Anda di halaman 1dari 34

BAGIAN ILMU ILMU PENYAKIT DALAM REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN 07 MEI 2021


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

OSTEOPOROSIS

DISUSUN OLEH:
Aulia Putri Salsabila Burhan
111 2020 2118

PEMBIMBING:

dr. Prema Hapsari Hidayati, Sp.PD, FINASIM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU INTERNA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
FAKULTAS KEDOKTERAN
MAKASSAR

2021
LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini, saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Aulia Putri Salsabila Burhan

NIM : 111 2020 2118

Judul : Osteporosis

Telah menyelesaikan tugas Referat yang berjudul “Osteoporosis” dan


telah disetujui dan dibacakan dihadapan Dokter Pendidik Klinik dalam
rangka Kepaniteraan Klinik pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Menyetujui Makassar, 07 Mei 2021

Dokter Pendidik Klinik Mahasiswa

dr, Prema Hapsari H.,Sp.PD,FINASIM Aulia Putri Salsabila Burhan


KATA PENGANTAR

Segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah

SWT, karena berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya maka

laporan kasus ini dapat diselesaikan dengan baik. Salam dan salawat

semoga selalu tercurah pada baginda Rasulullah Muhammad SAW

beserta para keluarga, sahabat-sahabatnya dan orang-orang yang

mengikuti ajaran beliau hingga akhir zaman.

Refarat yang berjudul “Osteoporosis” ini disusun sebagai

persyaratan untuk memenuhi kelengkapan bagian. Penulis mengucapkan

rasa terimakasih sebesar-besarnya atas semua bantuan yang telah

diberikan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama

penyusunan refarat ini hingga selesai. Secara khusus rasa terimakasih

tersebut penulis sampaikan kepada dr.Prema Hapsari Hidayati, Sp.PD

FINASIM sebagai pembimbing dalam penulisan refarat ini.

Penulis menyadari bahwa refarat ini belum sempurna, untuk saran

dan kritik yang membangun sangat diharapkan dalam penyempurnaan

penulisan refarat ini. Terakhir penulis berharap, semoga refarat ini dapat

memberikan hal yang bermanfaat dan menambah wawasan bagi

pembaca dan khususnya bagi penulis juga.

Makassar, April 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Osteoporosis adalah kelainan skeletal sistemik yang ditandai oleh


compromised bone strength sehingga tulang mudah fraktur. Osteoporosis
merupakan penyakit metabolic tulang yang tersering didapatkan, ditandai
oleh densitas massa tulang yang menurun sampai melewati ambang
fraktur. Berbagai fraktur yang berhubungan dengan osteoporosis adalah
kompresi vertebral, fraktur colles dan fraktur femoris. 1

Menurut WHO (2012), osteoporosis menduduki peringkat kedua, di


bawah penyakit jantung sebagai masalah kesehatan utama dunia. Di
Indonesia, prevalensi osteoporosis untuk umur kurang dari 70 tahun pada
wanita sebanyak 18-30%. Prevalensi wanita yang menderita osteoporosis
di Indonesia pada golongan umur 50-59 tahun yaitu 24% sedang pada
pria usia 60-70 tahun sebesar 62% (Kemenkes, 2015). Lima provinsi
dengan resiko osteoporosis lebih tinggi adalah Sumatra Selatan (27,75%),
Jawa Tengah (24,02%), Yogyakarta (23,5%), Jawa Timur (21,42%),
Sumatra Utara (22,82%).

Saat ini osteoporosis menjadi salah satu penyakit yang sangat


membutuhkan perhatian serius karena dapat mengakibatkan cacat tubuh,
patah tulang hingga kematian. Perlu diketahui pengobatan osteoporosis
memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang sangat besar dan
menjadi penderitaan yang berkepanjangan .2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Osteoporosis berasal dari kata “osteo” yang berarti tulang, dan


“porous” yang berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi,
osteoporosis disebut juga pengeroposan tulang, yaitu penyakit
skeletal sistemik yang ditandai dengan massa tulang rendah disertai
kerusakan mikroarsitektur jaringan tulang, sehingga tulang menjadi
lebih tipis dan rapuh, sehingga cenderung mudah fraktur. Tempat
yang paling umum untuk patah tulang terkait osteoporosis adalah
tulang belakang, pinggul, dan radius distal. 3,18

2.2 Epidemiologi

Menurut WHO (2012), osteoporosis menduduki peringkat kedua, di


bawah penyakit jantung sebagai masalah kesehatan utama dunia.
International Osteoporosis Foundation (IOF) 2009 lebih dari 30%
wanita diseluruh dunia mengalami resiko patah tulang akibat
osteoporosis, bahkan mendekati 40%, sedangkan pada pria resikonya
berada pada 13%. Menopause dini menyebabkan usia 30 tahun, 40
tahun beresiko terkena osteoporosis. Usia produktif bagi wanita antara
20 sampai 49 tahun. Osteoporosis menjadi masalah kesehatan yang
serius karena prevalensinya di seluruh dunia yang terus meningkat.
Dalam studi berbasis komunitas yang melibatkan 620 orang turki,
prevalensi Osteoporosis adalah 15,1 % diantara wanita dan 10,7%
diantara pria. Di Indonesia osteoporosis sudah dalam tingkat yang
patut diwaspadai, yaitu mencapai 19,7% dari populasi. 1 dari 3 wanita
dan 1 dari 5 pria di Indonesia terserang osteoporosis atau keretakan
tulang. Di Indonesia, prevalensi osteoporosis untuk umur kurang dari
70 tahun pada wanita sebanyak 18-30%. Prevalensi wanita yang
menderita osteoporosis di Indonesia pada golongan umur 50-59 tahun
yaitu 24% sedang pada pria usia 60-70 tahun sebesar 62%
(Kemenkes, 2015). Lima provinsi dengan resiko osteoporosis lebih
tinggi adalah Sumatra Selatan (27,75%), Jawa Tengah (24,02%),
Yogyakarta (23,5%), Jawa Timur (21,42%), Sumatra Utara
(22,82%).2,4,17

2.3 Etiologi

Penyebab osteoporosis diantaranya, yaitu rendahnya hormon


estrogen pada wanita, rendahnya aktivitas fisik, kurangnya paparan
sinar matahari, kekurangan vitamin D, usia lanjut dan rendahnya
asupan kalsium. Hal ini terbukti dengan rendahnya konsumsi kalsium
rata-rata masyarakat Indonesia yaitu sebesar 254 mg per hari, hanya
seperempat dari standar internasional, yaitu 1000-1200 mg per hari
untuk orang dewasa.5

