Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi akut yang
melibatkan organ saluran pernafasan bagian atas dan bagian bawah yang
dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dari infeksi ringan sampai
berat. ISPA merupakan penyebab utama morbilitas akibat penyakit menular
di dunia. Hampir 4 juta orang meninggal karena infeksi saluran pernafasan
akut setiap tahun, dimana 98% kematian tersebut disebabkan oleh infeksi
saluran pernafasan bawah. Tingkat kematian sangat tinggi pada bayi, anak-
anak dan orang tua, terutama di Negara berpendapatan rendah dan menengah.
ISPA adalah salah satu penyebab paling umum konsultasi atau perawatan di
fasilitas pelayanan kesehatan, teruatama dalam layanan anak. (WHO, 2019)
Bakteri adalah penyebab utama infeksi saluran pernafasan bawah, dimana
Streptococcus penumoniae menjadi penyebab paling umum pneumonia,
bakteri dapatan komunitas di banyak Negara. Namun, sebagian besar infeksi
saluran pernafasan akut disebabkan oleh virus atau campuran infeksi virus-
bakteri. ISPA memiliki potensi epidemik atau pandemi dan dapat
menimbulkan resiko, kesehatan masyarakat memerlukan tindakan
kewaspadaan dan kesiapsiagaan khusus. (WHO, 2019)
Penyakit ISPA merupakan masalah kesehatan yang menjadi perhatian
dunia. Berdasarkan hasil Riskesdas (2018) prevalensi ISPA di Indonesia
sebesar 9,3% diantaranya 9,0% berjenis kelamin laki-laki dan 9,7% berjenis
kelamin perempuan. Prevalensi ISPA tertinggi terjadi pada kelompok usia 1-
4 tahun yaitu sebesar 13,7%. Kasus ISPA terbanyak di Indonesia yaitu terjadi
di Provinsi Nusa Tenggara Timur 15,4%, Papua 13,1%, Banten 11,9%, Nusa
Tenggara Barat 11,7%, Bali 9,7%. (Kemenkes RI, 2018)
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi yang melibatkan
organ saluran pernafasan bagian atas dan bagian bawah yang dapat
menyebabkan berbagai macam penyakit dari infeksi ringan sampai berat.

1
Menurut diagnosa tenaga kesehatan (dokter, bidan dan perawat) ISPA adalah
infeksi saluran pernafasan akut dengan gejala demam, batuk kurang dari dua
mingggu, pilek, hidung tersumbat dan sakit tenggorokan. (Kemenkes RI,
2018)
Prevalensi ISPA menurut kabupaten atau kota di Provinsi Bengkulu
diantaranya Bengkulu Selatan 19,99%, Rejang Lebong 18,85%, Bengkulu
Utara 12,26%, Kaur 8,28%, Seluma 6,23%, Muko-Muko 1,20%, Lebong
2,89%, Kepahiang 7,51%, Bengkulu Tengah 9,32% dan Kota Bengkulu
2,53%. (Riskesdas, 2018)
Prevalensi ISPA pada balita menurut kabupaten atau kota di Provinsi
Bengkulu diantaranya Bengkulu Selatan 28,65%, Rejang Lebong 29,96%,
Bengkulu Utara 21,65%, Kaur 21,39%, Bengkulu Tengah 13,70%, Seluma
11,72%, Kepahiang 6,04%, Kota Bengkulu 3,40%, Muko-Muko 1,58% dan
Lebong 1,01%. (Riskesdas, 2018)
Puskesmas Sawah Lebar Kota Bengkulu adalah salah satu puskesmas yang
terletak di wilayah kerja kecamatan Ratu Agung Kota Bengkulu, dengan luas
wilayah 2,61 Km, terletak di tengah Kota Bengkulu, dengan jumlah
penduduk 21.206 jiwa, wilayah kerja puskesmas Sawah Lebar meliputi
kelurahan Sawah Lebar, kelurahan Sawah Lebar Baru, dan Kelurahan Kebun
Tebeng. Prevalensi ISPA di Puskesmas Sawah Lebar Kota Bengkulu pada
tahun 2020 adalah 71,6% dengan jumlah penderita ISPA sebanyak 2.049
orang. (Profil Puskesmas Sawah Lebar, 2020)
Infeksi saluran pernafasan akut pada balita disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu faktor kondisi lingkungan rumah dan faktor balita (seperti status
gizi, pemberian ASI eksklusif, kelengkapan imunisasi, berat badan lahir
rendah dan umur bayi). (Zahra dan Assetya, 2018).
Menurut survei awal didapatkan bahwa masyarakat sekitar mengetahui
tentang penyakit ISPA dan faktor-faktor yang menyebabkan penyakit ISPA.
Masyarakat merasa bahwa penyakit ISPA ini hanyalah penyakit yang biasa
terjadi pada balita dan anak-anak. Berdasarkan survei awal yang dilakukan
oleh penulis didapatkan bahwa pemukiman warga termasuk pemukiman yang

