Anda di halaman 1dari 11

NAMA : ARTITA MAWARNI

NIM : 19014
TINGKAT :2B
MATA KULIAH : ANTI KORUPSI

ETIKA PROFESI KEPERAWATAN

A. Etika Keperawatan dalam Menjalankan Profesi Keperawatan


Pandangan etika menurut perawat : etika adalah suatu pedoman yang digunakan
dalam pemecahan masalah / pengambilan keputusan etis baik dalam area praktik,
pendidikan, administrasi maupun penelitian.
Etika profesi keperawatan merupakan alat untuk mengukur perilaku moral dalam
keperawatann. Dalam penyusunan alat ukur ini,keputusan diambil berdasarkan kode etik
sebagai standar yang mengukur dan mengevaluasi perilaku moral perawat.
Etika keperawatan adalah suatu ungkapan tentang bagaimana perawat wajib
bertingkah laku : jujur terhadap pasien, menghargai pasien, serta beradvokasi atas nama
pasien. Konsep Etika Profesi Keperawatan sebagai berikut :
a) Advokasi
Arti advokasi menurut ANA (1985) adalah “melindungi klien atau
masyarakat terhadap pelayanan kesehatah dan keselamatan praktek tidak sah yang
tidak kompeten dan melanggar etika yang dilakukan oleh siapapun”.
Advokasi merupakan dasar falsafah dan ideal keperawatan yang
melibatkan bantuan perawatan secara aktif kepada individu untuk secara
bebasmenentukan nasibnya sendiri. Pada dasarnya peran perawat sebagai advokat
pasien adalah memberi informasi dan memberi bantuan kepada pasien atas
keputusan apapun yang dibuat pasien. Memberi informasi berarti menyediakan
penjelasan atau informasi sesuai yang dibutuhkan pasien. Memberi bantuan
mengandung dua peran, yaitu peran aksi dan non aksi.
b) Akuntabilitas
Akuntabilitas mengandung arti dapat mempertanggung jawabkan suatu
tindakan yang dilakukan dan dapat menerima konsekuensi dari tindakan tersebut.
Akuntabilitas mengandung dua komponen utama, yaitu tanggung jawab
dan tanggung gugat. Ini berarti bahwa tindakan yang dilakukan perawat dilihat
dari praktek keperawatan, kode etik dan undang-undang dibenarkan atau absah.
c) Loyalitas
Merupakan suatu konsep dengan berbagai segi, meliputi simpati, peduli,
dan hubungan timbal-balik terhadap pihak yang secara profesional berhubungan
dengan perawat. Ini berarti ada pertimbangan tentang nilai dantujuan orang lain
secara nilai dan tujuan sendiri. Hubungan professional dipertahankan dengan cara
menyusun tujuan bersama, menepati janji,menentukan masalah dan prioritas, serta
mengupayakan pencapaian kepuasan bersama.
Untuk mencapai kualitas asuhan keperawatan yang tinggi dan hubungan
dengan pihak yang harmonis, maka aspek loyalitas harus dipertahankan oleh
setiap perawat baik loyalitas kepada pasien, teman sejawat, rumah sakit maupun
profesi.
Sebagai profesi, perawat tentunya perlu meningkatkan ilmu pengetahuan dan
ketrampilannya dengan menempuh pendidikan yang lebih tinggi.Perawat harus selalu ter-update
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini di bidang keperawatan.Perawat
juga harus selalu berupaya untuk mengembangkan profesi dengan berfokus pada peningkatan
kualitas pelayanan keperawatan. Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar
pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan
pendidikan keperawatan :
 Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi keperawatan
 Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan memelihara
kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya asuhan keperawatan yang bermutu tinggi.
Etika Profesi Keperawatan adalah Etika khusus yang mengatur tanggungjawab moral para
perawat.
1. Kesepakatan moralitas para perawat.
Disusun oleh Organisasi profesi, berdasarkan suatu sumber yang ada dilingkungan; baik
lingkungan kesehatan, lingkungan konsumen dan lingkungan Komunitas Keperawatan.
2. Sumber Etika Profesi keperawatan :
1) Etika Kesehatan.
Menurut Leenen Gozondeid Sethick, adalah etika khusus dengan menerapkan nilai – nilai
dalam bidang pemeliharaan / pelayanan kesehatan yang dilandasi oleh nilai – nilai
individu dan masyarakat. Menurut Soeyono Soekamto (1986), Etika kesehatan mencakup
penilaian terhadap gejala kesehatan baik yang disetujui maupun tidak disetujui, serta
mencakup rekomendasi bagaimana bersikap/ bertindak secara pantas dalam bidang
kesehatan. Etika Kesehatan mencakup ruang lingkup minimal al :
a) Tritmen pada pasien yang menghadapi ajal. Contoh penerapannya sebagai berikut :
➢ Pemberian O2 -> diteruskan / di stop.
➢ Program pengobatan diteruskan / tidak
➢ Suport terapi ( RJP ) sampai kapan.
➢ dalam kondisi MBO.
b) Mengijinkan unsur mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri,pembatasan perilaku, dan infomrmed consent. Contoh
penerapannya sebagaii berikut :
➢ Pasien teriminal
➢ Status vegetative
➢ pasien HIV /AID
➢ pasien mendapat terapi diet
➢ pasien menghadapi tindakan medik
➢ operasi, pemakaian obat yangharganya mahal dll.
c) Bioetika. Contoh penerapannya :
➢ aborsi,
➢ pembatasan kelahiran,
➢ sterilisasi,
➢ bayi tabung,
➢ tranplantasi organ dll.
d) Pengungkapan kebenaran dan kerahasiaan dalam bidang kedokteran. Contoh
penerapannya:
➢ permintaan informasi data pasien,
➢ Catatan medik,
➢ Pembicaraan kasus pasien.
2) Etika umum yang berlaku di masyarakat,
 Privasi pasien,
 Menghargai harkat martabat pasien
 Sopan santun dalam pergaulan
 saling menghormati,
 saling membantu.
 peduli terhadap lingkungan
3) Etika Profesi keperawatan dunia -> ICN.
Etika Keperawatan terkandung adanya nilai – nilai dan prinsip – prinsip yang
berfokus bagi praktik Perawat. Praktik perawat bermuara pada interaksi profesional
dengan pasien serta menunjukan kepedulian perawat terhadap hubungan yang telah
dilakukannya. Delapan prinsip utama dalam Etika Keperawatan ICN :
1) Respek
Perilaku perawat yang menghormati / menghargai pasien /klien.
hak – hak pasien,penerapan inforned consent
Perilaku perawat menghormati sejawat
Tindakan eksplisit maupun implisit,simpatik, empati kepada orang
lain.
2) Otonomi
Hak untuk mengatur dan membuat keputusannya sendiri. Tetapi
tidak sebebas – bebasnya ada keterbatasan dalam
hukum,kompetensi dan kewenangan. perlu pemahaman tindakan
kolaborasi.
3) Beneficence ( kemurahan hati)
Berkaitan dengan kewajiban untuk melakukan hal yang baik dan
tidak membahayakan orang lain. Pada dasarnya seseorang
diharapkan dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri ,
kecuali bagi mereka yang tidak dapat melakukannya.seperti:bayi
dan anak pasien koma,keterbelakangan mental / kelainan kejiwaan.
4) Non-maleficence
Prinsip berkaitan dengan kewajiban perawat untuk tidak dengan
sengaja menimbulkankerugian / cidera pasien.
Jangan membunuh
jangan menyebabkan nyeri/penderitaan lain.
jangan membuat orang lain tidakberdaya.
Jangan melukai perasaan
5) Veracity ( kejujuran )
Kewajiban perawat untuk mengatakan suatu kebenaran.
Tidak bohong tidak menipu. Terutama dalam proses informed
consent.
Perawat membatu pasien untuk memahami informasi dokter
tentang rencana tindakan medik / pengobatan dengan jujur.
6) Kridensialitas ( kerahasiaan )
Prinsip ini berkaitan dengan kepercayaan pasien terhadap perawat.
Perawat tidak akan menyampaikan informasi tentang kesehatan
pasien kepada orang yang tidak berhak.
