Oleh :
FITRIANI
2014901066
2. Rentang respon
Perilaku atau respon kemarahan dapat berflutuatif dalam rentang adaptif
sampai maladaptif. Rentang respon marah menurut (Fitria, 2010).
Dimana amuk dan agresif pada rentang maladaptif, seperti gambar
berikut:
Respon adaptif Respon maladaptif
Keterangan:
a. Asertif :Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain.
b. Frustasi :Kegagalan mencapaiu tujuan karena tidak
realistis/terhambat.
c. Pasif :Respon lanjutan dimana klien tidak mampu mengungkapkan
perasaannya.
d. Agresif : Perilaku destruktif tapi masih terkontrol. Amuk : Perilaku
destruktif dan tidak terkontrol.
3. Faktor penyebab
Faktor penyebab terjadinya kekerasan sebagai berikut (Direja, 2011):
a. Faktor Preedisposisi
1) Faktor psikologi
a) Terjadi asumsi, seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan akan timbul dorongan agresif yang
memotivasi perilaku kekerasan.
b) Berdasarkan pengunaan mekanisme koping individu dan
masa kecil yang tidak menyenangkan dan frustasi.
c) Adanya kekerasan rumah tangga, keluarga, dan lingkungan.
2) Faktor Biologis
Berdasarkan teori biologi, ada beberapa yang mempengaruhi
perilaku kekerasan:
a) Beragam komponen sistem neurologis mempunyai
implikasi dalam menfasilitasi dan menghambat impuls
agresif.
b) Peningkatan hormon adrogen dan norefineprin serta
penurunan serotin pada cairan serebro spinal merupakan
faktor predisposisi penting menyebabkan timbulnya
perilaku agresif seseorang.
c) Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif
sangat erat kaitannya dengan genetic termasuk genetik tipe
kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki oleh penghuni
penjara atau tindak criminal.
d) Gangguan otak, sindrom otak genetik berhubungan dengan
berbagai gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada
limbic dan lobus temporal), kerusakan organ otak, retardasi
terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan perilaku
kekerasan.
3) Faktor Sosial Budaya
Norma merupakan kontrol masyarakat pada kekerasan. Hal ini
mendefinisikan ekspresi perilaku kekerasan yang diterima atau
tidak diterima akan menimbulkan sanksi. Budaya dimasyarakat
dapat mempengaruhi perilaku kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam,
baik berupa injuri secara fisik, psikis atau ancaman konsep diri.
Beberapa faktor perilaku kekerasan sebagai berikut:
1) Klien : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak berdayaan,
kehidupan yang penuh agresif, dan masa lalu yang tidak
menyenangkan.
2) Interaksi : penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang
berarti, merasa terancam baik internal maupun eksternal.
3) Lingkungan : panas, padat, dan bising.
4. Proses terjadinya
a. Faktor Predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor
predisposisi, artinya mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi
perilaku kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu:
1) Psikologis : kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frutasi
yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-
kanak yang tidak menyenangkan yaitu perasaan ditilak, dihina,
dianiaya.
2) Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan
kekerasan, sering mengobservasi kekerasan dirumah atau diluar
rumah, semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi
perilaku kekerasan.
3) Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif
agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku
kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan
yang diterima (permissive).
4) Bioneurologis banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus
frontal, lobus temporal dan ketidakseimbangan neurotransmitter
turut berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan (Prabowo,
2014).
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau
interaksi dengan orang lain. Kondisi pasien seperti ini kelemahan
fisik (penyakit fisik), keputusasaan, ketidak berdayaan, percaya diri
yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian
pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang
mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintainya atau
pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain
interaksi yang profokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku
kekerasan (Prabowo, 2014).
5. Mekanisme koping
a. Konstruktif
Mekanisme konstruktif terjadi ketika kecemasan diperlakukan
sebagai sinyal peringatan dan individu menerima sebagai tantangan
untuk menyelesaikan masalah, menggunakan kata-kata yang dapat
dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain akan
memberikan kelegaan pada individu (Yusuf, 2015)
b. Destruksif
Mekanisme koping destruksif menghindari kecemasan tanpa
menyelesaikan konflik. Pada pasien dengan risiko perilaku kekerasan
, apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku agresif dan
menentang, biasanya dilakukan karena ia merasa kuat. Cara ini
menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan dapat menimbulkan
tingkah laku yang destruktif dan amuk (Yusuf, 2015).
6. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang
tepat. Adapun pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai
dosis efektif tinggi contohnya : clorpromazine HCL yang digunakan
mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat dipergunakan
dosis efektif rendah, contoh : Trifluoperasine estelasine, bila tidak
ada juga maka dapat digunakan transquelillzer bukan obat anti
psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduannya
mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan anti agitasi.
b. Terapi Okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, terapi ini bukan
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk
melakukan kegiatan dan mengembalikan maupun berkomunikasi,
karena itu didalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan terapi
sebagai bentuk kegiatan membaca koran, main catur, setelah mereka
melakukan kegiatan itu diajak berdialog atau berdiskusi tentang
pengalaman dan arti kegiatan itu bagi dirinya.
c. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan
perawatan langsung pada setiap keadaan pasien. Perawat membantu
keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan yaitu, mengenal
masalah kesehatan, membuat keputusan kesehatan, memberi
perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan keluarga
yang sehat, dan menggunakan sumber daya pada masyarakat.
Keluarga yang mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan
dapat mencegah perilaku maladaptive (primer), mengulangi perilaku
maladaptive (sekunder) dan memulihkan perilaku maladaptive dan
adaptive sehingga derajat kesehatan pasien dan keliuarga dapat
ditingkatkan secara optimal.
d. Terapi Somatik
Menurut Deskep RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi
somatic terapi yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa
dengan tujuan mengubah perilaku tindakan yang ditujukan pada
kondisi fisik pasien, tetapi target terpai adalah perilaku pasien
(Prabowo, 2014).
7. Prinsip tindakan keperawatan
a. Otonomi (menghormati hak pasien)
b. Non malficience (tidak merugikan pasien)
c. Beneficience (melakukan yang terbaik bagi pasien)
d. Justice (bersikap adil kepada semua pasien)
e. Veracity (jujur kepada pasien dan keluarga)
f. Fidelity (selalu menepati janji kepada pasien dan keluarga)
g. Confidentiality (mampu menjaga rahasia pasien)
2. Daftar Masalah
Menurut Direja, (2011) adapun daftar masalah keperawatan pada klien
dengan perilaku kekerasan sebagai berikut:
a. Perilaku Kekerasan
b. Halusinasi Pendengaran
c. Isolasi Sosial
d. Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah.
3. Pohon Masalah
Pohon masalah perilaku kekerasan (Yosep, 2011):
Resiko mencederai diri sendiri,
orang lain dan lingkungan.
(Effect)
Perilaku Kekerasan
(Core Problem)
6. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana
tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan
yang telah direncanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana
tindakan keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien
saat ini (Damaiyanti, 2012).
Selain itu, salah satu hal yang penting dalam pelaksanaan rencana
tindakan keperawatan adalah teknik komunikasi terapeutik. Teknik ini
dapat digunakan dengan verbal; kata pembuka, informasi, fokus. Selain
teknik verbal, perawat juga harus menggunakan teknik non verbal
seperti; kontak mata, mendekati kearah klien, tersenyum, berjabatan
tangan, dan sebagainya. Kehadiran psikologis perawat dalam komunikasi
terapeutik terdiri dari keikhlasan, menghargai, empati dan konkrit
(Yusuf, 2019).
7. Evaluasi Keperawatan
Menurut Trimelia (2011) evaluasi dilakukan dengan berfokus pada
perubahan perilaku Klien setelah diberikan tindakan keperawatan.
Keluarga juga perlu dievaluasi karena merupakan sistem pendukung
yang penting. Menurut Keliat, 1998 evaluasi adalah proses yang
berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien.
Evaluasi dapat dilakukan berdasarkan SOAP sebagai pola pikir.
S : Respon subjektif dari klien terhadap intervensi keperawatan
O : respon objektif dari klien terhadap intervensi keperawatan
A: analisa ulang atas dasar subjek dan objek untuk mengumpulkan
apakah masalah masih ada, munculnya masalah baru, atau ada data yang
berlawanan dengan masalah yang masihada.
P : perencanaan atau tindakan lanjut berdasarkan hasil analisa pada
respon klien.
DAFTAR PUSTAKA
Anna Budi Keliat, SKp. (1998). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial
Menarik Diri, Jakarta ; Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Damaiyanti, M. Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika
Aditama Keliat, Budi Anna. (2006) Proses keperawatan kesehatan jiwa.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Direja. A. H. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Purba, dkk. (2018). Asuhan Keperawatan pada klien dengan masalah
psikososial dan gangguan jiwa. Medan : USU Press.
Fitria, Nita. 2010. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba
Medika
Keliat Budi Ana. 2011. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I. Jakarta : EGC
Kusumawati, F & Hartono.Y. (2011).Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba.
Prabowo. 2014. Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika
Yosep, I., 2011, Keperawatan Jiwa, Bandung : Refika Aditama.
Yosep, H. I., dan Sutini, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance
Mental Health Nursing. Bandung: Refika Aditama.
Yusuf, A., Fitryasari, R., & Tristiana, D. (2015). Kesehatan Jiwa : Pendekatan
Holistik dalam Asuhan Keperawatan (1st ed.). Jakarta: Mitra Wacana
Media.