Anda di halaman 1dari 30

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASJID DI INDONESIA

LAPORAN HASIL PENELITIAN


DISKUSI KELOMPOK
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Diskusi Kelompok
Mata Kuliah: Sejarah Kebudayaan Islam II
Pembimbing: - Drs. Aam Abdillah, M.Ag.
- Mardani, M.A., Hum

Disusun Oleh : Kelompok 06


1. Gina Luthfiatin ( 1195010063 )
2. Hafid Fajar Maulana Yusuf ( 1195010054 )
3. Irfan Izzatur Rahman ( 1195010064 )
4. Isfa Siti Rohimah ( 1195010066 )
5. Jatmika Aji Santika ( 1195010070 )
6. Muhamad Iqbal Al Hilal ( 1195010086 )

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM (SPI)


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Allah SWT, karena berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini membahas Perkembangan Masjid di Indonesia. Dalam
penyusunan makalah ini, penyusun banyak mendapat tantangan dan hambatan
akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh
karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga
bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Kami sangat
berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Perkembangan Masjid di Indonesia. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan
dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Bandung, November 2020

Tim Kelompok 06
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
Abstract...............................................................................................................1

1.1 Latar Belakang........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah...................................................................................2

1.3 Tujuan Masalah.......................................................................................2

BAB II.....................................................................................................................3
2.1 Metode Penelitian....................................................................................3

BAB III....................................................................................................................5
3.1 Arsitektur Masjid di Sumatera..............................................................5

3.1.1 Masuknya Islam ke Minangkabau.................................................5

3.1.2 Surau dan Masjid di Minangkabau...............................................6

3.2 Arsitektur Masjid di Jawa....................................................................11

3.2.1 Ciri Khas.........................................................................................11

3.2.2 Contoh Masjid di Jawa..................................................................12

3.2.3 Ruangan Modernitas.....................................................................15

3.2.4 Modern............................................................................................16

3.3 Arsitektur Masjid di Sulawesi..............................................................19

BAB IV..................................................................................................................24
3.1 Simpulan.................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................25
BAB I

PENDAHULUAN

Abstract
This study aims to describe the form of mosques or mosque architecture in
Indonesia, starting from Sumatra, Java, Kalimantan, Sulawesi and other places.
This study also explains the influence of external culture on mosque architecture.
Research conducted using qualitative methods.
Kata Kunci: Architecture, Islam, Mosque, Indonesia

1.1 Latar Belakang


Secara bahasa, kata masjid adalah tempat yang dipakai untuk
bersujud. Kemudian maknanya meluas menjadi bangunan khusus yang
dijadikan orang-orang untuk tempat berkumpul menunaikan shalat
berjama’ah. Az-Zarkasyi [CITATION Kur18 \p 7 \l 1057 ] berkata,
“Manakala sujud adalah perbuatan yang paling mulia dalam shalat,
disebabkan kedekatan hamba Allah kepada-Nya di dalam sujud, maka
tempat melaksanakan shalat diambil dari kata sujud (yakni masjad =
tempat sujud). Mereka tidak menyebutnya (tempat ruku’) atau yang
lainnya. Kemudian perkembangan berikutnya lafazh masjad berubah
menjadi masjid, yang secara istilah berarti bengunan khusus yang
disediakan untuk shalat lima waktu. Berbeda dengan tempat yang
digunakan untuk shalat ‘Id atau sejenisnya (seperti shalat Istisqa’) yang
dinamakan (mushallaa = lapangan terbuka yang digunakan untuk shalat
‘Id atau sejenisnya). Hukum-hukum bagi masjid tidak dapat diterapkan
pada mushalla.1
Masjid mengalami perkembangannya di Indonesia tidak hanya
untuk sarana beribadah dan akulturasi budaya semata namun juga menjadi
tempat wisata masyarakat pada perkembangannya hari ini hal ini bisa
terlihat dari wisata masjid Kubah Emas yang didirikan oleh Dian Al Mahri
terlepas dari kemewahannya masjid disetiap daerah di Nusantara
mempunyai keunikan tersendiri dalam arsitekturnya masing- masing yang
semakin menambah keberagaman arsitektur di Indonesia. [CITATION
Has94 \p 251 \l 1057 ]
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini, adalah :

1
Vivi Kurniawati, Pencarian Dana Masjid di Jalanan Dalam Tinjauan Syar’i, Rumah Fiqih
Publishing, Jakarta: 2018 hal. 7
1) Bagaimana Perkembangan Arsitektur Masjid di Indonesia ?
2) Sejak Kapan Arsitektur Masjid di Indonesia mengalami
Perkembangan?
1.3 Tujuan Masalah

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, adalah :


1) Mahasiswa dapat Mengetahui Perkembangan Arsitekt ur Masjid di
Indonesia
2) Mahasiswa dapat Mengetahui Daerah-Daerah Perkembangan
Arsitektur di Indonesia
BAB II

METODE PENELITIAN

2.1 Metode Penelitian


Metodologi dalam penelitian ini menggunakan Metodologi
Kualitatif yakni penelitian menggunakan hasil analisis dari sumber pustaka
baik berupa jurnal, buku dan sumber sejenis, hal ini semata dilakukan
demi tetap mematuhi aturan Pemerintah yang dimana tidak
diperkenankannya kegiatan berkumpul atau berkerumun untuk sementara
waktu agar wabah covid - 19 cepat mereda. Berikut langkah – langkah
metode yang digunakan dalam proses analisis penelitian.
a) Heuristik
Menurut [CITATION Pro14 \p 93 \l 1033 ] Heuristik berasal
dari bahasa Yunani yang artinya heuriskein yang artinya
“menemukan”. Pada tahap ini, kegiatan di arahkan pada penjajakan,
pencarian, dan pengumpulan sumber-sumber yang sesuai dengan tema
penelitian. Sumber sejarah dibagi menjadi tiga, yaitu tulisan, lisan dan
benda. Heuristik merupakan suatu keterampilan dalam menemukan,
menangani dan memperinci atau mengklasifikasi pada sumber-sumber
berupa buku, dokumen, arsip, dan gambar-gambar (foto) yang terkait
dengan objek penelitian yang akan di kaji, baik itu sumber primer
maupun sumber sekunder yang akan menunjang pengerjaan Jurnal
Pada tahapan ini, penulis berusaha mencari dan mengimpun sumber-
sumber yang dianggap relevan dan kredible dengan bidang kajian atau
topik yang akan dibahas. Selama pencarian sumber penulis
dimudahkan dalam pencarian sumber melalui situs – situs publikasi
yang membantu dalam proses penyelesaian laporan hasil penelitian ini
yakni, yang paling banyak sumbernya adalah Pulau Sumatera dan
Jawa sementara untuk Sulawesi sangat minim mengenai penjelasan
perkembangan arsitektut pun, jika di Sulawesi sangat berkaitan
dengan arsitektur lokal setempat hal ini seperti terlihat dalam Rumah
adat Buton. Sementara itu, Sumatera dan Jawa pun hampir sama
namun, jika di Sumatera dan Jawa lebih cenderung selain mengambil
dari daerah lokal setempat namun biasanya juga dilihat dipengaruhi
oleh tradisi – tradisi kegaman lain yang telah datang terlebih dahulu
sebelum Islam.2
b) Kritik
Menurut [ CITATION Pro14 \l 1057 ] Tahapan kritik ini
merupakan tahap penilaian, pengujian atau penyeleksian. Jejak-jejak
sejarah tersebut sebagai cara untuk mendapatkan bukti atau sumber
yang benar, yang otentik serta benar-benar mengandung informasi
yang relevan dengan cerita sejarah yang akan disusun. Kritik
merupakan evaluasi terhadap sumber yang didalamnya mencakup
2
Sulasman, Teori Dan Metodologi Penelitian Sejarah, Pustaka Setia, Bandung: 2014, hal 93
kritik eksternal dan internal terhadap sumber yang akan digunakan.
Setelah melakukan kritik ekstern dan kritik intern terhadap sumber
yang terkumpul mengenai Perkembangan Arsitektur Masjid di
Indonesia ditemukan banyak sumber untuk Arsitektur di Sumatera dan
Jawa sementara di Sulawesi ditemukan sumber yang cukup sedikit
dan yang banyak membahas Masjid di Sulawesi khususnya di
Sulawesi Tenggara berasal dari Sulawesi Utara.3
c) Interprestasi
Menurut [ CITATION Pro14 \l 1057 ] Tahapan berikutnya
adalah tahapan interpretasi. Dimana penulis berusaha menafsirkan
fakta-fakta sejarah serta menetapkan makna dan keterkaitannya satu
sama lain. Karena sejatinya, interpretasi tingkatan atau melakukan
kegiatan mengartikan bukti – bukti serta menempatkan arti yang
saling memiliki keterkaitan dengan bukti – bukti yang berhasil
diperoleh sebelumnya. Interpretasi atau penafsiran sejarah sering
disebut dengan analisis sejarah. Dalam Penelitian Perkembangan
Arsitektur Masjid di Indonesia ditemukan berbagai keunikan di setiap
daerah baik di Sumatera, Jawa dan Sulawesi tentunya hal ini tidak
terlepas dari Akulturasi budaya di daerah tersebut.4
d) Historiografi
Berbagai pernyataan mengenai peristiwa di masa lalu yang
telah dialih wahanakan menjadi sebuah kisah sejarah atau
Historografi sampai pada tahap ini Sejarawan akan melakukan yang
disebut oleh G. J. Reiner ( 1997: 1994 – 204) sebagai penjelasan dari
sejarah. Menurutnya sejarawan tidak diberikan kriteria khusus yang
harus diikuti. Sejarawan bebas menceritakan peristiwa – peristiwa
sejarah namun meski demikian, Sejarawan harus memperhatikan tiga
aspek utama yaitu: Kronologi, kausalitas, dan imajinasi[CITATION
Abd15 \l 1033 ].5
Penulisan Sejarah dalam penelitian ini dilakukan selain untuk
penelitian namun juga untuk menambah pengetahuan tentunya penulis
menggabungkan hasil penelitian Pustaka dan interpretasi penulis sendiri
agar tidak melenceng dari sumber yang telah ada sebelumnya.