2
padat penduduk dam sebagian wilayahnya rawan banjir. Adapula rumah
warga yang minim pencahayaan. Karena sering terkena banjir maka kondisi
di dalam rumah menjadi lembab dan tempat yang lembab dan kurang
pencahayaan adalah tempat hidup dan berkembangnya penyakit.
Lingkungan fisik rumah merupakan salah satu faktor yang berhubungan
dengan kejadian ISPA. Lingkungan fisik yang tidak memenuhi syarat
kesehatan dapat menjadi faktor resiko penularan penyakit berbasis
lingkungan. Berdampak pada kesehatan balita yang rentan terhadap penyakit.
Berdasarkan masalah lingkungan fisik terhadap penyakit ISPA maka perlu
memperhatikan lingkungan fisik rumah seperti luas ventilasi rumah, jenis
lantai, jenis dinding rumah, kepadatan hunian rumah, serta mengurangi
penggunaan obat nyamuk bakar dalam rumah.
Berkaitan dengan hal tersebut sehingga penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “ Hubungan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian
ISPA Pada Balita di Puskesmas Sawah Lebar Kota Bengkulu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka dapat dirumuskan
masalah penelitian yaitu “Apakah ada Hubungan Lingkungan Fisik Rumah
Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita di Puskesmas Sawah Lebar
Kota Bengkulu”?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Hubungan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian
ISPA Pada Balita di Puskesmas Sawah Lebar Kota Bengkulu.
2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran lingkungan fisik rumah di Puskesmas
Sawah Lebar Kota Bengkulu.
2. Untuk mengetahui gambaran kejadian penyakit ISPA pada balita di
Puskesmas Sawah Lebar Kota Bengkulu.
3. Untuk mengetahui hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian
penyakit ISPA pada balita di Puskesmas Sawah Lebar Kota Bengkulu.

3
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat menambah referensi, wawasan, ilmu
pengetahuan kesehatan khususnya tentang hubungan lingkungan fisik
rumah dengan kejadian ISPA pada balita
2. Manfaat Praktis
1. Manfaat Bagi Puskesmas
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
masukan dan informasi tambahan tentang Hubungan Lingkungan
Fisik Rumah dengan Kejadian ISPA Pada Balita.
2. Manfaat Bagi Prodi Kesehatan Masyarakat (S1)
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermakna
kepada pihak akademik serta dapat dijadikan sebagai referensi dan
acuan peningkatan kualitas pembelajaran kepada mahasiswa dalam
proses belajar terutama tentang hubungan lingkungan fisik rumah
dengan kejadian ISPA pada balita.
3. Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi data
dasar untuk penelitian serupa dan penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan pada peneliti yang akan datang dalam membuat
penelitian yang lainnya. Peneliti berikutnya dapat mengembangkan
variabel-variabel penelitian di samping variabel yang sudah ada.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut)


