OilandNat ur
alGasCor porati
onLtd
PlotNo.5A-5BNel sonMandel aRoad,VasantKunj
,NewDel hi,1
10070.I
ndi
a
Cor porateI
denti
tyNumber :L74899DL1993GOI054155
TelephoneNo.01 1-26750998;FaxNo:01 1-
26750991/26129091
Webs i
te:www.ongci
ndia.
c om
LAPORAN PERENCANAAN DESAIN LUMPUR PADA SUMUR
“BONES-19” LAPANGAN GWARA GWARA CEKUNGAN SUMATERA
SELATAN DALAM PENANGANAN FILTRATION LOSS,
LOSS CIRCULATION DAN SHALE PROBLEM
DISUSUN OLEH:
i
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PERENCANAAN DESAIN LUMPUR PADA SUMUR
“BONES-19” LAPANGAN GWARA GWARA CEKUNGAN SUMATERA
SELATAN DALAM PENANGANAN FILTRATION LOSS,
LOSS CIRCULATION DAN SHALE PROBLEM
ii
HALAMAN PERSEMBAHAN
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa kita haturkan kepada pemilik semesta, Allah
SWT. Karena karunia dan kasih sayang-Nya yang tak terbatas serta nikmat yang Ia
berikan kepada kita semua. Berkat karunia dan nikmat-Nya, “Laporan Perencanaan
Desain Lumpur pada Sumur “Bones-19” Lapangan Gwara-Gwara Cekungan
Sumatera Selatan dalam Penanganan Filtration loss, Loss circulation dan Shale
Problem”dapat kami selesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Penyusun juga ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada seluruh
pihak yang terlibat. Baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses
penyusunan laporan ini. Rasa terimakasih kami sanjungkan kepada para Asisten
laboratorium pembimbing praktikum Analisa lumpur pemboran, teman–teman
ONGC yang telah bekerjasama dengan baik, teman-teman kami angkatan 2019 dan
semua pihak yang telah ikut membantu dalam menyusun laporan ini.
Kami sangat terbuka dengan segala kritik dan masukan yang membangun
guna melengkapi dan menyempurnakan kekurangan yang ada dalam laporan ini dan
untuk perbaikan dalam penyusunan laporan selanjutnya.
Akhir kata kami berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita
semua dan dapat memenuhi persyaratan bagi penyusun untuk mengikuti responsi
praktikum Analisa lumpur pemboran.
ONGC
iv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. iii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iv
DAFTAR ISI ................................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ....................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... viii
RINGKASAN .............................................................................................. 1
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................... 2
BAB II. TINJAUAN UMUM SUMUR ............................................ 4
2.1. Geological Review ......................................................... 4
2.2. Statigrafi ......................................................................... 6
2.3. Gradient Tekanan Pori ................................................... 13
BAB III. DASAR TEORI ................................................................... 14
BAB IV. PERHITUNGAN DAN ANALISA .................................... 22
BAB V. PEMBAHASAN .................................................................. 25
BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI........................... 26
6.1. Kesmpulan ..................................................................... 26
6.2. Rekomendasi .................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 28
GLOSARIUM.............................................................................................. 29
LAMPIRAN ................................................................................................. 30
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan ................ 4
Gambar 2.2 Stratigraphic sequences from old to young .......................... 6
Gambar 2.3 Petroleum System Cekungan Sumatera Selatan ................ 11
Gambar 3.1 Profil jenis-jenis tekanan di sedimen klastik..................... 20
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel II-1 Potential Hazard Driling .......................................................... 10
Tabel IV-1 Komposisi sampel lumpur Pemboran .................................. 23
Tabel IV-2 Sifat fisik sampel lumpur pemboran .................................... 25
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
A. TINJAUAN UMUM SUMUR ............................................................. 30
B. LAMPIRAN TABEL ........................................................................... 31
Tabel B.1. Pressure Mud Window ......................................................... 31
C. LAMPIRAN GAMBAR ..................................................................... 34
Gambar Trayek Pemboran .................................................................... 34
D. LAMPIRAN GRAFIK ........................................................................ 32
Grafik 1. Mud Window ........................................................................ 32
Grafik 2. Pressure Window ................................................................. 32
E. LAMPIRAN PERHITUNGAN ........................................................... 35
viii
RINGKASAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
filtration loss. Pengaruh ukuran partikel aditif. Filtration loss sangat mempengaruhi
kinerja pemboran pada sumur minyak dan gas. Hal ini dapat berpengaruh pada
formasi contohnya formation damage atau swelling dan pengurangan diameter
lubang bor karena ketebalan mud cake pada formasi.
Hal penting lainnya merupakan casing setting depth atau pemasangan
casing pada kedalaman yang telah ditentukan. Hal ini sangat berpengaruh pada
keberhasilan suatu pemboran untuk menjada kestabilan dari suatu formasi.
Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah menjelaskan analisa dan
pembahasan dari tim ONGC terhadap lapangan Gwara-gwara pada cekungan
Sumatera Selatan khususnya pada sumur “Bones-19”. Didasari pada problem yang
dapat terjadi pada sumur ini ketika melakukan pemboran adalah langkah untuk
mendesain lumpur yang tepat agar problem dapat ditanggulangi. Seperti lost
circulation dapat terjadi pada formasi shale yaitu formasi yang kebanyakan
batuannya adalah Limestone yang cenderung berpori dan dimana lapisan shale
mengandung kadar clay yang tinggi sehingga dapat mengikat air yang mana dapat
menyebabkan problem filtration loss yang akan berdampak pada pembentukan
mudcake yang tebal. Problem ini juga berdampak nantinya pada pipa dimana jika
terjadi penebalan mudcake maka akan dapat terjadi differential pipe sticking.
Sehingga dilakukan analisa dan penulisan laporan ini untuk mendesain lumpur yang
tepat sehingga mampu mengatasi problem pemboran pada sumur “bones-19”.