Tulang rendah dapat disebabkan oleh massa tulang puncak yang


rendah atau peningkatan pengeroposan tulang dan penyakit yang
berhubungan dengan osteoporosis tercantum dalam obat-obatan
tertentu, terutama glukokortikoid, silosporin, obat-obatan sitoksik,
thiazolidinediones, antikovultan, aluminium, heparin, levothyroxine
berlebihan, agonis GnRH, dan penghambat aromatase juga memiliki
efek merugikan pada tulang.6

Tingginya osteoporosis juga dipengaruhi perilaku dan gaya hidup


yang tidak sesuai, termasuk didalamnya pengetahuan gizi, aktivitas
olaraga.7

Faktor Resiko Osteoporosis :

Faktor risiko yang tidak dapat diubah/ dimodifikasi:


a. Usia lanjut
Seiring bertambahnya usia, terjadi penurunan fungsi organ
tubuh termasuk penyerapan kalsium oleh usus; penurunan
estrogen atau testosteron akibat penuaan juga meningkatkan
risiko osteoporosis. Selain itu, pada usia lanjut terjadi
peningkatan hormon paratiroid.
b. Jenis kelamin, di mana risiko pada perempuan lebih tinggi
Osteoporosis lebih banyak pada perempuan karena pengaruh
penurunan estrogen yang sudah dimulai sejak usia 35 tahun.
Perempuan hamil juga berisiko osteoporosis karena proses
pembentukan janin yang membutuhkan banyak kalsium.
c. Riwayat osteoporosis keluarga kandung (genetik)
d. Ras
Ras Asia dan Kaukasia atau orang kulit putih memiliki risiko
lebih besar untuk mengalami osteoporosis, karena secara
umum konsumsi kalsiumnya rendah, intoleransi laktosa, dan
menghindari produk hewan. Sedangkan ras kulit hitam dan
Hispanik memiliki risiko mengalami osteoporosis yang lebih
rendah.
e. Penurunan hormon estrogen atau testosteron akibat penuaan.

Faktor risiko yang dapat diubah/ dimodifikasi:

a. Berat badan yang rendah dan struktur tulang yang kecil


b. Kurang aktivitas fisik
Kurangnya aktivitas fisik dapat menghambat aktivitas osteoblas
sehingga densitas tulang akan berkurang.
c. Kurang paparan sinar matahari
d. Kurang asupan kalsium
Jika asupan kalsium kurang, tubuh akan mengeluarkan hormon
yang akan mengambil kalsium dari bagian tubuh lain, termasuk
tulang.
e. Merokok
Zat nikotin dalam rokok bisa mempercepat resorpsi tulang dan
menurunkan kadar dan aktivitas estrogen, sehingga
meningkatkan risiko osteoporosis.
f. Konsumsi minuman tinggi kafein dan alkohol
Kafein dan alkohol dapat menghambat proses pembentukan
massa tulang dan menyebabkan terbuangnya kalsium bersama
urin, sehingga menyebabkan pengeroposan tulang
g. Penggunaan obat tertentu jangka panjang (kortikosteroid, anti
kejang, antikoagulan, methotrexate) Kortikosteroid dapat
menghambat aktivitas osteoblas sehingga meningkatkan risiko
osteoporosis.3
Klasifikasi Osteoporosis :
a. Osteoporosis primer tipe 1 yaitu kehilangan massa tulang yang
terjadi karena proses penuaan yaitu akibat kekurangan estrogen
pada wanita pasca menopause dan kekurangan testosterone yakni
androgen pada pria.
b. Osteoporosis primer tipe 2 disebut osteoporosis senil yang dapat
terjadi pada pria dan wanita di atas usia 75 tahun.
c. Osteoporosis sekunder, disebabakan oleh adanya penyakit yang
mendasari dan pengaruh obat-obatan yang mengakibatkan
adanya penurunan densitas tulang tang patah.
d. Osteoporosis idiopatik, tidak diketahui penyebabnya, biasa muncul
pada anak-anak,remaja dan dewasa muda.19

2.4 Patofisiologi

Osteoimunologi

Dari segi fisiologi, tulang terus diperbarui melalui proses resorpsi


tulang yang terkoordinasi oleh osteoklas dan pembentukan tulang
oleh osteoblast. Peran yang muncul dalam patofisiologi tulang telah
dikaitkan dengan sistem kekebalan, memunculkan bidang penelitian
baru yang disebut osteoimunologi. Konsep osteoimunologi mengacu
pada interaksi timbal balik antara sistem kekebalan dan tulang. Dalam
literatur Inggris istilah "osteoimunologi" diciptakan pada tahun 2000 ,
meskipun demikian, salah satu penulis artikel ulasan (PP) ini telah
menggunakan istilah Jerman "Osteoimmunologie" pada tahun 1997.

Di tingkat seluler, file osteoklas, sel yang bertanggung jawab untuk


resorpsi tulang, dapat dianggap sebagai prototipe sel osteoimun:
osteoklas berbagi sel prekursor yang sama dengan monosit,
makrofag, dan sel dendritik (myeloid). Dengan demikian, wawasan
pertama ke dalam crosstalk osteoimunologi diperoleh dengan studi
tentang interaksi sel kekebalan dan osteoklas yang menyebabkan
kerusakan tulang pada penyakit inflamasi seperti periodontitis atau
rheumatoid arthritis. Sekarang, menjadi jelas bahwa sel-sel sistem
kekebalan dan tulang memiliki banyak molekul, seperti faktor
transkripsi, faktor pensinyalan, sitokin, atau kemokin, yang sama.
Salah satu jenis sel kekebalan pertama yang telah terbukti memediasi
efek sistem kekebalan pada tulang adalah sel T, khususnya sel CD4
+. Di artritis reumatoid, kelainan osteoimun khas yang ditandai dengan
erosi tulang pada beberapa sendi sehubungan dengan peradangan
sinovium, stimulasi resorpsi tulang oleh osteoklas secara eksklusif
dimediasi oleh Subset Th17 dari sel CD4 +. sel-sel ini terakumulasi
dalam cairan synovial pasien dengan RA dan mempromosikan
osteoklastogenesis pertama kali oleh sekresi IL-17 yang merangsang
ekspresi RANKL oleh fibroblast synovial. Selain itu, IL-17 menambah
peradangan kal. Oleh karena itu, produksi sitokin inflamasi seperti
TNF dan Il-6 meningkat, yang pada gilirannya memperkuat ekspresi
RANKL dan dengan demikian secara tidak langsung memicu
osteoklastogenesis (Sato dkk., 2006). Dalam beberapa tahun terakhir,
subset CD4 + pro-osteoklastogenik yang paling kuat semakin
dipersempit menjadi jenis sel Th17 tertentu, yang berasal dari sel T
FOXP3 +. Mereka telah terbukti kehilangan ekspresi faktor transkripsi
FOXP3 di bawah kondisi rematik, sehingga mendorong
pengembangan Th17 daripada sel-T regulasi.

