Anda di halaman 1dari 6

( 8 )

PENYITAAN

SITA PERKARA PERDATA PENGADILAN AGAMA

Pengertian dan tujuan penyitaan :


Sita merupakan tindakan paksa yang dilakukan Hakim terhadap suatu barang untuk meletakkan atas
permintaan Penggugat supaya gugatannya tidak sia-sia apabila memperoleh kekuatan Hukum tetap.
Tujuannya agar dengan disitanya suatu benda/barang, maka benda/barang tersebut berada dalam status
pengawasan, sehingga tidak boleh : a). Disewakan, b). Dijual belikan, c). Ditukar, d). Diasingkan, atau
e). Diagunkan.
Dan terhadap benda/barang yang telah diletakkan sita, maka tidak dapat disita lagi untuk yang kedua kalinya
oleh Pengadilan.

Jenis-jenis Sita :

1. Sita jaminan (conservatoir beslag) :


Sita jaminan (conservatoir beslag) adalah diatur dalam pasal 227 HIR, yang meliputi semua
barang/benda baik itu bergerak maupun tidak bergerak, juga meliputi semua jenis sengketa, baik itu
sengketa jual-beli, pinjam-meminjam dan lain-lain. Pada dasarnya benda/barang yang dapat ddijadikan
obyek sita adalah benda/barang yang berwujud baik tetap maupun bergerak dan memilkiki nilai
ekonomi, akan tetapi dalam perkembangan berikutnya bahwa aset dan hak paten atau hak merk yang
mempunyai nilai ekonomis dapat pula dijadikan obyek sita jaminan.

Adapun mengenai proses permohonan sita jaminan ( conservatoir beslag) adalah dilakukan dengan :
a. Permohonan sita jaminan (conservatoir beslag) dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan,
oleh karena itu permohonan sita jaminan menjadi bagian dari pokok gugatan yang assesoris
(diletakkan) pada pokok gugatan. Karena itu pula permohonan sita jaminan (conservatoir beslag)
tidak boleh berdiri sendiri tanpa ada perkara pokok dan perkara pokok bisa ada tanpa sita jaminan.
Permohonan sita jaminan itu biasanya dicantumkan pada bagian akhir posita/fundamentum petendi
(tuntutan).
b. Permohonan sita jaminan dapat diajukan sendiri asalkan didahului oleh adanya gugatan pokok
sebagai landasannya.
c. Permohonan sita jaminan dapat diajukan selama proses persidangan berlangsung pada semua
tingkat pengadilan.
Memhami pasal 227 (1) HIR. Bahwa sita jaminan (conservatoir beslag) dapat dilakukan oleh
Penggugat sebelum dijatuhkan putusan atau sudah ada putusan akan tetapi putusan tersebut dapat
dilaksanakan.

2. Sita Revindicatoir beslag :


Adalah diatur dalam Pasal 226 HIR, 260 RBg, 714 Rv, Jo Pasal 1977 KUH Perdata. Adapun kata
Revindicatoir adalah berasal dari perkataan “ revindiceer ” yang artinya mendapatkan, dan pengertian
rivindicatoir beslag adalah mengandung pengertian “ untuk mendapatkan hak kembali “.
Maksudnya pengertian rivindicatoir beslag adalah barang yang digugat itu jangan sampai dihilangkan
selama proses berlangsung.
Ketentuan Pasal 226 HIR dapat dipahami bahwa untuk dapat diletakkan sita rivindicatoir beslag itu
adalah harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Harus berupa barang bergerak.
b. Barang bergerak tersebut adalah barang milik Penggugat yang ada ditangan Tergugat.
c. Permintaannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan.

hap
d. Permintaan sita dapat diajukan secara lisan atau tulisan.
e. Barang tersebut harus diterangkan dengan seksama dan terperinci.
Untuk mempertegas tentang sita rivindicatoir berikut dipaparkan seperti contoh : kendaraan bermotor
roda dua atau roda empat, menyebutkan jenis, merek, tahun pembuatan, No. Pol. dan warna, secara
rinci dalam penyebutannya. Karena sita rivindicatoir hanyalah mengenai barang bergerak. Lagi pula
barang-barang tersebut dalam permohonan harus disebut dengan seksama, maka yang menyangkut
barang tidak bergerak dan barang bergerak yang tidak dapat disebut secara terperinci, harus
dimohonkan sita conservatoir dan bukan sita rivindicatoir.

