Anda di halaman 1dari 22

BAB V

TINJAUAN ISLAM TENGTANG FAKTOR-FAKTOR YANG


MEMPENGARUHI SATUS GIZI PADA BALITA

5.1 Penciptaan Manusia

Al-Qur‟an menyebutkan tentang asal mula penciptaan manusia menggunakan


beberapa lafadz yang berbeda. Penggunaan lafadz yang berbeda tersebut pada
dasarnya merupakan suatu tahapan penciptaan menuju kesempurnaanDiantara
lafadz-lafadz yang sering digunakan al-Qur‟an dalam mengungkapkan asal mula
penciptaan manusia adalah sebagai berikut: (Shaleh Abdul, 2009)

1. Thin (tanah liat)


Lafadz thin berarti tanah yang mengandung banyak air, lumpur.6
Maurice Bucaile berpendapat bahwa lafadz thin merupakan komponen
penting dalam pembentukan fisik manusia awal dari penciptaan manusia pada
umumnya adalah bermula dari Thin (tanah liat yang basah) sebagai lafadz
untuk penyebutan awal terciptanya nabi Adam yang kemudian menjadi
sperma atau ovum.
2. Shalshal (tanah liat kering yang dibuat untuk tembikar)
Dalam kamus kata shalshal berarti lumpur yang kering, yang
gemerisik karena keringnya. Lafadz tersebut juga berarti lempung yang
merupakan bahan porselin atau lumpur murni yang bercampur dengan pasir.
Shalshal sebagai material semacam lempung dan dalam hal ini dapat
dipergunakan untuk membuat tembikar. Oleh karenanya shalshal diartikan
sebagai “semacam lempung” (tembikar).
3. Nuthfah (pembuahan sel sperma terhadap sel telur)
Salah satu kata yang sering digunakan al-Qur‟an dalam menyebutkan
asal mula penciptaan manusia adalah nuthfah. Nuthfah adalah setetes air mani
yang dipancarkan (min maniyyin yumna). Dalam hal ini Allah berfirman :

‫ك نُ ۡطفَ ٗة ِّمن َّمنِ ٖ ّي يُمۡ ن َٰى‬


ُ َ‫أَلَمۡ ي‬

Artinya : TULISAN AYAT FOUND 16


“Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim) ”.
(QS : Al-Qiyamah (75) : 37)
Kata nuthfah juga dalam bahasa al-Qur‟an adalah “setetes yang dapat
membasahi”. Pancaran mani yang menyembur dari alat kelamin pria
mengandung sekitar dua ratus juta benih manusia sedangkan yang berhasil
bertemu dengan ovum hanya satu.

4. Alaqah (segumpal darah yang mengental dan membeku


Dalam kitab Zad Al-Masir, Ibnu Al-Jauzi mengemukakan tentang
alaqah yang memiliki arti sejenis darah yang bergumpalan dan kental.
Sifatnya lembab dan bergantung dengan yang berhubungan dengannya.24
Sedangkan Sayyid Quthb menafsirkan kata „alaqah dengan sesuatu yang
melekat.25 Senada dengan Sayyid Quthb, Quraish Shihab juga mengartikan
„alaqah dengan sesuatu yang berdempet di dinding Rahim (Shihab,
Muhammad Quraish, 2012)
5. Mudghah (segumpal daging)
Pandangan Quraish Shihab tentang mudghah yakni sesuatu berupa
sekerat daging dan sebesar apa yang dapat dikunyah
6. Idzam (proses pembentukan tulang belulang)
Dalam Tafsir al-Azhar karya Hamka dijelaskan bahwa kata Idzam
merupakan sebuah proses dari pembentukan daging menjadi tulang-tulang
7. Lahm (proses pembalutan tulang belulang dengan daging)
Dalam Tafsir al-Azhar karya Hamka dijelaskan bahwa lahm
merupakan sebuah proses tulang belulang yang diliputi dengan daging (Shaleh
Abdul, 2009)

5.2 Balita Menurt Islam

Balita adalah anak yang telah menginjak usia diatas 1 tahun atau lebih dikenal
denga pengertian usia anak dibawah 5 tahun. Seorang anak akan menjadi karunia
atau nikmat manakala orang tua berhasil mendidiknya menjadi orang baik dan
berbakti. Anak merupakan karunia terindah dan termahal yang diberikan oleh
Allah s.w.t. kepada setiap pasangan yang dikehendaki-Nya. Tidak setiap orang
mendapatkan karunia ini. Oleh karena itu, anak tidak ternilai oleh apapun. Anak
menjadi tempat orang tua mencurahkan kasih sayangnya, sehingga sudah menjadi
keharusan bagi setiap orang yang menerima karunia tersebut untuk merawat
dengan sebaik-baiknya, sebagai sebuah bentuk rasa syukur atas karunia yang telah
Allah s.w.t. berikan.

