Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.

N USIA 34 TAHUN P1102


Ab000 POST SC < 24 JAM DENGAN PLASENTA PREVIA DI RUANG BRAWIJAYA RSUD
KANJURUHAN KABUPATEN MALANG
DEPARTEMEN KEPERAWATAN MATERNITAS

Disusun Oleh:
NABILAH MUTIARA RIZKY FADHILAH PUTRI
NIM: 2130026

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN

MALANG

2021
LAPORAN PENDAHULUAN
SECTIO CAESAREA
A. Pengertian
Sectio caesarea (SC) adalah proses persalinan yang dimana mengeluarkan
bayi dari perut seorang ibu dengan cara menginsisi bagian perut (laparotomi) dan
dinding uterus (histerotomi). Seiring perkembangan jaman, Sectio Caesarea ini
dapati dilakukan dibagian perut bawah. Sectio Caesarea ini bisa dilakukan secara
elektif apabila ada indikasi bayi tidak bisa dilahirkan secara normal ataupun bisa
dilakukan secara mendadak (emergency) apabila ada kondisi dimana bayi harus
dilahirkan segera [ CITATION NiL18 \l 1033 ]
Sectio Caesarea suatu tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat
badan diatas 500 gram, melalui sayatan pada dinding uterus yang masih
utuh.[ CITATION NiL18 \l 1033 ]
B. Klasifikasi
Sectio Caesarea dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu:
1. Sectio Caesarea Transperitonealis Profunda

Merupakan jenis pembedahan yang paling banyak dilakukan dimana dokter

nantinya akan membedah perut ibu dengan cara menginsisi di segmen bagian

bawah uterus. Jenis ini memberikan beberapa keuntungan seperti perdarahan

luka insisi yang tidak banyak, risiko peritonitis yang tidak besar, jaringan

parut saat proses penyembuhan pada uterus umumnya kuat sehingga risiko

ruptur uteri dikemudian hari tidak besar karena dalam masa nifas ibu pada

segmen bagian bawah uterus tidak banyak mengalami kontraksi seperti

korpus uteri sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna [ CITATION Pra17 \l

1033 ]

2. Sectio Caesarea Klasik atau Sectio Caesarea Corporal

Tindakan pembedahan ini dilakukan dengan cara membuat insisi pada bagian

tengah dari korpus uteri sepanjang 10-12 cm dengan ujung bawah di atas batas

plika vesio uterine. Tujuannya dibuat hanya jika ada halangan untuk

melakukan proses SC Transperitonealis Profunda. Halangan yang dimaksud

misal karena uterus melekat pada dinding perut karena riwayat persalinan SC

sebelumnya dan risiko perdarahan yang besar apabila di insisi di segmen

bawah uterus dimana ada kondisi plasenta previa (plasenta menempel

menutupi jalan lahir). Kerugian dari jenis ini adalah risiko peritonitis dan

rupture uteri 4 kali lebih bahaya pada kehamilan selanjutnya. Biasanya setelah
dilakukan tindakan SC klasik ini, dilakukan sterilisasi atau histerektomi untuk

menghindari risiko yang ada.

3. Sectio Caesarea Ekstraperitoneal

Dokter akan menginsisi dinding dan fasia abdomen dan musculus rectus

yang nantinya dipisahkan. Lalu vesika urinaria akan diretraksi ke bawah

sedangkan lipatan peritoneum akan dipotong ke arah kepala untuk

memaparkan segmen bawah uterus. Jenis pembedahan ini dilakukan untuk

mengurangi bahaya dari infeksi puerperal, namun dengan adanya kemajuan

pengobatan terhadap infeksi, pembedahan SC ini tidak banyak lagi dilakukan

karena tekniknya yang sulit dilakukan[ CITATION Pra17 \l 1033 ]

C. Etiologi
Indikasi sectio caesarea
1. Riwayat sectio caesarea
Uterus yang memiliki jaringan parut dianggap sebagai kontraindikasi untuk
melahirkan karena dikhawatirkan akan terjadi rupture uteri. Resiko ruptur uteri
meningkat seiring dengan jumlah insisi sebelumnya, klien dengan jaringan
perut melintang yang terbatas disegmen uterus bawah , kemungknan
mengalami robekan jaringan parut simtomatik pada kehamilan berikutnya.
Wanita yang mengalami ruptur uteri beresiko mengalami kekambuhan ,
sehingga tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan persalinan pervaginam
tetapi dengan beresiko ruptur uteri dengan akibat buruk bagi ibu dan janin,
american collage of obstetrician and ginecologist.[ CITATION Ris18 \l 1033 ]
2. Distosia Persalinan
Distosia berarti persalinan yang sulit dan ditandai oleh terlalu lambatnya
kemajuan persalinan, persalinan abnormal sering terjadi terdapat disproporsi
antara bagian presentasi janin dan jalan lahir, kelainan persalinan terdiri dari:
a. Ekspulsi (kelainan gaya dorong)
Oleh karena gaya uterus yang kurang kuat, dilatasi servik(disfungsi
uterus) dan kurangnya upaya otot volunter selama persalinan kala dua.
b. Panggul sempit
c. Kelainan presentasi, posisi janin
d. Kelainan jaringan lemak saluran reproduksi yang menghalangi turunnya janin.
3. Gawat Janin
Keadaan gawat janin bisa mempengaruhi keadaan keadaan janin,jika penentuan
waktu sectio caesarea terlambat, kelainan neurologis seperti cerebral palsy dapat
dihindari dengan waktu yang tepat untuk sectio caesarea
4. Letak Sungsang
Janin dengan presetasi bokong mengalami peningkatan resiko prolaps tali pusat
dan terperangkapnya kepala apabila dilahirkan pervaginam dibandingkan dengan
janin presentasi kepala

5. CPD (Chepalo Pelvic Disproportion)


CPD adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar
kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami.
6. Pre- Eklamsi
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung
disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas.Setelah
perdarahan dan infeksi, Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab kematian
maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan
7. Ketuban pecah dini
KPD adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan dan ditunggu
satu jam belum terjadi impart. Sebagian besar KPD adalah hamil aterm diatas 37
minggu
8. Bayi kembar (gemili)
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar.Hal ini karena kelahiran

kembar memiliki resiko terjadinya komplikasi tinggidari pada kelahiran 1

bayi.Selain itu bayi kembar pun dapat mengalami sungsang.Sehingga sulit untuk

dilahirkan secara normal.

