*Prolog*
Penyakitku sama langkanya dengan yang terkenal. Aku mengidap penyakit langka
yaitu Severe Combined Immunodeficiency (SCID) atau Defisiensi Imunitas Kombinasi. SCID
adalah kelainan genetik yang menyebabkan bagian utama dari sistem kekebalan tiruan
lumpuh, penderitanya akan sangat rentan terhadap penyakit infeksi. Apa saja dapat memicu
tubuhnya menjadi sakit antara lain: dari parfum, cairan pembersih atau bumbu makanan yang
dimakan dan masih banyak lagi. Intinya saya alergi pada dunia. Saya tidak meninggalkan
rumah saya. Ya, tidak meninggalkan rumah saya selama tujuh belas tahun. Karena aku harus
hidup dalam ruang yang higenis. Satu-satunya orang yang pernah kulihat adalah ibuku dan
perawatku, Sus Chika. Ayah dan saudara laki-laki ku sudah lama meninggal jauh sebelum
aku lahir dalam peristiwa kecelakaan. Ibuku seorang single parent yang kuat, dia mampu
merawatku hingga sekarang. Akupun kuat, aku harus mengkonsumsi obat, meminum
vitamin, dan sebagainya agar tetap bisa bertahan hidup. Terkadang, aku mempunyai
keinginan untuk bisa pergi jalan-jalan ke luar rumah seperti anak yang lain. Tapi suatu hari
kemudian, sebuah truk yang bergerak tiba di sebelah rumahku. Aku melihat ke luar jendelaku
dan aku melihatnya. Lelaki tinggi, putih dengan cokelat madu pucat, ramping dan
mengenakan pakaian serba hitam. T-shirt hitam, jeans hitam, sepatu kets hitam, dan topi
rajutan hitam yang menutupi rambutnya sepenuhnya. Dia menangkap aku melihatnya dan
menatapku. Aku langsung menatap ke belakang. Namanya Kelvin Sanjaya. Mungkin kita
tidak bisa memprediksi masa depan, tetapi kita bisa memprediksi beberapa hal. Misalnya,
saya pasti akan jatuh cinta pada Kelvin. Ini hampir pasti akan menjadi bencana besar dalam
hidupku.
01. Ruang Putih
Di kamar putihku, di dinding putihku, di rak buku putihku yang berkilauan, duri buku
memberikan satu-satunya warna. Buku-buku itu semuanya hardcover baru. Tidak ada
softcover bekas yang kotor bagi saya. Semua buku” itu masuk kepalaku melalui proses yang
panjang, mereka harus disterilkan dulu oleh Sus Chika.
Ketika sebuah buku baru tiba, tugas pertama saya adalah melep.askan pembungkusnya,
sebuah proses yang melibatkan gunting kesayanganku. Tugas kedua ku adalah menulis nama
panjangku di sampul depan bagian halaman buku. “Chlara Lasintha” Aku menulis huruf demi
huruf sangat hati-hati. Meskipun tidak bersekolah seperti anak sepantaraku. Aku bisa
membaca buku, berhitung, bermain tebak kata, homescholling ( belajar via online) dengan
sesekali mentorku mendatangiku ke rumah. Kata ibuku, setidaknya aku harus tetap
mendapatkan pendidikan yang baik meskipun aku tak pernah keluar rumah. Tidak tahu
mengapa aku melakukan ini. Tidak ada orang lain di sini kecuali ibuku, yang tidak pernah
membaca, dan perawatku, Sus Chika, yang tidak punya waktu untuk membaca karena dia
menghabiskan seluruh waktunya untuk melihatku bernapas. Aku jarang mendapat
pengunjung, jadi tidak ada yang meminjamkan buku kepada ku. Tidak ada orang yang perlu
diingatkan bahwa buku yang terlupakan di raknya adalah milik saya. Pada dasarnya, saya
alergi terhadap dunia. Apa pun bisa memicu serangan penyakit. Bisa jadi bahan kimia di
pembersih yang digunakan untuk mengelap meja yang baru saja saya sentuh. Bisa jadi itu
parfum seseorang. Bisa jadi bumbu eksotis dalam makanan yang baru saja saya makan. Itu
bisa salah satu, atau semua, atau tidak satu pun dari hal-hal ini, atau sesuatu yang lain sama
sekali. Tidak ada yang tahu pemicunya, tetapi semua orang tahu konsekuensinya. Menurut
ibuku, aku hampir mati saat masih bayi. Jadi aku tetap di baris SCID. Aku tidak
meninggalkan rumah. Ayah dan kakakku meninggal dalam peristiwa kecelakaan sejak aku
bayi. Hanya aku dan ibuku yang selamat dalam peristiwa itu. Jadi, tidak ada salahnya jika
ibuku sangat proteksi terhadap kesehatanku. Kesehatanku di cek secara rutin dan ada catatan
khusus per hari mengenai perkembangan kesehatanku. Ibu selalu memastikan agar kesehatan
selalu stabil. Segala sesuatu yang akan ku sentuh, harus disterilkan terlebih dahulu. Aku
mempunyai alat untuk menstetilkan udara di dalam rumahku. Sus Chika, perawat penuh
waktu, akan mengukur tekanan darah saya dan mengisi catatan kesehatan harian ku. Dia
memakai stetoskopnya sehingga dia bisa mendengarkan detak jantungku. Senyumnya
memudar dan digantikan oleh wajah dokternya yang lebih serius. Ini adalah wajah yang
paling sering dilihat pasiennya agak jauh, profesional, dan penuh perhatian. Aku ingin tahu
apakah mereka merasa nyaman. Secara impulsif aku memberinya ciuman cepat di dahi untuk
mengingatkannya bahwa hanya aku, pasien favoritnya, putrinya. Dia membuka matanya,
tersenyum, dan membelai pipiku. Saya kira jika kalian akan dilahirkan dengan penyakit yang
membutuhkan perawatan terus-menerus, maka ada baiknya memiliki ibu sebagai dokter
pribadi Anda.
Tetap sama, aku sedang membaca di sofa putihku ketika Chika datang keesokan paginya. Dia
mengambil catatan kesehatan saya dari kemarin, dengan cepat meninjau pengukuran ibu saya
dan menambahkan lembar baru ke papan klip. Chika menatapku tajam selama beberapa
detik. Aku tahu apa yang dia pikirkan
03. Awal Dari Semuanya
Dari jendela kamar, aku melihat truk dan siluet seorang wanita tua berputar-putar. Saya
melihat seorang pria yang lebih tua di belakang truk.
Aku melihat seorang gadis yang mungkin sedikit lebih muda dari ku. Lalu aku
melihatnya. Dia tinggi, kurus, dan mengenakan serba hitam: T-shirt hitam, celana jeans
hitam, sepatu kets hitam, dan topi rajutan hitam yang menutupi rambutnya sepenuhnya. Dia
tinggi, berkulit putih dengan cokelat madu pucat dan wajahnya sangat bersudut. Dia
melompat turun dari tempat bertenggernya di bagian belakang truk dan meluncur melintasi
jalan masuk, bergerak seolah-olah gravitasi memengaruhinya secara berbeda daripada kita
semua. Dia berhenti, memiringkan kepalanya ke satu sisi, dan menatap rumah barunya
seolah-olah itu adalah teka-teki. Dia menatapku. Mata kami bertemu. Samar-samar aku
bertanya-tanya apa yang dia lihat di jendelaku. Gadis aneh berbaju putih dengan mata
terbelalak. Dia menyeringai padaku dan wajahnya tidak lagi kaku, tidak lagi parah. Aku
mencoba untuk tersenyum kembali, tapi aku sangat bingung sehingga aku malah
mengerutkan kening padanya. Saya memata-matai. Kamar tidurnya ada di lantai dua dan
hampir tepat di seberang kamarku dan gorden jendelanya hampir selalu terbuka. Beberapa
pagi dia tidur sampai siang. Yang lain, dia pergi dari kamarnya sebelum aku bangun untuk
memulai pengawasanku. Namun, sebagian besar pagi hari dia bangun jam 9 pagi keluar dari
kamar tidurnya dan berjalan. Aku baru saja duduk di meja makan untuk makan malam. Ibuku
meletakkan serbet kain di pangkuanku dan mengisi gelas airku dan kemudian gelas Sus
Chika. Makan malam hari ini sangat istimewa dan menyenangkan, sampai kita tidak
mendengar ada suara ketukan pintu dari luar.
