Anda di halaman 1dari 86

LUMPUR PEMBORAN,

TUGAS DAN MASALAHNYA

OLEH: Andhika Rizky Renaldy


PENDAHULUAN
L UM P U R B O R M EL A K S A N A K A N F U N GS I NYA D E N G A N M E N G G U NA K A N S IF AT – S IF AT
( “ P R O P ER T IE S ” ) Y A N G D I M IL I K I N YA .

D E N GA N M E N G E NA L KO M P O S IS I L UM P U R , M A S A L A H YA N G TIMBUL T E N TA N G
L U M P U R D A PAT D I K ETA H U I D A N D I ATA S I D E N G A N M U D A H.

“ SO L ID S” (PA D ATA N ) M E R U PA K A N E L E M E N Y A NG S A NG AT P E N TI N G DA LA M
M E N G E N D A L I K A N S I F AT – S I F AT L U M P U R .

A L AT P E N G E ND A L I “ SO L ID S” (“ S C E” ) M EM IL IK I P E R A N V I TA L YA N G T E RK A I T D E N G A N
B I A YA L U M P U R .

D E N GA N M EM P EL A J A R I “ R H EO L O G Y ” L UM P U R , D A PAT D IK E TA H U I B ES A R A N D A R I
D AY A A N GK AT K E ATA S L U M P U R Y A N G D IG U N A K A N U N T UK M EM B E RS IHK A N L UB A N G
BO R.

D AL AM P E M BO RA N HO R IZ O N TA L , P E N GG U N A A N B E N TO NI T E DA N BA R I T E
D I T IA D A K A N, D I GA N T I D E N GA N C A L C I UM C A R BO N AT E , BE R F U NG S I S E BA G A I
“ B R I D G I N G A G E N T ” S E K A L IG U S P E M B E R AT D A N B E R S I FAT “ A C I D TA B L E ”.
BAB I

FUNGSI,
KOMPOSISI
DAN
SIFAT – SIFAT LUMPUR
A. FUNGSI
Beberapa fungsi yang dimiliki Lumpur pemboran :
Mengangkat serbuk bor dari dasar lubang ke permukaan
Menahan tekanan formasi
Mendinginkan dan melumasi pahat serta rangkaian Pipa Bor ( “Drill String”
)
Melapisi dinding lubang bor dengan “Mud Cake”
Mencegah turunnya serbuk bor dan material pemberat selama sirkulasi
dihentikan
Menahan sebagian berat Pipa Bor dan selubung
Melepas pasir dan serbuk bor di permukaan
Sebagai media “Electric – Logging’’ dan informasi tentang lapisan yang di
bor
B. KOMPOSISI

Dalam Operasi Bor Putar (“Rotary –


Drilling’) Lumpur pemboran dibagi menjadi
dua yaitu : Lumpur Air (“Water Base Mud”)
dan Lumpur Minyak (“Oil Base Mud”).
Secara umum Lumpur pemboran mempunyai tiga
komposisi pokok, meliputi :

B.1. FASA CAIR (“CONTINUOUS PHASE”)


Bisa berupa minyak, air tawar ataupun air asin.
Penamaan Lumpur berdasarkan fasa cair yang
dominan. Bila lebih dari 80% fasa cairnya minyak,
Lumpur disebut “Oil Base Mud”, jika antara 50% - 70%
disebut “Emulsion Mud”, dan bila lebih dari 80% fasa
cairnya air, Lumpur disebut “Water Base Mud”.
B.2. FASA PADAT (“DISCONTINUOUS PHASE”)
Fasa ini terdiri dari partikel padatan dan/atau butir–butir cairan (“Fluid
Droplets”) yang berada di dalam fasa cair. Dibedakan menjadi dua kelompok
yaitu :
B.2.1. KOLOIDAL (“Colloidal Fraction”)
Padatan ini bereaksi dengan fasa cair hingga membentuk koloidal. “Clay” atau
Bentonite akan menyerap air hingga volumenya meningkat, dengan
terbentuknya koloidal viskositasnya meningkat.

B.2.2. INERT (“Inert Fraction”)


Komponen ini tidak bereaksi dengan fasa cair maupun zat kimia lain yang
terkandung di dalam Lumpur meskipun akan merubah sifat fisik Lumpur
(Barite; LCM). Komponen ini bisa juga berasal dari formasi yang sedang dibor
dan harus di buang untuk menghindari kerusakan peralatan karena abrasive
(PASIR ).

B.3. FASA KIMIA


Komponen ini bagian dari “System” yang digunakan untuk mengontrol sifat–sifat
(“Properties”) Lumpur.
C. SIFAT – SIFAT (“PROPERTIES”) FISIK.
Ada tiga sifat Lumpur yang fundamental :
C.1. Berat Jenis (“DENSITY”)
“Density” didefinisikan sebagai berat per unit volume,
dinyatakan dalam satuan ppg ; gr/cc. Kadang – kadang berat
Lumpur (“Mud Weight”) dinyatakan dalam “Spesific–Gravity”
(s.g). “Density” Lumpur harus selalu dikontrol untuk memenuhi
besarnya tekanan hidrostatik kolom Lumpur yang mencegah
masuknya cairan (“Fluids”) dari formasi ke dalam lubang bor.
Meskipun demikian densitas Lumpur tidak boleh terlalu tinggi
karena akan menyebabkan terjadinya hilang Lumpur ke formasi,
rusak formasi yang dibor dan menurunkan kecepatan pemboran
( “ROP” ).
C.2. “RHEOLOGY” (“FLOW – PROPERTIES”)
Didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari aliran dari gas dan cairan.

Ada tiga bentuk dasar yang berhubungan dengan “Rheology” dari Lumpur
pemboran :
C.2.1. Plastik Viskositas (PV)
Ukuran besarnya tahanan internal dari cairan untuk mengalir.
C.2.2. “Yield Point” (YP)
Harga minimum dari “Shear–Stress” yang harus dilampaui sebelum
cairan bergerak dan Yield Point merupakan sifat dinamis, sangat
penting perannya dalam mengangkat serbuk bor ke permukaan.

C.2.3. “Gel Strength”


Merupakan fungsi dari suatu gaya antar partikel dan pembentukan
padatan karena gaya tarik menarik antara plat–plat “clay” berada dalam
kondisi statis. Gel Strength yang terlalu besar akan memperberat pompa
untuk memulai sirkulasi dan bila terlalu rendah akan menyebabkan
serbuk bor turun dan terendapkan pada saat sirkulasi berhenti.
C.3. “FILTRATE LOSS” (WATER LOSS”)

Selama Operasi Pemboran, air akan lepas secara berlanjut dari Lumpur bor menuju
formasi yang permeable/porous. Sebuah formasi yang “Permeable” berfungsi sebagai
tapisan dan menahan padatan setelah membiarkan air masuk ke dalam ruang pori–
pori. Air yang lepas disebut “Filtrate Loss” sedangkan padatan yang tinggal di
permukaan formasi disebut “Filter Cake”.

Jumlah “filtrate” Lumpur selama proses pemboran merupakan fungsi dari


tiga faktor utama :
1. Permeabilitas dari “Filter Cake”
2. Tekanan “Over Balance”
3. Lamanya formasi kontak dengan Lumpur

Permeabilitas “Filter Cake” dari Lumpur yang baik mestinya rendah sekali. Pengetesan
filtrasi statis dan dinamis keduanya memberikan pandangan berapa fluida yang mungkin
hilang selama proses pemboran. Pengetesan ini hanya merupakan petunjuk untuk
menilai pengaruh relatif dari Lumpur bor, aditif, suhu, tekanan karena filtrasi di dalam
lubang bor yang sesungguhnya akan bervariasi terhadap gerakan pahat dan variasi sifat
batuan formasi.
BAB II

ISTILAH
DAN
DASAR PERHITUNGAN
LUMPUR BOR
A. “PUMP OUT PUT”

Dalam menggunakan/merawat Lumpur pemboran


mengetahui waktu yang diperlukan oleh Lumpur untuk
mengalir satu putaran penuh mulai dari piston pompa, ke
dasar lubang dan kembali ke pompa adalah sangat penting.