9. Kelainan Letak Kepala

 Letak kepala tengadah

Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam teraba

UUB yang paling rendah.Etiologinya kelainan panggul, kepala bentuknya

bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.

 Presentasi muka

Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang terletak

paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %.

 Presentasi dahi

Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi terendah

dan tetap paling depan. Pada penempatan dagu, biasanya dengan

sendirinya akan berubah menjadi letak muka atau letak belakang kepala.

D. Patofisiologi

Sectio Caesarea merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di


atas 500 gr dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi
dilakukan tindakan ini yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia
jaringan lunak, placenta previa dll, untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah
gawat janin. Janin besar dan letak lintang setelah dilakukan SC ibu akan
mengalami adaptasi post partum baik dari aspek kognitif berupa kurang
pengetahuan. Akibat kurang informasi dan dari aspek fisiologis yaitu produk
oxsitosin yang tidak adekuat akan mengakibatkan ASI yang keluar hanya
sedikit, luka dari insisi akan menjadi post de entris bagi kuman. Oleh karena itu
perlu diberikan antibiotik dan perawatan luka dengan prinsip steril. Nyeri
adalah salah utama karena insisi yang mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa bersifat
regional dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak pengaruhnya terhadap
janin maupun ibu anestesi janin sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam
keadaan upnoe yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa
mati, sedangkan pengaruhnya anestesi bagi ibu sendiri yaitu terhadap tonus
uteri berupa atonia uteri sehingga darah banyak yang keluar. Untuk pengaruh
terhadap nafas yaitu jalan nafas yang tidak efektif akibat sekret yan berlebihan
karena kerja otot nafas silia yang menutup. Anestesi ini juga mempengaruhi
saluran pencernaan dengan menurunkan mobilitas usus.

Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan terjadi
proses penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian diserap untuk
metabolisme sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas yang
menurun maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di lambung akan
menumpuk dan karena reflek untuk batuk juga menurun. Maka pasien sangat
beresiko terhadap aspirasi sehingga perlu dipasang pipa endotracheal. Selain itu
motilitas yang menurun juga berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu
konstipasi
E. Pathway
F. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada Ibu Sectio Caesarea

a. Infeksi puerperial : kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa


nifas dibagi menjadi:
1) Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari.

2) Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan


perut sedikit kembung.
3) Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik.

b. Perdarahan : perdarahan banyak bisa terjadi jika pada saat pembedahan


cabang- cabang arteri uterine ikut terbuka atau karena atonia uteri.
c. Komplikasi-komplikasi lainnya antara lain luka kandung kencing,
embolisme paru yang sangat jarang terjadi.
d. Kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan
berikutnya bisa terjadi ruptur uteri.
e. Komplikasi yang terjadi pada ibu bayi
G. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksan penunjang yang dapat dilakukan untuk Sectio Caesaria yaitu:

1) Laboratorium

a. Hemoglobin atau hematokrit (HB/HT) untuk mengkaji


perubahan dari kadar pra operasi dan mengevaluasi efek
kehilangan darah pada pembedahan.
b. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi.

c. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah.

d. Urinalisis/kultur urine.

e. Pemeriksaan elektrolit.

2) Pemeriksaan ECG.

3) Pemeriksaan USG

4) Amniosentetis terhadap maturitas pari janin sesuai indikasi


H. Penatalaksanaan
1. Perawatan awal

a. Letakan pasien dalam posisi pemulihan.


b. Periksa kondisi pasien, cek tanda vital tiap 15 menit selama 1 jam
pertama, kemudian tiap 30 menit jam berikutnya. Periksa tingkat
kesadaran tiap 15 menit sampai sadar.
c. Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi.

d. Transfusi jika diperlukan.


e. Jika tanda vital dan hematokrit turun walau diberikan transfusi,
segera kembalikan ke kamar bedah kemungkinan terjadi perdarahan
pasca bedah
2. Diet

Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus


lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian
minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6-10
jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh.

3. Mobilisasi

Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :

a. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6-10 jam setelah operasi.

b. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang


sedini mungkin setelah sadar.
c. Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit
dan diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
d. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi
setengah duduk (semifowler).
e. Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan
belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan
sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.
4. Fungsi Gastrointenstinal

a. Jika tindakan tidak berat beri pasien diit cair.

b. Jika ada tanda infeksi, tunggu bising usus timbul.

c. Jika pasien bisa flatus mulai berikan makanan padat.

d. Pemberian infus diteruskan sampai pasien bisa minum dengan baik.

5. Perawatan fungsi kandung kemih.

a. Jika urin jernih, kateter dilepas 8 jam setelah pembedahan atau sesudah semalam.

b. Jika urin tidak jernih biarkan kateter terpasang sampai urin jernih.

c. Jika terjadi perlukaan pada kandung kemih biarkan kateter terpasang


sampai minimum 7 hari atau urin jernih.
d. Jika sudah tidak memakai antibiotika berikan nirofurantoin 100 mg
per oral per hari sampai kateter dilepas.
e. Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak
pada penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan
perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24-48 jam/lebih lama lagi
tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.