Sudah malam siapa yang ingin berkunjung? Tanyaku dalam hati.
Kemudian ibu berkata, “Sus, tolong buka kan pintu dan lihat ada siapa di depan.”
“Baik bu” dengan segera Sus Chika membuka kan pintu.
Terdengar suara dua orang wanita sedang bercakap-cakap di luar rumah, ibuku menghampiri
Sus dan ternyata yang datang adalah tetangga baru kami, yaitu Bundanya Kelvin.
Dia memberikan kami sepotong kue sebagai tanda persahabatan awal mereka. Mereka sedang
merayakan ulang tahun anaknya yang kedua, yaitu Rere adiknya Kelvin. Dari situ, aku
mengetahui jika ulang tahunku dengan calon adik iparku bersamaan.
“Terimakasih ya Bu, sudah mau repot-repot mengantarkannya kesini.” Ucap ibuku
“Sama-sama Bu, sebagai tanda awal keakraban kita.” Sahut Ibunda Kelvin.
Kemudian ibuku menyuruh bunda Kelvin untuk masuk terlebih dahulu, karena ibuku juga
berniat memberinya sisa kue ulang tahunku yang telah kami buat pagi tadi.
“Tunggu sebentar ya Bu, biar Sus ambilkan kue ulang tahun juga buat Ibu. Kebetulan, anak
perempuan saya nomor dua juga berulang tahun hari ini.”
Sus Chika pun datang dan membawa sebuah kotak nasi berisi kue.
“Kalau begitu, saya izin pamit. Terimakasih banyak.” Ucap Ibunda Kelvin dengan senyum
“Baik, sama-sama buk. Saya memang jarang keluar rumah, karena saya bekerja hampir
seharian di kantor.”
“PERMISI...” Ucap Ibunda Kelvin
Ibu dan Sus Chika kembali menghampiriku di meja makan. Ibuku bercerita, bahwa kita
kedatangan tetangga baru yang sangat baik. Mereka baru pindahan pagi tadi.
“Apakah itu keluarga Kelvin?” Aku bertanya pada hatiku
Aku terus mengamati rumah tersebut, hingga aku pun tertidur pulas.
Pesan Whatsapp:
“Hallo, Chlara. Ini aku Kelvin.”
“Hay Kelvin, oh ini nomor kamu ya? OK aku save yah.”
“OK Chika, Apakah kamu sudah makan malam?”
“Sudah, baru saja selesai”
“Oh, ya sudah, selamat malam. Tidur dengan nyenyak.”
“Terimakasih, Kelvin. Kamu juga”
Malam ini, aku merasakan ada hal yang aneh dalam hidupku, rasanya hidupku lebih
berwarna, aku senang entah mengapa rasanya ada hal yang berbeda dalam hidupku. Apakah
ini yang dinamakan ‘jatuh cinta’? pikirku. Apakah pantas wanita yang tidak sempurna
sepertiku mencintai laki-laki sepertinya? Aku yang serba keterbatasan ini apakah pantas
merasakan ‘jatuh cinta’? Hari demi hari, kata Sus Chika kondisi kesehatanku semakin
membaik, bahkan hampir sempurna.
05. Ketidaksempurnaan
Hingga saat ini aku masih merahasiakan komunikasi ku bersama Kelvin dari Ibuku dan Sus
Chika. Hingga pada akhirnya, tingkat keberanianku dan Kelvin sampai saat kita berani
mengobrol di depan jendela. Kelvin menghampiriku saat sore hari. Dari situ, aku mengetahui
jika Kelvin yaitu tuna wicara. Dia bisa berbicara tetapi tidak bisa mengeluarkan suara.
Karena ada kelainan pada pita suaranya. Katanya, penyakit tersebut sudah ia idap sejak dia
berumur 5 tahun.
Aku sedih, ternyata Kelvin tidak sesuai ekspetasiku. Namun semua pikiran itu ku kembalikan
pada diriku, jika Kelvin mengetahui aku mengidap penyakit langka? Apakah dia juga akan
bersedih karena hal ini? Apakah dia akan langsung meninggalkanmu? Entah semua
pertanyaan tersebut selalu menghantui diriku. Tiba-tiba hp ku berbunyi.
Pesan Whatsapp:
“Hay, Chlara. Apakah kau kecewa Apakah kau malu mempunyai teman sepertiku? Maafkan
aku jika memang kehadiranku membuatmu terganggu. Aku mengatakan ini semua dari awal
karena aku tak mau menyembunyikan kekuranganku terlalu terhadapku? lama terhadapmu.
Aku tak ingin menjadi manusia yang menutupi ketidaksempurnaan ku ini.”
“Hallo Kelvin, tidak apa. Aku bersyukur kamu sudah mau jujur denganku. Suatu saat kamu
juga akan tahu siapa aku sebenarnya. Aku belum sanggup menceritakannya sekarang.”
“Aku tidak akan mengganggu mu untuk beberapa hari kedepan, aku tahu kamu sedang
memikirkan banyak hal.”
“Tidak apa-apa, Kelvin. Its OK. Semuanya akan baik-baik saja. Aku tak akan berubah.”
‘Baik, Chlara”
Sudah hampir seminggu Kelvin tidak menghubungiku melalui Whatsapp. Aku pun tak pernah
melihat dia di jendela kamarnya. Entah mengapa beberapa hari ini, jendela nya selalu tertutup
tidak seperti biasanya. Setelah ku pikir-pikir, tak ada salahnya jika aku dahulu yang
menghubunginya, mungkin dia masih malu atau kurang nyaman setelah mengatakan
semuanya terhadapku.
Pesan Whatsapp:
“Hai, Kelvin? Kemana saja kamu? Apa kabarmu?”
“Iya, Chlara. Aku tidak kemana-kemana dan aku baik-baik saja.”
“Lalu mengapa kamu tidak pernah keluar rumah seperti biasanya?
“Aku sedang menjalani terapi di salah satu kota, aku akan pulang lusa. Apakah kamu mau
menemui ku?”
“Kita lihat saja lusa ya, kamu pulangnya hati-hati. Aku mau homescholling dulu, sampai
bertemu lusa.”
Hari yang ku nanti-nantikan pun tiba, aku melihat mobil Kelvin tiba dirumahnya. Suara bel
rumah berbunyi, kulihat Kelvin dan adiknya Rara ada di depan pintu. Sus Chika segera
membuka kan pintu. Ternyata Kelvin membawa sebuah bingkisan oleh-oleh. Kunjungan
tersebut dimanfaatkan Kelvin untuk bertemu langsung denganku. Tetapi, Sus Chika melarang
untuk melewati batas ruang sterilisasi udara. Aku hanya mendengar percakapan mereka.
