Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana kita sadari, bagaimanapun kemajuan peradaban selalu didahului ilmu
pengetahuan (sains). Bangsa yang maju adalah bangsa yang menguasai dan unggul
dalam hal penguasaan ilmu. Kenyataan ini telah dibuktikan dalam sejarah kejayaan
Islam antara tahun 132 H-656 H (750 M-1258 M) dimana negeri-negeri Islam pada
saat itu menunjukan kemampuan di bidang ilmu pengetahuan dengan semangat
keilahian yang bersumber dari Al Quran dan Hadits. Selama rentang enam abad betapa
hebat perkembangan ilmu pengetahuan sehingga mampu melahirkan berbagai tokoh-
tokoh handal, seperti Al-Farazi sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun
Astrolobe, al-Razi dan Ibnu Sina dalam bidang kedokteran, Jabir bin Hayyan dalam
bidang kimia, Musa al-Khawarizmi dalam bidang matematika.1
Akan tetapi sangat disayangkan karena beberapa faktor baik internal maupun
eksternal setelah periode ini berakhir, Islam justru mengalami kemunduran.
Kendati demikian, zaman modern tampaknya memberi kemungkinan baru bagi
umat muslim untuk memperluas cakrawala dan menjadi kreatif kembali. Mereka tidak
hanya mengagungkan kejayaan masa lampau tetapi bagaimana menggali kembali etos
kerja keilmiahan para ilmuwan muslim terdahulu yang terpadu dengan semangat ajaran
keahlian.
Dengan mencermati kondisi tersebut dimana dampak-dampak ilmu pengetahuan
modern yang mengancam eksitensi kemanusiaan terutama umat Islam, nampaknya
telah mengusik kesadaran para pemikir dunia, antara lain Ismail Raji al-Faruqi, Sayyed
Hossein Nasr dan Syed Muhammad Naquib al-Attas dengan ide-ide besarnya ingin
mengembalikan kembali gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamization Of
Knowledge). Ide ini disemangati oleh obsesi untuk mengembalikan ilmu pengetahuan
dalam kekuatan Islam (muslim) sebagaimana pada masa klasik.2

1
Imam Suprayogo, Quo Vadis Pendidikan Islam (Malang: UIN Malang Press, 2002), 252.
2
Ibid.

1
Dengan adanya Islamisasi ilmu ini diharapkan akan memberi implikasi terhadap
pengembangan kurikulum pendidikan Islam. Adanya pembaruan dalam kurikulum
yang berupa upaya perpaduan ilmu agama dan ilmu umum, kegiatan pendidikan Islam
akan berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yang ditetapkan yaitu
terbentuknya manusia muslim seutuhnya.
Berangkat dari latar belakang masalah tersebut  di atas, maka penulisan makalah
ini kami beri judul “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dan Implikasinya Dalam
Pendidikan”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan Masalah dalam makalah ini akan membahas diantaranya :  
1. Bagaimana sejarah awal mula munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan?
2. Apa konsep dasar yang melatar belakangi munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan ?
3. Siapa tokoh pelopornya serta bagaimana biografi dan pemikirannya ?
4. Apa pentingnya Islamisasi ilmu itu ? 
5. Bagaimana terjadinya proses Islamisasi ilmu pengetahuan dalam  Pendidikan Islam ?
6. Apa implikasi Islamisasi ilmu pengetahuan dalam Pendidikan ?   
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendiskripsikan tentang :
1. Sejarah awal mula munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan
2. Konsep dasar dan lataang Islamisasi ilmu pengetahuan
3. Tokoh pelopor, biografi dan pemikirannya
4. Pentingnya Islamisasi ilmu
5. Islamisasi ilmu pengetahuan dalam Pendidikan Islam
6. Implikasi Islamisasi ilmu pengetahuan dalam pendidikan      

2
BAB II
GAGASAN ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN DAN IMPLIKASINYA DALAM
PENDIDIKAN
A. Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan    
Islamisasi ilmu sebenarnya telah dilakukan pertama kali oleh Nabi Muhammad
SAW yakni ketika beliau mendakwahkan ajaran keimanan (tauhid) dan memperbaiki
moralitas (akhlak) umat manusia, untuk memberantas segala mitos dan keyakinan
hidup yang tidak mempunyai dasar yang kokoh, serta membangun sikap mental
mereka agar tidak terbelenggu dan terpenjara oleh segala sesuatu yang selain Allah.
Karena itu, apa yang didakwahkan oleh beliau merupakan perwujudan dari nilai
keimanan kepada Allah yang tersimpul dalam pernyataan “Tiada Tuhan selain Allah”.3
Selanjutnya munculnya isu Islamisasi ilmu pengetahuan ini adalah sebagai
respon atas dikotomi antara ilmu agama dan sains yang dimasukkan Barat sekuler dan
budaya masyarakat modern ke dunia Islam. Kemajuan yang dicapai sains modern telah
membawa pengaruh yang menakjubkan, namun di sisi lain juga membawa dampak
yang  negatif, karena sains modern (Barat) kering nilai atau terpisah dari nilai agama.
Di samping itu Islamisasi Ilmu Pengetahuan juga merupakan reaksi atas krisis sistem
pendidikan yang dihadapi umat Islam, yakni adanya dualisme sistem pendidikan Islam
dan pendidikan modern (sekuler) yang membingungkan umat Islam.4
Dan juga ide Islamisasi ilmu pengetahuan berangkat dari kondisi yang
memprihatinkan di dunia Islam pada masa modern yang mengalami ketertinggalan
ilmu pengetahuan dan dominasi ilmu pengetahuan Barat yang sekuler yang dewasa ini
berkembang di dunia Islam.5
Selanjutnya upaya untuk melakukan Islamisasi Ilmu menurut beberapa sumber
pertama kali diangkat Syed Husein Nasr dalam beberapa karyanya sekitar tahun 1960-
an. Saat itu, Nasr berbicara dan membandingkan antara metodologi ilmu-ilmu
keIslaman dengan ilmu-ilmu umum, terutama ilmu alam, matematika, dan metafisika.
3
Muhaimin, Wawasan Pendidikan Islam (Bandung: Marja, 2014),  335.
4
https://www.kompasiana.com/srimaulida/55802df411937355190285d4/islamisasi-ilmu-pengetahuan?page=all,
(online), diakses pada 12 Oktober 2021, pukul 09.02 WIB.
5
Iswati, Upaya Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam (At-Tajdid, Volume. 1, No. 1
Januari-Juni 2017), 92.

3
Menurutnya, apa yang dimaksud ilmu dalam Islam tidak berbeda dengan ‘scientia’
dalam istilah Latin. Perbedaan diantara keduanya adalah metodologi yang dipakai.
Ilmu-ilmu keIslaman tidak hanya memakai metodologi rasional dan cenderung
posivistik, melainkan menerapkan berbagai metodologi, rasional, tekstual, bahkan
intuitif sesuai dengan obyek yang dikaji.6
Beberapa tahun kemudian gagasan tersebut dikembangkan dan diresmikan
sebagai proyek Islamisasi ilmu oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas tahun 1977. Ia
menulis makalah tentang Islamisasi ilmu tersebut yakni Preliminary Thought on the
Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education, yang disampaikan di
First World Comperence on Moslem Education di Makkah, atas sponsor Universitas
King Abdul Aziz.7
Ide ini selanjutnya lebih disempurnakan oleh Naquib sendiri dengan ditulisnya
buku The Concepts of Education in Islam A Framework for an Islamic Philosophy of
Education, (Kuala Lumpur, ABIM, 1980), disamping Islam and Secularism, (Kuala
Lumpur, ABIM, 1978).8
Berbeda dengan Nasr yang baru sekedar berusaha menyandingkan atau
mempertemukan ilmu-ilmu Barat dan ilmu-ilmu keislaman, Naquib telah berbicara
tentang persoalan ontologis sekaligus epistemologis ilmu. Menurutnya, Islamisasi ilmu
tidak hanya dilakukan dengan mempertemukan diantara keduanya melainkan perlu
adanya rekonstruksi ontologis dan epistemologis, karena dari sinilah sebuah keilmuan
lahir.
Gagasan Islamisasi ilmu ini mendapat sambutan yang luar biasa dari para
intelektual muslim di dunia. Karena itu, pada tahun 1977 itu juga, diadakan konferensi
internasional pertama di Swiss, untuk membahas lebih lanjut ide Islamisasi ilmu
tersebut. Konferensi yang dihadiri 30 partisipan ini berusaha menelusuri penyebab
terjadinya krisis di kalangan umat Islam dan cara mengatasinya. Solusi yang disepakati

6
Muhaimin, Wawasan..., 335.
7
Ibid.
8
Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakart: Pustaka Pelajar,  2004), 241.

4
adalah mencari pendekatan secara sistematis dan mencari metodologi yang tepat untuk
membangun sistem pengetahuan Islam yang mandiri sebagai fondasi peradaban Islam.9
Konferensi pertama tersebut ternyata memberi pengaruh besar terhadap para
ilmuan muslim dunia. Di Amerika, gagasan Islamisasi ilmu disambut dan dipelopori
oleh Ismail Raji al-Faruqi, sehingga didirikan sebuah perguruan tinggi, The
International Institute of Islamic Thought (IIIT), tahun 1981 di Washington.10
Sejak berdirinya, IIIT telah menekankan perlunya untuk melatih dan mendidik
sarjana-sarjana muslim dalam bidang Islamisasi ilmu sosial dan mendorong mereka
untuk melakukan penelitian dan menulis topik-topik sosial dari sudut pandang Islam.
Selanjutnya bekerja sama dengan Association of Muslim Social Scientist
(AMSS), IIIT telah berhasil menerbitkan jurnal yang bernama American Journal of
Islamic Sosial Sciences (AJISS). Jurnal ini bertujuan untuk menjadi jembatan bagi
seluruh intelektual dan sarjana muslim di seluruh dunia untuk meningkatkan atau
mengembangkan pendekatan kesarjanaan dalam disiplin ilmu sosial dan kajian-kajian
humaniora.
Secara terperinci IIIT bertujuan untuk :
1. Meningkatkan pandangan Islam yang universal dalam mengkaji dan memperjelas
masalah global Islam.
2. Mengembalikan jati diri intelektual dan kultural umat Islam lewat usaha Islamisasi
ilmu, kemanusiaan, sosial dan meneliti serta memahami secara mendalam
pemikiran kontemporer dalam dunia Islam untuk kemudian mencari kemungkinan
solusinya.11
3. Mengembangkan suatu pendekatan komprehensif yang Islami terhadap ilmu-ilmu
sosial dan kemanusiaan dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
kontemporer bagi cita-cita Islam dan manusia.
4. Menghidupkan pemikiran Islam, mengembangkan metodologinya dan
menghubungkannya dengan tujuan syariah.

9
Ibid., 242.
10
Abdurrachman Mas’ud dkk, Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 113.
11
Khudori Soleh., Wacana..., 243.

5
5. Mengembangkan, mengkoordinasi dan mengadakan penelitian langsung dalam
bidang-bidang yang berbeda sehingga mampu memproduksi buku-buku teks yang
menjelaskan visi-visi dan meletakkan dasar bagi disiplin ilmu Islam dalam ilmu-
ilmu tentang kemanusiaan.
6. Mengembangkan sumber daya manusia yang mampu mencapai tujuan-tujuan
tersebut.
Beberapa tahun kemudian pada tahun 1983 diadakan konferensi II di Islamabad,
Pakistan untuk menindaklanjuti konferensi I.
Konferensi II ini mempunyai tujuan :
1. Mengekspos hasil-hasil konferensi I dan rumusan masalah yang telah dihasilkan
IIIT tentang cara mengatasi krisis di kalangan umat.
2. Mengupayakan suatu penelitian dalam rangka mengevaluasi krisis tersebut dan juga
mencari penyebab dan gejalanya.
Menurut hasil penelitian IIIT, faktor yang menyebabkan terjadinya krisis
pemikiran di kalangan umat Islam adalah:
1. Serangan Budaya Barat, termasuk pendidikan terutama bidang-bidang ilmu sosial
dan ilmu-ilmu humaniora. Banyak sarjana muslim yang mempelajari dan
mendalami ilmu ini tanpa mau menyadari bahwa ilmu-ilmu ini dikembangkan atas
dasar ontologis dan epistemologis yang sekuler, yang tidak mengakui wahyu
sebagai sumber keilmuan.
2. Adanya gap (pemisah) antara seorang intelektual muslim dengan warisan khasanah
Islam sendiri, karena mereka lebih banyak mengadopsi serta meniru secara buta
pola pendidikan dan keilmuan Barat tanpa mau merujuk pada literatur-literatur
tradisional Islam yang sangat berharga.12
Setelah konferensi II, muncul konferensi III yang diadakan tahun 1984 di Kuala
Lumpur. Tujuannya adalah untuk mengembangkan rencana formasi landasan berpikir
umat Islam dengan mengacu secara lebih spesifik kepada metodologi dan prioritas
masa depan dan mengembangkan skema Islamisasi masing-masing disiplin ilmu.
Karena itu, makalah yang disajikan yang meliputi disiplin ilmu Ekonomi, Sosiologi,
12
Ibid., 244

6
Psikologi, Antropologi, Ilmu Politik, Hubungan Internasional dan Filsafat dikupas
secara kritis dan dievaluasi prestasinya bagi kesejahteraan manusia, kemudian diberi
saran-saran untuk proyek Islamisasi.13
Tiga tahun kemudian, tahun 1987 diadakan konferensi IV di Khortum, Sudan.
Konferensi yang mengambil tema ‘metodologi pemikiran Islam dalam Islamisasi ilmu-
ilmu etika dan pendidikan’ ini membahas tentang persoalan metodologi yang
merupakan tantangan dan hambatan utama bagi terlaksananya program Islamisai ilmu.
Sebab, para pakar muslim yang memiliki latar belakang pendidikan Barat ternyata
tidak mampu menyajikan evaluasi dan kritik mendalam terhadap penguasaan ilmu
mereka sendiri, sehingga mereka tidak siap memberikan kontribusi positif bagi
pemikiran bidang etika dan pendidikan.14
Di Indonesia, Islamisasi ilmu telah direspon secara positif melalui rekomendasi
dari Konferensi Internasional pertama tentang Pendidikan Islam di Makkah pada tahun
1977. Pada tahun 1978 Menteri agama RI telah mengambil langkah-langkah untuk
mengimplementasikan rekomendasi dari Konferensi Makkah tersebut. Maka kurikulum
baru berhasil diformulasikan dengan memasukkan agama (Islam) sebagai mata
pelajaran atau mata kuliah wajib di semua tingkatan pendidikan dari pendidikan tingkat
dasar sampai pendidikan tingkat tinggi.15
Tetapi kemudian muncul masalah ketika kurikulum baru tersebut hendak
diimplementasikan pada semua tingkatan pendidikan. Karena meskipun Menteri agama
punya tanggungjawab dalam pengawasan pendidikan agama, tetapi perlu diingat
bahwa Menteri agama tidak punya wewenang dalam masalah pendidikan.16
Yang berwenang dalam masalah pendidikan adalah Menteri pendidikan dan
kebudayaan. Sehingga pada tahun 1980, dicapailah kesepakatan bersama antara dua
menteri dan akhirnya dikeluarkan keputusan bersama antara Menteri agama dan

13
Ibid.
14
Khudori Soleh., Wacana..., 244.
15
Abdurrachman Mas’ud dkk, Paradigma..., 119.
16
Ibid.

7
Menteri pendidikan dan kebudayaan dimana agama masuk ke dalam kurikulum yang
diajarkan kepada semua siswa.17 
B. Konsep Dasar dan Latar Belakang Islamisasi Ilmu Pengetahuan  
Ada beberapa alasan utama yang menjadi latar belakang program Islamisasi ilmu
pengetahuan menurut Al-Faruqi yaitu kondisi realitas dunia Islam pada saat gagasan
Islamisasi ilmu pengetahuan dikemukakan. Menurut Al-Faruqi ada beberapa
permasalahan serius yang sedang dihadapi umat Islam yang disebutnya sebagai sebuah
malaise (krisis) global yang di alami sebagian umat Islam di dunia.18
Krisis tersebut telah menyebabkan umat Islam menempati posisi terendah di antara
bangsa-bangsa lain, mereka mengalami pemerasan, penjajahan dan dirampas
negerinya, dibantai serta dipaksa untuk meninggalkan agamanya.
Sementara dalam kehidupan politik umat Islam terjadi perpecahan dan pertikaian
yang memang sengaja diciptakan oleh negara-negara Barat untuk lebih menciptakan
ketidakstabilan, perpecahan antara umat Islam. Kondisi ini disebabkan oleh usaha
kaum kolonial dan menghancurkan seluruh institusi politik di negara-negara Islam.19
Efek terburuk dari malaise yang dialami umat Islam telah mengakibatkan krisis
serius yang dialami oleh berbagai negara-negara muslim dalam berbagai bidang.
Kekalahan di bidang politik berimbas pada kekalahan dan keterbelakangan di bidang
ekonomi.20
Kehidupan ekonomi umat Islam mengalami kehancuran dengan banyaknya
kelaparan dan ketidakberdayaan ekonomi umat. Keadaan ini menimbulkan
ketergantungan yang luar biasa kaum muslim kepada pihak-pihak asing. Industri-
industri yang diselenggarakan di negara-negara muslim tidak ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan umat Islam, tapi untuk kepentingan kaum kolonial.
Dalam bidang kegamaan dan budaya, umat Islam semakin tersesat dengan
propaganda asing yang mengarah kepada westernisasi, tanpa disadari bahwa itu akan
membawa kepada kehancuran budaya bangsanya dan ajaran Islam. Berbarengan
17
Abdurrachman Mas’ud dkk, Paradigma..., 119.
18
Iswati, Upaya Islamisasi..., 95
19
Sejarah Sosial Umat Islam, terj. Gufron A.Mas’adi, Vol. 1, (Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2000), 89.
20
Iswati, Upaya Islamisasi..., 96.

8
dengan itu dalam bidang pendidikan dibangunlah berbagai sekolah-sekolah yang
menggunakan sistem dan kurikulum Barat, yang selanjutnya melahirkan kesenjangan
di antara umat Islam, yaitu mereka yang terlalu terbaratkan dan sekuler dan mereka
yang tetap menentang sekulerisme. Pemerintah kolonial selalu berusaha agar golongan
umat Islam yang pertama unggul dan menjadi penentu dalam pengambilan kebijakan
umat Islam.21
Sebagai jawaban atas persoalan-persoalan umat Islam sebagaimana di atas, penting
adanya langkah-langkah perbaikan. Al-Faruqi merekomendasikan pentingnya
pemaduan pendidikan yang bersifat sekuler/ profane dengan pendidikan Islam.
Dualisme pendidikan yang terjadi di kalangan umat Islam pada saat ini harus
ditiadakan setuntasnya. Kedua sistem pendidikan tersebut harus dipadukan dan
diintegrasikan, sehingga dapat melengkapi dan menutupi kekurangan masing-masing.22
C. Tokoh pelopor, biografi dan pemikirannya      
1.    Ismail Raji al-Faruqi
Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, sebuah daerah di Palestina pada tanggal 1
Januari 1921. Ayahnya bernama ‘Abd al-Huda al-Faruqi. Riwayat hidup Al-Faruqi
tidak bisa dilepaskan dari konteks perkembangan sosio politik dan sejarah panjang
bangsa dan negara Palestina sebagai tempat kelahirannya. Sebab di daerah tersebut
hampir separuh usia Al- Faruqi di habiskan di Palestina, sebelum akhirnya hijrah ke
Amerika.
Ia mendapatkan pendidikan agama dari Ayahnya. Secara formal pendidikan yang
dilalui al-Faruqi berlatar belakang Barat. Pendidikan  pertamanya di Colllege des Fres
sejak tahun 1926-1936. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikan tinggi di The American
Univercity. Pada usia 24 ia diangkat menjadi gubernur di provinsi Galelia sampai
provinsi ini jatuh ke tangan Israel. Hal ini yang menuntunnya hijrah ke Amerika.23
Di negeri paman Syam ini, garis al-Faruqi berubah. Di sini ia tekun bergelut di
dunia akademis. Di sinilah ia mendapat gelar master dengan judul tesisnya adalah ”On

21
Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang,1985), 126.
22
Iswati, Upaya Islamisasi..., 96.
23
http://sirojtedunan.blogspot.com/2010/12/pembahasan-gagasan-islamisasi-ilmu.html, (online), diakses pada 12
Oktober 2021, pukul 10.32 WIB.

9
Justifiying the God Methaphysic an Efistemology of Value (Tentang pembenaran
kebaikan: Metafisik dan Epistimologi Ilmu).
Selanjutnya ia hijrah ke Mesir selama empat tahun guna mendalami ilmu-ilmu
agama Islam di Universitas al-Azhar. Kecemerlangan karier al-Faruqi tidak terlepas
dari istrinya Lois Lamya al-Faruqi. Bersama-sama mereka membentuk kelompok
kajian keislaman seperti Moslem Student Association (MSA), Americaan Academy of
Relegion (AAR) dan lain-lain.
Demikian gambaran Ismail Raji al-Faruqi sosok ideal, bibit unggul, pemikir dan
ulama ternama ”Pejantan Tangguh” dalam dunia pendidikan Islam dan Dakwah Islam.
Karya-karya terpentingnya di sini adalah The Trialogue of Abrahamic Faiths
(Perbincangan Tiga Pihak Mengenai Agama-Agama Ibrahim, 1986), Essays in Islamic
and Comparative Studies (Esai-Esai dalam Kajian Islam dan Perbandingan, 1982), dan
Historical Atlas of the Religions of the World (Atlas Historis Agama-Agama Dunia,
1974), juga Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Tauhid: Implikasi-
Implikasinya bagi Pemikiran dan Kehidupan, 1982), di samping beberapa artikel di
jurnal kajian agama.
Al-Faruqi secara bersemangat mensinyalir bahwa penyebab tertinggalnya dunia
Islam dibanding dunia barat modern, disebabkan kondisi pendidikan Islam yang
mengalami krisis identitas, akibat pengaruh filsafat dan ilmu pengetahuan yang
melanda sistem pendidikan Islam, yang berimplikasi pada terbelahnya sistem
pendidikan Islam secara dikotomik.24
Ismail Raji Al-Faruqi bisa disebut sebagai cendekiawan muslim yang konsens
dengan masalah epistimologi pendidikan Islam karena pemikirannya tentang Islamisasi
ilmu pengetahuan menjadi pemicu kesadaran sebagian pemikir muslim modern untuk
melakukan upaya redefinisi dan reislamisasi terhadap ilmu pengetahuan yang
berkembang pada masa modern dengan konsep-konsep ideal ilmu pengetahuan dalam
bingkai filsafat Islam.
Pemikiran Islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi secara konkrit dan aplikatif
berusaha mewujudkan dalam bentuk gerakan sistematik berupa pembuatan buku-buku
24
Iswati, Upaya Islamisasi..., 92.

10
ilmiah yang telah diislamkan terlebih dahulu, sebelum dijadikan referensi utama bagi
proses pembelajaran pada jenjang pendidikan tinggi dalam Islam. Oleh karena itu
tampaknya Al-Faruqi berusaha mengembangkan kembali metodologi pengembangan
ilmu pengetahuan berbasis ajaran Islam pada masa modern, sebagaimana keberhasilan
ulama-ulama klasik dalam mengislamkan ilmu-ilmu yng berasal dari Yunani.
Al-Faruqi sendiri dalam risalahnya yang berjudul Islamization of Knowledge,
banyak menampilkan kritiknya terhadap kondisi sistem pendidikan Islam pada
masanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa implikasi pemikirannya tentang Islamisasi
telah banyak mempengaruhi paradigma pemikir muslim lainnya. Seperti munculnya
beberapa lembaga studi Islam bahkan Al-Faruqi sendiri mendirikan sebuah lembaga
studi yang sangat terkenal yaitu The International Intitute of Islamic Thought yang
terkenal dengan singkatan III-T yang bermarkas di Virginia Amerika Serikat. Lembaga
ini tersebar hingga beberapa Negara di kawasan Asia seperti Malaysia, Pakistan dan
beberapa negara Eropa, namun belakangan aktivitas organisasi pengkajian Islam
tersebut mulai redup, diakibatkan krisis financial. Sebagai ilustrasinya adalah III T
yang berada di Malaysia, institute ini sempat berjaya hingga tahun 1998 dan menjalin
kerjasama dengan IIUM ( International Islamic University Of Malaysia). Namun
sekarang pusat kajian itu kurang terdengar lagi gaungnya, dibandingkan misalnya
dengan lembaga kajian sejenis yang didirikan oleh Syed Naquib al-Attas yaitu ISTAC
(Iternational Institute of Ilsmic Thougth and Civilization) yang berkedudukan di Kuala
Lumpur.25
Menurut Azyumardi Azra, Pada awalnya pandangan-pandangan keagamaan yang
menjadi visi pemikiran Al-Faruqi terletak pada dua hal yaitu Arabisme dan Islam.
Dalam studinya tentang Arab, ia menyusun sebuah tulisan terdiri dari 4 jilid yaitu : “on
Arabism: Urubah and Religion” pada perjalanan berikutnya ia lebih memfokuskan
kepada studi tentang Islam melalui diskursus ilmiah dan akademis serta gerakan
advokasi politik dalam melihat pentingnya Islam.26

25
M. Dawam Rahardjo, Strategi Islamisasi Ilmu Pengetahuan: dalam Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu 
Pengetahuan, Moeflih Hasbullahed (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000), 12-13.
26
Iswati, Upaya Islamisasi..., 94.

11
Pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an lebih gencar mempresentasikan Islam
sebagai agama nalar dan ilmiah, maju dan par execellent. Ia menjadi seorang aktivis
Islam yang menempatkan Islam sebagai acuan utama, yaitu sebagai ideologi yang
lengkap dan menyeluruh. Dalam pandangan Al-Faruqi, salah satu kesalahan fatal umat
Islam adalah menganggap ilmu itu terbelah dua, yaitu ilmu-ilmu sekuler (profane) dan
ilmu-ilmu agama Islam. Ide Islamisasi ilmu pengetahuan yang dicetuskan Al-Faruqi
dituangkan dalam risalah berjudul The Islamization of Knowledge yang diterbitkan
oleh III-T. Ide tersebut menjadi terkenal ketika seminar pertama mengenai Islamisasi
Ilmu pengetahuan dilaksanakan di Islamabad, Pakistan pada Januari 1982. Al-Faruqi
berusaha mengingatkan dunia Islam akan suatu konflik antara ilmu pengetahuan dalam
pandangan Barat dan Islam, yaitu dengan merencanakan suatu yang dapat menghindari
terjadinya konflik tersebut, serta menggalakkan kembali pendidikan Islam
sebagaimana yang diharapkan.27
Selanjutnya Al-Faruqi menjelaskan tentang langkah-langkah upaya Islamisasi ilmu
pengetahuan, yaitu sebagai berikut:
1. Penguasaan disiplin ilmu modern, pengetahuan kategoris.
2. Survei disiplin.
3. Penguasaan khazanah ilmiah Islam.
4. Penguasaan khazanah Islam: tahap analisa.
5. Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin ilmu.
6. Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern; tingkat perkembangan masa kini.
7. Penilaian kritis terhadp khazanah Islam; tingkat perkembangan dewasa ini.
8. Survey permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam.
9. Survey permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia.
10. Analisa kreatif dan sintesis.
11. Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam dalam bentuk
buku daras (buku teks) tingkat Universitas.

27
https://sudiryona.wordpress.com/about/islamisasi-ilmu-pengetahuan-islam/(online), diakses  12 Oktober 2021, pukul
10.35 WIB.

12
12. Adalah berbagai langkah terakhir kerja Islamisasi ilmu pengetahuan yaitu
penyebaran ilmu yang telah diislamisasi.28
Konsep yang ditawarkan al-Faruqi adalah bahwa ilmu pengetahuan tidak semuanya
kontradiktif dengan nilai-nilai Islam, sehinga menurutnya, Islamisasi pengetahuan
adalah melakukan penyaringan dari ilmu pengetahuan yang telah ada dengan
mempertimbangkan nilai-nilai Islam. Metode konsepsi yang demikian dianggap
sebagai metode integrasi antara teori dan tradisi keilmuan Islam dan keilmuan Barat
yang sekuler.29
2. Syed Muhammad Naquib al-Attas
Syed Muhammad Naquib al-Attas lahir pada tanggal 5 september 1931 M. Nama
lengkapnya adalah Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin al-Attas
silsilah keluarganya melalui silsilah sayyid dalam keluarga Ba’lawi sampai kepada
Imam Husein cucu Nabi Muhammad SAW.30
Beliau Adik kandung dari Syed Hussein al-Attas, seorang ilmuwan dan pakar
sosiologi pada Universitas Malaya, Kuala Lumpur Malaysia. Ayahnya bernama Syed
Ali bin Abdullah Al-Atas dan ibunya bernama Syarifah Raguan al-Idrus. Silsilah resmi
keluarga Naquib al-Attas yang terdapat dalam koleksi pribadinya menunjukkan bahwa
beliau merupakan keturunan ke 37 dari Nabi Muhammad SAW dan dari keturunan
kaum ningrat berdarah biru.31
Moyang Naquib berasal dari Hadramaut (Yaman) diantara leluhurnya ada yang
menjadi ulama’ besar, yaitu Syed Muhammad ‘Alaydrus (dari silsilah Ibu), guru dan
pembimbing ruhani syed Abu Hafs Umar ba Syaiban yang berhasil mengantarkan Nur
al-Din al-Raniri, seorang Ulama terkemuka di dunia melayu ke tarekat Rifa’iyah.
Ibunda Syed Muhammad Naquib al-Attas, yaitu Syarifah Raguan A, berasal dari
28
Ismail Raji Al-Faruqi, Islamization of Knowledge General Principles and Work Plann, Terj. bahasa Indonesia ,
Islamisasi Pengetahuan, Terj. Anas Mahyuddin, Islamisasi Pengetahuan, 98-118. Lihat juga Mona Abu Fadl, Where East
Meets West; The West on Agenda of Islamic Revival, Herndon (Virginia: international Institute of Islamic Thought, 1990),
54.
29
https://sudiryona.wordpress.com/about/islamisasi-ilmu-pengetahuan-islam/(online), diakses  12 Oktober 2021, pukul
10.45 WIB.
30
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas ( Bandung: Mizan, 2003)
cet. Ke-1, 45.
31
Jawahir,”Syed M. al- Naquib al-Attas, Pakar Agama, Pembela Aqidah Dan Pemikir Islam Yang Dipengaruhi Paham
Orientalis”, dalam panji masyarakat, no. 603, edisi 21-28 Februari 1989, 32.

13
Bogor, Jawa Barat, dan merupakan keturunan-keturunan dari raja-raja Sunda
Sukaparna.32
Sedangkan dari pihak ayah, al-Attas merupakan cucu dari seorang wali yang
bernama Syed Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad al-Attas, yang sangat terkenal
tidak hanya di Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri Arab, neneknya Ruqoyyah
Hanum, adalah wanita Turki berdarah aristokrat yang menikah dengan Ungku Abdul
Majid. Adik Sultan Abu Bakar Johor ( W. 1895) yang menikah dengan adik Ruqoyah
Hanum, Khodijah. yang kemudian menjadi ratu Johor. Setelah Ungku Abdul Majid
wafat, ia meninggalkan dua orang anak. Ruqoyah menikah untuk kedua kalinya
dengan Syed Abdullah al-Attas dan dikaruniai seorang anak, Syed Ali al-Attas, yaitu
bapak dari Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Kakaknya bernama Syed Husein, seorang ahli Sosiologi dan mantan Wakil Rektor
Universitas Malaya, sedangkan adiknya bernama Syed Zaid seorang Insinyur kimia
dan mantan Dosen Institut Teknologi MARA. Sepupu Neneknya dari pihak ayah,
bernama Ungku Abdul Aziz anak dari Ungku Abdul Madjid berasal dari keluarga
bangsawan Melayu, termasuk keluarga Datuk Onn Jafar, ayah dari Datuk Hussein Onn
yang merupakan mantan Perdana Menteri Malaysia dan tokoh pendiri sekaligus
Presiden pertama UMNO (United Malaya National Organisation), yaitu sebuah Partai
Politik yang menjadi tumpuan kerajaan Malaysia sejak mendapatkan kemerdekaan dari
Kerajaan Inggris.
Melihat latar belakang keluarga al-Attas, Syed Muhammad Naquib al-Attas
adalah sosok yang dapat dikategorikan tergolong berdarah biru, yang bukan berasal
dari keluarga biasa secara sosio kultural, akan tetapi dari golongan Ningrat.
Di dalam dirinya mengalir tidak hanya darah biru tetapi juga semangat dan
emosi keagamaan yang luhur dan tinggi dalam hirarki spiritualitas Islam, yakni
keluhuran dan kesucian pribadi seperti yang diajarkan dalam ajaran tasawuf.33

32
Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam jurnal al-hikmah.
( No.3 edisi Juli – Oktober 1991 ), 90.
33
Ibid.

14
Sejarah pendidikannya dimulai sejak Ia masih berumur 5 tahun di Johor Baru
sampai akhirnya Ia menjadi seorang ilmuwan yang berbagai karya-karyanya yang
terkenal dalam berbagai bidang keilmuan, yang jumlahnya mencapai sekitar 22 buku
dengan 30 makalah. Yang secara global dapat diklasifikasikan kepada 2 klasifikasi,
yaitu karya-karya kesarjanaan (scholarly writing), dan karya-karya pemikiran lainnya.
Ia juga aktif dalam berbagai organisasi dan menjadi dosen tetap di Univesitas Malaya
serta berbagai jabatan sudah dialaminya. Salah satunya pada tahun 1968-1970, Ia
menjabat sebagai ketua Departemen Kesusasteraan dalam pengkajian Melayu dan pada
tahun 1970-1973, Ia menjabat dekan fakultas sastra dan lain sebagainya.34
Al-Attas mendirikan sebuah institusi pendidikan tinggi bernama International
Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Melalui
institusi ini Al-Attas bersama sejumlah kolega dan mahasiswanya melakukan kajian
dan penelitian mengenai Pemikiran dan Peradaban Islam, serta memberikan respons
yang kritis terhadap Peradaban Barat.35
Pendidikannya dijalani dari Sekolah Dasar Johor Malaysia, setelah itu pada
masa pendudukan Jepang ia kembali ke Jawa dan meneruskan pendidikannya di
Madrasah Al Urwat al Wustha, Sukabumi.36
Kegiatan intelektual Al-Attas di mulai di universitas Malaya pada pertengahan
1960-an dan telah dapat membangkitkan kesadaran baru akan pentingnya peranan
Islam dalam sejarah, nasionalisme dan kebudayaan Melayu. Ia telah berhasil
menumbuhkan kesadaran baru tentang peranan Islam kepada mahasiswa dan
masyarakat umum. Disamping itu ia mengkritisi berbagai disiplin ilmu filsafat,
kebudayaan dan politik yang telah terbaratkan. Ide-ide itu terlukiskan dalam karya-
karyanya yang antara lain The origin of the Malaya Syair (1968), Prelimenary
Statement on the Islamization of the malay-Indonesian Archepelago (1969) dalam hal
ini Al-Attas bukan berarti antipati terhadap pemikiran Barat. Dalam pengembangan
disiplin-disiplin keilmuan tidak hanya didasarkan kepada ajaran- ajaran Islam, tetapi

34
Pidatonya tersebut telah diterbitkan di Indonesia, lihat Syed M. al- Naquib al-Attas, Islam Dalam Sejarah Dan
Kebudayaan Melayu  (Bandung: Mizan, 1990).
35
https://id.wikipedia.org/wiki/Syed_Muhammad_Naquib_al-Attas, (online) diakses  12 Oktober 2021, pukul 10.55 WIB.
36
Iswati, Upaya Islamisasi..., 94.

15
harus di analisis dengan filsafat Yunani dan Yahudi-Kristen serta tradisi-tradisi klasik
abad pertengahan.
Syed Naquib al-Attas memberikan pengertian Islamisasi pengetahuan sebagai
pembebasan manusia dari magic, mitos, animism dan tradisi kebudayaan kebangsaan
dan selanjutnya dominannya sekulerisme atas pikiran dan bahasanya.37
Al-Attas memandang bahwa umat Islam menghadapi tantangan terbesar saat ini
yaitu dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang telah salah dalam memahami
ilmu dan keluar dari maksud dan tujuan ilmu itu sendiri. Meskipun ilmu pengetahuan
yang dikembangkan oleh peradaban barat telah memberikan manfaat dan kemakmuran
kepada manusia, namun ilmu pengetahuan itu juga telah menimbulkan kerusakan dan
kehancuran di muka bumi.38
Ilmu pengetahuan yang dikembangkan di atas pandangan hidup, budaya dan
peradaban Barat, menurut Al-Attas dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu :
a. Mengendalikan akal
b. Bersikap dualistic
c. Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan kehidupan sekuler
d. Membela doktrin humanisme, dan menjadikan drama dan sebagai unsur-unsur yang
dominan dalam fitrah dan eksistensi manusia.39
Dengan kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan di atas, Al-Attas meyakini
pentingnya digagas suatu gerakan Islamisasi pengetahuan, karena ilmu pengetahuan
modern tidak netral dan masuk budaya dan filosofis yang sebenarnya berasal dari
refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Islamisasi ilmu pengetahuan modern
bukan memberikan label Islam pada ilmu pengetahuan dan menolak semua yang
berasal dari Barat, karena terdapat beberapa persamaan antara Islam dengan filsafat
Barat.
Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Attas dapat dilakukan dengan melalui
dua proses yang berkaitan yaitu :

37
Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan..., 98.
38
Iswati, Upaya Islamisasi..., 97.
39
Ibid., 98.

16
1. Mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk peradaban Barat
yang dimiliki oleh pengetahuan modern saat ini terutama ilmu pengetahuan
Humaniora. Dengan demikian ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasinya harus
ditundukkan dengan ajaran-ajaran Islam, khususnya dalam fakta-fakta dan
formulasi teori-teori lainnya. Fakta dianggap tidak benar jika itu bertentangan
dengan pandangan hidup Islam. Unsur-unsur dan konsep-konsep Asing yang
merusak ajaran Islam tersebut adalah: konsep dualisme yang meliputi hakikat dan
kebenaran, doktrin humanisme, ideologi sekuler, konsep tragedi khususnya dalam
kesusastraan. Keempat unsur asing tersebut telah menjangkiti ilmu khususnya
dalam bidang sains kemanusiaan dan kemasyarakatan, sains fisik, terapan yang
melibatkan perumusan fakta dan teori. Konsep-konsep inilah yang membentuk
pemikiran dan peradaban Barat dan telah menular dikalangan umat Islam.
2. Memasukan unsur-unsur, konsep-konsep Islam dalam setiap bidang dari ilmu
pengetahuan modern yang relevan.
Konsep-konsep Islam yang harus menggantikan konsep-konsep Barat tersebut
adalah: manusia, din, ‘ilm dan ma’rifah, hikmah, al-‘adl, amal-adab dan konsep
kulliyat-jam’iyah (universitas).
Jika kedua proses Islamisasi tersebut dilakukan, maka manusia akan terbebas
dari magic, mitologi, animisme, dan tradisi budaya yang bertentangan dengan Islam.
Islamisasi ilmu pengetahuan akan membebaskan manusia dari keraguan (syakk), dugaan
(dzann) dan argumentasi kosong menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas
spiritual dan materi. Dan akhirnya Islamisasi akan membebaskan ilmu pengetahuan
modern dan ideologi, makna dan pernyataan-pernyataan sekuler.
Al-Attas menolak bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan sekedar memberikan
labelisasi ilmu dengan prinsip-prinsip Islam. Islamisasi ilmu pengetahuan bertujuan
agar umat Islam terlindungi dari pengaruh ilmu pengetahuan yang telah terjangkit
unsur-unsur dan konsep Barat yang akan menimbulkan kesesatan dan kekeliruan, serta
bertujuan mengembangkan ilmu yang hakiki yang dapat membangunkan pemikiran dan
kepribadian umat Islam dan dapat menambahkan keimanan kepada Allah SWT. Dengan

17
demikian Islamisasi ilmu pengetahuan akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan,
keselamatan dan keimanan kepada Allah SWT.40
Al-Attas menolak posisi sains modern sebagai sumber pencapaian kebenaran
yang paling otoritatif dalam kaitannya dengan epistemologis, karena banyak kebenaran
agama yang tak dapat dicapai oleh sains__yang hanya berhubungan dengan realitas
empirik. Pada tingkat dan pemaknaan seperti ini, sains bertentangan dengan agama.
Baginya, dalam proses pembalikan kesadaran epistemologis ini, program Islamisasi
menjadi satu bagian kecil dari upaya besar pemecahan "masalah ilmu."41
Memang dilema yang dihadapi oleh umat muslim pada saat sekarang ini adalah
kekeliruan dan kesalahan dalam ilmu sehingga menyebabkan kehilangan adab di
tengah-tengah umat. Dari sini juga timbul permasalahan yang sangat pelik di tengah
umat Islam yaitu kemunculan pemimpin-pemimpin yang tak layak untuk memimpin
umat Islam. Pemimpin yang tidak memiliki moral, intelektual dan spiritual yang tinggi
untuk bisa memperbaiki dan memimpin umat Islam.42
Al-Attas berpendapat bahwa Islamisasi harus menyeluruh dari filosofi,
paradigma hingga proses pembelajarannya yang menyesuaikan dengan karakteristik
keilmuan Islam. Proses pembelajarannya mengamini dan melanjutkan apa yang telah
dilakukan oleh para intelektual Muslim pada masa lalu. Dominasi intelektual Muslim
pada periode keemasan Islam merefleksikan keunggulan sistem pendidikan atau
pembelajaran ilmu pengetahuan.43
D. Pentingnya Islamisasi Ilmu
Islamisasi ilmu pada dasarnya adalah suatu respons terhadap krisis masyarakat
modern yang disebabkan karena pendidikan Barat yang bertumpu pada suatu
pandangan dunia yang lebih bersifat materialistis dan relavistis yang menganggap
bahwa pendidikan bukan untuk membuat manusia bijak yakni mengenali dan
40
Iswati, Upaya Islamisasi..., 99.
41
http://inpasonline.com/mega-proyek-pemikiran-syed-naquib-al-attas/, (online), diakses 12 Oktober 2021, pukul 10.58
WIB.
42
Irma Novayani, Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Pandangan Syed M. Naquib Al-Attas Dan Implikasi Terhadap
Lembaga Pendidikan International Institute Of Islamic Thought Civilization (ISTAC), Jurnal Al-Muta’aliyah STAI Darul
Kamal NW Kembang kerang Volume I No 1 Tahun 2017, 87.
43
https://sudiryona.wordpress.com/about/islamisasi-ilmu-pengetahuan-islam/(online), diakses  12 Oktober 2021, pukul
11.13 WIB.

18
mengakui posisi masing-masing dalam tertib realitas tetapi memandang realitas
sebagai sesuatu yang bermakna secara material bagi manusia, dan karena itu hubungan
manusia dengan tertib realitas bersifat eksploitatif bukan harmonis. Ini adalah salah
satu penyebab munculnya krisis masyarakat modern.44
Islamisasi ilmu adalah suatu upaya pembebasan ilmu dari asumsi-asumsi atau
penafsiran-penafsiran Barat yang sekularitas dan kemudian menggantikannya dengan
pandangan dunia Islam. Selain itu, Islamisasi juga muncul sebagai reaksi terhadap
adanya konsep dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan yang dianggap
kontradiktif. Dalam catatan sejarah, hubungan ilmu dan agama mengalami pasang
surut dan tak semulus yang seharusnya. Salah satu tokoh yang memaparkan pola relasi
ilmu dan agama adalah Ian G. Barbour.45
Sebagaimana dikutip oleh Ulya, Ian G. Barbour mengemukakan hubungan ilmu
dan agama menjadi empat bagian, yakni :
Pertama, konflik pertentangan (conflict). Pandangan ini menempatkan agama
dan ilmu dalam dua kutub ekstrim yang saling berlawanan. Menurutnya, agama dan
ilmu mempunyai statemen-statemen dan praktik-praktik yang saling berlawanan pula.
Agama mengasumsikan atau melihat suatu persoalan dari segi normatifnya (bagaimana
seharusnya), sedangkan sains meneropongnya dari segi obyektifnya (bagaimana
adanya). Agama melihat problematika dan solusinya melalui petunjuk Tuhan,
sedangkan sains melalui eksperimen dan rasio manusia. Karena ajaran agama diyakini
sebagai petunjuk Tuhan, kebenaran dinilai mutlak, sedangkan kebenaran sains relatif.
Kedua, Independensi-Pemisahan (independence). Kelompok ini menyatakan
bahwa antara agama dan ilmu harus dipisahkan ke dalam dua wilayah yang berbeda.
Baik agama maupun ilmu dianggap mempunyai kebenaran sendiri-sendiri yang
terpisah satu sama lain sehingga seharusnya masing-masing bisa hidup secara
berdampingan dengan damai. Jadi, diantara keduanya memang tidak ada konflik tetapi
juga tidak ada interaksi dan komunikasi, apalagi dialog antar keduanya.

44
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media,
2003), 96.
45
Ulya, Filsafat Ilmu Pengetahuan  (Kudus:  STAIN Kudus, 2009), 66-73.

19
Ketiga, Dialog-Perbincangan (dialogue). Pandangan ini menyatakan bahwa
antara ilmu dan agama di samping mempunyai perbedaan juga mempunyai kesamaan
yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama lain. Antara agama
dan ilmu memiliki kesejajaran karakteristik yaitu koherensi, kekomprehensifan dan
kemanfaatan serta metodologis. Dalam menghubungkan agama dan ilmu, pandangan
ini dapat diwakili oleh pendapat Albert Einstein yang mengatakan bahwa Religions
without science is blind, sciences without religions is lame. Tanpa sains agama akan
menjadi buta dan tanpa agama, sains akan lumpuh.
Keempat, Integrasi-perpaduan (integration). Pandangan ini menganggap bahwa
antara ilmu dan agama mempunyai titik temu diantara keduanya. Doktrin-doktrin
keagamaan dan ilmu sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam
pandangan dunia, bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui ilmu
diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman.
Dalam hal ini Haught menyatakan bahwa antara ilmu dan agama harus saling
mengukuhkan, artinya agama dapat memainkan peran dalam pengembangan ilmu yang
lebih bermakna. Begitu pula, temuan-temuan ilmu hendaknya dapat memperkaya dan
memperbarui pemahaman agama. Dengan demikian ilmu hendaknya dapat
mempengaruhi manusia sampai pada kemuliaan Sang Pencipta dan mempengaruhi
perhatian manusia secara langsung pada kemegahan alam fisik ciptaan-Nya.
Sedangkan dengan agama dapat memberi motivasi kepada manusia pada pembangkitan
kerja ilmiah, juga berfungsi untuk mencegah penggunaan ilmu dari tujuan yang
menyimpang dari agama dan kemanusiaan.
Dari perkembangan ini terjadilah apa yang bisa kita sebut sebagai ‘sekularisasi’
ilmu dengan segala konsekuensinya yang berbahaya. Sekularisasi ini tidak terjadi
begitu saja, melainkan diusahakan secara sadar dan sistematis.46
Pemisahan ilmu dari agama sebagaimana telah dijelaskan di atas pada
gilirannya telah menimbulkan problem teologis yang krusial, karena lama kelamaan
banyak ilmuan Barat merasa tidak perlu lagi menyinggung atau melibatkan Tuhan
sedikit pun dalam penjelasan keilmuan mereka. Bagi mereka, Tuhan seolah-olah telah
46
Mulyadhi Kertanegara, Mengislamkan Nalar (Jakarta: Erlangga,  2007),  10.

20
berhenti menjadi apapun, termasuk menjadi pencipta dan pemelihara alam semesta.
Dalam perspektif sejarah, pemisahan ilmu dari aspek keagamaan ini bermula dengan
adanya gerakan renaissance pada abad 15 M. Gerakan ini berhasil menyingkirkan
peran agama dan mendobrak dominasi gereja Roma dalam kehidupan sosial dan
intelektual masyarakat Eropa sebagai akibat dari sikap gereja yang memusuhi ilmu
pengetahuan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan di Eropa dan Barat mengalami
perkembangan setelah memisahkan diri dari pengaruh agama. Setelah itu,
berkembanglah pendapat-pendapat yang merendahkan agama, karena kemajuannya
yang begitu pesat di Eropa dan Amerika sebagaimana yang disaksikan sampai
sekarang.
Sains dan teknologi yang demikian itu selanjutnya digunakan untuk mengabdi
kepada kepentingan manusia semata-mata, yaitu untuk tujuan memuaskan hawa
nafsunya, menguras isi alam untuk tujuan memuaskan nafsu konsumtif dan
materialistik, menjajah dan menindas bangsa-bangsa yang lemah, melanggengkan
kekuasaan dan tujuan-tujuan destruktif lainnya.
Sikap ilmuan seperti itu, tentu saja tidak cocok dengan sikap dan kepribadian
masyarakat Indonesia, terlebih Islam yang religius dan selalu percaya dengan sepenuh
hati bahwa alam semesta tak lain kecuali hasil ciptaan dan tanda kebesaran Tuhan.
Mereka juga meyakini bahwa sumber ilmu serta metodenya tidak terbatas pada
observasi tetapi juga akal, intuisi dan wahyu.
Penyimpangan dari tujuan penggunaan ilmu pengetahuan yang demikian itulah
yang direspon melalui konsep Islamisasi Ilmu yaitu upaya menempatkan sains dan
teknologi dalam bingkai Islam, dengan tujuan agar perumusan dan pemanfaatan sains
dan teknologi itu ditujukan untuk mempertinggi harkat dan martabat manusia,
melaksanakan fungsi kekhalifahannya di muka bumi serta tujuan-tujuan luhur lainnya.
Inilah yang menjadi salah satu misi Islamisasi ilmu.47
Hingga saat ini ilmu pengetahuan diyakini tidak netral dan tergantung kepada
bagaimana dia diciptakan. Prof. Dr. Hamidullah Marazi pada Head of Department of

47
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan ; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada
Media, 2003), 99.

21
Religious Studies, Central University of Kashmir, India memaparkan bahwa agama
merupakan akar dari ilmu pengetahuan. “Ini menjadi jawaban kenapa umat Islam saat
ini tidak maju, karena terjadi korupsi keilmuan. Dimana tidak adanya Islamisasi ilmu
dalam internal umat Islam sendiri,” tuturnya dalam kegiatan Public Lecture
“Integration of Knowledge, Islamic Education Reform/Tajdid and the Need of the New
Textbbok Writing in Universities” Senin (26/2) di Gedung Kasman Singodimedjo
Pascasarjana UMY.48
Berdasarkan hal tersebut maka Dr. Hamidullah memaparkan perlunya langkah-
langkah untuk melaksanakan Islamisasi ilmu pengetahuan. Terdapat tiga langkah yang
perlu untuk dilakukan. Yang pertama adalah penguasaan bahasa, khususnya bahasa
Arab yang telah dipilih sebagai bahasa untuk Al-Quran. Yang kedua dengan cara
pengembangan filsafat ilmu Islam. Selain itu, perlu juga ditumbuhkan rasa ingin
mengerti dan mendalami ilmu pengetahuan melalui Al-Quran. “Dengan mengkaji
pemahaman lebih dalam mengenai Al-Quran. Salah satunya dengan mengkaji lebih
dalam tentang istilah tafakkur dan tadabbur di dalam Al-Quran,” jelasnya. Yang
terakhir yang dianggap cukup penting adalah dengan memurnikan kembali tasawuf.
Menurut Dr. Hamidullah dalam aspek tasawuf masih terdapat poin-poin yang berasal
dari luar Islam.
Selanjutnya Dr. Syamsuddin Arif menguraikan lima alasan kenapa Islamisasi
ilmu itu perlu dan penting dilakukan. Pertama, ilmu yang di pelajari dan diajarkan hari
ini di seluruh dunia termasuk di negara-negara Islam adalah ilmu yang dihasilkan dari
peradaban Barat, yaitu ilmu yang telah menyimpang dari tujuan hakikinya. Sebab ilmu
pengetahuan modern tidak memberikan kedamaian dan kebahagiaan, tetapi justru
membawa kekacauan dan ketidakadilan dalam kehidupan umat manusia. Kedua, ilmu
pengetahuan modern justru membuahkan keragu-raguan dan kekeliruan, skeptisisme
dan confusion. Ketiga, ilmu pengetahuan modern kini telah menjadikan dugaan dan
perkiraan sebagai ilmu dan kebenaran. Keempat, ilmu pengetahuan itu sebenarnya
tidak bebas nilai alias tidak netral, karena hakikatnya mencerminkan suatu pandangan

48
http://www.umy.ac.id/islamisasi-ilmu-pengetahuan-penting-dilakukan.html (online) diakses 12 Oktober 2021, pukul
11.17 WIB.

22
hidup, ideologi, atau akidah penggiatnya. Kelima, ilmu yang disajikan oleh peradaban
Barat  sekarang ini telah mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil, dilebur
secara halus sehingga sulit untuk mengenali lagi mana yang benar dan mana yang
palsu.49
Mengutip pendapat Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas ia menjelaskan
posisi umat Islam yang serba salah. Jika mau ikut Barat hancur, tidak ikut Barat
mundur babak-belur.
Dilema yang dirasakan hari ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, karena
kekeliruan dan kesalahfahaman mengenai ilmu, yang akibatnya melahirkan gejala
kurang ajar. Kedua, lenyapnya sikap menghargai dan tahu menempatkan diri (Lost of
Adab) di masyarakat. Dan berakibat pada aspek ketiga,  yaitu munculnya pemimpin-
pemimpin palsu, pemimpin yang tidak memiliki visi dan misi islami, tidak berakhlak
mulia, dan tidak mempunyai daya intelektual dan rohaniah yang diperlukan.
Dengan menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam dan para sahabat
sebagai model teladan, maka langkah pertama Islamisasi adalah mengislamkan akal
dan pemikiran melalui Islamisasi bahasa.
Dua jenis ilmu yang dibagi oleh al-Attas (ilmu dari didapat langsung dari Allah
melalui wahyu dan ilmu yang dihasilan lewat pengalaman, perenungan dan penelitian).
Jenis yang pertama dari ilmu ini mesti menjadi asas kepada jenis ilmu yang kedua.
Kemudian langkah Islamisasi lainnya adalah dengan memisahkan unsur-unsur
asing dalam hal ini adalah Barat secular termasuklah konsep-konsep penting dalam
ilmu kemanusiaan.
Setelah melakukan penyaringan itu, ilmu-ilmu yang telah dibersihkan itu diolah
kembali dengan unsur-unsur dan konsep-konsep penting Islam. Selanjutnya dilakukan
perumusan dan penyatuan atau integrasi unsur-unsur tersebut supaya terhasil ilmu
Islami yang dapat dipakai dalam sistem pendidikan dari sekolah dasar hingga
perguruan tinggi.

49
https://www.hidayatullah.com/berita/berita-darianda/read/2015/11/22/83690/pentingnya-islt-yang-sekular.html
(online) diakses 12 Oktober 2021, pukul 11.25 WIB.

23
E. Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam 
Pandangan Al-Faruqi dan Al-Attas tentang islamisasi ilmu pengetahuan, dalam
kerangka operasionalnya Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Muhaimin terdiri dari
beberapa model yaitu:
1. Purifikasi, yaitu Islamisasi ilmu pengetahuan yang mempunyai arti penyucian dan
pembersihan. Model ini mengandung pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan harus
dapat menyucikan ilmu pengetahuan agar sesuai dan sejalan dengan ajaran Islam.
Model ini yang dikenal dalam pemikiran Al-Faruqi dan Al-Attas dalam Islamisasi
ilmu pengetahuan. Al-Faruqi menggunakan model ini dengan memberikan langkah-
langkah dalam Islamisasi, yaitu :
a. Menguasai khazanah intelektual muslim.
b. Menguasai khazanah ilmu pengetahuan modern.
c.  Identifikasi kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan modern dalam perspektif
ajaran islam.
d. Rekonstruksi ilmu pengetahuan agar selaras dengan ajaran Islam.50
2. Modernisasi, Islamisasi ilmu pengetahuan model modernisasi adalah membangun
semangat umat Islam untuk selalu modern, maju, progresif, terus menerus
mengusahakan perbaikan-perbaikan bagi diri dan masyarakatnya agar terhindar dari
keterbelakangan dan ketertinggalan dibidang ilmu pengetahuan. Sebagai seorang
modernis seringkali berusaha memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar
yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadits, dengan mempertimbangkan
khazanah intelektual pada masa kontemporer dan mengabaikan pemikiran-
pemikiran tokoh intelektual muslim klasik.
3. Neo Modernisme, Islamisasi ilmu pengetahuan dengan pola neo modernisme adalah
upaya memahami ajaran-ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur an dan Al-
Hadits dengan memperhatikan pemikiran intelektual muslim klasik dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan yang digunakan ilmu pengetahuan
kontemporer.

50
Iswati, Upaya Islamisasi..., 100.

24
Model ini berlandaskan pada metodologi sebagai berikut:
a. Persoalan-persoalan umat Islam kontemporer harus dicari penjelasannya dari hasil
ijtihad pemikir Islam terdahulu yang merupakan hasil penafsiran terhadap al-Qur‟an
b. Jika dalam tradisi dan ijtihad ulama terdahulu tidak ditemukan maka ditelaah
kondisi sosio cultural sehingga lahir ijtihad ulama-ulama tersebut
c. Telaah sosio historis yang akan melahirkan etika sosial al-Qur an,
d. Etika sosial al-Qur an menghasilkan penjelasan dalam menjawab persoalan umat
Islam dengan bantuan pendekatan ilmu-ilmu modern.
F. Implikasi Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan  
Dalam konteks Pendidikan Islam, Islamisasi ilmu pengetahuan dengan model
purifikasi dapat diterapkan misalnya dalam mempurifikasi teori pengetahuan modern
dalam pendidikan, yang kemudian disesuaikan dengan pemikiran para tokoh
intelektual muslim. Sebagai contoh, teori yang berkaitan dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan seseorang kaitannya dengan belajar.51
Terdapat tiga aliran yang menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan jiwa seseorang yaitu:
a. Aliran Nativisme, aliran ini meyakini bahwa perkembangan jiwa seseorang
dipengaruhi oleh faktor pembawaan.
b. Aliran Empirisme, yang meyakini bahwa perkembangan jiwa seseorang dipengaruhi
oleh lingkugan.
c. Aliran Konvergensi yang mendudukan kedua faktor di atas.52
Dalam khazanah pemikiran intelektual muslim klasik dikenal perkataan Al-
Syafii yang terkenal yaitu “ ilmu itu adalah cahaya Allah tidak diberikan pada orang-
orang yang melakukan maksiyat kepada-Nya”. Perkataan Al-Syafii di atas menegaskan
ada faktor hidayah yang mempengaruhi perkembangan seseorang.53
 Sedangkan Islamisasi ilmu pengetahuan dengan model modernisasi dalam
konteks pendidikan, berkaitan dengan modernisasi pendidikan Islam baik secara

51
Iswati, Upaya Islamisasi..., 101.
52
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), 43- 46.
53
Iswati, Upaya Islamisasi..., 101.

25
kelembagaan dalam hal ini pesantren dan madrasah maupun dalam pengembangan
kurikulum. Dalam modernisasi pendidikan pesantren dikenal dengan berbagai sistem
dan metode pembelajaran yang dilaksanakan pesantren. Sejarah pembelajaran
pesantren yang pada awal pertumbuhannya menggunakan sistem non kelas, diubah dan
diperbaiki dengan sistem berkelas (klasikal) dan berjenjang mulai tingkat dasar
(ibtida’iyah), menengah pertama (Tsanawiyah), maupun menengah atas (aliyah).
Demikian juga dalam pendidikan madrasah selama ini telah diadakan perbaikan-
perbaikan diantaranya dengan munculnya berbagai madrasah unggulan seperti MAPK,
yang kini berubah menjadi MAK.54
Dalam pengembangan kurikulum, lembaga-lembaga pendidikan Islam terutama
madrasah terjadi perubahan-perubahan kurikulum menuju kesempurnaan.
Selanjutnya Islamisasi pengetahuan dengan model neo modernisme dalam
pendidikan Islam misalnya dapat dilakukan dengan mengangkat penyataan Al Ghazali
yang memberikan anjuran-anjuran kepada guru dalam mengajar. Al-Ghazali
menyatakan mengajar adalah pekerjaan dan tugas yang mulia. Sedemikian tinggi
penghargaan Al-Ghazali terhadap pekerjaan guru sehingga ia memberikan
perumpamaan sebagai Matahari, yang merupakan sumber kehidupan dan sumber
penerangan di langit dan di bumi. Perkataan Al-Ghazali di atas dapat dijadikan sebuah
penekanan tentang bagaimana guru harus mengajar dan membimbing anak, yang
ditekankan pada pencitraan figur guru yang dapat menjadi teladan bagi anak didiknya
di samping sebagai pengajar dan pendidik. Ini untuk menjawab persoalan mendasar
pendidikan umat Islam masa sekarang, ketika umat telah kehilangan figur-figur teladan
yang patut dicontoh dan di tiru.
Pepatah mengatakan, “Science without religion is lame, religion without
science is blind” yang maknanya ilmu tanpa agama lumpuh, dan agama tanpa ilmu
buta. Dari pepatah tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa antara ilmu dan agama
tidak boleh dipisahkan, antara ilmu dan agama saling membutuhkan dan paduan antara

54
Iswati, Upaya Islamisasi..., 102.

26
keduanya akan membentuk suatu kebijaksanaan dan kebijaksanaan yang ditimbulkan
dari ilmu pengetahuan tersebut bersumber dan hanya milik Allah SWT semata.55
Dalam ajaran Islam, ilmu harusnya yang rasional, sesuai dengan akal dan dapat
dijangkau oleh kekuatan akal pikiran manusia. Walaupun demikian, masih ada ilmu
yang belum dapat dicapai oleh pikiran. Bentuk ilmu ini menunggu perkembangan atau
modifikasi ilmu-ilmu sebelumnya. Dengan kebebasan berfikir, berperasaan dan
bertindak yang telah diberikan kepada Allah SWT kepada manusia, mereka harus
mempertanggungjawabkan   segala perbuatannya dihadapan Allah SWT. Seluruh alam
semesta ini diciptakan oleh dan atas kehendak yang bebas dari Allah menurut kodrat
dan irodat-Nya. Manusia dilengkapi dengan bekal dan sarana hidup dan kehidupannya,
baik fisik maupun non fisik. Manusia telah diberi kemampuan dan kesanggupan untuk
menilai sesuatu dan mengambil keputusan untuk bertindak berdasarkan ilmu
pengetahuannya dari hasil akal pikirannya, perasaan dan kesadarannya.
Pendidikan Islam pada dasarnya tidak menghendaki adanya dikotomi keilmuan,
karena sistem dikotomi akan menyebabkan sistem pendidikan Islam menjadi
sekularistis, rasionalistis, empiristis, intuitif dan materialistis.56
 Kondisi yang demikian akan sulit mempertemukan dan mengkolaborasikan
ilmu pada satu fokus, sehingga jarang sekali ditemukan tokoh yang kuat antara “ilmu
agama” dan “ilmu umum” pada era sekarang. Artinya tokoh yang dapat menguasai
“ilmu agama” sekaligus “ilmu umum” seperti kedokteran, kimia, ekonomi dan
sebagainya.
Keadaan demikian tidak bisa mendukung tata kehidupan umat yang mampu
melahirkan peradaban Islam. Oleh karena itu, ilmu-ilmu yang diberikan kepada anak
didik harus dijadikan substansi dalam membuat desain kurikulum pendidikan di
lembaga pendidikan Islam.
Dengan demikian, peningkatan ilmu harus dibarengi dengan peningkatan
kebijaksanaan (suatu konsepsi yang benar mengenai tujuan hidup) yang sementara ini
belum diberikan oleh sains sehingga tidak cukup untuk menjamin semua kemajuan

55
Abdul Aziz, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarya:Teras, 2009), 113.
56
Baharuddin, dkk, Dikotomi Pendidikan Islam (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2011), 79.