3
BAB II
TINJAUAN UMUM SUMUR
Gambar 2.1
Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan
Cekungan Sumatera Selatan (CSS) merupakan cekungan belakang busur
yang dibatasi oleh Bukit Barisan di sebelah barat dan Paparan Sunda di bagian
utara-timur laut. Cekungan Sumatera Selatan terbentuk pada periode tektonik
ektensional Pra-Tersier sampai Tersier Awal yang berarah relatif barat-timur.
4
Geologi Cekungan Sumatera Selatan adalah suatu hasil kegiatan tektonik yang
berkaitan erat dengan penunjaman Lempeng Indo-Australia, yang bergera ke arah
utara hingga timurlaut terhadap Lempeng Eurasia yang relatif diam. Zona
penunjaman lempeng meliputi daerah sebelah barat Pulau Sumatera dan selatan
Pulau Jawa. Beberapa lempeng kecil (micro-plate) yang berada di antara zona
interaksi tersebut turut bergerak dan menghasilkan zona konvergensi dalam
berbagai bentuk dan arah. Penunjaman lempeng Indo-Australia tersebut dapat
mempengaruhi keadaan batuan, morfologi, tektonik dan struktur di Sumatera
Selatan. Tumbukan tektonik lempeng di Pulau Sumatera menghasilkan jalur busur
depan, magmatik, dan busur belakang (Bishop, 2000). Cekungan Sumatera Selatan
termasuk kedalam cekungan busur belakang (Back Arc Basin) yang terbentuk
akibat interaksi antara lempeng Indo-Australia dengan lempeng mikrosunda.
Cekungan ini dibagi menjadi 4 (empat) sub cekungan (Pulonggono, 1984). yaitu:
1. Sub Cekungan Jambi
2. Sub Cekungan Palembang Utara
3. Sub Cekungan Palembang Selatan
4. Sub Cekungan Palembang Tengah
5
2.2. Stratigrafi Regional
Gambar 2.2.
Stratigraphic sequences from old to young (Koesoemadinata, 1980)
6
(Spruyt, 1956) dari umur Miosen Tengah – Pliosen terdiri ata Formasi Air Benakat
(ABF), Formasi Muara Enim (MEF), dan Formasi Kasai (KAF).
Pada Lapangan Gwara-Gwara. formasi yang umumnya di produksi adalah
Formasi Baturaja. Komposisi dari Formasi Baturaja ini terdiri Batugamping Bank
(Bank Limestone) atau platform dan reefal. Pada formasi Batu Raja, bagian atas
merupakan zona yang porous dibandingkan dengan bagian dasarnya yang relatif
ketat (tight). Porositas yang terdapat pada formasi Baturaja berkisar antara 10-30%
dan permeabilitasnya sekitar 1 Darcy Ketebalan bagian bawah dari formasi ini
bervariasi, namun rata-rata 200-250 feet (sekitar 60-75 m). Singkapan dari Formasi
Baturaja di Pegunungan Garba tebalnya sekitar 1700 feet (sekitar 520 m). Formasi
ini sangat fossiliferous dan dari analisis umur anggota ini berumur Miosen.
2.2.1. Kelompok Pra Tersier
Formasi ini merupakan batuan dasar (basement rock) dari Cekungan
Sumatra Selatan. Tersusun atas batuan beku Mesozoikum, batuan metamorf
Paleozoikum, Mesozoikum, dan batuan karbonat yang termetamorfosa. Hasil
dating di beberapa tempat menunjukkan bahwa beberapa batuan berumur Kapur
Akhir sampai Eosen Awal. Batuan metamorf Paleozoikum-Mesozoikum dan
batuan sedimen mengalami perlipatan dan pensesaran akibat intrusi batuan beku
selama episode orogenesa Mesozoikum Tengah (Mid-Mesozoikum).
2.2.2. Formasi Lahat
Batuan tertua yang ditemukan pada Cekungan Sumatera Selatan adalah
batuan yang berumur akhir Mesozoik. Batuan yang ada pada Formasi ini terdiri dari
batupasir tuffan, konglomerat, breksi, dan lempung. Batuan-batuan tersebut
kemungkinan merupakan bagian dari siklus sedimentasi yang berasal dari
Continental, akibat aktivitas vulkanik, dan proses erosi dan disertai aktivitas
tektonik pada akhir kapur-awal Tersier di Cekungan Sumatera Selatan.
2.2.3 Formasi Lahat Muda
Formasi Lemat tersusun atas klastika kasar berupa batupasir, batulempung
fragmen batuan, breksi, “Granit Wash”, terdapat lapisan tipis batubara, dan tuf.
Semuanya diendapkan pada lingkungan kontinen. Sedangkan anggota Benakat dari
Formasi Lemat terbentuk pada bagian tengah cekungan dan tersusun atas serpih
7
berwarna coklat abu-abu yang berlapis dengan serpih tuffaan (tuffaceous shales),
batulanau, batupasir, terdapat lapisan tipis batubara dan batugamping (stringer),
Glauconit, diendapkan pada lingkungan fresh-brackish. Formasi Lemat secara
normal dibatasi oleh bidang ketidakselarasan (unconformity) pada bagian atas dan
bawah formasi. Kontak antara Formasi Lemat dengan Formasi Talang Akar yang
diintepretasikan sebagai paraconformable. Formasi Lemat berumur Paleosen-
Oligosen, dan anggota Benakat berumur Eosen Akhir-Oligosen, yang ditentukan
dari spora dan pollen, juga dengan dating K-Ar. Ketebalan formasi ini bervariasi,
lebih dari 2500 kaki (± 760 m). Pada Cekungan Sumatra Selatan dan lebih dari 3500
kaki (1070 m).