3
Ibid, hal. 101
4
Ibid, hal. 107
5
Abd Rahman Hamid, Muhammad Saleh Madjid, pengantar Ilmu Sejarah, Ombak, Yogyakarta,
2015, hal 51.
BAB III

HASIL PENELITIAN

Masjid adalah salah satu bukti peradaban Islam yang ada dimasa lalu dan
masih eksis sampai saat ini. Masjid bukan hanya sekedar tempat peribadatan,
masjid pun memiliki pesan-pesan akan nilai keindahan, sejarah serta kebudayaan.
Jika ditelaah lebih mendalam, sesungguhnya bangunan masjid juga memiliki
bentuk fisik (arsitektur) yang menunjukkan dan menyampaikan pesan-pesan
religiusitas itu sendiri. Suatu karya arsitektur hampir selalu, secara disadari atau
tidak, mencerminkan ciri budaya dari kelompok manusia yang terlibat didalam
proses penciptaanya. Sekurang-kurangnya akan tercermin di situ tata nilai yang
mereka anut.6
3.1 Arsitektur Masjid di Sumatera
3.1.1 Masuknya Islam ke Minangkabau
Daerah Minangkabau sering diidentikkan dengan daerah yang
berada dalam kawasan Propinsi Sumatera Barat saat ini. Bergantinya
sebutan Minangkabau menjadi Sumatera Barat berawal dari penyebutan
Residentie van Sumatera Westkust yang dilakukan oleh kolonial Belanda
dalam memetakan daerah jajahannya7. Kemudian penamaan ini terus
digunakan pada masa kemerdekaan Indonesia. Pada masa orde lama,
kawasan wilayah Minangkabau yang sebagian besar itu berada pada
kawasan Sumatera Tengah (Sumatera Barat, Riau dan Jambi sekarang),
semenjak terjadi peristiwa PRRI yang berpusat di Sumatera Barat
sekarang, maka Propinsi Sumatera Tengah yang dahulu terdiri dari Riau,
Jambi dan Sumatera Barat dipecah oleh Sukarno menjadi tiga propinsi.
Semenjak itu, kawasan Minangkabau yang memang sebagian besar
wilayahnya berada dalam kawasan Propinsi Sumatera Barat sekarang
menyebabkan Minangkabau sering diidentikkan dengan Sumatera Barat
dan demikian juga sebaliknya sebutan Sumatera Barat sering
diidentikkan dengan Minangkabau. Keberadaan orang Minangkabau
yang berada di luar kawasan Sumatera. 8
Agama yang dianut oleh masyarakat Minangkabau asli adalah
agama Islam sehingga dikatakan “tidak Minang bila tidak Islam”. Tidak
didapat keterangan yang pasti tentang sejak kapan atau awal masuk Islam
ke Minangkabau. Diantara pendapat yang ada dikatakan bahwa Islam
sudah masuk ke Minangkabau sejak abad-adab awal hijriyah yaitu sejak
abad ke-7 atau ke-8 H karena Minangkabau timur merupakan jalur
perdagangan penting menuju Malaka. Jalur perdagangan lebih mudah
ditempuh melalui sungai-sungai terutama melalui Sungai Kampar Kanan
6
Eko Budiharjo, Jati Diri Arsitektur Indonesia, Alumni, Bandung:1996, hlm.25
7
Duski Samad, Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau, The Minangkabau Foundation
Padang: 2002, hlm.2
8
Muhammad Husni dan Olvyanda Ariesta, Seni Arsitektur dari Masa ke Masa (Jurnal Penelitian
Sejarah dan Budaya Vol. 4, 2018), hlm. 1159
dan Kampar Kiri yang bermuara di Selat Malaka. Di samping berdagang,
para saudagar muslim itu juga menyampaikan dan menyebarkan Islam. 9
Islam masuk ke Minangkabau melalui dua jalur. Pertama melalui
jalur Pesisir Timur (Selat Malaka) melalui Rantau Kuantan, Kampar,
Siak dan Indragiri. Kedua dengan Pesisir Barat (Samudra India) melalui
Bandar-bandar lama seperti Tiku dan Pariaman. Selanjutnya agama Islam
dari Pesisir Timur (daerah rantau) dan daerah Pesisir Barat bertemu di
daerah Minangkabau asli. Inilah mungkin yang dimaksud pepatah syara’
mendaki, adat menurun yang artinya adat turun ke daerah rantau
(Pesisir) dan syara’ (hukum agama) mendaki ke darek (wilayah asal
nenek moyang Minangkabau)10.
Masyarakat Minangkabau dapat dengan cepat menerima ajaran
Islam karena telah memiliki peradaban yang banyak bersesuaian dengan
ajaran Islam. Kuatnya pengaruh Islam sehingga yang dulunya falsafah
adat basandi alua jo patuik, alua jo patuik basandi ka nan bana, nan
bana badiri sendirinyo berubah menjadi adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai [CITATION Ind13 \p
7-8 \l 1057 ]. Islam telah mempengaruhi berbagai sisi kehidupan manusia
dalam membentuk kebudayan dan peradaban masyarakat Minangkabau
yang diantaranya terlihat dalam seni arsitekturnya.11.
3.1.2 Surau dan Masjid di Minangkabau

Gambar 1. Masjid Raya Lima Kaum


Sumber : kebudayaan.kemdikbud.co.id
Surau adalah kata yang sudah tersebar di Asia Tenggara, secara
turun temurun. Istilah ini tampaknya telah digunakan secara meluas di
Minangkabau, Tanah Batak, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan,
Semenanjung Malaya dan Patani (Thailand Selatan) dalam arti yang

