Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN


GANGGUAN KEBUTUHAN AMAN DAN NYAMAN: NYERI AKUT

A. Definisi Nyeri Akut


Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan, yang bersifat subjektif, yang diakibatkan oleh kerusakan jaringan dan
potensial kerusakan (International Association for the Study of Pain [IASP], 2012).
Nyeri bersifat sangat individual, dipengaruhi aspek biologi, sosial dan spiritual.
Sedangkan menurut NANDA Nursing Diagnosis (2011), nyeri adalah
ketidaknyamanan sensori dan pengalaman emosional disebabkan adanya kerusakan
jaringan secara actual maupun potensial.
Secara umum, nyeri dikategorikan menyadi nyeri akut dan nyeri kronik.
Menurut NANDA (2011) nyeri akut yaitu nyeri kurang dari 6 bulan dan nyeri kronis
adalah nyeri dengan durasi lebih dari 6 bulan. Pengkategorian tersebut sesuai dengan
Smeltzer dan Bare (2010) bahwa nyeri dinyatakan kronis jika telah timbul selama 6
bulan atau lebih, meskipun nyeri yang dirasakan mungkin hilang timbul. Namun,
Smeltzer dan Bare juga mengungkapkan bahwa waktu 6 bulan mungkin terlalu lama
untuk menetapkan bahwa nyeri tersebut termasuk nyeri kronis dan kemungkinan
pasien mengalami kerusakan jaringan semakin tinggi saat nyeri sudah menetap
selama 6 bulan. Sementara itu, Ignatavicius dan Workman (2010) mempunyai batasan
waktu yang lebih singkat yaitu nyeri akut jika durasi nyeri kurang dari 3 bulan dan
nyeri kronis jika nyeri menetap selama lebih dari 3 bulan.

