Anda di halaman 1dari 5

(5)

KEKUASAAN MENGADILI

A. Kekuasaan mengadili :
Kekuasaan mengadili merupakan syarat formil. Permasalahan kekuasaan atau yuridiksi mengadili
timbul disebabkan berbagai faktor seperti faktor instansi Peradilan yang membedakan eksistensi
antara Peradilan Banding dan Kasasi sebagai Peradilan yang lebih tinggi (superior court)
berhadapan dengan Peradilan tingkat pertama (inferior court). Faktor ini dengan sendirinya
menimbulkan masalah kewenangan mengadili secara instansional. Perkara yang menjadi
kewenangan peradilan yang lebih rendah, tidak dapat diajukan langsung kepada peradilan yang
lebih tinggi. Ada juga faktor perbedaan atau pembagian yurisdiksi berdasarkan lingkungan peradilan,
yang melahirkan kekuasaan atau kewenangan absolute bagi masing-masing lingkungan peradilan
yang disebut juga atribusi kekuasaan (atributive competensie, jurisdiction).

Permasalahan yurisdiksi mengadili merupakan syarat formil keabsahan gugatan. Kekeliruan


mengajukan gugatan kepada lingkungan peradilan atau pengadilan yang tidak berwenang,
mengakibatkan gugatan salah alamat sehingga tidak sah dan dinyatakan tidak diterima (obscuur
libel) dengan alasan gugatan yang diajukan tidak termasuk yurisdiksi absolute atau relative
Pengadilan yang bersangkutan.

B. Kekuasaan absolute mengadili.


Ditinjau dari segi kekuasaan absolute kedudukan Pengadilan Agama dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Berdasarkan sistem pembagian lingkungan peradilan, Pengadilan Agama berhadapan dengan
kewenangan absolute lingkungan peradilan lain.
Kekuasaan kehakiman (judicial power) yang berada dibawah Mahkamah Agung, dilakukan dan
dilaksanakan oleh beberapa lingkungan Peradilan yang terdiri dari PA, PN, P. Militer dan PTUN yang
merupakan penyelenggara kekuasaan Negara dibidang yudikatif, secara konstitusional bertindak
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dalam kedudukannya sebagai
Pengadilan Negara (state court).
Pembagian dan pemisahan yurisdiksi dianggap masih releven dasar-dasar yang dikemukakan dalam
penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970. (Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh PU.
PA.PM dan PTUN).
- Didasarkan pada lingkungan kewenangan.
- Masing-masing lingkungan memiliki kewenangan mengadili tertentu.
- Masing-masing lingkungan hanya berwenangan mengadili sebatas kasus-kasus yang
dilimpahkan undang-undang kepadanya.
Ditinjau dari segi pembagian lingkungan kekuasaan kehakiman, undang-undang telah menentukan
batas yurisdiksi masing-masing. Sengketa atau perkara yang dapat diajukan kepada Pengadilan,
kalau di lingkungan Pengadilan Agama hanya terbatas pada perkara perkawinan dan kewarisan
bagi yang beragama Islam.

Pada saat mengajukan gugatan atau permohonan, harus diperhatikan oleh calon Penggugat atau
Pemohon, bahwa gugatan atau permohonan diajukan kepada Pengadilan mana dan dimana yang
berwenang untuk menangani perkara yang diajukan.
Hukum Acara Peradilan di Indonesia mengenal 2 (dua) bentuk kekuasaan (kewenangan) yaitu :

a. Kuasaan absolute/Mutlak (absolute competentie) :


Kewenangan absolut adalah menyangkut masalah kekuasaan antar badan-badan Peradilan
dilihat dari segi macamnya Pengadilan, menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili
dalam bahasa Belanda disebut “ Attributie van rechtsmacht “, sesuai peran dan fungsi
hap
Peradilan, Peradilan agama misalnya harus menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa dan
mengadili perkara yang bukan menjadi kewenangannya, tidak tergantung pada ada atau tidak
adanya ekseptie dari Tergugat, dan hal ini dapat dilaksanakan pada awal pemeriksaan.

