Anda di halaman 1dari 5

Maleo, Burung Endemik

Sulawesi yang Dikenal Setia


Pada Pasangannya

DA

Dian Afrillia
21 NOVEMBER 2021 17.00 WIB • 3 MENIT


Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan tanggal 21
November sebagai Hari Maleo Sedunia (World Maleo Day). Penetapan
hari besar ini bertujuan untuk memperingati pelepasliaran pertama
anakan maleo di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW)
pada 21 November 2001 sebagai upaya penyelamatan maleo oleh
Wildlife Conservation Society (WCS) dan Balai TNBNW.

Burung maleo (Macrocephalon maleo) yang juga dikenal dengan nama


maleo senkawor merupakan satwa endemik Pulau Sulawesi. Secara
alami, maleo hanya hidup di Sulawesi, tepatnya di hutan tropis dataran
rendah Sulawesi seperti Gorontalo (Bone Bolango dan Pohuwato) dan
Sulawesi Tengah (Sigi dan Banggai).

Dalam rangka memperingati Hari Maleo Sedunia, sebanyak 24.970 ekor


anak burung maleo dilepasliarkan di dalam kawasan konservasi
TNBNW. Dilansir Kompas.com, anakan tersebut berasal dari 44.889
butir telur yang dipindahkan dari peneluran alami ke tempat penetasan
di lokasi yang sama demi mengurangi ancaman predator.

Untuk lebih mengenali burung asli Indonesia ini, berikut fakta-fakta


menarik tentang maleo senkawor:
Ragam Satwa Endemik Indonesia yang Terancam Punah dan Upaya
Pelestariannya
Identik dengan kepala besar dan burung yang setia

Salah satu ciri fisik paling menonjol dari burung maleo adalah tonjolan
besar dan mengilat di kepalanya yang diyakini berfungsi untuk
mendeteksi panas guna menetaskan telurnya. Ketika maleo masih
berusia anak-anak sampai remaja, tonjolan tersebut belum muncul dan
mulai nampak saat beranjak dewasa.

Maleo senkawor termasuk sejenis burung gosong berukuran sedang.


Panjang tubuhnya sekitar 55 cm dan warna tubuhnya dominan hitam
serta putih di area dada. Tubuh maleo cenderung besar tetapi kepalanya
kecil. Kakinya memiliki kuku dan berselaput, tetapi bukan untuk
berenang melainkan digunakan untuk menggaruk tanah.

Meski memiliki sayap dan bulu yang cukup panjang, maleo tidak suka
terbang dan lebih sering berjalan. Ia pun lebih banyak menghabiskan
waktu di darat atau berpindah dari pohon ke pohon untuk menghindari
ancaman predator.
Pada malam hari, predator maleo adalah ular, biawak, kucing, tikus,
anjing, dan babi. Sedangkan, pada siang hari predator bagi maleo adalah
elang dan manusia yang sering menjeratnya demi mengambil telurnya.
Telur maleo rata-rata memiliki berat 240-260 gram per butir dengan
perbandingan kira-kira lima sampai delapan kali lebih besar dari telur
ayam.

Untuk bertahan hidup, maleo memakan semut, berbagai hewan kecil,


biji-bijian, dan buah-buahan. Maleo juga termasuk satwa yang tidak
hidup secara berkelompok, tetapi selalu dengan pasangannya. Seperti
dilansir Mongabay.co.id, maleo merupakan satwa monogami dan hanya
punya satu pasangan sepanjang hidup. Bahkan saking setianya, bila
pasangannya mati, burung ini tidak akan bertelur lagi.

Kebersamaan pasangan maleo juga bisa terlihat saat betina hendak


bertelur. Pada momen itu, maleo jantan akan menemani betinanya
mulai dari hutan sampai ke tempat bertelur, biasanya seperti pesisir
pantai atau hutan yang memiliki sumber panas geothermal.
Sesampainya di tempat bertelur, jantan dan betina akan bersama-sama
menggali pasir.

Uniknya setelah bertelur, pasangan tersebut akan pergi meninggalkan


tempat tersebut. Telur yang baru menetas dibiarkan begitu saja di dalam
galian tanah sedalam 50-100 cm. Anakan maleo harus berjuang sendiri
untuk sampai di permukaan tanah tanpa bantuan induknya. Biasanya,
anak maleo butuh waktu sampai 48 jam, tergantung jenis tanahnya. Tak
jarang, anak-anak tersebut harus mati sebelum sampai di permukaan
tanah.

Bagi anak-anak yang berhasil naik ke permukaan, belum diketahui


apakah mereka akan bertemu dengan induknya atau tidak. Maleo
merupakan burung yang mandiri sejak lahir karena untuk bertahan
hidup pun, harus berjuang sendiri, setelah itu ia pun akan mencari
makan sendiri tanpa induknya.

Ikan Toman, Predator Asal Kalimantan yang Bermanfaat Bagi Kesehatan


Manusia
Habitat dan populasi burung maleo
Habitat asli maleo adalah di daerah sekitar pantai atau di daerah lain
yang memiliki panas bumi yang cukup. Hal ini berkaitan dengan
melanjutkan keturunannya karena maleo tidak mengerami telurnya
sendiri, tetapi dikubur di tanah yang hangat.

Sejak tahun 1950-an, populasi maleo diketahui terus mengalami


penurunan bahkan sampai 90 persen. Berdasarkan pantauan di Cagar
Alam Panua, Gorontalo, dan pengamatan di Tanjung Matop, Tolitoli,
populasi maleo terus berkurang karena diburu warga dan dikonsumsi.

Diketahui maleo hidup di alam liar, termasuk di antaranya beberapa


hutan di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, termasuk Desa Tuva dan
Saluk di Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi. Maleo juga dijumpai di
Desa Kadidia dan Kamarora, Kecamatan Nokilalaki.

Di Desa Saluki, telah dibangun penangkaran alami oleh Balai Besar


Taman Nasional Lore Lindu, yang merupakan salah satu warisan dunia
yang ditetapkan UNESCO menjadi Cagar Biosfer Dunia pada 1977.

Burung ini telah masuk daftar merah kategori endangered atau


terancam punah IUCN (The International Union for Conservation of
Nature). Status tersebut menunjukkan burung maleo yang berisiko
punah di alam liar dalam waktu dekat. Ditambah lagi fakta bahwa maleo
sangat bergantung pada habitat dengan panas bumi atau geothermal dan
pasir pantai yang hangat sehingga sulit untuk bisa hidup di tempat lain.

Di Convention on International Trade in Endangered Species of Wild


Fauna and Flora atau CITES, lembaha bagi perlindungan satwa langka
pun, maleo sudah masuk kategori Appendix 1 yang artinya hampir
punah di alama bebas dan tidak boleh ditangkap serta diperdagangkan.

Anda mungkin juga menyukai