Seperti halnya penyebutan manusia di dalam al-Qur’an yang mengunakan


berbagai istilah, penyebutan anak-pun dalam al-Qur’an juga menggunakan istilah
yang beragam. Tentunya penyebutan anak ini mengandung pengertian dan
maksud yang berbeda-beda. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut :
(Awaliyah, 2008 ; kementrian agama, 2011)

1. Zurriyah
Kata Zurriyah dalam kamus al-Munawwir diartikan sebagai anak, cucu dan
keturunan. Asal kandungan kata ini di dapat dalam empat bentuk, yaitu – ‫ذرا‬
‫ – ذرر ذري – ذرو‬, yang berarti makhluk yang keluar dari tulang iga ( sulb )
Nabi Adam a.s.
2. Ibn
Kata Ibn arti anak.21 Namun bisa juga diartikan “orang” seperti pada istilah
ibn sabil yang bermakna orang yang sedang menempuh perjalanan. Dari asal
kata yang sama, maknanya bisa berubah. Misalnya, bermakna “bangunan”
dari kata bina.
3. walad
kata walad mengandung aksentuasi makna bahwa anak tersebut dilahirkan
oleh orangtuanya, sebab kata walad terambil dari kata walada-yalidu-wilâdah
yang berarti melahirkan. Oleh sebab itu, disimpulkan bahwa penyebutan
anak dengan menggunakan term walad menunjukkan adanya hubungan
nasab antara anak dengan orangtuanya.
4. Aqrab
Kata ini memang tidak langsung menunjuk pada makna anak. Namun
demikian, ia masih memiliki kedekatan makna dan berhubungan erat dengan
anak, cucu, dan bentuk-bentuk keturunan ke bawah.

5.3 Kedudukan Anak Menurut Islam


Islam memandang anak sebagai karunia yang mahal harganya. Karunia dari
Allah s.w.t yang mahal ini harus dijaga dan dilindungi oleh orang-orang
disekitarnya pada umumnya, dan terkhusus oleh keluarganya. Selain sebagai
karunia yang mahal harganya, Islam juga memandang anak dari dua segi, yakni
dari segi positif dan segi negatif. Penempatan anak pada kedua segi ini pada
dasarnya sebagai himbauan kepada keluarga dan orang-orang yang ada
disekitarnya untuk menjadikan seorang anak sebagai pribadi yang baik.
(Ranchman, 2006).
Penyebutan anak dalam al-Qur’an menggunakan dua konotasi, yakni konotasi
positif dan konotasi negatif. Penyebutan ini (baik konotasi positif maupun
konotasi negatif) dapat kita lihat dan telusuri dari beberapa ayat dalam al-Qur’an
dan hadits Nabi Muhammad s.a.w. Berikut di antara beberapa ayat al-Qur’an dan
hadits Nabi Muhammad s.a.w yang menyebutkan tentang konotasi anak.
(Ranchman, 2006).

1. Konotasi Positif
a. Anak sebagai perhiasan hidup di dunia
Seorang anak merupakan karunia terindah dan termahal yang
diberikan oleh Allah s.w.t. kepada setiap pasangan yang dikehendaki-Nya.
Anak tidak ternilai oleh apapun. Anak menjadi tempat orang tua
mencurahkan kasih sayangnya. Anak juga merupakan perhiasan dalam
kehidupan berumah tangga. Hal ini telah dijelaskan Allah s.w.t melalui
firman-Nya

‫ت خ َۡي ٌر ِعن َد‬ َّ ٰ ‫ت ٱل‬


ُ ‫صلِ ٰ َح‬ ُ َ‫ۡٱل َما ُل َو ۡٱلبَنُونَ ِزينَةُ ۡٱل َحيَ ٰو ِة ٱل ُّد ۡنيَ ۖا َو ۡٱل ٰبَقِ ٰي‬
‫َربِّكَ ثَ َوابٗ ا َوخ َۡي ٌر أَ َماٗل‬

Artinya :
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan
kebajikan yang terus menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi
Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS : Al-Kahfi (18) :
46)
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Kesemuanya
tidak abadi dan bisa memperdaya manusia, tetapi amalan kebajikan yang
terus menerus karena dilakukan demi karena Allah s.w.t. lagi saleh, yakni
sesuai dengan tuntunan agama dan bermanfaat adalah lebih baik untuk
kamu semua pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik dan lebih dapat
diandalkan untuk menjadi harapan.

b. Anak sebagai penyejuk hati


Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa anak sebagai penyejuk mata dan hati (
qurrata a’yun ). Dikatakan demikian karena ketika mata memandang
seorang anak akan timbul rasa bahagia. Oleh sebab itu, anak merupakan
harta yang tidak ternilai harganya bagi orang tua. Ada ungkapan yang
mengatakan, “Anakku permataku”. Allah s.w.t. juga menyebutkan anak
manusia sebagai penyejuk hati buat orang tuanya. Hal ini sebagaimana
yang terdapat dalam firman Allah s.w.t.
ۡ ‫َوٱلَّ ِذينَ يَقُولُونَ َربَّنَا ه َۡب لَنَا ِم ۡن أَ ۡز ٰ َو ِجنَا َو ُذ ِّر ٰيَّتِنَا قُ َّرةَ أَ ۡعي ُٖن َو‬
‫ٱج َع ۡلنَا لِ ۡل ُمتَّقِينَ إِ َما ًما‬
Artinya :

“Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah


kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati
(kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang
bertakwa.” (QS : Al-Furqan (25) : 74 )

c. Anak sebagai anugrah dan amanah dari Allah s.w.t


Islam memandang anak sebagai karunia yang mahal harganya dan juga
berstatus suci. Karunia yang mahal ini sebagai amanah yang harus dijaga
dan dilindungi oleh orang tua khususnya, karena anak sebagai aset orang
tua dan aset bangsa. Di dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang
menyebutkan anak sebagai anugerah, dengan menggunakan kata-kata “
wahabna ” yang artinya menganugerahkan. Hal ini sebagaimana yang
terdapat dalam firman Allah s.w.t.
ۖ
َ ٰ ‫وب نَافِلَ ٗة َو ُكاّٗل َج َع ۡلنَا‬
َ‫صلِ ِحين‬ َ ‫َو َوه َۡبنَا لَ ٓۥهُ إِ ۡس ٰ َح‬
َ ُ‫ق َويَ ۡعق‬
Artinya :
“Dan Kami menganugerahkan kepadanya (Ibrahim) Ishak dan Yakub
sebagai suatu anugerah. Dan masing-masing Kami jadikan orang yang
saleh.” (QS. Al-Anbiya (21) : 72)
Pada masyarakat yang beragama seringkali terdapat sebuah pernyataan
“dianugerahkan keturunan”. Oleh karena itu, mereka yang merasa
mendapat anugerah Tuhan, melakukan upacara bersyukur sesuai dengan
tradisi yang berlaku, sepert aqiqah, selamatan, babtis, dan lain sebagainya.
Anugerah Tuhan tersebut tentu tidak boleh disia-siakan, tetapi harus
dilindungi dari segala ancaman yang membahayakannya.

d. Anak sebagai investasi dunia akhirat


Anak adalah investasi yang paling mahal bagi kita. Berapapun biaya yang
kita keluarkan untuk mendidik anak supaya saleh, itu bukanlah sebuah
pengeluaran sia-sia, tetapi merupakan modal yang akan menjadi
keuntungan bagi kita. Tenaga yang kita keluarkan untuk mendidik anak,
itu bukanlah tenaga sia-sia, itu adalah sebuah investasi. Oleh karena itu,
jangan sampai kita mendidik anak-anak hanya dengan menggunakan
waktu dan tenaga sisa yang kita miliki, sisa dari kantor, sisa dari acara
arisan, dan sisa-sisa yang lainnya. Kalau kita meninggal besok atau lusa,
mudah-mudahan anak kita bisa mengurus diri, keluarga, dan segalanya.
Kita harus memahami bahwa keturunan kita adalah bagian dari
keselamatan dunia dan akhirat kita. Oleh karena itu, jangan pernah
memberikan waktu sisa kepada mereka. Suami harus terus berembuk
dengan istri untuk mengevaluasi keadaan anak-anak.
2. Konotasi negatif
a. Anak Sebagai Ujian dan fitnah
Cobaan dan godaan yang dilakukan anak-anak itu, sebagian ada yang
diakibatkan oleh kesalahan orang tua dalam mendidik dan mengasuh anak
anaknya ketika masih usia dini.89 Mengenai anak sebagai fitnah dan ujian
ini
telah dijelaskan oleh Allah s.w.t. dalam firman-Nya

‫يم‬ٞ ‫َة َوأَ َّن ٱهَّلل َ ِعن َد ٓۥهُ أَ ۡج ٌر َع ِظ‬ٞ ‫ٱعلَ ُم ٓو ْا أَنَّ َمٓا أَمۡ ٰ َولُ ُكمۡ َوأَ ۡو ٰلَ ُد ُكمۡ فِ ۡتن‬
ۡ ‫َو‬

Artinya :
“Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai
cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” (QS. Al-
Anfal (8) : 28)
Harta benda dan anak boleh jadi mengakibatkan seseorang tidak bangkit
memenuhi panggilan tersebut, karena takut atau kikir, sedang kehidupan
yang diserukan Rasulullah s.a.w. adalah kehidupan yang mulia, yang
menuntut tanggung jawab dan pengorbanan. Karena itu al-Qur’an
mengobati sifat tamak itu dengan mengingatkan bahaya daya tarik harta
benda dan anak-anak.

b. Anak Sebagai Musuh Orangtua


Jika orang tua keliru dan salah dalam mendidik anak-anaknya, maka anak
tersebut akan menjadi musuh bagi orang tuanya. Dalam sebuah ayat al-
Qur’an Allah s.w.t berfirman
ۡ َ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا إِ َّن ِم ۡن أَ ۡز ٰ َو ِج ُكمۡ َوأَ ۡو ٰلَ ِد ُكمۡ َع ُد ٗ ّوا لَّ ُكمۡ ف‬
ْ ُ‫ٱح َذرُوهُمۡۚ َوإِن ت َۡعف‬
‫وا‬
‫ور َّر ِحي ٌم‬ ْ ‫ُوا َوت َۡغفِر‬
ٞ ُ‫ُوا فَإ ِ َّن ٱهَّلل َ َغف‬ ْ ‫َصفَح‬ ۡ ‫َوت‬

Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istriistrimu
dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah
kamu terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta
ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.” (QS. Al-Tagabun (64) : 14)
Seorang anak yang telah terpengaruh kepada perbuatan maksiat, seperti
minum minuman beralkohol, narkoba, judi, zina, menjadi sahabat bagi
setan dan musuh bagi orang tua yang beriman. Bila hal itu terjadi pada
anak, maka ia menjadi sumber malapetaka bagi sebuah keluarga dan
masyarakat. Sehingga anak bukan lagi mendatangkan kebahagiaan, tetapi
sumber penderitaan bagi orang tuanya.

