ini artinya pada zaman sebelum Islam datang wakaf
belum dikenal. Sayyid Sabiq, lebih tegas menyatakan munculnya istilah wakaf
setelah Islam datang dan berkembang. Kemudian semakin populer setelah Nabi
Muhammad SAW secara langsung mempraktekannya.

4
Mayoritas Ulama menyatakan, asal mula di syariatkannya ibadah wakaf
dalam Islam pada masa Umar bin Khattab mendapat sebidang tanah diperkebunan
Khaibar, sebagaimana tergambar dalam hadits. Kepada Rasulullah, Umar
meminta pendapat tentang hartanya itu. Saat itu Rasul menasehatkan, jika Umar
suka lebih baik tanah itu diwakafkan saja dan hasilnya disedekahkan kepada orang
yang memebutuhkan. Tanah tersebut langsung diwakafkan Umar serta hasilnya
disedekahkan kepada fakir miskin, untuk memerdekakan budak dan kepentingan
lainnya di jalan Allah, sedangkan bagi nadzir (orang yang mengurus wakaf itu)
diberi upah sekedarnya.

D. Dasar Hukum Wakaf

Dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah wakaf bersumber dari :

a. Ayat Al-Quran, antara lain :

“Perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan kemenangan”(QS: al-


hajj: 77)

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),


sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja
yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuiny” (QS: al-imran:
92).

b. Sunnah Rasulullah SAW.

Yang artinya : Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah SAW,


bersabda“Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya,
kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang
dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya” (HR. Muslim)

Dari Ibnu Umar, ia berkata: “Umar mengatakan kepada Nabi SAW Saya
mempunyai seratus dirham saham di Khabair. Saya belum pernah mendapat harta
yang paling saya kagumi seperti itu. Tetapi saya ingin menyedekahkannya. Nabi
SAW mengatakan kepada Umar : Tahanlah (jangan jual, hibahkan dan wariskan)

5
asalnya (modal pokok) dan jadikan buahnya sedekah untuk sabilillah”. (HR.
Bukhari dan Muslim).

c. Wakaf menurut Interprestasi Ulama

Sumber hukum perwakafan selain Al-quran dan al-Hadits, maka Ijtihad


(Interprestasi Mujtahid) merupakan sumber ketiga. Peranan ulama mujtahid akan
mampu memperjelas hukum sekiranya dalam dua sumber utama kurang jelas atau
membuthkan pemikiran. Dan diantara para Mujtahid itu adalah Abu Hanifah,
Malik, As-Syafi’I, Ahmad bin Hambal, Daud Dhahiri, Muhammad dan Yusuf
Hanafi. Dari hasil usaha pemikiran mereka, lalu dipakai sebagai acuan dalam
perwakafan.

d. Perundang-undangan Wakaf

Di Indonesia, selain bersumber kepada agama, juga bersumber pada


hukum positif, yang merupakan hasil pemikiran pakar hukum di Indonesia. Bila
diinventarisir samapi sekarang terdapat berbagai perangkat peraturan yang
mengatur masalah perwakafan. Di antaranya ada undang-undang No.41 Tahun
2004 tentang Wakaf.

E. Rukun dan Syarat Wakaf

Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan definisi tentang wakaf,


meskipun demikian, para ulama sepakat bahwa dalam pembentukan wakaf
diperlukan beberapa rukun. Kata rukun berasal dari bahsa arab “ruknun” yang
berarti tiang, penopang atau sandaran, secara etimologi, rukun biasa
diterjemahkan dengan sisi yang terkuat, karenanya kata rukn al-sya’i kemudian
diartikan sebagai sisi dari sesuatu yang menjadi tempat bertumpu, adapun dalam
terminology fikih, rukun adalah sesuatu yang dianggap menuntukan suatu disiplin
tertentu, dimana ia merupakan bagian integral dari disiplin itu sendiri, atau dengan
kata lain rukun adalah penyempurna sesuatu dimana ia merupakan bagian dari
sesuatu itu.