Berbagai lingkungan Badan Peradilan tersebut, apabila dilihat dari segi kewenangan absolute
dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kata gori besar, yaitu badan Peradilan Umum dan Peradilan
Khusus.
a. Badan Peradilan Umum
Menurut Pasal 3 UU No. 2 Tahun 1986, Kekuasaan Kehakiman dilingkungan Pengadilan
Umum, terdiri dari :
1) Pengadilan Negeri
2) Pengadilan Tinggi
Selanjutnya Pasal 6 Pasal 50 mengatakan :
- PN merupakan Pengadilan tingkat pertama
- PN sebagai Pengadilan tingkat pertama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata ditingkat pertama,
kecuali perkara pidana yang masuk dalam lingkungan Peradilan Militer.
- PN berkedudukan di Kotamadya atau Ibu Kota Kabupaten.
Dengan demikian secara Instansional, PN sebagai Peradilan tingkat pertama
secara absolut hanya berwenang memeriksa dan menyelesaikan perkara perdata
pada tingkat pertama. Dalam kedudukan itu, semua penyelesaian perkara, berawal
dari PN sebagai Pengadilan Tingkat Pertama. Segala perkara Perdata, kecuali
perkara Perdata yang masuk dalam lingkungan Peradilan Agama.

b. Badan Peradilan Khusus


Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Tata Usaha Negara merupakan badan-badan
Peradilan Khusus. Disebut badan peradilan khusus karena :
1. Mengadili perkara-perkara tertentu. Sebenarnya bukan perkaranya yang tertentu.
Sebab Peradilan umum mengadili perkara tertentu, yaitu perkara pidana dan perdata.
Yang tepat adalah menerapkan hukum material tertentu. Hukum material agama Islam
(tertentu) oleh Pengadilan agama. Hukum material tata usaha (tertentu) oleh
Pengadilan Tata Usaha Negara. Dan Hukum Material Militer (tertentu) oleh Pengadilan
Militer, dan atau

2. Mengadili golongan rakyat tertentu, maksudnya :


a. Peradilan Agama mengadili perkara perdata tertentu bagi mereka yang beragama
Islam, meliputi : Perkawinan, Kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
sodaqah, dan ekonomi syari’ah yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam.
b. Peradilan Tata Usaha negara mengadili sengketa tata usaha negara antara orang
atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara dari
yang mengeluarkan suatu keputusan dibidang tata usaha negara yang bersifat
kongkrit, individual, dan final yang menumbuhkan akibat bagi seseorang atau suatu
badan hukum.
c. Pengadilan Militer mengadili perkara pidana atau disiplin bagi anggota TNI atau
orang-orang lain yang diperlakukan sama dengan TNI.

Kedudukan PA : Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam, mengenai perkara perdata tertentu yang diatur
dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 3 tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 tahun 2009.

hap
Sedangkan ruang lingkup kewenangan absolut Pengadilan Agama untuk memeriksa, memutus
dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan Ekonomi
Syari’ah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam (pasal 49 Undang-Undang No. 3 tahun
2006). sehingga apabila dalam perkara-perkara tersebut dilakukan oleh orang yang tidak
beragama Islam dan tidak dengan landasan hukum Islam, maka perkara tersebut secara
absolute tidak menjadi kewenangan Pengadilan Agama, akan tetapi menjadi kewenangan
Pengadilan Umum.

Selanjutnya dalam penjelasan pasal 49 Undang-Undang No. 3 tahun 2006 diatas dinyatakan
bahwa penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi dibidang Perbankan syari’ah, melainkan
juga dibidang ekonomi syari’ah lainnya.

Yang dimaksud dengan “ antara orang-orang yang beragama Islam “ adalah termasuk orang
atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan dirinya dengan sukarela kepada
hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai dengan
ketentuan pasal ini.
Mahkamah syar’iyah : merupakan Pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan
berada di Aceh.

Diatur di Pasal 128 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Mahkamah Syari’ah disamping bertugas dan berwenang memeriksa mengadili perkara
sebagaimana tersebut dihuruf a diatas, juga bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili,
memutus dan menyelesaikan perkara dibidang Jinayah(Hukum Pidana) yang didasarkan atas
syariat Islam sebagaimana yang diatur dalam pasal 128 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Perda No. 5 Tahun 2000, Qanun No. 10 Tahun 2002,
Qonun Nomor 11, 13 dan 14 tahun 2002. Dan Qanun terkait lainnya.

Perincian jenis kewenangan Mahkamah Syar’iyah dibidang mu’amalah meliputi hukum


kebendaan dan perikatan meliputi jual beli, sewa menyewa, hutang piutang, qiradh, musaqah,
muzara’ah, mukhabarah, wakalah, syirkah, ariyah, hajru, suf’ah, rahnun, ihyatul mawat, ma’din,
lugathah, perbankan, takaful (asuransi), perburuhan, harta rampasan, wakaf, hibah, zakat,
infaq, shadaqah dan hadiah. (Pasal 49 huruf b Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang
Peradilan Syariat Islam).

Qanun :
Adalah Peraturan Perundangan sejenis Peraturan Daerah yang mengatur penyelenggaraan
pemerintah dan kehidupan masyarakat di Provinsi Aceh. (Qanun Aceh yang berlaku diseluruh
wilayah Provinsi Aceh).

Qiradh :
Merupakan istilah untuk kerja sama dalam bentuk pinjaman modal tanpa menggunakan sistim
bunga dengan perjanjian bagi hasil.

Musaqah :
Merupakan kerjasama antara pemilik tanaman dan pengelola atau pengarap untuk memelihara
dan merawat tanaman dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan
bersama dan perjanjian / akad.

Muzara’ah : kerja sama antara pemilik sawah atau ladang dengan penggarap.
Mukhabarah : yaitu kerjasama antara pemilik sawah atau ladang dan penggarap dengan bagi
hasil menurut perjanjian.
hap
Syirkah :
Adalah percampuran dua bagian atau lebih, sehingga tidak dapat dibedakan lagi satu bagian
dengan yang lainnya (akad atau kerjasama usaha) / bersekutu atau berserikat.
Ariyah : pinjam meminjam, menurut bahasa memberi manfaat tanpa imbalan.

Hajru :
Menurut bahasa artinya mencegah sedangkan menurut istilah adalah melarang atau menahan
seseorang untuk membelanjakan hartanya. Dalam islam bermaksud untuk menjaga
kepentingan pribadi yang bersangkutan dan termasuk kepentingan orang lain agar tidak
mengalami kerugian.

Syuf’ah :
Menjual sesuatu dengan memprioritaskan yang lebih dekat hubungannya dari pada yang jauh.
Rahnun/Ar-Rahn : secara sederhana dapat diartikan semacam jaminan hutang atau gadai, atau
menahan salah satu harta milik si peminjam atas pinjaman yang diterimanya atau dapat kita
sebut sebagai gadai.

Ihyaul Mawat :
Membuka lahan baru (tanah yang belum pernah dikerjakan oleh siapapun, berarti tanah yang
belum dipunyai orang lain atau tidak diketahui siapa yang punya. Syaratnya ada 2 pertama :
orang yang membuka harus beragama Islam dan kedua : tanah yang dibuka masih bebas,
bukan milik orang lain.

Ma’din :
Adalah merupakan hasil bumi yang bernilai seperti emas dan perak, hasil bumi ini boleh
dinyatakan seperti Petroleum, batu permata, dan lain jenis yang berhubungan dengan bumi dan
nilainya amat berharga seperti emas, perak.

Luqathah :
Adalah menemukan barang yang hilang dari pemiliknya baik hilang karena lupa maupun jatuh
dijalan.

hap
hap

Anda mungkin juga menyukai