5.4 Perkembangan Anak Menurt islam


Islam mengakui ke-fitrah-an seorang anak yang akan membawa potensi ke
arah kebaikan, akan tetapi di sisi lain Islam juga menuntun para orang tua agar
dapat mengawal seorang anak menjadi manusia yang mengerti tugasnya sebagai
Khalifatullah dan Abdullah. Oleh karena itu, para orangtua, pendidikan dan
lingkungan anak sangat perlu untuk memahami proses pembinaan anak dalam
semua rentang usianya lebih-lebih pada usia dini (Jalaluddin, 2003)
Salah satu hal penting yang dipahami dalam proses pembinaan anak ini adalah
menerapkan proses pembinaan anak sesuai dengan fase perkembangan anak agar
proses memberikan bimbingan lebih efektif. Pembimbingan diperlukan
pemahaman yang baik tentang siapa yang menjadi objek komunikasi dan tingkat
pemahaman yang dimilikinya, sehingga efektifitas komunikasi dapat dicapai
dengan baik. (Jalaluddin, 2003)
Fase Perkembangan Anak dalam Islam (Jalaluudin, 2002)
a. Fase Thufulah Awal/Kanak-kanak awal (0-7 tahun)
Fase ini terdiri dari: Fase as shobiy (fase menyusui dari usia 0-2 tahun),
fase thufulah (fase awal atau kanak-kanak awal yakni usia 2-7 tahun), fase
thufulah (yakni fase akhir kanak-kanak, yakni 7-14 tahun). Fase ini
merupakan momentum yang sangat penting, lantaran janin telah memasuki
fase barunya di dunia yang asing baginya. Pengaruh eksternal mulai
bersinggungan dengannya, berupa nutrisi, interaksi orang, dan jenis
pendekatan pada sang bayi.
b. Fase pra Tamyiz/kanak-kanak (2-7 tahun)
Sekitar usia 4-5 tahun, anak dapat menguasai bahasa ibu serta memiliki
sifat egosentris, usia 5 tahun baru tumbuh rasa sosialnya dan usia 7 tahun anak
mulai tumbuh dorongan belajar. Dalam membentuk diri anak pada usia ini,
Rasulullah menganjurkan dengan cara belajar sambil bermain karena dinilai
sejalan dengan tingkat perkembangan usia ini.
c. Fase tamyiz/ kanak-kanak akhir (7-10 tahun)
Fase Tamyiz/mampu membedakan (7-10 tahun). Secara istilah kata
Tamyiz adalah kekuatan daya pikir yang dengannya anak mampu menemukan
dan menetapkan beberapa makna (perkataan). Sedangkan secara tanda
Tamyiz, para ulama memberikan pendapat yang beragam tentang tanda-tanda
Tamyiz. Sebagian ada yang berpendapat bahwa indikator Mumayyiz
(seseorang yang telah Tamyiz) adalah anak mampu memahami suatu
pembicaraan dan mampu menjawab (pertanyaan) dari lawan bicaranya.
Landasan fase ini adalah adanya fase antara pasca Tamyiz hingga sebelum
baligh. Jika fase Tamyiz berakhir pada usia 10 tahun (dengan dipukul jika
tidak mau sholat dan memisahkan tempat tidurnya), maka fase ini berangkat
dari 10 tahun sampai seorang anak menjadi baligh, baik dengan
bermimpi/haid atau sudah menginjak usia 15 tahun.
5.5 Gizi Balita
Gizi dalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang
dikonsumsikan secara normal melalui proses degesti, absorbs dan transportasi,
penyimpanan, metabolism dan pengeluaran zat yang tidak digunakan untuk
mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ-organ
serta menghasilkan energy (Supriasa, 2001)

Gizi menurut islam berasal dari dari bahasa Arab “Al-Ghizzai” yang
artinya makanan dan manfaatnya untuk kesehatan. Al-Ghizzai juga dapat di
artikan dari sari makanan yang bermanfaat untuk kesehatan. Sedangkan makanan
dalam Bahasa Al-quran adalah Tha’am yaitu segala sesuatu yang amakan atau
dicicipi. Karena itu ‘minuman’ pun termasuk dalam perngertian tha’am. (Graha,
2014)

Ajaran islam mencakup seluruh aspek kehidupan, takterkecuali


masalah makan. Oleh karena itu bagi kaum muslimin, makanan disamping
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan fisik, juga berkaitan dengan ruhani,
iman dan ibadah juga dengan identitas diri, bahkan dengan perilaku. Dalam
sebuah ayat al-Qur’an Allah s.w.t berfirman (Graha, 2014)

