Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN AMPUTASI

A. Konsep Dasar Amputasi


1. Pengertian
Amputasi adalah tindakan pembedahan dengan membuang bagian
tubuh (Brunner, 2000).
2. Etiologi / Indikasi
Indikasi utama bedah amputasi adalah karena:
a. Iskemia; karena penyakit reskulanisasi perifer, biasanya
pada orang tua seperti klien dengan aterosklerosis, diabetes melitus.
b. Trauma amputasi; bisa diakibatkan karena perang,
kecelakaan kendaraan bermotor, thermal injury seperti terbakar, tumor,
infeksi, gangguan metabolisme seperti Pagets Desease dan kelainan
kongenital.
3. Metode Amputasi
Tindakan amputasi dilakukan sebagian kecil sampai dengan
sebagian besar tubuh. Amputasi dilakukan dengan dua metode yaitu:
a. Metode terbuka (guillotine amputasi)
Metode ini digunakan pada klien dengan infeksi yang mengembang.
Bentuknya benar-benar terbuka dan dipasang drainage agar luka
bersih, dan dapat ditutup setelah tidak terinfeksi.
b. Metode tertutup (flap amputasi)
Pada metode ini kulit tepi ditarik pada atas ujung tulang dan dijahit
pada daerah yang diamputasi.
4. Tingkatan Amputasi
a. Ekstremitas atas
Amputasi pada ekstremitas atas dapat mengenai tangan kanan atau kiri,
hal ini berkaitan dengan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum,
mandi, berpakaian dan aktivitas lainnya yang melibatkan tangan.

1
2

b. Ekstremitas bawah
Amputasi pada ekstremitas bawah dapat mengenai semua atau
sebagian dari jari-jari kaki yang menimbulkan seminimal mungkin
ketidakmampuannya. Adapun amputasi yang sering terjadi pada
ekstremitas ini dibagi menjadi dua letak amputasi yaitu:
1) Amputasi di bawah lutut (below knee amptation)
Ada dua metode pada amputasi jenis ini yaitu amputasi pada
nonischemic limb dan ischemic limb. Hal ini dibedakan berhubung
cara menutup flap yang berbeda. Pada amputasi jenis ini dikenal
tension myodesis dan myoplasty. Tension myodesis adalah
mengikatkan group otot dengan tulang, sedang myoplasty adalah
menjahitkan otot dengan jaringan lunak pada sisi yang lain yaitu
otot, atau fasia sebelahnya. Cara ini berguna untuk menstabilkan
stump dan sangat ditekankan untuk penderita yang masih aktif dan
masih muda.
2) Amputasi di atas lutut (above knee amputation)
Amputasi jenis ini merupakan yang terbanyak kedua setelah
amputasi bawah lutut. Pada amputasi jenis ini persendian lutut
hilang, maka harus dipikirkan yang terbaik yang dapat menyangga
berat badan. Protesis yang konvensional membutuhkan jarak 9-10
cm dari distal stump sehingga bisa berfungsi seperti sendi lutut.
Amputasi tulang setinggi 5 cm atau kurang dari distal trochanter
minor akan mempunyai fungsi dan kekuatan penggunaan protesis
sama dengan hip disarticulation.
5. Komplikasi Amputasi
Seperti umumnya tindakan pembedahan, maka tindakan amputasi
dapat menimbulkan komplikasi yang tidak diharapkan. Adapun
komplikasi yang dapat terjadi adalah:
a. Hematome; terjadi karena hemostatik yang kurang cermat,
hematome dapat memperlambat penyembuhan dari stamp.
3

b. Infeksi; lebih sering terjadi pada penderita dengan penyakit


pembuluh darah perifer, terutama yang disertai penyakit diabetes
melitus.
c. Nekrosis; pada keadaan nekrosis biasanya dilakukan dulu
terapi konservatif. Bila tidak berhasil dilakukan reamputasi dengan
level yang lebih tinggi.
d. Kontraktur; Kontraktur sendi dapat dicegah dengan
mengatur letak stump amputasi serta melakukan latihan sedini
mungkin. Terjadinya kontraktur sendi karena sendi terlalu lama
diistirahatkan atau tidak digerakan.
e. Neuroma; terjadi pada ujung-ujung saraf yang dipotong
telalu rendah sehingga melengket dengan kulit ujung stump. Hal ini
dapat dicegah dengan memotong saraf lebih proksimal dari stump
sehingga tertanam di dalam otot.
f. Phantom sentation; hampir selalu terjadi dimana penderita
merasakan masih utuhnya ekstremitas tersebut disertai rasa nyeri. Hal
ini dapat diatasi dengan obat-obatan, stimulasi terhadap saraf dan juga
dengan cara kombinasi.
6. Penatalaksanaan Amputasi
Amputasi dianggap selesai setelah dipasang protesis yang baik dan
berfungsi. Adapun sekarang dikenal dua cara perawatan pasca amputasi
yaitu dengan menggunakan rigid dressing dan soft dressing.
a. Rigid dressing
Yaitu dengan menggunakan plaster of paris yang dipasang waktu
di kamar operasi. Pada waktu memasang harus direncanakan apakah
penderita harus mobilisasi atau tidak. Bila tidak diperlukan
pemasangan segera dengan memperhatikan jangan sampai
menyebabkan kontriksi stump dan memasang balutan pada ujung
stump serta tempat-tempat tulang yang menonjol. Keuntungan cara ini
bisa mencegah edema, mengurangi nyeri dan mempercepat posisi
berdiri.
4

