AULIATUR ROHMAH
Program Studi S1 Gizi, Universitas Negeri Surabaya, auliatur24108@mhs.unesa.ac.id
Abstrak
Bulan Muharram merupakan tahun baru islam yang diistimewakan dan dimuliakan karena memiliki
banyak sejarah serta banyak peristiwa besar yang terjadi. Bulan Muharram disebut juga dengan bulan
Syuro/Asyuro. Berbagai tradisi telah dilakukan oleh masyarakat Islam di Indonesia pada Bulan
Muharram. Di Madura sendiri terdapat beberapa tradisi yang masih dilakukan hingga saat ini, diantaranya
rokat pakarangan dan ter-ater. Makna dari ter-ater itu sendiri merupakan kegiatan pemberian hadiah atau
makanan yang akan dihantarkan pada rumah penerimanya. Tradisi ter-ater paling banyak ditemui di
daerah pedesaan dan karakteristik makanan yang dibagikan pada Bulan Muharram berupa Tajin Sora.
Tajin Sora adalah kuliner khas berupa bubur atau tajin dicampur dengan kuah santan yang menjadi tradisi
masyarakat Madura
Abstract
The month of Muharram is the Islamic new year which is privileged and glorified because it has a lot of history and
many big events that happened. The month of Muharram is also known as the month of Shuro/Ashuro. Various
traditions have been carried out by the Islamic community in Indonesia in the month of Muharram. In Madura
itself, there are several traditions that are still carried out today, including the specialization and ter-ater. The
meaning of ter-ater itself is a gift or food that will be delivered to the recipient's house. The ter-ater tradition is most
commonly found in rural areas and the characteristic of the food distributed during the month of Muharram is Tajin
Sora. Tajin Sora is a typical culinary in the form of porridge or tajin mixed by the community with coconut milk,
which is a Madura tradition
PENDAHULUAN
Bulan Muharam merupakan bulan ater ini diaplikasikan dengan menghantarkan
pertama dalam sistem kalender Qamariyah barang (terutama makanan) pada sanak
(kalender Islam), sehingga 1 Muharam keluarga atau tetangga yang ada di sekitar.
merupakan awal tahun baru Hijriyah. Bulan Namun, tidak jarang tradisi ini juga dilakukan
Muharam dikenal juga dengan sebutan bulan dan ditujukan pada sanak saudara yang jauh.[2]
Syuro/Asyuro. Berbagai tradisi dilakukan oleh Di Sumedangan Madura, tradisi
masyarakat Islam pada bulan Muharam di Muharaman diwarnai dengan tradisi membuat
Indonesia. Sehingga banyak terdapat aktifitas bubur/tajin. Bulan Muharam dalam bahasa
tertentu yang dilakukan oleh sebagian besar Madura disebut dengan bulan Sora. Ketika
masyarakat Indonesia. Di Madura sendiri, ada bulan Sora, orang-orang Madura membuat
beberapa tradisi yang dilaksanakan pada bulan bubur tajin dan menyebutnya Tajin Sora yang
haram ini, di antaranya adalah rokat terbuat dari bubur nasi dengan kuah ketan.
pakarangan dan ter-ater.[1] Kemudian memasuki bulan Shafar orang
Makna dari ter-ater itu sendiri Madura membuat Tajin Mera Pote (Bubur
merupakan pemberian atau hadiah yang Merah Putih) karena bubutu terdiri dari dua
diantarkan ke rumah penerimanya, yang warna.
biasanya berupa makanan. Ter-ater memang
sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Warna putih dari santan dan warna merah
Madura pada bulan atau waktu-waktu tertentu, dari gula, dan di dalamnya ada bola bola yang
termasuk di bulan Muharram ini. Kegiatan ter- terbuat dari tepung ketan. Warna merah pada
Tajin Suro dimaknai, sebagai gambaran darah Kabupaten Pamekasan adalah suatu tradisi
Sayyidina Husein, putih itu menggambarkan yang dilakukan ketika Bulan Muharram.