6. Pembalutan dan perawatan luka

a. Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar cairan tidak
terlalu banyak jangan mengganti pembalut

b. Jika pembalut agak kendor, jangan ganti pembalut, tapi beri plester untuk
mengencangkan
c. Ganti pembalut dengan cara steril.

d. Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih.

e. Jahitan fasia adalah utama dalam bedah abdomen, angkat jahitan


kulit dilakukan pada hari kelima pasca SC.

7. Jika masih terjadi pendarahan

a.Lakukan masase uterus.

b.Beri oksitosin 10 unit dalam 500 ml cairan I.V. (garam fisiologik


atau RL) 60 tetes/menit, ergometrin 0,2 mg I.M. dan prostaglandin.

8. Jika terdapat tanda infeksi, berikan antibiotika kombinasi sampai pasien


bebas demam selama 48 jam:
a. Ampisilin 2 g I.V. setiap 6 jam.

b. Ditambah gentamisin 5 mg/kg berat badan I.V. setiap 8 jam.

c. Ditambah metronidazol 500 mg I.V. setiap 8 jam.

9. Analgesik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan:

a. Pemberian analgesia sesudah bedah sangat penting.

b. Supositoria = ketopropen sup 2x/24 jam.

c. Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol.

d. Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu.

10. Obat-obatan lain :

Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat


diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C.

11. Hal – Hal lain yang perlu diperhatikan :

a. Paska bedah penderita dirawat dan diobservasi kemungkinan


komplikasi berupa perdarahan dan hematoma pada daerah operasi.
b. Pasca operasi perlu dilakukan drainase untuk mencegah terjadinya hematoma.
c. Pasien dibaringkan dengan posisi semi fowler (berbaring dengan
lutut ditekuk) agar diding abdomen tidak tegang.
d. Diusahakan agar penderita tidak batuk atau menangis.

e. Lakukan perawatan luka untuk mencegah terjadiny infeksi.

f. Dalam waktu 1 bulan jangan mengangkut barang yang berat.

g. Selama waktu 3 bulan tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat


menaikkan tekanan intra abdomen.

h. Pengkajian difokuskan pada kelancaran saluran nafas, karena bila


terjadi obstruksi kemungkinan terjadi gangguan ventilasi yang
mungkin disebab-kan karena pengaruh obat-obatan, anestetik,
narkotik dan karena tekanan diafragma. Selain itu juga penting untuk
mempertahankan sirkulasi dengan mewaspadai terjadinya hipotensi
dan aritmia kardiak. Oleh karena itu perlu memantau TTV setiap 10-
15 menit dan kesadaran selama 2 jam dan 4 jam sekali.
i. Keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan fisik berupa nyeri
dan kenya- manan psikologis juga perlu dikaji sehingga perlu adanya
orientasi dan bimbingan kegi-atan post op seperti ambulasi dan nafas
dalam untuk mempercepat hilangnya pengaruh anestesi.
j. Perawatan pasca operasi, Jadwal pemeriksaan ulang tekanan darah,
frekuensi nadi dan nafas. Jadwal pengukuran jumlah produksi urin
Berikan infus dengan jelas, singkat dan terinci bila dijumpai adanya
penyimpangan.