9
Ibid, hlm. 1160
10
Alimin Nurhayatu Nufut, Majid Raya Sumatera Barat sebagai Simbol Persatuan Muslim di
Sumatera Barat (Vol. 1, 2016), hlm. 82
11
Muhammad Husni dan Olvyanda Ariesta, Seni Arsitektur dari Masa ke Masa (Jurnal Penelitian
Sejarah dan Budaya Vol. 4, 2018), op.cit., hlm. 1160
sama. Secara bahasa kata surau berarti tempat atau tempat ibadah 12.
Adapun masjid, dari segi bahasa kata masjid berasal dari bahasa Arab
yang terambil dari akar kata sajada-sujud, yang berarti patuh, taat, serta
tunduk dengan penuh hormat dan takzhim. Oleh karena itu, meletakkan
dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, dalam syariat Islam dinamai
sujud karena merupakan bentuk lahiriah yang paling nyata dari makna-
makna di atas. Itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan
untuk melaksanakan shalat yang didalamnya terdapat sujud dinamakan
masjid, yang artinya “tempat bersujud”13. Dalam al-Qur’an, Allah swt
menegaskan bahwa, “Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik
Allah, karena itu janganlah menyembah selain Allah sesuatu pun.” (Q.S
al-Jin (72): 18)
Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat
shalat umat Islam. Pemilihan masjid untuk menyebut tempat shalat
adalah karena sujud merupakan perbuatan paling mulia untuk
mendekatkan diri kepada sang pencipta. Masjid sebagai tempat yang
disiapkan untuk shalat secara khusus yang ukurannya dapat menampung
banyak jamaah dan dapat dilaksanakannya shalat jumat serta berlaku
permanen tidak hanya untuk sementara, maka lapangan tidak
dikategorikan sebagai masjid dalam artian khusus. Selain masjid terdapat
juga sebutan lain yang mengandung arti yang sama yaitu jamik.
Penyebutannya terkadang digabung dan terkadang terpisah. Istilah jamik
mengandung makna “mengumpulkan” atau “menghimpun” yang mana
jamik merupakan sifat dari masjid karena memang masjid dapat
mengumpulkan dan menghimpun jamaah sehingga terkadang disebut
masjid jamik.14
Bangunan Masjid terdiri dari beberapa bagian yang menjadi ciri
khas dari bangunan masjid, bagian-bagian tersebut dijelaskan dalam
15
meliputi Mihrab (tempat Imam memimpin Sholat) Mimbar, Liwan
(tempat makmum), Menara, kubah, pintu masuk, serambi, dan sahn
(tempat berwudu). Bagian-bagian pada ruangan tersebut akan dibagi ke
dalam dua kategori yang pertama yaitu bagian eksterior yang tampak
pada bangunan arsitektur masjid secara keseluruhan termasuk kubah dan
struktur bangunan dan yang kedua yaitu bagian interior masjid meliputi
liwan, sahn dan bentuk bagian dalam masjid secara keseluruhan. Bagian-
bagian yang akan dikaji ini memiliki peran yang penting dan saling
menunjang satu sama lain yang disusun sedemikian rupa untuk
menghadirkan kenyamanan kepada pengguna ruangannya16. Arsitektur
dan interior pada dasarnya adalah satu kesatuan, sebagaimana yang
12
Silfia Hanani, Surau Aset Lokal Yang Tercecer, Humaniora Utama Press, Bandung: 2003, hlm.
62-63
13
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Mizan Pustaka, Bandung : 1996, hlm. 459
14
Huri Yasin Husain, Fikih Masjid, Al-Kautsar, Jakarta: 2011
15
Oloan Situmorang, Seni Rupa Islam: Pertumbuhan dan Perkembangannya, Angkasa, Bandung:
1988, hlm. 24
16
Alimin Nurhayatu Nufut, Majid Raya Sumatera Barat sebagai Simbol Persatuan Muslim di
Sumatera Barat (Vol. 1, 2016), hlm. 82
dijelaskan oleh Pile, (1988:389) bahwa hubungan desain interior dengan
Arsitektur begitu erat dan tidak terbantahkan. Sebuah bangunan
dirancang mengikuti ruang dalam yang sejalan dengan bentuk tampilan
eksteriornya. 17
Surau dan masjid memiliki kedudukan dan peranan yang sangat
penting di Minangkabau. Ia tidak hanya sebagai tempat pusat peribadatan
tapi juga merupakan bagian dari budaya dan peradaban umat Islam yang
memiliki berbagai macam corak seni arsitekturnya.18
Keberadaan peradaban Hindu di Minangkabau sangat
mempengaruhi corak atau gaya aristektur surau dan masjid. Surau dan
masjid zaman awal perkembangan Islam di Minangkabau memiliki ciri
khas atap tumpang yang berbentuk limas yang semakin ke atas semakin
kecil dan mengerucut. Jumlah atap tumpang ini biasanya terdiri dari tiga
atau lima tingkatan. Gaya arsitektur ini merupakan karakter atau ciri khas
surau dan masjid pada zaman klasik yang masih bersifat tradisional.
Corak atau gaya arsitektur ini dikenal juga dengan arsitektur vernakular
(gaya arsitektur yang dirancang berdasarkan kebutuhan lokal,
ketersediaan bahan bangunan dan mencerminkan tradisi lokal atau
struktur yang dibuat oleh masyarakat lokal tanpa intervensi dari arsitek
profesional, ia bergantung pada kemampuan desain dan tradisi
pembangunan lokal, arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari
arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik). 19
Di samping beratap tumpang, ia dibangun di atas pondasi
berbentuk bujur sangkar. Corak ini pada umumnya ditemukan pada surau
atau masjid tua yang memiliki nilai sejarah zaman klasik dan merupakan
bentuk masjid generasi zaman awal perkembangan Islam di
Minangkabau. Tidak hanya di Minangkabau tetapi seluruh masjid yang
ada di Indonesia pada umumnya mengambil bentuk ini sebagai corak
awal masjid di nusantara seperti pada masjid Agung Demak dan Masjid
Agung Banten20.
Meskipun corak awal arsitektur surau dan masjid di Minangkabau
pada umumnya mirip dan hampir sama dengan masjid Demak dan
masjid-masjid yang ada di Pulau Jawa maupun daerah lainnya sebagai
bentuk perkembangan awal masjid-masjid di nusantara, namun nilai-nilai
budaya lokal (local genius/kearifan lokal) yang hidup di tengah
masyarakat ikut mempengaruhinya. Bentuk arsitektur masjid dan surau
tradisional di Minangkabau ini juga dipengaruhi oleh keberadaan adat
Minangkabau yang memiliki dua kelarasan dalam sistim kepemimpinan
di Minangkabau yaitu Koto Piliang dan Bodi Caniago. Masing-masing
dari kelarasan ini memiliki bentuk dan gaya arsitektur masjid tersendiri.21

17
Rony, Ikonografi Arsitektur dan Interior Masjid Kristal Khadija Yogyakarta, Society Arts,
Yogyakarta: 2014, hlm. 123
18
Muhammad Husni dan Olvyanda Ariesta, Seni Arsitektur dari Masa ke Masa (Jurnal Penelitian
Sejarah dan Budaya Vol. 4, 2018), op.cit. hlm. 1161
19
Ibid, hlm. 1161
20
Ibid, hlm. 1162
Pertama, Masjid Kelarasan Bodi Caniago berbentuk bujur sangkar
dengan atap tumpang tiga atau lima seperti limas yang semakin ke atas
semakin mengerucut namun pada puncaknya seperti selinder yang
runcing pada bagian ujungnya.22 Tipologi ini juga merefleksikan sistim
pemerintahan Kelarasan Bodi Caniago “membasuik dari bumi” bahwa
dalam musyawarah kaum, kata akhir berada di kemanakan, suara rakyat
yang paling menentukan. Masjid dengan tipologi ini dapat ditemukan
pada masjid-masjid tua di Minangkabau seperti Masjid Raya Lima Kaum
(dibangun tahun 1650-1710 M) dan Masjid Raya Bingkudu IV Angkek
Canduang Kabupaten Agam (didirikan tahun1823 M ).23
Masjid Raya Lima Kaum memiliki atap tumpang lima yang
melambangkan bahwa masjid ini didirikan oleh lima kaum yang terdiri
dari lima jorong atau lima desa yaitu Dusun Tuo, Balai Labuah, Piliang,
Kuburajo, dan Balai Batu, selain itu juga dikaitkan sebagai perlambangan
shalat yang lima waktu.24 Masjid ini berdiri di atas tanah yang dahulunya
merupakan bekas sebuah pagoda atau bangunan agama Hindu yang telah
ditinggalkan penganutnya karena sudah masuk Islam karena memang
Minangkabau sebelum Islam datang, masyarakatnya menganut peradaban
Hindu sehingga berpengaruh terhadap bentuk rumah ibadah yang
diislamisasi saat itu.25
Kedua, Masjid Kelarasan Koto Piliang berbentuk limas yang
memiliki atap tumpang berjumlah tiga atau lima dan di puncak atap
tersebut terdapat seperti gonjong rumah adat pada keempat sisinya. Tipe
masjid kelarasan Koto Piliang, memiliki ciri khas arsitektur yang
mengkombinasikan arsitektur Rumah Gadang (rumah adat) di
Minangkabau berupa atap bergonjong pada atap bagian puncak.26
Tipologi ini juga merefleksikan sistim atau bentuk pemerintahan Koto
Piliang yang bersifat aristokrasi yang disebut “titiek dari ateh”, bahwa
untuk mengambil suatu keputusan atau kata akhir berada di tangan
kepala suku atau penghulu. Tipologi masjid ini dapat terlihat pada Masjid
Raya Rao-Rao Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar (didirikan tahun
1892-1916). Tipologi atap tumpang pada umumnya terdiri dari tiga lapis
atap utama dan satu atap penutup bagian puncak. Pada atap puncak
Masjid Rao-Rao memiliki atap gonjong seperti atap gonjong rumah
gadang ciri khas Minangkabau sebanyak empat buah yang mengarah
pada empat penjuru mata angin sebagai lambang empat suku di Nagari

