Towani Tolotang berasal dari kata Towani dan Tolotang, dimana Towani ini berasal dari kata Tau yang artinya orang sedangkan Wani memiliki arti desa jadi bisa kita simpulkan Towani berarti orang dari desa Wani. Secara istilah penamaan, Towani Tolotang ini merupakan sebutan bagi orang yang tingggal di Amparita, Sulawesi Selatan. Menurut Wa’ Launga, Tolotang merupakan sebuah panggilan yang digunakan kepada Addatuang dalam hal ini Raja Sidenreng La Patinroi terhadap masyarakat towani sekitarnya untuk berkomunikasi. Namun seiring berkembangnya zaman, Towani menjadi nama suatu aliran yang diberikan orang lain kepada masyarakat setempat. Sejarah awal masyarakat Towani Tolotang pada dasarnya sudah ada sebelum datangnya agama islam, dimana Towani Tolotang merupakan agama lokal yang bertempat di desa Wani Kabupaten Wajo. Dengan penolakan mereka untuk masuk islam maka Addatuang Wajo pun memerintahkan untuk meninggalkan kampung halamannya. Setelah meninggalkan Wajo pada tahun 1666 dan bergabung serta bertempat di Kabupaten Sidenreng Rappang. Hal ini sudah disepakati oleh Addatuang Sidenreng dengan adanya perjanjian yang disebut “Ade’Purorona Sidenreng”. Setelah beberapa perkembangan dan tekanan dengan terjadinuya benturan-benturan dengan tokoh islam yang memaksikan mereka untuk segera masuk islam secara totalitas dan pada akhirnya Towani Tolotang lebih memutuskan memilih agama hindu sebagai induk/payung agama mereka.
2. PENYEBARAN TOLOTANG DI KAB. SIDENRENG RAPPANG
Masyakat Towani Tolotang pada dasarnya bermukin di Kelelurahan Amparita di sebeleh selatan kota Kabupaten Sidenreng Rappang dengan adanya faktor pendukung seperti pengakuan dari negara bahwa agama lokal Towani Tolotang masuk ke agama hindu walaupun tidak meninggalkan kepercayaan sebelumnya. Hal ini salah satu faktor pendukung terjadinya penyebaran To Lotang ke Sidenreng Rappang. Berdasarkan hasil wawancara dari penelitian Dr.Jamaluddin Iskandar yang berjudl “Kepercayaan Komunutas Towani Tolotang” dimana hasil wawancara dari Wa Jabbi (35) di Kelurahan Amparita bahwa : “Jadi kenapa masyakat To Lotang banyak menyebar ke berbagai daerah yang ada di Sidereng Rappang disebebkan mereka mau Mabekke’ (Membuka Lahan). Pada Jaman dulu banyak yang mrlakukan Mabekke’ karena keahlian mereka berkebun dan bersawah kemudian tinggan serta mulai menetap bahkan menikah dengan orang- orang disana”. (Jappi,2020) Salah satu daerah yang pengusian mereka adalah kelurahan Manisa. Pada awalnya Wa’ yang betempat di Amparita memerintahkan mereka untuk mencari lahan untuk melakukan pertanian dan perkebunan yang memiliki tanah yang subur sehingga mereka tidak hanya mengandalkan curah hujan yang membuat mesyakat mengalami kesulitan. Tempat pertama yang didatangi ialah Kampung Bunging, dengan kondisi lahan sangat mendukung untuk melakukan pertanian. Meski sudah melakukan perantauan para penganut Towani Tolitang tetap terikat pada lokus yang sama yaitu Amparita karena Amparita terdepat pranata Towani Tolotang seperti para Uwatta dan juga tempat melakukan ritual biasanya disebut ritual sipulung yang bertempat di Perrinyameng sebelah barat Amparta.
