Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN NEUROLOGI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2021


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MENINGITIS BAKTERI

Disusun Oleh:
Aulia Putri Salsabila Burhan
111 2020 2118

Pembimbing:
dr. Moch. Erwin Rachman, Sp. S, M. Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN NEUROLOGI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini, saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Aulia Putri Salsabila Burhan

NIM : 111 2020 2118

Case Report :Meningitis Bakterial Streptococcus Suis Dengan Tuli

SensorineuralBilateral

Telah menyelesaikan tugas case report yang berjudul “Meningitis Bakterial

Streptococcus Suis Dengan Tuli Sensorineural Bilateral

” dan telah disetujui serta telah dibacakan dihadapan dokter pembimbing klinik

dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Neurologi Fakultas Kedokteran

Universitas Muslim Indonesia.

Menyetujui, Makassar, Agustus 2021

Dokter Pendidik Klinik, Penulis,

dr. Moch. Erwin Rachman, Sp. S Aulia Putri Salsabila Burhan


BAB I
PENDAHULUAN

Meningitis bakteri termasuk penyakit infeksi berat dengan

mortalitas dan morbiditas tinggi. Penularan meningitis bakteri sebagian

besar terjadi antar manusia (misal: Streptococcus pneumoniae dan

Neisseria meningitidis), dapat juga melalui makanan (misal: Listeria

monocytogenes). Meningitis bakterial zoonosis adalah meningitis yang

terjadi melalui kontak langsung dari hewan ke manusia. Bakteri zoonosis

yang paling sering menimbulkan Meningitis adalah S. suis.

S. suis adalah bakteri gram positif fakultatif anaerob yang

merupakan patogen utama pada babi dan dapat menular ke manusia

melalui kontak langsung dengan babi.S. suis endemik di negara dengan

peternakan babi dan konsumsi daging babi yang tinggi, bahkan beberapa

negara telah melaporkan terjadinya wabah meningitis oleh bakteri

ini.Infeksi S. suis juga dapat berdampak sistemik yang menimbulkan

manifestasi klinis berupa sepsis, enteritis, endokarditis, arthritis,

endoftalmitis, eveitis, dan spondilitis.

Meningitis S. suis merupakan penyakit infeksi yang penting karena

berpotensi menjadi wabah terutama di daerah peternakan babi yang

masyarakatnya mengkonsumsi daging babi. Tuli sensorineural merupakan

komplikasi meningitis bakterial S. suis yang paling sering dilaporkan dan


dapat sebagai keluhan utama atau terjadi selama perjalanan penyakit.

Ketulian yang terjadi sering bilateral dan bersifat permanen.


BAB II

LAPORAN KASUS
2.1. Identitas Pasien

Nama : Tn. X

Umur : 43 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Tidak dilampirkan dalam jurnal

Suku : Bali

Tanggal Pemeriksaan : Tidak dilampirkan dalam jurnal

Tempat Pemeriksaan : Tidak dilampirkan dalam jurnal

2.2. Anamnesis

Keluhan Utama: Penurunan kesadaran sejak 6 jam yang lalu sebelum

masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien dating dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak 6 jam

sebelum masuk RS. Pasien juga terdapat nyeri kepala dan deman tinggi

dikeluhkan sejak 5 hari sebelumnya.

Riwayat Penyakit Terdahulu:

Tidak ada riwayat infeksi THT, gigi, dan paru, serta penggunaan narkoba.

Riwayat Penyakit Keluarga:

Tidak dilampirkan dalam jurnal

Riwayat Kebiasaan :
Pasien memiliki kebiasaan mengolah dan mengonsumsi daging babi

2.3. Pemeriksaan Fisik

2.3.1 Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : Sakit berat

Kesadaran : Sopor

GCS : (E2M5V2)

Tanda-tanda vital :

Nadi : 88x/menit

Pernafasan : 22x/menit

Suhu : 39 C

Tekanan darah : 110/70 mmHg

2.3.2 Status Generalisata

 Kepala

 Bentuk : normosefali

 Rambut bewarna hitam, tidak mudah rontok

 Fontanel sudah menutup

 Mata

 Konjungtiva pucat (-/-)

 Injeksi konjungtiva (-/-)

 Pupil isokor 2mm/2mm

 Hidung
 Inspeksi : bentuk hidung normal, simetris

 Telinga

 Aurikulum : Ukuran normal, bentuk normal simetris kanan

dan kiri, tidak tampak hiperemis

 Liang telinga lapang, hiperemis (-/-), serumen (+/+),

sekret (-/-), korpus alienum (-/-)

 Mulut

 Bibir tidak pucat, mukosa lembab

 Leher

 Trakea berada di tengah dan tidak terdapat deviasi.