2.2.4. Formasi Talang Akar
Formasi Talang Akar terdapat di Cekungan Sumatra Selatan, formasi ini
terletak di atas Formasi Lemat dan di bawah Formasi Telisa atau anggota Basal
Batugamping Telisa. Formasi Talang Akar terdiri dari batupasir yang berasal dari
delta plain, serpih, lanau, batupasir kuarsa, dengan sisipan batulempung karbonat,
batubara dan di beberapa tempat konglomerat. Kontak antara Formasi Talang Akar
dengan Formasi Lemat tidak selaras pada bagian tengah dan pada bagian pinggir
dari cekungan kemungkinan paraconformable, sedangkan kontak antara Formasi
Talang Akar dengan Telisa dan anggota Basal Batugamping Telisa adalah
conformable. Kontak antara Talang Akar dan Telisa sulit di pick dari sumur di
daerah palung disebabkan litologi dari dua formasi ini secara umum sama.
Ketebalan dari Formasi Talang Akar bervariasi 1500-2000 feet (sekitar 460- 610
m). Umur dari Formasi Talang Akar ini adalah Oligosen Atas-Miosen Bawah.
2.2.5. Formasi Baturaja
Anggota ini dikenal dengan Formasi Baturaja. Diendapkan pada bagian
intermediate-shelfal dari Cekungan Sumatera Selatan, di atas dan di sekitar
platform dan tinggian. Kontak pada bagian bawah dengan Formasi Talang Akar
atau dengan batuan Pra-Tersier. Komposisi dari Formasi Baturaja ini terdiri dari
Batugamping Bank (Bank Limestone) atau platform dan reefal. Ketebalan bagian
bawah dari formasi ini bervariasi, namun rata-rata 200-250 feet (sekitar 60-75 m).
Singkapan dari Formasi Baturaja di Pegunungan Garba tebalnya sekitar 1700 feet
8
(sekitar 520 m). Formasi ini sangat fossiliferous dan dari analisis umur anggota ini
berumur Miosen.
2.2.6. Formasi Telisa (Gumai)
Formasi Gumai tersebar secara luas dan terjadi pada zaman Tersier, formasi
ini terendapkan selama fase transgresif laut maksimum, (maximum marine
transgressive) ke dalam 2 cekungan. Batuan yang ada di formasi ini terdiri dari
napal yang mempunyai karakteristik fossiliferous, banyak mengandung foram
plankton. Sisipan batugamping dijumpai pada bagian bawah. Formasi Gumai beda
fasies dengan Formasi Talang Akar dan sebagian berada di atas Formasi Baturaja.
Ketebalan dari formasi ini bervariasi tergantung pada posisi dari cekungan, namun
variasi ketebalan untuk Formasi Gumai ini berkisar dari 6000–9000 feet (1800-
2700 m). Penentuan umur Formasi Gumai dapat ditentukan dari dating dengan
menggunakan foraminifera planktonik. Pemeriksaan mikropaleontologi terhadap
contoh batuan dari beberapa sumur menunjukkan bahwa fosil foraminifera
planktonik yang dijumpai dapat digolongkan ke dalam zona Globigerinoides
sicanus, Globogerinotella insueta, dan bagian bawah zona Orbulina Satiralis
Globorotalia peripheroranda, umurnya disimpulkan Miosen Awal-Miosen
Tengah. Lingkungan pengendapan Laut Terbuka, Neritik.
2.2.7. Formasi Lower Palembang (Air Benakat)
Formasi Lower Palembang diendapkan selama awal fase siklus regresi.
Komposisi dari formasi ini terdiri dari batupasir glaukonitan, batulempung,
batulanau, dan batupasir yang mengandung unsur karbonatan. Pada bagian bawah
dari Formasi Lower Palembang kontak dengan Formasi Telisa. Ketebalan dari
formasi ini bervariasi dari 3300 – 5000 kaki (sekitar 1000 – 1500 m). Fauna-fauna
yang dijumpai pada Formasi Lower Palembang ini antara lain Orbulina Universa
d'Orbigny, Orbulina Suturalis Bronimann, Globigerinoides Subquadratus
Bronimann, Globigerina Venezuelana Hedberg, Globorotalia Peripronda Blow &
Banner, Globorotalia Venezuelana Hedberg, Globorotalia Peripronda Blow &
Banner, Globorotalia mayeri Cushman & Ellisor, yang menunjukkan umur Miosen
Tengah N12-N13. Formasi ini diendapkan di lingkungan laut dangkal.
9
2.2.8. Formasi Middle Palembang (Muara Enim)
Batuan penyusun yang ada pada formasi ini berupa batupasir, batulempung,
dan lapisan batubara. Batas bawah dari Formasi Middle Palembang di bagian
selatan cekungan berupa lapisan batubara yang biasanya digunakan sebagai marker.
Jumlah serta ketebalan lapisanlapisan batubara menurun dari selatan ke utara pada
cekungan ini. Ketebalan formasi berkisar antara 1500–2500 kaki (sekitar 450-750
m). De Coster (1974) menafsirkan formasi ini berumur Miosen Akhir sampai
Pliosen, berdasarkan kedudukan stratigrafinya. Formasi ini diendapkan pada
lingkungan laut dangkal sampai brackist (pada bagian dasar), delta plain dan
lingkungan non marine.
2.2.9. Formasi Upper Palembang (Kasai)
Formasi ini merupakan formasi yang paling muda di Cekungan Sumatra
Selatan. Formasi ini diendapkan selama orogenesa pada Plio- Pleistosen dan
dihasilkan dari proses erosi Pegunungan Barisan dan Tiga puluh. Komposisi dari
formasi ini terdiri dari batupasir tuffan, lempung, dan kerakal dan lapisan tipis
batubara. Umur dari formasi ini tidak dapat dipastikan, tetapi diduga Plio-
Pleistosen. Lingkungan pengendapannya darat.
Tabel II-1
Potential Hazard Driling
TVD Section Casing Size Potential Hazard
Drilling
0-2188 Ft 1 (Conductor) 30 Inch
0-2967 Ft 2 (Surface) 20 Inch
0-4101 Ft 3 (Intermediate 1) 14 Inch Lost Circulation
with HTHP
Condition
0-5754 Ft 4 (Intermediate 2) 9 5/8 Inch Shale
0-6000 Ft 5 (Production) 5 ½ Inch
10
2.3. Petroleum System Cekungan Sumatera Selatan
Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan yang produktif sebagai
penghasil minyak dan gas. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya rembesan minyak
dan gas yang dihubungkan oleh adanya antiklin. Letak rembesan ini berada di kaki
bukit Gumai dan pegunungan Barisan. Sehingga dengan adanya peristiwa rembesan
tersebut, dapat digunakan sebagai indikasi awal untuk eksplorasi adanya
hidrokarbon yang berada di bawah permukaan berdasarkan petroleum system
(Ariyanto, 2011).