21
Hasmurdi Hasan, Ragam Rumah Adat Minangkabau:Falsafah, Pembangunan dan Kegunaan,
Yayasan Citra Pendidikan Indonesia, Jakarta: 2004, hlm. 65
22
Hasmurdi Hasan, Ragam Rumah Adat Minangkabau:Falsafah, Pembangunan dan Kegunaan,
Yayasan Citra Pendidikan Indonesia, Jakarta: 2004, hlm. 65-66
23
Muhammad Husni dan Olvyanda Ariesta, Seni Arsitektur dari Masa ke Masa (Jurnal Penelitian
Sejarah dan Budaya Vol. 4, 2018), op.cit., hlm. 1163
24
Zainudin, Arsitektur Masjid Lima Kaum Batusangkar, Jurnal Lektur Agama, 2013, hlm 371-404
25
Muhammad Husni dan Olvyanda Ariesta, Seni Arsitektur dari Masa ke Masa (Jurnal Penelitian
Sejarah dan Budaya Vol. 4, 2018), loc.cit., hlm. 1163
26
Hasmurdi Hasan, Ragam Rumah Adat Minangkabau:Falsafah, Pembangunan dan Kegunaan,
Yayasan Citra Pendidikan Indonesia, Jakarta: 2004, loc.cit, hlm. 65-66
Rao-Rao yaitu suku Bodi Caniago, Bendang Mandailing, Koto Piliang
dan Petapang Koto Anyia.27
Pengaruh nilai-nilai adat dan budaya Minangkabau telah
memberikan warna tersendiri terhadap corak surau dan masjid di
Minangkabau. Kedua bangunan itu yang pada mulanya sangat kental
dengan nuansa Hindunya dimodifikasi dengan nilai-nilai Islam dan adat
Minangkabau. sehingga banyak masjid atau surau yang memiliki atap
bergonjong seperti pada rumah gadang. Apabila dilihat dari segi bahan
material atap yang dipakai dan digunakan adalah benda-benda yang
berasal dari alam berupa ijuk. Namun setelah dilakukan beberapa kali
pemugaran karena sulit untuk mendapatkan ijuk maka diganti dengan
bahan yang sesuai dengan perkembangan zaman yaitu berupa atap seng
atau sejenisnya yang lebih mudah mendapatkan maupun cara
pemasangannya dengan tetap menjaga bentuk asalnya. Umumnya
masjid-masjid kuno konstruksinya memang berasal kayu baik dinding
atapun lantainya. Sedangkan dari sisi penamaan cenderung mengambil
sesuatu yang menjadi identitas tempat tersebut dan jarang sekali
memakai istilah Arab. Menurut Yunahar Ilyas dalam buku Tiga Sepilin,
kalau diberi nama berbahasa Arab ada harapan dan doa dalam nama
tersebut, tetapi kalau diberi nama kampung maka seluruh penduduk
kampung merasa memiliki dan sekaligus akan bertanggung jawab untuk
kemakmuran masjid tersebut. 28
Selanjutnya corak lain dari tipologi atap tumpang yang berbeda
dengan tipologi masjid-masjid yang beratap tumpang lainnnya, ia tidak
lagi berbetuk limas tetapi seperti vihara atau klenteng kaum Tionghoa
seperti pada Masjid Raya Ganting Kota Padang (didirikan tahun 1805
M).29
Pengaruh Cina terhadap mesjid ini terlihat pada model atapnya
yang bertingkat yang berbeda dengan yang lainnya. Atap tumpang pada
dua atap paling atas berbentuk klenteng segi delapan. Menurut Graaf dan
Piogeud atap bertingkat yang menjadi style masjid-masjid kuno di
Minangkabau menyerupai Pagoda di Cina.30 Hal yang seirama dengan itu
juga dapat terlihat pada Masjid Raya Kota Pariaman, Masjid Raya Bayur
Maninjau dan beberapa masjid yang ada di Kabupaten Padang Pariaman
dan Kota Pariaman. Seluruh masjid kuno selalu bertumpang tiga sampai
lima, semakin keatas semakin kecil dan mengerucut, sedangkan tingkatan
yang paling atas berbentuk limas. Tak dapat dipungkiri hal ini merupakan
pengaruh Hindu, karena sebelum Islam atap tumpang dipakai untuk kuil,
bangunan suci agama Hindu. Atap tumpang sampai sekarang masih
27
Muhammad Husni dan Olvyanda Ariesta, Seni Arsitektur dari Masa ke Masa (Jurnal Penelitian
Sejarah dan Budaya Vol. 4, 2018), op.cit., hlm. 1164
28
Mas’oed Abidin, Tiga Sepilin Surau Sousi untuk Bangsa, Gre Publishing, Yogyakarta: 2016,
hlm. 3
29
Muhammad Husni dan Olvyanda Ariesta, Seni Arsitektur dari Masa ke Masa (Jurnal Penelitian
Sejarah dan Budaya Vol. 4, 2018), op.cit., hlm. 1168
30
Maidir Harun, Sejarah Rumah Ibadah Kuno di Kota Padang, IAIN Imam Bonjol, Padang: 2017,
hlm. 15-26
lazim dipakai di Bali, namanya meru, dan digunakan khusus mengatapi
bangunan-bangunan suci di dalam pura. Pengaruh Hindu ini juga dapat
dilihat pada masjid-masjid kuno di pulau Jawa. Berdasarkan inventarisasi
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar, dalam buku yang
berjudul Masjid-masjid Kuno di Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan
Riau yang diterbitkan tahun 2015, jumlah masjid tua yang ada di Sumbar
sebanyak 25 unit dan 6 unit diantaranya merupakan surau. Pada
umumnya masjid yang ada rata-rata berusia di atas 80 tahun.31
3.2 Arsitektur Masjid di Jawa
3.2.1 Ciri Khas
Menurut C.F. Pijper Teori tentang arsitektur masjid kuno di
Indonesia memiliki ciri khas dan berbeda dengan bentuk-bentuk masjid
Indonesia yang berasal dari Pulau Jawa, sehingga orang dapat menyebut
masjid tipe Jawa. Ciri khas masjid tipe jawa adalah :
1. Fondasi bangunan yang berbentuk persegi dan pejal yang agak tinggi.
2. Masjid tidak berdiri di atas tiang, seperti rumah di Indonesia model
kuno dan langgar.
3. Masjid mempunyai atap tumpang yang terdiri dari dua sampai lima
tingkat, dimana semakin keatas maka akan semakin kecil dan lancip.
4. Masjid mempunyai tambahan ruangan kecil disebelah Barat yang
dipakai untuk tempat mihrab.
5. Masjid mempunyai serambi di depan maupun di kedua sisinya.
6. Halaman disekeliling masjid dibatasi oleh tembok dengan satu pintu
masuk depan yang disebut dengan gapura.
7. Denahnya berbentuk segi empat.
8. Dibangun disebelah barat alun-alun.
9. Arah mihrab tidak tepat kiblat.
10. Dibangun dari bahan yang mudah rusak.
11. Terdapat parit air disekelilingnya atau di depan masjid.
12. Awalnya dibangun tanpa serambi.32
3.2.2 Contoh Masjid di Jawa
Dari beberapa ciri masjid tipe Jawa ini bukanlah merupakan
bangunan yang asing, tetapi bentuk asli yang disesuaikan dengan
31
Muhammad Husni dan Olvyanda Ariesta, Seni Arsitektur dari Masa ke Masa (Jurnal Penelitian
Sejarah dan Budaya Vol. 4, 2018), op.cit., hlm. 1169
32
Juliadi, Masjid Agung Banten :Nafas Sejarah dan Buday, .Ombak, Yogyakarta: 2007
kebutuhan peribadatan secara Islam. Sehingga lahirlah bentuk masjid yang
bermacam ragam itu sesuai dengan kebiasaan dan kemampuan masyarakat
yang mendirikannya. Dari keseluruhan perkembangan kesenian Islam
disemua daerah yang telah menjadi kekuasaan Islam, akan terlihat adanya
pertumbuhan dan perkembangan dari berbagai macam bidang kesenian
yang dari beberapa diantaranya mengalami perubahan dan kemajuan yang
sangat pesat dan menjadi salah satu bidang seni yang sangat menonjol
dibandingkan dengan bidang kesenian yang lainnya. Berikut merupakan
masjid-masjid peninggalan Walisongo:
1) Masjid Ampel Denta

Gambar 2. Masjid Ampel Denta


Sumber: ksmtour.com
Mesjid Ampel Denta yang dibangun oleh Sunan Ampel
bersama murid-muridnya sejak berdirinya tahun 1450 hingga sekarang
masih bisa kita saksikan, dan beberapa kali telah mengalami perluasan.
Perluasan pertama dilakukan oleh Adipati Aryo Cokronegoro dengan
menambah bangunan di sebelah utara bangunan lama. Perluasan kedua
dilakukan oleh Adipati Regent Raden Aryo Niti Adiningrat pada tahun
1926, yakni dengan menambah atau memperluas ke bagian utara lagi.
Perluasan ketiga dilakukan setelah masa kemerdekaan yang
diselenggarakan oleh Panitia Khusus Perluasan Mesjid Agung Sunan
Ampel tahun 1954 - 1958, yakni perluasan di sebelah utara lagi dan di
sebelah barat. Perluasan keempat dilakukan tahun 1974 dengan
memperluas lagi bagian barat. Dengan adanya perluasan ini maka
bangunan semula yang luasnya 2.069 m2 kini bertambah menjadi
4.780 m2.33
2) Masjid Agung Demak

