Anda di halaman 1dari 4

1.

SEJARAH MASYARAKAT TOWANI TOLOTANG


Towani Tolotang berasal dari kata Towani dan Tolotang, dimana Towani ini
berasal dari kata Tau yang artinya orang sedangkan Wani memiliki arti desa jadi
bisa kita simpulkan Towani berarti orang dari desa Wani. Secara istilah penamaan,
Towani Tolotang ini merupakan sebutan bagi orang yang tingggal di Amparita,
Sulawesi Selatan. Menurut Wa’ Launga, Tolotang merupakan sebuah panggilan
yang digunakan kepada Addatuang dalam hal ini Raja Sidenreng La Patinroi
terhadap masyarakat towani sekitarnya untuk berkomunikasi. Namun seiring
berkembangnya zaman, Towani menjadi nama suatu aliran yang diberikan orang lain
kepada masyarakat setempat.
Sejarah awal masyarakat Towani Tolotang pada dasarnya sudah ada sebelum
datangnya agama islam, dimana Towani Tolotang merupakan agama lokal yang
bertempat di desa Wani Kabupaten Wajo. Dengan penolakan mereka untuk masuk
islam maka Addatuang Wajo pun memerintahkan untuk meninggalkan kampung
halamannya. Setelah meninggalkan Wajo pada tahun 1666 dan bergabung serta
bertempat di Kabupaten Sidenreng Rappang. Hal ini sudah disepakati oleh
Addatuang Sidenreng dengan adanya perjanjian yang disebut “Ade’Purorona
Sidenreng”. Setelah beberapa perkembangan dan tekanan dengan terjadinuya
benturan-benturan dengan tokoh islam yang memaksikan mereka untuk segera
masuk islam secara totalitas dan pada akhirnya Towani Tolotang lebih memutuskan
memilih agama hindu sebagai induk/payung agama mereka.

2. PENYEBARAN TOLOTANG DI KAB. SIDENRENG RAPPANG


Masyakat Towani Tolotang pada dasarnya bermukin di Kelelurahan Amparita di
sebeleh selatan kota Kabupaten Sidenreng Rappang dengan adanya faktor
pendukung seperti pengakuan dari negara bahwa agama lokal Towani Tolotang
masuk ke agama hindu walaupun tidak meninggalkan kepercayaan sebelumnya. Hal
ini salah satu faktor pendukung terjadinya penyebaran To Lotang ke Sidenreng
Rappang. Berdasarkan hasil wawancara dari penelitian Dr.Jamaluddin Iskandar yang
berjudl “Kepercayaan Komunutas Towani Tolotang” dimana hasil wawancara dari
Wa Jabbi (35) di Kelurahan Amparita bahwa :
“Jadi kenapa masyakat To Lotang banyak menyebar ke berbagai daerah yang ada di
Sidereng Rappang disebebkan mereka mau Mabekke’ (Membuka Lahan). Pada
Jaman dulu banyak yang mrlakukan Mabekke’ karena keahlian mereka berkebun
dan bersawah kemudian tinggan serta mulai menetap bahkan menikah dengan orang-
orang disana”. (Jappi,2020)
Salah satu daerah yang pengusian mereka adalah kelurahan Manisa. Pada
awalnya Wa’ yang betempat di Amparita memerintahkan mereka untuk mencari
lahan untuk melakukan pertanian dan perkebunan yang memiliki tanah yang subur
sehingga mereka tidak hanya mengandalkan curah hujan yang membuat mesyakat
mengalami kesulitan. Tempat pertama yang didatangi ialah Kampung Bunging,
dengan kondisi lahan sangat mendukung untuk melakukan pertanian.
Meski sudah melakukan perantauan para penganut Towani Tolitang tetap terikat
pada lokus yang sama yaitu Amparita karena Amparita terdepat pranata Towani
Tolotang seperti para Uwatta dan juga tempat melakukan ritual biasanya disebut
ritual sipulung yang bertempat di Perrinyameng sebelah barat Amparta.

