Kelompok6 SKI ArsitekturMasjid REVISI2
Kelompok6 SKI ArsitekturMasjid REVISI2
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Allah SWT, karena berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini membahas Perkembangan Masjid di Indonesia. Dalam
penyusunan makalah ini, penyusun banyak mendapat tantangan dan hambatan
akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh
karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga
bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Kami sangat
berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Perkembangan Masjid di Indonesia. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan
dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Tim Kelompok 06
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
Abstract...............................................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................3
2.1 Metode Penelitian....................................................................................3
BAB III....................................................................................................................5
3.1 Arsitektur Masjid di Sumatera..............................................................5
3.2.4 Modern............................................................................................16
BAB IV..................................................................................................................24
3.1 Simpulan.................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN
Abstract
This study aims to describe the form of mosques or mosque architecture in
Indonesia, starting from Sumatra, Java, Kalimantan, Sulawesi and other places.
This study also explains the influence of external culture on mosque architecture.
Research conducted using qualitative methods.
Kata Kunci: Architecture, Islam, Mosque, Indonesia
1
Vivi Kurniawati, Pencarian Dana Masjid di Jalanan Dalam Tinjauan Syar’i, Rumah Fiqih
Publishing, Jakarta: 2018 hal. 7
1) Bagaimana Perkembangan Arsitektur Masjid di Indonesia ?
2) Sejak Kapan Arsitektur Masjid di Indonesia mengalami
Perkembangan?
1.3 Tujuan Masalah
METODE PENELITIAN
3
Ibid, hal. 101
4
Ibid, hal. 107
5
Abd Rahman Hamid, Muhammad Saleh Madjid, pengantar Ilmu Sejarah, Ombak, Yogyakarta,
2015, hal 51.
BAB III
HASIL PENELITIAN
Masjid adalah salah satu bukti peradaban Islam yang ada dimasa lalu dan
masih eksis sampai saat ini. Masjid bukan hanya sekedar tempat peribadatan,
masjid pun memiliki pesan-pesan akan nilai keindahan, sejarah serta kebudayaan.
Jika ditelaah lebih mendalam, sesungguhnya bangunan masjid juga memiliki
bentuk fisik (arsitektur) yang menunjukkan dan menyampaikan pesan-pesan
religiusitas itu sendiri. Suatu karya arsitektur hampir selalu, secara disadari atau
tidak, mencerminkan ciri budaya dari kelompok manusia yang terlibat didalam
proses penciptaanya. Sekurang-kurangnya akan tercermin di situ tata nilai yang
mereka anut.6
3.1 Arsitektur Masjid di Sumatera
3.1.1 Masuknya Islam ke Minangkabau
Daerah Minangkabau sering diidentikkan dengan daerah yang
berada dalam kawasan Propinsi Sumatera Barat saat ini. Bergantinya
sebutan Minangkabau menjadi Sumatera Barat berawal dari penyebutan
Residentie van Sumatera Westkust yang dilakukan oleh kolonial Belanda
dalam memetakan daerah jajahannya7. Kemudian penamaan ini terus
digunakan pada masa kemerdekaan Indonesia. Pada masa orde lama,
kawasan wilayah Minangkabau yang sebagian besar itu berada pada
kawasan Sumatera Tengah (Sumatera Barat, Riau dan Jambi sekarang),
semenjak terjadi peristiwa PRRI yang berpusat di Sumatera Barat
sekarang, maka Propinsi Sumatera Tengah yang dahulu terdiri dari Riau,
Jambi dan Sumatera Barat dipecah oleh Sukarno menjadi tiga propinsi.