 Kaku kuduk (+)

 Kernig (+)

 Dada

 Bentuk normal, retraksi (-)

 Paru

 Inspeksi : pernapasan dada simetris kanan/kiri

 Palpasi : tactile fremitus simetris kanan/kiri, ekspansi

paru normal

 Perkusi : sonor di kedua lapang paru

 Auskultasi : vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)

 Jantung

 Iktus tidak teraba dan tidak terlihat

 Bunyi jantung S1/S2 regular


 Bising jantung gallop (-), murmur (-)

 Abdomen

 Inspeksi : bentuk dinding perut cembung, supel,

pergerakan dinding perut sesuai dengan irama

pernapasan, tidak terdapat kelainan pada kulit

 Palpasi : nyeri tekan (-), hepatomegali (-),splenomegali

(-)

 Perkusi : timpani

 Auskultasi : bising usus (+) normal

2.4 Pemeriksaan Penunjang:

a. Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap ditemukan leukositosis (22,93x10 3/uL)


dengan neutrofilia (89%). Pemeriksaan cairan otak ditemukan
warna keruh, pleositosis (333/mm3) dengan sel dominan
mononuklear (70%), kadar glukosa rendah (cairan otak 3mg/dL,
darah 115mg/dL), dan kadar protein meningkat (211,9mg/dL).
Pewarnaan gram, preparat tinta India, dan PCR-TB negatif.
Pemeriksaan kultur cairan otak pada media agar darah tampak
koloni bakteri α hemolitik berantai (Gambar 2a). Bakteri ini pada
pengecatan gram positif dari subkultur (Gambar 2b) tampak
berbentuk bulat (pinpoint). Dilakukan identifikasi kuman dengan
VITEX (Biomerieux) diperoleh hasil S. suis tipe II, dilanjutkan
dengan uji sensitivitas. Strain ini sensitif terhadap seftriakson.
b. Radiologi

Ct-scan kepala dengan kontras:

Gambar 1. Gambaran CT scan Kepala tanpa dan dengan Kontras

Kesan : kepala terlihat edema otak difus

2.5 Diagnosis

Meningitis Bakteri

2.6 Tatalaksana
Pasien diterapi dengan seftriakson 2gram IV setiap 12 jam

selama 14 hari dengan terapi tambahan deksametason 10mg IV

setiap 6 jam yang diturunkan bertahap.

2.7 Follow Up

Pasien sadar kembali setelah hari ketiga terapi dan

mengeluh tidak bisa mendengar. Hasil konsultasi THT dilanjutkan

pemeriksaan audiometri menunjukkan tuli saraf bilateral derajat

sedang- berat. Pemeriksaan BAEP (brainstem auditory evoked

potensial) terdapat pemanjangan peak latency gelombang III dan V

pada telinga kiri dan kanan yang sesuai dengan tuli sensorineural

bilateral. Perkembangan selanjutnya terdapat perbaikan klinis dan

pungsi lumbal ulang menunjukkan hasil normal. Namun keluhan tuli

menetap pada pemeriksaan audiometri ulang setelah 2 minggu,

berupa tuli saraf derajat sedang berat.

2.8 Pembahasan

Laporan kasus tentang infeksi S. suis sebagian besar berasal dari

Asia yang memiliki karakteristik wilayah dengan kepadatan populasi

babi tinggi dan kebiasaan makan daging babi mentah atau

setengah matang.Peternakan dan konsumsi daging babi umum

terjadi di Bali sehingga risiko terjadinya meningitis bakterial S. suis

menjadi tinggi. Laporan kasus tentang meningitis S. suis di


Indonesia sudah pernah dilaporkan sebelumnya, namun saat

laporan ini dibuat terjadi peningkatan kasus meningitis S. suis juga

di Bali yang patut diwaspadai kemungkinan terjadinya wabah.