Gambar 2.3
Petroleum System Cekungan Sumatera Selatan
11
2.3.1. Batuan Induk (Source Rock)
Hidrokarbon pada cekungan Sumatera Selatan diperoleh dari batuan induk
lacustrine formasi Lahat dan batuan induk terrestrial coal dan coaly shale pada
formasi Talang Akar. Batuan induk lacustrine diendapkan pada kompleks half-
graben, sedangkan terrestrial coal dan coaly shale secara luas pada batas half-
graben. Selain itu pada batu gamping formasi Batu Raja dan shale dari formasi
Gumai memungkinkan juga untuk dapat menghasilkan hirdrokarbon pada area
lokalnya (Bishop, 2000). Gradien temperatur di cekungan Sumatera Selatan
berkisar 49° C/Km. Gradien ini lebih kecil jika dibandingkan dengan cekungan
Sumatera Tengah, sehingga minyak akan cenderung berada pada tempat yang
dalam. Formasi Batu Raja dan formasi Gumai berada dalam keadaan matang hingga
awal matang pada generasi gas termal di beberapa bagian yang dalam dari
cekungan.
2.3.2. Reservoir
Dalam cekungan Sumatera Selatan, beberapa formasi dapat menjadi
reservoir yang efektif untuk menyimpan hidrokarbon, antara lain adalah pada
basement, formasi Lahat, formasi Talang Akar, formasi Batu Raja, dan formasi
Gumai. Sedangkan untuk sub cekungan Palembang Selatan produksi hidrokarbon
terbesar berasal dari formasi Talang Akar dan formasi Batu Raja. Basement yang
berpotensi sebagai reservoir terletak pada daerah uplifted dan paleohigh yang
didalamnya mengalami rekahan dan pelapukan. Batuan pada basement ini terdiri
dari granit dan kuarsit yang memiliki porositas efektif sebesar 7 %. Untuk formasi
Talang Akar secara umum terdiri dari quarzone sandstone, siltstone, dan
pengendapan shale. Sehingga pada sandstone sangat baik untuk menjadi reservoir.
Sumur pada lapangan Gwara-Gwara ini menembus reservoir karbonat
formasi Batu Raja, pada bagian atas merupakan zona yang porous dibandingkan
dengan bagian dasarnya yang relatif ketat (tight). Porositas yang terdapat pada
formasi Baturaja berkisar antara 10-30% dan permeabilitasnya sekitar 1 Darcy
(Ariyanto, 2011).
12
2.3.3. Batuan Penutup (Seal)
Batuan penutup cekungan Sumatra Selatan secara umum berupa lapisan
shale cukup tebal yang berada di Formasi Gumai. Seal pada reservoir batu gamping
formasi Batu Raja juga berupa lapisan shale yang berasal dari formasi Gumai. Pada
reservoir batupasir formasi Air Benakat dan Muara Enim, shale yang bersifat
intraformational juga menjadi seal rock yang baik untuk menjebak hidrokarbon
(Ariyanto, 2011).
2.3.4. Trap
Jebakan hidrokarbon utama diakibatkan oleh adanya antiklin dari arah
baratlaut ke tenggara dan menjadi jebakan yang pertama dieksplorasi. Antiklin ini
dibentuk akibat adanya kompresi yang dimulai saat awal miosen dan berkisar pada
2-3 juta tahun yang lalu (Bishop, 2000). Tipe jebakan struktur pada cekungan
Sumatra Selatan dikontrol oleh struktur-struktur tua dan struktur lebih muda.
Jebakan sturktur tua juga berupa sesar normal regional yang menjebak hidrokarbon.
Sedangkan jebakan struktur yang lebih muda terbentuk bersamaan dengan
pengangkatan akhir Pegunungan Barisan
2.3.5. Migrasi
Migrasi hidrokarbon ini terjadi secara horisontal dan vertical dari source
rock serpih dan batubara pada formasi Lahat dan Talang Akar. Migrasi horizontal
terjadi di sepanjang kemiringan slope, yang membawa hidrokarbon dari source rock
dalam kepada batuan reservoir dari formasi Lahat dan Talang Akar dan Baturaja.
Migrasi vertikal dapat terjadi melalui rekahan-rekahan dan daerah sesar turun
mayor. Terdapatnya resapan hidrokarbon di dalam Formasi Muara Enim dan Air
Benakat adalah sebagai bukti yang mengindikasikan adanya migrasi vertikal
melalui daerah sesar kala Pliosen sampai Pliestosen (Ariyanto, 2011).
2.4. Gradien Tekanan Pori
Setelah analisis geomekanika dilakukan, dapat diketahui bahwa rentang
berat jenis lumpur pemboran yang digunakan pada Formasi Baturaja 10 ppg. Selain
itu, daerah penelitian telah mengalami kondisi tekanan bawah permukaan abnormal
dengan gradien tekanan pori mencapai 0.448 psi/ft dan gradien tekanan rekah
formasi sebesar 0,653 psi/ft.
13
BAB III
DASAR TEORI
3.1. Pengertian
Lumpur pemboran merupakan bagian yang sangat penting dalam menentukan
berhasil atau tidaknya suatu operasi pemboran. Lumpur pemboran didesain dengan
tepat dalam menghadapi kondisi bawah permukaan yang ada selama operasi
pemboran berlangsung.
3.2. Komponen Lumpur Pemboran
Terdapat empat komponen utama pembentuk lumpur pemboran, yaitu fasa cair (air
atau minyak), reactive solid (padatan yang bereaksi dengan air membentuk koloid),
inert solid (zat padat yang tidak bereaksi), dan fasa kimia. Dari keempat komponen
ini dicampurkan sedemikian rupa sehingga didapatkan lumpur pemboran yang
sesuai dengan keadaan formasi yang ditembus.