Semenjak itu, kawasan Minangkabau yang memang sebagian besar
wilayahnya berada dalam kawasan Propinsi Sumatera Barat sekarang
menyebabkan Minangkabau sering diidentikkan dengan Sumatera Barat
dan demikian juga sebaliknya sebutan Sumatera Barat sering
diidentikkan dengan Minangkabau. Keberadaan orang Minangkabau
yang berada di luar kawasan Sumatera. 8
Agama yang dianut oleh masyarakat Minangkabau asli adalah
agama Islam sehingga dikatakan “tidak Minang bila tidak Islam”. Tidak
didapat keterangan yang pasti tentang sejak kapan atau awal masuk Islam
ke Minangkabau. Diantara pendapat yang ada dikatakan bahwa Islam
sudah masuk ke Minangkabau sejak abad-adab awal hijriyah yaitu sejak
abad ke-7 atau ke-8 H karena Minangkabau timur merupakan jalur
perdagangan penting menuju Malaka. Jalur perdagangan lebih mudah
ditempuh melalui sungai-sungai terutama melalui Sungai Kampar Kanan
6
Eko Budiharjo, Jati Diri Arsitektur Indonesia, Alumni, Bandung:1996, hlm.25
7
Duski Samad, Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau, The Minangkabau Foundation
Padang: 2002, hlm.2
8
Muhammad Husni dan Olvyanda Ariesta, Seni Arsitektur dari Masa ke Masa (Jurnal Penelitian
Sejarah dan Budaya Vol. 4, 2018), hlm. 1159
dan Kampar Kiri yang bermuara di Selat Malaka. Di samping berdagang,
para saudagar muslim itu juga menyampaikan dan menyebarkan Islam. 9
Islam masuk ke Minangkabau melalui dua jalur. Pertama melalui
jalur Pesisir Timur (Selat Malaka) melalui Rantau Kuantan, Kampar,
Siak dan Indragiri. Kedua dengan Pesisir Barat (Samudra India) melalui
Bandar-bandar lama seperti Tiku dan Pariaman. Selanjutnya agama Islam
dari Pesisir Timur (daerah rantau) dan daerah Pesisir Barat bertemu di
daerah Minangkabau asli. Inilah mungkin yang dimaksud pepatah syara’
mendaki, adat menurun yang artinya adat turun ke daerah rantau
(Pesisir) dan syara’ (hukum agama) mendaki ke darek (wilayah asal
nenek moyang Minangkabau)10.
Masyarakat Minangkabau dapat dengan cepat menerima ajaran
Islam karena telah memiliki peradaban yang banyak bersesuaian dengan
ajaran Islam. Kuatnya pengaruh Islam sehingga yang dulunya falsafah
adat basandi alua jo patuik, alua jo patuik basandi ka nan bana, nan
bana badiri sendirinyo berubah menjadi adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai [CITATION Ind13 \p
7-8 \l 1057 ]. Islam telah mempengaruhi berbagai sisi kehidupan manusia
dalam membentuk kebudayan dan peradaban masyarakat Minangkabau
yang diantaranya terlihat dalam seni arsitekturnya.11.
3.1.2 Surau dan Masjid di Minangkabau
9
Ibid, hlm. 1160
10
Alimin Nurhayatu Nufut, Majid Raya Sumatera Barat sebagai Simbol Persatuan Muslim di
Sumatera Barat (Vol. 1, 2016), hlm. 82
11
Muhammad Husni dan Olvyanda Ariesta, Seni Arsitektur dari Masa ke Masa (Jurnal Penelitian
Sejarah dan Budaya Vol. 4, 2018), op.cit., hlm. 1160
sama. Secara bahasa kata surau berarti tempat atau tempat ibadah 12.
Adapun masjid, dari segi bahasa kata masjid berasal dari bahasa Arab
yang terambil dari akar kata sajada-sujud, yang berarti patuh, taat, serta
tunduk dengan penuh hormat dan takzhim. Oleh karena itu, meletakkan
dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, dalam syariat Islam dinamai
sujud karena merupakan bentuk lahiriah yang paling nyata dari makna-
makna di atas. Itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan
untuk melaksanakan shalat yang didalamnya terdapat sujud dinamakan
masjid, yang artinya “tempat bersujud”13. Dalam al-Qur’an, Allah swt
menegaskan bahwa, “Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik
Allah, karena itu janganlah menyembah selain Allah sesuatu pun.” (Q.S
al-Jin (72): 18)
Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat
shalat umat Islam. Pemilihan masjid untuk menyebut tempat shalat
adalah karena sujud merupakan perbuatan paling mulia untuk
mendekatkan diri kepada sang pencipta. Masjid sebagai tempat yang
disiapkan untuk shalat secara khusus yang ukurannya dapat menampung
banyak jamaah dan dapat dilaksanakannya shalat jumat serta berlaku
permanen tidak hanya untuk sementara, maka lapangan tidak
dikategorikan sebagai masjid dalam artian khusus. Selain masjid terdapat
juga sebutan lain yang mengandung arti yang sama yaitu jamik.
