(Lumpur+ Udara)
TUJUAN
Pendahuluan
Pengertian Lumpur Aerasi
Komponen Lumpur Aerasi
Udara
Lumpur Biasa
Kelebihan dan Kekurangan Lumpur Aerasi
Distribusi Gelombang dalam Lumpur Aerasi
Lumpur Aerasi ketika Bersirkulasi
Lumpur Aerasi dalam Keadaan Tidak Bersirkulasi
Pengaruh Tekanan Permukaan terhadap Distribusi Gelembung
Pola ALiran Dua Fasa
Sifat-Sifat Lumpur Aerasi
Densitas
Viskositas
Gel Strength
Kapasitas Pengangkatan Cutting
Volume Udara Injeksi
Metoda Poettmann & Begman
Metoda White
Metoda PV = konstan
Metoda PV/T = konstan
Metoda Pembuatan Lumpur Aerasi
Peralatan Pemboran
Prosedur Pemboran
Operator
3.1. Udara
Udara di alam terbentuk dari campuran gas-gas dengan komposisi tertentu,
yaitu 78% nitrogen, 21% oksigen, dan 1% gas-gas lain seperti argon, neon, dan lain-lain.
Karena udara tersedia di bumi dalam jumlah banyak, maka biaya penyediaan udara
sangat murah. Udara juga tidak beracun sehingga setelah digunakan sebagai campuran
lumpur aerasi dapat dibuang langsung ke alam tanpa merusak lingkungan.
Keuntungan menggunakan udara sebagai fluida sirkulasi dalam pemboran
antara lain:
¾ meningkatkan laju penetrasi karena udara mengurangi tekanan hidrostatis
pada formasi yang sedang dibor, sehingga batuan lebih mudah terlepas
untuk menyeimbangkan perbedaan tekanan. Laju penetrasi di kebanyakan
formasi dapat meningkat 100% dibandingkan menggunakan fluida
pemboran yang lain.
¾ tidak menyebabkan kerusakan formasi, karena udara memiliki berat yang
sangat ringan dibandingkan fluida pemboran lain.
¾ fluida formasi dapat diketahui seketika karena udara membentuk sistem
underbalanced di depan formasi sehingga fluida formasi masuk ke dalam
sumur.
¾ udara dapat digunakan untuk pemboran formasi batuan kering atau
formasi batuan basah. Penginjeksian udara ke dalam lumpur bertujuan
mengimbangi tekanan formasi sehingga tidak terjadi masalah hilang
sirkulasi atau masalah kick.
Udara merupakan fluida kompresibel yang volumenya dipengaruhi tekanan dan
temperatur. Karena densitas lumpur aerasi dipengaruhi oleh volume udara maka
densitas lumpur aerasi berbeda disetiap kedalaman.
⇪
Gambar 2. Pengaruh Tekanan terhadap Distribusi Gelembung Udara14)
Untuk mengetahui pola aliran yang terjadi dalam pipa, dapat menggunakan bilangan
Froude sebagai berikut :
2
⎛ Qa +Qm ⎞
⎜⎜ ⎟
⎝ Aa ⎟⎠
Fr = ............................................................................................................................... (2)
gc . d av
dimana :
Fr = bilangan Froude (tak berdimensi)
Aa = luas anulus (sq ft)
gc = percepatan gravitasi = 32,174 ft/sec2 = 115826,4 ft/min2
dav = diameter rata-rata = (D1 + D2)/2 , ft
Perbandingan laju aliran udara di dalam lumpur aerasi diketahui dengan persamaan :
Qa
Xa = ..................................................................................................................................... (3)
Qa + Qm
7.1. Densitas
Densitas lumpur aerasi tergantung dari densitas lumpur awal, volume lumpur,
densitas udara, volume udara, tekanan, dan temperatur. Densitas terendah dicapai ketika
lumpur aerasi terbentuk pertama kali di permukaan, ketika bersirkulasi ke bawah,
densitas lumpur akan semakin besar. Hal ini disebabkan distribusi gelembung yang tidak
merata dalam lumpur aerasi. Karena gelembung udara berdensitas lebih kecil dari
densitas lumpur, maka gelembung cenderung bergerak ke atas.
Berdasarkan persamaan White15) jika Qa, Qm, dan densitas lumpur awal tetap,
maka terdapat hubungan antara densitas lumpur aerasi terhadap kedalaman, seperti
ditunjukkan pada Gambar 5.
7.2. Viskositas
Viskositas lumpur aerasi didefinisikan sebagai ketahanan lumpur aerasi terhadap
aliran, dengan menggunakan satuan centipoise. Adanya gelembung udara dalam
lumpur mempengaruhi viskositas lumpur aerasi. Hal ini karena gelembung udara akan
memperkecil gesekan. Besarnya perubahan viskositas ini tergantung pada fraksi udara
dalam lumpur aerasi. Asumsi yang digunakan adalah viskositas udara dan lumpur biasa
bersifat konstan.
Karena fraksi udara aliran lumpur aerasi berbeda-beda tergantung ke
dalamannya, maka viskositas lumpur aerasi memiliki sifat yang sama dengan sifat
densitas lumpur aerasi, dimana semakin dalam letak satu bagian lumpur aerasi, maka
viskositas lumpur akan semakin mendekati viskositas lumpur biasa, dan viskositas
terkecil terjadi ketika lumpur aerasi berada di permukaan.