“Silahkan masuk, Dik.” Ucap Sus Chika
“Kami berdua diberi perintah Bunda untuk mengantarkan bingkisan ini kesini, Buk.” Ucap
Rere
“Baiklah, minta tolong sampaikan ucapan terimakasih dari kita untuk Bunda kalian ya.”
Sahut Sus Chika
“Baik, Bu. Nanti saya sampaikan ke Bunda. Saya Permisi” kata Rere sambil menutup pintu.
“Baik. Kalian hati-hati ya” Ucap Sus Chika sambil melambaikan tangan.
Aku pura-pura menanyakan kepada Sus Chika, “Siapa yang datang, Sus?”
“Tetangga sebelah, Non. Mereka memberi kita sebuah bingkisan oleh-oleh dari luar kota.
Apakah kamu mau memakannya? Kalau iya, biar Sus siapin.” Sahut Sus Chika
“Isi bingkisannya apa, Sus? Aman kah jika aku memakannya?” Ucapku
“Bolu panggang. Aman, Sayang. Chlara mau berapa potong?” Tanya Sus Chika
“Aku mau coba satu saja, Sus.” Jawabku
Hari mulai malam, aku pun bergegas pergi ke kamar untuk beristirahat. Hari ini aku sangat
kelelahan, aku tak mau kondisi kesehatanku menurun besok. Besok pagi adalah jadwalku
untuk disuntik vitamin oleh suster kesayanganku.
Kelvin memandangku dengan sangat tulus, tanpa dia sadari. Yang dia hadapi sekarang adalah
anak perempuan yang memiliki penyakit aneh dan langka. Kita menghabiskan waktu di siang
hari ini dengan mengobrol sambil menghabiskan makan siang. Tak terasa, waktu
menunjukkan pukul 4 sore dan Ibu akan segera pulang. Untung saja, Kelvin meminta izin
untuk pamit karena akan mengantar papahnya.
“Hati-hati, Kelvin.” Ucapku
“Dia menganggur dan memberikan gerakan isyarat yang menandakan ucapan terimakasih.”
“Sama-sama” Ucapku bersamaan dengan Ucap Sus Chika.
Setelah Kelvin pulang, aku menunggu Sus Chika yang sedang membersihkan meja makan.
“Suss...” Aku memanggilnya
“Ada apa, Chlara?”
“Sejak aku mengenal Kelvin, mengapa aku merasa hidupku lebih berwarna ya, Sus? Apakah
seperti ini rasanya jatuh cinta?” Tanyaku yang kebingungan
“Yang terpenting, sekarang Chlara cepat pulih dan bisa beraktivitas seperti layaknya
kebanyakan orang ya, Nak. Anggap saja, Kelvin sebagai sahabat dekat Chlara yang bisa
mengsupport kamu. Sus juga ikut senang kalau Chlara senang.” Ucap Sus Chika
“Terimakasih banyak ya sus, aku izin mau ke kamar dulu. Mau tidur, ngantuk.” Ucapku
“Baik, Nona Chlara. Tidur yang nyenyak. Nanti kalau ibu datang, Sus bangunkan.”
Bayangkan saja, selama 18 tahun aku tak pernah keluar rumah, bukankah aku gadis yang
malang? Aku tak bisa menghabiskan waktuku seperti gadis lain pada umumnya.” Ucapku
sambil menahan tangis
“Ttttapi, Sus takut ibu marah jika mengetahui hal ini, Non.” Muka Sus Chika terlihat cemas.
“Aku akan merahasiakan hal ini dari Ibu, jadi Sus tenang saja.”
“Sus takut dimarahi ibu, Non” Sus Chika kembali menolak.
“Ayolahh, Sus. Sekali ini saja.” Seruku.
“Baiklah, tapi Non Chika harus berjanji dengan saya. Agar kondisi mu harus tetap stabil,
tidak boleh drop.” Tegas Sus Chika.
“Terimakasih susterku yang baik hati.” Rayuku.
“Toh kemarin aku kan habis suntik vitamin dan semua hasil cek laboratorium ku semuanya
bagus.” Ucapku meyakinkan Sus Chika.
“Kita akan pergi kapan, Non?” Tanya nya.
“Yahh, kok kita? aku mau pergi sendiri dong, Sus.” Jawabku dengan kesal.
“Tidak bisa, Non. Bagaimanapun saya sudah berjanji dengan diri saya untuk selalu menjaga
kamu dimanapun dan kapanpun.” Tegas Sus Chika.
“Dekat kok, Sus. Kan cuma di taman depan.” Ucapku dengan kesal.
“Jika Non Ara tidak mengizinkan saya untuk ikut, saya tidak berani membiarkan kamu pergi
keluar rumah.” Tegas Sus Chika.
“Yasudah, tapi sus hanya lihat dari kejauhan saja ya. Aku tidak mau kalau Kelvin tahu bahwa
aku ini seorang gadis pengidap SCID.”
“Kalau begitu terserah Non Chlara, yang penting aku bisa mengawasimu.”
Kita berdua bergegas untuk bersiap-siap.
08. Hari Bahagia
Aku harus memakai masker, rajin memakai handsanitizer setelah memegang sesuatu. Aku
harus menjaga jarak dari orang disekitarku. Aku tak boleh sembarangan membeli makanan
atau minuman. Aku dan Kelvin berjanjian untuk pergi ke taman pada pukul 4 sore. Kami
bedua terlihat sangat akrab seperti orang yang sudah lama kenal. Banyak sekali topik
pembicaraan yang kita obrol kan, meskipun aku masih belum terlalu biasa mengartikan
bahasa isyarat yang diberikan oleh Kelvin. Kita berdua menghabiskan waktu bersama,
terlihat dari raut muka Kelvin bahwa dia sangat bahagia. Begitu pun denganku, aku bagaikan
gadis yang baru saja melihat dunia. Aku sangat senang sekali.
“Kamu ingin minum apa? Biar aku belikan.” Tanya Kelvin menggunakan bahasa isyarat.
“Tidak usah, Vin. Aku tidak haus.” Jawabku
“Benarkah?” Ia kembali meyakinkan jawabanku.
“Iya Kelvin Sanjaya, bawel banget sih.”
Balasnya dengan senyum lebar.
Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, aku sudah diberi kode oleh Sus Chika untuk segera
pulang. Takut jika ibu sudah pulang.
“Aku lupa belum mengerjakan tugas dari mentorku, Vin. Bagaimana jika kita pulang
sekarang? Kalau kamu belum ingin pulang, biar aku pulang sendiri.”
“Tidak, aku akan pulang bersamamu.”
Kita berdua pun berjalan kaki menyusuri semua bagian taman. Sesampainya di depan pintu
rumah kita masing-masing , kita berdua melambaikan tangan dan tersenyum bahagia.
Aku merasakan ada sesuatu hal yang elum pernah aku rasakan sebelumnya. Ibu pulang pukul
7 malam. Aku dan Sus Chika menyambutnya dengan hangat. Kami makan malam dengan
sangat harmonis lalu kita pergi ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Aku insomnia
karena aku terus memikirkan perihal perkenalkanku dengan lelaki yang tak pernah ku
sangka-sangka sebelumnya. Karena pikirku aku hanyalah gadis lemah yang harus terkurung
dalam ruang putih selama hidupku. Gadis yang berhalusinasi untuk bisa keluar rumah. Aku
merasa bersalah kepada ibu karena telah membohonginya. Tetapi, aku merasakan tubuhku
baik-baik saja setelah aku keluar rumah. Aku berantisipasi meminum vitamin yang sudah
disiapkan oleh Sus Chika. Tiba-tiba aku mendengar handphone ku berbunyi.