Penyebutannya terkadang digabung dan terkadang terpisah. Istilah jamik
mengandung makna “mengumpulkan” atau “menghimpun” yang mana
jamik merupakan sifat dari masjid karena memang masjid dapat
mengumpulkan dan menghimpun jamaah sehingga terkadang disebut
masjid jamik.14
Bangunan Masjid terdiri dari beberapa bagian yang menjadi ciri
khas dari bangunan masjid, bagian-bagian tersebut dijelaskan dalam
15
meliputi Mihrab (tempat Imam memimpin Sholat) Mimbar, Liwan
(tempat makmum), Menara, kubah, pintu masuk, serambi, dan sahn
(tempat berwudu). Bagian-bagian pada ruangan tersebut akan dibagi ke
dalam dua kategori yang pertama yaitu bagian eksterior yang tampak
pada bangunan arsitektur masjid secara keseluruhan termasuk kubah dan
struktur bangunan dan yang kedua yaitu bagian interior masjid meliputi
liwan, sahn dan bentuk bagian dalam masjid secara keseluruhan. Bagian-
bagian yang akan dikaji ini memiliki peran yang penting dan saling
menunjang satu sama lain yang disusun sedemikian rupa untuk
menghadirkan kenyamanan kepada pengguna ruangannya16. Arsitektur
dan interior pada dasarnya adalah satu kesatuan, sebagaimana yang
12
Silfia Hanani, Surau Aset Lokal Yang Tercecer, Humaniora Utama Press, Bandung: 2003, hlm.
62-63
13
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Mizan Pustaka, Bandung : 1996, hlm. 459
14
Huri Yasin Husain, Fikih Masjid, Al-Kautsar, Jakarta: 2011
15
Oloan Situmorang, Seni Rupa Islam: Pertumbuhan dan Perkembangannya, Angkasa, Bandung:
1988, hlm. 24
16
Alimin Nurhayatu Nufut, Majid Raya Sumatera Barat sebagai Simbol Persatuan Muslim di
Sumatera Barat (Vol. 1, 2016), hlm. 82
dijelaskan oleh Pile, (1988:389) bahwa hubungan desain interior dengan
Arsitektur begitu erat dan tidak terbantahkan. Sebuah bangunan
dirancang mengikuti ruang dalam yang sejalan dengan bentuk tampilan
eksteriornya. 17
Surau dan masjid memiliki kedudukan dan peranan yang sangat
penting di Minangkabau. Ia tidak hanya sebagai tempat pusat peribadatan
tapi juga merupakan bagian dari budaya dan peradaban umat Islam yang
memiliki berbagai macam corak seni arsitekturnya.18
Keberadaan peradaban Hindu di Minangkabau sangat
mempengaruhi corak atau gaya aristektur surau dan masjid. Surau dan
masjid zaman awal perkembangan Islam di Minangkabau memiliki ciri
khas atap tumpang yang berbentuk limas yang semakin ke atas semakin
kecil dan mengerucut. Jumlah atap tumpang ini biasanya terdiri dari tiga
atau lima tingkatan. Gaya arsitektur ini merupakan karakter atau ciri khas
surau dan masjid pada zaman klasik yang masih bersifat tradisional.
Corak atau gaya arsitektur ini dikenal juga dengan arsitektur vernakular
(gaya arsitektur yang dirancang berdasarkan kebutuhan lokal,
ketersediaan bahan bangunan dan mencerminkan tradisi lokal atau
struktur yang dibuat oleh masyarakat lokal tanpa intervensi dari arsitek
profesional, ia bergantung pada kemampuan desain dan tradisi
pembangunan lokal, arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari
arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik). 19
Di samping beratap tumpang, ia dibangun di atas pondasi
berbentuk bujur sangkar. Corak ini pada umumnya ditemukan pada surau
atau masjid tua yang memiliki nilai sejarah zaman klasik dan merupakan
bentuk masjid generasi zaman awal perkembangan Islam di
Minangkabau. Tidak hanya di Minangkabau tetapi seluruh masjid yang
ada di Indonesia pada umumnya mengambil bentuk ini sebagai corak
awal masjid di nusantara seperti pada masjid Agung Demak dan Masjid
Agung Banten20.