1. Definisi ISPA
Menurut WHO ISPA adalah penyakit menular dari saluran
pernafasan atas atau bawah yang dapat menimbulkan berbagai spectrum
penyakit berkisar dari infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan
mematikan, tergantung pathogen penyebabnya, faktor penjamu dan faktor
lingkungan. Penyakit ISPA adalah penyebab utama morbiditas dan
mortalitas penyakit menular di dunia. Penyakit ISPA juga penyebab
utama kematian terbesar ketiga di dunia dan pembunuh utama di Negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Kematian akibat penyakit ISPA
sepuluh sampai lima puluh kali di Negara berkembang daripada Negara
maju. ISPA termasuk golongan Air Borne Disease yang penularan
penyakit melalui udara, pathogen yang masuk dan menginfeksi saluran
pernafasan dan menyebabkan inflamasi. (Lubis Ira dkk, 2019)
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi
yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas, mulai
dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk
jaringan andeksanya, seperti sinus, rongga telingga tengah dan pleura.
ISPA merupakan infeksi saluran pernafasan yang berlangsung selama 14
hari. ISPA merupakan penyakit yang banyak dijumpai pada balita dan
anak-anak mulai dari ISPA ringan sampai berat. ISPA yang berat jika
masuk ke dalam jaringan paru-paru akan menyebabkan pneumonia.
Pneumonia merupakan penyakit infeksi yang dapat menyebabkan
kematian terutama pada anak-anak. (Jalil, 2018)
2. Penyebab Terjadinya ISPA
ISPA dapat disebabkan oleh berbagai macam organisme, namun
yang terbanyak adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dan bakteri.
Virus merupakann penyebab terbanyak infeksi saluran nafas atas akut

5
(ISPA) seperti Rhinnitis, sinusitis, faringitis, tonsillitis, dan laryngitis.
Hampir 90% dari infeksi tersebut disebabkan oleh virus dan hanya
sebagian disebabkan oleh bakteri. (Tandi, 2018)
3. Faktor Resiko ISPA
Ada beberapa faktor resiko dari penyakit ISPA yaitu :
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Status gizi
4. Berat badan lahir
5. Pemberian ASI
6. Pendidikan orang tua
7. Kebiasaan merokok
8. Status ekonomi
9. Keadaan lingkungan fisik rumah
4. Klasifikasi ISPA Pada Balita
Menurut Halimah (2019), klasifikasi ISPA dapat dikelompokkan
berdasarkan golongan umur yaitu :
a. ISPA berdasarkan golongannya
1. Pneumonia yaitu proses infeksi akut yang mengenai jaringan
paru-paru (Alveoli)
2. Bukan pneumonia meliputi batuk pilek biasa (Common cold),
radang tenggorokan (Pharyngitis), tosilitisi dan infeksi telinga
(otomatis media)
b. ISPA dikelompokkan berdasarkan golongan umur yaitu :
Untuk usia anak 2-59 bulan
1. Bukan pneumonia bila frekuensi pernafasan kurang dari 50 kali
permenit untuk usia 2-11 bulan dan kurang dari 40 permenit
untuk usia 12-59 bulan, serta tidak ada tarikan pada dinding dada.
2. Pneumonia yaitu ditandai dengan nafas cepat (frekuensi
pernafasan sama atau lebih dari 50 kali permenit untuk usia 2-11
bulan dan frekuensi pernafasan sama atau lebih dari 40 kali

6
permenit untuk usia 12-59 bulan), serta tidak ada tarikan pada
dinding dada.
3. Pneumonia berat yaitu adanya batuk dan nafas cepat (Fast
breathing) dan tarikan dinding pada bagian bawah kea rah dalam
(Server chest indrawing)
Untuk anak usia kurang dari 2 bulan
1. Bukan pneumonia yaitu frekuensi pernafasan kurang dari 60 kali
permenit tidak ada tarikan dinding dada.
2. Pneumonia berat yaitu frekuensi pernafasan sama atau lebih dari
60 kali permenit (Fast breathing) atau adanya tarikan dinding
dada tanpa nafas cepat.
5. Tanda dan Gejala ISPA
Tanda dan gejala ISPA biasanya muncul dengan cepat, yaitu dalam
beberapa jam sampai beberapa hari. Penyakit ISPA pada balita dapat
menimbulkan bermacam macam tanda dan gejala. Tanda dan gejala
ISPA seperti batuk, kesulitan bernapas, sakit tenggorokan, pilek, sakit
telinga dan demam (Rosana, 2018).
Gejala ISPA berdasarkan tingkat keparahan adalah sebagai berikut
(Rosana, 2018):
a. Gejala ISPA ringan
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan
satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
1. Batuk
2. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara
(pada waktu berbicara atau menangis)
3. Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
4. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C
b. Gejala ISPA sedang
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai
gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai
berikut :