k. Penatalaksanaan medis, Cairan IV sesuai indikasi. Anestesia;regional


atau general Perjanjian dari orang terdekat untuk tujuan sectio
caesaria. Tes laboratorium/diagnostik sesuai indikasi.Pemberian
oksitosin sesuai indikasi. Tanda vital per protokol ruangan
pemulihan, Persiapan kulit pembedahan abdomen, Persetujuan
ditandatangani. Pemasangan kateter fole.
1.2 Konsep Ante Partum Bleeding
A. Definisi Ante Partum Bleeding
Definisi perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi pada usia
kehamilan di atas 24 minggu sampai kelahiran. Perdarahan pada kehamilan merupakan
penyebab utama kematian maternal dan perinatal, berkisar 35% (Amokrane, 2016). Ada
beberapa penyebab perdarahan selama kehamilan. Meskipun demikian, banyak keadaan
penyebab spesifiknya tidak diketahui. Pada kehamilan lanjut, perdarahan pervaginam
yang cukup banyak dapat terjadi akibat terlepasnya plasenta dari dinding rahim (solusio
plasenta), dan robeknya implantasi plasenta yang menutupi sebagian atau seluruhnya dari
jalan lahir (plasenta previa) (Amokrane, 2016).
Hipervolemi kehamilan dalam keadaan normal meningkatkan volume darah sebesar 30-
60%, atau sekitar 1000-2000 ml untuk perempuan berukuran rata-rata. Hal ini berarti
bahwa pengeluaran darah dalam rentang tersebut selama persalinan dapat ditoleransi
secara fisiologis dan tanpa menyebabkan penurunan hematokrit pascapartus yang
bermakna (Gant, 2011).
B. Etiologi
Perdarahan obstetrik adalah konsekuensi perdarahan berlebihan dari tempat
implantasi plasenta atau trauma saluran genetalia dan struktur sekitarnya. Perdarahan dari
tempat perlekatan plasenta diperkirakan sekitar 600 ml per menit darah mengalir ke ruang
antar vili yang membentuk kompartemen plasenta. Sehingga menyebabkan aliran darah
dari dan ke arteri atau vena menjadi terputus (Gant & Cunningham, 2011). Penyebab
langsung dari pelepasan plasenta karena pecahnya pembuluh maternal pada desidua
basalis yang terletak antarmuka vili plasenta. Perdarahan dapat juga terjadi pada
fetoplasenta sehingga. erjadi pengumpulan darah di rahim (Sheiner, 2011). Selain itu juga
disebabkan oleh pemuluh darah di saluran reproduksi yang robek di korpus uterus. Obat-
obat oksitosik dan pemijatan uterus untuk merangsang kontraksi miometrium tidak efektif
untuk mengontrol perdarahan. Gangguan berat pada mekanisme pembekuan darah sebagai
konsekuensi dari kelainan obstetrik dapat memperparah perdarahan obstetrik. Bardasarkan
pengamatan bahwa abrupsio plasenta dan kelainan lain pada kehamilan berkaitan dengan
hipofibrinogenemia (koagulasi intravaskular diseminata) (Gant & Cunningham, 2011).
C. Klasifikasi
1. Plasenta previa
Implantasi plasenta dibagian bawah sehingga dapat menutupi osteum uteri
internium, serta menimbulkan perdarahan saat SBR (Segmen Bawah
Rahim). Plasenta previa merupakan plasenta yang ada di depan jalan lahir.
2. Solusio Plasenta
Perdarahan yang terjadi karena lepasnua plasenta sebeum waktunya pada
implementasi normal
3. Pecahnya Sinus Marginalis
Implementasi plesenta di bagian bawah sehingga dapat menutupi ostium
uteri internum, serta menimbulkan perdarahan saat pembentukan Segmen
Bawah Rahim (SBR)
4. Perdarahan pada vasa previa
Perdarahan yang terjadi segera setelah ketuban pecah karena pecahnya
pembuluh darah yang berasal dari insersio filamentosa dan melintasi
pembukaan (Manuaba, 2012).
Perdarahan yang bersymber pada kelainan serviks dan vagina biasanya
dapat diketahui apabila dilakukan pemeriksaan dengan spekulum yang
seksama. Kelainan-kelainan yang mungkin tampak ialah sebagai berikut:
a. Erosio porsionis uteri
b. Karsinoma porsionis uteri
c. Polipus servisis uteri
d. Varises vulva
e. Trauma (Wiknjosastro, 2014)
D. Frekuensi Perdarahan Antepartum
Frekuensi perdarahan antepartum kira-kira 3% dari seluruh persalinan, yang
terbagi kira-kira rata antara plasenta previa, solusio plasenta, dan perdarahan yang
belum jelas sumbernya (Wiknjosastro, 2014)