Meskipun corak awal arsitektur surau dan masjid di Minangkabau
pada umumnya mirip dan hampir sama dengan masjid Demak dan
masjid-masjid yang ada di Pulau Jawa maupun daerah lainnya sebagai
bentuk perkembangan awal masjid-masjid di nusantara, namun nilai-nilai
budaya lokal (local genius/kearifan lokal) yang hidup di tengah
masyarakat ikut mempengaruhinya. Bentuk arsitektur masjid dan surau
tradisional di Minangkabau ini juga dipengaruhi oleh keberadaan adat
Minangkabau yang memiliki dua kelarasan dalam sistim kepemimpinan
di Minangkabau yaitu Koto Piliang dan Bodi Caniago. Masing-masing
dari kelarasan ini memiliki bentuk dan gaya arsitektur masjid tersendiri.21
17
Rony, Ikonografi Arsitektur dan Interior Masjid Kristal Khadija Yogyakarta, Society Arts,
Yogyakarta: 2014, hlm. 123
18
Muhammad Husni dan Olvyanda Ariesta, Seni Arsitektur dari Masa ke Masa (Jurnal Penelitian
Sejarah dan Budaya Vol. 4, 2018), op.cit. hlm. 1161
19
Ibid, hlm. 1161
20
Ibid, hlm. 1162
Pertama, Masjid Kelarasan Bodi Caniago berbentuk bujur sangkar
dengan atap tumpang tiga atau lima seperti limas yang semakin ke atas
semakin mengerucut namun pada puncaknya seperti selinder yang
runcing pada bagian ujungnya.22 Tipologi ini juga merefleksikan sistim
pemerintahan Kelarasan Bodi Caniago “membasuik dari bumi” bahwa
dalam musyawarah kaum, kata akhir berada di kemanakan, suara rakyat
yang paling menentukan. Masjid dengan tipologi ini dapat ditemukan
pada masjid-masjid tua di Minangkabau seperti Masjid Raya Lima Kaum
(dibangun tahun 1650-1710 M) dan Masjid Raya Bingkudu IV Angkek
Canduang Kabupaten Agam (didirikan tahun1823 M ).23
Masjid Raya Lima Kaum memiliki atap tumpang lima yang
melambangkan bahwa masjid ini didirikan oleh lima kaum yang terdiri
dari lima jorong atau lima desa yaitu Dusun Tuo, Balai Labuah, Piliang,
Kuburajo, dan Balai Batu, selain itu juga dikaitkan sebagai perlambangan
shalat yang lima waktu.24 Masjid ini berdiri di atas tanah yang dahulunya
merupakan bekas sebuah pagoda atau bangunan agama Hindu yang telah
ditinggalkan penganutnya karena sudah masuk Islam karena memang
Minangkabau sebelum Islam datang, masyarakatnya menganut peradaban
Hindu sehingga berpengaruh terhadap bentuk rumah ibadah yang
diislamisasi saat itu.25
Kedua, Masjid Kelarasan Koto Piliang berbentuk limas yang
memiliki atap tumpang berjumlah tiga atau lima dan di puncak atap
tersebut terdapat seperti gonjong rumah adat pada keempat sisinya. Tipe
masjid kelarasan Koto Piliang, memiliki ciri khas arsitektur yang
mengkombinasikan arsitektur Rumah Gadang (rumah adat) di
Minangkabau berupa atap bergonjong pada atap bagian puncak.26
Tipologi ini juga merefleksikan sistim atau bentuk pemerintahan Koto
Piliang yang bersifat aristokrasi yang disebut “titiek dari ateh”, bahwa
untuk mengambil suatu keputusan atau kata akhir berada di tangan
kepala suku atau penghulu. Tipologi masjid ini dapat terlihat pada Masjid
Raya Rao-Rao Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar (didirikan tahun
1892-1916). Tipologi atap tumpang pada umumnya terdiri dari tiga lapis
atap utama dan satu atap penutup bagian puncak. Pada atap puncak
Masjid Rao-Rao memiliki atap gonjong seperti atap gonjong rumah
gadang ciri khas Minangkabau sebanyak empat buah yang mengarah
pada empat penjuru mata angin sebagai lambang empat suku di Nagari