6
Sebagai implikasi dari perbedaan para ulama dalam memandang substansi
wakaf, maka dalam menentukan rukun wakaf terjadi perbedaan pendapat, sebagai
berikut:

1. Pengikut Hanafi memandang bahwa rukun wakaf adalah shigot (lafal)


yang menunjukan makna atau substansi wakaf.
2. Pengikut Malikiyah, Syafi’iyah, Zaidiyah, dan Hanabilah memandang
bahwa rukun wakaf terdiri dari waqif ( orang yang berwakaf), mauquf
‘alaih (orang yang menerima wakaf), mauquf (harta yang diwakafkan),
dan lafal atau ungkapan yang menunjukan proses terjadinya wakaf.
3. Begitu juga dalam hokum positif menyatakan bahwa unsur wakaf ada 4
yaitu wakif, nadzir, harta benda wakaf, dan ikrar wakaf.

1.Syarat Waqif (Orang yang mewakafkan hartanya)

Orang yang mau memberikan wakaf haruslah memiliki kecakapan

hukum dan memenuhi 4 kriteria:

a. Berakal, bahwa wāqif haruslah berakal dalam pelaksanaan akad wakaf agar
wakafnya dianggap sah. Begitu pula dalam hal pengelolaannya, untuk itu tidak
sah jika wakaf diberikan oleh orang gila.

b. Dewasa (balig), tidak sah hukumnya wakaf berasal dari anak-anak yang belum
baligh. Sebab, jika dia belum dapat membedakan sesuatu. Tidak ada
pengecualian, baik itu anak kecil yang telah diberi izin dalam perniagaan ataupun
tidak.

c. Tidak dalam tanggungan karena boros dan bodoh. Bahwasannya wakaf

dari orang yang boros dan bodoh yang masih dalam tanggungan (perwalian)
adalah tidak sah. Sebab hal itu ditakutkan akan mendatangkan bahaya pada diri
wāqif.

d. Kemauan sendiri, bukan atas tertekan atau paksaan dari pihak manapun. Ulama
telah sepakat bahwa wakaf dari orang yang dipaksa tidak sah hukumnya.

7
e. Merdeka, tidak ada satu madhab pun yang menentangnya kecuali sebagian
pengikut mazhab Zahiri. Syarat ini ditetapkan dengan pertimbangan bahwa budak
atau hamba sahaya tidak memiliki apapun.

Para fukaha berbeda pendapat dalam memberikan syarat wāqif sebagai


berikut:

a.Menurut mazhab Hanafi

“Wāqif hendaknya orang yang cakap bertabarru, yaitu orang yang


merdeka, dewasa dan berakal. Oleh karena itu, wakaf anak kecil baik mumayiz
atau tidak, orang gila dan orang yang idiot, batal (tidak sah) wakafnya, karena
tidak cakap bertabarru‘”.

b. Menurut mazhab Maliki

“Wāqif disyaratkan: orang dewasa, berakal, rela, sehat, tidak berada di


bawah pengampuan dan sebagai pemilik harta yang diwakafkannya”.

c. Menurut mazhab Syafi‘i

“Wāqif hendaknya orang yang cakap bertabarru‘, maka dari itu tidak sah
wakaf anak kecil, orang gila, orang bodoh/boros dan budak mukatab”.

d. Menurut mazhab Hambali

“Pertama: Pemilik harta, maka dari itu tidak sah wakaf orang yang
mewakafkan hak milik orang lain, tanpa seizin pemiliknya. Kedua: Orang yang
diperbolehkan membelanjakan hartanya, oleh karena itu tidak sah wakaf orang
yang berada di bawah pengampuan dan orang gila. Ketiga: Orang yang
mengatasnamakan orang lain, seperti orang yang menjadi wakil orang lain”.