3. ARGAMANISASI TOWANI TOLOTANG


Towani Tolotang selamat dari islamisasi yang dilakukan Raja Wajo saat
memerintahkan untuk seluruh warganya memeluk agama islam. Pada saat itu,
Towani melakukan pembengkangan dan tidak merespon kebijakan Raja Wajo
sehingga dilakukan pengusiran dari daerah tempat tinggalnya, setelah kemudan
berdiam dan bertempat di Sidenreng Rappang, namun dengan adanya upaya
pemerintah untuk merampingkan agama-agama di indonesia maka seluruh agama
lokal yang tersebar di indonesia harus memilih salah satu agama yang telah
ditetetapkan indonesia dan pada akhirnya Towani Tolotang memilih agama Hindu
sebagai agama induk/payung dengan segala konsekuensinya serta tetap
mempertahankan kepercayaan lokal mereka.
Dalam melakukan keputusan untuk menjadikan Agama Hindu sebagai induknya
ini memakan waktu yang cukup lama, dimana agama hindu tidak langsung diterima
oleh Towani Tolotang. Pada tahun 1966, H.A. Sapada Mapangile sebagai Bupati
Sidenreng Rappang mengeluarkan keputusan dengan menegaskan Towani Tolotang
bukan sebuah Agama(Mudzar, 2002:192). Akibatnyna, segala bentuk kegiatan
keagamaan mereka tidak bisa dilakukan dan dilarang, dimana segala bentuk kegiatan
harus dilakukan sesuai ajaran islam, termasuk upacara kematian dan perkwainan.
Pada tahun yang sama, beberapa tokok Towani Tolotang mengirimkan surat
kepada DPR-MPRS di Jakarta yang berisi pemerintahan daerah mencoba
menghalangi Tolotang untuk melakukan upacara sesuai kepercayan mereka
sebelumnya dan pada akhirnya keluarlah surat menteri Agama No. B-
III/3/1356/1966 yang isisnya Towani Tolotang bukalah sebuah agama serta adanya
Keputusan dari Kejaksaan Agung No. 152/Sospol-K/Pakem/15km/1966 yang berisi
sebuah perintah terhadap Kejaksaan Tinggi di Makassar untuk melakukan
pembubaran dan larangan agama Tolotang (Mudzhar, 2002:194).dengan keputusan
tersebut Tolotang akhirnya menutuskan untuk bernaung di agama islam untuk
sementara dengan menunggu keputusan dari pemerintah pusat dan melakukan
perdebatan mengenai keberlanjutan staus Towani Tolotang. Setelah beberapa bulan
ditahun yang sama, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Bali/Budha No.
2.1966 mengekuarkan keputusan susulan yang berisi Towani Tolotang adalah salah
satu sekte dibawah Agama Hindu dan mengangkat Makkatungeng sebagai
pembimbing Towani Tolotang serta akan melaporkan Kegiatan yang dilakukan
Towani Tolotang secara berkala kepada Bimas Hindu Bali Budha di Jakarta.

4. SISTEM KEPERCAYAAN TOWANI TOLOTANG


Sistem nilai dan budaya Towani Tolotang diturunkan secara turun-temurun
melalui lisan, buka literal. Meskipun pada dasarnya memiliki “Kitab” yang disebut
Appongenna Tolotangge, menurut UL kitab isinya sebuah cerita-cerita dan pesan
mengenai kehidupan yang tertulis dalam tulisan lontra yang berserakan bukan dalam
bentuk buku. Namun kitab ini sudah terbakar dan akhirnya tidak memilii kitab lagi
sehingga dalam konsep teologi dimana meliputi pewahyuan, sampai ritual
keagamaan diturunkan secara lisan.
Towani Tolotang juga mempercayai adanya Tuhan dimana konsep
religiusitasnya mereka mempercayai banyaknya dewa sebagaimana agama
Hindu/Budha pada umumnya. Dewa tertinggi dalam kepercayaanya ialah Dewa
Seuwae dengan beberpa dewa yang mendapinginya seperti dewa Langie, Dewa
Mallinoe, dan Dewa Uwae. Dewa Seuwae berasal dari kata D’ yang artinya tidak
dan kata Wata artinya tubuh, jadi Dewata Seuwae artinya ia tidak berbentuk tetapi
satu, konsep ini sama dengan konsep islam atau agama monohteisme Tuhan Yang
Esa. Secara singkat, sistem kepercayaan Towani Tolotang ialah percaya pada dewata
seuwae, sismtem pewahyuan pada cerita La Pannaungi, Kitan dan secara impisit
nabi (Kerakter La Panauingi dan I Pabbere menunjuk kesamaan konsep nabi dalam
agama-agama besar).
Towani Tolotang juga mengela ritual sebagai bentuk kepercayaan mereka
kepada penciptanya dimana kepercayaan ini diturunkan secara turun-temurun.
Towani Tolotang ini mengenal adanya kewajiban melakukan”Molaleng” yang terdiri
dari beberapa ritual sebagai berikut :
a. Ritual Mapprenpe Inanre,artinya menaikkan nasi yang maksudnya dimana ibadah yang
dijalankan menyerahkan daun siri dan nasi lengkap dengan lauk pauknya sebagai niat
tertentu dalam melakukan pengabdian kepada Dewata Saewa, penyerahan ini dilakukan
di ruma Wa’/Uwatta. Persembahan ini dilakukan sesuai niatan seperti pada saat
melakukan Mappendre inandre untuk bekal di lino paimeng (bekal kemudian), pada
waktu ada kelahiran, ada kematian, dan menjelang acara perkawinan.
b. Upacara Tudan Sipulung, artinya duduk berkumpul dengan dipimpin oleh Wa’ untuk
melaksanakan ibadah tertentu untuk memohon kesalamatan dan kemakmuran bersama
agar terhindar dari segala macam bahaya dan malapetaka. Upacara ini terdiri dari tiga
jenis upacara diantaranya upacara yang dilakukan setelah Panen,Upacara untuk tiga
malam bertempat di rumah uwatta apabila tiba waktunya menghaburkan bibit, dan apaila
tejadi malapetaka biasanya disebut Tudan Siesso.
c. Ritual Sipuling adalah kegiatan berkumpul bersama sekali setahun untuk
menyelenggarakan kegiatan kebaktian, biasanya diselenggarakan di Perrinyameng yang
terletak di sekitar tiga kilomenter dari sebelah selatan Amparita, Yakni Makan I Pabbere
yang merupakan salah satu penyebar kepercayaan Tolotang dan dilaksanakan juga di
Makam I Galigo, La Panaung. Biasanya dilaksanakan pada setiap tahun bulan januari
setelah dilakukan Panen.