3.2.1. Fasa Cair
Fasa cair adalah komponen utama lumpur pemboran. Fungsi dari fasa cair adalah
sebagai fasa dasar yang dapat menyebabkan lumpur dapat mengalir. Bila bereaksi
dengan reactive solid akan membentuk koloid yang memiliki viskositas tertentu
sehingga lumpur dapat mengangkat serpih bor (cutting). Fasa cair dapat berupa air
dan minyak. Air dibagi menjadi 2 yaitu fresh water dan salt water.
3.2.2. Reactive solid
Reactive solid adalah zat padat yang bereaksi dengan fasa cair membentuk koloid.
Reactive solid dapat berupa bentonite yang menyerap air pada permukaan
partikelnya, sehingga volumenya dapat naik dan membentuk lumpur pemboran.
3.2.3. Inert solid
Inert solid adalah padatan yang tidak bereaksi dengan air dan dengan komponen
lainnya dalam lumpur, dimana material ini tidak tersuspensi. Biasanya berupa
barite (BaSO4) yang digunakan untuk menaikkan densitas lumpur, ataupun galena
dan bijih besi.
14
3.2.4. Fasa Kimia
Zat kimia merupakan zat yang digunakan untuk mengontrol sifat-sifat lumpur
seperti menyebarkan partikel-partikel clay (dispertion) dan menggumpalkan
partikel clay (flocculation).. Zat kimia yang dapat digunakan untuk menurunkan
kekentalan, mengurangi water loss, mengontrol fasa koloid disebut dengan surface
active agent. Zat kimia yang dapat menurunkan kekentalan dan mendispersi
partikel clay biasa disebut thinner. Zat yang dapat menaikkan kekentalan berupa
CMC, starch, drispac.
3.3. Fungsi Lumpur Pemboran
Lumpur pemboran memiliki beberapa fungsi yaitu membersihkan dasar lubang bor,
mengangkat cutting (cutting removal) ke permukaan, mendinginkan dan melumasi
pahat (bit) serta rangkaian drillstring, membentuk mud cake untuk melindungi
dinding lubang bor, mengontrol tekanan formasi, menghantarkan daya hidrolika ke
pahat, melindungi formasi produktif, menahan sebagian berat rangkaian drillstring,
dan sebagai media dalam evaluasi fromasi.
3.4. Sifat-Sifat Lumpur Pemboran
Lumpur pemboran memiliki sifat-sifat yang penting dalam tahapan operasi
pemboran seperti densitas (berat jenis), tekanan hidrostatik (Ph), plastic viscosity,
gel strength, yield point, filtrasi dan mud cake, pH, dan kontaminasi.
3.4.1. Densitas (ρ)
Densitas lumpur pemboran atau berat jenis lumpur didefinisikan sebagai
perbandingan berat per unit volume lumpur. Mengontrol densitas lumpur pada
dasarnya bertujuan untuk mencegah semburan liar (blow out) dan menjaga stabilitas
lubang bor. Lumpur yang terlalu berat dapat menyebabkan terjadinya loss
circulation, sedangkan lumpur yang terlalu ringan dapat menyebabkan masuknya
fluida formasi ke dalam lubang bor (kick) dan jika tidak segera diatasi akan
menyebabkan terjadinya semburan liar (blow out).
3.4.2. Tekanan Hidrostatik (Ph)
Tekanan hidrostatik adalah tekanan yang diakibatkan oleh beban fluida yang ada di
atasnya. Dalam menentukan tekanan hidrostatis, perlu diketahui terlebih dahulu
tekanan formasi (Pf) dan tekanan rekah formasi (Prf), sehingga lumpur yang dibuat
15
memiliki sifat-sifat yang sesuai untuk mendapatkan hasil yang optimal, sehingga
dapat mencegah masalah-masalah yang akan dihadapi. Tekanan hidrostatik lumpur
bertambah seiring dengan kenaikan densitas fluida.
Tekanan hidrostatik lumpur dapat dihitung dengan persamaan :
Ph = 0.052 x ρ x TVD.......................................................................................... (1)
3.4.3. Plastic viscosity (PV)
Plastic viscosity (PV) merupakan suatu tahanan terhadap aliran yang disebabkan
oleh adanya gesekan antara sesama padatan, padatan cairan, dan gesekan antara
lapisan cairan di dalam lubang bor dimana plastic viscosity merupakan hasil torsi
dari pembacaan alat Viscometer Fann VG dengan satuan centipoise (cp). Besarnya
plastic viscosity dipengaruhi oleh kandungan dan ukuran padatan, dan temperatur.
Plastic viscosity dapat dihitung dari pembacaan dial reading C600 dan C300 pada
alat viscometer Fann VG sebagai berikut:
PV = C600 - C300................................................................................................ (2)
3.4.5. Gel strength (GS)
Gel strength merupakan gaya tarik menarik dari partikel-partikel ketika tidak
adanya sirkulasi lumpur (statis). Jika lumpur pemboran tidak memiliki kandungan
gel strength yang baik, akan mengakibatkan terjadinya penumpukan cutting.
Namun, bila kandungan gel strength terlalu tinggi akan mengakibatkan kerja pompa
terlalu berat untuk memulai sirkulasi kembali. Untuk standarisasi pengukuran gel
strength dilakukan dua kali, yaitu gel strength 10 detik dan gel strength 10 menit
setelah sirkulasi dihentikan. Sistem satuan yang umum digunakan untuk gel
strength adalah dalam satuan lb/100 ft2
3.4.6. Yield point (YP)
Yield point adalah bagian dari resistensi untuk mengalir oleh gaya tarik-menarik
antar partikel. Gaya tarik menarik ini disebabkan oleh muatan-muatan pada
permukaan partikel yang didispersi dalam fasa fluida.