B. Patofisiologi Nyeri
Secara umum, nyeri diakibatkan oleh adanya kerusakan jaringan baik aktual
maupun potensial (IASP, 2012). Beberapa teori yang menjelaskan tentang mekanisme
dan patofisiologi nyeri adalah konsep anatomis fisiologis nyeri dan teori gate control.
Berdasarkan teori anatomis fisiologis nyeri, nyeri distumulus oleh suatu rangsang
misalnya iskemia jaringan atau spasme otot. Stimulus ini ditangkap oleh reseptor
nyeri yang disebut nociceptor yang terletak di hampir semua bagian tubuh. Pada
beberapa kasus, stimulus nyeri muncul dari kerusakan jaringan yang nyata yang
menyebabkan pengeluaran zat-zat kimia yang disebut neuroreseptor seperti histamin,
bradikinin, serotonin, norepinefin dan beberapa zat asam seperti leukotrien,
prostaglandin dan substansi P yang dapat mengaktifkan reseptor nyeri. Stimulus nyeri
ini kemudian diteruskan ke syaraf tulang belakang dan diteruskan ke otak untuk
dipersepsikan sebagai nyeri. Di otak, bagian yang memproses stimulus nyeri adalah
talamus yang berfungsi untuk menyampaikan rangsangan nyeri yang dikirim oleh
spinothalamic. Proses ini dilanjutkan di bagian tengah otak yang meningkatkan
kewaspadaan terhadap stimulus. Terakhir, stimulus nyeri ditangkap di bagian korteks
untuk dipersepsikan sebagai nyeri dan pemahaman terkait lokasi nyeri (Smeltzer &
Bare, 2010).
Teori gate control merupakan teori yang digunakan untuk menjelaskan
hubungan antara nyeri dan emosi, dimana nyeri tidak hanya respon fisiologis tetapi
juga dipenyaruhi oleh faktor psikologis seperti perilaku dan emosi. Berdasarkan teori
ini, stimulus nyeri dialirkan melalui serabut syaraf tulang belakang (syaraf A delta
dan serabut C). Stimulus nyeri ini berjalan menuju ujung dorsal syaraf tulang
belakang yang disebut substansi gelatinosa. Sel-sel (sel T) yang terdapat di substansi
gelatinosa dapat menghambat atau memfasilitasi proses transmisi stimulus nyeri ini
ke otak. Saat aktivitas sel T ini terhambat, maka gerbang akan tertutup dan stimulus
nyeri dapat ditransmisikan ke otak, sebaliknya jika gerbang ini terbuka, maka
stimulus nyeri dapat dihambat dan tidak sampai ke otak. Mekanisme iin juga terjadi
di talamus dan konteks serebri yang mengatur tentang persepsi dan emosi termasuk
kepercayaan dan keyakinan. Saat nyeri muncul, persepsi dan emosi seseorang dapat
memodifikasi fenomena nyeri yang muncul sehingga nyeri yang dirasakan akan
sesuai dengan yang dipersepsikan. Teori ini sangat membantu perawat untuk
memahami nyeri secara komprehensi yang memungkinkan perawat melakukan
tindakan non farmakologis untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri (Ignatavicius
& Workman, 2010).
C. Klasifikasi Nyeri
Nyeri dibedakan menjadi beberapa macam yaitu:
1) Nyeri fisiologis/ nociceptive
Nyeri nociceptive merupakan nyeri yang terjadi karena aktivasi
nociceptor, yang disebabkan impuls yang ringan dan cepat serta dapat
sembuh tanpa pengobatan (Ignatavicius & Workman, 2010). Nyeri ini dibagi
menjadi 2 yaitu nyeri somatik dan nyeri visceral. Nyeri somatik sendiri
dibagi menjadi 2, yaitu nyeri somatic supervisial jika nyeri terjadi di
permukaan tubuh seperti di kulit dan jaringan subkutan. Nyeri somatic
selanjutnya adalah nyeri somatic dalam yaitu juka nyeri terjadi di tulang,
pembuluh darah otot, dan jaringan ikat. Karaktereistik nyeri somatik adalah
tajam, panas, kram, dan gatal. Sementara itu, nyeeri visceral adalah nyeri
yang tejadi di organ yang memiliki rongga, misalnya di saluran pernafasan,
saluran pencernaan, distensi atau spasme kandung kemih, nyeri dada, distensi
usus. Karakteristik nyerinya yaitu sulit dilokalisir, menyebar ke area lain,
melilit, kram, dan tajam.
2) Nyeri neuropatik
Nyeri ini muncul akibat kerusakan serabut syaraf, syaraf tulang
belakang, dan system syaraf pusat (Ignatavicius & Workman, 2010). Nyeri
dapat terjadi pada pasien setelah operasi mastektomi ataupun yang
mengalami kompresi syaraf. Karakteristik nyerinya susah dilokalisir, seperti
terbakar, tajam, dan kebas.
3) Nyeri inflamasi
Nyeri yang disebabkan adanya kerusakan jaringan baik jaringan kulit,
otot, atau yang lain (Ignatavicius & Workman, 2010). Contoh dari nyeri ini
adalah nyeri pada penderita rematik.
4) Nyeri psikogenik
Nyeri yang disebabkan keabnormalan fungsi saraf namun tanpa
kerusakan saraf (Ignatavicius & Workman, 2010). Contoh nyeri ini adalah
fibromiyalgia, nyeri lambung.