Singkatnya, kemajuan luar biasa telah dibuat dalam menjelaskan


protagonis dan jalur yang berkontribusi pada kerusakan tulang
sehubungan dengan penyakit inflamasi, khususnya dengan
rheumatoid arthritis. Kontribusi sistem kekebalan terhadap
pengeroposan tulang yang terlihat pada osteoporosis, sebaliknya,
kurang dipahami dengan baik. Penghentian fungsi ovarium dan terkait
dengan itu, hilangnya estrogen telah diketahui sejak hampir delapan
dekade sebagai peristiwa kunci dalam mendorong kehilangan tulang
yang dipercepat pada awal menopause dan, seperti yang diusulkan
oleh model kesatuan untuk patofisiologi. osteoporosis primer atau
involusional, juga pada pengeroposan tulang yang lambat pada akhir
pasca menopause, disebut sebagai kehilangan tulang terkait usia, dan
pada pria lanjut usia. Efek kehilangan estrogen sampai batas tertentu
dimediasi oleh modulasi langsung osteoblas, osteoklas, dan fisiologi
osteosit melalui reseptor estrogen pada sel-sel ini. Secara khusus,
kehilangan estrogen meningkatkan jumlah osteoklas dan pada saat
yang sama menurunkan jumlah osteoblas yang mengarah ke aktivitas
yang tidak seimbang dari unit multiseluler dasar yang mendukung
resorpsi tulang. Namun, sekarang diterima dengan baik, bahwa efek
defisiensi estrogen, khususnya pada resorpsi tulang, terutama tidak
langsung melalui pelepasan sitokin yang aktif pada tulang. Di antara
sitokin osteoklastogenik ini adalah sitokin inflamasi, menunjukkan
peran interaksi system kekebalan dan jaringan tulang juga dalam
patofisiologi osteoporosis. Peran dari dan fisiologi osteosit melalui
reseptor estrogen pada sel-sel ini. Secara khusus, kehilangan
estrogen meningkatkan jumlah osteoklas dan pada saat yang sama
menurunkan jumlah osteoblas yang mengarah ke aktivitas yang tidak
seimbang dari unit multiseluler dasar yang mendukung resorpsi
tulang. Namun, sekarang diterima dengan baik, bahwa efek defisiensi
estrogen, khususnya pada resorpsi tulang, terutama tidak langsung
melalui pelepasan sitokin yang aktif pada tulang. Di antara sitokin
osteoklastogenik ini adalah sitokin inflamasi menunjukkan peran
interaksi sistem kekebalan dan jaringan tulang juga dalam patofisiologi
osteoporosis. Peran sitokin proinflamasi pada osteoporosis diperkuat
oleh temuan peningkatan kadar TNF, IL-1, IL-6, atau IL-17 dalam
sepuluh tahun pertama setelah menopause dan pada wanita
postmenopause osteoporosis dibandingkan dengan wanita non-
menopause. wanita postmenopause-osteoporosis. Selain itu,
fenomena "inflamasi" yang ditandai dengan status inflamasi tingkat
rendah dan peningkatan kadar penanda proinflamasi pada orang tua
dalam beberapa penelitian telah dikaitkan dengan keropos tulang dan
risiko patah tulang. Demikian pula, penyakit inflamasi kronis, misalnya
rheumatoid arthritis atau penyakit Crohn, mempromosikan fenotipe
osteoporotic.

Seperti pada rheumatoid arthritis, juga pada sel-T osteoporosis


yang dianggap sebagai sumber utama dari proinflamasi sitokin.
Kelompok kami telah menunjukkan bahwa proporsi sel CD8 + yang
mengekspresikan TNF meningkat pada wanita pascamenopause
dengan fraktur osteoporosis bila dibandingkan dengan kontrol yang
cocok. D'Amelio dkk. menggambarkan produksi yang lebih tinggi dari
TNF dalam sel-T dan monosit dan Zhao et al. ekspresi IL-17 yang
diatur lebih tinggi dalam sel CD4 + wanita pascamenopause
osteoporosis. Namun, hubungan penting antara kehilangan estrogen,
peradangan yang bergantung pada sel T, dan osteoporosis baru-baru
ini terurai. Cline-Smith dkk. untuk pertama kalinya menjelaskan
mekanisme molekuler di mana kehilangan estrogen mendorong
peradangan tingkat rendah oleh sel-T selama fase akut kehilangan
tulang pada tikus yang diovariektomi. Mereka memberikan data yang
menunjukkan peran sentral sel dendritik sumsum tulang ( BMDCs)
dalam induksi sitokin proinflamasi yang memproduksi sel-T.
Ovariektomi (OVX) dalam penelitian mereka meningkatkan jumlah
BMDC dan selanjutnya jumlah IL-7 dan IL-15 yang diproduksi oleh
sel-sel ini. IL-7 dan IL-15, pada gilirannya, menginduksi antigen
produksi independen IL-17A dan TNF dalam subset sel T memori (T
MEM). Lebih lanjut, peran penting dari jalur yang disarankan dalam
kehilangan tulang terkait OVX telah dikonfirmasi dengan menunjukkan
bahwa ablasi spesifik sel-T dari IL15RA mencegah ekspresi IL-17A
dan TNF dan peningkatan resorpsi tulang atau kehilangan tulang
setelah OVX. Menariknya, penulis berspekulasi bahwa peran penting
dari aktivasi T MEM pada pengeroposan tulang pascamenopause
dapat memberikan penjelasan tentang berbagai kerentanan untuk
mengembangkan osteoporosis dalam suatu populasi. Berbeda tingkat
T MEM pada individu mencerminkan eksposur yang berbeda seumur
hidup untuk mikroba komensal dan patogen dan mungkin terkait
dengan tingkat yang lebih tinggi atau lebih rendah dari TNFα dan
IL17A dan sebagai konsekuensi dari keropos tulang yang diinduksi
setelah menopause.