3. ARGAMANISASI TOWANI TOLOTANG
Towani Tolotang selamat dari islamisasi yang dilakukan Raja Wajo saat memerintahkan untuk seluruh warganya memeluk agama islam. Pada saat itu, Towani melakukan pembengkangan dan tidak merespon kebijakan Raja Wajo sehingga dilakukan pengusiran dari daerah tempat tinggalnya, setelah kemudan berdiam dan bertempat di Sidenreng Rappang, namun dengan adanya upaya pemerintah untuk merampingkan agama-agama di indonesia maka seluruh agama lokal yang tersebar di indonesia harus memilih salah satu agama yang telah ditetetapkan indonesia dan pada akhirnya Towani Tolotang memilih agama Hindu sebagai agama induk/payung dengan segala konsekuensinya serta tetap mempertahankan kepercayaan lokal mereka. Dalam melakukan keputusan untuk menjadikan Agama Hindu sebagai induknya ini memakan waktu yang cukup lama, dimana agama hindu tidak langsung diterima oleh Towani Tolotang. Pada tahun 1966, H.A. Sapada Mapangile sebagai Bupati Sidenreng Rappang mengeluarkan keputusan dengan menegaskan Towani Tolotang bukan sebuah Agama(Mudzar, 2002:192). Akibatnyna, segala bentuk kegiatan keagamaan mereka tidak bisa dilakukan dan dilarang, dimana segala bentuk kegiatan harus dilakukan sesuai ajaran islam, termasuk upacara kematian dan perkwainan. Pada tahun yang sama, beberapa tokok Towani Tolotang mengirimkan surat kepada DPR-MPRS di Jakarta yang berisi pemerintahan daerah mencoba menghalangi Tolotang untuk melakukan upacara sesuai kepercayan mereka sebelumnya dan pada akhirnya keluarlah surat menteri Agama No. B- III/3/1356/1966 yang isisnya Towani Tolotang bukalah sebuah agama serta adanya Keputusan dari Kejaksaan Agung No. 152/Sospol-K/Pakem/15km/1966 yang berisi sebuah perintah terhadap Kejaksaan Tinggi di Makassar untuk melakukan pembubaran dan larangan agama Tolotang (Mudzhar, 2002:194).dengan keputusan tersebut Tolotang akhirnya menutuskan untuk bernaung di agama islam untuk sementara dengan menunggu keputusan dari pemerintah pusat dan melakukan perdebatan mengenai keberlanjutan staus Towani Tolotang. Setelah beberapa bulan ditahun yang sama, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Bali/Budha No. 2.1966 mengekuarkan keputusan susulan yang berisi Towani Tolotang adalah salah satu sekte dibawah Agama Hindu dan mengangkat Makkatungeng sebagai pembimbing Towani Tolotang serta akan melaporkan Kegiatan yang dilakukan Towani Tolotang secara berkala kepada Bimas Hindu Bali Budha di Jakarta.
4. SISTEM KEPERCAYAAN TOWANI TOLOTANG
Sistem nilai dan budaya Towani Tolotang diturunkan secara turun-temurun melalui lisan, buka literal. Meskipun pada dasarnya memiliki “Kitab” yang disebut Appongenna Tolotangge, menurut UL kitab isinya sebuah cerita-cerita dan pesan mengenai kehidupan yang tertulis dalam tulisan lontra yang berserakan bukan dalam bentuk buku. Namun kitab ini sudah terbakar dan akhirnya tidak memilii kitab lagi sehingga dalam konsep teologi dimana meliputi pewahyuan, sampai ritual keagamaan diturunkan secara lisan. Towani Tolotang juga mempercayai adanya Tuhan dimana konsep religiusitasnya mereka mempercayai banyaknya dewa sebagaimana agama Hindu/Budha pada umumnya. Dewa tertinggi dalam kepercayaanya ialah Dewa Seuwae dengan beberpa dewa yang mendapinginya seperti dewa Langie, Dewa Mallinoe, dan Dewa Uwae. Dewa Seuwae berasal dari kata D’ yang artinya tidak dan kata Wata artinya tubuh, jadi Dewata Seuwae artinya ia tidak berbentuk tetapi satu, konsep ini sama dengan konsep islam atau agama monohteisme Tuhan Yang Esa. Secara singkat, sistem kepercayaan Towani Tolotang ialah percaya pada dewata seuwae, sismtem pewahyuan pada cerita La Pannaungi, Kitan dan secara impisit nabi (Kerakter La Panauingi dan I Pabbere menunjuk kesamaan konsep nabi dalam agama-agama besar). Towani Tolotang juga mengela ritual sebagai bentuk kepercayaan mereka kepada penciptanya dimana kepercayaan