‫ ّو‬ٞ ‫ ُد‬£َ‫ ۡي ٰطَ ۚ ِن إِنَّهۥُ لَ ُكمۡ ع‬£‫ٱلش‬


َّ ‫ت‬ ْ £‫ض َح ٰلَاٗل طَيِّبٗ ا َواَل تَتَّبِ ُع‬
ِ ‫ ٰ َو‬£ُ‫وا ُخط‬£ ‫أۡل‬ ْ ُ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ُكل‬
ِ ‫وا ِم َّما فِي ٱ َ ۡر‬
ٌ ِ‫ُّمب‬
‫ين‬
Artinya :

“ Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. Al-Baqarah (2)
: 168)

Gizi mempunyai peran yang sangat besar dalam membina dan


mempertahankan kesehatan seseorang. Sudah menjadi sebuah kewajiban bagi
setiap orang untuk memelihara kesehatannya, sebagaimana perintah yang
disabdakan oleh Nabi Muhammad saw.: “Sesungguhnya badanmu mempunyai
hak atas dirimu.” Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban bagi seseorang untuk
memelihara jasmaninya, sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
(Shihab, 2004)

kualitas makanan dan minuman yang ditetapkan Alquran adalah halal


dan tayyib. Dengan kuantitas yang proporsional, tidak berlebihan dan tidak
kekurangan, serta memiliki pengaruh yang baik dan aman, sedangkan jenis-jenis
makanan yang dianjurkan adalah pangan nabati (seperti kurma, padi-padian,
sayur-mayur, buah-buahan) dan pangan hewani (seperti daging hewan darat, ikan
laut, susu, madu). petunjuk dan penjelasan Alquran, prinsip makanan bergizi
“empat sehat lima sempurna” yang selama ini dikenal masyarakat dapat
disempurnakan menjadi “lima sehat enam sempurna” yang mengakumulasi
beberapa unsur seperti makanan pokok, sayur-mayur, lauk-pauk, buah-buahan,
susu, madu, yang halal dan tayyib. (Baihaki, 2017)
5.6 Tinjauan Islam Terhadap Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
pada Balita

Status Gizi balita sama halnya dengan menjaga kebersihan dalam


islam yang merupakan usaha preventif untuk menjaga kesehatan. Islam
menganjurkan menjaga kebersihan agar kita dapat sehat. Adanya anjuran untuk
mengetahui status gizi, maka cara untuk mendapatkan status gizi juga dianjurkan,
yaitu dengan cara mengukur berat badan dan tinggi badan. (Shihab, 2004)

Status gizi merupakan keadaan yang menggambarkan keseimbangan


zat gizi dengan kebutuhan tubuh, dimana apabila terjadi ketidakseimbangan baik
kelebihan maupun kekurangan akan menyebabkan penyakit bagi manusia. Oleh
karena itu, mengetahui status gizi merupakan hal penting yang dilakukan untuk
mengetahui kesehatan seseorang. Bagi balita status gizi akan mempengaruhi
kebhidupannya hingga dewasa dan tua karena status gizi akan menjadi tolak ukur
apakah pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan usianya. (Shihab,
2004)

Sesuai dengan kaidah fiqih dimana hukum sarana/wasilah adalah sama


degan hukum tujuan, hukum menjaga kesehatan adalah wajib begitu pula dengan
cara memperoleh kesehatan tersebut, salah satunya dengan mengetahui status
gizi balita, sehingga hukum mengetahui status gizi balita menjadi wajib karena
menjaga kesehatan hukumnnya wajib. (Baihaki, 2017)

Mengetahui status gizi seseorang sama halnya dengan menjaga


kebersihan dalam islam yang merupakan usaha preventif untuk menjaga
kesehatan. Islam menganjurkan menjaga kebersihan agar kita dapat sehat, maka
mengetahui status gizi dianjurkan menurut islam untuk dapat mengetahui bahwa
kita terhindar dari sebuah penyakit. Adanya anjuran untuk mengetahui status
gizi, maka cara untuk mendapatkan status gizi juga dianjurkan, yaitu dengan cara
mengukur berat badan dan tinggi badan. (Husin, 2014)
Faktor yang mempengaruhi status gizi anak, seperti pemenuhan
kebutuhan makanan, perawatan kesehatan anak (penyakit infeksi, penyakit
imunologi), kebersihan, keadaan rumah, perkerjaan dan pendidikan orang tua,
pola asuh orang tua. dengan mengetahui status gizi anak dapat menjadi tolak
ukur apakah orang tua telah memenuhi kewajibannya terhadap anak.

5.6.1 Faktor Makanan Halal dan Thayib


Secara etimologi makan berarti memasukkan sesuatu melalui mulut,
sedangkan makanan ialah segala sesuatu yang boleh dimakan 1. Dalam
bahasa arab makanan berasal dari kata at-ta’am ( ‫ ) اﻟﻄﻌﺎم‬dan jamaknya Al -
atimah ( ‫ ) اﻻطﯿﻤﮫ‬yang artinya makan- makanan 2. Sedangkan dalam
ensiklopedi hukum Islam makanan ialah segala sesuatu yang boleh
dimakan oleh manusia atau sesuatu yang menghilangkan lapar. (Dahlan,
1996)
Minum, secara etimologi berarti meneguk barang cair dengan
mulut, sedangkan minuman adalah segala sesuatu yang boleh
diminum.Dalam bahasa arab minuman berasal dari kata al-asyribah ( ‫اﻻﺷﺮﺑﮫ‬
) dan jamaknya al-syarb ( ‫ )اﻟﺸﺮب‬yang artinya minuman, Sedangkan dalam
ensiklopedi hukum Islam diartikan dengan jenis air atau zat cair yang bisa
diminum (Dahlan, 1996)
Prinsip pertama yang ditetapkan Islam adalah bahwa pada asalnya
segala sesuatu yang diciptakan Allah itu halal dan mubah, tidak ada yang
haram, kecuali jika ada nash (dalil) yang shahih (tidak cacat
periwayatannya) dan sharih (jelas maknanya) yang mengharamkannya.
Dalam sebuah ayat al-Qur’an Allah s.w.t berfirman