“Pump Out Put” adalah volume Lumpur yang mengalir


keluar dari pompa, biasanya dinyatakan dalam gallons per
minute (gpm) atau barrels per minute (bpm).
B. “CIRCULATING TIME”
Waktu yang diperlukan untuk sirkulasi disebut “Circulating
Time”

“Circulating Time” dapat diketahui dengan dua cara :

1. Estimate Circulating Time: Waktu yang diperlukan untuk


Lumpur di sirkulasikan dengan menggunakan material
sebagai “MARKER”, dimasukan ke dalam “DRILL–PIPE”,
waktu dicatat sampai marker kembali.
2. “Calculate Circulating Time: Waktu ditentukan dengan
menghitung jumlah Lumpur dibagi “Pump Out Put”.
C. “BOTTOM’S UP”
Waktu yang diperlukan Lumpur untuk mengalir dari dasar
lubang ke permukaan melalui ruang lingkar (“Annulus”).

Annulus vol (Bbls)


RUMUS : = Minutes
Pump Out Put (Bbls/Min)

D. “KELLY TO FLOW – LINE”


Waktu yang diperlukan Lumpur untuk mengalir dari “Kelly”
ke “Flow – Line”.
Vol. Lubang, Bbls – Displacement DP,(Bbls)
RUMUS : = Minutes
Pump Out Put (Bbls/Min)
E. “FULL CIRCULATION”
Waktu yang diperlukan Lumpur untuk mengalir dari tempat
awal dan kembali ke tempat awal. Atau, seluruh volume
Lumpur digerakan dan kembali ke tempat awal.
Total Vol.Lumpur (Bbl)
RUMUS : = Minutes
Pump Out Put (Bbls/Min)

F. “ANNULAR VELOCITY”
Kecepatan ke atas dari Lumpur di dalam annulus (ruang
lingkar) mengangkat serbuk bor ke permukaan. Kecepatan
annulus biasanya dinyatakan dalam “Feet per minute”.

17.16 ( POP, Bbls/Min )


RUMUS : An. V (ft/min) =
dh2 – dp2
G. “CRITICAL VELOCITY”
1.08 PV + 1.08 [ PV2 + 9.26 ( dh – dp )2 YP.W ]½
RUMUS : Vc (ft/min) =
W( dh – dp )

H. “CARRYING CAPACITY”
H.1. SLIP VELOCITY “CUTTING” ft / sec
53.5 ( Wc – W ) D2 V
RUMUS : VS =
6.65 YP ( dh – dp ) + PV V
dimana : Wc = Density Cutting, ppg
W = Density Mud, ppg
D = Diameter Cutting, inch

H.2. RELATIVE VELOCITY CUTTING, ft / sec


RUMUS : Vr = V – Vs
dimana : V = Rata – rata Annular Velocity, ft / sec
Vs = Slip Velocity of Cutting, ft / sec
H.3. N. FACTOR
(hasil R 600)
RUMUS : N = 3.32 log (10)
(hasil R 300)
atau bisa dilihat pada grafik
20

18

16
Plastic Viscosity, cp

14

12

10

4
Example: PV 10, YP 8
2 “n” Factor is 0.64

“n” = 3.32 log10 600 rpm reading ÷ 300 rpm reading


0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

Yield Point, lb/100 sq ft


4 ¼” D.P. – 12 ¼” AV VELOCITY 120 FT./MIN.
DRILL PIPE HOLE WALL

200

160

120
LIQUID VELOCITY – FT./MIN.

τ =mγn
80
n = 1.0

n = 0.667

n = 0.5
40
n = 0.25

n = 0.125

0
3 4 5 6
RADIUS - IN
BAB III

REOLOGI DAN HIDROLIKA


A. REOLOGI

Reologi adalah ilmu yang mempelajari aliran (“flow”) dari gas dan cairan.

Akan dikenal beberapa istilah seperti berikut :


1. Shear Stress : force/area (lbs/100 ft2 atau dyne/cm2)
2. Shear Rate : relative velocity (ft per sec / ft = 1 / sec = sec-1)
Viscositas adalah sebuah fungsi dari shear stress and shear rate.
Ada dua tipe cairan yang di dasarkan pada kelakuan aliran :

NEWTONION FLUIDS
Disebut juga “True Fluids”, menunjukan sebuah hubungan langsung
dan proporsional antara shear stress dan shear rate. Shear Stress
dinyatakan oleh tekanan pompa, Shear Rate adalah kecepatan
(velocity) dari cairan di dalam pipa. Jadi, cairan segera mulai bergerak
ketika tekanan pompa digunakan (pompa mulai bergerak).
NON NEWTONION FLUIDS
Penambahan dari macam – macam “Solids” dan “Fluids” ke dalam
“Newtonion Fluids” menyebabkan adanya perubahan dalam kelakuan
aliran dan menghasilkan sebuah cairan yang disebut “Non Newtonion
Fluids”. “Non Newtonion Fluids” menunjukan dua hubungan antara
“Shear Stress” dan “Shear Rate” yang proporsional dan tidak pro
porsional dalam aliran laminar.

500
LAMINAR FLOW
REGIME TURBULENT
SHEAR
400 FLOW REGIME
STRESS
PUMP 300
Proportional
(psi) Relatiionship Non Proportional
200 Relatiionship

100 Critical velocity

0 1 2 3 4 5
SHEAR RATE (Velocity, ft/sec)
The Rheological Behavior of Newtonion fluids
LAMINAR FLOW
REGIME
TURBULENT FLOW
REGIME
Non Proportional
SHEAR Relatiionship
STRESS Proportional
Viscosity Varies
Viscosity
(lbs/100sq.ft)
Constant
Non Proportional
Relatiionship
Critical
Viscosity Varies
velocity

300 600 RPM


SHEAR RATE (Velocity, ft/sec)

The Rheological Behavior of Plastic (Non-Newtonion) fluids


B. HIDROLIKA

Hidrolika terkait dengan kelakuan (“Behavior”) dari cairan (“Fluida”) yang


bergerak. Cairan tersebut memiliki kecepatan, bentuk aliran dan hilang
tekanan (“Pressure Loss”) yang berubah–ubah.
Tujuan utama mempelajari hidrolika untuk menentukan “Hole Cleaning”
yang efektif ; kontrol tekanan lapisan yang dibor; mencegah pecahannya
lapisan dan menjaga stabilitas lubang.