Pesan Whatsapp:
“Malam, Chlara. Bagaimana perasaanmu hari ini? Kamu bahagia tidak? Kalau aku boleh
bercerita, aku bahagia bisa mengenalmu lebih dekat. Semoga persaabatan kita aadi sampai
maut memisahkan kita ya, Ra.” Isi ketikan Kelvin.
“Malam juga, Kelvin. Sama kok, aku juga bahagia hari ini. Terimakasih atas waktunya ya.
Iih apaan sih, pakai bahas-bahas maut segala.”Balasku.
“Yasudah, kalau begitu selamat malam dan mimpi indah ya, Ra. Jangan begadang ya.
Sampai bertemu di hari-hari berikutnya.”
“Kamu juga mimpi indah ya, Vin.”
Aku tertidur pulas malam ini. Aku merasakan sesuatu yang damai dalam hidupku. Ya, doa ku
di ulang tahun ku. Aku mendapatannya sekarang, “Perdamaian Dunia”. Doa yang selalu
aku panjatkan selama hampir 20 tahun akhirnya terwujud meskipun belum sepenuhnya.
Aku sakit.
Aku lebih dari sakit.
Aku sekarat.
Ya Tuhan...
Ini akan menghancurkan hatinya. Dia bangun segera setelah saya memikirkannya.
"Chlara kenapa?" dia bertanya ke dalam kegelapan. Dia menyalakan lampu samping tempat
tidur dan mataku terbakar. Aku meremasnya dan mencoba untuk berpaling. Aku tidak ingin
dia melihatku seperti ini, tapi sudah terlambat. Aku melihat wajahnya berubah dari
kebingungan, menjadi pengakuan, menjadi tidak percaya.
"Maaf," kataku, atau mencoba mengatakannya, tapi kurasa kata-kata itu tidak berhasil
melewati bibirku. Dia menyentuh wajahku, leherku, dahiku. Aku pingsan dan dibawa ke
sebuah kamar di penginapan.
"Dingin," kataku parau, dan dia terlihat semakin ketakutan.
Dia menutupiku dan memeluk kepalaku sembari bertanya, "Kau baik-baik saja," katanya.
"Kamu akan baik-baik saja."
Aku tidak, tapi itu bagus dari dia untuk mengatakan begitu. Tubuhku berdenyut nyeri dan
tenggorokanku terasa seperti bengkak. Aku tidak bisa mendapatkan cukup udara.
"Aku butuh ambulans," aku mendengarnya berkata.
Aku memutar kepalaku. Kapan dia sampai di sisi ruangan itu? Di mana kita?, Dia di telepon.
Dia sedang membicarakan seseorang. Seseorang sakit. Ada yang sakit. Sekarat. Keadaan
darurat. Obat tidak bekerja. Dia berbicara tentang ku dengan sangat kesulitan, karena orang
yang sedang ditelfonnya tidak begitu paham dengan apa yang ia katakan. Dia
menangis. Jangan menangis. Chlara akan baik-baik saja. Ibumu akan baik-baik saja. Dan
kamu akan baik-baik saja. Sesuatu bersinar di tangannya yang lain. Ini ponselnya. Dia
mengatakan sesuatu, tapi kata-katanya tidak jelas.
Sesuatu, Mama? Ibumu?
Ya, Ibu. Aku butuh ibuku. Dia sudah dalam perjalanan.
"Saya berharap dia dekat." Ucap Kelvin
Aku memejamkan mata dan meremas jari-jarinya. Aku kehabisan waktu, jantungku mulai
melemah dan kondisiku semakin drop.
"Kenapa aku? Mengapa aku seperti ini? Apakah penyakitku kambuh? Apakah hal ini yang
membuat ibu selalu melarangku untuk tidak pergi kemana-mana? Kemana Sus Chika? Aku
sangat membutuhkannya kali ini." rintihanku dalam tangis. Aku memejamkan mata dan
meremas jari-jarinya. Aku kehabisan waktu, jantungku mulai melemah dan kondisiku
semakin drop.
"Kenapa aku? Mengapa aku seperti ini? Apakah penyakitku kambuh? Apakah hal ini yang
membuat ibu selalu melarangku untuk tidak pergi kemana-mana? Kemana sus chika? Aku
sangat membutuhkannya kali ini." rintihanku dalam tangis.
Aku ingat wajah ibu ku dan bagaimana air matanya bisa membuat lautan. Aku ingat mata
biru Kelvin menjadi hitam. Aku menutup diriku terhadap kesedihan dan kelegaan dan cinta
yang aku lihat di sana. Aku dalam perjalanan ke rumah. Aku akan tetap terjebak di sana
selamanya. Aku hidup dan tidak ingin menjadi diterima kembali. Ibuku telah mengubah
kamar tidurku menjadi bangsal rumah sakit. Aku ditopang oleh bantal di tempat tidur saya
dan dipasang ke infus. Aku dikelilingi oleh peralatan pemantauan. Aku tidak makan apa-apa
selain bubur. Setiap kali aku bangun, dia ada di sisiku. Dia menyentuh dahiku dan berbicara
kepadaku. Kadang-kadang saya mencoba untuk fokus, untuk memahami apa yang dia
katakan, tetapi suaranya di luar jangkauan ku. Aku bangun lagi suatu saat (berjam-jam?
berhari-hari?) kemudian menemukan dia berdiri di sampingku, mengerutkan kening. Aku
memejamkan mata dan menginventarisasi tubuhku. Tidak ada yang sakit atau, lebih tepatnya,
tidak ada yang terlalu sakit. Aku memeriksa kepalaku, tenggorokanku, kakiku. Mereka semua
baik-baik saja. Aku membuka mata lagi untuk menemukan dia akan membuat ku kembali
tidur karena obat yang diberikannya. Aku menarik diriku untuk duduk dan
menatapnya. Kulitku pucat, hampir tembus pandang, dan terlalu ketat di wajahnya. Vena biru
yang tampak menyakitkan membentang dari garis rambutnya ke kelopak matanya. Aku bisa
melihat pembuluh darah biru lainnya tepat di bawah kulit lengan dan pergelangan
tanganku. Dia memiliki mata yang ketakutan dan tidak percaya dari seseorang yang
menyaksikan sesuatu yang mengerikan dan sedang menunggu lebih banyak kengerian yang
akan datang.
“Bagaimana kamu bisa melakukan ini pada dirimu sendiri? Apakah kamu siap untuk mati
dan meninggalkan ibu?” bisik ibu kepadaku.
Dia melangkah lebih dekat, sembari berkata, "Bagaimana Kamu bisa melakukan ini semua
padaku? Setelah semuanya yang sudah ibu lakukan untukmu?”