2. Mauquf (Harta yang diwakafkan)

Harta yang diwakafkan dipandang sah, bila harta tersebut memenuhi lima
syarat, yaitu:

8
a. Harta wakaf memiliki nilai (harga)

b. Harta wakaf berupa benda tidak bergerak (Uqar) atau benda bergerak (Manqul)

c. Harta wakaf diketahui kadar dan batasannya

d. Harta wakaf milik wāqif

e. Harta wakaf harus terpisah dari harta perkongsian atau milik bersama

3. Mauquf ‘alaih (Tujuan wakaf atau orang yang diserahi untuk mengelola harta
wakaf)

Bila yang dimaksud dengan mauquf ‘alaih adalah tujuan wakaf, maka
tujuan wakaf itu harus mengarah pada pendekatan diri kepada Allah, yaitu untuk
kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran
agama Islam. Sedangkan bila yang dimaksud dengan mauquf ‘alaih adalah Nadzir
(pengelola harta wakaf), maka menurut UU Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf pasal 1 ayat 4 menyatakan bahwa: Nadzir adalah pihak yang menerima
harta benda wakaf dari wāqif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan
peruntukannya.

4. Sighat (Pernyataan wāqif untuk mewakafkan hartanya)

Pernyataan wakaf (sighat) sangat menentukan sah atau batalnya suatu


pewakafan. Oleh karena itu, pernyataan wakaf harus tegas, jelas kepada siapa
ditujukan dan untuk keperluan apa. Dari definisi-definisi wakaf sebagaimana
tersebut di atas, dapat diambil pengertian bahwa sighat harus:

a. Jelas tujuannya

b. Tidak dibatasi dengan waktu tertentu

c. Tidak tergantung pada suatu syarat, kecuali syarat mati

d. Tidak mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali wakaf yang

sudah dilakukan.

9
Adapun syarat-syarat wakaf secara umum sebagai berikut:

1) Wakaf tidak dibatasi dengan waktu tertentu sebab perbutan wakaf berlaku
untuk selamanya, tidak waktu untuk waktu tertentu. Bila seseorang mewakafkan
kebun untuk jangka waktu 10 tahun misalnya, maka wakaf tersebut dipandang
batal.

2) Tujuan wakaf harus jelas, seperti mewakafkan sebidang tanah untuk mesjid,
mushalla, pesantren, pekuburan (makam) dan lainnya. Namun, apabila seseorang
mewakafkan sesuatu kepada hukum tanpa menyebut tujuannya, hal itu dipandang
sah sebab penggunaan benda-benda wakaf tersebut menjadi wewenang lembaga
hukum yang menerima harta-harta wakaf tersebut.

3) wakaf harus segera dilaksanakan setelah dinyatakan oleh yang mewakafkan,


tanpa digantungkan pada peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang
sebab pernyataan wakaf berakibat lepasnya hak milik bagi yang mewakafkan. Bila
wakaf digantungkan dengan kematian yang mewakafkan, ini bertalian dengan
wasiat dan tidaklah bertalian dengan wakaf. Dalam pelaksanaan seperti ini,
berlakulah ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan wasiat.

4) Wakaf merrupakan perkara yang wajib dilaksanakan tanpa adanya hak khiyar
(membatalkan atau meneruskan wakaf yang telah diucapkan) sebab pernyataan
wakaf berlaku seketika dan untuk selamanya.

F. Status Hukum Wakaf

Dikalangan ulama fikih terjadi polemic dan perbedaan pendapat terkait


dengan status hokum wakaf, apakah tindakan wakif bersifat mengikat dan tidak
dapat dibatalkan atau sebaliknya, perbedaan pendapat dianatra ulama tersebut
dapat dikemukakan sebagai berikut Mazhab Hanafi.

Harta yang telah diwakafkan menurut mazhab ini tetap berada pada milik
wakif dan tidak boleh ditarik kembali oleh wakif, harta tidak berpindah hsk milik,
hanya hasil manfaatnya yang diperuntukkan pada tujuan wakaf. Dalam hal ini

10
Abu Hanifah memberikan pengecualian pada 3 hal yaitu : wakaf masjid, wakaf
yang ditentukan keputusan pengadilan, dan wakaf wasiat, selain 3 hal tersebut
yang diwakafkan hasil manfaatnya saja bukan bendanya secara utuh.