B.1. “HOLE CLEANING”


Pembersihan lubang (“Hole Cleaning”) merupakan pekerjaan utama
dalam operasi pemboran agar kedalaman bor terus bertambah
sesuai rencana tanpa hambatan. Keberhasilan pekerjaan ini sangat
tergantung dari :
a. Sifat – sifat ( “Poperties” ) Lumpur
b. Kecepatan Lumpur ke atas (“Upward”) melalui ruang lingkar
(“Annular Velocity” )
c. Kecepatan serbuk bor ke bawah (“Down Ward”) akibat “gravity”
(“Slip Velocity” )
d. Butir b. dikurangi butir c. disebut daya angkat Lumpur
Ad.a. “Mud Properties”
“Mud Properties” yang sangat berperan dalam
“Hole Cleaning” adalah viskositas (YP dan PV)

Ad.b. “Annular Velocity”


Sangat dipengaruhi oleh bentuk aliran (“Flow
Pattern” ) dan aliran turbulen memiliki
kemampuan dalam “Hole Cleaning” karena
kecepatannya 1.2 kali dari kecepatan rata – rata
Lumpur di dalam annulus. Hal ini tidak dilakukan
karena apabila lapisan yang dibor terdiri dari
batuan “Shale” dan “Coal” yang rapuh, stabilitas
lubang akan terganggu (gugur).
Ad.c. “Slip Velocity” (“Downward Force”)
Selama operasi pemboran berlangsung, serbuk bor
cenderung untuk turun (“falls”) melalui Lumpur karena
gaya berat (“gravity”). Kecepatan turun dari serbuk
bor akibat “gravity” disebut “slip velocity”. Besarnya
kecepatan turun ini sangat tergantung dari Diameter
dan berat dari serbuk bor.
Ad.d. “Carrying Capacity” ( Daya Angkat )
Selama operasi pemboran berlangsung, serbuk bor
akan ikut aliran Lumpur ke atas melalui ruang lingkar,
pada saat yang bersamaan serbuk bor cenderung
bergerak ke bawah akibat dari “gravity”. Gaya kebawah
dari serbuk bor harus lebih rendah dari gaya ke atas
Lumpur. Selisih dari kedua gaya tersebut (“Upward”)
disebut “Relative Velocity” yang merupakan daya
angkat keatas Lumpur atau “Carrying Capacity”
BAB IV

ANALISA KANDUNGAN PADATAN


LUMPUR
(“SOLIDS ANALYSIS”)
“Solid” (padatan) memainkan peranan penting dalam
kelakuan (“Performance) Lumpur. Kandungan padatan
(“Solids Content”) paling banyak mempengaruhi pada sifat
– sifat (“Properties”) Lumpur, termasuk; Berat Lumpur;
Kekentalan Lumpur (PV; YP; GS). Maka dari itu,
kandungan padatan mempunyai dampak atau pengaruh
yang penting pada perawatan Lumpur.
Unsur penting dari analisa “Solids” adalah :
• Sand Content
• Total Solids
• Oil and Water Content
• Cation Exchange Capacity
A. ANALISA “SAND CONTENT”
Sesuai definisi, partikel padatan yang lebih besar dari ukuran 74
“microns” (200 MESH ) dikelompokan sebagai API SAND. Pengukuran
kandungan SAND di dalam Lumpur sangat perlu karena :

1. Bersifat Abrasif
2. Merusak komponen pada Pompa Lumpur
3. Bila terlalu banyak akan mengendap disekitar Pipa
bila sirkulasi berhenti

B. ANALISA “OIL, WATER, SOLIDS CONTENT”


Pengetahuan tentang cairan serta kandungan padatan dari
Lumpur pemboran sangat penting untuk melakukan
kontrol/Kendali dari sifat – sifat fisik Lumpur. Dengan
mengetahui sifat – sifat fisik, kita bisa mengetahui
“Properties” Lumpur perlu di rawat atau tidak. Alat yang
digunakan untuk menentukan jumlah “Oil, Water” dan
“Solids Content” disebut “RETORT – KIT”.
C. RUMUS UNTUK MENGHITUNG HASIL RETORT
1. Persen Minyak (“by volume”) = cc oil x 10
2. Persen Air (“by volume”) = cc Air x 10
3. Persen Solids (“by volume”) = 100 – ( cc oil + cc Air ) x 10
4. Grams Minyak = cc oil x 0.8
5. Grams Air = cc Air x 1.0
6. Gram Lumpur = lb.per.gall berat Lumpur x 1.2
7. Gram Solids = grams Lumpur – (gram oil + gram Air)
8. cc ( ml ) Solids = 10 – ( cc oil + cc Air )
grams solids
9. Average Spesific Gravity (ASG) Solids =
grams Lumpur
grams solids
10. Persen “Solids” (“by weight”) = x 100
grams Lumpur
11. Persen “High Gravity Solids” (“by volume” ) = ( ASG “Solids – 2.5) x 58.8
( Bila s.g Barite ± 4.2, gunakan konstanta 58.8 )
12. Persen “Low Gravity Solids” (“by volume”) = 100 persen – HGS
D. CONTOH PERHITUNGAN HASIL “TEST-RETORT”
1. HASIL “TEST RETORT”
Air (% by Volume) : 78%
Oil (% by Volume) : 3% (s.g. = 0.84)
Solids (% by Volume) : 19%
Density (Mud Weight) : 12 lbs/gal (ppg)
Salinity (PPM NaCl) : (+ 250.000 mg/l), atau ppm = (mg/l)/(sp/gr)

2. SOLUSI
a. Langkah pertama, mencari volume dan density dari sal. Gunakan grafik
B.25 masukan salinity 250.000 mg/l pada grafik, baca NaCl (% by volume )
= 9%. Koreksi % solid yaitu 19% - 9% = 10%. Gunakan grafik B.26, baca
dimana berat Lumpur 12.0 ppg dan 10% solids (by volume) jatuh pada
garis “minimum Practicable” % solids.
b. Pada grafik B.25, masukan pada grafik angka 250.000 mg/l didapat density
= 1.16 sp.g (gr/cc)
c. Dalam 1 liter solution di dapat 250.000 mg salt. Berarti di dalam 100 cc
solution terdapat 25 gram salt, berat solution 100 cc = 100 X 1.16 gr/cc = 116
gr. Berat volume air = 116 gram – 25 gram = 91 gram. Karena s.g air = 1,
volume NaCl = 100 cc – 91 cc = 9 cc (ml).
d. Density (s.g) salt di dalam “ Solution” : 25 gr / 9 cc = 2.78 gr/cc.
e. Gunakan “Material Balance Equition” Untuk ASG dari “Undissolved Solids”
didalam Lumpur (drilled Solids dan Barite). V3 = 1.9 -0.9 – 1.0 ml “insoluble
Solids” dari 10 ml (cc) Lumpur yang di “Retorted”
V1 = 7.8 ml (% water) W 3 = X (sp.g solids)
W 1 = 1.0 sp.g V4 = 0.9 (%salt)
V2 = 0.3 ml (% oil) W4 = 2.78 (sp.g salt)
W 3 = 0.84 (sp.g oil) Vf = 10 (total %)
V3 = 1.0 ml (% solids) Wf = 1.44 (sp.g mud = 12 ppg)
Persamaan “Material-Balance” :
V1 W1 + V2 W2 + V3 W3 + V4 W4 = Vf Wf
7.8 (1) + 0.3 (.84) + 1.0 (W 3) + 0.9 (2.78) = 10 (1.44)
W3 = 3.86
f. AS dari “ Mud Solids” dapat dinyatakan sebagai lbs/ bbl, “Low Gravity
Solids” (hampir semua “ Drilled Solids”) dan Barite. Bila sp.g Drilled Solids =
2.5 dan 4.2 untuk Barite, konsentrasi dari “ Drilled Solids” dan Barite
(lbs/bbl) didalam Lumpur dihitung seperti berikut:
▪ Hitung lbs/ bbl total solids dengan gram solids / 10 ml mud X 35
▪ Bila : X = bbl Low Gravity Solids 4.2 = sp.g Barite
S = bbl Solids / bbl mud 2.5 = sp.g clay dan Drilled Solids
A = Average sp.g Solids
▪ Persamaan Material Balance : X (2.5) + (S – X)(4.2) = SA
X = (4.2 – 4) x 875
1.7
g. SOLUSI