Subclass lain dari sel-T semakin terbukti bertindak di antarmuka


sistem kekebalan dan kerangka peraturan T (T reg) sel. Mereka
dicirikan oleh ekspresi faktor transkripsi FOXP3 dan fungsi utamanya
adalah untuk menekan berbagai jenis sel kekebalan dan mencegah
reaksi kekebalan yang berlebihan, peradangan, dan kerusakan
jaringan. Peran mereka dalam biologi tulang jelas anti-
osteoklastogenik. Dengan demikian, pengalihan T reg sel menjadi
tikus yang kekurangan sel T dikaitkan dengan peningkatan massa
tulang dan penurunan jumlah osteoklas. Bahkan, Foxp3 tikus
transgenik dilindungi dari kehilangan tulang akibat OVX, mendukung a
peran T reg sel dalam pengeroposan tulang sehubungan dengan
deprivasi estrogen. Sejalan dengan ini, estrogen telah terbukti
merangsang proliferasi dan diferensiasi dari T reg sel.
Peran dari Sel B. dalam patofisiologi osteoporosis didukung oleh
temuan bahwa mereka memproduksi RANKL dan OPG, dan,
karenanya, bertindak sebagai pengatur sumbu RANK / RANKL / OPG.
Memang, produksi RANKL oleh sel-B meningkat di pascamenopause
perempuan dan ablasi sel B dari RANKL pada tikus dari kehilangan
tulang trabekuler setelah ovariektomi. Peran sel B dalam metabolisme
tulang dan osteoporosis diperkuat lebih lanjut oleh hasil studi ekspresi
gen global oleh Pineda dkk. Membandingkan ekspresi gen pada tikus
OVX dan tikus kontrol, mereka mengidentifikasi beberapa jalur yang
dikaitkan dengan biologi sel B di antara tikus. jalur kanonik atas
terpengaruh. Sebuah studi yang lebih baru membandingkan ekspresi
gen global dalam sel-B yang diperoleh dari sumsum tulang OVX dan
tikus control. Pada tahap kedua, mereka mempelajari hubungan
polimorfisme dalam gen yang diekspresikan secara berbeda pada
wanita pascamenopause dan mengidentifikasi hubungan yang
signifikan antara polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) di CD80
dengan kepadatan mineral tulang (BMD) dan risiko osteoporosis.
Hubungan yang mungkin antara molekul ini dan BMD mungkin tidak
langsung melalui fungsi kostimulatori untuk aktivasi sel-T atau
langsung melalui efek penghambatan yang dijelaskan pada
pembentukan osteoklas. Kesimpulannya, ada bukti substansial untuk
kontribusi sel-B terhadap perkembangan osteoporosis. 8,14

Gambar 1. Patofisiologis osteoporosis


2.5 Gejala Klinis

Osteoporosis merupakan “silent disease” karena tidak memiliki


tanda dan gejala kecuali jika terjadi fraktur. Fraktur dapat berakibat
8
rasa nyeri, deformitas tulang, kecacatan, bahkan kematian.

Biasanya tidak ada manifestasi klinis dari osteoporosis sampai


pasien benar-benar mengalami patah tulang. Tanda dan gejala yang
terkait dengan osteoporosis berhubungan dengan manifestasi
langsung atau tidak langsung dari patah tulang ini. Pasien mungkin
mengalami penurunan tinggi badan, nyeri punggung, dan kifosis
toraks setelah mengalami patah tulang belakang. Selain itu,
manifestasi kifosis toraks dapat mencakup dispnea dari penyakit paru
restriktif paru serta sembelit. Nyeri yang signifikan sering terlihat pada
kedua tulang belakang patah tulang dan patah tulang pinggul,
meskipun beberapa pasien mungkin datang dengan patah tulang
belakang tanpa gejala yang secara klinis tidak mencolok. Cacat
fungsional sering terjadi setelah patah tulang dan seringkali
membutuhkan rehabilitasi untuk meningkatkan status fungsional
jangka panjang.9

2.6 Diagnosis Banding

Diagnosis banding osteoporosis diantaranya osteomalasia, tumor,


osteonecrosis, metastasis, osteogenesis imperfekta, renal
osteodynastrophy, sickle cell anemia, fraktur patologis sekunder yang
diesebabkan metastasis.10

2.7 Diagnosis

a. Anamnesis
keluahan utama : seringkali pasien tidak disertai keluahn sampai
timbul fraktur. Apabila sudah terjadi fraktur maka akan memberikan
gejala sesuai lokasi fraktur misalnya nyeri pinggang bawah,
penurunan tinggi badan, kifosis.
b. Pemeriksaan fisik
1. keadaan umum : tinggi dan berat badan, gaya berjalan ,
deformitas tulang, leg length inequality.
2. Protuberansia abdomen yang dapat disebabkan oleh kifosis dan
kulit yang tipis (tanda McConkey).
3. Nyeri tulang atau deformitas yang disebabkan oleh fraktur.
4. sklera yang biru biasanya terdapat pada penderita osteogenesis
imperfekta. Penderita ini biasanya akan mengalami ketulian,
hiperlaksitas ligament dan hipermobilitas sendi dan kelainan gigi.
Pada rikets, beberapa penemuan fisik sering dapat mengarah
ke diagnosis, seperti perawakan pendek, nyeri tulang, kraniotabes,
parietal pipih, penonjolan sendi kostokonral (rashitic rosary), bowing
deformity tulang-tulang panjang dan kelaianan gigi. 1,10

c. Pemeriksaan penunjang

Radiologi

1. Foto polos (untuk kecurigaan fraktur osteoporosis misalnya pada


fraktur vertebra atau panggul).
Gambaran radiologi yang khas pada osteoporosis adalah
penipisan korteks dan daerah trabekuler yang lebih lusen. Hal ini
akan tampak pada tulang-tulang vertebra yang memberikan
gambaran picture-frame vertebra.
Bowing deformity pada tulang-tulang panjang, sering
didapatkan pada anak-anak dengan osteogenesis imperfekta,
rikets dan dysplasia fibrosa.1
2. Pemeriksaan densitas massa tulang (bone mass densitometry,
BMD)
Densitometri tulang merupakan pemeriksaan yang akurat
dan tepat untuk menilai densitas massa tulang, sehingga dapat
digunakan untuk menilai factor prognosis, prediksi fraktur dan
bahkan diagnosis osteoporosis. Berbagai metode yang dapat
digunakan untuk menilai densitas tulang adalah single-photon
absorptiometry (SPA) dan single-energy X-ray absorptiometry
(SPX) lengan bawah dan tumit, dual-photon absorptiometry
(DPA) , dan dual-energy X-ray absorptiometry (DPX) lumbal dan
proksimal femur dan quantitative computed tomography (QCT)
Untuk menilai hasil pemeriksaan densitometri tulang,
digunakan kriteria kelompok kerja WHO yaitu:
 Normal, bila densitas massa tulang diatas -1 SD rata-rata
nolai densitas massa tulang orang dewasa muda (T-Score)
 Osteopenia, bila densitas massa tulang diantara -1 SD dan
-2,5 SD dari T-Score.
 Osteoporosis, bila densitas massa tulang -2,5 SD T-score
atau kurang.
 Osteoporosis berat yaitu osteoporosis disertai adanya
fraktur.
 Pada wanita premenopouse dan laki-laki <50 tahun dan
anak-anak menggunakan Z-score
 Nilai Z-score lebih dari 2 dikatakan within expected range for
age
 Nilai Z-score kurang dari sama dengan -2 dikatakan low
BMD for chronological age.1,10
3. Pemeriksaan biokimia tulang

Pemeriksaan biokimia tulang terdiri dari kalsium total dalam


serum,ion kalsium,kadar fosfor di dalam serum, kalsium urin, fosfat
urin, osteokalsin serum , piridinolin urin dan bila perlu hormone
paratiroid dan vitamin D.