21
Hasmurdi Hasan, Ragam Rumah Adat Minangkabau:Falsafah, Pembangunan dan Kegunaan,
Yayasan Citra Pendidikan Indonesia, Jakarta: 2004, hlm. 65
22
Hasmurdi Hasan, Ragam Rumah Adat Minangkabau:Falsafah, Pembangunan dan Kegunaan,
Yayasan Citra Pendidikan Indonesia, Jakarta: 2004, hlm. 65-66
23
Muhammad Husni dan Olvyanda Ariesta, Seni Arsitektur dari Masa ke Masa (Jurnal Penelitian
Sejarah dan Budaya Vol. 4, 2018), op.cit., hlm. 1163
24
Zainudin, Arsitektur Masjid Lima Kaum Batusangkar, Jurnal Lektur Agama, 2013, hlm 371-404
25
Muhammad Husni dan Olvyanda Ariesta, Seni Arsitektur dari Masa ke Masa (Jurnal Penelitian
Sejarah dan Budaya Vol. 4, 2018), loc.cit., hlm. 1163
26
Hasmurdi Hasan, Ragam Rumah Adat Minangkabau:Falsafah, Pembangunan dan Kegunaan,
Yayasan Citra Pendidikan Indonesia, Jakarta: 2004, loc.cit, hlm. 65-66
Rao-Rao yaitu suku Bodi Caniago, Bendang Mandailing, Koto Piliang
dan Petapang Koto Anyia.27
Pengaruh nilai-nilai adat dan budaya Minangkabau telah
memberikan warna tersendiri terhadap corak surau dan masjid di
Minangkabau. Kedua bangunan itu yang pada mulanya sangat kental
dengan nuansa Hindunya dimodifikasi dengan nilai-nilai Islam dan adat
Minangkabau. sehingga banyak masjid atau surau yang memiliki atap
bergonjong seperti pada rumah gadang. Apabila dilihat dari segi bahan
material atap yang dipakai dan digunakan adalah benda-benda yang
berasal dari alam berupa ijuk. Namun setelah dilakukan beberapa kali
pemugaran karena sulit untuk mendapatkan ijuk maka diganti dengan
bahan yang sesuai dengan perkembangan zaman yaitu berupa atap seng
atau sejenisnya yang lebih mudah mendapatkan maupun cara
pemasangannya dengan tetap menjaga bentuk asalnya. Umumnya
masjid-masjid kuno konstruksinya memang berasal kayu baik dinding
atapun lantainya. Sedangkan dari sisi penamaan cenderung mengambil
sesuatu yang menjadi identitas tempat tersebut dan jarang sekali
memakai istilah Arab. Menurut Yunahar Ilyas dalam buku Tiga Sepilin,
kalau diberi nama berbahasa Arab ada harapan dan doa dalam nama
tersebut, tetapi kalau diberi nama kampung maka seluruh penduduk
kampung merasa memiliki dan sekaligus akan bertanggung jawab untuk
kemakmuran masjid tersebut. 28
Selanjutnya corak lain dari tipologi atap tumpang yang berbeda
dengan tipologi masjid-masjid yang beratap tumpang lainnnya, ia tidak
lagi berbetuk limas tetapi seperti vihara atau klenteng kaum Tionghoa
seperti pada Masjid Raya Ganting Kota Padang (didirikan tahun 1805
M).29
Pengaruh Cina terhadap mesjid ini terlihat pada model atapnya
yang bertingkat yang berbeda dengan yang lainnya. Atap tumpang pada
dua atap paling atas berbentuk klenteng segi delapan. Menurut Graaf dan
Piogeud atap bertingkat yang menjadi style masjid-masjid kuno di
Minangkabau menyerupai Pagoda di Cina.30 Hal yang seirama dengan itu
juga dapat terlihat pada Masjid Raya Kota Pariaman, Masjid Raya Bayur
Maninjau dan beberapa masjid yang ada di Kabupaten Padang Pariaman
dan Kota Pariaman. Seluruh masjid kuno selalu bertumpang tiga sampai
lima, semakin keatas semakin kecil dan mengerucut, sedangkan tingkatan
yang paling atas berbentuk limas. Tak dapat dipungkiri hal ini merupakan
pengaruh Hindu, karena sebelum Islam atap tumpang dipakai untuk kuil,
bangunan suci agama Hindu. Atap tumpang sampai sekarang masih
