Jakarta (ANTARA News) - Dalam era penuh perubahan, seperti dewasa ini,
senantiasa memerlukan pemahaman kembali jiwa kewirausahaan (entrepreneurship).
Bagi yang memiliki jiwa ingin selalu lebih baik dan lebih produktif. Lalu, serangkaian
langkah apa saja yang perlu dilakoni oleh pimpinan dan manajemen menengah untuk
membangun jiwa kewirausahaan dewasa ini dan ke masa depan pastilah merupakan
tantangan tersendiri, apalagi dalam lingkungan yang terus mengalami perubahan.
Perubahan ke arah itu merupakan fenomena yang menarik, sekalipun terdapat situasi
di mana di satu pihak, yang kuno atau terhitung lama, tidak bersedia berubah. Di
pihak lain, setiap pelaku bisnis lebih merasa terhormat kalau oknum-oknum birokrat
makin sadar dengan belajar membersihkan diri dalam budaya pelayanan dengan
berjiwa dan beretika better, faster and cheaper (lebih bermutu, lebih cepat dan lebih
murah) yang membutuhkan pelayanan, dan di pihak pebisnis mematuhi peraturan.
Itulah jiwa kewirausahaan juga.
Sikap pandangnya bagi setiap anggota organisasi berarti membuat terjadinya kegiatan
inovatif yang sama bermutunya dengan yang dari luar organisasi. Mendayagunakan
intraprneurship dalam tubuh organisasinya berarti memotivasi "budaya produktivitas"
dengan ketegasan ketepatan waktu (timing) dalam berstrategi memperbarui diri.
Selama ini yang banyak di ketahui dari kunci keberhasilan kewirausahaan tradisional
terletak pada kekayaan dan menghargai diri (self appreciation)< yang didapat dari
memotivasi diri. Secara tradisional motivasi untuk berprestasi dalam organisasi
demikian itu sifatnya individual dan banyak kali tergantung pada "selera" berimajinasi
ke inisiator. Dari inisiator mencari mudahnya, yakni menjadi imitator untuk dan
bergerak maju melakukan inovasi, sekalipun terdapat risiko yang membuatnya ragu
(ambigu) atau justru nekad.
Telah banyak teruji bahwa kewirausahaan kolektif justru memberi kontribusi sebagai
terfokus pada pertumbuhan perusahaan. Memang proses pewujudannya tidak
semudah apa yang dibayangkan, apalagi kalau yang menjadi anggota kolektifnya
mudah terjebak dalam rasa takut gagal, rasa was was dicemoohkan oleh yang berada
di luar kelompok. Belum lagi, bila dihambat dalam proses pewujudannya oleh oknum
birokrasi dan dunia bank yang belum pernah mengalami pahit getirnya menjadi
wirausaha.
Oknum-oknum demikian, baik di pusat sampai ke daerah, memang selalu terlihat
berpola pikir sejak awal menjadi birokrat, sekalipun tidak terucapkan, dan sifat
iri/curiga adalah "membekukan atau mematikan jiwa imajinasi dan inovasi/kreativitas
manusia anggota masyarakat dalam kerja tim".
Ada beberapa faktor dinamisator yang memotivasi sukses dalam proses suatu
perusahaan. Pertama, filosofi dan budaya perusahaan yang riil. Kedua, "market niche"
(relung pasar) yang disepakati bersama oleh kelompok inisiator. Ketiga, kualitas
barang/jasa yang unggul dan membedakan dari pesaing. Keempat, inovasi yang
berproses, dan keterikatan pada fokus dengan dukungan modal yang memadai.
Kebersamaan menciptakan nilai yang seimbang dalam arti co-creation of value dalam
pasar yang dijadikan relungnya. Lalu bagaimana dalam "bisnis keluarga", di mana
generasi pertamanya berdaya tahan melalui keuletan, dalam arti kreativitas hanya
menjadi "resep"-nya kepala keluarga dan beberapa anggota keluarga atau kawan
akrabnya yang seusia dengan kendali keuangan perusahaan.
Jiwa kewirausahaan yang demikian itu perlu tumbuh, dan tidak hanya perlu dimiliki
oleh masyarakat, tetapi juga oleh sumber daya manusia pemerintahan sebagai pelayan
masyarakat yang disebut entrepreneurial government yang berbudaya inovatif/kreatif
dan kompetitif untuk selalu better, faster and cheaper dalam melayani masyarakat
sesuai dengan misi pertanggunganjawab sosial (social responsibility ).
Wanti-wantinya, "kalau bersikap pandang di mana pun tidak mau mulai dengan
membuka diri untuk berjiwa kewirausahaan dalam kebersamaan, maka pasti akan
mengalami kegagalan".(*)