33
M. Zein Wiryoprawiro, Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur, Bina Ilmu, Surabaya:
1986, hlm. 182.
Gambar 3. Masjid Agung Demak
Sumber: travel.detik.com
Sunan Ampel juga disebut-sebut sebagai arsitek pembangunan
mesjid Agung Demak (Salam, 1974:28). Pembangunan mesjid Agung
Demak dilaksanakan tahun 1477-1479 (atau 1481). Tahun 1481
merupakan tahun wafatnya Sunan Ampel. Mesjid Agung Demak
kemudian menjadi prototipe mesjid-mesjid di Nusantara.34
Mesjid Agung Demak selama masa keberadaannya sudah
beberapa kali mengalami perbaikan dan perluasan. Berdasarkan
gambar kuno,35 penampilan mesjid Demak terkesan sederhana. Dari
gambar terlihat bahwa bangunan mesjid merupakan single building.
Penambahan fasilitas yang mula-mula adalah bangunan serambi yang
terkenal dengan serambi 'majapahit', yang diperkirakan menyatu
dengan bangunan utama mesjid Agung Demak pada tahun 1845.
Dalam buku Geschiedenis Van Java Deel II, terbitan tahun 1920
menampilkan gambar (photo) mesjid Agung Demak. Dari gambar
terlihat sebuah regol sebagai gerbang utama masuk ke dalam kompleks
mesjid. Di belakang regol terdapat bangunan penghubung ke serambi
mesjid yang dinamakan tratag rambat. Namun pada tahun 1966 regol
dan tratag rambat itu dibongkar dan kemudian dibangun kembali
gapura dengan ornamen batu andesit seperti kondisi sekarang ini. Pada
tahun 1967 dibuatlah sebuah kolam di sebelah tenggara bangunan
mesjid yang kemudian terkenal dengan 'kolam bersejarah'.

3) Masjid Menara Kudus

34
Ashadi, Masjid Agung Demak sebagai Prototipe Masjid Nusantara: Filosofi Arsitektur (Jurnal
Nalars Jurusan Arsitektur: FT-UMJ Volume 1, Januari 2002)
35
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1-3, Kanisius, Yogyakarta: 1973
Gambar 4. Masjid Menara Kudus
Sumber: daaruttauhiid.org
Mesjid Menara Kudus merupakan peninggalan Ja’far Shodiq
(Sunan Kudus) yang dibangun pada tahun 1549 sesuai keterangan
yang ada di atas mihrab mesjid. Bentuk menaranya menyerupai candi
Jawa Timuran dengan bahan dari bata merah. Untuk mengetahui
ataupun mengidentifikasikan bentuk awal bangunan masjid agak sulit
dikarenakan telah mengalami perbaikan-perbaikan yang dibarengi
dengan perluasan hingga pada bentuknya yang sekarang.
Tentang mesjid Menara Kudus, Majalah Konstruksi edisi Mei
1988, pada halaman 45, memaparkan sejarah singkat perkembangan
mesjid Menara Kudus. Pada awal pendiriannya, mesjid berbentuk
payung, seluas 20 m2 dengan satu tiang di tengah. Mesjid yang semula
sederhana, kemudian mengalami beberapa kali perluasan untuk
menampung jamaah yang semakin meningkat jumlahnya. Pada tahun
1919, mesjid diperluas hingga ke pintu kori agung pertama dengan
penutup atap berbentuk atap tajug tumpang tiga. Juga di samping
kirinya sudah dibangun madarasah. Pada tahun 1925, mesjid diperluas
lagi sampai ke pintu kori agung kedua berupa bangunan serambi
dengan atap berbentuk limasan, dan tahun 1933 ditambah serambi
sampai halaman paling depan. Penutup serambi ini berupa atap pelana
dan pada bagian paling timur berupa atap berbentuk kubah.
4) Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon

Gambar 5. Masjid Agung Sang Cipta Rasa


Sumber: JejakPiknik.com
Tentang mesjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon, menurut
beberapa sumber dibangun beberapa saat setelah bangunan mesjid
Agung Demak berdiri atas prakarsa Syarif Hidayatullah yang
kemudian dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah
adalah seorang ulama yang datang dari negeri Mesir. Pada tahun 1479
oleh para Wali di Jawa diangkat menjadi pemimpin pengembang
agama Islam di kawasan Jawa bagian Barat yang berpusat di Cirebon,
dan berkedudukan di Keraton Pakungwati.36 Syarif Hidayatullah wafat
tahun 1568 dan dimakamkan di puncak Gunung Sembung, Astana
Gunung Jati (Sulendraningrat, 1985:32). Mesjid Agung Sang Cipta
Rasa Cirebon sejak berdirinya tahun 1489 hingga sekarang telah
mengalami beberapa perluasan. Bangunan mesjid, bentuk aslinya
berukuran 25 x 25 m2. Pada abad 17, pada jaman Panembahan Ratu,
serambi mesjid bagian timur diperluas. Kemudian tahun 1965 - 1967,
serambi mesjid bagian timur ini diperluas lagi, dan karena
keterbatasan lahan maka salah satu tiang serambi ditanam pada
tembok pembatas kompleks masjid. 37
3.2.3 Ruangan Modernitas
Pada awalnya Mesjid Walisongo yang dikaji hanya berupa sebuah
ruang yang dibatasi oleh dinding-dinding kayu pada keempat sisi-sisinya
yang membentuk bujur sangkar, yang sekarang ini menjadi ruang tengah.
Dimensi ruang yang memiliki ukuran sama pada keempat sisinya yang
kemudian dilingkupi dengan penutup atap tajug yang berbentuk mirip
piramida ini perlu ditelusuri konsep ruang dan bentuk arsitekturnya.
Bentuk bujur sangkar atau segiempat tidak memiliki titik orientasi
36
Sudjana, T. D, Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Muatan Mistiknya, Humaniora Utama Press,
Bandung: 2003, hlm. 7
37
Ibid. hlm. 12-19
sehingga dapat dikatakan bahwa derajat nilai ruang di seluruh bagian
ruang adalah sama. Tetapi untuk sebuah ruangan peribadatan ia dituntut
harus memiliki titik orientasi. Dan kemudian hal itu diwujudkan dengan
adanya mihrab yang terletak di sisi barat (arah kiblat). Mihrab ini berupa
ceruk atau lubang yang ukurannya relatif kecil pada dinding bagian barat,
yang fungsinya untuk tempat imam memimpin shalat. Mihrab inilah yang
dianggap bagian paling sakral dalam tata ruang mesjid Wali Songo, oleh
karenanya perlakuan terhadapnya sangatlah istimewa. Hal ini ditunjukkan
oleh mesjid-mesjid yang dikaji.
Pada dinding bagian depan mihrab mesjid Agung Demak
ditempatkan tableau berbentuk kura-kura, yang oleh para sejarawan ia
dianggap sebagai petunjuk tentang pendirian mesjid. Pada bagian atas
dinding di dekat mihrab mesjid Menara Kudus ditempatkan inskrpsi yang
juga menerangkan tentang pendirian mesjid. Dan pada bagian atas mihrab
mesjid Agung Sang Cipta Rasa ditempatkan ukiran batu berbentuk kuncup
bunga teratai, yang melambangkan bahwa manusia itu sesungguhnya tak
mempunyai kuasa apapun. Sang imam harus berdiri tepat di bawah ukiran
batu itu saat memimpin shalat, dan merendahkan dirinya di hadapan Allah
SWT karena hanya Allah lah yang memiliki kuasa. Ketika seseorang
memasuki ruangan tengah mesjid maka pandangannya segera tertuju ke
arah mihrab. Secara teoritis, hal ini dijelaskan oleh Ching, bahwa untuk
mempengaruhi penglihatan dalam ruang, maka salah satu bidang yang
membatasi dapat dibedakan dalam bentuknya dari yang lain, baik dalam
ukuran, bentuk maupun permukaan bentuk. Dalam kasus mesjid, dengan
adanya mihrab pada pembatas ruang sisi barat, maka ia telah berbeda
dengan ketiga pembatas lainnya.38
Dalam perkembangannya, mesjid Wali Songo mengalami
penambahan ruang berupa serambi di bagian depan, samping kanan dan
samping kiri ruang utama. Terutama serambi depan mesjid memiliki peran
penting bagi kegiatan sosial keagamaan masyarakat Islam pada jaman
Kolonial Belanda. Fungsi serambi mesjid pada masa Kolonial Belanda
telah diceritakan oleh Snouck Hurgronje. Di pulau Jawa, serambi mesjid
menjadi ruang pengadilan bagi sengketa-sengketa, yang peradilannya telah
dapat dikuasai hukum agama, seperti urusan-urusan mengenai hukum
perkawinan, hukum kekeluargaan dan hukum waris.39
3.2.4 Modern
Dalam perkembangan selanjutnya, pada mesjid Wali Songo
dilakukan perbaikan-perbaikan pada bagian-bagian bangunan yang sudah
rusak dan perkuatan-perkuatan pada struktur bangunannyanya. Material
bangunan pada dinding-dinding mesjid yang sebagian besar semula dari
bahan kayu diganti dengan dinding tembok penumpu. Pada awalnya
konstruksi atap bagian bawah keliling bangunan bertumpu pada balok
blandar di atas dinding kayu pembatas ruangan, maka sekarang bertumpu
38
Ashadi, Perkembangan Arsitektur Mesjid Walisongo di Jawa : Perubahan Ruang dan Bentuk.
(Jurnal Nalars Jurusan Arsitektur: FT-UMJ Volume 1, Januari 2002) hlm. 150.
39
Ibid, hlm. 151
pada dinding tembok yang pada umumnya dibuat tebal (ukuran sekarang
satu batu). Begitu pula kolom-kolom mesjid yang dari awalnya dari bahan
kayu sebagai struktur utama, sekarang diperkuat dengan kolom-kolom dari
beton dan perkuatan-perkuatan dengan konstruksi besi. Terjadilah
perubahan dalam penggunaan material dan teknologi bangunan. Berkaitan
dengan penggunaan material dalam perancangan arsitektur, Bernard
Leupen dkk, dalam Design and Analysis menerangkan adanya keterkaitan
yang erat antara penggunaan material dan ruang. Diterangkan bahwa
apapun perancangan itu apakah sebuah rumah, bagian dari sebuah kota,
taman, dan lansekap semuanya diprediksi di atas komposisi ruang dan
material. Kemudian bentuk, alam dan kualitas material menentukan
kualitas ruang di dalam sebuah rumah (Leupen dkk, 1997:24). Bangunan
mesjid Wali Songo dulunya dibangun dengan menggunakan material yang
mudah didapat di lingkungan alam sekitar, yaitu bahan kayu dan dengan
teknologi yang sederhana, yakni pertukangan yang memang sudah
menjadi keahlian sebagian masyarakat Jawa. Sekarang diganti dengan
material yang diproduksi masal di pabrik dengan bantuan mesin seperti
bahan besi dan campuran beton. Dari dua kondisi ini kemudian dapat
dimunculkan dua keadaan yang oleh sebagian orang dipertentangkan yakni
tradisionalitas dan modernitas, padahal keduanya merupakan keadaan
yang mewakili sebuah proses perkembangan. Begitu pula nantinya muncul
modernitas dan posmodernitas. Dari aspek penggunaan material,
tradisionalitas dicirikan dengan pemanfaatan secara optimal bahan-bahan
yang didapat di lingkungan alam sekitar dengan pengolahan yang
mengandalkan keahlian atau kemampuan manusia, sementara modernitas
yang menjadi perkembangannya, memanfaatkan secara optimal bahan-
bahan olahan pabrik yang mengandalkan kemampuan mesin.40
Perkembangan dari tradisionalitas menuju modernitas
diperlihatkan secara jelas oleh mesjid Menara Kudus. Pada tahun 1919,
masjid diperluas hingga ke pintu kori agung pertama dengan penutup atap
berbentuk atap tajug tumpang tiga. Pada tahun 1925, mesjid diperluas lagi
sampai ke pintu kori agung kedua, dan pada tahun 1933 ditambah serambi
sampai halaman paling depan dengan pelindung atap berbentuk kubah.
Pada perluasan tahun 1919, dinding-dinding pembatas ruang utama diganti
dari bahan kayu menjadi tembok tebal dan ditinggikan. Atap tumpangnya
dirombak total, dimana antara tumpang satu dengan tumpang lainnya
diangkat lebih ke atas, kemudian pada bagian ini ditempatkan jendela-
jendela kaca yang tembus cahaya sinar matahari. Dengan demikian
ruangan tengah yang dulunya gelap sekarang menjadi terang, dan suasana
ruang menjadi jelas karena adanya sinar matahari yang masuk ke ruangan
ini. Dalam kaitan keberadaan cahaya dalam ruang Ching dalam
Architecture : Form, Space & Order, menyatakan sinar matahari yang
jatuh pada permukaan kamar membuat kamar menjadi semarak dan
memperjelas susunan kamar. Dalam kaitannya dengan arsitektur, Le
Corbusier dalam Towards a New Architecture (1946) seperti dikutip
40
Ibid, hlm. 152
Ching dalam buku dan halaman yang sama, menyatakan bahwa arsitektur
adalah hal yang sungguh agung dan indah sekali, ia dapat bermain-main
keserasian dalam permainan cahaya. Maka bentuk dalam cahaya bisa
dimengerti; cahaya dan bayang-bayang yang mengungkapkan bentuk-
bentuk (Ching, 1979:180-181). Kehadiran cahaya dalam ruang tengah
mesjid yang menjadikannya lebih terang, semarak, dan memperjelas
susunan pembentuknya dapat dikatakan bahwa di sana telah terjadi
perubahan menuju ke modernitas.41
Ciri modernitas lainnya ditunjukkan dengan keberadaan kubah
pada bangunan mesjid. Secara arsitektural klaim untuk menunjukkan
eksistensi suatu komunitas muslim sebagai bagian dari komunitas dunia
nampak pada pengadopsian elemen-elemen yang berbau Islam
'Internasional'. Identitas Islam 'Internasional' ini cukup terwakili oleh atap
kubah pada bangunan-bangunan mesjid dan madrasah. Jawa, di awal abad
20 menunjukkan gejala hadirnya identitas Pan-Islamisme 'Arabia', yang
dihadirkan oleh para ulama yang baru datang dari menunaikan ibadah haji
atau menuntut ilmu di Arab Saudi. Di sebagian kasus, atap kubah ditaruh
begitu saja di antara atap tumpang yang sudah ada sebelumnya, atau
ditaruh di bagian paling atas atap tumpang. 42
Mesjid Menara Kudus adalah salah satu korban Pan-Islamisme.
Mesjid ini menunjukkan perubahan-perubahan yang sangat cepat. Sesudah
bangunan utama mesjid diperluas tahun 1925 dengan bentuk atap
tumpang, tak lama kemudian pada tahun 1933, serambi dibangun lagi
beratap kubah yang sangat besar dengan rangka dan permukaan logam. Di
sekeliling atap kubah bagian dalam tertera nama-nama sahabat Nabi
Muhammad SAW dengan tulisan Arab, seperti Thalhah bin Ubaidillah,
Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Bakar Ash-shiddiq,
Umarbin Khatab, Utsman bin Afan, Ali Karamallaahu Wajhah, Sa’ad bin
Abi Waqas, Sa’id bin Zaid, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan nama-nama
imam yang empat yaitu Syafe’ie, Hambali, Hanafi, dan Maliki. Pada kasus
ini terjadi impor ganda karena selain mengambil bentuk kubah, bangunan
serambi ini juga secara menyolok menggunakan material-material
'modern', seperti rangka baja atap kubah yang diekspos, kaca timah di
sepanjang pinggiran atap berpolakan kaligrafi dan lantai serta pelapis
dinding teraso. Dengan demikian perubahan ini menggunakan stempel
ganda : 'Islam Internasional' dan 'Modern'.43
Perlu dicermati tentang kelompok yang memiliki otoritas atau
kedaulatan. Sejauh suatu kelompok memiliki otoritas, maka nampaknya
kelompok-kelompok itu dapat menciptakan kondisi-kondisi yang dapat
mengembangkan konsep-konsep tertentu, termasuk konsep perancangan
arsitektur. Dalam kasus perkembangan arsitektur mesjid Menara Kudus,
kelompok yang memiliki otoritas adalah para ulama; sehingga mereka bisa
saja mengembangkan konsep-konsep tentang arsitektur mesjid Menara
41
Ibid, hlm. 153
42
Ibid, hlm. 153
43
Ibid, hlm. 153
Kudus itu. Ketika konsep berubah, berarti aktifitas-aktifitas yang
menyertai dalam kegiatan perancangan arsitektur mesjid Menara Kudus itu
juga mengalami perubahan. Maka tidak mengherankan apabila para ulama
Kudus yang baru pulang dari berhaji dan menuntut ilmu agama di Mekah
Arab Saudi - kesempatan yang amat langka pada saat itu - menerapkan
ilmu yang mereka dapatkan, tidak hanya ilmu-ilmu agama tapi juga ilmu
merancang dan membangun, terutama bangunan mesjid. Arsitektur kubah
yang sehari-hari menjadi pemandangan mereka di Arab Saudi atau di
Timur Tengah, langsung diterapkan pada bangunan mesjid di tanah air,
dan perubahan ini tanpa penolakan berarti dari kalangan pemuka agama
lainnya.
Modernitas yang menampilkan bentuk-bentuk 'Internasional' berupa
bentuk atap kubah yang secara geometris lebih rasional memang nampak
di bangunan mesjid Menara Kudus. Tetapi usaha-usaha untuk mendorong
modernitas berperan lebih aktif dalam mengarahkan fungsi-fungsi mesjid
dan memungkinkan fungsi-fungsi itu terwadahi dalam susunan bentuk
yang ada mengalami kegagalan. Seperti diketahui, fungsi-fungsi mesjid
Menara Kudus masih kental dengan tradisi yang melibatkan tokoh sentral
Sunan Kudus, yang makamnya terletak tepat di depan mihrab mesjid.44
3.3 Arsitektur Masjid di Sulawesi