Yield point dapat ditentukan dengan persamaan :
YP = C300 - PV ................................................................................................... (3)
16
3.5. Filtrasi dan Mud cake
Ketika terjadi kontak antara lumpur dan batuan, maka batuan tersebut akan
bertindak sebagai saringan yang memungkinkan fluida dan partikel-partikel kecil
melewatinya. Fluida yang hilang ke dalam batuan disebut filtrate, sedangkan
partikel-partikel besar yang tertahan di permukaan dan membentuk lapisan batuan
disebut mud cake. Filtration loss adalah kehilangan sebagian fasa cair (filtrat)
lumpur yang masuk ke dalam formasi permeabel. Filtration loss yang terlalu besar
berpengaruh negatif terhadap formasi maupun terhadap lumpurnya sendiri karena
dapat menyebabkan terjadinya formation damage (pengurangan permeabilitas
efektif terhadap minyak/gas) dan lumpur akan kehilangan banyak cairan. Mud cake
sebaiknya dijaga tidak terlalu besar agar tidak memperkecil lubang bor dan
mengakibatkan pipa terjepit (pipe sticking), namun juga jangan terlalu kecil yang
dapat mengakibatkan runtuhnya dinding lubang bor (pressure loss akan naik,
pressure surge/swabbing akan membesar). Tebal mud cake yang baik tidak lebih
dari 2 mm.
3.6. pH lumpur
Penentuan Ph lumpur dipakai untuk menentukan tingkat kebasaan dan keasaman
dan lumpur bor. PH lumpur yang bak berkisar 8.5- 12 ppg. Jadi lumpur bor yang
digunakan adalah dalam suasana basa. Lumpur sebaiknya tidak terlalu basa karena
akan menaikkan viskositas dan gel strength.
3.7. Kontaminasi
Kontaminan didefinisikan semua jenis zat (padat, cairan ataupun gas) yang dapat
menimbulkan pengaruh merusak terhadap sifat-sifat fisika atau kimiawi dari fluida
pemboran. Terdapat tiga jenis kontaminasi yang umum terjadi yaitu kontaminasi
gypsum, kontaminasi semen, dan kontaminasi sodium klorida.
3.7.1. Kontaminasi Gypsum (CaSO4)
Pemboran yang menembus formasi gypsum serta lapisan gypsum pada formasi
shale maupun limestone dapat menyebabkan lumpur pemboran terkontaminasi
dengan gypsum. Akibat dari kontaminasi gypsum dalam jumlah yang banyak dapat
mengubah sifat-sifat fisik lumpur pemboran.
17
3.7.2. Kontaminasi Semen
Kontaminasi semen dapat disebabkan oleh operasi penyemenan yang kurang
sempurna. Parah atau tidaknya kontaminasi ini tergantung pada faktor-faktor
seperti konsentrasi padatan dalam lumpur dan keras atau lunaknya semen pada
lubang.
3.7.3. Kontaminasi Sodium Chlorida (NaCl)
Kontaminasi ini terjadi saat pemboran menembus kubah garam (salt dome), lapisan
garam, lapisan batuan yang mengandung konsentrasi garam yang cukup tinggi atau
akibat air formasi yang berkadar garam tinggi dan masuk ke dalam sistem lumpur.
Akibat adanya kontaminasi ini, akan mengakibatkan berubahnya sifat lumpur
seperti viskositas, yield point, gel strength, dan filtration loss. Kadang-kadang
penurunan pH dapat pula terjadi bersamaan dengan kehadiran garam pada sistim
lumpur
3.8. Tekanan Bawah Permukaan
Tekanan adalah gaya yang diberikan pada suatu luasan atau area tertentu. Dalam
dunia perminyakan, khususnya saat melakukan pemboran dan eksplorasi, penting
untuk mengetahui beberapa tekanan bawah permukaan. Ada beberapa jenis tekanan
bawah permukaan yang sering ditemukan dalam dunia eksplorasi ataupun
pemboran diantaranya yaitu tekanan hidrostatik, tekanan pori, tekanan overburden,
tekanan formasi, fracture pressure, tekanan efektif dan tekanan abnormal.
18
Gambar 3.1
Profil jenis-jenis tekanan di sedimen klastik (modifikasi Dutta, 2012)
3.8.1 Tekanan formasi
Tekanan formasi adalah besarnya tekanan yang diberikan cairan yang mengisi
rongga formasi. Secara hidrostatis, untuk keadaan normal sama dengan tekanan
kolom cairan yang ada dalam dasar formasi sampai ke permukaan. Tekanan formasi
didapat dari data log densitas yang telah ada (RHOB). Dalam keadaan normal
tekanan formasi akan sama dengan tekanan overburden. Tekanan formasi juga
dipengaruhi oleh kedalaman suatu formasi.
3.8.2. Tekanan rekah formasi
Pecah atau retaknya suatu formasi akibat tekanan yang diberikan terlalu besar dapat
menimbulkan suatu tekanan yang disebut fracture pressure atau tekanan rekah.
Tekanan rekah formasi harus lebih besar dibandingkan tekanan pori dan lebih kecil
dari tekanan overburden. Fracture pressure dapat terjadi bersamaan dengan adanya
tekanan abnormal. Fracture pressure ini juga dapat diakibatkan oleh proses
pemboran akibat penggunaan berat lumpur yang terlalu besar, sehingga tekanan
hidrostatik lumpur menjadi bertambah besar. Jika tekanan hidrostatik lebih besar
dari tekanan formasi batuan dapat mengakibatkan formasi menjadi retak atau
bahkan pecah.
Tekanan rekah adalah tekanan hidrostatik formasi maksimum yang dapat ditahan
tanpa menyebabkan terjadinya pecah. Besarnya gradien tekanan dipengaruhi oleh
19
besarnya tekanan overburden, tekanan formasi dan kondisi kekuatan batuan.