ini diturunkan secara turun-temurun. Towani Tolotang ini mengenal adanya kewajiban melakukan”Molaleng” yang terdiri dari beberapa ritual sebagai berikut : a. Ritual Mapprenpe Inanre,artinya menaikkan nasi yang maksudnya dimana ibadah yang dijalankan menyerahkan daun siri dan nasi lengkap dengan lauk pauknya sebagai niat tertentu dalam melakukan pengabdian kepada Dewata Saewa, penyerahan ini dilakukan di ruma Wa’/Uwatta. Persembahan ini dilakukan sesuai niatan seperti pada saat melakukan Mappendre inandre untuk bekal di lino paimeng (bekal kemudian), pada waktu ada kelahiran, ada kematian, dan menjelang acara perkawinan. b. Upacara Tudan Sipulung, artinya duduk berkumpul dengan dipimpin oleh Wa’ untuk melaksanakan ibadah tertentu untuk memohon kesalamatan dan kemakmuran bersama agar terhindar dari segala macam bahaya dan malapetaka. Upacara ini terdiri dari tiga jenis upacara diantaranya upacara yang dilakukan setelah Panen,Upacara untuk tiga malam bertempat di rumah uwatta apabila tiba waktunya menghaburkan bibit, dan apaila tejadi malapetaka biasanya disebut Tudan Siesso. c. Ritual Sipuling adalah kegiatan berkumpul bersama sekali setahun untuk menyelenggarakan kegiatan kebaktian, biasanya diselenggarakan di Perrinyameng yang terletak di sekitar tiga kilomenter dari sebelah selatan Amparita, Yakni Makan I Pabbere yang merupakan salah satu penyebar kepercayaan Tolotang dan dilaksanakan juga di Makam I Galigo, La Panaung. Biasanya dilaksanakan pada setiap tahun bulan januari setelah dilakukan Panen.
5. DINAMIKA KEHIDUPAN SOSIAL DAN IMPLEMENTASI BAGI
MASYARAKAT TOWANI TOLOTANG Pada kalangan Towani Tolotang, solidaritas sangat dikedepankan dan dijungjung tinggi. Hal ini bisa dilihat dari kegiatan yang bersifat keagamaan sosial masyakarat dilakukan dengan lancar dan sampai saat ini masih terus-menerus dilaksanakan. Solidaritas ini muncul dengan adanya kesadaran untuk saling membantu dalam setiap pelaksanaan dan sebuah perayaan hajatan sebagai contoh jauh sebelum dilaksanakan perayaan hajatan masyakat akan saling membantu baik mendirikan tempat untuk hajatan dan persiapan lainnhya misalnya membuat makanan untuk tamu. Dikalangan muslim juga mengakui kuatnya solidaritas Towani Tolotang, dimana salah seorang pemuka muslim mengataka”Towani Tolotang selalu bersatu dalam melaksanakan apapun, baik berhubungan dengan pelaksanaan maupun tidak beriakitan. Mereka selalu membantu sama lain(Wawancara dengan Usman Suara(46), tanggal 23 Agustus 2008) dalam Jurnal Hasse J.dkk berjudul Diskriminasi Negara terhadap Agama di Indonesia. Selain solidaritas yang dimiliki tolotang mereka juga erat dengan toleransi dengan berbagai agama terkhususnya agama islam dimana masyakat tersebut saling toleransi saling menolong, baik dalam hal pembangunan, menerima keyakinan masing -masing dan tidak melakukan konflik yang mengancam keberadaan masing- masing. Kerterlibatan Towani Tolotang pada kegiatan bermasyakat dan relasi sosial menunjukkan adanya penerimaan dari pihak lain akan kehadiran mereka dan menerimanya. Towani Tolotang berpegang teguh pada ajara yang benar dimana prinsip meraka Narekko napahangngi ajarang tongeng-togenna Tolotangge, majeppu dena gaga masalah yang artinya jika meraka memahani ajaran yang benar mengenai Towani Tolotang maka tidak akan terjadi masalah. Bagi Towani Tolotang, mereka yang melanggar ajaran Towani Tolotang setidaknya akan dinasehati dan diberikan pemahaman yang benar menegenai ajaran Towani Tolotang kecuali jika hal tersebut berkaitan dengan Hukum maka persoalan akan diserahak ke pihak berwajib. Menurut ajarannya yang melakuka pelanggaran akan mengalami De’ Nita deceng ri lino artinya tidak ada kebahagiaan di dunia, Ri lino paimeng ri sessai onroang pesessa artinya dikemudian hari akan di siksa ditempat penyiksaan,dan De’ nalettu’ ri lino paimeng artinya tidak akan sampai diakhirat,