Balita adalah anak yang telah menginjak usia diatas 1 tahun atau lebih dikenal
denga pengertian usia anak dibawah 5 tahun. Seorang anak akan menjadi karunia
atau nikmat manakala orang tua berhasil mendidiknya menjadi orang baik dan
berbakti. Anak merupakan karunia terindah dan termahal yang diberikan oleh
Allah s.w.t. kepada setiap pasangan yang dikehendaki-Nya. Tidak setiap orang
mendapatkan karunia ini. Oleh karena itu, anak tidak ternilai oleh apapun. Anak
menjadi tempat orang tua mencurahkan kasih sayangnya, sehingga sudah menjadi
keharusan bagi setiap orang yang menerima karunia tersebut untuk merawat
dengan sebaik-baiknya, sebagai sebuah bentuk rasa syukur atas karunia yang telah
Allah s.w.t. berikan.
1. Zurriyah
Kata Zurriyah dalam kamus al-Munawwir diartikan sebagai anak, cucu dan
keturunan. Asal kandungan kata ini di dapat dalam empat bentuk, yaitu – ذرا
– ذرر ذري – ذرو, yang berarti makhluk yang keluar dari tulang iga ( sulb )
Nabi Adam a.s.
2. Ibn
Kata Ibn arti anak.21 Namun bisa juga diartikan “orang” seperti pada istilah
ibn sabil yang bermakna orang yang sedang menempuh perjalanan. Dari asal
kata yang sama, maknanya bisa berubah. Misalnya, bermakna “bangunan”
dari kata bina.
3. walad
kata walad mengandung aksentuasi makna bahwa anak tersebut dilahirkan
oleh orangtuanya, sebab kata walad terambil dari kata walada-yalidu-wilâdah
yang berarti melahirkan. Oleh sebab itu, disimpulkan bahwa penyebutan
anak dengan menggunakan term walad menunjukkan adanya hubungan
nasab antara anak dengan orangtuanya.
4. Aqrab
Kata ini memang tidak langsung menunjuk pada makna anak. Namun
demikian, ia masih memiliki kedekatan makna dan berhubungan erat dengan
anak, cucu, dan bentuk-bentuk keturunan ke bawah.
1. Konotasi Positif
a. Anak sebagai perhiasan hidup di dunia
Seorang anak merupakan karunia terindah dan termahal yang
diberikan oleh Allah s.w.t. kepada setiap pasangan yang dikehendaki-Nya.
Anak tidak ternilai oleh apapun. Anak menjadi tempat orang tua
mencurahkan kasih sayangnya. Anak juga merupakan perhiasan dalam
kehidupan berumah tangga. Hal ini telah dijelaskan Allah s.w.t melalui
firman-Nya
Artinya :
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan
kebajikan yang terus menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi
Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS : Al-Kahfi (18) :
46)
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Kesemuanya
tidak abadi dan bisa memperdaya manusia, tetapi amalan kebajikan yang
terus menerus karena dilakukan demi karena Allah s.w.t. lagi saleh, yakni
sesuai dengan tuntunan agama dan bermanfaat adalah lebih baik untuk
kamu semua pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik dan lebih dapat
diandalkan untuk menjadi harapan.
يمٞ َة َوأَ َّن ٱهَّلل َ ِعن َد ٓۥهُ أَ ۡج ٌر َع ِظٞ ٱعلَ ُم ٓو ْا أَنَّ َمٓا أَمۡ ٰ َولُ ُكمۡ َوأَ ۡو ٰلَ ُد ُكمۡ فِ ۡتن
ۡ َو
Artinya :
“Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai
cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” (QS. Al-
Anfal (8) : 28)
Harta benda dan anak boleh jadi mengakibatkan seseorang tidak bangkit
memenuhi panggilan tersebut, karena takut atau kikir, sedang kehidupan
yang diserukan Rasulullah s.a.w. adalah kehidupan yang mulia, yang
menuntut tanggung jawab dan pengorbanan. Karena itu al-Qur’an
mengobati sifat tamak itu dengan mengingatkan bahaya daya tarik harta
benda dan anak-anak.