• Lb/bbl total solid = 3.86 x 35


= 135 lbs/bbl
• Bbl Low Gravity Solids (LGS)= 0.1 (4.2 – 3.85) = 0.21 bbls
1.7
• lb / bbl LGS = 0.21 x 875 lbs = 18.38 lb / bbl
• lb / bbl HGS = 135.1 – 18.38 = 116. 72 lb / bbl
NaCl SOLUTIONS – DENSITY & VOLUMES

Density
300 Dissolved NaCl % by Volume

SALINITY g/m3 for mg/t of

200
solution

100

2 4 6 8 10 12
0
1.0 1.06 1.1 1.16 1.20
Density, g/cm3 0

Fig. B.25. NaCl Solutions – Density and Volumes (Volume Indicated)


UNDISSOLVED SOLIDS CONTENT vs MUD
30 WEIGHT WATER PHASE- 10 LB BRINE

MAXIMUM REASONABLE %
SOLIDS
25
MINIMUM PRACTICABLE %

20

10 LB/GAL BRINE plus BAROID ONLY


15

•FOR % SAL T IN SOLUTION


CONSULT THE MUD ENGINEER
10

•10 LB/GAL BRINE WILL


CONTAIN ABOUT 185.000 ppm
Cl.

11 12 13 14 15 16 17 18
BAB V

MENGATASI MASALAH LUMPUR


DENGAN
“SOLIDS CONTROL EQUIPMENT”
A. PENGANTAR
Untuk mendapatkan Lumpur yang memenuhi syarat/baik,
sulit didapatkan tanpa didukung oleh alat pengontrol padatan
(“Solids Control Equipment”) yang benar. Dengan
menggunakan “Solids Control Equipment” yang baik secara
efektif, kita dapat mengendalikan :
1. Rheology dan Mud Weight
2. Mengurangi buang (“Dumping”) Lumpur dan
pengenceran (“Dilution” ) Lumpur
3. Menyelamatkan biaya untuk Air
4. Mengurangi hilang Lumpur
5. Menyimpan/mengurangi “Weighting Material” karena
pembuangan “Drilled Solids” secara mekanis cukup
efektif
Selain itu kita mendapatkan keuntungan lainnya seperti :
• Pompa Lumpur berjalan lancar ( tanpa hambatan )
• Pahat berumur panjang
• “ROP” meningkat
B. JENIS “SOLIDS CONTROL EQUIPMENTS”
B.1. SHALE SHAKER
Alat ini dipasang di tempat paling depan sebagai
pertahanan untuk menyaring “Undesirable Solids” dalam
Lumpur bor. Pada Shale Shaker dipasang “Screen”
untuk menyaring partikel padatan yang tidak di inginkan
dan memisahkan padatan dari Lumpur dengan cara
“Vibration” (bergetar). Ukuran partikel padatan yang
disaring oleh “Shale Shaker” tergantung pada saringan
terbuka.

B.2. DESANDER
Alat ini membuang padatan yang berukuran “Sand” dari
Lumpur dengan tenaga “Centrifugal”. Tekanan operasinya
minimal 30 psi dan aliran padatan berada pada dasar
“Cone” dengan bentuk “Spray”.
B.3. DESILTER
Alat ini bertugas memisahkan partikel padatan berukuran
“Silt” dari Lumpur dengan tenaga “Centrifugal”. Tekanan
operasi minimal 35 psi dengan aliran padatan berada pada
dasar “Cone” dengan bentuk “Spray”.
B.4. MUD CLEANER
Merupakan kombinasi dari “Desilter Cone” dan “Vibrating
Screen” seperti pada “Shale Shaker”. Setelah tenaga
“Centrifugal” memisahkan partikel padatan dari Lumpur
melalui dasar “Cone”, “Wet Solids” akan jatuh pada “Screen”
yang bergetar. Partikel padatan yang tidak diperlukan akan
dibuang melalui saringan yang bergetar (“Vibrating Screen”).

B.5. CENTRIFUGE
Alat ini ada dua macam, pengambil “Low Gravity Solids”
dan “Hight Gravity Solids”.
C. URUTAN TUGAS UNTUK MENGATASI
MASALAH “SOLIDS” DENGAN “SCE”
1. Analisa hasil Retort
2. Periksa kondisi “SCE”
3. Periksa letak urutan dari alat
4. Periksa kapasitas dari alat
5. Perlu / tidaknya tambahan alat terkait dengan
kurangnya kapasitas
6. Tentukan biaya untuk penambahan alat
7. Tentukan biaya dari pengenceran (“Dilution”)
8. Bandingkan biaya butir 6 dan butir 7
9. Bila butir 8 menghasilkan penambahan alat
sarankan ke “Customer”
10.Evaluasi efektivitas dari alat tambahan
D. URUTAN LETAK ALAT (“IN – SERIES”)
Agar supaya proses pengontrolan padatan dari Lumpur
maksimal, “Solids Control Equipment” harus diletakan dan di
operasikan dengan urutan yang tepat (“Proper Sequence”).
Karena setiap jenis “SCE” bisa memindahkan/mengontrol
partikel padatan dengan ukuran tertentu, maka tidak benar
bila dua jenis “SCE” berbeda mengontrol padatan Lumpur
dari tangki yang sama. Untuk mengetahui hal tersebut di
sajikan “Chart” tentang pengertian “In – Sereis” dan
Operasinya.
FLOW CHART 1
WELL
BORE

SHALE
SHAKER A DESANDER B DESILTER C CENTRIFUGE D

Pump Pump Pump

Reserve PIT
FLOW CHART 2

WELL
BORE

Pump

SHALE
SHAKER A DESANDER DESILTER B C

Pump

Reserve PIT
FLOW CHART 3

WELL
BORE

Pump

SHALE
SHAKER A DESANDER DESILTER B C

Pump

Reserve PIT
FLOW CHART 4

WELL
BORE
Pump

SHALE
SHAKER A DESANDER B DESILTER C CENTRIFUGE D

Pump Pump

Reserve PIT
FLOW CHART 5

WELL
BORE

C CENTRIFUGE D

Pump

Reserve PIT
BAB VI

KLASIFIKASI LUMPUR BOR


Cairan/Lumpur bor, umumnya dikelompokan
berdasarkan fasa dasarnya ke dalam 3 (tiga)
kelompok utama :
1. Water Base Mud (Lumpur Air)
2. Oil Base Mud (Lumpur Minyak )
3. Gaseous Drilling Fluid ( Lumpur Gas Udara )

Kadang–kadang pengelompokan Lumpur


didasarkan pada Densitasnya yaitu menjadi
Lumpur berat dan Lumpur ringan. Yang akan
diuraikan di dalam tulisan ini di batasi hanya
pada “WATER BASE MUD”.
A. FRESH WATER MUD
Umumnya dilakukan perawatan ringan (“Lightly Treated”) atau
tanpa dilakukan perawatan apapun (“Untreated”) mempunyai
fasa cairnya air dengan sedikit kandungan solid, nilai pH
berkisar antara 7.0 – 9.5.
Yang termasuk “Fresh Water Mud” adalah :
A.1. SPUD MUD
Umumnya terdiri dari air dan Bentonite, digunakan untuk
membor awal/permukaan. Tanpa menggunakan bahan
kimia, kecuali bila nilai pH dibutuhkan ± 9.0 digunakan
NaOH.
A.2. NATURAL MUD
Lumpur ini tanpa Bentonite, Viskositas yang terbentuk
didapatkan dari “Drilled Solids” yang diperkirakan reaktif
solids sekaligus meningkatkan berat Lumpur dan
mengontrol “Water loss”.
B. SALT WATER MUDS
Lumpur dinyatakan sebagai “Salt Water Muds” bila kandungan
Salt – nya melebihi 10.000 ppm, dibagi menjadi 2 (dua)
kelompok di dasarkan pada jumlah “Salt” nya atau sumber dari
air yang digunakan.