27
Muhammad Husni dan Olvyanda Ariesta, Seni Arsitektur dari Masa ke Masa (Jurnal Penelitian
Sejarah dan Budaya Vol. 4, 2018), op.cit., hlm. 1164
28
Mas’oed Abidin, Tiga Sepilin Surau Sousi untuk Bangsa, Gre Publishing, Yogyakarta: 2016,
hlm. 3
29
Muhammad Husni dan Olvyanda Ariesta, Seni Arsitektur dari Masa ke Masa (Jurnal Penelitian
Sejarah dan Budaya Vol. 4, 2018), op.cit., hlm. 1168
30
Maidir Harun, Sejarah Rumah Ibadah Kuno di Kota Padang, IAIN Imam Bonjol, Padang: 2017,
hlm. 15-26
lazim dipakai di Bali, namanya meru, dan digunakan khusus mengatapi
bangunan-bangunan suci di dalam pura. Pengaruh Hindu ini juga dapat
dilihat pada masjid-masjid kuno di pulau Jawa. Berdasarkan inventarisasi
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar, dalam buku yang
berjudul Masjid-masjid Kuno di Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan
Riau yang diterbitkan tahun 2015, jumlah masjid tua yang ada di Sumbar
sebanyak 25 unit dan 6 unit diantaranya merupakan surau. Pada
umumnya masjid yang ada rata-rata berusia di atas 80 tahun.31
3.2 Arsitektur Masjid di Jawa
3.2.1 Ciri Khas
Menurut C.F. Pijper Teori tentang arsitektur masjid kuno di
Indonesia memiliki ciri khas dan berbeda dengan bentuk-bentuk masjid
Indonesia yang berasal dari Pulau Jawa, sehingga orang dapat menyebut
masjid tipe Jawa. Ciri khas masjid tipe jawa adalah :
1. Fondasi bangunan yang berbentuk persegi dan pejal yang agak tinggi.
2. Masjid tidak berdiri di atas tiang, seperti rumah di Indonesia model
kuno dan langgar.
3. Masjid mempunyai atap tumpang yang terdiri dari dua sampai lima
tingkat, dimana semakin keatas maka akan semakin kecil dan lancip.
4. Masjid mempunyai tambahan ruangan kecil disebelah Barat yang
dipakai untuk tempat mihrab.
5. Masjid mempunyai serambi di depan maupun di kedua sisinya.
6. Halaman disekeliling masjid dibatasi oleh tembok dengan satu pintu
masuk depan yang disebut dengan gapura.
7. Denahnya berbentuk segi empat.
8. Dibangun disebelah barat alun-alun.
9. Arah mihrab tidak tepat kiblat.
10. Dibangun dari bahan yang mudah rusak.
11. Terdapat parit air disekelilingnya atau di depan masjid.
12. Awalnya dibangun tanpa serambi.32
3.2.2 Contoh Masjid di Jawa
Dari beberapa ciri masjid tipe Jawa ini bukanlah merupakan
bangunan yang asing, tetapi bentuk asli yang disesuaikan dengan
31
Muhammad Husni dan Olvyanda Ariesta, Seni Arsitektur dari Masa ke Masa (Jurnal Penelitian
Sejarah dan Budaya Vol. 4, 2018), op.cit., hlm. 1169
32
Juliadi, Masjid Agung Banten :Nafas Sejarah dan Buday, .Ombak, Yogyakarta: 2007
kebutuhan peribadatan secara Islam. Sehingga lahirlah bentuk masjid yang
bermacam ragam itu sesuai dengan kebiasaan dan kemampuan masyarakat
yang mendirikannya. Dari keseluruhan perkembangan kesenian Islam
disemua daerah yang telah menjadi kekuasaan Islam, akan terlihat adanya
pertumbuhan dan perkembangan dari berbagai macam bidang kesenian
yang dari beberapa diantaranya mengalami perubahan dan kemajuan yang
sangat pesat dan menjadi salah satu bidang seni yang sangat menonjol
dibandingkan dengan bidang kesenian yang lainnya. Berikut merupakan
masjid-masjid peninggalan Walisongo:
1) Masjid Ampel Denta
33
M. Zein Wiryoprawiro, Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur, Bina Ilmu, Surabaya:
1986, hlm. 182.