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istriistrimu
dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah
kamu terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta
ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.” (QS. Al-Tagabun (64) : 14)
Seorang anak yang telah terpengaruh kepada perbuatan maksiat, seperti
minum minuman beralkohol, narkoba, judi, zina, menjadi sahabat bagi
setan dan musuh bagi orang tua yang beriman. Bila hal itu terjadi pada
anak, maka ia menjadi sumber malapetaka bagi sebuah keluarga dan
masyarakat. Sehingga anak bukan lagi mendatangkan kebahagiaan, tetapi
sumber penderitaan bagi orang tuanya.
Gizi menurut islam berasal dari dari bahasa Arab “Al-Ghizzai” yang
artinya makanan dan manfaatnya untuk kesehatan. Al-Ghizzai juga dapat di
artikan dari sari makanan yang bermanfaat untuk kesehatan. Sedangkan makanan
dalam Bahasa Al-quran adalah Tha’am yaitu segala sesuatu yang amakan atau
dicicipi. Karena itu ‘minuman’ pun termasuk dalam perngertian tha’am. (Graha,
2014)
“ Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. Al-Baqarah (2)
: 168)
ٓ ٰ ت ََو£ٱس أۡل
َّ ى إِلَى
َّو ٰىه َُّن£ َمٓا ِء فَ َس£ٱلس ِ ق لَ ُكم َّما فِي ٱ َ ۡر
ۡ ا ثُ َّم£ٗض َج ِميع َ £َهُ َو ٱلَّ ِذي َخل
ٖ ۚ َس ۡب َع َس ٰ َم ٰ َو
يمٞ ِت َوهُ َو بِ ُكلِّ َش ۡي ٍء َعل
Artinya :
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh
langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”(QS. Al-Baqarah (2) :
29)
Pada dasarnya semua makanan dan minuman yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan, sayur-sayuran, buah-buahan dan hewan adalah halal
kecuali yang beracun dan membahayakan nyawa manusia (Qardhawi,
1993)
1. Kandungan Zatnya
Islam memperhatikan tentang makanan yang akan di konsumsi,
dengan katalain wujud makanan atau minuman itu harus bersih dari
segala najis
Artinya :
“Anak yang shaleh adalah bunga surga” (Hadits) (Rujukan/Refferensi)
Islam memandang bahwa keluarga mempunyai peranan penting
dalam pendidikan, baik dalam lingkungan masyarakat Islam maupun non-
Islam. Karena keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama
di mana dia mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa
yang amat penting dan paling kritis dalam pendidikan anak, yaitu tahun-
tahun pertama dalam kehidupanya (usia pra-sekolah). Sebab pada masa
tersebut apa yang ditanamkan dalam diri anak akan sangat membekas.
Sebagaimana ungkapan hikmah : (Padjrin, 2016)
Artinya :
“Ibu adalah tempat belajar yang pertama”
Orang tua dalam keluarga memiliki peran dan tanggung jawab
terhadap anak. Peran dan tanggung jawab tersebut bertujuan agar supaya
anaknya dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya, mampu
bersosial, dan menjadi anak yang berkepribadian sholeh. (Padjrin, 2016)
Anak yang saleh tidak dilahirkan secara alami. Mereka memerlukan
bimbingan dan pembinaan yang terarah dan terprogram secara
berkesinambungan. Dan tanggung jawab terhadap itu semua terletak pada
kedua orang tuanya masing-masing. Bimbingan tersebut dengan tiga
prinsip, yaitu: 1) prinsip teologis; 2) prinsip filosofis; dan 3) prinsip
paedagogis, yang terintegrasi dalam suatu bentuk tanggung jawab terhadap
anak. Sejalan dengan itu prinsip dimaksud, membimbing anak pada
hakikatnya bertumpu pada tiga upaya, yaitu: memberi teladan, memelihara,
dan membiasakan anak sesuai dengan perintah. (Padjrin, 2016)
Pertama, memberi teladan. Tugas yang pertama ini orang tua
berperan sebagai suri teladan bagi anaknya. Sebelum menjadi teladan,
orang tua hendaknya memahami dan mengamalkannya terlebih dulu.
Kedua, memelihara anak. 57 Tanggung jawab ini fokus pada pemeliharaan
fisik melalui makanan dan minuman dan pengembangan potensi anak.
Makanan dan minuman harus menjadi perhatian orang tua karena untuk
kelancaran pertumbuhan fisik anak.(Padjrin, 2016)
5.6.3 Kesehatan Anak
Anak merupakan anugerah dan amanat dari Allah. Sebagai bagian
dari keluarga, tanggung jawab orangtua terhadap anaknya berlaku
semenjak anak berada dalam kandungan hingga ia memasuki usia tertentu.