1. Jumlah “Salt” dalam ppm


• Saturated Salt Mud ( 315.000 ppm+ )
• Salt Mud (lebih 10.000 ppm tetapi tidak jenuh)

2. Sumber Air yang digunakan (“Source of Make – Up Water” )


• Brackish Water Muds
• Sea Water Muds
C. “CHEMICALLY TREATED MUDS” (Tanpa Kandungan Calcium)
C.1. “Phosphate Mud”
Phosphate berfungsi sebagai Thinner (pengencer) dan
merupakan unorganic Thinner, sekaligus sebagai
“Calcium Reducer” (SAPP ; Soda Ash)
C.2. “Lignite Lignosulfonate Mud”
Lignosulfonate berfungsi sebagai “Thinner” (Organic
Thinner) dan Lignite berfungsi sebagai “Filtration Control”.

C.3. “Caustic Lignosulfonate Mud”


Lignosulfonate berfungsi sebagai “Thinner” dan Caustic
mengatur nilai pH sampai 10.0. Untuk filtration control
digunakan CMC atau Lignosulfonate dengan dosis tinggi.
D. “CALCIUM TREATED MUD”
Lumpur ini bisa memiliki nilai pH rendah sampai pH tinggi (±
12.5) dengan menggunakan Lime atau Gypsum ; Caustic –
Soda.
D.1. LIME MUD
Lumpur ini dirawat dengan Lime, tahan terhadap
kontaminasi Salt, Cement, Anhydrite. Konsentrasi
Lime yang tinggi sangat baik untuk membor “Gumbo
Shale”.

D.2. GYP LIGNOSULFONATE MUD


Sifat dan kegunaan hampir sama dengan Lime Mud
E. SPECIAL MUD
E.1. Non – Dispersed ( “Low Solids” ) Mud
Bila menunjukan kata “Low Solids” mencakup banyak jenis
Lumpur termasuk “Clear – Water” (“Fresh”, “Salt” atau
“Brine”), “Bio Polymer Fluids” dan “Low Solids Non
Dispersed Mud”.
Lumpur “Low Solids Non Disperse” biasa disebut Sistim
Lumpur Polymer dimana kandungan Bentonite dan “Drilled
Solids” rendah. Polymer memiliki fungsi ganda di dalam
Sistim Lumpur Polymer, yaitu Meng “Extend” Bentonite dan
mem – “Flocculate” drilled solids, dengan rendahnya solids
berarti viscositynya rendah dan memberikan “ROP” tinggi.
E.2. Inhibitting Salt/Polymer Muds
Kelompok “Inhibitting Salt”/“Polymer Muds” sangat spesifik
yaitu mengandung Inhibitive Salt seperti : KCL, NaCl dan “High
Molecular Weight Polymer”. Pada saat ini, Polymer yang
digunakan kebanyakan PHPA – L untuk mengfungsikan Sistim
Lumpur secara efektif.

E.3. Surfactant Muds


Sistim Lumpur ini digunakan dalam Operasi Pemboran dimana
suhu merupakan masalah utama. “Surfactant” yang berarti
“Surface Active Agent” atau material yang memiliki kemampuan
untuk bekerja diatas permukaan dari material lain. Didalam
Lumpur, “Surfactant” adalah sebuah “Additives” yang memiliki
fungsi merubah sifat – sifat dipermukaan dan fasa padatan dari
Lumpur tersebut. Komposisi dari Sistim Lumpur “Surfactant”
cenderung untuk memperlambat hidrasi atau dispersi dari
formasi Clay dan Shale.
BAB VII

SISTIM LUMPUR KCL PHPA


PENGANTAR
Sistim Lumpur ini dikenal memiliki “Performance” yang hebat dalam
mencegah hidrasi Shale. Selain memiliki “Solids Content’ rendah, sangat
mudah untuk dikelola. KCL sangat efisien dan ekonomis untuk inhibisi
shale dengan pertukaran ion Potasium dengan ion – ion sodium atau
calcium yang terdapat dalam shale. Ion–ion K+ sangat pas masuk
kedalam struktur mikro dari “Monmorillonite” (mengganti ion Na dan Ca++
) sehingga lapisan “Clay” tidak “Swelling”.
KCL dengan konsentrasi 5 % ( 17.5 ppb ) mempunyai kemampuan yang
lebih dari NaCl jenuh (109 ppb) maupun Lime Mud dalam mencegah
hidrasi shale.

Selain itu PHPA merupakan Polymer yang paling efisien yang ada saat ini
untuk mengatasi clay reaktif dengan cara “Coating”. Kombinasi
kemampuan KCL, dan PHPA untuk melindungi/mencegah formasi yang
labil, diharapkan dapat membantu masalah pemboran di lapangan.
MATERIAL DAN FUNGSI
1. POTASSIUM CHLORIDE (KCL)
KCL dengan konsentrasi 5 % (17.5 ppb) dinilai cukup untuk
pertukaran dengan ion – ion Na+ agar inhibisi optimum. Belum ada
petunjuk tentang penggunaan konsentrasi KCL yang tepat, dengan
mengamati serbuk bor yang naik (keras) ion K+ dinyatakan cukup.
Untuk stabilitas yang memadai dari shale reaktif, dibutuhkan
konsentrasi KCL sampai 13 % (± 50 ppb).
Selama membor lapisan shale/clay reaktif ion K+ akan terus
berkurang sehingga secara teratur penambahan KCL untuk
mempertahankan kandungan ion K+ sangat signifikan. Jumlah ion
K+ sebelum Lumpur digunakan membor adalah 1.1 kali ion Cl-,
meskipun demikian selama membor lapisan reaktif mengandalkan
uji terhadap Cl- tidak dibenarkan.
2. POTASSIUM HYDROXIDE (KOH)
Ion K+ dari KOH bertugas membantu menjaga stabilitas lapisan
shale, sedangkan ion OH- dibutuhkan untuk mengatur pH dimana
untuk Sistim KCL – PHPA disarankan antara 8.5 – 9.0.
3. PARTIALLY HYDROLIZED POLY ACRYLAMIDE (PHPA)
Polymer yang paling efisien untuk mencegah disperse shale
dengan cara “Coating” serbuk bor adalah PHPA. Mekanisme
“Coating” diperkirakan merupakan hasil hidrasi Polymer oleh air
dan permukaan shale dengan proses adsorpsi, suatu fenomena
yang agak rumit.

Adsorpsi yang terjadi antara muatan negative dari struktur PHPA


dengan muatan negative dari permukaan “Cutting” dan formasi,
membentuk lapisan tipis yang permanen. Lapisan pembungkus
ini mencegah hidrasi terhadap permukaan formasi serta
disperse serbuk bor ke dalam Lumpur, sehingga lebih mudah
dibersihkan dengan “Solids Control Equipment’ yang ada.
4. SODIUM POLY ACRYLATE (POLYMER THINNER)
Polymer ini memiliki berat molekul rendah, berfungsi sebagai
Thinner.

5. XCD POLYMER
Bersama dengan Bentonite dibutuhkan untuk mengontrol Yield
Point serta memberikan nilai “N” yang rendah sehingga
“Carrying Capacity” meningkat.