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri


Berapa faktor yang mempengaruhi nyeri yaitu:
1) Usia
Perbedaan usia dan tingkat perkembangan mempengaruhi seseorang
dalam berespon terhadap nyeri, terutama pada balita dan lansia. Balita belum
mampu melaporkan nyeri yang dialaminya sehingga perawat harus mengkaji
dengan seksama. Sebagian lansia menganggap bahwa nyeri adalah bagian
dari proses menua, sehingga mereka akan mengekspresikan dengan
kemarahan dan bukan melapornya nyeri yang dialai tersebut (Potter & Perry,
2010).
2) Jenis kelamin
Jenis kelamin biasanya dipengaruhi dari budaya,jika budaya
menganggap laki-laki tidak boleh menangis maka laki-laki akan cenderung
menahan nyeri yang dialami (Potter & Perry, 2010).
3) Kebudayaan
Keyakinan dan nilai budaya mempengaruhi seseorang dalam
berespon terhadap nyeri dan bagaimana mereka mengatasinya (Potter &
Perry, 2010).
4) Makna nyeri
Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara yang berbeda
tergantung nilai yang dianutnya tentang penyebab nyeri. Nyeri yang dialami
ibu yang sedang bersalin mungkin tidak akan terasa menyakiti dibandingkan
nyeri yang dialami ibu akibat dipukul oleh suaminya (Potter & Perry, 2010).
5) Perhatian
Apabila perhatian seseorang terpusat pada nyeri, maka nyeri akan
terasa lebih berat dirasakan. Sebaliknya, jika seseorang melakukan
pengalihan atau distraksi, maka rasa nyeri mungkin dapat dikurangi (Potter &
Perry, 2010).
6) Ansietas
Nyeri dan kecemasan dapat saling mempengaruhi. Kecemasan yang
berat akan memperburuk rasa nyeri, sebaliknya nyeri dapat mengakibatkan
kecemasan pada individu yang mengalaminya. Status emosional seseorang
yang stabil akan membuatnya mampu mentoleransi rasa nyeri dibandingkan
individu yang emosionalnya kurang stabil (Potter & Perry, 2010).
7) Keletihan
Rasa kelelahan akan meningkatkan persepsi nyeri dan menrunkan
kemampuan koping seseorang. Apabila kelelahan disertai kesulitan tidur,
maka nyeri akan dirasakan lebih berat lagi (Potter & Perry, 2010).
8) Pengalaman sebelumnya
Pengalaman nyeri sebelumnya akan mempengaruhi seseorang dalam
menilai nyeri yang dialami (Potter & Perry, 2010).
9) Gaya Koping
Sumber-sumber koping dalam mengatasi nyeri dapat berupa
komunikasi dengan keluarga, melakukan latihan, relaksasi dan sebagainya
untuk mengendalikan nyeri (Potter & Perry, 2010).
10) Dukungan keluarga
Kehadiran keluarga akan mempengaruhi seseorang. Walaupun nyeri
tetap dirasakan, kehadiran keluarga akan mengurangi rasa kesepian dan
ketakutan (Potter & Perry, 2010).

E. Pathway (mulai etiologi – mekanisme – tanda dan gejala – masalah keperawatan)


Sumber: ......
F. Pengkajian Nyeri
Mengingat nyeri dipengaruhi berbagai faktor termasuk budaya dan faktor
social lainnya, pengkajian nyeri harus dilakukan secara komprehensif dan
memperhatikan seluruh aspek bio, psiko, sosio, cultural, social, dan spiritual pasien.
Informasi terkait nyeri yang dirasakan pasien sangat penting untuk memahami faktor
yang terkait dengan nyeri. Data yang harus dikaji terkait nyeri adalah faktor pencetus
nyeri, faktor yang menyebabkan nyeri terasa semakin parah, lokasi nyeri dan
penyebarannya, karakter dan kualitas serta intensitas nyeri, dan durasi atau lamanya
nyeri (Ignatavicius & Workman, 2010).
Pengalaman nyeri harus dikaji secara faktual dan akurat. Ada berbagai macam
metode pengkajian nyeri antara lain:
a) Wong-Baker FACES Pain Scale (Wong dan Baker, 1988)
Wong-Baker FACES pain scale adalah alat yang digunakan untuk mengkaji
nyeri pada anak usia 3 tahun ke atas. Alat ini berupa gambar wajah dengan skala
antara 0 “tidak nyeri” (wajah tersenyum) hingga 1- “ sangat nyeri sekali” (wajah
menangis). Dengan menggunakan alat ini, anak yang mengalami nyeri harus
secara mandiri menunjuk wajah yang mengekspresikan perasaan nyeri. Mintalah
anak untuk memilih wajah yang paling mendeskripsikan kondisinya saat ini dan
minta pasien untuk menghitung secara hafal (Hockenberry & Wilson, 2009).