3. Sita Marital :
Sita harta bersama (marital beslag), adalah sita yang diletakkan atas harta bersama suami isteri baik
yang berada pada suami maupun yang berada pada isteri dalam perkara perceraian atau gugatan harta
bersama. Hal ini diatur dalam Pasal 823-830 Rv. Pasal 190 KUH Perdata. Pasal 24 (2) huruf c PP
Nomor 9 tahun 1975, dan Pasal 78 huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.

Tujuannya agar keutuhan semua harta terjamin pemeliharaan dan keutuhan sampai putusan perceraian
mempunyai kekuatan hukum tetap. Pemeliharaan harta bersama dalam kasus sita marital harus
diartikan meliputi seluruh harta bersama, tidak boleh diartikan hanya uantuk sebagian saja. Sita marital
tidak hanya diletakkan atas harta bersama ditangan yang ada ditangan Tergugat, tetapi sekaligus
meliputi harta bersama yang ada ditangan Penggugat. sita marital itu utuh dan menyeluruh dengan
acuan sebagai berikut :
a. Sita marital meliputi seluruh harta bersama, baik yang berada ditangan Penggugat maupun yang
berada ditangan Tergugat.
b. Fungsi sita marital adalah mempertahankan seluruh harta bersama selama berlangsung proses
perkara perceraian.
c. Tujuan sita marital menyelamatkan keutuhan harta bersama dari kelicikan dan itikad buruk salah
satu pihak sampai putusan perkara perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.

Apa yang disebutkan diatas adalah ciri yang membedakan sita marital dari ketentuan umum (CB)
secara utuh, (CB) hanya ditetapkan kepada barang Tergugat, CB secara murni tidak mungkin diletakkan
pada barang yang dikuasai Penggugat. lain halnya dengan sita marital, harta bersama yang ada
ditangan takluk dan jatuh dibawah sita, hal ini disebabkan harta yang hendak disita, dalam sita marital
adalah milik bersama suami isteri.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam upaya pelaksanaan sita marital, harus memperhatikan :
a. Sita marital tidak termasuk harta pribadi, sebagaimana diatur dalam Pasal 35 dan 36 UU No. 1
tahun 1974. Adalah dibedakan dua bentuk harta perkawinan, yang pertama harta pribadi, yaitu
harta yang telah dimiliki suami atau isteri sebelum perkawinan berlangsung.

b. Tata cara mengajukan permohonan sita marital.

- Dapat diajukan bersamaan dengan gugatan pokok dalam surat gugat.


1) Dirumuskan dalam bagian setelah uraian.
2) Dalam petitum diminta agar sita dinyatakan sah dan berharga.

- Permohonan dapat diajukan secara terpisah :


1) Boleh diajukan menyusul surat gugatan.
2) Boleh diajukan secara lisan atau tertulis dalam persidangan, baik diajukan tersendiri atau
bersamaan dengan replik.
c. Tenggang waktu pengajuan sita.
1) Selama putusan belum dijatuhkan pada Pengadilan Tingkat Pertama.
2) Selama belum memperoleh kekuatan hukum tetap :

hap
- bila perkaranya sudah ditingkat banding, permohonan diajukan pada tingkat banding.
- bila perkaranya ditingkat kasasi diajukan pada tingkat peretama.
d. Alasan permohonan sita :
Alasan permohonan dan pengabulan sita marital diatur sebagaimana CB, yaitu diatur dalam Pasal
227 jo Pasal 197 HIR / Pasal 161 jo Pasal 207 RBg.
1) Ada persangkaan yang beralasan.
2) Bahwa Tergugat akan menggelapkan barang-barang.

Yang berwenang menilai unsur persangkaan adalah Hakim, dan kwalitas persangkaan yang
dibenarkan hukum adalah :
1) Ada fakta yang mendukung persangkaan.
2) Sekurang-kurangnya ada petunjuk yang membenarkan persangkaan.
3) Fakta-fakta itu masuk akal.
4) Yang wajib mengajukan fakta adalah Penggugat.
5) Tanpa fakta atau petunjuk, maka permohonan sita marital akan ditolak.
6) Tata cara pelaksanaan sita marital adalah sama dengan pelaksanaan CB.