kesucian perjuangan Sayyidina Husein. Tradisi Nama Tajin Sora dinisbatkan pada tanggal
ini sangat dijaga oleh kalangan masyarakat sepuluh (Asyura') Bulan Muharram. Bahkan
Madura pedesaan. Dalam pandangan Bulan Muharram pun bagi orang Madura
tradisional orang Madura, bulan Muharam disebut Bulen Sora.[7]
merupakan tradisi selametan khusus yang Ter-ater adalah rangkaian lanjutan
dilakukan untuk tolak balak bagi kalangan dari ritual selamatan. Ter-ater adalah semacam
masyarakat Madura karena dianggap sebagai media silaturrahmi para masyarakat Madura
bulan nahas, sehingga dilarang melakukan setalah acara selamatan berakhir. Ter-ater pada
perjalanan jauh pada bulan tersebut.[3] para perempuan Madura adalah mengantarkan
makanan dan lainnya meski hanya sekedarnya
Ter-ater berupa tajin sora itu bukanlah sebuah untuk para tetangga disekitarnya tanpa
tradisi atau simbol ritual semata. Ada banyak memandang etnik, agama dan ras.
nilai-nilai kebaikan di balik tradisi ini. Dalam Pada dasarnya suatu teradisi tidak
konteks agama, manusia pada hakikatnya lepas dari sejarah yang melatarbelakanginya.
adalah makhluk sosial (homo socius) yang Sama halnya dengan tradisi tajin sora yang
senantiasa membutuhkan bantuan dan terlaksana secara turun temurun. Menurut
pertolongan orang lain. Dengan ukhuwwah keterangan yang ada, bahwa tradisi ini
Islâmiyyah, kehidupan dalam bermasyarakat bermuara pada peristiwa Nabi Nuh. Ketika
senantiasa harus selalu harmonis. Islam juga Nabi nuh dan kaumnya turun dari kapalnya
mengajarkan umatnya untuk memperbanyak mereka merasa kelaparan. sementara mereka
sedekah dengan mengharap ridha Allah, kehabisan bekal. Di kala itu yang tersisa hanya
imbalan rezeki yang berlimpah yang dapat tujuh macam biji-bijian. Satu macam biji-
dirasakan di dunia, serta pahala yang bisa bijian itu sebanyak satu genggam. Lalu nabi
dipetik di akhirat kelak. nuh memerintahkan untuk mengumpulkan
semua biji-bijian yang tersisa. Kemudian
METODE beliau memasaknya menjadi semacam bubur.
Metode yang digunakan dalam artikel Keterangan ini diambil dari kitab hasyiyah
ilmiah ini adalah metode pengamatan dan I'anatu al-Thalibin II, 444.[8]
wawancara kepada salah satu masyarakat dan Dari peristiwa ini lalu muncul tradisi
tetua di Desa Sumedangan yang masih membuat tajin sora . Orang Madura yang
menjalani tradisi ter-ater tajin sora. Metode meyakini pelaksanaan kegiatan selamatan
yang digunakan dilakukan dengan protokol tajhin sora adalah bagian dari pelestarian
kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah.
tradisi tolak bala pada bulan Asyura yang
Selain itu, Sebagian data sekunder
diyakini berrit sehingga terjadi banyak
juga berasal dari buku baik berbahasa
musibah. Di antara yang mereka ingat dalam
Indonesia atau asing dan sumber lain yang
pelaksanaan tajhin sora adalah terbunuhnya
relevan dengan topik penelitian [5]. Data yang
Husein bin Ali di Karbala sebagai pengetahuan
telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara
tunggal sehingga bulan Asyura di yakini
kualitatif [6]. Analisis data melalui empat
sebagai bulan “musibah”. Selamatan menjadi
tahap meliputi pengumpulan data, reduksi data,
semacam pengajuan permohonan bantuan
verifikasi, penyajian data, dan penarikan
yanag ditujukan kepada sang khaliq agar
kesimpulan
selamat dan terhindar dari berbagai musibah.
Tajhin sora tersebut kemudian dibagikan
HASIL DAN PEMBAHASAN
kepada tetangga meskipun berbeda suku,
Madura yang populer dengan julukan
agama dan keluarga terdekat sebagai sedekah.
"Pulau Garam" ini, cukup kental dengan
Dalam bulan Sora ini, warisan tradisi
nuansa religiusnya. Tingkah laku
nenek moyang (Madura: Juju’) yang masih
masyarakatnya selalu berlandaskan pada
dilaksanakan oleh orang Madura adalah ter-
syariat Tuhan. Selain itu masyarakat Madura
ater berupa bubur, masakan yang familiar
juga memiliki etos kerja yang tinggi,
dengan sebutan “tajin sora” oleh orang
kebersamaan yang kuat, dan menjunjung tinggi
Madura. Tradisi ter-ater di bulan Sora ini
nilai-nilai moralitas agama serta tradisi
dilakukan oleh penduduk desa Sumedangan
leluhurnya.
dengan membawa bubur putih (tajin pote/tajin
Salah satu tradisi yang cukup unik
sora) kepada sanak famili, kerabat, dan para
dan tetap terjaga secara turun temurun adalah
tetangga. Selanjutnya, bubur suro akan dibawa
tradisi ter-ater Tajin Sora. Tajin Sora di
ke masjid bersama dengan beragam makanan
Madura khususnya di Desa Sumedangan
ringan lainnya. Penduduk yang mengikuti hanya bisa didapatkan saat bulan Suro saja.
acara di masjid akan duduk membentuk [10]
lingkaran dan acara tersebut akan dipimpin
oleh orang yang dituakan di daerah tersebut. Gambar 1. Tajin Sora
Secara garis besar, Setelah tajin sora Gambar 2. Tajin Mera Pote
diolah, dan memberikan kepada karabat,
tetangga dan musahalla-mushalla terdekat. Gambar 3. Tradisi Ter-ater
Namun tidak semua tajin yang diolahnya
diberikan pada yang tiga di atas, ada yang Komposisi tajin sora terdiri dari
menaruh tajin tersebut di tempat-tempat yang berbagai macam bahan. Sama halnya ketika
dianggap angker. Kebanyakan dari mereka nabi nuh memasak dari berbagai macam biji-
menganggap jalan persimpangan tiga (patak bijian. Tajin Sora umumnya terdiri dari tujuh
deng-deng) sebagai tempat yang angker. Beda unsur yang mewakili daratan dan lautan di
halnya dengan masyarakat masa lembu, antaranya beras putih, kelapa parut, udang ebiy
mereka menaruh tajin sora di pojok-pojok atau ikan teri, cincangan ubi kayu atau ubi
lading atau kebunnya.[9] rambat, kacang tanah atau kacang hijau, telor
Tradisi selamatan tajhin sora pada dadar diiris kecil-kecil dan irisan cabe merah.
masyarakat Madura di bulan Ubi kayu atau ubi rambat juga mewakili
Sorah/Muharram/Asyura misalnya menjadi daratan yang bermakna sebagai makanan
tradisi yang terwarisi dan terpelihara sampai pokok pengganti jika tidak memiliki beras
kini di tengah ekspansi ideologi, budaya dan dalam menjalani bahtera kehidupan.
tradisi masyarakat dunia. Pada tradisinya yang . Dari berbagai macam bahan
positif, masyarakat Madura masih sangat kuat tersebut, yang paling pokok adalah beras
dan sikap terhadap tradisi tersebut tidak hanya dengan santan. Beras tersebut diolah sampai
berlangsung dalam masyarakat Madura yang terasa lembut yakni menjadi bubur. Tujuh
unsur racikan tajhin sora bermakna bahwa
beras mewakili daratan yang menjadi makanan
pokok masyarakatnya. tajhin atau bubur adalah
beras yang diolah dengan penuh keberkahan
menjadi banyak. Bahan-bahan yang lain
seperti telur, tahu dan tempe di goreng lalu
diletakkan diatas bubur yang telah diletakkan
di piring.
Tekstur tajin sora mirip bubur ayam
pada umumnya. Kuahnya juga nyaris sama.
Bedanya, kalau bubur ayam, lumrahnya,
“asli”. Bahkan masyarakat Madura yang “tidak kuahnya memakai kaldu ayam. Meskipun ada
beberapa bubur ayam yang ditemui di penjual
bubur ayam, sebagian memakai kuah santan
juga. Tapi, kalau untuk tajin sora ini dipastikan
hanya pakai kuah santan.