Anda di halaman 1dari 4

NAMA : MUHAMMAD AKBAR

NIM : 5193111006

KELAS : PTB REG B 2019

MATA KULIAH : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

DOSEN PENGAMPU : Dra. YUSNA MELIANTI, M.H

TUGAS RUTIN 4
Tentang Pentingnya Konstitusi Bagi Negara dan UUD 1945 Sebagai Konstitusi Negara
Indonesia.

1. Hakikat Konstitusi
Kata ‘konstitusi” yang berarti pembentukan, berasal dari kata “constituer” (Perancis)
yang berarti membentuk. Sedangkan istilah “undang-undang dasar” merupakan terjemahan
dari bahasa Belanda “grondwet”. “Grond” berarti dasar, dan “wet” berarti undang-undang.
Jadi Grondwet sama dengan undang-undang dasar. Namun dalam kepustakaan Belanda
dikenal pula istilah “constitutie” yang artinya juga undangundang dasar. Dalam kepustakaan
hukum di Indonesia juga dijumpai istilah “hukum dasar”. Hukum memiliki pengertian yang
lebih luas dibandingkan dengan undang-undang. Kaidah hukum bisa tertulis dan bisa tidak
tertulis, sedangkan undang-undang menunjuk pada aturan hukum yang tertulis.
Atas dasar pemahaman tersebut, konstitusi disamakan pengertiannya dengan hukum
dasar, yang berarti sifatnya bisa tertulis dan tidak tertulis. Sedangkan undang-undang dasar
adalah hukum dasar yang tertulis atau yang tertuang dalam suatu naskah/dokumen. Dengan
demikian undang-undang dasar merupakan bagian dari konstitusi. Sedangkan di samping
undang-undang masih ada bagian lain dari hukum dasar yakni yang sifatnya tidak tertulis,
dan biasa disebut dengan konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan. Konvensi ini merupakan
aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara
walaupun tidak tertulis.
Berikut ini pengertian yang menggambarkan perbedaan antara undang-undang dasar
dan konstitusi. Bahwa undang-undang dasar adalah suatu kitab atau dokumen yang memuat
aturan-aturan hukum dan ketentuan-ketentuan hukum yang pokok-pokok atau dasar-dasar
yang sifatnya tertulis, yang menggambarkan tentang sistem ketatanegaraan suatu negara.
Sedangkan konstitusi adalah dokumen yang memuat aturan-aturan hukum dan ketentuan-
ketentuan hukum yang pokok-pokok atau dasar-dasar, yang sifatnya tertulis maupun tidak
tertulis, yang menggambarkan tentang sistem ketatanegaraan suatu negara. (Soehino,
1985:182).
Menurut James Bryce, konstitusi adalah suatu kerangka masyarakat politik (negara)
yang diorganisir dengan dan melalui hukum. (Stong, 2008:15). Dengan demikian konstitusi
merupakan kerangka kehidupan negara yang diatur dengan ketentuan hukum. Pendapat
lainnya menyatakan bahwa konstitusi memiliki 2 (dua) pengertian, yaitu pengertian yang luas
dan pengertian yang sempit. Namun hampir semua negara di dunia memberi arti konstitusi
dalam pengertian yang sempit, kecuali di Inggris. (Martosoewignjo, 1981:62).
Dalam Pengertian yang sempit konstitusi hanya mengacu pada ketentuan-ketentuan
dasar yang tertuang dalam dokumen tertulis yaitu undang-undang dasar, sehingga muncul
sebutan seperti, Konstitusi Amerika Serikat, Konstitusi Perancis, Konstitusi Swiss, dan
sebagainya. Sedangkan dalam pengertian yang luas, konstitusi juga mencakup kebiasaan
ketatanegaraan sebagai suatu kaidah yang sifatnya tidak tertulis. Jadi ketika istilah
“konstitusi” disamakan pengertiannya dengan “undang-undang dasar”, istilah tersebut
hendaknya dipahami dalam pengertian yang sempit.