Aku ingin mengatakan sesuatu. Aku membuka mulut untuk mengatakannya, tapi tidak ada
yang keluar. Rasa bersalah adalah lautan bagi saya untuk tenggelam. Aku tetap di tempat
tidur setelah dia pergi. Aku tidak bangun untuk meregangkan tubuh. Aku memalingkan
wajahku dari jendela. Apa yang saya sesali? Bahwa aku pergi ke luar di tempat yang
indah. Bahwa saya melihat dan jatuh cinta dengan dunia. Bahwa aku jatuh cinta pada
Kelvin. Bagaimana saya bisa menjalani sisa hidup saya dalam gelembung ini sekarang
setelah saya tahu semua yang saya lewatkan? Aku memejamkan mata dan mencoba untuk
tidur. Tapi melihat wajah ibuku sebelumnya, semua cinta putus asa di matanya, tidak akan
meninggalkanku. Aku kemudian memutuskan bahwa cinta adalah hal yang mengerikan dan
mengerikan. Mencintai seseorang sekuat ibuku mencintaiku pasti seperti memakai hatimu di
luar tubuhmu tanpa kulit, tanpa tulang, tanpa apapun untuk melindunginya. Cinta adalah hal
yang mengerikan dan kehilangannya bahkan lebih buruk. Cinta adalah hal yang mengerikan
dan saya tidak ingin ada hubungannya dengan itu.
Tidak ada yang sakit kecuali hatiku, tapi aku berusaha untuk tidak menggunakannya. Aku
menutup tirai. Aku membaca buku-buku ku. Yang eksistensial atau nihilis. Aku tidak punya
kesabaran untuk buku-buku yang berpura-pura hidup memiliki makna. Aku tidak punya
kesabaran untuk akhir yang bahagia. Aku tidak memikirkan Kelvin. Dia mengirimi saya
email yang saya buang tanpa membacanya. Setelah dua minggu saya cukup kuat untuk
melanjutkan beberapa kelas online. Dua minggu lagi dan aku bisa melanjutkan semuanya.
Aku masih tidak memikirkan Kelvin. Saya masih membuang lebih banyak emailnya. Ibuku
masih berusaha memperbaikiku. Kekhawatiran dan rewel mengelola putri nakalnya
ini. Sekarang setelah aku lebih kuat, dia membujukku kembali. Seperti Kelvin, dia ingin
hidup kita kembali seperti semula. Aku tidak menikmati malam-malam kami bersama. Aku
tidak benar-benar menikmati apa pun, tetapi aku melakukannya untuknya. Keesokan harinya,
Sus Chika sibuk masuk. Kesibukannya bahkan lebih ramai dari biasanya, dan dia berpura-
pura tidak ada waktu yang berlalu sama sekali. Dia segera menghampiriku.
"Aku minta maaf," katanya. "Itu semua salah ku."
Aku menahan diri kaku terhadapnya, tidak ingin larut. Jika aku menangis, semuanya akan
menjadi nyata. Aku benar-benar harus menjalani hidup ini. Aku benar-benar tidak akan
pernah melihat Kelvin lagi. Aku mencoba bertahan tapi aku tidak bisa. Dia adalah bantal
lembut tempat ku seharusnya menangis. Begitu aku mulai, aku tidak berhenti selama satu
jam. Dia basah kuyup dan aku tidak punya air mata lagi. Dapatkah Anda mencapai akhir air
mata? Aku penasaran. Aku menjawab pertanyaan ku sendiri dengan menangis lagi.
“Bagaimana kabar ibumu?” dia bertanya kapan aku akhirnya berhenti.
“Dia tidak membenciku.”
“Mama tidak tahu bagaimana membenci bayi mereka. Mereka terlalu mencintai mereka.”
“Tapi dia harus. Aku putri yang mengerikan. Aku melakukan hal yang mengerikan.”
Lebih banyak air mata keluar, tetapi Sus Chika menyekanya dengan sisi tangannya.
"Bagaimana dengan Kelvin-mu?"
Aku menggelengkan kepalaku padanya. Aku akan memberitahu Sus Chika apa saja, tapi
tidak ini. Hatiku terlalu memar dan aku ingin menyimpan rasa sakit itu sebagai
pengingat. Saya tidak ingin sinar matahari di atasnya. Aku tidak ingin itu sembuh. Karena
jika ya, aku mungkin tergoda untuk menggunakannya lagi. Kami kembali ke rutinitas normal
kami. Setiap hari seperti hari sebelumnya dan tidak jauh berbeda dengan hari berikutnya. Aku
mencoba untuk tidak fokus pada Kelvin, tapi itu tidak mungkin. Hatiku sama sekali tidak
peduli dengan apa yang dipikirkan otakku. Aku melihat saat yang tepat saat dia merasakan
mataku menatapnya. Dia menghentikan apa yang dia lakukan dan berbalik. Mata kami
bertemu. Ini berbeda dari yang pertama kali. Pertama kali adalah tentang
kemungkinan. Bahkan kemudian, sebagian dari diriku tahu bahwa aku akan mencintainya.
Kali ini tentang kepastian. Aku sudah tahu bahwa aku mencintainya, dan saya tahu sekarang
bahwa saya tidak akan berhenti. Aku berharap aku bisa membatalkan beberapa bulan terakhir
mengenalnya. Aku akan tinggal di kamar putihku. Aku akan mendengar suara truk di sebelah
dan aku akan tetap duduk di sofa putihku di kamar putihku membaca buku-buku baruku. Aku
akan mengingat masa lalu ku dan kemudian aku akan ingat untuk tidak mengulanginya.
Sebulan kemudian, tepat setelah Natal, ayah Kelvin juga pindah. Melalui jendela kamarku,
aku melihatnya membawa hanya beberapa kotak ke truk. Aku berharap dengan harapan
bahwa dia tidak akan pergi ke mana pun Kelvin dan Rere dan Bunda mereka dimanapun
berada. Selama berhari-hari setelah saya menatap rumah itu, bertanya-tanya bagaimana
rumah itu masih bisa terlihat sama, tampak begitu kokoh dan seperti rumah ketika tidak ada
orang di sekitar yang menjadikannya rumah. Aku menunggu beberapa hari lagi sebelum
akhirnya membaca e-mail yang dikirim Kelvin. Mereka masih di folder sampah, seperti yang
aku tahu. Dia bercerita tentang mencoba meyakinkan ibunya untuk mendapatkan bantuan dan
tentang mencoba menyelamatkan ku dari Ibuku. Dia tidak yakin percakapan mana dengan
ibunya yang akhirnya meyakinkannya. Bisa jadi karena dia mengatakan padanya bahwa dia
tidak bisa menjadi bagian dari keluarga lagi jika dia tinggal. Terkadang kamu harus
meninggalkan orang yang paling mencintaimu, katanya. Atau, katanya, bisa jadi ketika dia
akhirnya bercerita tentang saya dan tentang betapa sakitnya saya dan bagaimana saya rela
melakukan apa saja hanya untuk hidup. Dia mengatakan bahwa dia pikir aku berani.
Matematika Kelvin mengatakan dia tidak bisa memprediksi masa depan. Ternyata kamu juga
tidak bisa memprediksi masa lalu. Waktu bergerak ke dua arah maju dan mundur dan apa
yang terjadi di sini dan sekarang mengubah keduanya. Tiba-tiba hp ku berbunyi dan ada
email masuk dari sebuah dokter di rumah sakit yang kemarin aku tempati sewaktu berada di
Sumba.
Anda mungkin tidak ingat saya. Nama saya Dr. Fellicia Angelista. Anda berada di bawah
perawatan saya di Rumah Sakit Cipta Medika di Sumba selama beberapa jam dua bulan lalu.
Saya merasa penting untuk menghubungi Anda secara langsung. Anda perlu tahu bahwa saya
telah mempelajari kasus Anda dengan sangat cermat. Saya tidak percaya Anda pernah, atau
pernah, SCID. Aku tahu ini pasti mengejutkan. Saya telah melampirkan beberapa hasil tes di
sini dan saya sarankan Anda mendapatkan pendapat kedua (dan ketiga).