Gambar 3. Masjid Agung Demak
Sumber: travel.detik.com
Sunan Ampel juga disebut-sebut sebagai arsitek pembangunan
mesjid Agung Demak (Salam, 1974:28). Pembangunan mesjid Agung
Demak dilaksanakan tahun 1477-1479 (atau 1481). Tahun 1481
merupakan tahun wafatnya Sunan Ampel. Mesjid Agung Demak
kemudian menjadi prototipe mesjid-mesjid di Nusantara.34
Mesjid Agung Demak selama masa keberadaannya sudah
beberapa kali mengalami perbaikan dan perluasan. Berdasarkan
gambar kuno,35 penampilan mesjid Demak terkesan sederhana. Dari
gambar terlihat bahwa bangunan mesjid merupakan single building.
Penambahan fasilitas yang mula-mula adalah bangunan serambi yang
terkenal dengan serambi 'majapahit', yang diperkirakan menyatu
dengan bangunan utama mesjid Agung Demak pada tahun 1845.
Dalam buku Geschiedenis Van Java Deel II, terbitan tahun 1920
menampilkan gambar (photo) mesjid Agung Demak. Dari gambar
terlihat sebuah regol sebagai gerbang utama masuk ke dalam kompleks
mesjid. Di belakang regol terdapat bangunan penghubung ke serambi
mesjid yang dinamakan tratag rambat. Namun pada tahun 1966 regol
dan tratag rambat itu dibongkar dan kemudian dibangun kembali
gapura dengan ornamen batu andesit seperti kondisi sekarang ini. Pada
tahun 1967 dibuatlah sebuah kolam di sebelah tenggara bangunan
mesjid yang kemudian terkenal dengan 'kolam bersejarah'.
34
Ashadi, Masjid Agung Demak sebagai Prototipe Masjid Nusantara: Filosofi Arsitektur (Jurnal
Nalars Jurusan Arsitektur: FT-UMJ Volume 1, Januari 2002)
35
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1-3, Kanisius, Yogyakarta: 1973
Gambar 4. Masjid Menara Kudus
Sumber: daaruttauhiid.org
Mesjid Menara Kudus merupakan peninggalan Ja’far Shodiq
(Sunan Kudus) yang dibangun pada tahun 1549 sesuai keterangan
yang ada di atas mihrab mesjid. Bentuk menaranya menyerupai candi
Jawa Timuran dengan bahan dari bata merah. Untuk mengetahui
ataupun mengidentifikasikan bentuk awal bangunan masjid agak sulit
dikarenakan telah mengalami perbaikan-perbaikan yang dibarengi
dengan perluasan hingga pada bentuknya yang sekarang.
Tentang mesjid Menara Kudus, Majalah Konstruksi edisi Mei
1988, pada halaman 45, memaparkan sejarah singkat perkembangan
mesjid Menara Kudus. Pada awal pendiriannya, mesjid berbentuk
payung, seluas 20 m2 dengan satu tiang di tengah. Mesjid yang semula
sederhana, kemudian mengalami beberapa kali perluasan untuk
menampung jamaah yang semakin meningkat jumlahnya. Pada tahun
1919, mesjid diperluas hingga ke pintu kori agung pertama dengan
penutup atap berbentuk atap tajug tumpang tiga. Juga di samping
kirinya sudah dibangun madarasah. Pada tahun 1925, mesjid diperluas
lagi sampai ke pintu kori agung kedua berupa bangunan serambi
dengan atap berbentuk limasan, dan tahun 1933 ditambah serambi
sampai halaman paling depan. Penutup serambi ini berupa atap pelana
dan pada bagian paling timur berupa atap berbentuk kubah.
4) Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon
PENUTUP
3.1 Simpulan
Keberadaan peradaban Hindu di Minangkabau sangat
mempengaruhi corak atau gaya aristektur surau dan masjid. Surau dan
masjid zaman awal perkembangan Islam di Minangkabau memiliki ciri
khas atap tumpang yang berbentuk limas yang semakin ke atas semakin
kecil dan mengerucut. Hal ini juga dapat dilihat pada arsitektur Masjid di
Jawa yang sama- sama memiliki atap tumpang namun pembedanya adalah
posisi arah mihrabnya tidak tepat pada kiblat, terdapat parit air di
sekeliling Masjid. Sedangkan di Sulawesi ditemukan bahwa bangunan
Masjid dipengaruhi oleh bangunan Rumah adat setempat sehingga
seringkali Rumah adat dan Masjid memiliki kesamaan namun ciri khas
Masjid seperti Masjid Buton tidak diadopsi oleh Masjid- masjid lain di
Sulawesi khususnya Sulawesi Tenggara, Hal ini semakin menjelaskan
bahwa Keberagaman Arsitektur di Indonesia khususnya arsitektur Masjid
memang benar adanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Mas'oed. 2016. Tiga Sepilin Surau Solusi untuk Bangsa. Yogyakarta: Gre
Publishing.