Gambar 6. Masjid Agung Tradisional Keraton Buton


Sumber: Wikipedia
Pada akhir abad ke XIX dunia Barat sedang mengalami krisis dari
dalam yang mengarah pada situasi yang tidak stabil sehingga
mempengaruhi masyarakatnya. Krisis ini membawa perubahan-perubahan
dalam urusan keamanan, ekonomi, politik, sosial, dan lingkungan. Hal ini
terjadi karena perombakan struktur-struktur lama dari dunia klasik ke
revolusi teknologi dan industri. Kesenjangan antara dunia klasik dan
revolusi industri disebut juga zaman pancaroba. Zaman pancaroba juga
44
Ibid, hlm. 154
dijelaskan bahwa apabila suatu bangsa yang mempunyai tradisi yang
sudah berakar kuat karena sesuatu sebab diintervensi dari dalam dan dari
luar lalu keluar menjadi suatu suasana baru yang menuntut pemecahan-
pemecahan soal yang baru, tetapi belum menemukannya Pada saat itu
disebutkan bahwa manusia Barat terjadi penurunan perihal konsep-konsep
dan nilai-nilai keyakinan diri. Oleh karena itu satu-satunya solusi untuk
mengatasi hal tersebut adalah kembali ke katalog sejarah masa lalu
sehingga pada akhirnya menjadi selera eklektismus. Eclecticismus adalah
suatu semangat menjiplak serba campur aduk, gado-gado dari semua unsur
saja yang kebetulan disenangi, tanpa refleksi, tanpa prinsip, dan selera liar.
Sistem jiplak dan campur aduk diidentikkan dengan manusia-manusia
yang berjiwa dan berbudi malas untuk menggali inti-inti yang
pokok(masyarakat zaman pancaroba).45 Victor Cousin berpendapat bahwa
eklektisisme bukanlah sesuatu yang baru. Eklektisisme sudah ada sejak
lama di dalam pemikiran Plato sebagai sebuah keberanian bertindak.
Eklektisisme lahir pada saat pikiran dan hati berusaha untuk menyatukan
dua hal yang bertentangan dengan memperlihatkan opini bahwa
sesungguhnya keduanya tidak bisa disatukan tetapi dengan dengan
kebijaksanaan bisa disatukan. Prinsip desain eklektisisme bisa
dilaksanakan dengan cara menyeleksi elemen-elemen arsitektural sebagai
berikut:
1) Adopsi simbol-simbol budaya lewat pendekatan antropologis;
2) Adopsi dan modifikasi antara arsitektur lokal dan klasik;
3) Kuotasi yaitu penyuplikan elemen dari suatu bangunan tertentu;
4) Translasi elemen dilaksanakan dengan memindahkan, menggeser, dan
mencerminkan elemen translasi dari satu bangunan ke bangunan lain;
5) Adopsi dan modifikasi elemen-elemen historis;
6) Local imaginary yaitu menciptakan elemen-elemen yang terinspirasi
dari elemen-elemen lokal;
7) Historical detail yaitu menggunakan detail-detail yang bersejarah di
bangunan yang baru;
8) Monument from the past yaitu menciptakan bangunan yang
monumental yang mengingatkan masa lalu serta;
9) Menggunakan struktur bangunan referensi sesuai dengan ukuran
aslinya [ CITATION Har07 \l 1057 ].
Eklektisme dalam arsitektur mulai mengumandang pada zaman
Renaissance. Pada zaman tersebut elemen-elemen Romawi digabung dan
ditambah dengan unsur-unsur, kaidah, dan bentuk baru. Arsitektur
Romawi telah mengambil unsur- unsur Yunani digabung dan
dikembangkan menjadi bentuk baru. Eklektik artinya memilih terbaik
dari yang sudah ada sebelumnya. Arsitektur eklektisme adalah aliran
memilih, memadukan unsur-unsur atau gaya ke dalam bentuk tersendiri.
Arsitek pemilik Bangunan atau keduanya bersama memilih secara bebas,
gaya-gaya atau bentuk-bentuk paling cocok dan pantas menurut selera
45
Muhammad Zakaria Umar, Muhammad Arsyad, Etnoreflika, Universitas Halu Oleo ,Kendari:
2016 hal 10 -12
serta status sosio-ekonomi mereka. Selain sistem jiplak dan campur aduk
yang berkesan berjiwa dan berbudi malas, eklektisisme juga mempunyai
sisi-sisi yang positif sebagai berikut:
1) Eklektisme selain karena kejenuhan terhadap pola klasik lama juga
karena semakin banyak pilihan untuk digabungkan atau diulang tetapi
dalam pola, konsep, dan bentuk baru;
2) Eklektik merupakan kelanjutan, pengulangan seni klasik, dan
perubahan secara evolusioner;
3) Percampuran bentuk menghasilkan gaya tersendiri, memperlihatkan
adanya pola pikir akademis tetapi dalam bentuk konservatif;
4) Eklektisme tidak menggabungkan tetapi kadang-kadang banyak
menerapkan salah satu gaya saja tetapi dalam bentuk, sistem
konstruksi, fungsi, dan secara konseptual yang berbeda dari aslinya;
5) Eklektisme dalam periode arsitektur masa itu lebih kompleks dan
bervariasi pula;
6) Arsitektur eklektisme awal abad XIX mengandung rasa sentimen dan
nostalgia pada keindahan gaya masa lampau [ CITATION Sum05 \l
1057 ].
Oleh karena itu arsitektur eklektisme identik dengan keindahan
gaya masa lampau. Hal ini senada dengan metode perancangan arsitektur
posmoderenisme yang sangat menghargai keindahan gaya masa lalu.
Salah satu alat untuk menerapkan prinsip-prinsip arsitektur
posmoderenisme bisa dilaksanakandengan cara metode perancangan
utama yang terdiri dari metode representasi (metafor dan simbolisasi),
hybrid atau both and, dan kontekstual. Penerapan metode hybrid dan both
and terlihat paling efektif karena lebih ik sehingga mudah diterapkan.
Metode hybrid dilakukan melalui tahapan-tahapan kuotasi (eklektik),
manipulasi elemen, dan unifikasi atau penggabungan. Kuotasi (eklektik)
adalah menelusuri dan memilih perbendaharaan bentuk dan elemen
arsitektur dari masa lalu yang dianggap potensial untuk diangkat kembali.
Masjid Agung Tradisional Keraton Buton Merupakan simbol
kejayaan Agama Islam pada masanya. Masjid ini telah berusia 300 tahun.
Masjid ini terletak di dalam Benteng Keraton Buton, Kabupaten Buton,
Kota Baubau dan masih berfungsi sampai dengan saat. Masjid ini
didirikan oleh Sultan Sakiuddin Durul Alam pada tahun 1712 M. Menurut
para tokoh masyarakat setempat bahwa masjid ini merupakan masjid
tertua di Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebelum masjid ini dibangun
terdapat masjid yang didirikan pada masa Sultan Kaimuddin Khalifatul
Khamis yang merupakan Sultan Pertama Buton (1427-1473) hanya saja
masjid ini mengalami kebakaran karena perang saudara di Kesultanan
Buton. Dalam perang saudara tersebut dimenangi oleh Sultan Sakiuddin
Alam dan sebagai simbol kemenangan Sang Sultan membangun masjid
baru untuk menggantikan masjid lama Yang terbakar (Harian Pelita,
Tanpa Tahun). Masyarakat Buton meyakini bahwa masjid ini dibangun di
pusena tanah (pusatnya bumi). Pusena tanah berupa pintu goa di bawah
tanah yang tepat berada di belakang mihrab. Di pusena tanah konon
terdengar suara adzan dari Kota Suci Mekkah. Lubang pada masjid itu
juga berfungsi sebagai jalur evakuasi sultan bila diserang musuh. Di
dalam lubang tersebut terdapat lima jalan rahasia yang terhubung ke
sejumlah tempat di dalam kompleks Benteng Keraton Buton. Pada tahun
1930-an di masa kepemimpinan Sultan Muhammad Hamidi pintu goa
ditutup sehingga lubangnya menjadi kecil dan di atas lubang dibuat
mihrab. Masjid Agung tradisional Keraton Buton tidak mempunyai
menara. Di masjid ini terdapat 12 pintu masuk dan salah satu dari 12
pintu itu digunakan sebagai pintu utama. Bangunan utama masjid ini
dikelilingi oleh selasar. Dinding pada bangunan masjid terbuat dari
pasang dinding yang diduga dari batu kapur. Jumlah material kayu yang
digunakan untuk membangun masjid ini adalah 313 potong yang
disesuaikan dengan jumlah tulang pada manusia. Tangga eksterior masjid
ini mempunyai 17 buah anak tangga. Hal ini setara dengan jumlah rakaat
sholat dalam sehari. Jumlah pasak yang digunakan untuk mengencangkan
sambungan kayu berjumlah 33 potong kayu dan diibaratkan pada jumlah
bacaan tasbih sebanyak 33 kali. Dalam pembangunan masjid ini juga
rencananya akan mencaplok rumah tradisional Buton Malige.
Arsitektur masjid di Sulawesi Tenggara juga sangat di pengaruhi
oleh eklektisisme. Salah satu pulau yang terdapat di Sulawesi Tenggara
adalah pulau Buton. Kebudayaan Buton diekspresikan pula dalam bentuk-
bentukan fisik seperti Masjid Keraton Buton, Benteng Keraton Buton, dan
Rumah tradisisonal Buton Malige. Saat ini kebudayaan Buton kembali
direvitalisasi. Jati diri arsitektur Buton seperti atap Malige terdapat pada
bangunan sekolah, pertokoan, dan perkantoran. Simbol nenas bertebaran
di sepanjang Kota Baubau. Simbol naga diadaptasi pada masterplan
pembentukan Kota Mara di Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara
[CITATION Dar \l 1057 ]. Sedangkan bentuk Masjid Keraton Buton
belum pernah diadaptasi sebagai alternatif bentukan masjid di Kota
Baubau. Masjid menjadi sarana peribadatan sangat tergantung pada
kondisi setempat dengan memperhatikan struktur penduduk menurut
agama yang dianut. Jenis sarana ibadah untuk agama Islam dapat
direncanakan sebagai berikut:
1) Kelompok penduduk 250 jiwa diperlukan mushola;
2) Kelompok penduduk 2.500 jiwa disediakan masjid warga;
3) Kelompok penduduk 30.000 jiwa disediakan masjid kelurahan;
4) Kelompok penduduk 120.000 jiwa disediakan masjid kecamatan
Di Kelurahan Tongano, Kecamatan Tomia Timur, Kabupaten
Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2011 mempunyai
jumlah penduduk kurang lebih 10.000 jiwa. Di Kelurahan Tongano
terdapat masjid berskala masjid warga. Masjid ini diberi nama Masjid As-
Sobirin dan didirikan tahun 1971. Berdasarkan hasil pengamatan penulis
Sebagai berikut:
1) Masjid sudah berusia lama dan sudah seharusnya dibangun ulang;
2) Lokasi masjid ini cenderung kurang strategis karena diletakkan di
desa tertentu;
3) Daya tampung masjid ini tidak termasuk dalam skala kelurahan serta;
4) Masjid ini cenderung kurang merepresentasikan budaya lokal Buton.
Dengan demikian bahwa bangunan masjid ini penting dibangun
agar masyarakat Kelurahan Tongano Barat, Kecamatan Tomia Timur,
Kabupaten Wakatobi mempunyai masjid yang menyatu, selaras, cocok
dan berkenan di hati masyarakat.
BAB IV