ٓ ٰ ‫ت ََو‬£‫ٱس‬ ‫أۡل‬
َّ ‫ى إِلَى‬
‫ َّو ٰىه َُّن‬£‫ َمٓا ِء فَ َس‬£‫ٱلس‬ ِ ‫ق لَ ُكم َّما فِي ٱ َ ۡر‬
ۡ ‫ ا ثُ َّم‬£ٗ‫ض َج ِميع‬ َ £َ‫هُ َو ٱلَّ ِذي َخل‬
ٖ ۚ ‫َس ۡب َع َس ٰ َم ٰ َو‬
‫يم‬ٞ ِ‫ت َوهُ َو بِ ُكلِّ َش ۡي ٍء َعل‬
Artinya :
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh
langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”(QS. Al-Baqarah (2) :
29)
Pada dasarnya semua makanan dan minuman yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan, sayur-sayuran, buah-buahan dan hewan adalah halal
kecuali yang beracun dan membahayakan nyawa manusia (Qardhawi,
1993)

Dalam konteks mencari, memperoleh serta mengkonsumsi makanan


menurut ajaran islam, manusia tidak bisa sembarangan mengkonsumsi
makanan hanya menuruti selera tanpa memperhatikan aturan-aturan dalam
mencaru, memperoleh serta mengkonsumsi makanan yang dibolehkan
dalam ajaran Islam yaitu makan yang halal dan baik (halalan thayyiba).
Kehalalan makanan sangat erat kaitannya dengan masalah hukum boleh
tidaknya makanan itu di konsumsi. Kehalalan makanan dapat ditijau dari
dua segi yaitu kandungan zatnya serta cara memporolehnya.

1. Kandungan Zatnya
Islam memperhatikan tentang makanan yang akan di konsumsi,
dengan katalain wujud makanan atau minuman itu harus bersih dari
segala najis

‫ ِر ٱهَّلل ۖ ِ فَ َم ِن‬£‫ َّل بِ ِهۦ لِغ َۡي‬£ ‫ير َو َمٓا أُ ِه‬ ۡ ۡ


ِ ‫نز‬ِ ‫ِإنَّ َما َح َّر َم َعلَ ۡي ُك ُم ٱل َم ۡيتَةَ َوٱل َّد َم َولَ ۡح َم ٱل ِخ‬
‫َّحي ٌم‬
ِ ‫ور ر‬ ٞ ُ‫اغ َواَل ع َٖاد فَٓاَل إِ ۡث َم َعلَ ۡي ۚ ِه إِ َّن ٱهَّلل َ َغف‬ ُ ۡ
ٖ َ‫ٱضط َّر غ َۡي َر ب‬
Artinya :

“ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu (memakan)


bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih)
disebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, barang siapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya,
tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang “ (QS. Al-Baqarah (2) : 173)

a. Bangkai, yang termasuk kategori bangkai adalah hewan yang


mati dengan tidak disembelih termasuk didalamnya hewan
yang mati tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan diterkam oleh
hewan buas, kecuali yang sempat kita menyembelihnya, hanya
bangkai ikan dan belalang saja yang boleh kita makan;
b. Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir,
maksudnya adalah darah yang keluar pada waktu
penyembelihan (mengalir) sedangkan darah yang tersisa setelah
penyembelihan yang ada pada daging setelah dibersihkan
dibolehkan. Dua macam darah yang dibolehkan yaitu jantung
dan limpa;
c. Babi, apapun yang berasal dari babi hukumnya haram baik
darahnya, dagingnya, maupun tulangnya
d. Binatang yang ketika disembelih menyebut selain nama Allah
2. Cara Memperolehnya
Konsumsi makanan yang diperoleh dengan cara yang tidak halal
berarti tidak halal secara spiritual akan sangat berpengaruh negatif
terhadap kehidupan spiritual seseorang. Darah yang mengalir dalam
tubuhnya menjadi sangar, sulit memperoleh ketenangan, hidupnya
menjadi beringas, tidak pernah mengenal puas, tidak pernah tahu
bersyukur, ibadah dan doanya sulit diterima oleh Tuhan. Adapun
hadis yang terkait dengan pembahasan di atas yakni sabda
Rasulullah saw :
Artinya :
Ady ra, berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah saw tentang
berburu dengan tombak. Beliau bersabda: "Jika engkau mengenakan
dengan ujungnya yang tajam makanlah; dan jika engkau
mengenakan dengan tangkainya, kemudian ia terbunuh, maka ia
adalah mati terkena pukulan dan jangan dimakan. (HR Bukhari)
Tayyib dalam bahasa Arab thayyib adalah masdar dari akar kata taba
yang terdiri dari tiga huruf yakni ta, alif dan ba yang bermakna halal,
suci, lezat, subur, memperkenankan, dan membiarkan. Menurut
kalamuddin Nurdin dalam kamus Syawarifiyyah menjelaskan kata
tayyib yakni: kebaikan, kebajikan, kemuliaan nikmat, berkah,
kehalusan. (Marjuni, 2007)