Setelah pemasangan rigid dressing bisa dilanjutkan dengan


mobilisasi segera, mobilisasi setelah 7 – 10 hari pasca operasi setelah
luka sembuh, setelah 2 –3 minggu, setelah stump sembuh dan mature.
Namun untuk mobilisasi dengan rigid dressing ini dipertimbangkan
juga faktor usia, kekuatan, kecerdasan penderita, tersedianya perawat
yang terampil, therapist dan prosthetist serta kerelaan dan kemauan
dokter bedah untuk melakukan supervisi program perawatan.
Rigid dressing dibuka pada hari ke 7 – 10 pasca operasi untuk
melihat luka operasi. Akan tetapi bila sebelum itu ditemukan cast yang
kendor atau tanda-tanda infeksi lokal atau sistemik, rigid dressing
harus terbuka.
b. Soft dressing.
Yaitu bila ujung stump dirawat secara konvensional, maka
digunakan pembalut steril yang rapi dan semua tulang yang menonjol
dipasang balutan yang cukup. Harus diperhatikan penggunaan elastik
verband jaringan sampai menyebabkan kontriksi pada stump. Ujung
stump dielevasi dengan meninggikan kaki tempat tidur, melakukan
elevasi dengan mengganjal bantal pada stump tidak baik sebab akan
menyebabkan fleksi kontraktur. Biasanya luka diganti balutan dan
drain dicabut setelah 48 jam. Ujung stump ditekan sedikit dengan soft
dressing, dan pasien diizinkan secepat mungkin untuk berdiri setelah
kondisinya mengizinkan, biasanya jahitan dibuka pada hari ke 10 – 14
pasca operasi. Pada amputasi di atas lutut penderita diperingatkan
untuk tidak meletakkan bantal di bawah stump, hal ini perlu
diperhatikan untuk mencegah terjadinya kontraktur.
7. Dampak Terhadap Sistem Tubuh dan Psikososial
a. Dampak Terhadap Sistem Tubuh
Penyakit yang berhubungan dengan muskuloskeletal dalam
perawatan dan proses penyembuhannya harus dalam keadaan
immobilisasi. Demikian juga dengan amputasi atas indikasi infeksi
memerlukan perawatan yang lama, sehingga seseorang terganggu
5

kemampuan fisiknya dalam rangka melaksanakan aktivitas sehari-hari


berhubungan dengan hilangnya salah satu anggota tubuh untuk
bergerak. Pada kondisi ini akan sangat berpengaruh terhadap setiap
sistem tubuh. Adapun pengaruhnya meliputi:
1) Kecepatan metabolisme
Jika seseorang dalam keadaan immobilisasi maka akan
menyebabkan penekanan pada fungsi simpatik serta penurunan
kotekolamin dalam darah, sehingga menurunkan kecepatan
metabolisme basal.
a) Metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
Tirah baring yang lama akan menurunkan aktivitas pankreas
sehingga produksi insulin plasma menurun dan tidak cukup
mentoleransi glukosa dalam darah. Efek ini terlihat dalam tiga
hari, tetapi dapat pulih kembali dalam tujuh hari setelah
melakukan aktivitas. Selama immobilitas, proses anabolik
menurun dan proses katabolisme meningkat untuk
menghasilkan energi yaitu pemecahan protein tubuh. Jika
proses katabolisme melebihi anabolisme untuk waktu yang
lama tubuh akan mengeluarkan nitrogen lebih banyak sehingga
menyebabkan keseimbangan nitrogen negatif. Penurunan
mobilitas mengakibatkan perubahan dalam penyimpanan
lemak, prosentase lemak tubuh turun cepat akibatnya massa
tubuh berkurang.
b) Metabolisme tulang
Selama tirah baring, ekskresi kalsium urine meningkat,
demikian juga penyerapan kalsium untuk pengerasan tulang
yang patah, hal ini akan menyebabkan massa tulang yang
lainnya menjadi menurun dan mengakibatkan pengeroposan
massa tulang bahkan kemudian dapat menyebabkan fraktur jika
mobilisasi dilakukan dengan teknik yang tidak benar.
6

2) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit


Adanya penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme
lebih besar dari anabolisme, maka akan mengubah tekanan osmotik
koloid plasma, hal ini menyebabkan pergeseran cairan
intravaskuler keluar ke ruang interstitial pada bagian tubuh yang
rendah sehingga menyebabkan edema. Immobilisasi menyebabkan
sumber stressor bagi klien sehingga menyebabkan kecemasan yang
akan memberikan rangsangan ke hipothalamus posterior untuk
menghambat pengeluran ADH, sehingga terjadi peningkatan
diuresis.
3) Sistem muskuloskeletal
a) Penurunan kekuatan otot
Dengan adanya immobilisasi dan gangguan vaskuler
memungkinkan suplai oksigen dan nutrisi sangat berkurang
pada jaringan, demikian pula dengan pembuangan sisa
metabolisme akan terganggu, hal ini menjadikan kelelahan
otot.
b) Atropi otot
Karena adanya penurunan stabilitas dari anggota gerak dan
adanya penurunan fungsi persarafan, hal ini menyebabkan
terjadinya atropi dan paralisis pada otot.
c) Kontraktur otot
Kombinasi dari adanya atropi dan penurunan kekuatan otot
serta adanya keterbatasan gerak, maka akan menyebabkan
buruknya sistem koordinasi pergerakan terutama pada
persendian.
d) Osteoporosis
Immobilitas menyebabkan menurunnya metabolisme kalsium.
Hal ini menurunkan persenyawaan organik dan anorganik.
Akibat yang terjadi adalah penurunan massa tulang menjadi
7

menipis maka tulang menjadi keropos dan seseorang


mempunyai resiko fraktur secara patologis.
4) Sistem respirasi
a) Penurunan kapasitas paru
Pada klien immobilisasi dalam posisi baring terlentang, maka
kontraksi otot intercosa relatif kecil, diafragma otot perut
dalam rangka mencapai inspirasi maksimal dan ekspirasi paksa.
b) Penurunan perfusi setempat
Dalam posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi
perbedaan rasio ventilasi dengan perfusi setempat, jika secara
mendadak maka akan terjadi peningkatan metabolisme (karena
latihan atau infeksi) terjadi hipoksia.
c) Mekanisme batuk tidak efektif
Akibat immobilisasi terjadi penurunan kerja siliaris saluran
pernafasan sehingga sekresi mukus cenderung menumpuk dan
menjai lebih kental dan mengganggu gerakan siliaris normal.
Kondisi seperti ini memudahkan terjadinya infeksi pada saluran
nafas bawah dan jaringan paru-paru.
5) Sistem kardiovaskuler
a) Peningkatan denyut nadi
Peningkatan denyut nadi sebagai manifestsi klinik pengaruh
faktor metabolik, endokrin dan mekanisme pada keadaan yang
menghasilkan adrenergik sering dijumpai pada pasien-pasien
dengn immobilisasi. Peningkatan denyut nadi lebih dari 80
x/menit.
b) Penurunan cardiac reserve
Di bawah pengaruh adrenergik denyut jantung meningkat; hal
ini mengakibatkan waktu pengisian diastolik memendek dan
penurunan isi sekuncup. Penurunan cardiac reserve dapat
menyebabkan tachikardi dan klien merasakan cepat lelah.
8

c) Orthostatik hipotensi
Pada keadaan immobilisasi terjadi perubahan sirkulasi perifer,
dimana ateri dan venula tungkai berkontraksi tidak adekuat,
vasodilatasi lebih panjang dari pada vasokontriksi, sehingga
darah banyak berkumpul di ekstremitas bawah, volume darah
yang bersirkulasi menurun, jumlah darah ke ventrikel saat
diastolik tidak cukup untuk memenuhi perfusi ke otak dan
tekanan darah menurun, akibatnya klien merasakan pusing
pada saat bangun tidur, serta dapat juga merasakan pingsan.
6) Sistem pencernaan
a) Anoreksia
Pengaruh dari immobilisasi bukan hanya penurunan aktivitas
secara keseluruhan tetapi juga adanya penurunan dari sekresi
kelenjar pencernaan dan mempengaruhi perubahan sekresi serta
penurunan kebutuhan kalori yang menyebabkan menurunnya
nafsu makan.
b) Konstipasi
Meningkatnya jumlah adrenergik dalam tubuh akan
menghambat peristaltik usus dan spincter anus menjadi
kontriksi, sehingga reabsopsi cairan meningkat dalam colon,
menjadikan feses lebih keras dan orang sulit buang air besar.
7) Sistem perkemihan
Dalam kondisi tidur terlentang, renal pelvis, ureter dan kandung
kencing berada dalam keadaan sejajar, sehingga aliran urine harus
melawan gaya gravitasi, pelvis renal banyak menahan urine
sehingga dapat menyebabkan:
a) Akumulasi endapan urine di renal pelvis akan mudah
membentuk batu ginjal.
b) Tertahannya urine pada ginjal akan menyebabkan
berkembangbiaknya kuman, hal ini menyebabkan infeksi pada
saluran kemih.
9