Imam Abu Hanafiah mengemukakan dua argumentasi terkait dengan


pendapatnya, yaitu : a) Tindakan Nabi SAW yang diriwayatkan oleh hakim suraih
bahwa Nabi SAW pernah datang dengan menjual harta yang telah diwakafkan.
Dengan diwakafkannya suatu harta bukan berarti menjadi keharusan untuk
melepaskan kepemilikan wakif, sehingga diperbolehkan untuk mengambil
kembali wakaf; b) Menganalogikan dan menyamakan wakaf dengan sa’ibah
sebagaimana dinyatakan dalam QS.Al-Maidah (5) ayat 103.wakaf sebagai akad
tabarru’(transaksi dengan melepaskan hak), bukan berarti melepaskan ha katas
benda pokoknya, melainkan hanya melepaskan hasil dan manfaat dari benda yang
diwakafkan.

Namun pandangan Imam Abu Hanifah ini tidak diikuti oleh pengikutnya
seperti Abu Yusuf dan Muhammad Al-Syai’bani kedua tokoh mazhab Hanafi ini
berpendapat sama dengan mashab fikih lainnya bahwa tindakan wakaf bersifat
mengikat dan tidak dapat dibatalkan.

1.Mazhab Maliki

Menurut Malikiyah harta yang diwakafkan tetap menjadi milik


wakif, akan tetapi tidak diperbolehkan melakukan tasharruf, baik dengan
menjual, mewariskan atau menghibahkan selama harta itu diwakafkan. Imam
Maliki memperbolehkan wakaf dengan jangka waktu tertentu, apabila telah habis
jangka waktu yang telah ditentukan, maka boleh mengambilnya lagi, meskipun
wakaf itu untuk masjid. Dengan demikian hak wakif terhadap harta yang
diwakafkan hanya terputus dalam hal melakukan tasharruf dan tidak terputus
kepemilikannya.

2. Mazhab Syafi’i

11
Harta yang diwakafkan terlepas dari kepemilikan wakaf menjadi milik
Allah SWT dan berarti menahan harta untuk selama-lamanya, sehingga benda
yang diwakafkan disyaratkan benda yang tahan lama dan tidak cepat habis, Imam
Syafi’I merujuk pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar berkaitan dengan
wakaf tanah khaibar oleh Umar bin Khattab.

3. Mazhab Hambali

Jika seseorang telah mewakafkan hartanya, maka wakif tidak mempunyai


kekuasaan bertindak atas hartannya itu dan tidak bisa menariknya kembali. Imam
Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa benda yang diwakafkan harus benda yang
dapat dijual, meskipun setelah diwakafkan tidak boleh dijual dan harus benda
yang kekal zatnya karena wakaf bukan untuk waktu tertentu, tetapi untuk selama-
lamanya.

G. Wakaf Saham

Berbicara tentang wakaf saham, penting untuk terlebih dahulu


membicarakan jenis-jenis harta/benda yang dapat diwakafkan. Terjadi perubahan
dan perkembangan hukum terhadap jenis harta wakaf. Bila fikih klasik kerap
membicarakan wakaf dalam benda yang tidak bergerak, -walaupun ada juga yang
membicarakan wakaf manfaat-, maka perkembangan wakaf kontemporer tidak
lagi membatasi hanya pada benda tidak bergerak, melainkan banyak bermunculan
jenis harta yang dapat diwakafkan.

Berikut ini jenis harta wakaf yang disebutkan dalam undang-undang di


Indonesia. Jenis harta benda wakaf dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang wakaf terdiri dari : benda tidak bergerak dan benda bergerak. (UU No.
14/2004 tentang Wakaf, Pasal 16, ayat 1)

Benda tidak bergerak yang dimaksud dalam Undang-undang wakaf dapat


dijabarkan sebagai berikut :

12
1. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan baik
yang sudah maupun yang belum terdaftar;

2. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana


dimaksud pada huruf a;

3. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;

4. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan

5. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan prinsip syariah dan
peraturan perundang-undangan. (UU No. 14/2004 tentang Wakaf, Pasal 16, ayat
2)

Sedangkan hak atas tanah yang dapat diwakafkan terdiri dari :

1. Hak milik atas tanah baik yang sudah atau belum terdaftar;

2. Hak atas tanah bersama dari satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;

3. Hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai yang berada di atas tanah
negara;

4. Hak guna bangunan atau hak pakai yang berada di atas tanah hak pengelolaan
atau hak milik pribadi yang harus mendapat izin tertulis dari pemegang hak
pengelolaan atau hak milik. (Direktorat Pemberdayaan Wakaf : 2006)

Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah benda
yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: Uang; Logam mulia; Surat
berharga; Kendaraan; Hak atas kekayaan intelektual; Hak sewa; dan Benda
bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. (UU No. 14/2004 tentang Wakaf, Pasal 16, ayat 3)

Benda bergerak selain uang dapat dijabarkan sebagai berikut :

13
1. Benda digolongkan sebagai benda bergerak karena sifatnya yang dapat
berpindah atau dipindahkan atau karena ketetapan undang-undang;

2. Benda bergerak terbagi dalam benda bergerak yang dapat dihabiskan dan yang
tidak dapat dihabiskan karena pemakaian;

3. Benda bergerak yang dapat dihabiskan karena pemakaian tidak dapat


diwakafkan, kecuali air dan bahan bakar minyak yang persediaannya
berkelanjutan;

4. Benda bergerak yang tidak dapat dihabiskan karena pemakaian dapat


diwakafkan dengan memperhatikan ketentuan prinsip syariah. (Direktorat
Pemberdayaan Wakaf : 2006)

Benda bergerak selain uang karena peraturan perundang-undangan dapat


diwakafkan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah sebagai berikut:
1). Surat berharga yang berupa: Saham; Surat utang negara; Obligasi pada
umumnya; dan/atau Surat berharga lainnya yang dapat dinilai dengan uang. 2).
Hak atas kekayaan intelektual yang berupa: Hak cipta; Hak merk; Hak paten; Hak
desain industri; Hak rahasia dagang; Hak sirkuit terpadu; Hak perlindungan
varietas tanaman; dan/atau hak lainnya. (Direktorat Pemberdayaan Wakaf : 2006).
3). Hak atas benda bergerak lainnya yang berupa: Hak sewa, hak pakai dan hak
pakai hasil atas benda bergerak; atau Perikatan, tuntutan atas jumlah uang yang
dapat ditagih atas benda bergerak. (Direktorat Pemberdayaan Wakaf : 2006)

Melihat perundang-undangan diatas maka saham termasuk jenis harta


yang diwakafkan, mengingat nilai dan manfaatnya yang tidak kecil.

H. Pengertian dan Macam-macam Saham

Saham adalah satuan nilai atau pembukuan dalam berbagai instrumen


finansial yang mengacu pada bagian kepemilikan sebuah perusahaan. (Tjiptono
Darmadji dan M. Fakhruddin Hendy : 2001).

14
Adapun macam-macam saham sebagai berikut : (Situs wikipedia.org :
Saham, diakses pada tanggal 8 November 2011).

Pertama, Saham Biasa ( common stock ), dengan karakteristik sebagai


berikut : Hak suara pemegang saham, dapat memilih dewan komisaris; Hak
didahulukan, bila organisasi penerbit menerbitkan saham baru; Tanggung jawab
terbatas, pada jumlah yang diberikan saja.

Kedua, Saham Preferen ( preferred stock ), dengan karakteristik sebagai


berikut : Memiliki berbagai tingkat, dapat diterbitkan dengan karakteristik
berbeda; Tagihan terhadap aktiva dan pendapatan, memiliki prioritas lebih tinggi
dari saham biasa dalam hal pembagian dividen; Dividen kumulatif, bila

belum dibayarkan dari periode sebelumnya maka dapat dibayarkan pada


periode berjalan dan lebih dahulu dari saham biasa; Konvertibilitas, dapat ditukar
menjadi saham biasa, bila kesepakatan antara pemegang saham dan organisasi
penerbit terbentuk.

Bila ditinjau dari kinerja perdagangan, saham dapat dikelompokkan


menjadi : 1). Blue chip stocks, saham biasa yang memiliki reputasi tinggi, sebagai
pemimpin dalam industrinya, memiliki pendapatan yang stabil dan konsisten
dalam membayar dividen; 2). Income stocks, saham suatu emiten dengan
kemampuan membayarkan dividen lebih tinggi dari rata-rata dividen yang
dibayarkan pada tahun sebelumnya; 3). Growth stocks, terdiri dari well-known dan
lesser-known; 4). Speculative stocks, saham secara konsisten memperoleh
penghasilan dari tahun ke tahun, mempunyai kemungkinan penghasilan yang
tinggi di masa mendatang, namun belum pasti; 5). Counter cyclical stocks, saham
yang tidak terpengaruh oleh kondisi ekonomi makro maupun situasi bisnis secara
umum.

Undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal


53 ayat 3 dan 4 mengklasifikasikan saham sebagai berikut: 1). Saham biasa;
diberikan kepada setiap orang yang memberikan pemasukan sejumlah uang
kepada perseroan; 2). Saham dengan tanpa hak suara; pemilik saham ini tidak

15
berhak mengikuti RUPS Perseroan, karena tidak mempunyai hak suara dalam
pengambilan keputusan berkenaan dengan pengurusan Perseroan; 3). Saham
dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota direksi dan/atau anggota
komisaris; 4). Saham yang dapat ditarik kembali; saham ini ditarik kembali atau
ditukar dengan klasifikasi yang lain; 5). Saham yang memberikan hak dividen
lebih dahulu; 6). Saham utama menerima lebih dahulu pembagian sisa kekayaan
perseroan dalam likuidasi. (M. Yahya Harahap : 2009).

I. Masyru’iyyah Wakaf Saham

Wakaf saham termasuk wakaf produktif. Saham sebagai barang yang


bergerak dipandang mampu menstimulus hasil−hasil yang dapat digunakan untuk
kepentingan umat. Bahkan, dengan modal yang besar, saham mampu memberikan
konstribusi yang cukup besar di banding jenis komoditas perdagangan yang lain.

Dalam sebuah perusahaan, seorang pengusaha dapat mengkhususkan


peruntukan sebagian sahamnya sebagai harta wakaf yang hasil/devidennya
dialirkan untuk kemaslahatan umat. Wakaf saham boleh juga diambil dari
keuntungan seluruh saham yang dimiliki sang pemilik. Semua tergantung pada
keinginan dan kehendak sang pemilik saham. Sebab, yang penting bukanlah
nominal besar−kecilnya hasil saham, melainkan lebih pada komitmen
keberpihakan para wakif terhadap kesejahteraan umat Islam.

International Islamic Fiqh Academy dalam konferensi ke 19 yang


bertempat di Uni Emirat pada tanggal 1-5 Jumadil Ula 1430 H/ bertepatan dengan
26-30 April 2009 M mengeluarkan keputusan tentang wakaf saham.

Konferensi ini mengeluarkan keputusan yang berisi kebolehan melakukan


wakaf saham dengan pertimbangan bahwa wakaf merupakan salahsatu
pembahasan fikih yang terbuka lebar menerima ijtihad. Ia termasuk ibadah yang
dapat dinalar (ma’qul al-ma’na) yang terikat dengan tujuan syara’, dengan tujuan
mewujudkan kemaslahatan wakaf bagi wakif dan mauquf ‘alaih. (Keputusan
Ijtihad International Islamic Fiqh Academy No. 181 (7/19) tentang Wakaf Saham,
Cek, Hak-hak Ma’nawi dan Manfa’at, Pasal 1 )

16
Nash-nash syara’ yang terkait dengan wakaf berbentuk mutlak, masuk
didalamnya wakaf yang bersifat abadi dan sementara, wakaf benda, manfaat dan
uang, benda bergerak atau tidak bergerak, karena wakaf termasuk perbuatan
derma, dan itu sangat luas dan dianjurkan. (Keputusan Ijtihad International
Islamic Fiqh Academy No. 181 (7/19) tentang Wakaf Saham, Cek, Hak-hak
Ma’nawi dan Manfa’at, Pasal 2 ayat 1)

Saham juga dapat diwakafkan dengan syarat saham tersebut mubah


dimiliki secara syara’, karena saham dianggap sebagai harta yang berharga secara
syara’. Wakaf saham memiliki beberapa konsekwensi hukum, yaitu :