Para ahli tafsir menjelaskan kata tayyiban dalam konteks perintah


makanan menyatakan bahwa tayyiban berarti makanan yang tak
kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluarsa) atau dicampuri benda
najis. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan yang
mengandung selera bagi yang akan memakannya atau tidak
membahayakan fisik atau akalnya (shihab, 2000)

5.6.2 Faktor Pola Asuh


Islam memandang bahwa kedua orang tua memiliki tanggung jawab
terhadap pertumbuhan fisik dan perkembangan psikis anaknya bahkan
lebih dari itu membebaskan anaknya dari siksaan api neraka. Sebagaimana
firman Allah SWT :
ْ ُ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
‫ا‬£َ‫ ا َرةُ َعلَ ۡيه‬£‫ا ٱلنَّاسُ َو ۡٱل ِح َج‬££َ‫وا قُ ٓو ْا أَنفُ َس ُكمۡ َوأَ ۡهلِي ُكمۡ ن َٗارا َوقُو ُده‬
ٓ
َ‫َاد اَّل يَ ۡعصُونَ ٱهَّلل َ َمٓا أَ َم َرهُمۡ َويَ ۡف َعلُونَ َما ي ُۡؤ َمرُون‬ٞ ‫ظ ِشد‬ٞ ‫َم ٰلَئِ َكةٌ ِغاَل‬
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikatmalaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim (66) : 6)
Ayat di atas menjelaskan bahwa setiap individu termasuk orang tua
harus berusaha membebaskan diri dan keluarganya dari siksaan api neraka.
Orang tua dalam keluarga terutama ibu harus memberikan asupan makanan
terutama makanan halal dan baik sehingga anak dapat berkembang dengan
optimal serta mendidik yang sesuai dengan usianya dan tentunya mengarah
kepada pembentukan akhlak anak. Hal di atas sangat erat dengan
bagaimana pola dalam mengasuh anak. (Padjri, 2016)
Orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak sering sekali tidak
diimbangi dengan pengetahuan tentang bagaimana mendidik anak yang
dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Akibat kurangnya pengetahuan
tersebut, mereka lupa akan tanggung jawab sebagai orang tua dan mendidik
pun dengan pola yang tidak dibenarkan dalam Islam. Anak sholeh
merupakan harapan semua orang tua. Anak sholeh dan berkembang dengan
baik karena adanya perhatian orang tua terhadap asupan makanan dan pola
asuh yang benar dalam Islam. Rasulullah SAW. bersabda: (Padjrin, 2016)

Artinya :
“Anak yang shaleh adalah bunga surga” (Hadits) (Rujukan/Refferensi)
Islam memandang bahwa keluarga mempunyai peranan penting
dalam pendidikan, baik dalam lingkungan masyarakat Islam maupun non-
Islam. Karena keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama
di mana dia mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa
yang amat penting dan paling kritis dalam pendidikan anak, yaitu tahun-
tahun pertama dalam kehidupanya (usia pra-sekolah). Sebab pada masa
tersebut apa yang ditanamkan dalam diri anak akan sangat membekas.
Sebagaimana ungkapan hikmah : (Padjrin, 2016)
Artinya :
“Ibu adalah tempat belajar yang pertama”
Orang tua dalam keluarga memiliki peran dan tanggung jawab
terhadap anak. Peran dan tanggung jawab tersebut bertujuan agar supaya
anaknya dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya, mampu
bersosial, dan menjadi anak yang berkepribadian sholeh. (Padjrin, 2016)
Anak yang saleh tidak dilahirkan secara alami. Mereka memerlukan
bimbingan dan pembinaan yang terarah dan terprogram secara
berkesinambungan. Dan tanggung jawab terhadap itu semua terletak pada
kedua orang tuanya masing-masing. Bimbingan tersebut dengan tiga
prinsip, yaitu: 1) prinsip teologis; 2) prinsip filosofis; dan 3) prinsip
paedagogis, yang terintegrasi dalam suatu bentuk tanggung jawab terhadap
anak. Sejalan dengan itu prinsip dimaksud, membimbing anak pada
hakikatnya bertumpu pada tiga upaya, yaitu: memberi teladan, memelihara,
dan membiasakan anak sesuai dengan perintah. (Padjrin, 2016)
Pertama, memberi teladan. Tugas yang pertama ini orang tua
berperan sebagai suri teladan bagi anaknya. Sebelum menjadi teladan,
orang tua hendaknya memahami dan mengamalkannya terlebih dulu.
Kedua, memelihara anak. 57 Tanggung jawab ini fokus pada pemeliharaan
fisik melalui makanan dan minuman dan pengembangan potensi anak.
Makanan dan minuman harus menjadi perhatian orang tua karena untuk
kelancaran pertumbuhan fisik anak.(Padjrin, 2016)
5.6.3 Kesehatan Anak
Anak merupakan anugerah dan amanat dari Allah. Sebagai bagian
dari keluarga, tanggung jawab orangtua terhadap anaknya berlaku
semenjak anak berada dalam kandungan hingga ia memasuki usia tertentu.
Sedangkan sebagai bagian masyarakat anak wajib memperoleh pelayanan
dan perlindungan. (Shihab, 2013; Baihaki, 2017)
Tanggung jawab keluarga takkan terlepas dari tanggung jawab
orang tua sebagai unsur inti dalam keluarga. Menurut zakiyah Darajat
tanggung jawab orang tua kepada anak meliputi : memelihara dan
membesarkan, melindungi dan menjamin kesehatan, mendidik dengan
beragam pengetahuan dan keterampilan, serta pendidikan keagamaan.
(Darajat, 1996)
Salah satu masalah kesehatan yang mengancam anak-anak
Indonesia adalah gizi buruk. Setiap tahun pemerintah terus menggenjot
program untuk menurunkan angka gizi buruk agar tidak bertambah.
Berbagai program baik itu pada aspek kesehatan, pendidikan dan ekonomi
diadakan untuk mencegah terjadinya gizi buruk dari berbagai hulu.
Meskipun Indonesia telah berusaha menekan angka peningkatan kasus gizi
buruk, pada kenyataannya kasus gizi buruk tetap marak terjadi dan tidak
turun secara drastis. (Baihaki, 2017)
Persoalan gizi buruk yang terjadi di Indonesia merupakan
permasalahan yang begitu kompleks dan bersumber dari berbagai jalur.
Oleh sebab itu, mengatasi permasalahan ini memang membutuhkan waktu
yang lama juga perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Islam
sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sangat
menekankan pentingnya menjaga kesehatan dan makanan yang dikonsumsi
oleh manusia sehari-hari. Oleh karena itu, permasalahan gizi buruk juga
tidak lepas dari permasalahan yang dibicarakan dan dicarikan solusinya
dalam kajian ke-Islaman. (Baihaki, 2017)
Gizi yang baik juga berfungsi sebagai imun atau penangkal
terhadap munculnya berbagai jenis penyakit. Makanan yang dikonsumsi
oleh manusia harus dipertimbangkan kadar dan kualitas gizi yang ada di
dalamnya sehingga dapat menjadi obat sekaligus imun bagi tubuh bukan
menjadi sumber penyakit bagi tubuh. Kandungan utama yang terkandung
pada makanan adalah air, karbohidrat, protein, dan lemak. Makanan juga
mengandung unsur penting lainnya seperti vitamin, mineral, antioksidan
dan serat meskipun dalam jumlah yang kecil. Nilai gizi suatu makanan
berkaitan erat dan bergantung pada komponen-komponen tersebut, dengan
begitu akan memudahkan manusia untuk memilih makanan yang baik.
(Baihaki, 2017)

kedokteran dan Islam mempunyai pandangan yang sama mengenai hal :


………………………………………………..
…………………………………………..(Jelaskan sedikit )
Daftar Pustaka

Amrullah, Abdul Malik Abdul Karim. Tafsir Al-Azhar, ibid, hlm. 17

Awaliyah, Santi. 2008. Konsep Anak dalam al-Qur’an dan Implikasinya terhadap
Pendidikan Islam dalam Keluarga. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga. hal. 32

Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Pemikiran Islam di


Kanvas Peradaban, (Jakarta: Mizan, 2006), hal. 200

Baihaki, Egi Sukma. 2017. Gizi Buruk dalam Persepektif Islam: Respon Teologis
Terhadap Persoalan Gizi Buruk. Surakarta : Shahih. Vol 2 nomor 2.

Dahlan, Abdul Azis et. al. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru van
Hoeve Cet. ke-1, h. 1071.
Darajat, zakiyah. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara. Halaman 20
Graha, Gunawan. 2014. Pengertian Makanan dan Gizi menurut Pandangan Islam
Husin, ahmad fuadi. 2014. Bimbingan Islam untuk Hidup Muslim. Maghfirah :
Jakarta.
Marjuni, Kamaluddin Nurdin. Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern Sinonim
ArabIndonesia (Jakarta: Ciputat Press Group, 2007), h. 401
Shaleh, Abdul Rahman. 2009. Psikologi Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam.
Jakarta: Kencana page: 54

Shihab, Muhammad Quraish. 2000. Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan. Page:


148-150

Shihab, M. Q. 2004. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam


Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.

Shihab, Muhammad Quraish, Al-Lubab. 2012. Tangerang: Lentera Hati. page : 486

Shihab, M. Q. (2013). Secercah Cahaya Ilahi: Hidup bersama Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Supriasa, I.D.N, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. EGC : Jakarta

Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an & Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) Jilid 1,
(Jakarta: Widya Cahaya, 2011), hal. 495

Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an & Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) Jilid 5,
(Jakarta: Widya Cahaya, 2011), hal. 509

Padjri. 2016,. Pola Asuh Anak dalam Perspektif Pendidikan Islam.


Qardhawi, Yusuf. 1993. Halal Haram dalam Islam. Surakarta: PT. Bina Ilmu. h., 14

Anda mungkin juga menyukai