Sedangkan sebagai bagian masyarakat anak wajib memperoleh pelayanan
dan perlindungan. (Shihab, 2013; Baihaki, 2017)
Tanggung jawab keluarga takkan terlepas dari tanggung jawab
orang tua sebagai unsur inti dalam keluarga. Menurut zakiyah Darajat
tanggung jawab orang tua kepada anak meliputi : memelihara dan
membesarkan, melindungi dan menjamin kesehatan, mendidik dengan
beragam pengetahuan dan keterampilan, serta pendidikan keagamaan.
(Darajat, 1996)
Salah satu masalah kesehatan yang mengancam anak-anak
Indonesia adalah gizi buruk. Setiap tahun pemerintah terus menggenjot
program untuk menurunkan angka gizi buruk agar tidak bertambah.
Berbagai program baik itu pada aspek kesehatan, pendidikan dan ekonomi
diadakan untuk mencegah terjadinya gizi buruk dari berbagai hulu.
Meskipun Indonesia telah berusaha menekan angka peningkatan kasus gizi
buruk, pada kenyataannya kasus gizi buruk tetap marak terjadi dan tidak
turun secara drastis. (Baihaki, 2017)
Persoalan gizi buruk yang terjadi di Indonesia merupakan
permasalahan yang begitu kompleks dan bersumber dari berbagai jalur.
Oleh sebab itu, mengatasi permasalahan ini memang membutuhkan waktu
yang lama juga perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Islam
sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sangat
menekankan pentingnya menjaga kesehatan dan makanan yang dikonsumsi
oleh manusia sehari-hari. Oleh karena itu, permasalahan gizi buruk juga
tidak lepas dari permasalahan yang dibicarakan dan dicarikan solusinya
dalam kajian ke-Islaman. (Baihaki, 2017)
Gizi yang baik juga berfungsi sebagai imun atau penangkal
terhadap munculnya berbagai jenis penyakit. Makanan yang dikonsumsi
oleh manusia harus dipertimbangkan kadar dan kualitas gizi yang ada di
dalamnya sehingga dapat menjadi obat sekaligus imun bagi tubuh bukan
menjadi sumber penyakit bagi tubuh. Kandungan utama yang terkandung
pada makanan adalah air, karbohidrat, protein, dan lemak. Makanan juga
mengandung unsur penting lainnya seperti vitamin, mineral, antioksidan
dan serat meskipun dalam jumlah yang kecil. Nilai gizi suatu makanan
berkaitan erat dan bergantung pada komponen-komponen tersebut, dengan
begitu akan memudahkan manusia untuk memilih makanan yang baik.
(Baihaki, 2017)
Awaliyah, Santi. 2008. Konsep Anak dalam al-Qur’an dan Implikasinya terhadap
Pendidikan Islam dalam Keluarga. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga. hal. 32
Baihaki, Egi Sukma. 2017. Gizi Buruk dalam Persepektif Islam: Respon Teologis
Terhadap Persoalan Gizi Buruk. Surakarta : Shahih. Vol 2 nomor 2.
Dahlan, Abdul Azis et. al. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru van
Hoeve Cet. ke-1, h. 1071.
Darajat, zakiyah. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara. Halaman 20
Graha, Gunawan. 2014. Pengertian Makanan dan Gizi menurut Pandangan Islam
Husin, ahmad fuadi. 2014. Bimbingan Islam untuk Hidup Muslim. Maghfirah :
Jakarta.
Marjuni, Kamaluddin Nurdin. Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern Sinonim
ArabIndonesia (Jakarta: Ciputat Press Group, 2007), h. 401
Shaleh, Abdul Rahman. 2009. Psikologi Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam.
Jakarta: Kencana page: 54
Shihab, Muhammad Quraish, Al-Lubab. 2012. Tangerang: Lentera Hati. page : 486
Shihab, M. Q. (2013). Secercah Cahaya Ilahi: Hidup bersama Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Supriasa, I.D.N, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. EGC : Jakarta
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an & Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) Jilid 1,
(Jakarta: Widya Cahaya, 2011), hal. 495
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an & Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) Jilid 5,
(Jakarta: Widya Cahaya, 2011), hal. 509