1.3 Konsep Plasenta Previa


A. Definisi Plasenta Previa
a. Plasenta previa merupakan uri yang melekat pada segmen bawah rahim, sehingga
menutupi mulut rahim sebagaian/seluruhnya (Suseno, 2011).
b. Plasenta previa adalah plasenta yang tempat implementasinya abnormal, yaitu
didaerah segmen bawah uterus pada kehamilan ≥ 20 minggu (Endjun, 2011)
c. Plasenta previa adalah lokasi abnormal plasenta di segmen bawah uterus yang
sebagian atau keseluruhannya menutupi os serviks (Chapman, 2014).
d. Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen
bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan
lahir (Wiknjosastro, 2014)
e. Implementasi plasenta dibagian bawah sehingga dapat menutupi ostium uteri
internum, serta menimbulkan perdarahan saat pembentukan SBR (Manuaba,
2012)
f. Plasenta previa adalah keadaan dimana implantasi plasenta terletak pada atau di
dekat serviks (Saifuddin, 2014)
g. Plasenta previa adalah implantasi plasenta pada segmen bawah rahim, menutupi
atau mencapai serviks (Scott JR, 2014)
Berdasarkan dari beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa plasenta
previa didefinisikan sebagai suatu keadaan seluruh atau sebagian plasenta ber-
insersi di ostium uteri internum, sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari
jalan lahir.
B. Klasifikasi Plasenta Previa
Klasifikasi plasenta previa tidak didasarkan pada keadaan anatomi melainkan
fisiologik. Sehingga klasifikasinya akan berubah setiap waktu umpamanya,
plasenta previa totalis pada pembukaan 4 cm mungkin akan berubah menjadi
plasenta previa parsialis pada pembukaan 8 cm (Wiknjosastro, 2014)
Didasarkan atas terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan jalan lahir pada
waktu tertentu, maka klasifikasi plasenta previa adalah
a. Plasenta previa totalis bila seluruh pembukaan tertutup oleh jaringan
plasenta
b. Plasenta previa parsialis bila sebagian pembukaan tertutup oleh jaringan
plasenta
c. Plasenta previa marginalis bila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir
pembukaan
d. Plasenta letak rendah adalah plasenta yang letaknya abnormal di segmen
bawah uterus, akan tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir.
Pinggir plasenta berada kira-kira 3 atau 4 cm diatas pinggir pembukaan,
sehingga tidak akan teraba pada pembukaan jalan lahir
C. Frekuensi Plasenta Previa
Angka kematian maternal karena plasenta previa berkisar 0,03%. Bayi
yang lahir dengan plasenta previa cenderung memiliki berat badan yang rendah
dibandingkan bayi yang lahir tanpa plasenta previa. Risiko kematian neonatal
juga tinggi pada bayi dengan plasenta previa, dibandingkan dengan bayi tanpa
plasenta previa (http://medlinux.blogspot.com). Plasenta Previa terjadi pada kira-
kira 1 di antara 200 persalinan (Norwitz, 2008). Dari semua kejadian plasenta
previa, frekuensi plasentaprevia totalis (complete) sebesar 20-45%, plasenta
previa parsialis sekitar 30%, dan plasenta previa marginalis sebesar 25-50%.
D. Etiologi Plasenta Previa
Mengapa plasenta yang tumbuh pada segmen bawah uterus tidak selalu
dapat diterangkan. Bahwasannya vaskularisasi yang berkurang, atau perubahan
atrofi pada desidua akibat persalinan yang lampau dapat menyebabkan plasenta
previa, tidaklah selalu benar, karena tidak nyata dengan jelas bahwa plasenta
previa didapati untuk sebagian besar pada penderita dengan paritas tinggi.
Memang dapat dimengerti bahwa apabila aliran darah ke plasenta tidak cukup
atau diperlukan lebih banyak seperti padakehamilan kembar, plasenta yang
letaknya normal sekalipun akan memperluas permukaannya, sehingga mendekati
atau menutupi sama sekali pembukaan jalan lahir (Wiknjosastro, 2014).
Penyebab Plasenta Previa belum diketahui secara pasti, namun beberapa faktor
risiko yang diduga dapat memicu terjadinya plasenta previa antara lain:
a. Umur dan paritas.
1. Pada primigravida yang berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 10 kali lebih
sering dibandingkan dengan primigravida yang berumur kurang dari 25
tahun.
2. Pada grande multipara yang berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 4 kali
lebih sering dibandingkan dengan grande multipara yang berumur
kurangdari 25 tahun (Wiknjosastro, 2014).
b. Muliparitas dengan jarak kehamilan yang pendek.
c. Bekas dilatasi dan kuretase
d. Ibu dengan gizi rendah (Manuaba, 2012).
e. Penggunaan kokain. Kemungkinan karena akibat hipertrofi plasenta (Sinclair,
2009).
f. Riwayat plasenta previa sebelumnya.
g. Riwayat persalinan dengan bedah sesar sebelumnya
h. Merokok (Norwitz, 2011).
E. Patofisiologi
Perdarahan antepartum akibat plasenta previa terjadi sejak kehamilan 20
minggu saat segman bawah uterus telah terbentuk dan mulai melebar serta
menipis. Umumnya terjadi pada terimester ketiga karena sigmen bawah uterus
mengalami banyak perubahan. Pelebaran sigmen bawah uterus dan pembukaan
servik menyebabkan sinus robek karena lepasnya plasenta dari dinding uterus atau
karena robekan sinus marginalis dan plasenta. Perdarahan tidak dapat diarahkan
karena ketidak mampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi
seperti plasenta letak normal. Keadaan endometrium yang kurang baik
menyebabkan plasenta harus tumbuh menjadi luas untuk mencukupi kebutuhan
janin. Plasenta yang tumbuh meluas akan mendekati atau menutup ostium uteri
internum. Endomertium yang kurang baik juga dapat menyebabkan zigot mencari
tempat implantasi yang lebih baik, yaitudi tempat yang rendah dekat ostium uteri
internum (Sulaiman Sastrawinata, 2012).
Dengan berkembangnya segmen bawah uterus dan dengan menipisnya
serta membukanya servik, plasenta terlepas dari dinding uterus. Keadaan ini
disertai ruptura pembuluh-pembuluh darah yang terletak di bawahnya. Jika
pembuluh darah yang pecah berukuran bersar, perdarahan akan banyak sekali
(oxcron, 2010)
F. Pathway

G. Tanda dan Gejala Plasenta Previa


Tanda dan gejala plasenta previa adalah:
a. Pendarahan tanpa alasan dan tanpa rasa nyeri merupakan gejala utama dan
pertama dari plasenta previa. Perdarahan dapat terjadi selagi penderitatidur
atau bekerja biasa, perdarahan pertama biasanya tidak banyak, sehingga tidak
akan berakibat fatal. Perdarahan berikutnya hampir selalu banyak dari pada
sebelumnya, apalagi kalau sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan dalam.
b. b. Sumber perdarahan ialah sinus uterus yang robek karena terlepasnya
plasenta dari dinding uterus, atau karena robekan sinus marginalis dari
plasenta. Perdarahan tidak dapat dihindarkan karena ketidakmampuan
serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi menghentikan
perdarahan, tidak sebagaimana serabut otot uterus menghentikan perdarahan
pada kala III dengan plasenta yang letaknya normal. Makin rendah letak
plasenta, makin dini perdarahan terjadi. Oleh karena itu, perdarahan pada
plasenta previa totalis akan terjadi lebih dini dari pada plasenta letak rendah,
yang mungkin baru berdarah setelah persalinan mulai (Wiknjosostro, 2005).
c. Sering terjadi pada malam hari saat pembentukan SBR (Manuaba, 2004).
d. Bentuk perdarahan
1. Sedikit tanpa menimbulkan gejala klinis.
2. Banyak disertai gejala klinik ibu dan janin.
e. Gejala klinik ibu
1. Tergantung keadaan umum dan jumlah darah yang hilang.
2. Terjadi gejala kardiovaskuler dalam bentuk:
a. Nadi meningkat dan tekanan darah menurun
b. Anemia
c. Perdarahan banyak menimbulkan syok sampai kematian
f. Gejala klinik janin
1. Bagian terendah belum masuk PAP atau terdapat kelainan letak
2. Perdarahan mengganggu sirkulasi retroplasenter, menimbulkan
asfiksiaintra uterin sampai kematian janin
3. HB sekitar 5 gr/dl dapat menimbulkan kematian janin dan ibunya
(Manuaba, 2012).
H. Diagnosis Plasenta Previa
Pada setiap perdarahan antepartum, pertama kali harus dicurigai bahwa
penyebabnya ialah plasenta previa sampai kemudian ternyata dugaan itu salah.
a) Anamnesis/ keluhan:
1. Gejala pertama yang membawa ibu hamil ke dokter atau rumah sakit ialah
perdarahan pada kehamilan setelah 22 minggu (Winkjosastro, 2005).
2. Sifat perdarahannya adalah:
- Tanpa sebab (causeless): Perdarahan timbul sekonyong-konyong tanpa
sebab apapun. Kadang-kadang perdarahan terjadi sewaktu bangun tidur
misalnya pada pagi hari tanpa disadari tempat tidur sudah penuh darah.
- Tanpa nyeri (painless)
- Berulang (recurrent): Perdarahan cenderung berulang dengan volume yang
lebih banyak dari sebelumnya.
b) Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi :
- Dapat dilihat perdarahan yang keluar pervaginam: banyak, sedikit, darah
beku dan sebagainya.
- Kalau telah berdarah banyak maka ibu kelihatan pucat/anemis.
2. Palpasi :
- Janin sering belum cukup bulan, jadi fundus uteri masih rendah
- Sering dijupai kesalahan letak janin
- Bagian terbawah janin belum turun , apabila letak kepala, biasanya kepala
masih goyang atau terapung (floating) atau mengolak di ataspintu atas
panggul
- Bila cukup pengalaman, dapat dirasakan suatu bantalan pada
segmenbawah rahim terutama pada ibu yang kurus
3. Pemeriksaan dalam
Pemeriksaan dalam sangat berbahaya sehingga kontraindikasi untuk
dilakukan kecuali fasilitas operasi segera tersedia.
1. Bahaya pemeriksaan dalam:
- Dapat menyebabkan perdarahan yang hebat.
- Infeksi
- Menimbulkan his, dan kemudian terjadilah partus
- Prematurus
2. Teknik dan persiapan pemeriksaan dalam :
- pasang infus dan persiapkan donor darah
- PD dilakukan di kamar bedah
- Dilakukan secara hati-hati dan lembut
- Jangan langsung masuk ke dalam canalis servikalis tapi raba dulubantalan
antara jari dan kepala janin pada forniks (uji forniks)
- Bila ada darah beku, keluarkan sedikit-sedikit dan pelan
3. 3) Kegunaan PD dalam perdarahan antepartum :
a. menegakan diagnosa b)
b. menentukan jenis dan klasifikasi plasenta previa
4. Indikasi PD pada perdarahan antepartum a)
a. perdarahan banyak, >500 cc b)
b. perdarahan berulang (recurrent) c)
c. perdarahan sekali, banyak, HB < 8 g% d)
d. his ada dan janin viable
5. Pemeriksaan dengan Alat
1) Pemeriksaan Inspekulo
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari ostium
uteri eksernum atau dari kelainan serviks dan vagina, seperti erosio porsionis uteri,
karsinoma porsionis uteri, polipus servisis uteri, varises vulva, dan trauma. Apabila
perdarahan berasal dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa harus
dicurigai
2) Pemeriksaan radiografi dan radioisotopi
Penentuan letak plasenta secara tidak langsung dapat dilakukan dengan radiografi
dan radioisotopi. Nilai diagnostiknya cukup tinggi di tangan yang ahli, akan tetapi
ibu dan janin pada pemeriksaan ini masih dihadapkan pada bahaya radiasi yang
cukup tinggi, sehingga cara ini mulai ditinggalkan.
3) Ultrasonografi
Penentuan letak plasenta dengan cara ini ternyata sangat tepat, tidak menimbulkan
bahaya radiasi bagi ibu maupun janinnya, dan tidak menimbulkan rasa nyeri
(Winkjosastro, 2014).
I. Pengaruh Plasenta Previa terhadap Kehamilan
Karena dihalangi oleh plasenta maka bagian terbawah janin tidak terfiksir
kedalam pintu atas panggul. Sehingga terjadilah kesalahan-kesalahan letak janin
(letak kepala mengapung, letak sungsang, dan letak lintang). Sering terjadi partus
prematurus karena adanya rangsangan koagulum darah pada serviks. Selain itu,
jika banyak plasenta yang lepas, kadar progesteron turun dan dapat terjadi his,
juga lepasnya plasenta sendiri dapat merangsang his. Dapat juga karena
pemeriksaan dalam (http://askepaskeb.cz.cc).
J. Pengaruh Plasenta Previa Terhadap Partus
a. Letak janin yang tidak normal, menyebabkan partus akan menjadi
patologik.
b. Bila pada plasenta previa lateralis, ketuban pecah atau dipecahkan dapat
terjadi prolaps funikuli.
c. Sering dijumpai inersia primer.
d. Perdarahan (http://adilla-itsme.blogspot.com)
K. Komplikasi Plasenta Previa
a. Prolaps tali pusat b.
b. Prolaps plasenta c.
c. Plasenta melekat, sehingga harus dikeluarkan manual dan kalau perlu
dibersihkan dengan kerokan.
d. Robekan-robekan jalan lahir karena tindakan.
e. Perdarahan postpartum
f. Infeksi karena perdarahan yang banyak
g. Bayi prematur atau lahir mati (http://medlinux.blogspot.com)
L. Pemantauan Ibu dan Janin
a. Tanda vital
Pantau dengan ketat tanda vital ibu, takikardia biasanya tanda pertama
gangguan janin karena kehilangan darah.
b. Infus intravena
Untuk mengganti cairan, pastikan cairan IV berjalan lancar, dokter
mungkin mempertimbangkan pemberian produk darah.
c. Pengukuran kehilangan darah
Gantilah dan amankan balutan yang basah dengan bijaksana namun
pastikan privasi ibu saat melakukannya, jagalah perbandingan yang selalu
diperbaharui dan perkiraan kehilangan darah terukur pada kartu cairan.
d. Kemungkinan diperlukan anestesi
Pastikan bahwa dokter telah di beri informasi dan dapat mengkaji situasi
ibu tentang kemungkinan memerlukan anestesi.
e. Pantau denyut jantung janin
Perubahan DJJ mendadak atau abnormal (seperti peningkatan/ takikardia)
bisa menunjukkan adanya gangguan yang disebabkan oleh kehilangan
darah berat. Lakukan respon segera terhadap pola abnormal (Chapman,
2015).