7
1. Pernapasan cepat (fast breathing) sesuai umur yaitu :untuk
kelompok umur kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per
menit atau lebih untuk umur 2 -< 5 tahun
2. Suhu tubuh lebih dari 39°C.
3. Tenggorokan berwarna merah
4. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak
campak
5. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
6. Pernapasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur)
c. Gejala ISPA berat
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai
gejala - gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih
gejala-gejala sebagai berikut :
1. Bibir atau kulit membiru
2. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun
3. Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah
4. Sela iga tetarik ke dalam pada waktu bernafas
5. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba
6. Tenggorokan berwarna merah.
6. Cara Penularan ISPA
Penyakit ISPA merupakan penyakit yang tergolong ke dalam
airbone disease dimana penularannya dapat terjadi melalui udara yang
telah tercemar bibit penyakit dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran
pernafasan. Penularan melalui udara terjadi tanpa kontak dengan
penderita maupun dengan benda yang terkontaminasi. Namun, pada
kenyataannya sebagian besar penularan melalui udara dapat juga menular
melalui kontak langsung dengan penderita yang mengidap penyakit ISPA
(Najmah, 2016). Pada ISPA dikenal 3 cara penularan infeksi ini yaitu :
1. Melalui aerosol yang lambat, terutama karena batuk-batuk
2. Melalui aerosol yang lebih kasar, terjadi pada waktu batuk-batuk dan
bersin-bersin

8
3. Melalui kontak langsung atau tidak langsung dari benda-benda yang
telah dicemari ( Hand to hand transmission)
7. Cara Pencegahan ISPA
Menurut Ardinasari (2018) infeksi saluran pernafasan akut pada
balita dapat dicegah dengan cara sebagai berikut:
1. Melakukan imunisasi sesuai umur anak yang disarankan, sehingga
bayi, balita dan anak memiliki kekebalan terhadap berbagai serangan
penyakit
2. Menjaga asupan makanan dan nutrisi
3. Menjaga kebersihan lingkungan sekitar
4. Menjauhkan bayi, balita dan anak dari asap rokok, tembakau dan
polusi udara lainnya
5. Menghindari bayi, balita dan anak dari seorang yang tengah
menderita ISPA
8. Cara Pengobatan ISPA
Pengobatan ISPA pada bayi, balita dan anak secara umum bisa
dilakukan di rumah, dengan cara Memberika obat yang sifatnya aman
dan alamiah pada balita sedangkan bayi sebaiknya segera dibawa ke
dokter. Penderita ISPA memerlukan banyak asupan makanan yang
bergizi, balita perlu diberikan makanan sedikit demi sedikit tetapi rutin
dan berulang sedangkan bayi yang masih menyusui dibutuhkan ASI
eksklusif dari ibu. Agar penderita ISPA tidak kekurangan cairan berilah
aiy yang lebih banyak dari biasanya baik air putih maupun sari buah.
Asupan minuman yang banyak akan membantu mencegah dehidrasi dan
mengencerkan dahak. (Ardinasari, 2018). Kemudian untuk penanganan
ISPA bisa ditentukan berdasarkan penyebab dari ISPA tersebut antara
lain :
1. ISPA yang disebabkan oleh alergi : cara yang paling tepat dengan
menghindari zat-zat yang menimbulkan alergi tersebut. Tablet anti
alergi biasanya diresepkan oleh dokter untuk menghentikan reaksi
alergi tersebut.

9
2. ISPA disebabkan oleh virus : biasanya ISPA yang disebabkan oleh
virus ini tidak memerlukan pengobatan. Yang diperlukan hanya
istirahat, minum yang banyak dan makan makanan yang sehat.
Dengan istirahat yang cukup biasanya gejala mulai berkurang setelah
2-3 hari.
3. ISPA disebabkan oleh bakteri dan jamur : ISPA jenis ini memerlukan
antibiotic atau anti jamur untuk membunuh kuman tersebut.
Penggunaan obat-obat tersebut harus menggunakan resep dokter
untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan mengurangi resiko
munculnya efek yang tidak diinginkan.