b) Neonatal Infant Pain Scale (NIPS) untuk neonates


NIPS adalah alat pengkajian perilaku untuk mengukur nyeri pada neunatus
premature maupun neonates matur. Instrument ini dapat digunakan untuk
memonitor neonates sebelum, selama, dan setelah pemberian prosedur seperti
prosedur venipuncture. NIPS memiliki rentang skor antara 0-7, dimana semakin
tinggi skor yang dipeoleh, semakin tinggi intensitas nyiri yang dialami oleh
neonatus
c) Visual Analog Scale (VAS)
Visual analog scale adalah skala yang digunakan untuk mengukur nyeru yang
terdiri dari garis sepanjang 10 cm. Garis dimulai dari titik di sebelah kiri menuju
kanan. Ujung kiri mengindikasikan tidak ada nyeri. Ujung kanan garis berarti
nyeri yang sangat hebat dan tidak tertahankan. Pasien diminta untuk menunjuk
titik dimana pasien merasa nyeri pada saat ini.

d) Brief pain inventory


Brief pain inventory adalah alat untuk mengukur nyeri klinis. BPI
memungkinkan pasien untuk menilai nyerinya dan menilai sejauh mana nyeri yang
dirasakan akan mengganggu fungsi dan perasaan pasien. Awalnya, BPI
dikembangkan untuk mengukur nyeri kanker, tetapi kini BPI telah banyak
digunakan di berbagai kondisi pasien (Cleeland, 2009).
e) OPQRSTUV

G. Diagnosis Keperawatan
Nyeri akut
Definisi :
Perasaan dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang timbul dari
kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. atau gambaran adanya kerusakan. Hal
ini dapat timbul secara tiba-tiba atau lambat, intensitasnya dari ringan atau berat.
Dengan prediksi waktu kesembuhan kira-kira kurang dari 6 bulan.

Batasan karakteristik :
1) Laporan verbal dan nonverbal
2) Laporan pengamatan
3) Posisi pasien berhati-hati untuk menghindari nyeri
4) Gerakan melindungi diri
5) Tingkah laku berhati-hati
6) Muka topeng
7) Gangguan tidur (mata sayu, tampak lelah, pergerakan yang sulit atau kacau,
menyeringai)
8) Fokus pada diri sendiri
9) Fokus menyempit (penurunan persepsi tentang waktu, kerusakan proses fikir,
penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)
10) Aktivitas distraksi (jalan-jalan, menemui orang lain dan atau aktivitas,
aktivitas yang berulang-ulang)
11) Respon otonomi (diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas,
nadi dan dilatasi pupil).
12) Perubahan respon otonomi pada tonus otot (tampak dari lemah ke kaku)
13) Tingkah laku ekspresif (gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas
panjang, berkeluh kesah)
14) Perubahan nafsu makan minum

Faktor yang berhubungan


1) Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis)
Berhubungan dengan diagnosa klinik :
1) Beberapa tindakan bedah
2) Beberapa kondisi yang bersifat kronis seperti contohnya rheumatoid arthritis
3) Kecelakaan
4) Infeksi
5) Kecemasan atau stress
6) Kelelahan

H. Intervensi keperawatan

a. Intervensi mandiri

b. Intervensi kolaborasi

I. Evaluasi

J. Daftar Pustaka
Cleeland, C. S. (2009). BPI user guide. Diakses pada 10 April 2013 dari
http://www.mdanderson.org/education-and-research/departments-programs-
and-labs/departments-and-divisions/symptom-research/symptom-assessment-
tools/BPI_UserGuide.pdf

Hockenberry, M. J & Wilson, D. (2009). Wong’s essential of pediatric nursing (8 th


ed.). St. Louis: Mosby. Diakses pada 10 April 2013 dari
http://www.partnersagainstpain.com/printouts/A7012AS6.pdf.

IASP. (2009). IASP taxonomy. Diakses pada 10 April 2013 dari http://www.iasp-
pain.org/Content/NavigationMenu/GeneralResourceLinks/PainDefinitions/de
fault.htm

Ignatavicius., D. D., & Workman., M. L. (2010). Medical surgical nursing: Critical


thinking for collaborative care (6th ed., vol 1). Missouri: Elsevier Saunders.

Potter, P.A. & Perry, A.G. (2009). Fundamentals of Nursing (7th ed.). St. Louis,
;Mosby Elsevier.
Smeltzer, S. C., Bare, B. G. (2010). Buku ajar keperawatan medikal bedah, volume 2.
Kuncara et al (penerjemah). Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai