Anda di halaman 1dari 3

Jerih payah dari Ma Eroh ternyata langsung terdengar di telinga

Presiden Soeharto. Akhirnya pada 1988, Ma Eroh diundang ke istana


untuk mendapatkan penghargaan Kalpataru dari presiden.

Diingat oleh anaknya bernama Rohanah, ada kisah lucu saat ibunya
pergi ke Jakarta untuk menerima penghargaan. Ketika itu pemerintah
kesulitan mendandani Ma Eroh karena tidak ada kebaya dan sandal
yang sesuai dengan ukuran.

Maklum saja, selama ini perempuan besi ini melakukan aktivitas hanya
bertelanjang kaki. Tentunya saja susah baginya mengikuti protokol
istana yang mengharuskannya berpakaian formal.

Ketika masih hidup, Ma Eroh pun sering diundang dalam acara


peringatan Hari Lingkungan Hidup dan Hari Kartini. Berbagai bantuan
juga mengalir kepadanya.

Selain itu, di alun-alun Kota Tasikmalaya juga terdapat tugu Ma Eroh


dengan Abdul Rozak yang menjadi ikon kota. Tugu ini berdiri kokoh,
menghadap ke arah selatan dengan tangan menunjuk sambil
memanggul bendera bertuliskan Kalpataru.

Ma Eroh menghembuskan napas terakhirnya pada 18 Oktober 2004,


jenazahnya dikebumikan tepat di samping rumahnya. Di samping
pusara ini terdapat pahatan bertuliskan ''Pahlawan Lingkungan Hidup
Ma Eroh, Penerima Penghargaan Kalpataru dari Presiden RI Soeharto
tahun 1988 dan Penghargaan Lingkungan Hidup dari Persatuan
Bangsa-Bangsa tahun 1989''.

Jerih payah Me Eroh yang terlupakan

Namun setelah Ma Eroh meninggal karena stroke, seolah dunia telah


melupakan jerih payahnya selama ini. Tak ada lagi undangan dan
bantuan kepada keluarganya yang hidup sederhana di Santanamekar.

Sementara itu, keluarganya tidak menyimpan Piala Kalpataru yang


didapat oleh Ma Eroh karena disimpan Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) Tasikmalaya.
Sementara itu saluran air yang pernah dibuat oleh Ma Eroh malah
diabaikan. Bedasarkan penelusuran Ayotasik, beberapa longsoran tanah
telah menggerus saluran air tersebut.

Hal ini membuat saluran air itu tidak sampai ke pemukiman warga.
Memang perawatan saluran air ini sudah terbengkalai sejak Ma Eroh
wafat.

Sementara permintaan keluarga agar saluran air itu diperbaiki pun


belum mendapat respons dari pemerintah setempat. Walau pada waktu
Ma Eroh hidup, masih ada gerakan pembersihan saluran air dua kali
saban bulannya.

Dikabarkan oleh Liputan6, memang sejak menerima penghargaan


Kalpataru, Ma Eroh tidak mendapatkan dana untuk memelihara saluran
air. Karena itulah dirinya tetap kembali bekerja untuk merawat saluran
air.

Saat itu, dirinya setiap pagi harus naik turun bukit curam untuk
memeriksa saluran air. Ternyata pekerjaan ini berdampak buruk kepada
kondisi kesehatan Ma Eroh.

Melihat Status dan Upaya Konservasi Penyu di Indonesia


Dirinya bahkan pernah dirawat di Rumah Sakit Umum Tasikmalaya
karena hipertensi. Pinggang dan tulang belakangnya sering ngilu,
membuatnya nyaris sulit bergerak.

Pada penghujung usianya, harapan Ma Eroh tidak muluk-muluk.


Dirinya hanya berharap pemerintah mau mengusahakan pipa paralon
untuk saluran air ke Kampung Pasirkadu.

Selain itu, dirinya juga berharap ada pembangunan masjid di


kampungnya. Pasalnya, masjid terdekat berjarak sekira 2 kilometer dari
rumahnya.

Sekarang, nama dan jasa besar Ma Eroh mulai dilupakan oleh


masyarakat. Tidak banyak lagi yang mengenal, namanya hanya disebut
saat penyelenggaraan Hari Lingkungan Hidup di Pemkab Tasimalaya,
setelahnya namanya kembali terlupakan.
Catatan:

Artikel di atas merupakan persembahan GNFI untuk


memperingati Hari Pahlawan, 10 November 2021.

Mereka adalah segelintir dari banyak pahlawan lingkungan


yang mampu membangkitkan asa, mendobrak pesimistis,
dan bermanfaat bagi sekitarnya.

Selamat Hari Pahlawan, angkat topi untuk ''Para Penabur


Lingkungan''.

LABEL: KABAR BAIK INDONESIAGOOD NEWS FROM INDONESIAMAKIN TAHU


INDONESIALINGKUNGANMA EROHTASIKMALAYAPARA PENABUR LINGKUNGAN HUMANIORAKISAH
MA EROH

Anda mungkin juga menyukai