8) Sistem integument
Tirah baring yang lama, maka tubuh bagian bawah seperti
punggung dan bokong akan tertekan sehingga akan menyebabkan
penurunan suplai darah dan nutrisi ke jaringan, jika hal ini
dibiarkan akan menjadi ischemia, hiperemis dan akan normal
kembali jika tekanan dihilangkan dan kulit dimasase untuk
meningkatkan suplai darah.
b. Dampak Terhadap Psikososial
Hilangnya salah satu anggota gerak dalam sistem muskuloskeletal,
sangat berpengaruh terhadap kondisi psiko sosial pasien. Gangguan
mobilisasi dan kenyamanan dapat mempengaruhi status emosional,
fungsi sosial dan fungsi pekerjaan serta fungsi seksual.
Gangguan body image, persepsi klien selalu dihubungkan dengan
kondisi tubuhnya seperti hilangnya salah satu anggota tubuhnya.
Hilangnya anggota tubuh berpengaruh terhadap pekerjaan,
kemampuan beraktivitas, rekreasi dan klien mungkin berfikir tidak
dapat berhubungan dengan orang lain lebih lama, bila orang lain tidak
menerima perubahan tubuhnya.
Kondisi sistem muskuloskeletal yang terganggu akan
mempengaruhi emosi seseorang, sebab kondisi ini mempengaruhi
mobilitas dan ketergantungan seseorang. Karena ketergantungan
tersebut, maka klien akan kehilangan kekuatan dan rasa aman serta
menurunnya harga diri. Seseorang yang mempunyai masalah sistem
muskuloskeletal akan menjadikan rasa asing serta tidak dibutuhkan
orang lain.

B. Konsep Dasar Proses Keperawatan


Proses keperawatan adalah suatu bentuk pemecahan masalah yang
ditujukkan untuk membantu perawat dalam menangani klien secara
komprehensif dengan dilandasi alasan ilmiah, keterampilan teknis dan
hubungan interpersonal. Pada dasarnya proses keperawatan adalah metode
10

pelaksanaan asuhan keerawatan yang sistematis berfokus pada respon manusia


baik sebagai individu maupun kelompok mengenai keadaan kesehatan baik
aktual maupun potensial.
Proses keperawatan terbagi dalam empat tahapan yaitu; Assessment
(pengkajian), planning (perencanaan), implementation (pelaksanaan) dan
evaluation (penilaian).
1. Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan gangguan sistem muskuloskeletal
meliputi; pengumpulan data, interpretasi data dan diagnosa perawatan.
a. Pengumpulan Data
Pengumpulan data meliputi:
1) Biodata klien dan penanggung jawab
Biodata klien terdiri dari : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, status merital, agama, alamat, tanggal masuk rumah
sakit, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
Bio data penanggung jawab meliputi: nama, umur, jenis kelamin,
agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan hubungan dengan klien.
2) Keluhan utama
Merupakan keluhan klien saat dikaji, klien yang mengalami
amputasi dan immobilisasi biasanya mengeluh tidak dapat
melakukan pergerakan dengan bebas, nyeri, lemah dan tidak dapat
melakukan sebagian aktivitas sehari-harinya.
3) Riwayat kesehatan
a) Riwayat kesehatan sekarang
Menceritakan kapan klien mengalami trauma yang
menyebabkan klien di amputasi, dimana dan bagaimana
terjadinya sehingga menyebabkan trauma, anggota gerak mana
yang trauma. Klien dengan amputasi akan mengeluh nyeri pada
lekukan sehingga dengan adanya nyeri klien takut
menggerakan tubuhnya, nyeri dirasakan saat bergerak saja atau
terus menerus. Klien juga akan mengeluh tidak bebas bergerak
11