PENUTUP

3.1 Simpulan
Keberadaan peradaban Hindu di Minangkabau sangat
mempengaruhi corak atau gaya aristektur surau dan masjid. Surau dan
masjid zaman awal perkembangan Islam di Minangkabau memiliki ciri
khas atap tumpang yang berbentuk limas yang semakin ke atas semakin
kecil dan mengerucut. Hal ini juga dapat dilihat pada arsitektur Masjid di
Jawa yang sama- sama memiliki atap tumpang namun pembedanya adalah
posisi arah mihrabnya tidak tepat pada kiblat, terdapat parit air di
sekeliling Masjid. Sedangkan di Sulawesi ditemukan bahwa bangunan
Masjid dipengaruhi oleh bangunan Rumah adat setempat sehingga
seringkali Rumah adat dan Masjid memiliki kesamaan namun ciri khas
Masjid seperti Masjid Buton tidak diadopsi oleh Masjid- masjid lain di
Sulawesi khususnya Sulawesi Tenggara, Hal ini semakin menjelaskan
bahwa Keberagaman Arsitektur di Indonesia khususnya arsitektur Masjid
memang benar adanya.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Mas'oed. 2016. Tiga Sepilin Surau Solusi untuk Bangsa. Yogyakarta: Gre
Publishing.
Alimin, Nurhayatu Nufut. 2016. “Masjid Raya Sumatera Barat sebagai Simbol
Persatuan Muslim di Sumatera Barat.” I.
Ashadi. 2002. “Masjid Agung Demak sebagai Prototipe Masjid Nusantara:
Filosofi Arsitektur.” Jurnal Nalars. Jurusan Arsitektur FT-UMJ. Volume 1
Januari 2002.
Ashadi. 2002. “Perkembangan Arsitektur Mesjid Walisongo di Jawa : Perubahan
Ruang dan Bentuk.” Jurnal Nalars. Jurusan Arsitektur FT-UMJ. Volume
1 Januari 2002.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1994. Pedoman Sholat. Jakarta: Pustaka Rizki Putra.
Budiharjo, Eko. 1996. Jati Diri Arsitektur Indonesia. Bandung: Alumni.
Darmawan, M.Y. 2008. Menyibak Kabut di Keraton Buton (Baubau: Past,
Present, and Future). Kota Baubau.
Hanani, Silfia. 2003. Surau Aset Lokal Yang Tercecer. Bandung: Humaniora
Utama Press.
Harisah, A., Satrosasmito, S. & Hatmoko, A.U. 2007. “Ekletisisme dan
Arsitektur.”
Harun, Maidir. 2017. Sejarah Rumah Ibadah Kuno di Kota Padang. Padang:
IAIN Imam Bonjol Press.
Hasan, Hasmurdi. 2004. Ragam Rumah Adat Minangkabau : Falsafah,
Pembangunan dan Kegunaan. Jakarta: Yayasan Citra Pendidikan
Indonesia.
Husain, Huri Yasin. 2011. Fikih Masjid. Jakarta: Al-Kautsar.
Indra Yuda, Muasari dan Sexri Budiman. 2013. “Randai Suatu Aktivitas Kesenian
dan Media Pendidikan Tradisional.” (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Sumatera Barat UPTD Taman Budaya).
Juliadi. 2007. Masjid Agung Banten :NafasSejarah dan Budaya. Yogyakarta:
Ombak.
Mangunwijaya, Y.B. 2013. Wastu Citra Pengantar Ke Ilmu Budaya Bentuk
Arsitektural Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh/Latihan-
latihan Praktis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Muhammad Husni, Olivyanda Ariesta. 2018. “Seni Arsitektur dari Masa ke
Masa.” Jurnal Penelitian Sejarahi dan Budaya IV.
Muhammad Husni, Olivyanda Ariesta. 2018. “Seni Arsitektur Minangkabau dari
Masa ke Masa.” Jurnal Penelitian Sejarahi dan Budaya, Vol. 4 No. 2
1159.
Rony. 2014. Ikonografi Arsitektur dan Interior Masjid Kristal Khadija
Yogyakarta. Society Arts.
Samad, Duski. 2002. Syeikh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau. Padang:
The Minangkabau Foundation.
Shan'ani, Ash. Subulus Salam. Vol. II. n.d.
Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan Pustaka.
—. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan Pustaka, 1996.
Situmorang, Oloan. 1988. Seni Rupa Islam: Pertumbuhan dan Perkembangannya.
Bandung: Angkasa.
Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1-3. Yogyakarta:
Kanisius.
Sudjana, T. D. 2003. Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Muatan Mistiknya.
Bandung: Humaniora Utama Press.
Sulasman, 2014, Metodologi Penelitian Sejarah, Bandung: Pustaka Setia
Sumalyo, Y. 2005. “Arsitektur Modern Akhir Bad XIX dan Abad XX .” (Gajah
Mada Universitas Pers) II.
Vivi Kurniawati, Lc, M. A. "Pencarian Dana Masjid di Jalanan Dalam Tinjaun
Syar"i." 7. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing , 2018.
Wiryoprawiro, M. Zein. 1986. Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur.
Surabaya: Bina Ilmu.
Zainuddin. 2013. ““Arsitektur Masjid Lima Kaum Batusangkar”.” Jurnal Lektur
Keagamaan II.

Anda mungkin juga menyukai