“Yah, karena kejadian itu, aku hilang ingatan dan hanya mengingat Anggia, Mama dan
Papa.”
Aku bisa melihat jelas jika di jaketnya terukir nama ‘Aldebaran’ yang indah dengan benang.
Satu nama yang sangat kurindukan.
Dua puluh menit lalu, adiknya, Anggia, menabrakku hingga jatuh. Awalnya, Anggia merasa
takut jika aku akan marah karena dia menabrakku, tapi wajah ketakutan itu hilang ketika aku
memberikannya lolipop. Matanya berbinar dan senyum langsung merekah saat itu juga. Dan
karena kejadian dua puluh menit lalu itu, aku berada di sini, duduk di bangku taman dengan
seorang lelaki yang sedang mengawasi adiknya bermain.
Ia bercerita tentang kecelakaan yang membuatnya hilang ingatan setelah aku menanyakan
bekas luka di dahinya.
“Apa kau mengingat sekeping masa lalu? Apa kau ingat sesuatu yang yang seharusnya hadir
setelah hujan malah bermain saat hujan?”
“Tidak.”
“Apa kau tak ingat warna-warni ceria?”
Lelaki yang bernama Aldebaran itu tampak berfikir, sampai akhirnya, wajahnya kembali
murung. “Tidak.”
“Kak Al! Pulang yuk, Anggia capek, besok kan kita mau pulang ke London lagi!” Anggia
berlari menghampiri Aldebaran dengan wajah yang sudah kucal.
Tapi Aldebaran hanya tersenyum pada Anggia tanpa beranjak dari tempatnya berada.
“Ayooo, kak! Aku rindu pada James, Fey, dan Blinda,” rengek Anggia
Aldebaran menoleh ke arahku lalu tersenyum. “Aku pergi dulu, ya,” ucapnya.
Lalu setelah itu, aku sendiri lagi. Bersama angan yang terus bermimpi.
Sesampainya di sana, banyak teman-temannya Lyn, tapi gadis itu tidak disambut dengan
baik. Wajahnya dicoret-coret, bonekanya dirusak, dan rambutnya dibuat acak-acakan.
Gadis itu keluar dari rumah Lyn. Ia sangat beruntung karena di luar sedang hujan, dan dia
bisa menangis sepuasnya tanpa perlu khawatir ada yang mengetahuinya.
Gadis itu terduduk di samping lampu jalan sambil memeluk kedua lututnya. Wajahnya
mendongak kala ia tak lagi merasakan tetes air hujan.
Payung biru.
Ia sedang di bawah payung biru.
Bersama lelaki yang dua tahun lebih muda darinya, yang bahkan belum ia kenal.
Keesokkan harinya…
Pelangi menggedor rumah Aldebaran dengan ceria, rambut yang dikucir seperti buntut kuda
itu bergoyang-goyang dengan lucunya.
“Aldebaran! Main yuk! Pelangi bosen, nih,” ucap Pelangi sambil terus menggedor-gedor
pintu rumah Aldebaran. Merasa tak mendapat jawaban, Pelangi beralih mengintip dari
jendela yang terletak di samping pintu.
Ia menempelkan wajahnya pada kaca jendela, kedua tangannya ia letakkan di samping wajah
untuk menghalau cahaya agar tidak menyilaukan kaca.
“Aldebaran! Al! Baran! Main yuk! Ini Pelangi,” kening Pelangi mengkerut saat mengetahui
isi rumah Aldebaran kosong. “Aldebaran?”
Tunggu.
Siapa aku ini?
Menuntut pamit dan izin.
Seharusnya, semenjak hari itu aku tahu; Pelangi dan Bintang hanya diciptakan untuk
menghias bumi, bukan untuk mengharap sehati.
Seharusnya, aku tahu; Takdir berkata tidak, dan Semesta menyetujui itu semua. Jika sudah
seperti itu adanya, aku bisa apa?