6. PAC – L ; STARCH ; POLYREX


Material ini berfungsi sebagai “Filration Reducer” pada Lumpur
yang mengandung “Salt”.
PERAWATAN (“MAINTENANCE”)

Sistim Lumpur KCL – PHPA termasuk Sistim “Low Solids Non


Disperse Mud” yang memberi “Fraction Losses” rendah, “Carrying
Capacity” tinggi, “Coating Cuttings” dan kecepatan penetrasi tinggi.
Kombinasi “Solids Control Equipment” yang efisien dan pengenceran
sangat dibutuhkan untuk mempertahankan kondisi sistim ini.

Perlu diingat bahwa “Bentonite Cutting” yang terdisperse ke dalam


Lumpur tidak bisa dibersihkan dengan Desander Desilter.
Pengenceran (“Dilution”) merupakan satu – satunya cara untuk
mengurangi “Low Gravity Solids Content”. Makin rendahnya efisiensi
“SCE” makin banyak “Cuttings” yang terdispersi ke dalam Lumpur
sehingga makin besar pengenceran dilakukan.
RHEOLOGY
Seperti diketahui, “Funnel Viscosity” merupakan indikasi sifat
alir, tetapi tidak jelas proporsi kwantitatifnya. Lebih baik
bersandar kepada penggunaan Rheometer untuk evaluasi
kualitas Lumpur serta petunjuk treatment.
PV hendaknya di jaga rendah sepraktis mungkin, melalui
pendayagunaan “Solids Control Equipment”.
Yield Point (YP) dikontrol dengan Bentonite dan PAC – R bila
nilai yang dibutuhkan sekitar 20 lbs/100 ft2, menggunakan
Bentonite dan XCD – POLYMER bila nilai yang butuhkan sekitar
30 lbs/100 ft2.
FLUID LOSS
Pengalaman membuktikan bahwa filtrate yang rendah sangat
membantu stabilitas lubang. Gunakan PAC – R/PAC –
LV/STARCH/POLYREX untuk menekan filtrate sampai 5 cc
(maximum). Penambahan CaCO3 fine akan membantu
memberikan filter cake yang tipis serta kuat (Bila diperlukan ).
GEL STRENGTH

Gel Strength harus dijaga serendah mungkin. Bila tidak terjadi


kontaminasi kimiawi, Sistim ini mempunyai Gel Strength yang
jauh lebih rendah di banding Sistim terdispersi. Dengan menjaga
“Solids Content” serendah mungkin, gel strength akan tetap
rendah. Jaga agar gel strength 10 menit kurang dari ½ PV.

pH
Hydrasi PHPA oleh air di pengaruhi diantaranya oleh pH larutan.
Untuk “performance” yang maksimum, dianjurkan agar pH
terjaga antara 8.5 – 9.5. pH yang terlalu tinggi akan
menyebabkan hydrolisa PHPA sehingga sifat adsorpsi serta
kapasitas enkapsulasi hilang. Kalau pH melonjak karena
kebanyakan KOH atau kontaminasi semen, maka terjadilah
hydrolisa itu, yang menimbulkan bau amoniak. KOH hendaknya
dilarutkan lebih dulu kedalam air sebelum ditambahkan ke dalam
Lumpur.
SOLIDS CONTENT

Solids Content hendaknya dijaga serendah mungkin (sesuai berat Lumpur).


Gunakan screen yang paling halus yang mungkin untuk menjamin
tercapainya pembersihan solid yang maksimum. Optimasikan penggunaan
Desander, Desilter, Mud Cleaner ataupun Centrifuge kalau ada.

CATION EXCHANGE CAPACITY (MBT)


Tes MBT menunjukan kandungan partikel clay dalam Lumpur dan harus
diusahakan serendah mungkin (maksimum 10 ppb ekivalen). Usaha ini
dapat dilakukan dengan jalan pengenceran serta mendayagunakan solid
control equipment semaksimal mungkin.

TOTAL HARDNESS
Kelebihan ion–ion multivalent (Ca++, Mg++) dapat menyebabkan PHPA
mengendap dari larutan terutama bila pH terlalu tinggi. Oleh karena itu
kesadahan total sebaiknya dijaga kurang dari 200 ppm, terutama dengan
“Pre-treatment” air pencampur dengan Soda Ash.
BAB VIII

MATERIAL LUMPUR
(“MUD PRODUCTS”)
I. Material Lumpur akan disebut dengan nama aslinya, tidak disebut
nama “BRAND”/merek dari perusahaannya.

II. Bahan untuk “WATER BASE MUD”


1. BENTONITE : Bahan pengental (“Viscosifier”)
2. BARITE : Bahan pemberat
3. LIGNOSULFONATE : Bahan pengencer (“Dispersant”)
4. LIGNITE : Bahan pengurang air filtrasi (“Filtration Reducer”)
5. POLYMER
XCD : Menaikan Yield Point
PAC – R : Menaikan Yield Point
PAC – L : Pengurang air filtrasi
STARCH : Pengurang air filtrasi untuk Lumpur “SALT”
CMC : Pengurang air filtrasi
6. KOH / NaOH : Pengendali nilai pH
7. PHOSPHATE : “UNORGANIC THINNER” pengendali kontaminasi Ca++
8. SOLTEX : Bahan untuk pengendali runtuhnya batuan “SHALE”
9. KCL / NaCl : Bahan untuk Inhibisi batuan “CLAY” / “SHALE”
10. LCM : Bahan penyumbat untuk masalah hilang Lumpur
III. Bahan untuk “SYNTHETIC OIL BASE MUD”
SYNTHETIC OIL : Bahan dasar cairan SOBM (fasa cair)
EMULSI UTAMA : Untuk pengikat air dalam Minyak
EMULSI KEDUA : Untuk pengikat air dalam Emulsi
DURATONE : Pengendali air filtrasi
GELTONE : VISCOSIFIER
LIME : Pengendali Alkalinity
CaCl2 : Bahan dasar untuk Salinity
BAB IX

PENGENDALIAN TEKANAN
(“WELL – CONTROL”)
I. PENDAHULUAN
Pemahaman mengenai arti kata “TEKANAN” adalah sangat
penting dalam pekerjaan PENGENDALIAN SUMUR. Berikut
akan diuraikan singkat tentang arti TEKANAN.

Tekanan : Gaya dibagi dengan satuan luas

Tekanan Hidrostatik : Tekanan yang diakibatkan oleh


tingginya kolom cairan dikalikan densitas-nya

Tekanan Formasi (Tekanan Pori) : Tekanan fluida didalam


formasi akibat dari berat beban diatasnya
II. PENGENDALIAN SUMUR
Pengendalian sumur dan pencegahan semburan liar masalah
yang sangat penting yang harus dipahami dengan baik oleh
semua personil yang terlibat dalam operasi pemboran.

Terjadinya “Blow – Out” akan menimbulkan banyak kerugian


termasuk hilangnya nyawa manusia. Dengan alasan tersebut
diatas, dasar – dasar pengendalian sumur dan prosedur yang
digunakan untuk mencegah terjadinya semburan liar sangat
perlu untuk dipahami.

Salah satu prinsip dasar dalam pengendalian tekanan


adalah mengenal yang disebut “KICK”.“KICK” adalah
masuknya (“INFLUX”) cairan formasi kedalam lubang bor
akibat dari tekanan formasi lebih besar dari tekanan hidrostatik
kolom Lumpur dalam lubang bor.
Perbedaan tekanan (Differential Pressure”) yang negative akan
menyebabkan masuknya fluida formasi ke lubang bor. Bila
alirannya tidak terkendali maka “KICK” berubah
menyebabkan “BLOW – OUT”. Tingkat kekuatan “KICK”
tergantung dari jenis batuan; tekanan formasi, dimana batuan
yang porositas dan permeabilitasnya tinggi memiliki potensi
terjadinya “KICK” (batu pasir). Sedangkan kekuatan “KICK”
biasanya digambarkan sebagai besarnya densitas Lumpur yang
digunakan untuk mematikan sumur.