Untuk menentukan turnover tulang, dapat diperiksa bone


alkaline phosphatase (BSAP), osteokalsin (OC), procollagen type 1
C-propeptide (PICP) dan procollagen type 1 N-Propeptide (PINP).
Alkaline fosfotase merupakan enzim yang di ekspresikan
oleh membrane sel hepar, tulang , ginjal dan plasenta. Sumber
utama alkali fosfat diproduksi oleh osteoblast dan precursor
osteoblast dan sangat berperan pada mineralisasi tulang. Degan
perkembangan pemeriksaan secara antibody monoclonal, saat ini
sudah dapat diperiksa alkali fosfotase yang spesifik berasal dari
tulang yang disebut bone spesifik alkaline phosphatase (BAP).

Osteokalsin (bone gla-protein, BGA) merupakan polipeptida


yang hanya diproduksi oleh osteoblast atas pengaruh 1,25
dihidroksivitamin D. walaupun osteokalsin dan alkali fosfotase
merupakan indicator turnover tulang yang sangat bai, tetapi
peningkatannya tidak selalu parallel. Pada penyakit paget,
peningkatan alkali fosfotase jauh melebih peningkatan osteokalsin,
sehingga pada penyakit ini,alkali fosfotase merupakan indicator
aktivitas penyakit yang sangat sensitive.

Untuk menilai resorpsi tulang dapat diukur eksresi


hidroksiprolin (HYP), pyridioline (PYD), dan deoxypyridinoline
(DPD) cross-links, di dalam urin atau N-terminal cross-linking
telopeptide of type I collagen (NTX) dan C-terminal cross linking
telopeptide of type I collagen (CTX) di dalam serum atau urin.

Pyridinoline cross links berfungsi mengikat beberapa


molekul monomer kolagen menjadi serat kolagen. Ikatan
pyridinium ini hanya dapat dilepas pada degradasi serat kolagen
selama proses resorpsi tulang dan eksresi piridinolin di dalam urin
dapat dipakai sebagai ukuran resorpsi tulang. Eksresi piridinolin
urim berkorelasi bermakna dengan gambaran histomorfometrik
tulang. Secara kimia ada 2 bentuk piridinolin yaitu
hidroksilsilpiridinolin (piridinolin sederhana, PYD) dan lisilpiridinolin
(deoksipiridinolin , DPD). Secaea teoritis, penggunaan eksresi
DPD dalam urin sebagai petanda resorpsi tulang , lebih sensitive
daripada eksresi PYD urin.1

2.8 Tatalaksana

Tujuan pengobatan termasuk mengurangi risiko patah tulang


dengan menstabilkan atau meningkatkan massa tulang dan
mempertahankan atau meningkatkan kualitas dan kekuatan tulang. 15

Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan osteoporosis

Dalam algoritma penatalaksanaan osteoporosis pasca-


menopause, penentuan risiko fraktur mencakup pengukuran BMD
tulang belakang lumbal dan tulang panggul, serta memasukkan nilai
BMD panggul atau leher tulang paha ke dalam FRAX tool. Dengan
algoritma FRAX tersebut, risiko dikategorikan sebagai berikut:

a. Risiko rendah, jika tidak ada fraktur tulang panggul atau tulang
belakang sebelumnya, skor T BMD tulang panggul dan tulang
belakang > -1,0, dan risiko fraktur tulang panggul 10 tahun <3%
dan risiko fraktur osteoporosis utama 10 tahun <20%.
b. Risiko sedang, jika tidak ada fraktur tulang panggul atau tulang
belakang sebelumnya, skor T BMD tulang panggul dan tulang
belakang > -2,5, atau risiko fraktur tulang panggul 10 tahun <3%
atau risiko fraktur osteoporosis utama 10 tahun <20%.
c. Risiko tinggi, jika ada fraktur tulang panggul atau tulang belakang
sebelumnya, atau skor T BMD tulang panggul dan tulang belakang
≤ -2,5 atau risiko fraktur tulang panggul 10 tahun ≥3% atau risiko
fraktur osteoporosis utama 10 tahun ≥20%.
d. Risiko sangat tinggi, jika ada fraktur tulang belakang multipel dan T-
skor BMD tulang panggul atau tulang belakang≤ -2,5.

Terapi Farmakologi.

Terapi farmakologi sebaiknya dimulai pada:


a. Pasien dengan osteopenia
b. Pasien dengan riwayat fraktur osteoporotik pada panggul atau
spinal

c. Pasien dengan T-score ≤ -2,5

d. Pasien dengan T-score antara -1 dan -2,5 jika probabilitas 10


tahun FRAX (Fracture Risk Assessment Tool) untuk fraktur
panggul ≥3% dan osteoporotik mayor ≥20%.

Berdasarkan cara kerjanya, obat osteoporosis terdiri dari:


Antiresorptive agent Merupakan obat yang menurunkan
kehilangan massa tulang.
Contoh: bisphosphonate, calcitonin, strontium ranelate,
denosumab.

Anabolic agent Merupakan obat yang meningkatkan massa


tulang: estrogen atau terapi sulih hormon, selective estrogen
receptor modulator (misal: raloxifene), teriparatide.

Pemberian obat anti-osteoporosis sebaiknya tetap disertai


asupan kalsium dan vitamin D yang cukup serta menghindari
faktor risiko osteoporosis seperti tidak merokok dan tidak minum
alkohol, serta olahraga yang cukup dan menghindari risiko
terjatuh atau fraktur

a. Biphosphonate

Bisphosphonate oral merupakan obat yang efektif,


terjangkau, dengan data keamanan jangka panjang untuk
sebagian besar senyawa. Jika tidak ada kontraindikasi
spesifik, bisphosphonate oral dipertimbangkan sebagai
terapi farmakologi lini pertama untuk perempuan pasca-
menopause dengan risiko tinggi fraktur, dan telah disetujui
FDA untuk osteoporosis yang disebabkan oleh
glucocorticoid. Bisphosphonate bekerja mempengaruhi jalur
intraseluler spesifik pada osteoklas yang menyebabkan
toksisitas seluler. Secara spesifik, obat ini mengikat
hidroksiapatit dan menghambat resorpsi tulang oleh
osteoklas melalui beberapa cara, yaitu sitotoksik atau injuri
metabolik pada osteoklas matur, menghambat penempelan
osteoklas pada tulang, menghambat diferensiasi dan
rekrutmen osteoklas, serta mempengaruhi struktur osteoklas
yang diperlukan untuk resorpsi tulang (komponen
sitoskeleton).
Jenis bisphosphonate berdasarkan generasinya:

1. Generasi pertama: etidronate, clodronate

2. Generasi kedua: alendronate dosis 10 mg/hari atau 70


mg/minggu peroral, pamidronate

3. Generasi ketiga: risedronate dosis 5 mg/hari atau 35


mg/minggu atau 150 mg/bulan peroral, ibandronate dosis
150 mg/bulan peroral atau 3 mg/3 bulan intravena ,
zoledronate dosis 5 mg/tahun intravena, minodronate.