4. Sita Eksekusi :
Sita eksekusi (executorial beslag) adalah sita yang diletakkan atas barang-barang yang tercantum
dalam amar putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang merupakan tindakan awal pelaksanaan
eksekusi secara paksa, yang kemudian dilakukan penjualan lelang terhadap barang-barang tersebut.
Sita ini tidak dilakukan terhadap barang-barang yang sebelumnya diletakkan sita, karena putusan yang
berkekuatan hukum tetap, maka barang-barang yang disita dengan sendirinya menjadi sita eksekusi
demi hukum.

TATA CARA PENYITAAN

1. Dilaksanakan berdasar Penetapan Pengadilan.


a. Surat penetapan sita dibuat oleh Ketua atau Majelis Hakim yang bersangkutan.

b. Surat penetapan berisi perintah kepada Panitera atau Juru sita untuk melaksanakan sita
terhadap obyek yang disebutkan dalam surat penetapan. (pasal 197 (1) HIR.

2. Penyitaan dilaksanakan oleh Panitera atau Juru sita.


a. Mengacu pada Pasal 197 ayat (2) HIR, perintah menjalankan sita ditujukan kepada Panitera
dan dapat diganti apabila Panitera berhalangan karena pekerjaan jabatan. Sedangkan menurut
Pasal 36 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 “ Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara
perdata dilakukan oleh Panitera dan Juru sita yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan.

b. Berdasarkan Pasal 38 jo. Pasal 103 UU No. 7 Tahun 1989 pelaksanaan sita dapat diberikan
kepada Juru sita atau Juru sita pengganti yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama melalui
surat penetapan.

3. Pemberitahuan penyitaan.
a. Menurut Pasal 197 ayat (5) HIR. Penyitaan harus diberitahukan kepada Termohon atau
Tergugat.

b. Pemberitahuan sita harus berisi : Jam, Hari, tanggal, bulan, dan tahun pelaksanaan sita.

c. Menyebutkan barang dan tempat penyitaan.

d. Mohon kehadiran pelaksanaan sita.


hap
4. Juru sita dibantu oleh 2 orang saksi.
a. Ditulis nama, umur, pekerjaan, dan tempat tinggalnya dalam berita acara penyitaan.

b. Berpenduduk Indonesia, umur minimal 21 tahun, dan dipercaya.

5. Sita dilakukan ditempat barang.


a. Petugas Juru sita dan saksi-saksi harus datang kelokasi penyitaan secara langsung.

b. Menurut Pasal 197 ayat (9) HIR, penyitaan yang tidak dilakukan ditempat dimana barang
berada adalah tidak sah.

6. Penyusunan berita acara penyitaan.


Berita acara penyitaan harus memuat hal-hal sebagai berikut :
a. Nomor, tanggal, bulan, dan tahun surat penetapan perintah sita, sebagai pedoman pelaksaan
sita.
b. Hari, tanggal, bulan dan tahun serta jam, pelaksanaan sita.
c. Nama, umur, pekerjaan dan tempat tinggal saksi-saksi.
d. Jumlah barang yang disita dijelaskan secara rinci.
e. Apabila Tergugat (Termohon sita) hadir, dijelaskan bahwa berita acara dibuat dihadapannya,
apabila tidak hadir juga dicatat dalam berita acara penyitaan.
f. Penjagaan obyek sita diserahkan kepada Termohon sita.
g. Berita acara sita ditanda tangani oleh Juru sita dan saksi-saksi.

7. Pendaftaran sita.
a. Menurut Pasal 198, bahwa Berita acara penyitaan didaftarkan dan diumumkan melalui Kantor
yang berwenang.
b. Barang sitaan berupa tanah yang bersetipikat, maka didaftarkan ke Badan Pertanahan Nasional
(BPN).
c. Barang sitaan berupa tanah belum bersertipikat dicatat dalam Buku Leter C di Kantor
Kelurahan / Kepala Desa.