Saya percaya bahwa Anda harus mendapatkan dokter lain selain ibu Anda untuk
memverifikasi temuan saya. Dokter seharusnya tidak pernah berlatih pada keluarga mereka.
Menurut pendapat medis saya, di Hawaii bulan lalu Anda mengalami episode miokarditis
yang dipicu oleh infeksi virus. Saya percaya bahwa sistem kekebalan Anda sangat rapuh
mengingat apa yang dapat saya duga tentang sifat pengasuhan Anda. Jangan ragu untuk
menghubungi saya dengan pertanyaan yang mungkin Anda miliki. Semoga beruntung.
Salam,
Dr. Fellicia Angelista
Aku membaca e-mail enam kali sebelum huruf-huruf itu membentuk kata-kata dan kata-kata
itu membentuk kalimat yang bisa saya pahami, tetapi, meskipun demikian, arti dari semua
kata yang digabungkan itu tidak dapat saya pahami. Aku beralih ke lampiran yang
menunjukkan hasil tes lab. Semua angka saya sangat rata-rata, tidak terlalu tinggi, tidak
terlalu rendah. Tentu saja ada beberapa kesalahan. Tentu saja ini tidak benar. Dr. Fellicia
telah mengacaukan bagan saya dengan bagan orang lain. Ada lagi Chlara Lasintha. Dia
seorang dokter yang tidak berpengalaman. Dunia ini begitu kejam. Aku percaya semua hal ini
benar, tapi tetap saja. Aku mencetak email, hasil tes lab dan semuanya. Aku tidak bergerak
dalam gerakan lambat. Waktu tidak mempercepat atau memperlambat. Kata-kata di cetakan
tidak berbeda dengan yang ada di layar, tapi terasa lebih berat, lebih berat. Tapi mereka tidak
mungkin benar. Tidak ada kemungkinan mereka benar.
Aku menghabiskan satu jam untuk googling setiap tes, mencoba memahami apa artinya
semua itu. Tentu saja Internet tidak dapat memberi tahu saya apakah hasil ini benar, tidak
dapat memberi tahu ku apakah aku seorang gadis remaja rata-rata dengan kesehatan rata-rata
sempurna. Dan aku tahu. Aku tahu itu sebuah kesalahan. Tetap saja, kakiku membawaku
menuruni tangga dan melalui ruang makan ke kantor rumah ibuku. Dia tidak ada di sana, dan
tidak di ruang baca. Aku menuju ke kamarnya dan mengetuk pelan, tangan gemetar. Dia
tidak menjawab. Aku mendengar air mengalir. Dia mungkin di kamar mandinya bersiap-siap
untuk tidur. Aku mengetuk lagi dengan keras.
"Ibu" panggilku sambil memutar pegangannya.
Dia baru saja meninggalkan kamar mandi, mematikan lampu saat aku masuk. Wajahnya yang
masih kurus berubah menjadi senyum lebar ketika dia melihatku. Tulang pipinya tajam dan
lebih menonjol di wajahnya yang sempit. Lingkaran hitam yang saya letakkan di bawah
matanya tampaknya telah menjadi permanen. Dia tidak memakai riasan apapun dan
rambutnya tergerai di bahunya. Piyama sutra hitam menggantung dari tubuhnya yang kurus.
"Hai, sayang," sapanya. "Apakah kamu datang untuk pesta tidur?" Wajahnya sangat berharap
sehingga aku ingin mengatakan ya.
Aku melangkah lebih jauh ke dalam ruangan, mengguncang halaman-halamannya.
"Ini dari seorang dokter di Rumah Sakit Cipta Medika." Aku mencari nama itu lagi meskipun
saya tahu itu.
“Dr. Fellicia, apa kau bertemu dengannya?” Jika saya tidak memperhatikannya begitu dekat,
aku mungkin tidak akan menyadarinya, tetapi dia membeku.
“Saya bertemu banyak dokter di Sumba, Chlara.”
Suaranya kencang. "Bu, aku minta maaf."
Dia mengangkat tangan menyuruhku berhenti. "Ada apa, Chlara?" Aku mengambil langkah
lain.
"Surat ini. Dia, Dr. Francis, mengira aku tidak sakit.” Dia menatapku seolah aku tidak
berbicara. Dia tidak berbicara begitu lama sehingga saya mulai mempertanyakan apakah saya
telah berbicara.
"Apa yang kamu bicarakan?"
“Dia bilang dia tidak berpikir saya memiliki SCID. Dia tidak berpikir aku pernah
memilikinya.”
Dia menurunkan dirinya ke tepi tempat tidur.
"Tidak. Apakah ini sebabnya kamu datang menemuiku?
Suaranya lembut, kasihan. "Dia menaikkan harapanmu, bukan?" Dia memberi isyarat agar
aku datang dan duduk di sampingnya. Dia mengambil surat itu dari tanganku dan
memelukku.
"Maaf, tapi itu tidak benar," katanya.
Aku melorot ke dalam pelukannya. Dia benar. Aku telah mendapatkan harapan
saya. Lengannya terasa sangat nyaman di sekitarku. Aku merasa hangat dan terlindungi dan
aman.
Dia membelai rambutku. “Aku minta maaf kamu harus melihat ini. Itu sangat tidak
bertanggung jawab.”
"Tidak apa-apa," kataku di bahunya. “Aku tahu itu sebuah kesalahan. Aku tidak terlalu
berharap.”
Dia menarik diri untuk menatap mataku. “Tentu saja itu kesalahan.”
Matanya dipenuhi air mata dan dia menarikku kembali ke pelukannya.
“SCID sangat langka dan rumit, sayang. Tidak semua orang memahaminya. Ada begitu
banyak versi dan setiap orang bereaksi sedikit berbeda.”
Dia menarik diri lagi dan menatap mataku untuk memastikan aku mendengarkan dan
mengerti. Bicaranya melambat dan nada suaranya berubah simpatik, suara dokternya.
“Kau melihatnya sendiri, bukan? Kamu baik-baik saja untuk sementara waktu dan kemudian
kamu hampir mati di ruang gawat darurat. Sistem kekebalan itu rumit.”
Dia mengerutkan kening pada halaman di tangannya. “Dan Dr. Fellicia ini tidak tahu riwayat
kesehatan lengkapmu. Dia hanya melihat sebagian kecil dari itu. Dia tidak bersamamu selama
ini.” Kerutan di keningnya semakin dalam. Kesalahan ini membuatnya lebih kesal kepadaku.
"Bu, tidak apa-apa," kataku.
"Lagi pula aku tidak terlalu percaya." Aku tidak berpikir dia mendengarkanku.
"Aku harus melindungimu," katanya.
“Aku tahu, Bu.” Aku tidak benar-benar ingin membicarakan ini lagi. Aku kembali ke
pelukannya.
"Aku harus melindungimu," katanya ke rambutku. Dan "Aku harus melindungimu" yang
terakhir itulah yang membuat sebagian diriku terdiam.
Ada ketidakpastian dalam suaranya yang tidak saya harapkan dan tidak bisa saya
pertanggungjawabkan.
Aku mencoba menarik diri, untuk melihat wajahnya, tapi dia memegang erat-erat.
"Bu," kataku, menarik lebih keras. Dia melepaskanku, membelai wajahku dengan tangannya
yang bebas. Aku mengerutkan kening padanya. "Bisakah saya memilikinya?" tanyaku,
maksudnya kertas-kertas di tangannya. Dia melihat ke bawah dan tampak bingung tentang
bagaimana mereka sampai di sana.