μf = X udara xμ udara + (1 − X udara ) xμ lumpurbias a ....................................................... (5)
dimana :
μf = viskositas lumpur aerasi (cp)
Xudara = fraksi udara dalam lumpur aerasi
μ udara = viskositas udara (cp)
μ lumpur biasa= viskositas lumpur awal (cp)
Viskositas berpengaruh terhadap kecepatan slip lumpur untuk mengangkat
cutting ke permukaan, seperti yang ditunjukkan persamaan Stoke (1). Makin besar
viskositas maka kecepatan slip makin kecil sehingga cutting lebih mudah terbawa aliran
lumpur ke permukaan.
Karena viskositas lumpur aerasi makin kecil ketika mengalir ke permukaan, dan
berpengaruh terhadap kemampuan lumpur membawa cutting, maka viskositas lumpur
awal perlu menjadi perhatian dalam pemboran aerasi ini.
6.31x10 −5.H .( ρi − ρ pf )
Qa = xQm
(2.30.lo(4.72 x10 − 4.h.ρf + 1) ........................................................... (14)
Volume udara yang diinjeksikan akan menurunkan densitas lumpur, tetapi
jumlah yang diinjeksikan harus memperhatikan kemampuan aliran lumpur di anulus
untuk membawa cutting. Jika laju aliran lumpur lebih besar dari dari kecepatan kritik
akan membuat aliran turbulen dalam anulus, sementara jika lebih kecil dari kecepatan
slip dan kecepatan cutting, maka cutting tidak terbawa ke permukaan dan mengendap
di dasar sumur.
⎛ ρf (i − 1) ⎞
Pf (i ) = Pf (i − 1) + ⎜ × [Di − Di − 1]⎟ ................................................. (18)
⎝ 144 ⎠
dimana :
Di = kedalaman i (feet).
Volume udara pada kedalaman i ditentukan berdasarkan sifat persamaan (15)
yang berharga konstan.
Psurf × Vsurf
Vai = ............................................................................................ (19)
Pf (i )
⎛ Qm ⎞
⎜ ⎟ + Qa
Vta = ⎝
7.48 ⎠
................................................................................................ (21)
Aa
dimana :
vfa = kecepatan lumpur aerasi di anulus (ft/min)
Qm = laju alir lumpur biasa (gpm)
Qa = laju alir udara (cuft)
Aa = luas anulus (sqft).
dimana :
W = laju alir massa (lb/sec)
a = luas orifice (sq. in.)
C = konstanta aliran
P1 = tekanan total upstream (lbs/sq. in.)
T1 = temperatur upstream (oR)
untuk orifice berbentuk bulat C = 0,95 sedangkan jika berbentuk sudut tajam (sharp
edge) C = 0,65 . P1 = tekanan alat ukur (psig) + 14,7 psia. Harga W dikonversi
menjadi satuan cu. ft per menit dengan menggunakan densitas udara kering pada
kondisi standar (14,7 psi dan 70oF) = 0,07494 lbs/cu. ft. Sehingga keluaran dari
kompresor adalah :
axCxP1
Qak = 424.58 x
T1 ................................................................................................................... (16)
Volume udara yang dihasilkan kompresor berdasarkan batas keluaran pada kondisi
ideal di permukaan laut, sehingga volume udara yang keluar dari kompresor perlu
dikoreksi karena adanya efek dari temperatur, tekanan, dan kelembaban udara.
Tekanan, temperatur dan kelembaban udara di lapangan tergantung pada
ketinggian tempat dari permukaan laut, dan iklim. Ketika menghitung volume udara
maksimum yang dihasilkan kompresor, tekanan, temperatur, dan kelembaban udara
ditentukan pada harga maksimum yang ada di lapangan.
Penentuan koreksi :
1. Koreksi tekanan, Pkor = (Pudara - 0,1) : 14,7 psia ........................................................... (17)
tekanan udara di lapangan dapat diketahui dengan menggunakan barometer.
2. Koreksi temperatur,
Tkor = (460o + 60o) : (460o + Tudara, oF) ............................................................................ (18)
3. Koreksi kelembaban,
Kkor = (Pudara - Kudara x 0, 5068) / Pudara .(19)
1. Bourgoyne A.T. et.al., "Applied Drilling Engineering", First Printing Society of Petroleum
Engineers, Richardson TX, 1986.
2. Shale, L.T., "Underbalanced Drilling : Formation Damage Control During Hight Angle or
Horizontal Drilling", SPE paper no. 27351, SPE Inc., 1994.
3. Rizo, T.M., "Aerated Fluid Drilling Observations in Geothermal Operation in Luzon,
Philipines", SPE paper no. 12455, SPE Inc., 1984.
4. Huddleston, Billy Pete, "The Future of Aerated Fluids in Drilling Industry", SPE Paper no.
839-G, SPE, Inc., 1957.
5. Guo, Boyun; Rajtar, J.M., "Volume Requerements for Aerated Mud Drilling", SPE paper
no. 26956, SPE Inc., 1994.
6. Rennels, Dale A., "Air Drilling", Energy Air Drilling Service Co., 1991.
7. Rovig, Joe W., "Air Drilling Handbook", Oiltools International, 1992.