Pertama, Asal saham yang diwakafkan bersifat tetap, yang diwakafkan


adalah keuntungan dari saham dan tidak diperjualbelikan di bursa efek, maka
seorang nadzir tidak boleh mentransaksikannya kecuali untuk kemaslahatan atau
sesuai dengan syarat yang diajukan wakif . Ia tunduk di bawah hukum-hukum
syara’ yang dikenal dalam tatacara pergantian kepemilikan;

Kedua, Seandainya perusahaan melunasi atau membayar harga surat


berharganya, maka boleh menggantinya dengan pokok wakaf yang lain seperti
bangunan, saham dan surat berharga yang lain dengan syarat yang diberikan wakif
atau berdasarkan kemaslahatan yang kembali kepada perwakafan;

Ketiga, Jika wakafnya bersifat temporer berdasarkan keinginan wakif


maka ditunaikan sesuai syaratnya;

Keempat, Jika uang yang diwakafkan diinvestasikan untuk membeli


saham atau surat berharga atau yang lainnya, maka saham dan surat berharga
tersebut bukan menjadi harta wakaf menempati tempatnya uang selama wakif
tidak mengatakan seperti itu, dan boleh dijual untuk investasi yang lebih banyak
keuntungannya demi kemaslahatan wakaf, dan asal jumlah uang itulah yang
menjadi harta wakaf yang ditahan. (Keputusan Ijtihad International Islamic Fiqh
Academy No. 181 (7/19) tentang Wakaf Saham, Cek, Hak-hak Ma’nawi dan
Manfa’at, Pasal 2 ayat 3, point 1-4)

17
J. Pendapat Mengenai Manfaat Wakaf Saham

Bila kita kembali pada pendapat ulama-ulama fikih terdahulu, pembahasan


tentang wakaf saham ini dapat masuk ke dalam wakaf manfaat. Wakaf manfaat
adalah apabila yang diwakafkan berupa manfaat yang dimiliki oleh selain pemilik
barang, seperti dalam penyewaan. Ulama berbeda pendapat tentang wakaf
manfaat ini.

Madzhab Hanafi dan Hambali berpendapat : seorang penyewa tidak dapat


mewakafkan manfaat dari barang yang diwakafkan, karena mereka mensyaratkan
keabadian kepemilikan dalam perwakafan, sedangkan penyewaan bersifat
sementara dan tidak selamanya. (Al-Buhuti : t.t.)

Madzhab Syafi’i berpendapat : pemilik manfaat selain budak seperti orang


yang menyewa dan orang yang diwasiatkan menerima manfaat tidak sah berwakaf
dengan manfaat tersebut, akan tetapi kalau penyewa mewakafkan bangunan yang
dibangun atau pohon yang ditanam di atas tanah yang disewa, maka sah
wakafnya, dan terus berlangsung wakafnya sampai pemilik tanah merubuhkan
bangunan atau mencabut pohon yang diwakafkan karena telah berakhir masa
sewanya. (Ibnu ‘Abidin : t.t.)

Madzhab Maliki berpendapat: penyewa boleh mewakafkan manfaat dari


barang yang disewa selama masa persewaan yang disepakati, karena tidak
disyaratkan kelanggengan atau keabadian perwakafan menurut mereka. Bahkan
sah wakaf untuk kurun waktu tertentu. Tetapi yang menyewakan barang justru
tidak boleh mewakafkan barang yang disewakan karena pada saat disewakan
barang tersebut bukana menjadi miliknya. (Asy-Syarbini : t.t.)

Akan tetapi menurut madzhab Hanafi dan Hambali pemilik barang yang
disewakn boleh mewakafkan barang yang disewa, karena itu wakaf yang dimiliki,
sedangkan penyewa cukup memanfaatkan manfaat barang yang disewa sampai
habis masa persewaannya.

18
Kesimpulannya : menurut Jumhur sah wakafnya pemilik barang atas
barang yang disewakan tetapi menurut madzhab Maliki tidak sah, sebaliknya
menurut madzhab Maliki sah wakafnya penyewa barang atas manfaat barang yang
disewa tetapi tidak sah menurut jumhur.