27
sejati, meskipun sains ini telah memberikan formulasi yang diperlukan dalam
kemajuan.
Selanjutnya implikasi Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam pendidikan
tercantum dalam beberapa aspek diantaranya :
1. Aspek Kelembagaan
Islamisasi dalam aspek kelembagaan ini dimaksud adalah penyatuan dua sistem
pendidikan, yakni pendidikan Islam (agama) dan sekuler (umum). Artinya melakukan
modernisasi bagi lembaga pendidikan agama dan Islamisasi pendidikan sekuler.
Adanya lembaga pendidikan modern (Barat sekuler), dipandang sebagai kamuflase
yang mengatas namakan Islam dan menjadikan Islam sebagai simbol, untuk
mengantisipasi keadaan ini maka perlunya dibangun lembaga pendidikan baru sebagai
tandingan. Sepertinya implikasi dari Islamisasi ilmu pengetahuan pada aspek
kelembagaan adalah terbentuknya lembaga independen yang mengintegrasikan
pengembangan keilmuan agama dan umum, jadi apapun nama lembaganya tersebut
yang terpenting adalah terintegrasinya secara komprehensif antara sistem umum dan
agama. Meskipun dalam tatanan sistematika keorgaanisasian lembaga mengadopsi
Barat namun secara subtansial menerapkan sistem Islam.57
2. Aspek Kurikulum
Mengkaji kurikulum tidak diserahkan pada satu tim saja, namun membutuhkan
ahli-ahli di bidangnya, perbincangan ini harus dimulai sejak awal Islamisasi. Dalam hal
ini kurikulum yang telah dikembangkan di Barat tidak boleh diabaikan. Rumusan
kurikulum dalam Islamisasi ilmu pengetahuan dengan memasukkan segala keilmuan
dalam kurikulum. Dengan demikian lembaga pendidikan memiliki kurikulum yang
actual, responsive terhadap tuntutan permasalahan kontemporer. Artinya lembaga akan
melahirkan lulusan yang visioner, berpandangan integrative, proaktif dan tanggap
terhadap masa depan serta tidak dikotomik dalam keilmuan.
3. Aspek Pendidik
Dalam hal ini pendidik ditempatkan pada posisi yang selayaknya, artinya
kompetensi dan professional yang mereka miliki dihargai sebagaimana mestinya. Bagi
57
Iswati, Upaya Islamisasi..., 99.

28
Al-Faruqi tidak selayaknya para pendidik mengajar dengan prinsip keikhlasan, pendidik
diberikan honorarium sesuai dengan keahliannya. Terkait dengan pengajar yang
memberikan pembelajaran pada tingkat dasar dan lanjutan tidak dibenarkan Islamologi
atau misionaris, artinya harus pendidik yang benar-benar Islam dan memiliki basic
keislaman yang mantap. Di samping itu, staf pengajar yang diinginkan dalam
universitas Islam adalah staf pengajar yang saleh serta memiliki visi keislaman.
Dengan demikian harus ada rumusan yang jelas tentang kriteria calon pendidik,
selain indeks prestasi (IP) sebagai parameter kualitas intelektual, penting dilakukan
wawancara menyangkut aqidah, keimanan, keaagamaan, jiwa dan sikap terhadap
jabatan, kriteria ini juga harus ditopang oleh kode etik Islam tentang profesi pendidik.
Seorang pendidik dituntut mempunyai kemampuan subtantif, yakni berupa gagasan dua
segi keilmuan, yakni ilmu agama dan ilmu modern sekaligus.
Selain kemampuan subtantif seorang pendidik juga dituntut memiliki
kemampuan nonsubtantif, yakni berupa multiskill didaktis. Kemampuan ini mencakup
ketrampilan dalam menggunakan metode dan strategi pembelajaran, pengelolaan atau
manajemen pendidikan, pengevaluasian dan lain sebagainya, yang secara keseluruhan
bertumpu pada unsur tauhid.

29
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan ini secara jelas diterangkan oleh al-
Attas, yaitu: Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-
nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belengu paham sekuler terhadap
pemikiran dan bahasa Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung
sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud
fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak
adil terhadapnya.

30
DAFTAR PUSTAKA
Abu Fadl, Mona. 1990. Where East Meets West; The West on Agenda of Islamic Revival,
Herndon. Virginia: International Institute Of Islamic Thought.
Al-Attas, Syed M. al- Naquib. 1990. Islam Dalam Sejarah Dan Kebudayaan Melayu.
Bandung: Mizan.
Al-Faruqi, Ismail Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin Bandung:
Pustaka Setia.
Al-Faruqi, Ismail Raji. tt. Islamization of Knowledge General Principles and Work Plann,
Terj. bahasa Indonesia , Islamisasi Pengetahuan, Terj. Anas Mahyuddin, Islamisasi
Pengetahuan.
Aziz, Abdul. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarya: Teras.
Baharuddin, dkk, 2011. Dikotomi Pendidikan Islam. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Iswati. 2017. Upaya Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan
Islam. At-Tajdid, Volume. 1, No. 1 Januari-Juni.
Jawahir. 1989. ”Syed M. al- Naquib al-Attas, Pakar Agama, Pembela Aqidah dan Pemikir
Islam yang dipengaruhi paham orientalis”, dalam panji masyarakat, no. 603, edisi
21-28 Februari.
Kertanegara, Mulyadhi. 2007. Mengislamkan  Nalar. Jakarta : Erlangga.
Lapidus, Ira M. 2000. Sejarah Sosial Umat Islam, terj. Gufron A.Mas‟adi, Vol. 1,. Jakarta:
Radja Grafindo Persada.
Mas’ud dkk, Abdurrachman. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Muhaimin. 2014. Wawasan Pendidikan Islam. Bandung: Marja.
Muzani, Saiful. 1991. Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Syed Muhammad Naquib
al-Attas’’ dalam jurnal al-hikmah. No.3 edisi Juli – Oktober.
 Nasution, Harun. 1985. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Jakarta: Bulan Bintang.
Nata, Abuddin. 2003. Manajemen Pendidikan ; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: Prenada Media.

31
Novayani, Irma. 2017. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Pandangan Syed M. Naquib
Al-Attas Dan Implikasi Terhadap Lembaga Pendidikan International Institute Of
Islamic Thought Civilization (ISTAC), Jurnal Al-Muta’aliyah STAI Darul Kamal
NW Kembang kerang Volume I No 1.
Rahardjo, M. Dawam. 2000. Strategi Islamisasi Ilmu Pengetahuan: dalam Gagasan dan
Perdebatan Islamisasi Ilmu  Pengetahuan, Moeflih Hasbullahed. Jakarta: Pustaka
Cidesindo.
Soleh, Khudori. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakart: Pustaka Pelajar.
Suharto, Ugi. 2006. Islam dan Sekularisme, Islamia, Tahun I, No. 6, Juli-September.
Suprayogo, Imam. 2002. Quo Vadis Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press.
Syah, Muhibbin. 2002. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Ulya. 2009. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Kudus:  STAIN Kudus.
Wan Daud, Wan Mohd Nor. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib
al-Attas. Bandung: Mizan. cet. Ke-1.
http://inpasonline.com/mega-proyek-pemikiran-syed-naquib-al-attas/,
http://sirojtedunan.blogspot.com/2010/12/pembahasan-gagasan-islamisasi-ilmu.html,
http://www.umy.ac.id/islamisasi-ilmu-pengetahuan-penting-dilakukan.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Syed_Muhammad_Naquib_al-Attas,
https://sudiryona.wordpress.com/about/islamisasi-ilmu-pengetahuan-islam/
https://www.hidayatullah.com/berita/berita-dari anda/read/2015/11/22/83690/pentingnya-
islt-yang-sekular.html
https://www.kompasiana.com/srimaulida/55802df411937355190285d4/islamisasi-ilmu-
pengetahuan?page=all,

32

Anda mungkin juga menyukai