8. Barang sitaan ditempatkan pada tempat asalnya.


a. Penjagaan barang sita baik yang bergerak maupun tidak bergerak diserahkan kepada
Termohon sita.
b. Tidak diperbolehkan mengalihkan dan atau menyerahkan penguasaannya kepada Pemohon
sita atau kepada pihak ketiga atau Kepala desa.
c. Termohon sita diperbolehkan untuk memakai, menikmati dan mengoprasikan kegiatan usaha
yang melekat pada barang sita, kecuali apabila pemakaian itu berakibat barang sitaan menjadi
habis dalam pemakaian.

Patoan Umum sita :


1. Karakter assesoris, bahwa sita merupakan tambahan dari pokok gugat ( additional claim) sebagai
suatu tambahan, maka sita tidak boleh berdiri sendiri tanpa diletakkan pada gugatan pokok, tidak
terimanya / ditolaknya suatu gugatan, maka dengan sendirinya sita itu ditolak atau tidak dapat
diterima, begitu sebaliknya bahwa tidak ada kewajiban bagi Hakim apabila gugatan pokok diterima
harus pula menerima permohonan sita.

2. Tindakan paksa oleh Pengadilan atas harta milik Tergugat apabila ada permintaan dari Penggugat.
sita harus atas dasar permintaan dan seolah-olah merupakan perampasan harta yang bersifat relatif

hap
(bukan mutlak) karena tidak dengan sendirinya menghapuskan hak pemilikan tersita atas barang
yang diletakkan diatasnya sebuah sita.
Barang sitaan harus diletakkan dalam status quo ( keadaan tetap sebagaimana keadaan sebelumnya) dan
tersita masih dapat menikmati barang yang berada dalam penyitaan, selain itu penyitaan harus
didaftarkan pada Kantor pendaftaran yang bersangkutan, yaitu dengan mendaftarkan berita acara
penyitaan.

3. Sita merupakan tindakan yang sangat eksepsional.


Merupakan tidakan pengecualian, yaitu meskipun pokok perkara belum diputuskan, seolah-olah
sudah diadakan eksekusi terhadap Tergugat/Tersita, atas sifat eksepsional tersebut maka Hakim
harus berhati-hati atau teliti dan seksama apabila permintaan sita itu mempunyai dasar hukum yang
jelas dan kuat.

Alasan Permintaan Sita :


Bahwa, Tergugat diduga kuat akan menggelapkan harta yang disengketakan, namun alasan tersebut
sangat bersifat subyektif apabila dikaitkan dengan sifat eksepsional.

Pejabat mana yang berwenang memerintahkan Penyitaan :


Menurut Pasal 95 HIR bahwa, yang berwenang untuk memerintahkan penyitaan adalah Ketua
Pengadilan, namun dalam praktik hal tersebut dapat didelegasikan oleh Hakim, dengan demikian tidak
mutlak menjadi kewenangan Ketua Pengadilan, tetapi merupakan kewenangan Majelis Hakim yang
memeriksa perkaranya.

Adapun obyek sitaan adalah hanyalah berupa barang yang meliputi :


a. Barang bergerak atau barang tidak bergerak.
b. Barang berwujud atau tidak berwujud.
c. Surat-surat berharga.
d. Kapal terbang dan kapal laut.
e. Harta bersama suami isteri.

Adapun barang-barang yang tidak boleh disita adalah barang-barang yang meliputi : Hak sewa (hak
milik orang lain) dan harta milik orang ketiga.

Permintaan sita tidak dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum ( unlawfull/onrecht matige
daad), walaupun gugatan pokok dan permintaan sita ditolak oleh Pengadilan, hal tersebut dimaksudkan
untuk tetap menegakkan lembaga sita dan untuk menolak kewenangan pihak Tergugat yang
berkeinginan untuk mempermainkan Penggugat.

Tindakan Insidentil :
Sangat bijaksana sekali apabila ada permohonan atas sita, Hakim harus melakukan tindakan yang se
baik-baiknya, yaitu dengan melakukan “ proses Insidentil” yakni sebelum dilakukan proses pemeriksaan
pokok perkara. Hakim melakukan sidang secara khusus yang dihadiri oleh Penggugat dan Tergugat
berikut Panitera untuk menuangkan dalam berita acara. Adapun proses insidentil tersebut dimaksudkan
untuk mengabulkan atau menolak permintaan sita sebelum pemeriksaan pokok perkara dilakukan.

hap
hap

Anda mungkin juga menyukai