Anda di halaman 1dari 1

Aturan Panglima TNI soal Pemanggilan Prajurit

Dinilai Upaya Impunitas


Dewi Nurita
4 minutes

TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritik keras
penerbitan Surat Telegram Panglima TNI Nomor ST/1221/2021 mengenai prosedur pemanggilan prajurit TNI
oleh aparat penegak hukum. Surat Telegram ini bertandatangan dan berstempel Kepala Staf Umum (Kasum)
TNI Letnan Jenderal TNI Eko Margiyono tertanggal 5 November 2021.

Dalam aturan baru, pemanggilan prajurit TNI yang tersandung permasalahan hukum oleh kepolisian harus
melalui komandan atau kepala satuan.

"ST Panglima semakin menunjukkan ketertutupan dan upaya perlindungan bagi anggota TNI yang melakukan
tindak kejahatan (impunitas)," ujar Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Teo Reffelsen sebagai
perwakilan koalisi lewat keterangan tertulis, Rabu, 24 November 2021.

Penerbitan surat telegram panglima ini dianggap tidak hanya bermasalah, tetapi semakin menunjukkan adanya
dominasi militer terhadap negara.

Koalisi mencatat, saat ini telah terjadi perluasan peran TNI di ranah sipil, misalnya; dibentuknya Jaksa Agung
Muda Pidana Militer (Jampidmil) di Kejaksaan Agung yang dipimpin militer aktif, penempatan TNI aktif
sebagai staf khusus di Kemenparekraf, perluasan peran TNI dalam penegakan hukum tindak pidana terorisme di
dalam negeri dan diterapkannya sistem peradilan militer bagi sipil dalam UU Pengelolaan Sumber Daya
Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN).

"Pada titik ini, ST Panglima yang mengatur proses pemanggilan anggota TNI harus melalui persetujuan atasan
sejatinya tidak hanya mengatur internal anggota TNI, tetapi hal tersebut juga menuntut institusi penegak hukum
di luar TNI untuk tunduk dan patuh terhadap ST Panglima tersebut," ujar Teo.

Terbitnya surat telegram tersebut dinilai semakin menjauhkan dari harapan/agenda revisi UU Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer. Menurut Teo, surat telegram ini semakin menguatkan bahwa penegakan hukum
terhadap prajurit militer berada pada domain yang berbeda dengan sipil, serta masih menyisakan persoalan
mendasar dalam hal akuntabilitas dan transparansinya dalam setiap proses penegakan hukum.

"Padahal, TAP/MPR Nomor VII Tahun 2000 telah memerintahkan anggota TNI tunduk pada sistem peradilan
umum apabila melakukan tindak pidana umum," tuturnya.

Peneliti Imparsial Hussein Ahmad menambahkan, aturan mengenai pemanggilan prajurit yang harus atas izin
komandan merupakan bentuk pembangkangan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Dalam KUHAP diatur secara eksplisit bahwa pemanggilan hanya ditujukan kepada pihak yang
bersangkutan dengan perkara dugaan tindak pidana dan bukan atasan dari subyek hukum yang dipanggil.

Sehingga jika surat pemanggilan tersebut dikirimkan atau harus mendapatkan izin dari komandan, ujar Hussein,
maka pemanggilan tersebut menjadi cacat formil atau tidak sah.

"Hal Ini justru mencerminkan ketiadaan komitmen dalam upaya mengatasi/mencegah terjadinya impunitas bagi
prajurit TNI dan dapat menghalangi proses hukum yang dilakukan oleh Kepolisian, serta manifestasi
pelanggaran asas persamaan dimuka hukum (equality before the law)," ujarnya.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari; Imparsial, PBHI Nasional, Setara
Institute, Centra Initiative,  ELSAM, LBH Pers, ICW, LBHM, LBH Jakarta, KontraS, ICJR, PILNET
Indonesia, HRWG, Walhi Eknas, Amnesty Internasional Indonesia, Public Virtue.

Anda mungkin juga menyukai