Sesuai pengalaman kenaikan densitas rata – rata Lumpur hanya


0.50 ppg untuk mematikan sumur kecuali dengan pertimbangan
tertentu densitas Lumpur dinaikan sampai tidak melebihi gradien
rekah formasi yang terbuka.
III. TANDA – TANDA ADANYA “KICK”
Tidak masuk akal “BLOW OUT” terjadi tanpa tanda – tanda
sebelumnya. “DRILLER” dan “MUD – LOGGER” termasuk
juga “MUD ENGINEER” bisa mengetahui kemungkinan
adanya “KICK” lebih dahulu dibanding “CEMENTER”.

A. “PRIMARY INDICATOR”
1. Kecepatan aliran Lumpur meningkat dengan kecepatan
pompa yang tetap (“MUD LOGGER” bisa melihat di
“FLOW – SENSOR”)
2. Kenaikan volume PIT aktif, Lumpur bertambah (“MUD
LOGGER” melihat “VOLUME SENSOR” )
3. Sumur tetap mengalir meskipun pompa dimatikan
B. “SECONDARY INDICATOR”
1. Perubahan tekanan pompa (naik) karena masuknya fluida
formasi ke lubang bor menyebabkan Lumpur menggumpal,
tekanan pompa naik. Bila INFLUX terus membesar densitas
Lumpur turun, tekanan pompa berangsur–angsur akan
turun.
2. Adanya “GAS CUT MUD”
3. Drilling Break
Kenaikan laju pemboran (ROP) yang mendadak naik tanpa
adanya perubahan parameter bor harus segera
dikondisikan ulang. Bila parameter bor tidak berubah ROP
meningkat bisa disebabkan oleh :
a. Perubahan lapisan dari “Shale” ke Sandstone yang
lebih “Porous” dan “Permeable”
b. Berkurangnya “Differential Pressure” akibat naiknya
tekanan formasi yang dibor
Pada prinsipnya ada 2 ( dua ) macam PENGENDALIAN SUMUR :
I. “PRIMARY CONTROL”
Mencegah “influx” fluida dari formasi dengan cara menjaga
tekanan hidrostatik yang cukup didalam lubang bor (menjaga
“Over Balance” yang positif)
Ada 2 (dua) penyebab kegagalan “Primary Control”
1. Berat Lumpur terlalu rendah
Berat Lumpur terlalu rendah disebabkan :
a. Pemboran menembus lapisan bertekanan tinggi sehingga
perlu densitas Lumpur cukup
b. Pengukuran densitas lumpur yang kurang teliti akibat alat
ukur tidak dikalibrasi
c. Dilusi Lumpur yang berlebihan
“Over Balance” yang biasa digunakan antara 200 – 300 psi,
karena “Over Balance” yang terlalu besar akan mengakibatkan
rendahnya “ROP”.
2. Ketinggian kolom Lumpur berkurang
Berkurangnya ketinggian kolom lumpur didalam lubang
bor akibat :
1. Kegagalan dalam menjaga lubang bor tetap penuh terisi
lumpur pada saat cabut pahat (lupa mengganti volume yang
ditinggalkan oleh Pipa Bor)

2. “Swabbing Effect”

“Bit Balling” atau “Pipe Balling”. Pada saat membor lapisan “Clay”
dan “Shale” lunak (“Soft”) Lumpur tidak ditambah “DETERGENT”
sehingga waktu cabut pipa Lumpur seperti disedot. Kebalikan dari
“Swabbing” adalah “Surging” pada saat pipa masuk ke lubang.

3. Hilang Lumpur
II. SECONDARY CONTROL
Dengan terjadinya “KICK” berarti “PRIMARY CONTROL” telah gagal. Bila
telah terjadi “KICK”, Sumur harus segera ditutup dengan menutup
“ANNULAR PREVENTER” dari “BOP”. “CHOKE” harus terbuka penuh,
tekanan permukaan pada “Drill Pipe” dan Annulus dimonitor secara tepat.
Didalam “Drill String” terdapat tekanan hidrostatik Lumpur, sedangkan
didalam “annulus” terisi Lumpur dan “INFLUX” fluida.

Dapat ditulis dengan formulasi seperti berikut :

Dp Pressure = P dp + G m d
dimana : P dp = tekanan tutup Dp, psi
Gm = gradient tekanan Lumpur, psi / ft
D = tinggi vertical kolom Lumpur, ft

Dengan kondisi diatas, influx ke sumur lebih besar dapat dicegah.


Tekanan dasar lubang di pertahankan harus seimbang dengan cara
seperti berikut :

Pann = hi Gi + ( d - hi ) Gm = BHP

dimana : Pann = tekanan tutup annulus, psi


hi = tinggi influx, ft
Gi = gradient tekanan influx, ft

Tinggi vertical influx (hi) dihitung dari volumenya yang keluar


dipermukaan dibagi diameter annulus.

Untuk mematikan sumur atau mensirkulasi cairan hasil “KICK” harus


dengan tekanan, dibuat Lumpur baru sesuai dengan tekanan dasar lubang
ditambah 200 atau 300 psi.(“Safety Margin”)
PRE-RECORDED INFORMATION
Original Mud Weight (OWM) lb/gal Surface to Bit Bbls stks sks Where:
True Vertical Depth (TVD) ft Bit to Surface Bbls stks sks
Measured Depth (MD) ft Totals Bbls stks sks OMW is the original mud weight (lb/gal)
Pump No. 1 bbls/stk Pump No. 2 bbls/stk TVD is the true vertical depth (ft)
MD is the measured depth (ft)
KRS spm KRP psi KRS spm KRP psi
Stks is strokes
KRS spm KRP psi KRS spm KRP psi
Spm is strokes per minute
SHOE: Test lb/gal Depth ft MACP psi Bit to 'shoe KRS is the kill rate speed (spm)
KRP is kill rate pressure (psi)
RECORDED INFORMATION MACP is the maximum allowable casing
pressure (psi)
SIDP psi SICP psi Pit Gain
SIDP is the shut in drill pipe pressure (psi)
KILL CALCULATIONS SICP is the shut in casing pressure (psi)
SIDP ( ) KWM is kill weight mud (lb/gal)
Kill Weight Mud (KWM) = + OMW: +( )=
0.052 x TVD 0.052 x ( )

Initial Circulating Pressure (ICP) = SIDP + KRP : ( ) + ( ) = psi


KWM ( )
Final Circulating Pressure (FCP) = x KRP : x ( )= psi
OWM ( )

Figure 18-1: Sample kill sheet. The top half of a kill sheet is a
work sheet for necessary kill calculations.
PRESSURE SCHEDULE

Initial Circulating Final Circulating

Pressure Pressure

Pump Strokes

Drill Pipe Pressure

Figure 18.2: Sample kill sheet, continued. Using the values derived from the kill sheet
calculations, plan the pressure relief schedule.
BAB X

PERSOALAN/MASALAH ‘SHALE”
(“SHALE – PROBLEM”)
Tidak semua permasalahan dari lapisan shale (“Shale Problem”) berasal dari
cairan pemboran semata. Tidak stabilnya lapisan shale (“Shale Instability”) dapat
berasal dari salah satu atau lebih pengaruh/gaya – gaya berikut :

Tekanan Overburden ( “Overburden Pressure” )

Beban lapisan diatasnya menimbulkan tekanan tegak (“Vertical Siress”),


menyebabkan proses kompaksi formasi batuan. Akibat adanya kompaksi, air yang
berada didalam formasi batuan terdesak keluar dari formasi sedimen yang dalam
menuju lapisan sediment dengan permeabilitas lebih besar. Pada batuan Shale,
proses ini terganggu akibat tiadanya permeabilitas. Kandungan air dan sifat
Plastisitas Shale yang tinggi menyebabkan Shale diperas (“Squezed”), masuk ke
dalam lubang bor dengan aliran plastis.

Tekanan Pori-pori (“Pore Pressure”)

Keberadaan tekanan tinggi dari pori – pori batuan dengan permeabilitas cukup dapat
menyebabkan adanya semburan liar. Ketidak seimbangan yang berlebihan antara
tekanan formasi batuan dengan tekanan hidrostatik kolom cairan pemboran, dapat
menyebabkan batuan “Shale” ter – iris/gugur dan jatuh ke dalam lubang.
Gaya Tektonik (“Tectonic Force”)
Gaya/tekanan yang membebani badan batuan shale sebagai akibat
adanya :
3.1. Pengangkatan lapisan (“FOLDING”)
3.2. Patahan/sesar (“FAULT”)

Gaya/tekanan tersebut membebani shale yang sudah mulai berubah


bentuknya (Rapuh/“Brittle”) Shale tersebut akan mudah gugur apabila
terjadi hidrasi pada sepanjang alur permukaan shale yang rekah–rekah.

Invasi Air Tapisan (“Filtrate Invation”)

Kecenderungan shale untuk menyerap air dapat mengakibatkan


pengembangan (“Swelling”) dan penyebaran (“Disperse”) yang lama –
lama akan masuk menyatu dengan Lumpur. Bila “Shale” nya Bentonite
akan “Swell”, apabila “Soft” akan segera berubah menjadi Lumpur. “Shale”
yang “Britle” tidak akan separah yang “Soft”.
PENANGANAN MASALAH SHALE
1. OVERBURDEN + PORE – PRESSURE
Dikurangi/diimbangi dengan menaikan berat Lumpur
2. TEKTONIK
2.1. Micro Fracture : Gilsonite /
Soltex
2.2. Water Wetting : Filtration Reducer
3. “WATER ABSORBTION”
3.1. Ion Exchange
3.2. Filming
3.3. Coating
3.4. pH – Low
4. ALIRAN LUMPUR
Aliran Lumpur dibelakang DP harus laminar untuk mengurangi Erosi lubang.
Kelebihan kecepatan Lumpur terhadap kecepatan kritisnya akan
memperburuk kondisi lapisan Shale (“Shale Instability”)
BAB XI

“ACID GASES” (GAS ASAM)


I. PENDAHULUAN

1. CO2 dan H2S kadang–kadang merupakan unsur pokok dari


Gas Alam (“Natural Gas”) dimana keduanya membentuk
asam di dalam larutan air dan menyebabkan terjadinya
flokulasi serta mengentalkan Sistim Lumpur.

2. Apabila tekanan lapisan yang mengandung gas tersebut


diketahui, berat Lumpur yang digunakan untuk membor
dijaga pada kondisi “Over Balance” yang aman sehingga
lapisan tersebut dapat dibor secara aman dengan Lumpur
air (Water Base), termasuk Sistim Lumpur KCL – PHPA.
3. PHPA adalah singkatan dari: “Partially Hydrilized Polyacrylamid”.
Polymer yang paling effisien untuk mencegah disperse “Shale”
dengan cara enkapsulasi adalah PHPA. Mekanisme enkapsulasi ini
diperkirakan merupakan hasil hidrasi Polymer oleh air dan
permukaan “Shale” dengan proses “Adsorpsi”, yang terjadi antara
muatan negative dari struktur PHPA dengan muatan negative
permukaan “Cuttings” dari formasi, membentuk lapisan tipis yang
permanen.
Singkat kata, fungsi PHPA didalam sistim lumpur adalah :
❖ Adsorpsi (Pelapisan)
❖ Enkapsulasi “Cuttings”
4. Hidrasi PHPA oleh air dipengaruhi diantaranya oleh pH larutan.
Untuk “Performance” maksimum, pH dijaga pada nilai 8.5 – 9.5 ; pH
yang terlalu tinggi (diatas 11.0) akan menyebabkan hidrolisa PHPA
(“Break–Down”) sehingga Sistim Lumpur PHPA kehilangan sifat
“Adsorpsi” serta “Enkapsulasi” dan biasanya menimbulkan bau tidak
enak.
II. INFLUX DARI H2S ATAU CO2
1. Apabila berat Lumpur yang digunakan lebih rendah dari tekanan lapisan,
gas akan keluar dari lapisan ke lubang bor (“Influx”) ; bercampur dengan
sistim Lumpur, memberi dampak pada sistim Lumpur flokulasi dan
Lumpur mengental, nilai pH Lumpur cukup rendah; bau yang timbul tidak
enak (seperti amoniak).
2. Untuk mengatasi hal tersebut, sistim Lumpur harus ditambah dengan
“Products” yang memiliki nilai pH antara 11.0 – 11.5 untuk membantu
menetralisir gas tersebut.
3. Reaksi kimia adalah seperti berikut :
a. Lumpur air (PHPA System), “Phase Continuous” – nya adalah air
b. CO2 masuk ke dalam Lumpur larut dalam air, reaksinya CO2 + H2O →
H2CO3
c. Ditambah Caustic Soda ( NaOH ) : H2CO3 + 2 NaOH → Na2CO3 + 2H2O
atau d
d. Ditambah Hydrated Lime Ca (OH)2 : H2CO3 + Ca (OH)2 → CaCO3 ↓+
H2O
e. Biasanya yang digunakan adalah “Hydrated Lime”, disamping
harganya murah, endapan yang terjadi sangat membantu kondisi “Mud
Cake” menjadi lebih “Firm”.
4. Dari reaksi kimia tampak bahwa tidak ada terjadi unsur yang menyebabkan
nilai pH menjadi tinggi, melainkan pH dari “Lime” menetralisir nilai pH
Lumpur yang rendah akibat adanya asam (CO2 + H2O → H2CO3).
III. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Penambahan “Hydrated Lime” membantu menetralisir pH Lumpur yang


rendah, akibat adanya Asam masuk kedalam Sistim Lumpur. Setelah pH
Lumpur mencapai nilai 7.0, penambahan Lime dihentikan.
2. Ukur nilai Ca++ dari filtrate, bila sekitar 300 ppm keatas, ditambahkan
Na2CO3 agar nilai Ca++ dibawah 200 ppm.
3. Kemudian tambahkan NaOH atau KOH untuk mengembalikan ke kondisi
semula (pH = 8.5 – 9.0)
4. Apabila CO2 masuk ke dalam Sistim lumpur PHPA, “Hydrated Lime” tetap
digunakan sesuai aturan dan PHPA sebagai Sistim Lumpur tidak akan
“Break Down”, karena tidak akan membuat pH dari Sistim menjadi tinggi
(kecuali “Over Dosis” ).
5. Pengaturan berat Lumpur dengan “Over Balance” yang aman lebih
ditekankan, agar CO2 / H2S tidak naik permukaan.
6. Reaksi Ca (OH)2 ↔ Ca2+ + OH- tidak pernah akan terjadi kecuali bila
Lime dicampurkan air atau ditambah dengan MORREX ( CONTROL 1920
).
7. Untuk diingat bahwa menetralisir setiap 1 ppm CO2 dibutuhkan 0.045 ppb
Ca OH)2.

Anda mungkin juga menyukai