Prinsip Info diagnose medik diberikan oleh dokter. Perawat memberi onfo
kondisi kesehatan umum
7) Fidelity ( kesetiaan )
Ini berkaitan dengan kewajiban perawat untuk selalu setia pada
kesepakatan dan tanggung jawab yang telah dibuat.
Tanggung jawab perawat dalam tim
Asuhan keperawatan kepada individu, pemberi kerja ,
pemerintah dan masyarakat.
8) Justice ( keadilan )
Berkenaan dengan kewajiban perawat untuk adil kepada semua
orang . Adil tidak memihak salah satu orang. Semua pasien harus
mendapatkan pelayanan yang sama sesuai dengan kebutuhannya.
Kebutuhan pasien klas Utama berbeda dengan kebutuhan pasien
klas III.
B. Jenis-Jenis Penyelewengan Jabatan UU Tipikor dalam Bidang Kesehatan
Apabila terjadi korupsi pada sektor kesehatan, maka akan berimbas penurunan
angka harapan hidup dan menaikkan angka kematian bayi. Dampak korupsi lebih jauh
adalah naik dan tingginya harga obat-obatan dan rendahnya kualitas alat kesehatan pada
rumah sakit dan puskesmas serta sarana kesehatan masyarakat lainnya.
Sektor kesehatan merupakan urusan publik yang tidak lepas dari praktek korupsi.
Korupsi pada sektor kesehatan melibatkan aparat dan pejabat tingkat rendah hingga
tingkat tinggi. Pada tingkat rendah menyentuh pada kepala dinas kesehatan (Dinkes) pada
tingkat kabupaten/kota dan provinsi, sedangkan pada tingkat tinggi melibatkan pejabat
pada kantor kementerian kesehatan dan lembaga lainnya pada tingkat nasional seperti
BPOM maupun anggota DPR yang membidangi kesehatan.
Hasil investigasi Indonesia Corruption Warch (ICW) sampai tahun 2008, kasus
korupsi pada sektor kesehatan telah menimbulkan kerugian negara mencapai Rp 128
miliar. Kasus-kasus tersebut melibatkan para pejabat tingkat lokal seperti level kepala
dinkes dan DPRD serta direktur rumah sakit, sedangkan korupsi pada tingkat tinggi
belum terungkap ketika itu. Modus korupsi yang dominan masih berputar dalam
pengadaan barang dan jasa dengan modus mark up yang menimbulkan kerugian negara
sebesar Rp 103 miliar, sisanya adalah modus penyuapan.
A. Tempat Korupsi di Sektor Kesehatan
Di Indonesia, sudah terdeteksi berbagai praktek yang menjurus korupsi di
level mikro pelayanan klinis dan sistem manajemen rumah sakit, antara lain :
dokumen asuransi yang tidak beres, tagihan perawatan yang tidak sah; pembelian
obat dan bahan habis pakai yang fiktif; penjualan bahan dan obat yang tidak
sesuai aturan dan cenderung merugikan masyarakat; dokter tidak aktif menangani
pasien (mewakilkan ke dokter lain atau residen), namun menerima jasa; kolusi
dengan pabrik/distributor obat dan alat kesehatan yang merugikan pasien.
Di level sistem-sistem manajemen rumah sakit, dan lingkungan rumah
sakit, terjadi antara lain : saat pembelian alat-alat kesehatan (alkes) dan obat;
suap/gratifikasi misal dalam perijinan atau akreditasi rumah sakit; dalam
konstruksi RS dan Puskesmas; penyelewengan dana Jamkesmas-Jamkesda dan
bantuan sosial kesehatan; memberikan dana illegal ke pimpinan pemerintah
daerah agar menjadi pejabat struktural di RS atau menjadi pegawai.
Terjadinya korupsi bahkan sudah sampai korupsi yang "by design".
Sebagai gambaran pembelian alat direncanakan oleh oknum eksekutif, dengan
dorongan dari penjual alat kesehatan. Direktur rumah sakit dapat terpojok untuk
memberikan tanda tangan yang kemungkinan dapat berujung pada korupsi.