M. Penatalaksanaan Plasenta Previa


a) Terapi ekspektatif
Tujuan supaya janin tidak terlahir premature, penderita dirawat tanpa
melakukan pemeriksaan dalam melalui kanalis servikalis.
Syarat- syarat terapi ekspektatif:
1) Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudianberhenti.
2) Belum ada tanda-tanda inpartu.
3) Keadaan umum ibu cukup baik.
4) Janin masih hidup
b) Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotik profilaksis.
c) Lakukan pemeriksaan USG untuk mengetahui implantasi plasenta.
d) Berikan tokolitik bila ada kontraksi
e) Uji pematangan paru janin dengan tes kocok dari hasil amniosentesis.
f) Bila setelah usia kehamilan diatas 34 minggu, plasenta masih berada
disekitar ostium uteri interim.
g) Bila perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masihlama,
pasien dapat dipulangkan untuk rawat jalan
a. Terapi Aktif (Tindakan Segera)
Wanita hamil diatas 22 minggu dengan perdarahan pervaginam yang aktif dan
banyak, harus segera ditatalaksanakan secara aktif tanpa memandang maturitas
janin. Lakukan PDMO jika:
h) Infus/ transfusi telah terpasang, kamar dan tim operasi telah siap.
i) Kehamilan > 37 minggu (berat badan ≥ 2500 gram) dan inpartu. c) Janin
telah meninggal atau terdapat anomali kongenital mayor, seperti aneasefali. d)
j) Perdarahan dengan bagian terbawah janin telah jauh melewati pintu atas
panggul (2/5 atau 3/5 pada palpasi luar).
b. Cara menyelesaikan persalinan plasenta previa
Melahirkan pervaginam: Perdarahan akan berhenti jika ada penekanan
pada plasenta. Penekanan tersebut dapat dilakukan dengan cara-cara
sebagai berikut:
a) Amniotomi dan akselerasi Umumnya dilakukan pada plasenta previa
lateralis/ marginalis dengan pembukaan > 3 cm serta presentasi kepala.
Dengan memecah ketuban, plasenta akan mengikuti segmen bawah rahim
dan ditekan oleh kepala janin. Jika kontraksi uterus belum ada atau masih
lemah, akselerasi dengan infus oksitosin.
b) Versi Braxton Hicks Tujuan melakukan versi Baxton Hicks ialah
mengadakan tamponade plasenta dengan bokong (dan kaki) janin. Versi
Braxton Hicks tidak dilakukan pada janin yang masih hidup.
c) Traksi dengan Cunam Willet Kulit kepala janin dijepit dengan Cunam
Willet, kemudian beri beban secukupnya sampai perdarahan berhenti.
Tindakan ini kurang efektif untuk menekan plasenta dan seringkali
menyebabkan pendarahan pada kulit kepala. Tindakan ini biasanya
dikerjakan pada janin yang telah meninggal dan perdarahan tidak aktif
(http://irwanashari.blogspot.com).
2) Cara menyelesaikan persalinan dengan plasenta previa seksio sesarea:
Prinsip utama adalah menyelamatkan ibu, walaupun janin meninggal atau
tidak punya harapan untuk hidup, tindakan ini tetap dilakukan. b) Tujuan
seksio sesarea: Melahirkan janin dengan segera sehingga uterus dapat
segeraberkontraksi dan menghentikan pendarahan, menghindarkan
kemungkinan terjadi robekan pada serviks uteri, jika janin dilahirkan
pervaginam, Siapkan darah pengganti untuk stabiliasi dan pemulihan
kondisi ibu (Saifuddin, 2015).
I. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

Pada pengkajian klien dengan sectio caesaria, data yang dapat ditemukan meliputi
distress janin, kegagalan untuk melanjutkan persalinan, malposisi janin, prolaps tali
pust, abrupsio plasenta dan plasenta previa.
a. Identitas atau biodata klien.

Meliputi, nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku bangsa, status
perkawinan, pekerjaan, pendidikan, tanggal masuk rumah sakit nomor register,
dan diagnosa keperawatan.
b. Keluhan utama.

c. Riwayat kesehatan.

1) Riwayat kesehatan dahulu:

Penyakit kronis atau menular dan menurun sepoerti jantung, hipertensi, DM,
TBC, hepatitis, penyakit kelamin atau abortus.
2) Riwayat kesehatan sekarang :

Riwayat pada saat sebelun inpartu di dapatka cairan ketuban yang keluar
pervaginan secara sepontan kemudian tidak di ikuti tanda-tanda persalinan.
3) Riwayat kesehatan keluarga:

Adakah penyakit keturunan dalam keluarga seperti jantung, DM, HT, TBC,
penyakit kelamin, abortus, yang mungkin penyakit tersebut diturunkan kepada
klien.
d. Pola-pola fungsi kesehatan

1) Pola persepsi dan tata leksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan
klien tentang ketuban pecah dini, dan cara pencegahan, penanganan, dan
perawatan serta kurangnya mrnjaga kebersihan tubuhnya akan menimbulkan
masalah dalam perawatan dirinya.
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme.