2. Urgensi Konstitusi Bagi Kehidupan Bernegara


Urgensi konstitusi atau UUD dalam suatu negara, sesuai dengan akar historisnya di
Dunia Barat adalah untuk menentukan batas wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan
mengatur jalannya pemerintahan. Jadi, melalui konstitusi atau UUD suatu negara akan dapat
diketahui tentang keberadaannya, baik bentuk kedaulatan maupun sistem pemerintahannya.
Oleh karena itu, negara dan konstitusi merupakan dua Institusi yang tidak dapat dipisahkan
satu sama lain. Hal ini pula yang menyebabkan tidak ada satu negara pun di dunia ini yang
tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
Di Indonesia, sebagaimana telah diketahui bersama bahwa yang dimaksud dengan
konstitusi adalah UUD 1945. UUD 1945 sebagai konstitusi negara yang secara formal
sekaligus sumber hukum tertinggi di Indonesia, telah memilih konsep kedaulatan rakyat
dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan Indonesia, sebagaimana tertuang dalam
ketentuan pasal 1 ayat (2) UUD 1945; Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar.
Namun, dalam kenyataan empirik sepanjang sejarah berlakunya UUD 1945, selalu
menimbulkan pemerintahan yang tidak demokratis karena UUD Ini kurang memenuhi syarat
sebagaimana dituntut oleh ajaran konstitusionalisme yang harus menutup pintu bagi
pemerintahan yang otoriter. Tegasnya ajaran konstitusionalisme yang telah digagas lebih
awal dari pada konstitusi itu sendiri, mengajarkan bahwa penguasa perlu dibatasi
kekuasaannya dan karena itu kekuasaannya harus diperinci secara tegas." Sri Soemantri
menilai bahwa perkataan "konstitusionalisme yang berasai dari kata konstitusi, dan berarti
"suatu kerangka dari suatu masyarakat poiitik" (frame ofpolitical soci- ety) yang pada
dasarnya terdapat pengertian tentang "lembaga-lembaga negara", dan "hak-hak serta
kewajiban-kewajiban asasi manusia dan warga negara".
Meskipun UUD 1945 itu menyatakan penerimaannya secara tegas atas faham
demokrasi, tetapi pada dirinya banyak celah yang memungkinkan pemerintah membangun
kekuasaan secara sentralistis sehingga menjadi tidak demokratis. UUD 1945 juga tidak
mengatur secara ketat tentang perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) oleh negara dan
tidak menetapkan pembatasan kekuasaan secara tegas melalui checks and balances
sebagaimana tuntutan ajaran konstitusionalisme di atas.
Kenyataan inilah yang kemudian di era reformasi menimbulkan pemikiran tentang
perlunya amandemen atas UUD 1945. Kini amandemen terhadap UUD 1945 telah berhasil
dilakukan, tetapi masih menyisakan beberapa pasal yang bersifat kontroversial. Kendati
amandemen telah dilakukan sebanyak empat kali, ternyata belum menghasilkan suatu
konstitusi yang ideal, dalam arti bahwa UUD 1945 hasil amandemen tersebut belum bersifat
sistematis, komprehensif, kohesif, dan lugas. Dalam pandangan J. Kristiad P, hal ini terjadi
karena terdapat dua persoalan pokok; Pertama, proses amandemen dilakukan secara parsial
dan tidak didahului dengan suatu public discourse yang cukup untuk memberikan arah dan
landasan bagi terbentuknya konstitusi yang ideal. Kedua, amandemen dilakukan oleh institusi
(MPR) yang mempunyai kepentingan agar eksistensi, peran dan kekuasaannya kalau
mungkin dipertahankan.
Tulisan ini mencoba mengkritisi hasil proses amandemen terhadap UUD 1945 dari
sudut pandang hukum tata negara, sebagai bahan evaluasi apakah secara substansial maupun
prosedural capaian hasil amandemen terhadap UUD 1945 itu layak dan dibenarkan, ataukah
masih terdapat banyak kelemahan dalam berbagai aspeknya sehingga secara keilmuan dapat
dipertanggungjawabkan.
Pustaka :

Santoso, Djoko. 2012. Modul Kuliah Kewarganegaraan. Kementrian Pendidikan dan


Kebudayaan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat
Pembelajaran dan Kemahasiswaan.

Sri Soemantri, dalam Suharizal, Reformasi Konstitusi 1998 - 2002; Pergulatan Konsep dan
Pemikiran Amandemen UUD 1945, 2002, Cetakan ke-1 .Jakarta, Sinar Grafika, him.
28.

Moh. Mahfud MD.. Op. C/f., him.6

J. Kristiadi, "Beberapa Catalan Proses Amandemen Konstitusi di Beberapa Negara",


Makalah pada Semiloka Nasional "Evaluasi Kritis atas Proses dan Hasil Amandemen
UUD 1945", yang diselenggarakan oleh KAGAMA, Yogyakarta, 8 -10 Juli 2002.
him. 1.

Anda mungkin juga menyukai