selain karena nyeri juga karena hilangnya salah satu anggota


gerak, hal ini menyebabkan klien tidak dapat memenuhi
aktivtiasnya secara maksimal, ROM akan terbatas.
b) Riwayat kesehatan dahulu
Mengkaji apakah klien pernah menderita suatu penyakit yang
berat atau penyakit tertentu yang akan berpengaruh terhadap
kondisi klien sekarang.
c) Riwayat kesehatan keluarga
Perlu dikaji utuk mengetahui apakah dalam keluarganya ada
penyakit keturunan atau penyakit-penyakit karena lingkungan
yang kurang sehat yang berdampak negatif terhadap seluruh
anggota keluarga termasuk pada klien sehingga memungkinkan
untuk memperberat penyakitnya.
4) Pemeriksaan fisik
Melakukan pengkajian melalui pemeriksaan dengan cara inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi terhadap berbagai sistem tubuh,
sehingga akan ditemukan hal-hal sebagai berikut:
a) Keadaan umum
Klien dengan amputasi perlu dilihat keadaan umumnya yang
meliputi penampilan, postur tubuh, kesadran dan gaya bicara,
biasanya klien mengalami kelemahan, kebersihan diri kurang,
bentuk tubuh kurus akibat penurunan berat badan, tetapi gaya
bicara masih normal dan kesadaran compos mentis.
b) Sistem muskuloskeletal
Pengkajian meliputi derajat ROM dari pergerakan sendi mulai
dari kepala sampai anggota gerak bawah, ketidknyamanan atau
nyeri yang dikeluhkan klien saat bergerak, toleransi, klien saat
bergerak dan observasi adanya luka pada otot akibat amputasi
terbuka. Selain ROM, tonus dan kekuatan otot harus dikaji,
juga karena klien immobilitas biasanya tonus otot dan
kekuatannya menurun.
12

c) Sistem pernafasan
Mengkaji mulai dari bentuk hidung, ada atau tidaknya sekret
pada lubang hidung, pergerakan cuping hidung saat bernafas,
kesimetrisan gerakan dada saat bernafas, auskultasi bunyi nafas
apakah bersih atau ada ronchi dan frekuensi nafas. Hal ini
penting karena tirah baring yang lama berpengaruh terhadap
pengembangan paru dan mobilisasi sekret pada jalan nafas.
d) Sistem kardiovaskuler
Mengkaji mulai dari warna conjungtiva, warna bibir, ada
tidaknya peninggian vena jugularis, bunyi jantung pada daerah
dada dan pengukuran tekanan darah, dengan palpasi dapat
dihitung frekuensi denyut nadi. Tekanan darah dan denyut nadi
diukur untuk mengethui ada atau tidaknya orthostatik hipotensi
terutama waktu melakukan perubahan posisi dari tidur ke posisi
duduk atau berdiri. Pada daerah perifer perlu dilihat ada
tidaknya edema dan warna pucat atau sianosis.
e) Sistem pencernaan
Perlu dikaji meliputi keadaan mulut, gigi, bibir, lidah, nafsu
makan, peristaltik usus dan BAB. Tujuan pengkajian ini untuk
mengetahui secara dini penyimpangan pada sistem ini yang
diakibatkan oleh pengaruh negatif dari immobilisasi yang biasa
muncul seperti anoreksia, penurunan motilitas usus, kelemahan
dan konstipasi.
f) Sistem persarafan
Mengkaji fungsi serebral, fungsi saraf kranial, fungsi sensorik
dan motorik serta fungsi refleks. Sistem persarafan pada klien
yang diamputasi pada anggota gerak dan immobilisasi biasanya
masih normal, kecuali ada penyakit-penyakit lain atau ada
benturan kepala yang menyertainya.
13

g) Sistem genitourinaria
Dikaji ada tidaknya pembengkakan dan nyeri pada daerah
pinggang, observasi dan palpasi pada daerah abdomen bawah
untuk mengetahui adanya retensi urine dan kaji tentang
keadaan alat-alat genitourinaria bagian luar mengenai
bentuknya, ada tidaknya nyeri tekan dan benjolan serta
bagaimana pengeluaran urinenya, lancar atau nyeri waktu
miksi, serta bagaimana warna urinenya.
h) Sistem integument
Perlu dikaji keadaan kulit, rambut dan kuku. Pemeriksaan kulit
meliputi tekstur, kelembaban, turgor, warna dan fungsi
perabaan. Klien immobilisasi perlu dikaji secara seksama
keadaan kulitnya terutama pada daerah yang menonjol dan
penekanan karena resiko terjadinya dekubitus lebih besar jika
posisi klien tidak berubah. Rambut dikaji mengenai distribusi,
kebersihan dan ada tidaknya kerontokan. Untuk kuku dikaji
bentuk, warna dan kebersihannya.
5) Pola aktivitas sehari-hari
Pengkajian pola aktivitas sehari-hari meliputi nutrisi (frekuensi
makan, jenis makanan, porsi makan, jenis dan kuantitas minum,
eliminasi yang meliputi BAB (frekuensi, wana, konsistensi) dan
BAK (frekuensi banyaknya urine yang keluar setiap hari dan warna
urine), personal hygiene (frekuensi mandi, mencuci rambut, gosok
gigi, ganti pakaian, menyisir rambut dan menggunting kuku), olah
raga/aktivitas gerak (frekuensi dan jenis) serta rekreasi (frekuensi
dan tempat).
6) Data psikososial
Pada klien amputasi, aspek psikososial yang perlu dikaji dalam
mengenai konsep diri (identitas diri, body image, ideal diri, harga
diri dan peran) dan hubungan atau interaksi klien baik dengan
anggota keluarga maupun dengan lingkungan dimana ia berada.
14