"Kamu tidak membutuhkan ini," katanya, tetapi tetap mengembalikannya kepadaku.
"Mau mengadakan pesta tidur?" dia bertanya lagi, menepuk tempat tidur. "Aku akan merasa
lebih baik jika kamu tetap bersamaku." Tapi aku tidak yakin aku akan melakukannya.
Aku yakin dia tidur, tapi aku tidak bisa mengambil risiko membangunkannya. Aku meraih
pegangannya dan untuk satu saat yang mengerikan aku pikir pintu akan terkunci dan aku
harus menunggu dan saya tidak bisa menunggu. Tapi pegangannya berputar dan ruangan itu
membiarkanku masuk seperti sudah menungguku, seperti menungguku. Kantornya sangat
normal, tidak terlalu rapi, dan tidak terlalu berantakan. Tidak ada tanda-tanda yang jelas dari
pikiran yang tidak sehat. Tulisan-tulisan gila, campur aduk, kacau tidak menutupi setiap inci
dinding. Aku berjalan ke meja besar di tengah ruangan. Ini memiliki lemari arsip built-in, jadi
saya mulai dari sana. Tanganku gemetar, bukan gemetar, tapi gemetar sungguhan, seperti
gempa yang hanya aku rasakan. Ibuku sangat teliti dan boros dalam pencatatannya. Dia
menyimpan semuanya dan saya butuh lebih dari satu jam untuk menyelesaikan hanya
beberapa file. Ada tanda terima untuk pembelian besar dan kecil, perjanjian sewa, dokumen
pajak, jaminan, dan manual instruksi. Dia bahkan menyimpan potongan tiket film. Akhirnya,
di bagian belakang saya menemukan apa yang aku cari: folder merah tebal berlabel
Chlara. Aku menariknya keluar dengan hati-hati dan membuat ruang di lantai. Catatan
hidupku dimulai dengan kehamilannya. Aku menemukan rekomendasi vitamin prenatal,
sonogram, dan fotokopi setiap kunjungan dokter. Aku menemukan kartu indeks tulisan
tangan dengan dua kotak centang, satu untuk laki-laki dan satu lagi untuk perempuan. Gadis
diperiksa. Akta kelahiran ku ada di sini. Saat aku menelusuri, tidak butuh waktu lama untuk
menyadari bahwa aku adalah bayi yang sakit-sakitan. Aku menemukan laporan kunjungan
sakit anak untuk ruam, alergi, eksim, pilek, demam, dan dua infeksi telinga, semuanya
sebelum saya berusia empat bulan. Saya menemukan tanda terima untuk konsultan laktasi
dan tidur bayi. Ketika aku berusia sekitar enam bulan, hanya satu bulan setelah ayah dan
saudara laki-lakiku meninggal, saya diperiksa ke rumah sakit dengan Respiratory Syncytial
Virus (RSV). Saya tidak tahu apa itu dan saya membuat catatan mental untuk google itu. Itu
cukup parah untuk membuat saya di rumah sakit selama tiga hari. Dan kemudian
pencatatannya menjadi kurang teliti. Aku menemukan cetakan tentang RSV dari web. Dia
melingkari bagian yang menjelaskan bahwa RSV lebih parah pada orang dengan sistem
kekebalan yang terganggu. Aku menemukan fotokopi halaman pertama artikel tentang SCID
dari jurnal medis. Coretannya di pinggiran tidak terbaca. Setelah itu ada satu kunjungan ke
ahli alergi dan kemudian kunjungan ke tiga ahli imunologi yang berbeda. Masing-masing
menyimpulkan bahwa tidak ada penyakit yang ditemukan. Dan itu saja. Aku menggali
melalui kabinet lagi untuk lebih banyak file. Tidak masuk akal jika hanya ini yang ada. Mana
hasil tesnya? Pasti ada ahli imunologi keempat, kan? Mana diagnosanya? Dimana konsultasi
dan second opinionnya? Seharusnya ada folder merah tebal lainnya. Aku menjelajahi file
untuk ketiga kalinya. Dan keempat. Aku menumpahkan folder lain ke tanah dan
membobolnya. Aku menelusuri kertas-kertas di mejanya. Aku membolak-balik halaman
jurnal medisnya mencari bagian yang disorot. Aku bernapas terlalu cepat saat aku berlari ke
rak bukunya. Aku menarik buku-buku, menggoyang-goyangkannya dengan punggungnya
agar ada sesuatu yang jatuh, hasil lab yang terlupakan, diagnosis resmi. Aku tidak
menemukan apapun. Tapi tidak ada yang bukan bukti. Mungkin buktinya ada di tempat
lain. Aku hanya perlu satu kali mencoba menebak kata sandinya, Chlara Lasintha. Aku
menghabiskan dua jam melihat-lihat setiap dokumen di komputernya. Aku mencari riwayat
browser Internetnya. Aku mencari di folder sampah.
Tidak.
Tidak.
Mana bukti kehidupan yang ku jalani? Aku memutar putaran lambat di tengah ruangan. Aku
tidak percaya bukti dari mata ku sendiri. Saya tidak percaya apa yang tidak saya
lihat. Bagaimana bisa tidak ada apa-apa? Sepertinya penyakit saya diciptakan dari udara yang
terlalu tipis yang saya hirup. Itu tidak benar. Ini tidak mungkin. Apa mungkin aku tidak
sakit? Pikiranku tersentak menjauh dari garis pemikiran ini. Mungkin dia menyimpan catatan
lain di kamarnya? Apa yang tidak saya pikirkan sebelumnya? 5:23 am Bisakah saya
menunggu dia bangun? Tidak.
Aku ingin buku harian dengan pemikirannya yang dituangkan dengan tinta yang dapat
dibaca. Aku ingin kegilaannya digambarkan dengan jelas sehingga saya dapat melacak
sejarahnya dan sejarah ku sendiri. Aku ingin detail dan penjelasan. Aku ingin tahu mengapa
dan mengapa dan mengapa. Aku perlu tahu apa yang terjadi, tapi dia tidak bisa
memberitahuku. Dia terlalu rusak. Dan jika dia bisa? Apakah itu akan membuat
perbedaan? Apakah saya akan mengerti? Akankah saya memahami kedalaman kesedihan dan
ketakutan yang bisa membuatnya mengambil seluruh hidup saya dariku? Dr. Shandy
memberitahu saya bahwa dia pikir dia membutuhkan terapis. Dia pikir mungkin butuh waktu
lama sebelum dia bisa memberitahuku dengan tepat apa yang terjadi, jika pernah. Dia
menebak bahwa dia mengalami semacam gangguan setelah ayah dan saudara laki-laki ku
meninggal. Sus Chika menggunakan semua kekuatan persuasifnya mencoba meyakinkanku
untuk tidak meninggalkan rumah. Bukan hanya demi ibuku, tapi demi diriku
sendiri. Kesehatan saya masih belum diketahui. Aku mempertimbangkan untuk mengirim
email ke Kelvin, tetapi begitu banyak waktu telah berlalu. Aku berbohong padanya. Dia
mungkin sudah membenci dan melupakanku. Dia mungkin menemukan orang lain. Aku tidak
yakin aku bisa menahan patah hati lagi. Dan apa yang akan aku katakan? Aku hampir tidak
sakit? Pada akhirnya Sus Chika meyakinkan ku untuk tinggal dengan ibu ku. Dia bilang aku
orang yang lebih baik dari itu. Aku tidak yakin. Siapa pun aku, sebelum aku menemukan
kebenaran telah mati. Aku melakukan kunjungan mingguan pertama saya dengan Dr.