Pada klien nifas biasanaya terjadi peningkatan nafsu makan karena dari
keinginan untuk menyusui bayinya.
3) Pola aktifitas.

Pada pasien pos partum klien dapat melakukan aktivitas seperti biasanya,
terbatas pada aktifitas ringan, tidak membutuhkan tenaga banyak, cepat lelah,
pada klien nifas didapatkan keterbatasan aktivitas karena mengalami
kelemahan dan nyeri.
4) Pola eleminasi.

Pada pasien pos partum sering terjadi adanya perasaan sering /susah kencing
selama masa nifas yang ditimbulkan karena terjadinya odema dari trigono,
yang menimbulkan inveksi dari uretra sehingga sering terjadi konstipasi
karena penderita takut untuk melakukan BAB.
5) Istirahat dan tidur.

Pada klien nifas terjadi perubagan pada pola istirahat dan tidur karena adanya
kehadiran sang bayi dan nyeri epis setelah persalinan.
6) Pola hubungan dan peran.

Peran klien dalam keluarga meliputi hubungan klien dengan keluarga dan
orang lain.
7) Pola penanggulangan stress.

Biasanya klien sering melamun dan merasa cemas.

8) Pola sensori dan kognitif.

Pola sensori klien merasakan nyeri pada prineum akibat luka janhitan dan
nyeri perut akibat involusi uteri, pada pola kognitif klien nifas primipara
terjadi kurangnya pengetahuan merawat bayinya.
9) Pola persepsi dan konsep diri.

Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan kehamilanya, lebih-lebih


menjelang persalinan dampak psikologis klien terjadi perubahan konsep diri
antara lain dan body image dan ideal diri.
10) Pola reproduksi dan sosial.

Terjadi disfungsi seksual yaitu perubahan dalam hubungan seksual atau fungsi
dari seksual yang tidak adekuat karena adanya proses persalinan dan nifas.
e. Pemeriksaan fisik :

1) Kepala.

Bagaimana bentuk kepala, kebersihan kepala, kadang-kadang terdapat adanya


cloasma gravidarum, dan apakah ada benjolan.
2) Leher.

Kadang-kadang ditemukan adanya penbesaran kelenjar tioroid, karena adanya


proses menerang yang salah.
3) Mata.

Terkadang adanya pembengkakan paka kelopak mata, konjungtiva, dan


kadang-kadang keadaan selaput mata pucat (anemia) karena proses persalinan
yang mengalami perdarahan, sklera kunuing.
4) Telinga.

Biasanya bentuk telingga simetris atau tidak, bagaimana kebersihanya, adakah


cairan yang keluar dari telinga.
5) Hidung.

Adanya polip atau tidak dan apabila pada post partum kadang-kadang
ditemukan pernapasan cuping hidung.
6) Dada.

Terdapat adanya pembesaran payu dara, adanya hiper pigmentasi areola


mamae dan papila mamae.
7) Pada klien nifas abdomen kendor kadang-kadang striae masih terasa nyeri.
Fundus uteri 3 jari dibawa pusat.
8) Genitalia.

Pengeluaran darah campur lendir, pengeluaran air ketuban, bila terdapat


pengeluaran mekomium yaitu feses yang dibentuk anak dalam kandungan
menandakan adanya kelainan letak anak.
9) Anus.

Kadang-kadang pada klien nifas ada luka pada anus karena rupture.

10) Ekstermitas.

Pemeriksaan odema untuk mrlihat kelainan-kelainan karena membesarnya


uterus, karenan preeklamsia atau karena penyakit jantung atau ginjal.
11) Tanda-tanda vital.
Apabila terjadi perdarahan pada pos partum tekanan darah turun, nadi cepat,
pernafasan meningkat, suhu tubuh turun
2. Diagnosa Keperawatan dengan Sectio Caesarea

Diagnosa yang mungkin muncul:

1. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur infasif

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik

3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan

4. Defisit pengetahuan kehamilan dan persalinan berhubungan dengan


kurang terpapar informasi
5. Menyusui tidak efektif berhubungan dengan kurang terpapar
informasi tentang pentingnya menyusui
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi Perencanaan adalah kategori dari perilaku
keperawatan dimana tujuan yang berpusat pada klien dan hasil yang
diperkirakan ditetapkan dan intervensi keperawatan dipilih untuk
mencapai tujuan tersebut. Perencanaan merupakan langkah awal
dalam menentukan apa yang dilakukan untuk membentu klien dalam
memenuhi serta mengatasi masalah keperawatan yang telah
ditentukan. Tahap perencanaan keperawatan adalah menentukan
prioritas diagnose keperawatan, penetapan kriteria evaluasi dan
merumuskan intervensi keperawatan
4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status
kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang lebih baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan Kegiatan dalam
pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan,
mengobservasi respon klien selama dan sesudah pelaksaan tindakan,
serta menilai data yang baru.
5. Evaluasi

Evaluasi, yaitu penilaian hasil dan proses. Penilaian hasil


menentukan seberapa jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran
dari tindakan. Penilaian proses menentukan apakah ada kekeliruan
dari setiap tahapan proses mulai dari pengkajian, diagnosa,
perencanaan, tindakan, dan evaluasi itu sendiri.Pada tahap ini, hal
yang dilakukan adalah membandingkan tingkah laku klien sebelum
dan sesudah implementasi. Hal ini terkait kemampuan klien dengan
preeklampsia primigravida dalam beradaptasi dan mencegah
timbulnya kembali masalah yang pernah dialami. Pada klien
preeklampsia multigravida dapat mengevaluasi kemampuan masalah
adaptasi yang pernah dialami, kemampuan adaptasi ini meliputi
seluruh aspek baik psiko maupun social

Anda mungkin juga menyukai