Meningitis merupakan manifestasi paling sering akibat infeksi S.

suis, yaitu sekitar 50- 60%.Gejala klinis yang timbul sama dengan

meningitis bakteri akut oleh penyebab lainnya. Mortalitas yang

terjadi relatif rendah (2,6%), tetapi dengan gangguan pendengaran

yang tinggi (66,4%) dibandingkan dengan S. pneumonia (23,9%).

Pasien mengalami gejala sesuai meningitis bakterial akut dengan

keluhan demam, nyeri kepala, kesadaran menurun, disertai kaku

kuduk dengan hasil pemeriksaan pungsi lumbal mendukung

meningitis bakteri. Perkembangan selanjutnya pasien mengalami

tuli sensorineural derajat sedang-berat pada stadium akut,

mengenai kedua telinga dan bersifat permanen.

Tuli sensorineural pada meningitis S. suis sering terjadi pada

stadium akut meningitis dan mengenai kedua telinga, terutama

pada nada tinggi. Penyebab ketulian pada infeksi S. suis karena

kerusakan pada nervus auditori dan labirintitis supuratif. S. suis

masuk melalui akuaduktus koklearis menuju ke perilimf dan

menimbulkan kerusakan saraf akibat eksotoksin. Tuli ini bersifat

bilateral, berat dan permanen yang dapat terjadi pada awal gejala

meningitis atau beberapa hari kemudian. Ketulian juga dapat


disertai gangguan vestibular dengan keluhan vertigo dan gangguan

berjalan yang bersifat permanen. Pasien memerlukan rehabilitasi

vestibular segera untuk meningkatkan kemandirian mereka dalam

aktifitas sehari-hari.

Penegakan diagnosis infeksi S. suis berdasarkan hasil kultur dari

cairan otak dan atau darah. Kesalahan identifikasi bakteri sering

terjadi dan dilaporkan sebagai Streptococcus viridans (S. viridans).

Penelitian di Thailand menemukan 70% kasus S. viridans

terkonfirmasi sebagai S. suis setelah dilakukan pemeriksaan

lanjutan. S. suis adalah bakteri kokus gram positif, berpasangan

berantai yang memiliki 35 serotipe dengan serotipe 2 yang paling

virulen dapat menyebabkan meningitis, septikemia, artritis dan

sindrom streptokokus syok toksik bahkan pernah terjadi wabah di

Cina.

Penatalaksanaan meningitis bakteri S. suis sama dengan

meningitis bakteri lainnya, pemberian antibiotika harus segera saat

diagnosis ditegakkan. S. suis masih sensitif terhadap penisilin,

seftriakson, dan vankomisin. Durasi penggunaan antibiotika

golongan penisilin dan sefalosporin pada meningitis S. suis sekitar

2-4 minggu. Pada kasus ini pasien menggunakan seftriakson

selama 2 minggu setelah ada perbaikan klinis dan pungsi lumbal

ulang menunjukkan hasil normal dengan komplikasi tuli


sensorineural bilateral. Meskipun penggunaan antibiotika golongan

penisilin dan sefalosporin menunjukkan hasil yang sangat baik

pada meningitis S. suis, ketulian masih sering terjadi dan bersifat

permanen akibat dari proses labirintitis supuratif yang telah terjadi

sebelum pengobatan dimulai. Pemberian deksametason dapat

menurunkan mortalitas pada meningitis bakterial dan mengurangi

komplikasi neurologi termasuk gangguan pendengaran. Penelitian

tentang meningitis s. suis

menunjukkan ketulian masih tetap terjadi walaupun telah diterapi

dengan deksametason, sehingga diperlukan penelitian uji klinis

lanjutan untuk mengevaluasi manfaat dari deksametason pada

meningitis S. suis. Namun pemberiannya tetap disarankan untuk

mengurangi ketulian, terutama didaerah dengan kejadian meningitis

S. suis yang tinggi. Babi merupakan reservoir S. suis, dengan

habitat alami pada saluran pernafasan, saluran cerna, dan

genitalia. Penularan dari babi ke manusia dapat melalui beberapa

mekanisme, antara lain: 1) mengonsumsi makanan dari babi yang

berisiko tinggi (makanan mentah/setengah matang yang berasal

dari darah, organ dan daging); 2) paparan pekerjaan pada

peternakan babi dan pengolahan produk babi; 3) melalui kulit yang

luka ketika memasak produk babi yang terinfeksi.