5. DINAMIKA KEHIDUPAN SOSIAL DAN IMPLEMENTASI BAGI


MASYARAKAT TOWANI TOLOTANG
Pada kalangan Towani Tolotang, solidaritas sangat dikedepankan dan
dijungjung tinggi. Hal ini bisa dilihat dari kegiatan yang bersifat keagamaan sosial
masyakarat dilakukan dengan lancar dan sampai saat ini masih terus-menerus
dilaksanakan. Solidaritas ini muncul dengan adanya kesadaran untuk saling
membantu dalam setiap pelaksanaan dan sebuah perayaan hajatan sebagai contoh
jauh sebelum dilaksanakan perayaan hajatan masyakat akan saling membantu baik
mendirikan tempat untuk hajatan dan persiapan lainnhya misalnya membuat
makanan untuk tamu. Dikalangan muslim juga mengakui kuatnya solidaritas Towani
Tolotang, dimana salah seorang pemuka muslim mengataka”Towani Tolotang selalu
bersatu dalam melaksanakan apapun, baik berhubungan dengan pelaksanaan maupun
tidak beriakitan. Mereka selalu membantu sama lain(Wawancara dengan Usman
Suara(46), tanggal 23 Agustus 2008) dalam Jurnal Hasse J.dkk berjudul
Diskriminasi Negara terhadap Agama di Indonesia.
Selain solidaritas yang dimiliki tolotang mereka juga erat dengan toleransi
dengan berbagai agama terkhususnya agama islam dimana masyakat tersebut saling
toleransi saling menolong, baik dalam hal pembangunan, menerima keyakinan
masing -masing dan tidak melakukan konflik yang mengancam keberadaan masing-
masing. Kerterlibatan Towani Tolotang pada kegiatan bermasyakat dan relasi sosial
menunjukkan adanya penerimaan dari pihak lain akan kehadiran mereka dan
menerimanya.
Towani Tolotang berpegang teguh pada ajara yang benar dimana prinsip
meraka Narekko napahangngi ajarang tongeng-togenna Tolotangge, majeppu dena
gaga masalah yang artinya jika meraka memahani ajaran yang benar mengenai
Towani Tolotang maka tidak akan terjadi masalah. Bagi Towani Tolotang, mereka
yang melanggar ajaran Towani Tolotang setidaknya akan dinasehati dan diberikan
pemahaman yang benar menegenai ajaran Towani Tolotang kecuali jika hal tersebut
berkaitan dengan Hukum maka persoalan akan diserahak ke pihak berwajib.
Menurut ajarannya yang melakuka pelanggaran akan mengalami De’ Nita deceng ri
lino artinya tidak ada kebahagiaan di dunia, Ri lino paimeng ri sessai onroang
pesessa artinya dikemudian hari akan di siksa ditempat penyiksaan,dan De’ nalettu’
ri lino paimeng artinya tidak akan sampai diakhirat,

Anda mungkin juga menyukai