Klien dengan amputasi yaitu kehilangan anggota tubuh yang


permanen akan mempengaruhi gambaran diri sehingga adanya
perubahan yang kurang wajar dalam status emosional, tingkah
laku, dan menurunya kemampuan koping. Klien mungkin berpikir
tidak dapat berhubungan dengan orang lain.
7) Data spiritual
Klien dengan immobilitas akibat amputasi perlu dikaji tentang
agama dan peribadatannya, keyakinan-keyakinan, harapan serta
semangat yang terkandung dalam diri klien yang merupakan aspek
penting untuk kesembuhan penyakitnya.
8) Data penunjang
Pada klien dengan kasus amputasi tidak ada test khusus tentang
pemeriksaan laboratorium. Sedangkan pemeriksaan radiografik
dilakukan untuk mengetahui viability.
b. Diagnosa Keperawatan
Adalah suatu pernyataan yang jelas, padat dan pasti tentang
status dan masalah kesehatan klien yang dapat ditanggulangi dengan
intervensi keperawatan. Untuk klien dengan amputasi diagnosa
keperawatan yang lazim terjadi adalah:
1) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan anggota
tubuh.
2) Gangguan konsep diri; body image berhubungan dengan
perubahan penampilan fisik.
3) Gangguan rasa nyaman; nyeri berhubungan dengan terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dan otot.
4) Gangguan pemenuhan ADL; personal hygiene kurang
berhubungan dengan kurangnya kemampuan dalam merawat diri.
5) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang
lama
6) Resiko tinggi kontraktur berhubungan dengan immobilisasi
7) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya luka terbuka.
15

2. Perencanaan Keperawatan
a. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan anggota
tubuh.
1) Tujuan
Kebutuhan mobilisasi fisik terpenuhi, dengan kriteria:
- Klien dapat menggerakan anggota tubuhnya yang lain (yang
masih ada)
- Klien dapat merubah posisi dari posisi tidur ke posisi duduk.
- ROM, tonus dan kekuatan otot terpelihara
- Klien dapat melakukan ambulasi.
2) Intervensi
Intervensi Rasional
a. Kaji ketidakmampuan a. Dengan mengetahui
bergerak klien yang derajat ketidakmampuan
diakibatkan oleh prosedur bergerak klien dan persepsi
pengobatan dan catat klien terhadap immobilisasi
persepsi klien terhadap akan dapat menentukan
ambulasi. aktivitas mana saja yang
perlu dilakukan.
b. Latih klien untuk b. Pergerakan dapat
menggerakan anggota badan meningkatkan aliran darah
yang masih ada. ke otot dan tulang untuk
memperbaiki tonus otot,
memelihara pergerakan
sendi dan mencegah
kontraktur, atropi.
c. Tingkatkan c. Untuk menambah
pengetahuan klien tenang pengetahuan klien sehingga
prosthetic. klien termotivasi untuk
mandiri dalam ambulasi.
d. Dengan ambulasi
16

Intervensi Rasional
d. Tingkatkan ambulasi demikian klien dapat
klien seperti mengajarkan mengenal dan
menggunakan crutcher, menggunakan alat-alat yang
tongkat dan kursi roda. perlu digunakan oleh klien,
dan juga untuk memenuhi
aktivitas klien.
e. Ganti posisi klien e. Pergantian posisi tiap
setiap 3-4 jam secara 3-4 jam dapat mencegah
periodik. terjadinya kontraktur.
f. Membantu klien untuk
f. Bantu klien mengganti meningkatkan kemampuan
posisi dari tidur ke duduk dalam duduk dan turun dari
dan turun dari tempat tidur. tempat tidur.