Terdapat 2 subkelas bisphosphonate:

1. Nitrogen containing bisphosphonate (NBP; misal:


alendronate, ibandronate, pamidronate, risedronate,
zoledronate) NBP menghambat enzim farnesyl
pyrophosphate synthase (FPPS) pada jalur metabolik
mevalonic acid yang terlibat dalam pembentukan dan fungsi
osteoklas, sehingga osteoklas tidak aktif dan menginduksi
apoptosis osteoklas.

2. Non-nitrogen containing bisphosphonate (NNBP; misal:


etidronate). NNBP bekerja melalui pembentukan metabolit
yang membentuk analog ATP toksik yang menginduksi
apoptosis osteoklas.

Bisphosphonate memiliki keterbatasan, yaitu:

1. Dikontraindikasikan pada pasien dengan hipokalsemia,


kelainan esofagus, atau tidak bisa bertahan dalam posisi
tegak (tidak berbaring) minimal selama 30 menit (pada
pemberian oral), dan jika GFR <30- 35 mL/menit (pada
pemberian intravena).
2. Dapat menyebabkan efek samping iritasi esofagus,
hipokalsemia, nyeri muskuloskeletal, dan fraktur atipikal
yang mungkin disebabkan oversupresi turnover tulang.

3. Penggunaan jangka panjang NBP terus-menerus dapat


menyebabkan osteonecrosis of the jaw, khususnya pada
pasien yang baru menjalani operasi maksilofasial atau
rongga mulut, sehingga dianjurkan:

Pasien dengan risiko rendah fraktur, obat dihentikan (“drug


holiday”) setelah terapi 3-5 tahun dan Pasien dengan risiko
tinggi fraktur, terapi diteruskan selama 10 tahun, kemudian
“drug holiday” selama 1-2 tahun.

Pilihan pertama terapi bisphosphonate adalah


regimen oral alendronate atau risedronate diminum sekali
seminggu saat perut kosong pada pagi hari dengan minimal
240 mL air untuk meningkatkan absorpsi; pasien harus
dalam posisi tegak dan tidak makan atau minum selama
minimal 30 menit setelah minum obat untuk mengurangi efek
samping gastrointestinal. Jika ada kontraindikasi atau kurang
ditoleransi, dapat diberikan zoledronic acid atau ibandronate
intravena. Bisphosphonate sebaiknya dimulai 4-6 minggu
setelah fraktur dan tidak dihentikan pada pasien fraktur
osteopatik yang mendapat obat kurang dari 5 tahun karena
berpotensi memperlambat penyembuhan.

Namun, hasil meta-analisis menunjukkan bahwa manfaat


menurunkan risiko fraktur vertebra antara alendronate,
risedronate, ibandronate, dan zoledronic acid tidak berbeda
bermakna.
b. Calcitonin

Calcitonin menghambat resorpsi tulang dengan


meningkatkan aktivitas osteoblas dan dipertimbangkan
sebagai terapi lini kedua jika obat lini pertama tidak dapat
ditoleransi atau tidak efektif. Studi menunjukkan bahwa
calcitonin meningkatkan BMD lumbal dan menurunkan
petanda biologi turnover tulang, namun tidak mencegah
fraktur baru tulang vertebra, non-vertebra, dan panggul.
Calcitonin tersedia dalam bentuk injeksi dan intranasal
dengan dosis 100 IU subkutan 2 hari sekali atau 200 IU
intranasal sekali sehari.

c. Strontium Ranelate
Obat ini menghambat fungsi osteoklas dan memicu
diferensiasi dan proliferasi osteoblas melalui calcium
sensing receptor (CaSR) yang menyebabkan peningkatan
BMD, meskipun tidak terkait erat dengan penurunan
bermakna risiko fraktur.Obat ini telah disetujui di Eropa untuk
terapi pada pria dan perempuan pasca-menopause dengan
osteporosis berat yang tidak bisa mentoleransi obat lain.
Efek samping paling sering adalah kejadian kardiovaskular,
tromboembolisme, infark miokardium, gangguan
gastrointestinal, dan gangguan saraf seperti sakit kepala,
kejang, dan gangguan memori. Karena berisiko tinggi pada
kardiovaskular, strontium ranelate dipertimbangkan sebagai
terapi lini kedua untuk osteoporosis, hanya jika obat lain
tidak cocok dan tidak ada kontraindiaksi.

d. Denosumab
Denosumab merupakan fully human monoclonal antibody
pertama yang secara spesifik mengikat RANKL untuk
menghambat pembentukan dan aktivasi osteoklas, yang
menghambat resorpsi tulang. Denosumab telah disetujui
untuk terapi osteoporosis pada perempuan pasca-
menopause dan pria risiko tinggi fraktur karena memiliki
efikasi tinggi dalam menurunkan fraktur tulang belakang dan

tulang panggul. Pemberian denosumab subkutan setiap 6


bulan dapat menekan resorpsi tulang sebesar 80-90%.
Denosumab bisa digunakan sebagai terapi lini pertama pada
pasien yang tidak toleran terhadap bisphosphonate oral atau
pasien gagal ginjal. Denosumab ditoleransi dengan baik dan
tidak menyebabkan osteonecrosis of the jaw dan fibrilasi
arteri, namun kondisi hipokalsemia dan defisiensi vitamin D
harus diatasi terlebih dahulu sebelum mulai dan selama
terapi denosumab.

e. Denosumab subkutan dua kali setahun selama 36 bulan


dikaitkan dengan penurunan risiko fraktur tulang vertebra,
non-vertebra, dan panggul pada perempuan dengan
osteoporosis.Hasil studi DECIDE (Determining Efficacy:
Comparison of Initiating DEnosumab versus Alendronate)
juga menunjukkan bahwa denosumab SC 60 mg/6 bulan
lebih efektif meningkatkan BMD dibandingkan alendronate
oral 70 mg/minggu.

Peralihan ke denosumab dapat ditoleransi dengan baik dan


lebih efektif meningkatkan BMD dan menurunkan turnover
tulang dibandingkan risedronate pada perempuan pasca-
menopause yang sebelumnya diterapi alendronate dengan
kepatuhan suboptimal.Denosumab sebanding dengan
zoledronic acid dalam efektivitas (menurunkan risiko fraktur
non-vertebra) dan keamanan (risiko infeksi serius dan CVD)
dalam 1 tahun terapi.

Denosumab tidak direkomendasikan untuk terapi preventif


osteoporosis perempuan pra-menopause dan anak-anak,
dan tidak digunakan dalam kombinasi dengan obat
osteoporosis lainnya. Karena denosumab menghambat
ikatan RANKL pada RANK, yang diekspresikan pada limfosit
T, limfosit B, dan sel dendritik selain pra-osteoklas, pernah
dilaporkan peningkatan risiko infeksi.

f. Romosuzumab

Obat ini merupakan antibodi terhadap sclerostin yang


memperlambat pembentukan tulang baru dan telah disetujui
untuk terapi osteoporosis pada perempuan pasca-
menopause dengan risiko tinggi fraktur. Romosuzumab
merupakan satu-satunya obat yang punya efek
meningkatkan pembentukan tulang dan menurunkan
resorpsi tulang, sehingga menurunkan risiko fraktur dengan
cepat. Studi menunjukkan bahwa risiko fraktur vertebra,
lengan, atau tungkai lebih rendah pada penggunaan
romosuzumab dibandingkan alendronate setelah 12 bulan
terapi, dengan efek samping sebanding.

g. Terapi pengganti hormonal

1. Pada wanita pasca menopause , estrogen trkonjugasi


0,3125 – 1,25 mg/hari, dikombinasi dengan
medroksiprogesteron asetat 2,5 – 10 mg/ hari setiap hari
secara kontinyou.
2. Pada wanita pramenopuse , estrohen diberikan pada hari
1 sampai dengan 25 siklus haid, sedangkan
medroksiprogesteron diberikan pada. 15 sampai 25 siklus
haid. Kemudian kedua obat dihentikan pemberiannya pada
hari 26 sampai 28 siklus haid sehingga penderita mengalami
haid.

3. Pada laki-laki yang jelas menderita defiseiensi


testosterone dapat dipertimbangkan pemberian testosterone.

h. SERM

Selective estrogen receptor modulator merupakan obat


sintetik non-steroidal dengan efek yang sama seperti
estrogen pada tulang dan kardiovaskular, tetapi tanpa efek
buruk pada payudara dan endometrium. Obat SERM yang
paling sering untuk pencegahan osteoporosis perempuan
pascamenopause adalah raloxifene dosis 60-120 mg/hari,
lasofoxifene, dan bazedoxifene, yang saat ini telah disetujui
FDA. Obat ini secara tipikal digunakan dalam kombinasi
dengan estrogen terkonjugasi. SERM menurunkan fraktur
vertebra pada perempuan osteoporosis dengan
meningkatkan massa tulang trabecular pada skeleton aksial,
tetapi secara statistik tidak bermakna dalam menurunkan
risiko fraktur non-vertebra atau tulang panggul dibandingkan
plasebo. Lebih lanjut, raloxifene juga meningkatkan
porositas kortikal. Selain osteoporosis, SERM juga efektif
mencegah dan mengobati kanker payudara perempuan
pramenopause tetapi meningkatkan risiko stroke,
tromboembolisme, kram tungkai, dan gejala vasomotorik
pada perempuan pasca-menopause. Oleh karena itu, SERM
dikontraindikasikan untuk pencegahan dan terapi
osteoporosis pada perempuan pra-menopause, namun
sebagai terapi lini pertama untuk pencegahan osteoporosis
pada perempuan pasca-menopause.

i. Teriparatide

Teriparatide merupakan recombinant human parathyroid


hormone yang disebut PTH peptide dan satu-satunya obat
anabolik yang saat ini disetujui untuk terapi osteoporosis
yang menstimulasi pembentukan tulang osteoblastik,
sehingga memperbaiki kualitas dan massa tulang.Obat ini
mengaktivasi osteoblas dengan mengikat reseptor PTH/
PTHrP tipe 1, sehingga secara langsung menstimulasi
pembentukan tulang pada lokasi remodelling aktif dan
permukaan tulang yang tidak aktif sebelumnya, serta
menginisiasi lokasi remodelling baru.Studi menunjukkan
peningkatan petanda biokimia pembentukan tulang yang
cepat selama bulan pertama terapi teriparatide tanpa disertai
peningkatan resorpsi tulang.Teriparatide diberikan secara
injeksi subkutan 20 mcg/hari.

Studi menunjukkan bahwa teriparatide lebih efektif


menurunkan risiko fraktur vertebra dan meningkatkan BMD
lumbal dan columna femoris dalam jangka panjang pada
perempuan pasca-menopause dengan osteoporosis
dibanding bisphosphonate.Selain itu, teriparatide juga lebih
efektif menurunkan risiko fraktur vertebra dan meningkatkan
BMD lumbal, collumna femoris, dan panggul pasien
osteoporosis akibat glukokortikoid dibanding
bisphosphonate, namun tidak menurunkan risiko fraktur non-
vertebra jika dibandingkan bisphosphonate
j. Abaloparatide

Abaloparatide merupakan 34-amino acid peptide yang


secara selektif mengikat konformasi RG dari reseptor PTH
tipe 1 dan menunjukkan efek poten pada aktivitas anabolik
yang menyebabkan resorpsi tulang yang lebih rendah
dibanding teriparatide. Studi fase 2 pada 222 perempuan
pasca- menopause dengan osteoporosis selama 24 minggu
menunjukkan bahwa abaloparatide 80 mcg/hari dikaitkan
dengan peningkatan BMD secara bermakna pada tulang
panggul total, leher tulang paha, dan tulang lumbal
dibandingkan dengan plasebo. Peningkatan BMD pada
tulang panggul total 2,6% dengan abaloparatide 80 mcg/hari
yang secara bermakna lebih tinggi dibanding teriparatide
(0,5%, p=0,006). Studi ACTIVE (Abaloparatide Comparator
Trial in Vertebral Endpoints) fase 3 selama 18 bulan
menunjukkan bahwa abaloparatide meningkatkan BMD dan
menurunkan risiko fraktur vertebra dan non- vertebra
dibandingkan plasebo. Abaloparatide juga meningkatkan
BMD non-vertebra dan menurunkan risiko fraktur
osteoporotik mayor dibandingkan dengan teriparatide.

k. kalsium dan Vitamin D

Suplementasi kalsium dan vitamin D berperan penting dalam


tatalaksana osteoporosis, tetapi tidak cukup untuk
menurunkan risiko fraktur. Rekomendasi asupan vitamin D
berdasarkan manfaat kombinasi kalsium dan vitamin D untuk
kesehatan skeletal. Secara umum, asupan harian yang
direkomendasikan pada perempuan osteoporosis pasca-
menopause adalah 1200 mg kalsium (asupan total dari
makanan dan suplemen) dan 800 IU vitamin D.3

Terapi bedah

Tindakan bedah dilakukan bila terjadi fraktur, terutama fraktur


panggul. Pada lansia dengan patah tulang pinggul, perawatan
bedah harus segera direncanakan untuk mencegah imobilisasi
jangka panjang dan komplikasi lebih lanjut. 10,11

2.9 Prognosis

Jika osteoporosis terdeteksi sejak dini dan diobati, hasilnya bagus.


Namun, jika kondisinya tetap tidak diobati dapat menyebabkan nyeri
kronis dan patah tulang. Risiko osteoporosis dapat diturunkan dengan
penggunaan bifosfonat, olahraga, dan diet kaya kalsium. Sayangnya,
bifosfonat tidak hanya mahal tetapi juga memiliki efek samping yang
serius. Selain itu, apakah mereka dapat mengurangi patah tulang
masih diperdebatkan. Secara keseluruhan, wanita pascamenopause
tetap berisiko tinggi mengalami patah tulang pinggul, yang sering
mengakibatkan pemulihan yang berkepanjangan dan penempatan
panti jompo. 20

2.10.Pencegahan

Diet gizi seimbang, cukup zat gizi cukupi kebutuhan nutrisi, seperti
Kebutuhan kalsium 80- 1500 mg/hari dan vitamin D 800-1000 IU/
hari. mineral, dan vitamin serta olahraga dapat memberikan peran
yang signifikan terhadap kesehatan tulang. Edukasi gizi yang
dilakukan diharapkan dapat meningkatkan pemahaman terhadap
peran gizi terhadap pencegahan osteoporosis. 3,12

Upaya pencegahan osteoporosis bisa dengan melakukan olahraga


karena dapat melatih tulang menjadi lebih kuat, padat dan keras, dan
cara ini dapat dilakukan sejak dini agar dapat melindungi tulang dan
kinerja tulang dapat mengalami peningkatan. Tetapi upaya ini tidak
boleh dilakukan secara berlebihan terutama bagi wanita, karena jika
melakukan olahraga secara berlebihan dapat memicu terjadinya
osteoporosis akibat pengaruh dari hormon estrogen yang menurun. 13

Hindari merokok dan alkohol dan hindari mengankat barang-barang


berat yang sudah pasti osteoporosis. Aktivitas fisik dapat mengurangi
kehilangan massa tulang bahkan menambah massa tulang dengan
cara meningkatkan pembentukan tulang lebih besar dari pada
resorpsi tulang. Aktivitas fisik yang bermanfaat adalah yang
menumpu beban seperti berjalan kaki, bersepeda dan aerobik.
Kegiatan sehari-hari yang kurang aktif agar diperbaiki untuk
mencegah pengurangan kepadatan tulang yang berisiko
osteoporosis.11,16
BAB III

KESIMPULAN

Osteoporosis adalah kelainan skeletal sistemik ditandai dengan


massa tulang rendah sehingga tulang menjadi lebih rapuh dan lebih
mudah fraktur. Gejala dari osteoporosis “silent disease” karena tidak
memiliki tanda dan gejala kecuali jika terjadi fraktur. Fraktur dapat
berakibat rasa nyeri, deformitas tulang, kecacatan, bahkan kematian.
Bisphosphonate oral dengan suplementasi kalsium dan vitamin D masih
merupakan pilihan pertama terapi farmakologi osteoporosis. Osteoporosis
bisa dicegah dengan salah satunya yaitu cukup zat gizi seperti kalsium
dan vitamin D.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bambang Setyohadi. Pendekatan Diagnosis Osteoporosis. Buku


ajar ilmu penyakit dalam. Interna publishing. 2014

2. Nopi Sani, etal, Level of Secondary Osteoporosis Knowledge and


Preventive Behavior Students of University Malahayati,jiksh Vol.11
No.1 Juni 2020.

3. Ester, Kristiningrum. Farmakoterapi untuk Osteoporosis. CDK Edisi


Khusus CME-2/Vol. 47.2020

4. Tamer A. Gheita& Nevin Hammam. Epidemiology and awareness


of osteoporosis: a viewpoint from the Middle East and North Africa.
International Journal of Clinical Rheumatology · July 2018

5. Ira Syafira,Razia Begum Suroyo, Tri Niswati Utami. Analisi Faktor


yang Memengaruhi Osteoporosis pada Ibu Menopouse di
Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat. urnal JUMANTIK Vol. 5 No.
1 Des 2019 – Mei 2020.

6. Anthony faucy et.al.Osteoporosis. Harrisons Manual of Medicine 18


edition.
7. Humaryanto, Ahmad Syauqy. Gambaran Indeks Massa Tubuh dan
Densitas Massa Tulang sebagai Faktor Resiko Osteoporosis pada
Wanita. Jurnal kedokteran Brawijaya, Vol.30, No.3, Februari 2019.

8. Ursula Foger Samwald, et al. Review article: Osteoporosis :


Pathophysiology and Therapeutic Option. EXCLI Journal
2020;19:1017-1037.

9. Alexei O. DeCastro, MD; Scott Bragg, PharmD, and Peter J. Carek,


MD, MS. Osteoporosis Book chapter. Coons current therap 2021,
967-972.

10. Idrus alwi, dkk. Osteoporosis. Penatalaksanaan dibidang


Ilmu Penyakit Dalam.Panduan Praktik Klinis. Hal.838

11. Bambang Setyohadi. Penatalaksanaan Osteoporosis. Buku


ajar ilmu penyakit dalam. Interna publishing. 2014

12. Luh desi Puspareni,dkk. Edukasi Gizi untuk Pencegahan


Osteoporosis pada Lansia Posbindu Gelatik, Keluarahan
Cimanggis, Depok. Jurnal Pengabdian pada Masyarakat. Volume
8, Nomor 2 , November 2020

13. Riska wildawati, dkk. Determinan Pencegahan Osteoporosis


pada Wanita Menopouse. Jurnal Vol.10 No.2, Maret 2020.

14. Ana Beatriz Pereira. Kidney-Induced Osteoporosis: a new


entity with a novel therapeutic approach. Port J Nephrol Hypert
2020; 34(2) : 92-100.
15. Khan, A. H., Jafri, L., Ahmed, S., & Noordin, S. (2018).
Osteoporosis and its perspective in Pakistan: A review of evidence
and issues for addressing fragility fractures. Annals of Medicine and
Surgery, 29, 19–25.

16. Lisa Fradisa. Hubungan Kebiasaan Aktivitas Fisik dengan


Resiko Terjadinya Osteoporosis pada Wanita Menopouse di
Pusekesmas Gulai Bancah. 2018

17. Wachyu Amelia. Hubungan Pengetahuan dan Konsumsi


Susu pada Wanita Pralansia dengan Upaya Pencegahan
Osteoporosis di Baturaja Tahun 2018. Volume 2 Agustus 2018.

18. Anthony faucy et.al.Osteoporosis. Harrisons Manual of


Medicine 17 edition.

19. Danang Samudro Wicaksono, Rifaldy Yusril Maulana.


Manfaat Ekstrak Dandelion dalam Mencegah Osteoporosis.
Volume 2 No 2 Hall 155-162,Mei 2020.

20. Joann L. Porter; Matthew Varacallo. Osteoporosis. NCBI


Bookshelf. 2020

Anda mungkin juga menyukai