B. ISPA Berdasarkan Trias Epidemiologi


1. Host
Faktor host dalan penyakit ISPA ini adalah manusia. Faktor host yang
berkaitan dengan terjadinya penyakit ISPA adalah :
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Status gizi
d. Berat badan lahir
e. Pemberian ASI
f. Pendidikan orang tua
g. Kebiasaan merokok
h. Status ekonomi
i. Keadaan lingkungan fisik rumah
2. Agent
Faktor agent (penyebab) adalah suatu unsur organisme hidup atau kuman
infeksi yang menyebabkan terjadinya suatu penyakit. Agent dari penyakit
ISPA ini adalah :
a. Bakteri penyebab ISPA adalah Diploccocus pneumonia,
pneumococcus, streptococcus pyogenes, staphylococcus aureus,
hameophilus influenza, dan lain-lain.

10
b. Virus penyebab ISPA adalah Influenza, adenovirus, sitomegalovirus.
c. Jamur penyebab ISPA adalah Aspergilus sp, candida albicans,
histoplasma dan lain-lain.
3. Environment
Environment adalah lingkungan atau faktor luar dari individu. Faktor
environment dari ISPA adalah lingkungan fisik rumah yang terdiri dari :
a. Ventilasi
b. Kepadatan hunian
c. Jenis lantai
d. Jenis dinding
e. Pencahayaan
f. Kelembaban

C. Konsep Rumah Sehat


1. Definisi Rumah Sehat
Rumah adalah pusat kesehatan keluarga karena rumah merupakan
tempat dimana anggota keluarga berkumpul dan saling berhubungan.
Seluruh anggota keluarga serta kebiasaan hidup sehari-hari merupakan
suatu ketentuan yang berhubungan erat, itulah sebabnya kesehatan harus
dimulai dari rumah. Untuk itu rumah dan pengaturannya harus memenuhi
syarat-syarat kesehatan. (Nurul, 2019)
Rumah sehat adalah rumah yang dapat memenuhi kebutuhan baik
jasmani dan rohani bagi anggota keluarga dan rumah sebagai tempat
perlindungan terhadap penularan penyakit. (Untari, 2017). Menurut
Notoatmodjo, rumah adalah suatu persyaratan pokok bagi kehidupan
manusia. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam membangun suatu
rumah adalah faktor lingkunga (baik lingkungan fisik, lingkungan
biologis maupun lingkungan sosial) dan tingkat kemampuan ekonomi
masyarakat.

11
2. Komponen Fisik Rumah Sehat
1. Ventilasi
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara kea tau
dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis.
2. Pencahayaan
Pencahayaan yang masuk ke dalam rumah berfungsi untuk mengatasi
perkembangan bibit penyakit, namun jika terlalu menyilaukan akan
dapat merusak mata. Cahaya dibedakan berdasarkan sumbernya
menjadi 2 yaitu cahaya alami dan cahaya buatann.
3. Jenis Lantai
Syarat yang penting disini adalah tidak berdebu pada musim kemarau
dan tidak becek pada saat musim hujan. Lantai yang basah dan
berdebu merupakan sarang penyakit.
4. Jenis Dinding
Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, tetapi dinding rumah
daerah tropis khususnya dipedesaan banyak yang berdinding papan,
kayu, dan bamboo. Hal ini disebabkan masyarakat perdesaan
perekonomiannya kurang. Dinding di ruang tidur, ruag keluarga
dilengkapi ventilasi untuk pengaturan sirkulasi udara. Kemudian
dinding di kamar mandi dan tenpat cuci harus kedap air dan mudah
dibersihkan.
5. Kepadatan Hunian Kamar Tidur
Kepadatan hunian yang dimaksud adalah perbandingan antara luas
kamar dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal.
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan dinyatakan
dalam m2 per orang.

12
D. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian ini menggunakan kerangka teori trias
epidemiologi. Host
Usia
Host
Jenis Kelamin
Manusia
Status Gizi
Berat Badan Lahir
Pemberian ASI
Pendidikan Orang Tua
Kebiasaan Merokok
Status Ekonomi
Lingkungan Fisik Rumah

Agent
Bakteri
Kejadian ISPA Pada Balita
Virus
Jamur
Ventilasi

Kepadatan Hunian

Jenis Lantai

Jenis Dinding

Environment Pencahayaan

Kelembaban

Gambar 2.1 Kerangka Teori Trias Epidemiologi

13
BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau
kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variabel
yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti.
(Notoatmodjo, 2018). Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dilihat dari
gambar 3.1 berikut
Variabel Independen Variabel Dependen

Lingkungan Fisik Kejadian ISPA Pada


Rumah Balita

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

B. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah uraian batasan variabel yang dimaksud atau
tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan. (Notoatmodjo,
2018). Definisi operasional juga bermanfaat untuk mengarahkan kepada
pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan
serta pengembangan instrument.
Tabel 3.1
Definisi Operasional Variabel Penelitian

N Variabel Definisi Cara Ukur Alat Hasil Ukur Skala


o Operasioanl Ukur Ukur
1 Kejadian Infeksi yang Wawancar Kuesio 0 = Sakit Nomin
ISPA terjadi pada a ner al
Pada pernafasan mengguna 1 = Tidak
Balita bagian atas kan Sakit
dan memiliki kuesioner
gejala antara

14
lain : sakit
tenggorokan,
batuk, pilek,
sakit kepala,
mata merah,
suhu tubuh
meningkat
selama 4-7
hari lamanya.
2 Lingkung Lingkungan Wawancar Kuesio 0= Nomin
an Fisik yang dapat a ner Lingkungan al
Rumah menyebabkan fisik yang
seseorang memenuhi
atau syarat
masyarakat
terkena suatu 1=
penyakit. Lingkungan
fisik yang
tidak
memenuhi
syarat

C. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk
kalimat pertanyaan. (Sugoyono, 2018). Hipotesis pada penelitian ini adalah :
Ha : Ada hubungan antara lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA
pada balita di Puskesmas Sawah Lebar Kota Bengkulu

15
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan
rancangan case control (kasus kontrol). Penelitian case control adalah
penelitian jenis analitik observasional yang dilakukan dengan cara
membandingkan antara kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan
status paparannya. Tahap-tahap penelitian case control ini adalah sebagai
berikut :
1. Identifikasi variabel-variabel penelitian (faktor resiko dan efek)
2. Menetapkan subjek penelitian (populasi dan sampel)
3. Identifikasi kasus
4. Pemilihan subjek sebagai kontrol
5. Melakukan pengukuran retrospektif (melihat ke belakang) untuk melihat
faktor resiko
6. Melakukan analisis dengan membandingkan proporsi antara variabel-
variabel objek penelitian dengan variabel-variabel kontrol.
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
1. Waktu Penelitian
Pengumpulam data penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober-
November 2021.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Sawah Lebar Kota Bengkulu
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau
subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang

16
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. (Sugiyono, 2019). Populasi dalam penelitian ini dibagi
menjadi 2 yaitu :
a. Populasi target
Populasi target adalah populasi yang menjadi sasaran akhir penerapan
hasil penelitian.
b. Populasi studi
Populasi studi atau populasi terjangkau adalah bagian populasi target
yang dapat dijangkau oleh peneliti. Populasi studi dalam penelitian ini
yaitu semua penderita ISPA pada balita yang berada di wilayah kerha
Puskesmas Sawah Lebar dan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu :
a. Kasus
Semua balita yang didiagnosis ISPA berdasarkan rekam medik
pasien ISPA pada balita yang berada di puskesmas sebanyak 141
balita.
b. Kontrol
Balita yang mempunyai penyakit dengan ciri-ciri seperti ISPA
tetapi tidak menderita ISPA
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut. (Sugiyono, 2019). Sampel dalam penelitian ini
terdiri dari 2 kelompok yaitu :
a. Sampel kasus
Kriteria inklusi sampel yang digunakan kelompok kasus adalah :
1. Ibu dan balita yang tinggal di wilayah Puskesmas Sawah lebar
Kota Bengkulu
2. Balita berusia 1-5 tahun
3. Bersedia menjadi responden
Kriterian ekslusi sampel yang digunakan kelompok kasus adalah :
1. Responden tidak berada di tempat saat sedang dilakukan proses
pengambilan data

17
2. Tidak bersedia menjadi responden
Jumlah sampel pada kelompok kasus dalam penelitian ini sebesar 26
balita.
b. Sampel kontrol
Kriteria inklusi sampel untuk kelompok kontrol adalah :
1. Ibu dan balita yang tinggal di wilayah Puskesmas Sawah lebar
Kota Bengkulu
2. Balita berusia 1-5 tahun
3. Bersedia menjadi responden
Kriterian ekslusi sampel yang digunakan kelompok kasus adalah :
1. Responden tidak berada di tempat saat sedang dilakukan proses
pengambilan data
2. Tidak bersedia menjadi responden
Jumlah sampel kelompok kontrol dalam penelitian ini sama besar
dengan kelompok kasus dengan perbandingan 1:1 yaitu sebesar 26
balita.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data Primer adalah data yang di dapat dari individu atau perorangan.
Biasanya, data primer dikumpulkan melalui kegiatan survei, observasi,
eksperimen, kuesioner, wawancara pribadi dan media lain yang
digunakan untuk memperoleh data lapangan. Data primer biasanya
didapatkan dengan membutuhkan banyak sumber daya yang digunakan,
seperti waktu, biaya, dan tenaga.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang sudah ada atau data yang
dikumpulkan oleh lembaga dan organisasi penyelidik sebelumnya. proses
pengumpulan data sekunder lebih cenderung mudah dan cepat dilakukan.
Peneliti bisa mendapatkan berbagai data sekunder dengan memanfaatkan
sumber publikasi pemerintah, situs, buku, artikel jurnal, catatan internal
organisasi dan lain sebagainya.

18
E. Pengolahan Data
Data yang sudah didapatkan atau dikumpulkan kemudian data tersebut akan
diolah. Dalam mengelolah data ada mekanismenya yaitu :
1. Editing data
Editing data atau bisa disebut proses pemeriksaan data adalah proses
peneliti memeriksa kembali data yang telah terkumpul untuk mengetahui
apakah data yang terkumpul cukup baik dan dapat diolah dengan baik.
2. Coding data
Coding data (pemberian kode pada data) adalah salah satu kegiatan
pengolahan data dengan mengubah data berbentuk huruf menjadi data
berbentuk angka atau bilangan. Pengkodean data ini dilakukan untuk
memberikan kode yang spesifik pada respons jawaban responden untuk
memudahkan proses pencatatan data.
3. Skoring
Skoring adalah peneliti memberi skor untuk penderita ISPA
4. Entry data
Entry data adalah proses pemindahan data dari fisik menjadi data data
digital yag dapat diolah oleh software. Data yag telah diberi kode
kemudian dimasukkan ke SPSS untuk menghindari missing data.
5. Cleaning data
Cleaning data adalah mengecek kembali data yang sudah dimasukkan
untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan kode,
kelengkapan dan kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi
6. Tabulating
Tabulating adalah mengelompokkan data sesuai variabel yang akan
diteliti guna mempermudah analisis data.
F. Analisis Data
Analisis data melalui prosedur bertahap antara lain :
1. Analsisis Univariat

19
Analisis uivariat adalah analisa yang dilakukan menganalisis tiap
variabel dari hasil penelitian. Pada analisis ini data yang diperoleh dari
hasil pengumpulan data dapat disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi, ukuran terdensi sentral dan grafik. Jika data mempunyai
distribusi normal, maka mean dapat digunakan sebagai ukuran pemusatan
dan standar deviasi (SD) sebagai ukuran penyebaran. Jika data
berdistribusi tidak normal maka menggunakan median sebagai ukuran
pemusatan dan minimum-maksimum sebagai ukuran penyebaran.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariate adalah analisis yang dilakukan tergadap dua
variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2018).
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui hubungan yang signifikan dari
kedua variabel, yaitu variabel dependen dan variabel independen, yang
analisis dengan uji statistic Chi-Square dan besarnya resiko dengan Odd
Ratio (OR) menggunakan SPSS versi 16. Syarat uji Chi-Square adalah
sebagai berikut :
a. Bila dalam tabel 2x2 dijumpai nilai E<5, lebih dari 20% maka uji
yang digunakan adalah Fisher exact untuk semua variabel yang
ditetapkan signifikan derajat penolakan 5% (P-value 0,05)
b. Bila tabel 2x2 tidak dijumpai nilai E<5 lebih dari 20% maka uji yang
digunakan sebaiknya continuity correction.
Tabel 4.1 Analisis Bivariat

Efek
Faktor Resiko Kasus Kontrol Jumlah
Ya A B a+b
Tidak C D c+d
Jumlah a+b b+d a+b+c+d

Hasil uji Chi-Square hanya dapat menyimpulkan ada atau tidaknya


perbedaan proporsi antar kelompok atau dengan kata lain hanya dapat
menyimpulkan ada atau tidaknya hubungan antara dua variabel kategorik.
Dengan demikian uji Chi-Square dapat digunakan untuk mencari

20
hubungan dan tidak dapat untuk melihat seberapa besar hubungannya atau
tidak dapat mengetahui kelompok mana yang memiliki resiko lebih besar.
(Sujarweni, 2015). Penentuan pemeriksaan hipotesis penelitian
berdasarkan tingkat signifikansi (P-value) yang diperoleh dari uji Chi-
Square,yaitu:
a. Apabila p value ≤ 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga
antara kedua variabel ada hubungan yang bermakna.
b. Apabila p>0,05 maka Ho diterima dan Ha ditolak, sehingga antara kedua
variabel tidak ada hubungan yang bermakna.
c. 95% C1 tidak melewati angka 1 artinya berhubungan 95% C1 melewati
angka 1 artinya tidak berhubungan
Syarat Odds Ratio sebagai berikut :
a. OR <1 artinya fakor yang diteliti merupakan faktor protektif resiko
untuk terjadinya efek.
b. OR>1 artinya faktor yang diteliti merupakan faktor resiko
c. OR=1 artinya faktor yang diteliti bukan merupakan faktor resiko
Odds Ratio dipakai untuk mencari perbandingan kemungkinan
peristiwa terjadi di dalam satu kelompok dengan kemungkinan hal yang
sama terjadi di kelompok lain.
G. Alur Penelitian
Sebelum mengumpulkan data terlebih dahulu peneliti meminta surat
pengantar dari institusi pendidikan Prodi Kesehatan Masyarakat, surat
tersebut digunakan untuk meminta izin dan meinta surat rekomendasi dari
institusi yang akan menjadi tempat penelitian. Setelah mendapatkan surat
rekomendasi peneliti mengumpulkan data awal yang telah diberikan untuk
menyusun proposal ini. Pada saat penelitian, sebelum melakukan wawancara
peneliti akan menjelaskan tujuan dari penelitian ini dan dilaksanakan dan
manfaatnya bagi peneliti dan calon responden serta meminta persetujuan
untuk menjadi responden penelitian. Setelah mendapat persetujuan untuk
menjadi responden penelitian baru peneliti melakukan wawancara pada
responden guna untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan oleh peneliti.

21
H. Etika Peneliti
Etika penelitian adalah pertimbangan rasional mengenai kewajiban-
kewajiban moral seorang peneliti atas apa yang dikerjakannya dalam
penelitian publikasi dan pengabdiannya kepada masyarakat. Etika penelitian
meliputi :
1. Informed Consent (Informasi Untuk Responden)
Informed consent merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan
informan dengan memberikan lembar persetujuan melalui Informed
consent, kepada responden sebelum penelitian dilaksanakan. Setelah
calon responden memahami penjelasan peneliti terkait penelitian ini,
selanjutnya peneliti memberikan lembar Informed consent untuk ditanda
tangani oleh sampel penelitian.
2. Anonymity (Tanpa Nama)
Anonymity merupakan menjaga kerahasiaan tentang hal-hal yang
berkaitan dengan data responden, melainkan inisial nama responden dan
nomor responden pada kuesioner.
3. Confidentiality (Kerahasiaan Informasi)
Semua informasi yang telah dikumpulkan dari responden dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti. Pada aspek ini, data yang sudah terkumpul
dari responden bersifat rahasia dan penyimpanan dilakukan di file khusus
milik pribadi sehingga hanya peneliti dan responden yang mengetahuinya.

22

Anda mungkin juga menyukai