Menurut penulis, wakaf saham yang dinisbahkan ke dalam wakaf manfaat


merupakan hal yang diperbolehkan, mengingat saham juga merupakan harta
berharga dan manfaat yang diberik an dari wakaf saham sangat berarti bagi
pemberdayaan umat. Apalagi mengingat tujuan wakaf adalah menyalurkan
manfaat ke jalan kebaikan.

Wakaf manfaat yang dilakukan dalam batas waktu tertentu dari pemilik
barang adalah menyerupai wakaf sementara bagi para ulama yang mengakui
adanya wakaf sementara, sebagaimana yang mereka perdebatkan. Demikian juga
manfaat barang tidak selamanya dimiliki oleh pemilik barang. Apabila seseorang
memiliki manfaat suatu barang dalam jangka waktu tertentu, baik melalui sewa
atau karena diberikan manfaatnya oleh pemilik barangnya, maka ia boleh
mewakafkan manfaat barang tersebut selama masa untuk menggunakannya masih
ada.

Contoh ini sama dengan orang yang menyewa bangunan selama 10 tahun,
kemudian bangunan tersebut dijadikan masjid untuk shalat, atau memiliki manfaat
atas binatang kemudian diwakafkan untuk angkutan jamaah haji, atau memiliki
manfaat rumah selama setahun kemudian dijadikan untuk tempat penginapan
orang yang sedang dalam perjalanan, dan lain sebagainya.

Bahkan bila kembali kepada sejarah awal perwakafan, maka tindakan


Umar bin Khaththab mewakafkan kebunnya di Khaibar dapat dikatakan sebagai
bibit wakaf saham, karena kepemilikan kebun tetap ditangannya tetapi hasil kebun
tersebut diwakafkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.

Hal lain yang harus diperhatikan dalam wakaf saham adalah bahwa saham yang
diwakafkan haruslah saham untuk perusahaan yang bergerak pada bidang yang
diperbolehkan agama.

19
K.Kesimpulan

Wakaf dalam wacana fikih menyimpan banyak perbedaan atau


perselisihan pendapat diantara ulama fikih (fuqaha), mulai dari persoalan
penetapan hukumnya, hingga persoalan yang paling kecil sekalipun. Hal ini
merupakan wahana untuk mengasah ketajaman kajian fikih islam dengan
bertumpu pada pluralitas pandangan fuqaha’ berikut metode yang diterapkan
dalam mengambil keputusan hokum, fuqaha mempunyai pandangan yang berbeda
dalam memahami pengertian wakaf, begitu pula terkait dengan rukun wakaf,
pengikut Hanafi memandang bahwa rukun wakaf adalah shigat (lafal) yang
menunjukan makna atau substansi wakaf. Sementara itu Malikiyah, Syafi’iyah,
Zadiyah dan Hanabilah memandang bahwa rukun wakaf terdiri dari : Waqif
(orang yang berwakaf), Mauquf ‘alaih (orang yang menerima wakaf), Mauquf
(harta yang diwakafkan), dan lafal atau ungkapan yang menunjukan proses
terjadinya wakaf. Dikalangan ulama fikih juga terjadi polemic dan perbedaan
pendapat terkait dengan status hokum wakaf, apakah tindakan wakif bersifat
mengikat dan tidak dapat dibatalkan atau sebaliknya.

Tidak adanya ketentuan yang tegas terkait hokum wakaf menenjukan


bahwa wakaf adalah persoalan yang bersifat ijtihadiyah (interpretative), sehingga
menjadi sangat fleksibel dan terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru,
dinamis, frukturistik (berorientasi pada masa depan), dengan demikian, wakaf
merupakan sebuah potensi yang cukup besar untuk dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan zaman.

Dalam konteks Indonesia, fleksibel fikih wakaf yang menyediakan


pandamgan dan sejumlah aturan hokum dari beberapa mazhab yang beragam dan
diharapkan mampu mencairkan kebekuan paham muslim Indonesia tentang wakaf
yang selama ini didominasi paham Syafi’iyah. Disamping itu reintrepetasi dan
pemahaman baru terhadap ajaran wakaf merupakan factor pendukung non
manajerial dalam rangka pengembangan pengelolahan wakaf secara optimal.

20
21

Anda mungkin juga menyukai