b. Gangguan konsep diri; body image berhubungan dengan perubahan


penampilan fisik.
1) Tujuan
Klien dapat menerima keadaan fisiknya, dengan kriteria:
- Klien dapat meningkatkan body image dan harga dirinya
- Klien dapat berperan serta aktif selama rehabilitasi dan self
care.
2) Intervensi
Intervensi Rasional
a. Motivasi klien untuk a. Ekspresi pengalaman
mengekspresikan kehilangan dapat
pengalaman kehilangan mengetahui persepsi dan
suatu benda. koping klien saat
kehilangan.
b. Kaji respon verbal dan b. Untuk mengetahui
nonverbal yang pada tahap apa persepsi
mempengaruhi amputasi. klien sekarang.
17

Intervensi Rasional
c. Motivasi klien agar c. Klien akan
menjelaskan perasaannya mengungkapkan
berkaitan dngan perubahan perasaannya sehingga dapat
gambaran diri atau harga dilihat ada tidaknya
diri. prubahan gambaran diri dan
d. Ikut sertakan keluarga harga diri.
dalam memberikan support d. Support sistem
pada klien. keluarga akan memberikan
dorongan pada klien
sehingga membantu
e. Bantu klien untuk peningkatan harga diri
menentukan tujuan yang klien.
realistik setahap demi e. Tujauan yang realistik
setahap. dapat memberikan
kepercayaan diri klien
sehingga memberikan
kekuatan untuk mencapai
tujuan tersebut.

c. Gangguan rasa nyaman; nyeri berhubungan dengan terputusnya


kontinuitas jaringan tulang dan otot.
1) Tujuan:
Nyeri berkurang atau hilang, dengan kriteria:
- Ekspresi wajah klien tidak meringis kesakitan
- Klien menyatakan nyerinya berkurang
- Klien mampu beraktivitas tanpa mengeluh nyeri.
2) Intervensi:
Intervensi Rasional
a. Tinggikan posisi a. Posisi stump lebih
stump tinggi akan meningkatkan
aliran balik vena
18

Intervensi Rasional
mengurangi edema dan
nyeri.
b. Evaluasi derajat nyeri, b. Merupakan intervensi
catat lokasi, karasteristik monitoring yang efektif.
dan intensitasnya, catat Tingkat kegelisahan
perubahan tana-tanda vital mempengaruhi persepsi
dan emosi. reaksi nyeri.
c. Berikan teknik c. Distraksi untuk
penanganan stress seperti mengalihkan perhatian
relaksasi, latihan nafas klien terhadap nyeri karena
dalam, atau masase dan perhatian klien dialihkan
distraksi pada hal-hal lain, teknik
relaksasi akan mengurangi
ketergantungan pada otot
yang menurunkan rangsang
nyeri pada saraf-saraf nyeri.
d. Analgetik dapat
d. Kolaboasi pemberian meningkatkan ambang
analgetik. nyeri pada pusat nyeri di
otak atau dapat membloking
rangsang nyeri sehingga
tidak sampai ke susunan
saraf pusat.

d. Gangguan pemenuhan ADL; personal hygiene kurang


berhubungan dengan kurangnya kemampuan dalam merawat diri.
1) Tujuan
Klien dapat melakukan perawatan diri secara mandiri, dengan
kriteria:
- Tubuh, mulut dan gigi bersih serta tidak berbau
- Kuku pendek dan bersih
19

- Rambut bersih dan rapi


- Pakaian, tempat tidur dan meja klien bersih dan rapi
- Klien mengatakan merasa nyaman.
2) Intervensi
Intervensi Rasional
a. Bantu klien dalam hal a. Dengan menyediakan
mandi dan gosok gigi air dan mendekatkan alat-
dengan cara mendekatkan alat mandi maka akan
alat-alat mandi, dan mendorong kemandirian
menyediakan air klien dalam hal perawatan
dipinggirnya jika klien dan melakukan aktivitas.
mampu. b. Dengan membantu
b. Bantu klien dalam klien dalam mencuci
mencuci rambut dan potong rambut dan memotng kuku
kuku. maka kebersihan rambut
dan kuku terpenuhi.
c. Dengan merapihkan
rambut dan mengganti
c. Anjurkan klien untuk pakaian setiap hari maka
senantiasa merapihkan mening-katkan harga diri
rambut dan mengganti klien.
pakaiannya setiap hari d. Dengan membersihkan
d. Bersihkan dan dan merapihkan lingkungan
rapihkan lingkungan di akan membuat nyaman
sekitar klien. klien.

e. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang


lama
1) Tujuan:
Klien dapat sembuh tanpa komplikasi seperti infeksi, dengan
kriteria:
- Kulit bersih dan lembab
20