Penentuan gradien tekanan rekah bisa didapat dari perhitungan, antara lain :
Persamaan Hubbert and Willis:
𝐺𝑟𝑓 = 1 3 ( 𝑜𝑏 𝐷 + 2𝑃 𝐷 ) .........................................................................…....... (4)
Persamaan Matthew and Kelley:
𝐺𝑟𝑓 = 𝑃 𝐷 + ( 𝑃𝑜𝑏−𝑃 𝐷 )(𝐾𝑖) .............................................................…............ (5)
Persamaan Eoton’s:
𝐺𝑟𝑓 = 𝑃 𝐷 + ( 𝑜𝑏−𝑃 𝐷 )( µ 1−µ ) .................................................................….... (6)
3.8.3. Tekanan overburden
Tekanan overburden adalah besarnya tekanan yang diakibatkan oleh berat seluruh
beban yang berada di atasnya pada kedalaman tertentu tiap satuan luas
3.8.4. Tekanan formasi abnormal
Tekanan formasi abnormal adalah tekanan formasi yang lebih besar dari yang
diperhitungkan pada gradien hidrostatik.
3.8.5. Tekanan formasi subnormal
Tekanan formasi subnormal adalah tekanan formasi yang berada di bawah tekanan
hidrostatik normal.
3.9. Prediksi Problem Pemboran
3.9.1. Pipe Terjepit/Pipe Sticking
Keadaan dimana pipa tidak bisa diputar dan diangkat di dalam lubang bor. Pada
blok ini memungkinkan terjadi pipa terjepit yang disebabkan formasi yang runtuh.
Shale yang dimaksud pada Blok ini berada pada Formasi Gumai yang memiliki
lithologi formasi shale. Shale ini memiliki sifat yang mengisap air tawar, sehingga
ikatan antar partikel lemah yang menyebabkan dinding menjadi runtuh. Pipa terjepit
ini memiliki tanda-tanda yaitu : cutting yang keluar bertambah banyak, berukuran
besar dan berbentuk pipih, tekanan pompa yang secara mendadak. Cara mengatasi
pipa terjepit menggunakan washover.
3.9.2. Loss circulation
Loss circulation adalah hilangnya semua atau sebagian lumpur dalam sirkulasinya
dan masuk ke formasi. Formasi yang menyebabkan loss circulation memiliki
lubang pori yang lebih besar dari ukuran partikel lumpur salah satunya batu pasir.
20
Formasi yang mengandung batu pasir cukup besar adalah Formasi Middle dan
Lower Palembang, Talang Akar, dan Lemat yang berfungsi sebagai batuan
reservoir. Untuk formasi yang relatif dangkal bisa menggunakan quick setting
cement. Sedangkan untuk yang dalam bisa menggunakan aerated drilling mud yang
prinsipnya untuk menurunkan densitas lumpur sehingga dapat menurunkan tekanan
hidrostatik. Aerated drilling mud ini menambahkan udara di dalamnya untuk
memecahkan masalah ketika penyemanan biasa yang meninggalkan pori yang
cukup besar.
3.9.3. Filtration loss
Filtration loss adalah hilangnya filtrat pada lumpur yang masuk ke dalam formasi.
Filtration loss sangat mempengaruhi kinerja pemboran pada sumur minyak dan gas.
Beberapa pengaruh dari filtration loss adalah formation damage atau swelling dan
pengurangan diameter lubang bor karena ketebalan mud cake pada formasi.
3.9.4. Shale Problem
Termasuk dari shale problem adalah Swelling. Swelling adalah pengembangan
clay akibat nilai kapasitas tukar kation pada formasi yang lebih tinggi daripada
lumpur sehingga air menghidrasi fomasi.
21
BAB IV
PERHITUNGAN DAN ANALISA
4.1. Perhitungan
4.1.1. Komposisi Lumpur Pemboran
Lumpur pemboran dibuat di laboratorium ALP UPN “Veteran” Yogyakarta dengan
menggunakan lumpur jenis water base mud. Komposisi lumpur ditentukan dari
analisa pressure mud window dan prediksi problem pemboran yang mungkin terjadi
sehingga menghasilkan densitas lumpur pemboran maksimum sebesar 10 ppg. Dari
analisa tersebut dapat dibuat komposisi lumpur pemboran sebagai berikut:
Tabel IV-1
Komposisi sampel lumpur Pemboran
22
te g
KCL 0.01 1.9 Total 100.00 % 68836.59 K
8 g
23
Tabel IV-2.
Sifat fisik sampel lumpur pemboran
24
BAB V
PEMBAHASAN
25
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1. Kesimpulan
1. Sumur Bones-19 pada Lapangan Gwara-Gwara berada pada Cekungan
Sumatra Selatan pada formasi Baturaja dengan reservoir karbonat formasi
Batu Raja, pada bagian atas merupakan zona yang porous dibandingkan
dengan bagian dasarnya yang relatif ketat (tight).
2. Terdapat problem lost circulation, filtration loss, dan shale problem.
3. Berdasarkan hasil percobaan dan studi literatur diperoleh densitas lumpur
pemboran yang akan digunakan pada pemboran Sumur “Bones-19”
Lapangan Gwara-Gwara sebesar 10 ppg.
4. Lumpur yang digunakan menggunakan jenis lumpur water-base mud.
5. Pembuatan lumpur pemboran dengan komposisi air, bentonite, XCD, KCL,
LCM, dan PAC-R.
6. Penambahan KCL pada lumpur digunakan untuk mencegah swelling
dengan penambahan ion kaluim (K) dapat menghambat pengembangan
shale.
6.2. Rekomendasi
Berdasarkan hasil analisa data lapangan, diketahui problem yang dialami
pada sumur ‘bones-19” adalah lost circulation pada section 3 intermediate 1 dan
swelling dikarenakan sebagian besar formasi mengandung sisipan lapisan shale
yang mengandung clay yang mana dapat mengikat air sehingga dapat menyebabkan
pengembangan batuan. Didasarkan dari hasil analisis perhitungan, kami
merekomendasikan penggunaan lumpur dengan densitas 10 ppg dengan
penambahan LCM sebesar 0,01 kg yang akan disirkulasikan pada section 3 guna
menanggulangi problem lost circulation. Berikutnya, kami merekomendasikan
26
penggunaan lumpur dengan tambahan additive KCL guna menstabilkan batuan
shale agar tidak dapat mengikat air guna menanggulangi shale problem.
Untuk limbah lumpur yang telah disirkulasikan namun tidak dapat
digunakan lagi, dari analisa lingkungan kami menyarankan lumpur supaya
ditimbun dalam tanah namun sebelumnya lumpur telah di treatment ketika
ditimbun tidak merusak pH tanah.
Total cost yang kami tawarkan pada desain lumpur ini adalah senilai Rp
1.136.470.660 untuk keseluruhan komposisi lumpur yang dibutuhkan pada
pemboran untuk 3 trayek dari intermediate 1, intermediate 2 dan production.
27
DAFTAR PUSTAKA
Anisara, Liani. 2016. Desain Lumpur Menggunakan KCL Polimer Dan Soltex Untuk
Meminimalisir Terjadinya Swelling Di Laboratorium Lumpur Pemboran
PPPTMGB “Lemigas”. Universitas Trisakti : Jakarta.
Aulia, Fatih. Evaluasi managed pressure drilling dengan metode CBHP pada trayek 81/2"
di sumur N-7. Universitas Trisakti.
Dutta, N.C. 2012. Geopressure Prediction Using Seismic Data: Current and The Road
Ahead. Geophysics. 67.no. 6 (2012-2041).Dutta, N.C. 2012. Geopressure Prediction
Using Seismik Data: Current and The Road Ahead. Geophysics. 67. no. 6 (2012-
2041).
Hamid, Ardhy Agung Abdul. 2015. Pengaruh Temperatur Tinggi Setelah Hot Roller
Terhadap Rheologi Lumpur Saraline 200 Pada Berbagai Komposisi. Universitas
Trisakti : Jakarta.
Mursyidah. Hadziqoh, Nur. Septian, Rendi. Khalid, Idham. 2019. pengaruh ukuran
partikel aditif biomass activated carbon terhadap filtration loss lumpur pemboran.
Universitas Islam Riau. STIKes Al Insyirah Pekanbaru
28
GLOSARIUM
θ = sudut inklinasi
µ = poisson’s ratio
ρ = densitas
CaSO4 = Kalsium
cP = centipoise
D = kedalaman (feet)
Dh = horizontal displacement
EMW = equivalent mud weight
Grf = gradien tekanan rekah (psi/ft)
KCl = kalium klorida
Ki = matrix stress coefficient
MW = mud weight
MMC = mid main carbonate
NaCl = Natruim Clorida
Pf = tekanan formasi (psi)
Ph = tekanan hidrostatik
pH = potential of hydrogen
ppg = pound per gallon
Prf = tekanan rekah (psi)
psi = pounds per square inch
PV = plastic viscosity
R = radius of curvature
ROB = rate of buildup
TVD = true vertical depth
XCD = xanthan gum
YP = yield point
29
LAMPIRAN
Lampiran 1
Tabel Pressure Mud Window
30
31
Grafik 1. Mud Window
Lampiran 2
MUD WINDOW
MUD WEIGHT (PPG)
8 9 10 11 12 13 14
0
1000
2000
DEPTH (FT)
3000
4000
5000
6000
Ph Mud
1000 Prf
SM PF
SM Prf
2000
Production
Intermiediate 2
3000
DEPTH (FT)
Intermediate 1
4000
5000
6000
33
7000
Lampiran 3
Gambar Trayek
34
Lampiran 4
Perhitungan
a. Kondisi Sumur
b. Mud Program
● Conductor Casing
Pf @ 3500 ft = P formation
= 1568 psi
= 2285.5 psi
Ph = 0,052 x ⍴ x h
= 0,052 x 10 x 3500 ft
= 1820 psi
1820
Mw =
0,052 3500
= 10 ppg
● Intermediate Casing
Pf @4200 ft = Pformation
35
Prf = 0,653 x 4200
= 2742,6 psi
Ph = 0,052 x ⍴ x h
= 0,052 x 10 x 4200 ft
= 2184 psi
2184
Mw =
0,052 4200
= 10 ppg
● Perforasi
Pf @5754 ft = Pformation
= 2577,792 psi
= 3757,36 psi
Ph = 0,052 x ⍴ x h
= 0,052 x 10 x 5754 ft
= 2998,02 psi
2998,02
Mw =
0,052 5754
= 10 ppg
36
c. Trajectory Calculations
Pada pemboran pengembangan “Sumur bones-19” Gwara-Gwara di
cekungan Sumatra Selatan, dimana pemboran memiliki target reservoir di
kedalaman 6000 ft (1828,8 m) dengan KOP pada 5754 ft, asumsi rate of
build is 3°/30m.
TVD1= 1754 ft
TVD3= 1829 ft
180 1
R = (1 )
ROB
180 30m
R = (1 )
3
= 573,2 m
L(JD) = Dh - R
= 1150 m - 573,2 m
= 573,2 m
= 1829 - 1754
= 74.9808 m
L( JD )
∠ JOC = ArcTan
L( JO )
= 1.44o
L( JO)
L(OD) =
Cos(JOC)
= 581.61 m
37
R
∠ COD = ArcCos
L(OD)
= 0.17o
= -1.27 o
θ = 90-∠ COJ
= 91.27 o
2 2
L(CD) = (OD) ( R)
= 98.24 m
MD = TVD1 +
BUR
= 2666.54 m
TVD2 = TVD1+(R*Sin θ)
= 1659.318971 m
De = R*(1-Cos θ)
= 1138.65 m
Target
MD = TVD1 + + L(CD)
BUR
= 2765 m
= 9071 ft
38
d. Mud Volume
- Surface casing
- Intermediate 1 casing
- Intermediate 2 casing
- Liner casing
Vol. Lumpur
= 566,61 cuft
Vol. Lumpur
= 388,60 cuft
Vol. Lumpur
= 253,79 cuft
Total mud volume requirement adalah sebanyak 1209 cuft = 1817 sack
Total mud volume safety factor = 1209 x 1,25
= 1511,25 cuft
= 2271 sack
39