Alimin, Nurhayatu Nufut. 2016. “Masjid Raya Sumatera Barat sebagai Simbol
Persatuan Muslim di Sumatera Barat.” I.
Ashadi. 2002. “Masjid Agung Demak sebagai Prototipe Masjid Nusantara:
Filosofi Arsitektur.” Jurnal Nalars. Jurusan Arsitektur FT-UMJ. Volume 1
Januari 2002.
Ashadi. 2002. “Perkembangan Arsitektur Mesjid Walisongo di Jawa : Perubahan
Ruang dan Bentuk.” Jurnal Nalars. Jurusan Arsitektur FT-UMJ. Volume
1 Januari 2002.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1994. Pedoman Sholat. Jakarta: Pustaka Rizki Putra.
Budiharjo, Eko. 1996. Jati Diri Arsitektur Indonesia. Bandung: Alumni.
Darmawan, M.Y. 2008. Menyibak Kabut di Keraton Buton (Baubau: Past,
Present, and Future). Kota Baubau.
Hanani, Silfia. 2003. Surau Aset Lokal Yang Tercecer. Bandung: Humaniora
Utama Press.
Harisah, A., Satrosasmito, S. & Hatmoko, A.U. 2007. “Ekletisisme dan
Arsitektur.”
Harun, Maidir. 2017. Sejarah Rumah Ibadah Kuno di Kota Padang. Padang:
IAIN Imam Bonjol Press.
Hasan, Hasmurdi. 2004. Ragam Rumah Adat Minangkabau : Falsafah,
Pembangunan dan Kegunaan. Jakarta: Yayasan Citra Pendidikan
Indonesia.
Husain, Huri Yasin. 2011. Fikih Masjid. Jakarta: Al-Kautsar.
Indra Yuda, Muasari dan Sexri Budiman. 2013. “Randai Suatu Aktivitas Kesenian
dan Media Pendidikan Tradisional.” (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Sumatera Barat UPTD Taman Budaya).
Juliadi. 2007. Masjid Agung Banten :NafasSejarah dan Budaya. Yogyakarta:
Ombak.
Mangunwijaya, Y.B. 2013. Wastu Citra Pengantar Ke Ilmu Budaya Bentuk
Arsitektural Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh/Latihan-
latihan Praktis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Muhammad Husni, Olivyanda Ariesta. 2018. “Seni Arsitektur dari Masa ke
Masa.” Jurnal Penelitian Sejarahi dan Budaya IV.
Muhammad Husni, Olivyanda Ariesta. 2018. “Seni Arsitektur Minangkabau dari
Masa ke Masa.” Jurnal Penelitian Sejarahi dan Budaya, Vol. 4 No. 2
1159.
Rony. 2014. Ikonografi Arsitektur dan Interior Masjid Kristal Khadija
Yogyakarta. Society Arts.
Samad, Duski. 2002. Syeikh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau. Padang:
The Minangkabau Foundation.
Shan'ani, Ash. Subulus Salam. Vol. II. n.d.
Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan Pustaka.
—. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan Pustaka, 1996.
Situmorang, Oloan. 1988. Seni Rupa Islam: Pertumbuhan dan Perkembangannya.
Bandung: Angkasa.
Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1-3. Yogyakarta:
Kanisius.
Sudjana, T. D. 2003. Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Muatan Mistiknya.
Bandung: Humaniora Utama Press.
Sulasman, 2014, Metodologi Penelitian Sejarah, Bandung: Pustaka Setia
Sumalyo, Y. 2005. “Arsitektur Modern Akhir Bad XIX dan Abad XX .” (Gajah
Mada Universitas Pers) II.
Vivi Kurniawati, Lc, M. A. "Pencarian Dana Masjid di Jalanan Dalam Tinjaun
Syar"i." 7. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing , 2018.
Wiryoprawiro, M. Zein. 1986. Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur.
Surabaya: Bina Ilmu.
Zainuddin. 2013. ““Arsitektur Masjid Lima Kaum Batusangkar”.” Jurnal Lektur
Keagamaan II.