B. Dampak Korupsi Terhadap Sistem Manajemen Rumah Sakit
Sistem manajemen rumah sakit yang diharapkan untuk pengelolaan lebih baik
menjadi sulit dibangun. Bila korupsi terjadi di berbagai level maka akan terjadi
keadaan sebagai berikut:
1) Organisasi rumah sakit menjadi sebuah lembaga yang mempunyai sisi
bayangan yang semakin gelap;
2) Ilmu manajemen yang diajarkan di pendidikan tinggi menjadi tidak
relevan;
3) Direktur yang diangkat karena kolusif (misalnya harus membayar untuk
menjadi direktur) menjadi sulit menghargai ilmu manajemen;
4) Proses manajemen dan klinis di pelayanan juga cenderung akan tidak
seperti apa yang ada di buku-teks;\
Akhirnya terjadi kematian ilmu manajemen apabila sebuah rumah
sakit/lembaga kesehatan sudah dikuasai oleh kultur korupsi di sistem
manajemen rumah sakit maupun sistem penanganan klinis.
C. Penanganan Korupsi di Sektor Kesehatan
Secara prinsip dikenal ungkapan Pencegahan lebih baik dibanding dengan
Pengobatan. Oleh karena itu, diperlukan pencegahan korupsi di sektor kesehatan
melalui berbagai cara, antara lain:
1) Pembangunan karakter tenaga kesehatan, pimpinan pemerintahan dan
politik, serta konsultan, yang dimulai sejak masa kecil;
2) Rekrutmen pimpinan lembaga kesehatan dan rumah sakit dan serta
SDMnya harus dilakukan secara baik ,dan transparan;
3) Pendampingan kegiatan yang potensi korupsi sejak awal perencanaan,
terutama pada proyek-proyek di sektor kesehatan yang rentan menjadi
proyek yang dapat dirancang untuk dikorupsi;
4) Cermat dalam melakukan kegiatan, termasuk administrasi perkantoran;
5) Dokter, tenaga kesehatan, manajer RS harus memahami peraturan dan
perundangan mengenai korupsi melalui pendidikan dan pelatihan.
I. Tindak Pidana Korupsi Dalam Bidang Kesehatan Lokal
Berikut beberapa contoh tindak pidana korupsi dalam bidang kesehatan :
a. Pada tingkat pejabat dinas kesehatan lokal, salah satu kasus korupsi dilakukan oleh dr
Laode Budiono MPH, Kepala Dinas Kesehatan Pemkab Brebes atas dugaan korupsi dana
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) tahun 2009/ 2010 senilai Rp 150 juta. Dana
Jamkesmas senilai Rp 150 juta itu digunakan untuk kepentingan pribadi. Laode yang juga
mantan Direktur RSUD Brebes itu ditahan di Lembaga Pemasyarakat (LP) Brebes sejak
Rabu (19/10). Penahanan dilakukan atas beberapa pertimbangan dan sesuai asal 21
KUHP, di antaranya, dikhawatirkan melarikan diri, dikhawatirkan menghilangkan barang
bukti dan tersangka menggulangi perbuatannya. Sementara dr Laode Budiono
membantah tindakannya masuk korupsi karena hanya meminjam uang Rp 150 juta dari
dana Jamkesmas di Puskesmas Jatibarang (Cybernews).
b. Kasus lainnya pada tingkat lokal terjadi di Nias Selatan (Nisel) yang melibatkan Mantan
Kepala Dinas (Kadis) Kesehatan setempat, Rahmat Al Yakin Dachi. Pengadaan obat-
obatan generik pada Dinas Kesehatan (Dinkes) Nisel tahun 2007 dengan nilai kontrak Rp
3,7 miliar seharusnya melalui proses lelang, namun terdakwa bersama Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) dan Ketua Panitia Lelang menetapkan PT Septa Sarianda sebagai
rekanan melalui Penunjukan Langsung (PL), seolah-olah sebagai pemenang lelang. Pihak
panitia lelang tidak menetapkan daftar harga sesuai SK Menkes
No.521/Menkes/SK/IV/2007 tentang Harga Obat Generik sehingga dalam pengadaan 203
jenis obat generik tersebut, PT Septa Sarianda melakukannya di atas harga resmi
sebagaimana ditetapkan dalam SK Menkes tersebut. Pihak Pemkab Nisel membayar
pengadaan obat-obatan generik tersebut kepada P Damanik sebesar Rp 3,2 miliar. Namun
hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sumut ditemukan
kerugian negara (Pemkab Nisel) sebesar 2,07 miliar. Dalam perkara ini, penyidik menyita
uang sebesar Rp 1,7 miliar yang tersimpan di rekening Pemkab Nisel untuk negara.
Terdakwa divonis satu tahun enam bulan (18 bulan) penjara karena melanggar Pasal 3 jo
Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Terdakwa juga divonis untuk membayar
denda senilai Rp 50 juta subsider satu bulan kurungan (Analisa, 28/10/2011).
II. Korupsi Skala Besar
Salah satu kasus korupsi skala besar pada tingkat pemerintah pusat adalah kasus
korupsi alat kesehatan pada Kemenko Kesra pada 2009 yang melibatkan terdakwa
Sutedjo Yuwono. Soetedjo Yuwono adalah Sekretaris ketika Aburizal Bakrie menjadi
Menko Kesra. Kasus ini ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena
sarat dengan korupsi yakni penunjukan langsung proyek alkes itu. PT Bersaudara adalah
perusahaan yang menjadi rekanan pada proyek tersebut. Soetedjo Yuwono didakwa
melakukan korupsi dalam proyek pengadaan alat kesehatan untuk penanggulangan wabah
flu burung tahun 2006. Terdakwa melaksanakan pengadaan peralatan rumah sakit untuk
penanggulangan flu burung tahun anggaran 2006 pada Kemenko Kesra bertentangan
dengan Keppres tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa.
Perbuatan korupsi Sutedjo secara sendiri atau bersama-sama dengan orang lain
yang diantaranya adalah Ngatiyo Ngayoko (Pejabat Pembuat Komitmen Kemenko
Kesra), Daan Ahmadi (Direktur Utama PT Bersaudara) dan M Riza Husni (Direktur
Keuangan PT Bersaudara). Soetedjo didakwa dengan dakwaan primer Pasal 2 ayat 1 UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dakwaan subsider Pasal 3 UU yang sama.
Terdakwa menyalahgunakan kewenangan yang ada pada jabatannya selaku kuasa
pengguna anggara DIPA APBN-P Kemenko Kesra tahun 2006.
Soetedjo telah memenangkan PT Bersaudara sebagai pelaksana proyek pengadaan
dengan metode penunjukan langsung. Proyek pengadaan alat kesehatan senilai Rp 98,6
miliar itu telah mengakibatkan kerugian keuangan negara senilai Rp 36,2 miliar.
Kerugian berasal dari penggelembungan harga alat-alat kesehatan yang dibeli Kemenko
Kesra. Pembayaran bersih yang diterima PT Bersaudara untuk 2006 sebesar Rp 88,3
miliar. Dari pembayaran tersebut yang dipergunakan oleh PT Bersaudara untuk realisasi
pengadaan hanya sebesar Rp 48,054 miliar.
Pada kasus pengadaan alat kesehatan tahun 2007, KPK menetapkan seorang
mantan pejabat di Kementerian Kesehatan bernama Rustam Syarifuddin Pakaya sebagai
tersangka kasus dugaan korupsi. Penetapan Rustam sebagai tersangka oleh KPK
berdasarkan pengembangan kasus korupsi pengadaan alat kesehatan untuk
penanggulangan flu burung pada 2006. Akibat perbuatannya, Rustam dijerat Pasal 2 Ayat
(1) dan atau Pasal 3 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus korupsi tingkat pemerintah pusat lainnya yang ditangani Kejaksaan Agung
adalah kasus dugaan korupsi di Kementerian Kesehatan dalam pengadaan alat bantu
belajar mengajar pendidikan dokter/dokter spesialis di rumah sakit dengan nilai proyek
Rp 417 miliar. Kasus korupsi pelaksanaan pekerjaan pengadaan alat bantu belajar
mengajar pendidikan dokter/dokter spesialis di rumah sakit pendidikan dan rumah sakit
rujukan pada Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia di
Kemkes terjadi pada 2010. Ada tiga orang yang menjadi tersangka pada kasus tersebut
berdasarkan surat penetapan tersangka ditandatangani sejak 20 Oktober 2011 yakni
Widianto Aim (Ketua Panitia Pengadaan), Syamsul Bahri (Pejabat Pembuat Komitmen)
dan Bantu Marpaung (Direktur PT Buana Ramosari Gemilang). Syamsul berperan
sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dan Widianto sebagai ketua panitia pengadaan
melakukan korupsi dengan pemenang tender, Bantu Marpaung.
Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih yang saat ini masih menjaabt
tak lepas dari isu korupsi. Adalah Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen
Indonesia (KP3I) yang melaporkan Endang dan Nazaruddin ke Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) pada Kamis (16/6/2011) atas dugaan korupsi Pengadaan Alat Bantu
Belajar Mengajar (ABBM) Pendidikan dokter/dokter Spesialis di Rumah Sakit (RS)
Pendidikan dan RS Rujukan Tahun 2010 pada Kementerian Kesehatan. Proyek ini
berasal dari APBN Perubahan 2010 lalu yang diduga melibatkan para mafia anggaran di
DPR yang diatur oleh Muh Nazaruddin (anggota Fraksi Partai Demokrat) dan kawan-
kawan. KP3I menganggap pengadaan ABBM tersebut sarat rekayasa dan korupsi dengan
potensi kerugian negara yang sangat besar.
III. Dampak Korupsi
Para pejabat korup pada sektor kesehatan telah mencederai upaya pembangunan
kesehatan yang oleh Notoatmodjo bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif
secara sosial dan ekonomis (Notoadmodjo, 2010:53). Mengapa? Karena anggaran untuk
membangun sector kesehatan justru digunakan untuk memperkaya diri dan kelompoknya
dan mengabaikan hak masyarakat untuk mendapatkan alat kesehatan dan pelayanan
kesehatan.
Dampak korupsi pada sektor kesehatan dapat mengakibatkan menurunnya derajat
kesehatan masyarakat yang berimbas pada IPM (Indeks Pembangunan Manusia).
Indikator IPM seperti angka kematian bayi dan angka harapan hidup sangat terkait
dengan pendanaan sektor kesehatan. Apabila terjadi korupsi pada sektor kesehatan, maka
akan berimbas penurunan angka harapan hidup dan menaikkan angka kematian bayi.
Dampak korupsi lebih jauh adalah naik dan tingginya harga obat-obatan dan rendahnya
kualitas alat kesehatan pada rumah sakit dan puskesmas serta sarana kesehatan
masyarakat lainnya.
Terjadinya kasus-kasus korupsi pada sektor kesehatan yang melibatkan pejabat
pada kementerian kesehatan dan dinas kesehatan lokal menunjukkan rendahnya
transparansi dan akuntabilitas serta kepatuhan pada hukum. Besarnya diskresi atau
kewenangan pejabat dan rendahnya etika pejabat sektor kesehatan menyebabkan
menguatnya dan meningkatnya kesempatan melakukan praktek korupsi disektor
kesehatan.

Referensi :

• Hanafiah,J. Dan A.Amir. 2008. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta : EGC
• Efendy, Ferry dan Makhfudli. 2009.Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta
:Salemba Medika.
• Suhaemi, mimin. 2006. Etika Keperawatan Aplikasi pada Praktik . Jakarta : EGC.
• Prihajo,R .2010 .Pengantar Etika Keperawatan. Yogyakarta : Kanisius.
• Haryono, Rudi. 2013. Etika Keperawatan dengan Pendekatan Praktis. Yogyakarta:
GosyenPublishing
• Kalla, M. Jusuf. 2009. Korupsi, Mengorupsi Indonesia, Sebab, Akibat, dan Prospek
Pemberantasan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
• Kemendikbud RI. 2011. Pendidikan Anti-Korupsi untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Kemendikbud.

Anda mungkin juga menyukai