Infeksi S. suis merupakan penyakit zoonosis yang baru muncul

dengan insidensnya meningkat terutama di Asia (Vietnam, Thailand


dan Cina). Hal ini kemungkinan berhubungan dengan kesamaan

lingkungan dengan banyaknya penduduk yang memelihara babi di

belakang rumah dan kebiasaan mengonsumsi daging babi

setengah matang.

Pasien memiliki kebiasaan memasak dan makan daging babi

setengah matang yang merupakan faktor risiko utama terjadinya

meningitis. Bagi masyarakat Bali, daging babi merupakan hidangan

sehari-hari, bahkan beberapa masakan diolah setengah matang

dan menggunakan darah segar.

Infeksi S. suis merupakan problem kesehatan masyarakat di Asia

yang berpotensi menjadi endemik bahkan epidemik, terutama di

negara dengan peternakan babi. Pencegahan primer harus

diarahkan untuk mengendalikan infeksi S. suis pada peternakan

babi dengan memperhatikan kesehatan babi, ventilasi kandang

yang baik dan kepadatan babi. Pencegahan pada manusia dengan

memperhatikan kebersihan diri dan lingkungan, yang meliputi: 1)

meningkatkan kesadaran kemungkinan infeksi S. suis pada

seseorang yang sering kontak dengan babi atau menangani daging

babi; 2) mencuci tangan, lengan, dan bagian tubuh terbuka lainnya

secara menyeluruh setelah kontak dengan babi atau daging babi;

3) menutup luka terbuka dengan penutup luka anti air; 4) memakai

sarung tangan saat menangani babi; serta 5) menjauhkan daging


babi mentah terpisah dari makanan yang dimasak lainnya dan

memasak daging babi dengan suhu internal 70 OC atau sampai air

kaldu jernih.

2.9 Kesimpulan

Meningitis bakterial S. suis merupakan penyakit zoonosis

dengan tuli sensorineural sebagai komplikasi yang paling sering

terjadi. S. suis harus dipertimbangkan sebagai penyebab meningitis

jika pasien meningitis mengalami tuli sensorineural, berasal dari

daerah peternakan babi dan memiliki riwayat kontak dengan babi

atau produk olahannya


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Meningitis merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh adanya

peradangan atau infeksi pada selaput pelindung otak. (1771). Meningitis

dapat disebabkan oleh beberapa mikroorganisme seperti bakteri, virus

atau pun jamur. Meningitis merupakan masalah kesehatan yang cukup

serius dan mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang cukup

tinggi.1

Meningitis bakterial adalah infeksi meninges oleh bakteri yang

menyebabkan inflamasi. Inflamasi yang terjadi tidak terbatas pada otak

saja, namun dapat meluas ke parenkim otak (meningo-ensefalitis),

ventrikel (ventrikulitis), hingga ke sepanjang tulang belakang.2

3.2 Gambaran Klinis

Beberapa gambaran klinis dan karakteristik pasien dapat

memberikan petunjuk tentang patogen yang bertanggung jawab.

Meningitis karena Neisseria meningitidis dapat dimulai dengan penyakit

seperti in uenza, dengan gejala seperti demam, nyeri otot dan muntah,

sebelum meningitis menjadi jelas secara klinis. Onset cepat dan


perkembangan gejala selama berjam-jam adalah tipikal dan dapat

membantu untuk membedakan kondisi ini dari infeksi virus yang dapat

sembuh sendiri. Seorang pasien dengan meningitis dan ruam petekie atau

purpura yang tidak memucat sangat menunjukkan penyakit

meningokokus, meskipun ruam mungkin juga memucat, makulopapular

atau tidak ada. Tingkat kecurigaan harus sangat tinggi untuk pasien yang

datang dalam konteks epidemi meningokokus yang sudah mapan.

Meningitis karena Streptococcus pneumoniae patut dicurigai pada pasien

dengan kondisi predisposisi, seperti otitis media, sinusitis, mastoiditis,

kebocoran cairan serebrospinal (CSF), implan koklea, asplenia, infeksi

human immunode ciency virus (HIV) atau kondisi atau obat imunosupresif

lainnya.

Karakteristik klinis meningitis bakterial neonatus. Neonatus dengan

meningitis bakteri sering datang dengan gejala nonspesifikfic gejala

seperti lekas marah, makan yang buruk, gangguan pernapasan, kulit

pucat atau marmer dan hiper atau hypotonia. Demam hadir dalam

minoritas (6-39%) kasus. Kejang dilaporkan di 9-34% kasus dan lebih

sering dilaporkan di antara mereka dengan streptokokus grup B (GBS)

dibandingkan dengan E. coli meningitis. Gangguan atau kegagalan

pernapasan sering dilaporkan sebagai salah satu gejala awal meningitis

neonates. Tanda dan gejala klasik meningitis bakterial yang terdiri dari

demam, perubahan status mental, dan kekakuan leher lebih jarang terjadi

pada bayi yang lebih muda dibandingkan dengan anak yang lebih tua dan
orang dewasa. Biasanya meningitis bakteri pada masa kanak-kanak

dimulai dengan demam, menggigil, muntah, fotofobia, dan sakit kepala

parah.3

3.3 Pentalaksanaan

3.3.1 Terapi Antibiotik

Terapi antibiotik secara empirik dilakukan dengan mulai

memberikan ceftriaxon 2 g IV q12h (atau cefotaxime 2 g IV 6qh) jika

pasien terduga terinfeksi organisme yang tidak resisten terhadap

cephalosporin generasi ketiga.

Pewarnaan Gram dilakukan untuk mengetahui jenis bakteri yang

menginfeksi pasien. Jika ditemukan bakteri Gram positif diplokokkus dan

curiga terjadi resistensi penisilin pada daerah terkait, tambahkan

vancomycin 15-20 mg/kg intravena q12h sebagai terapi. Rifampicin

diberikan sebagai alternatif untuk pasien dengan gagal ginjal. Terapi

diberikan selama 14 hari. Namun jika dalam 10 hari pasien sudah pulih,

terapi sudah bisa dihentikan. Dalam kasus resistensi penicillin atau

cephalosporin, terapi tetap diberikan selama 14 hari. Pasien dengan

infeksi sugestif Enterobacteriaceae dan dicurigai adanya resistensi

extended spectrum beta lactamase (ESBL) harus mengganti terapi

dengan meropenem 2 g intravena q8h dan diberikan selama 21 hari jika

sudah terkonfirmasi dengan PCR.


Pasien yang diduga terinfeksi oleh L. monocytogenes karena

memiliki faktor resiko berupa umur di bawah 50 tahun dengan diabetes,

penggunaan obat immunosupresif, atau kanker atau berumur lebih dari 50

tahun dianjurkan untuk menambahkan amoxicillin atau ampicillin untuk

mengeliminasi L. moncytogenes. Sebuah studi menunjukkan bahwa

amoxicillin dosis tinggi sebanyak 1 gram q8h dan gentamicin 1.7 (mg/kg)

q8h merupakan regimen antibiotik terbaik untuk meningitis pada pasien

immunokompromais. Pasien dengan riwayat anaphylaxis terhadap beta

laktam dapat diberikan co- trimoxazole 10-20 mg/kg yang dibagi dalam 4

dosis sebagai terapi alternatif L. monocytogenes. Antibiotik diberikan

minimal 21 hari.

Infeksi oleh N. meningitidis yang terkonfirmasi dengan PCR diterapi

selama 5 hari (Griffiths et al., 2018). Pasien dengan meningitis dapatan

dari perawatan rumah sakit, setelah trauma, setelah neurosurgery, pada

pasien neutropeni, dan gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel

dianjurkan diterapi dengan ampicillin dan ceftazidime atau meropenem

dan vancomycin. 2
Tabel 1. spesifikasific pengobatan antibiotik di rumah sakit untuk meningitis bakteri

3.3.2 Pemberian Dexametason

Pemberian dexamethasone secara rutin semakin banyak dilakukan

oleh praktisi. Belum ada konfirmasi dari khasiat pemberian steroid pada

infeksi N. meningitidis dan H. influenzae untuk meningitis bakterial. Hal ini

terjadi karena sedikitnya kasus yang terjadi atau karena kurangnya

populasi yang terlibat dalam penelitian terkait. Keuntungan Pemberian

steroid dapat terlihat saat meningitis bakterial akibat infeksi S.

pneumoniae, pada pasien dengan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) 8-11,

jumlah white blood cells (WBC) yang rendah (<1000/mm3) pada analisis

CSF, dan pada kelompok anak-anak berupa penurunan angka kerusakan

kemampuan mendengar akibat infeksi H. influenzae.


Deksametason mengurangi peradangan otak, edema dan ICP pada

model eksperimental meningitis bakteri. penggunaan empiris 10 mg

deksametason secara intravena (IV) setiap 6 jam pada pasien dengan

meningitis bakterial meskipun masuk akal untuk mengabaikan hal ini jika

presentasi klinis sangat menyarankan meningitis meningokokus.

Kortikosteroid lain tidak boleh digunakan karena CNS inferiornya

penetrasi. Deksametason harus dimulai sebelum atau bersamaan dengan

dosis antibiotik pertama untuk mengurangi peradangan otak yang

disebabkan oleh bakteriolisis yang dimediasi antibiotik. Tidak jelas apakah

deksametason memiliki manfaat ketika dimulai setelah dosis antibiotik

pertama, meskipun beberapa ahli merekomendasikan bahwa itu dapat

dimulai hingga 4 jam setelah ini. Ada kekhawatiran teoritis bahwa

deksametason dapat menurunkan penetrasi antibiotik ke dalam SSP

dengan mengurangi peradangan meningeal; Namun, satu penelitian

menunjukkan konsentrasi vankomisin CSF yang memadai meskipun

pengobatan dengan deksametason. Untuk alasan yang tidak jelas, efek

menguntungkan dari deksametason tampaknya terbatas pada negara-

negara berpenghasilan tinggi, yang disayangkan mengingat bahwa

meningitis bakteri jauh lebih banyak terjadi di negara berkembang.

Jika meningitis pneumokokus didiagnosis, pengobatan dengan

deksametason harus dilanjutkan selama 4 hari. Deksametason dapat

dihentikan jika meningitis meningokokus didiagnosis. Deksametason juga

harus dihentikan jika Listeria meningitis didiagnosis karena ada bukti


bahwa pasien yang menerima pengobatan ini memiliki tingkat kematian

yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak. 4

DAFTAR PUSTAKA

1. Dedang, T.A.D., Sudewi, A.A.R., Gelgel, A.M. 2018. Karakteristik

dan proporsi meningitis bakteri di Rumah Sakit Umum Pusat

Sanglah Denpasar tahun 2016. Medicina 49(2): 232-235.

DOI:10.15562medicina.v49i2.143

2. Eka Gunadi.2020. Meningitis Bakterial. Fakultas Kedokteran,

Universitas Lampung. Hal 337 – 344 Global Health Science Group

3. Van de Beek, D., Cabellos, C., Dzupova, O., Esposito, S., Klein, M.,

Kloek, A. T.,Brouwer, M. C. (2016). ESCMID guideline: diagnosis

and treatment of acute bacterial meningitis. Clinical Microbiology

and Infection, 22, S37–S62. doi:10.1016/j.cmi.2016.01.007


4. Young, N., & Thomas, M. (2018). Meningitis in adults: diagnosis

and management. Internal Medicine Journal, 48(11), 1294–1307.

doi:10.1111/imj.14102

Anda mungkin juga menyukai