Chase. Dia mendesak hati-hati. Aku memasang kunci di pintu kamar saya. Ibuku mencoba
memasuki kamarku, tetapi pintunya terkunci denganku di dalamnya. Dia pergi. Aku
menyusun lebih banyak email ke Kelvin yang tidak ku kirim. Dr. Shandy terus mendesak
untuk berhati-hati. Saya mengecat setiap dinding di kamar saya dengan warna yang
berbeda. Yang di dekat jendela berwarna kuning mentega pucat. Rak-raknya berwarna oranye
matahari terbenam di dinding biru merak. Dinding di dekat kepala tempat tidur saya berwarna
lavender, dan yang terakhir berwarna hitam dengan cat papan tulis. Ibuku mengetuk pintuku,
tapi aku pura-pura tidak mendengarnya. Dia pergi. Aku memesan tanaman asli untuk ruang
berjemur. Aku memprogram filter udara dan membuka jendela. Aku membeli lima ikan mas
dan menamai semuanya Kelvin dan melepaskannya di air mancur. Dr. Shandy bersikeras
bahwa terlalu dini bagiku untuk mencoba mendaftar di sekolah menengah. Terlalu banyak
anak dengan terlalu banyak penyakit. Sus Chika dan aku membujuknya untuk mengizinkan
beberapa tutor ku untuk mengunjungi secara langsung selama mereka baik-baik saja. Dia
enggan, tapi dia setuju. Seminggu kemudian, Sus Chika dan saya melihat suami Sus Chika
berjalan melintasi halaman dan menuju mobilnya untuk pergi. Aku memeluknya sebelum dia
pergi. Dia terkejut, tetapi tidak mempertanyakannya, hanya memelukku kembali seperti itu
sangat wajar. Aku tinggal di luar selama beberapa menit setelah dia pergi dan Sus Chika
menunggu bersamaku. Dia mencoba menemukan cara untuk dengan lembut menghancurkan
hatiku yang sudah hancur.
"Jadi—" dia memulai. Aku tahu apa yang akan dia katakan. Dia sudah bersiap untuk
mengatakannya sepanjang hari.
“Tolong jangan tinggalkan aku, Sus. Aku masih membutuhkanmu." Matanya tertuju padaku
tapi aku tidak tega melihatnya. Dia tidak menyangkal apa yang ku katakan, hanya mengambil
tangan ku di tangannya.
"Jika Anda benar-benar membutuhkan ku untuk tinggal, aku akan tinggal." Dia meremas jari-
jariku.
"Tapi kamu tidak membutuhkanku, Non”
“Aku akan selalu membutuhkanmu.” Aku tidak mencoba untuk menghentikan air mata yang
datang.
"Tapi tidak seperti sebelumnya," katanya lembut.
Tentu saja dia benar. Aku tidak perlu dia berada di sini bersama ku selama delapan jam
sehari. Aku tidak membutuhkan perawatan terus-menerus. Tapi apa yang akan ku lakukan
tanpa dia? Air mataku berubah menjadi isak tangis yang luar biasa dan dia memelukku dan
membiarkanku menangis sampai aku mencapai ujungnya.
"Apa yang akan kamu lakukan?" Dia menyeka wajahku dengan sisi tangannya.
"Aku mungkin akan kembali bekerja di rumah sakit."
"Apakah kamu sudah memberi tahu ibuku?"
"Pagi ini."
"Apa yang dia katakan padamu?"
"Dia berterima kasih padaku karena telah menjagamu."
Aku tidak berusaha menyembunyikan cemberutku. Dia memegang daguku.
"Kapan kamu akan menemukannya di hatimu untuk memaafkannya?"
"Apa yang dia lakukan tidak bisa dimaafkan."
“Dia sedang sakit, sayang. Dia masih sakit.” Aku menggelengkan kepalaku.
"Dia mengambil seluruh hidupku dariku." Bahkan sekarang, memikirkan tahun-tahun yang
telah hilang membuatku merasa seperti berada di bibir jurang yang sangat besar, seperti aku
bisa jatuh dan tidak pernah keluar lagi. Sus Chika mendorongku kembali ke masa sekarang.
"Tidak sepanjang hidupmu," katanya. "Kamu masih punya banyak yang tersisa." Kita
kembali ke dalam. Aku mengikutinya berkeliling, mengawasinya mengemasi barang-
barangnya untuk terakhir kalinya
"Apakah Anda pernah membaca sebuah buku yang berjudul Bunga untuk Algernon?" Aku
bertanya.
"Ya."
"Apakah kamu menyukainya?"
"Tidak. Bukan jenis buku favoritku. Tidak cukup harapan di dalamnya. ”
“Itu membuatmu menangis, bukan?
Dia menggelengkan kepalanya tidak, tapi kemudian mengaku, "Oke, ya, seperti bayi."
Kami berdua tertawa.
14. END
Semenit kemudian, aku melihat dia berjalan perlahan menyusuri lorong sambil memeriksa
rak-rak.
Rambutnya telah tumbuh. Dia memiliki rambut ikal sekarang yang melembutkan sudut
wajahnya. Juga, dia tidak mengenakan serba hitam. Celana jeans dan sepatu ketsnya
berwarna hitam, tapi T-shirt-nya berwarna abu-abu. Dan saya pikir dia lebih tinggi entah
bagaimana. Lebih dari apa pun yang kualami dalam beberapa minggu terakhir, mengucapkan
selamat tinggal pada Sus Chika, meninggalkan rumah melawan nasihat Dr. Shandy,
meninggalkan ibuku dalam kesedihannya, melihatnya terlihat sangat berbeda
membuatku sangat panik. Aku tidak tahu mengapa aku mengharapkan dia menjadi sama. aku
tidak.
Dia mengeluarkan ponselnya untuk membaca instruksi ku lagi. Dia menyelipkan telepon ke
sakunya dan melihat kembali ke rak. Aku meletakkan buku itu, sampul menghadap ke luar, di
depan yang lainnya agar dia tidak melewatkannya. Dia tidak. Tapi alih-alih mengambilnya,
dia memasukkan tangannya ke dalam saku dan menatap. Beberapa hari yang lalu, ketika aku
sedang berkomunikasi, aku berusaha keras untuk menemukan satu momen penting yang
mengatur hidupku di jalurnya.
Momen yang menjawab pertanyaan, “Bagaimana aku bisa sampai di sini?” Tanyaku dalam
hati.
Tapi itu tidak pernah hanya satu saat. Ini adalah seri dari mereka. Dan hidup dapat bercabang
dari masing-masing dalam seribu cara yang berbeda. Mungkin ada versi hidupmu untuk
semua pilihan yang telah kamu buat dan semua pilihan yang tidak kamu lakukan.
Mungkin ada versi hidup ku di mana aku sakit. Sebuah versi di mana aku hampir mati di
Sumba. Masih lain di mana ayah dan saudara saya masih hidup dan ibu saya tidak rusak.
Bahkan ada versi hidupku tanpa Kelvin di dalamnya. Tapi tidak yang ini. Kelvin
mengeluarkan tangannya dari saku, mengambil buku dari rak dan membaca. Dia menyeringai
dan memantul ringan pada bola kakinya. Aku keluar dari persembunyian. Aku berjalan
menyusuri lorong, ke arahnya. Senyum yang dia berikan padaku adalah hal yang layak untuk
dijalani.