- Kulit tidak berwarna merah


- Kulit bokong tidak terasa ngilu
2) Intervensi:
Intervensi Rasional
a. Kerjasama a. Sabun mengandung
dengan keluarga selalu antiseptik yang dapat
menyediakan sabun mandi menghilangkan kotoran
saat mandi. pada kulit sehingga kulit
bersih dan tetap lembab.
b. Alat tenun yang bersih
b. Pelihara dan rapi mengurangi resiko
kebersihan dan kerapihan kerusakan kulit dan
alat tenun setiap hari. mencegah masuknya
mikroorganisme.
c. Untuk mencegah
c. Anjurkan penekanan yang terlalu
pada klien untuk merubah lama yang dapat
posisi tidurnya setiap 3-4 menyebabkan iritasi.
jam sekali.

f. Resiko tinggi kontraktur berhubungan dengan immobilisasi


1) Tujuan:
Kontraktur tidak terjadi, dengan kriteria:
- Klien dapat melakukan latihan rentang gerak
- Setiap persendian dapat digerakan dengan baik
- Tidak terjadi tanda-tanda kontraktur seperti kaku pada persendian
2) Intervensi:
Intervensi Rasional
a. Pertahankan a. Peninggian
peningkatan kontinyu dari menurunkan edema dan
puntung selama 24-48 jam menurunkan resiko
sesuai pesanan. Jangan kontraktur fleksi dari
21

Intervensi Rasional
menekuk lutut, tempat tidur panggul.
atau menempatkan bantal
dibawah sisa tungkai.
Tinggikan kaki tempat tidur
malalui blok untuk
meninggikan puntung.
b. Tempatkan
klien pada posisi telungkup b. Otot normalnya
selama 30 menit 3-4 kali berkontraksi waktu
setiap hari setelah periode dipotong, posisi telungkup
yang ditentukan dari membantu mempertahankan
peninggian ujung kontinyu. tungkai sisa pada ekstensi
penuh.
c. Tempatkan rol c. Kontraktur
trochanter di samping paha adduksi dapat terjadi karena
untuk mempertahankan otot fleksor lebih kuat
tungkai adduksi. daripada otot ekstensor.
d. Mulai latihan d. Latihan rentang
rentang gerak pada puntung gerak membantu
2-3 kali sehari mulai pada mempertahankan
hari pertama pasca operasi. fleksibilitas dan tonus otot.
Konsul terapis fisik untuk
latihan yang tepat.

g. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya luka terbuka.


1) Tujuan:
Infeksi tidak terjadi, dengan kriteria:
- Luka bersih, keringdan tidak kemerahan serta tidak
bengkak
- Tanda-tanda vital normal
- Nilai leukosit normal (5.000 – 10.000/mm3)
22

2) Intervensi:
Intervensi Rasional
a. Observasi a. Untuk
keadaan luka. memonitor bila ada tanda-
tanda infeksi sehingga akan
cepat ditanggulangi.
b. Teknik aseptik
b. Gunakan dan antiseptik untuk
teknik aseptik dan antiseptik mencegah pertumbuhan
dalam melakukan setiap atau membunuh kuman
tindakan perawatan. sehingga infeksi tidak
terjadi.
c. Mengganti
c. Ganti balutan balutan untuk menjaga agar
dua kali sehari dengan alat luka tetap bersih dan
yang steril. dengan menggunakan
peralatan yang steril agar
luka tidak terkontaminasi
oleh kuman dari luar.
d. Monitor LED
untuk mengetahui adanya
d. Monitor LED leukositosis yang
merupakan tanda-tanda
infeksi.
e. Peningkatan
suhu tubuh, denyut nadi,
e. Monitor tanda- frekuensi dan penurunan
tanda vital tekanan darah merupakan
salah satu tanda-tanda
terjadinya infeksi.
23

3. Implementasi Keperawatan
Kegiatan pada tahapan ini meliputi pelaksanaan perencanaan
keperawatan. Perawat menerapkan pengetahuan dan keterampilannya
berdasarkan ilmu keperawatan dan ilmu lain yang terkait secara
terintegrasi.
4. Evaluasi Keperawatan
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut,
pengumpulan data obyektif dan data subyektif yang akan menunjukkan
apakah tujuan asuhan keperawatan sudah dicapai atau belum, masalah apa
yang sudah dipecahkan dan apa yang perlu dikaji direncanakan,
dilaksanakan dan dinilai kembali.

DAFTAR PUSTAKA:

Asep Setiawan, dkk, (2000). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem


Muskuloskeletal, Akper Padjadjaran, Bandung.

Brunner. (2000). Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.

Price, Sylvia. A. (1995). Patofisiologi: Konsef Klinis Proses-Proses Penyakit.


EGC. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai