Anda di halaman 1dari 4

BAB 6.

LEPROSTATIKA

BAB
6 LEPROSTATIKA

L epra atau kusta (dari Bahasa Sansekerta) adalah suatu penyakit infeksi kronis yang merusak terutama jaringan
terutama jaringan saraf dan kulit. Penyebabnya Mycobacterium leprae, ditemukan oleh dokter Norwegia, yaitu
Hansen (1873, wafat 1912). Maka, penyakit ini juga disebut penyakit Hansen. Basil lepra mirip sifatnya dengan
basil tbc, yakni sangat ulet karena banyak mengandung lilin (wax) yang sukar ditembus obat, tahan-asam, dengan
pertumbuhannya juga lambat sekali.
Penularannya pada umumnya terjadi dalam bentuk lepra lepromateus
pada usia kanak-kanak melalui infeksi-tetes di saluran pernafasan (batuk,
bersin), dan terutama melalui kontak yang erat dan lama. Khususnya
terjangkit pada orang-orang yang sistem-imunnya tidak aktif atau lemah
(immunodeficient) dan peka sekali untuk penularan. Penelitian baru
menunjukkan bahwa 5-6% dari semua penduduk di suatu daerah kusta telah
terinfeksi Mycobacter. Hal ini dapat mudah ditentukan dengan dipstick,
Gambar 6.1. Mycobacterium leprae
suatu batang kecil dengan kapas yang dimasukkan ke dalam liang hidung
dan lalu diperiksa di laboratorium untuk mengetahui keberadaan basil kusta. Syukurlah bahwa kebanyakan orang yang
bereaksi positif tidak menderita penyakit kusta, karena diketahui bahwa hanya 5-10% dari penduduk memiliki sistem imun
lemah. Berhubung masa inkubasinya yang panjang, rata-rata 5-6 tahun, bahkan adakalanya sampai 10 tahun lebih, penyakit
ini baru diketahui dengan pasti setelah 5-6 tahun. Hal ini berarti meskipun pada dasarnya kusta adalah penyakit yang
memiliki derajat penularan rendah, namun daya menularkannya sangat besar.

PERSEBARAN
Pada tahun-tahun terakhir, insidensi kusta sedunia, yaitu jumlah kasus baru setiap tahun, telah menurun secara
spektakuler. Penurunan telah mulai di tahun 1980-an saat WHO menyelenggarakan terapi kombinasi (Multidrug Therapy,
MDT) dari tiga obat, yang dalam 2 tahun dapat menyembuhkan kusta secara tuntas. Sejak itu, jumlah pasien keseluruhan
memang menurun drastis, tetapi sebaliknya jumlah penderita baru meningkat. Pada tahun 1996, jumlah penderita ditaksir
lebih 1,4 juta. WHO pada tahun 1991 telah mengeluarkan resolusi untuk menghapus lepra dari dunia pada tahun 2000.
Eliminasi didefinisikan sebagai terdapatnya kurang dari satu pasien per 10.000 penduduk di suatu kawasan. Masalah yang
memprihatikan adalah walaupun prevalensi (jumlah pasien yang sedang diobati) menurun drastis, namun insidensinya tidak
menurun, melainkan terlihat meningkat. Sayang sekali target WHO tersebut tidak terwujud, karena ternyata terlalu optimistis
dan ambisius.
Prevalensi. Kebanyakan penderita kusta terdapat di Asia Tenggara, Amerika selatan, dan Afrika. Jumlah pasien
terbesar terdapat di India (950.000), disusul Brasil (173.500) dan Bangladesh (136.000). Di Indonesia resminya terdapat
30.000-35.000 penderita kusta, tetapi angka sebenarnya diperkirakan jauh lebih tinggi. Sebagian dari penderita diobati di
sejumlah rumah sakit (leproseri) yang diawasi oleh lembaga kusta DepKes. Begitu juga di perkampungan kusta tersendiri
seperti Sumberglagah di Jawa Timur, yang letaknya dekat gunung Bromo. Di Jawa Timur, pada tahun 1998 telah diregistrasi
6.000 kasus baru, yakni ca 2 per 10.000 penduduk. Negara-negara lain dengan jumlah penderita lepra yang cukup tinggi
adaah Myanmar (50.000), Nigeria dan Zaire (masing-masing 30.000), Sudan (25.000), Nepal (24.500), dan Filipina (20.000).
Di negara Barat, lepra praktis sudah diberantas sama sekali, mungkin karena ketahanannya terdapat basil lepra lebih
kuat berkat gizi dan keadaan hidup yang lebih baik. Akan tetapi, bahkan di AS masih terdapat pasien kusta, misalnya 500
pasien di suatu klinik Los Angeles dengan 30 pasien baru setiap tahunnya.

BENTUK-BENTUK LEPRA
Lazimnya kusta dibagi dalam 3 bentuk dengan sifat-sifat khusus, yaitu:
a. Lepra tuberkuloid (LT), juga disebut lepra paucibaciler, adalah bentuk terlokalisasi dan yang paling sering terjadi, ca
75% dari semua penderita, tidak bersifat menular dan agak mudah disembuhkan. Pasien LT masih memiliki daya-tangkis
imunologi yang agak baik. Gejala pertama berupa noda-noda pucat di kulit yang hilang-rasa dan penebalan saraf-saraf
yang nyeri di berbagai tempat di tubuh, biasanya sangat nyata di cuping telinga, muka, dan kaki-tangan. Bila tidak

MG – Farmakologi Dasar Prodi D-3 Farmasi STIKes Medan - 2021 67


BAB 6. LEPROSTATIKA

diobati, saraf-saraf tersebut akan dirusak, menjadi hilang rasa, dan mudah terluka. Karena luka-luka ini tidak dirasakan
oleh penderita, biasanya luka menjadi borok serius dengan merusak jaringan. Akibatnya adalah cacat hebat sekunder,
terutama di telapak kaki dan jeriji tangan yang akhirnya menjadi buntung. Basil lepra hanya dapat dideteksi dalam jumlah
kecil (Lat. pauci- = kecil) pada luka-luka LT.
b. Lepra lepromateus (LL), juga disebut lepra multibacillair, adalah bentuk tersebar, yang bersifat sangat menular, lebih
sukar dan lebih lama disembuhkan. Bentuk ini bercirikan benjol kemerah-merahan kecil (noduli) yang penuh dengan
basil (L. multi-), dengan hampir semua saraf perifer terkena infeksi. Lebih sering timbul gejala berupa demam, anemia,
dan turunnya berat badan. Lagi pula dapat timbul deformasi akibat infiltrat di muka, kelumpuhan urat saraf muka
(facialis paresis), dan mutilasi hidung karena keruntuhan tulang rawan, yang menyebabkan pasien “berparas singa”.
Kelumpuhan dan kebutaan sering kali terjadi pada kasus ini. Kerusakan saraf terjadi lebih lambat dibandingkan pada LT.
Bila tidak diobati, selain saraf juga organ dalam akan dirusak.
c. Lepra borderline (LB) adalah kombinasi dari LT dan LL yang dapat dibagi lagi dalam 3 bentuk, tergantung dari cinya
masing-masing.

Loss of Hypopigmented Saddle-nose Deformity Borderline Tuberculoid Arm Nodules in Tuberculoid Lesion
Eyebrows/Eyelashes Macule in Leprosy Skin Lesion Lepromatous
Tuberculoid Leprosy Leprosy

Leprosy: ulcerated foot Disfigurement on hands in leprosy Active, Neglected Nodulous Hypopigmented Macule in
Lepromatous Leprosy Lesions Tuberculoid Leprosy
on Face
Gambar 6.2. Bentuk-bentuk lepra

Diagnosa
Perkiraan terjangkitnya penyakit lepra harus diwaspadai bila:
 timbul bercak-bercak pada kulit yang hilang warna pigmennya dan hilang perasaan terhadap, misalnya, tekanan dan suhu
 penebalan atau pekanya urat saraf: dan
 terdapatnya basil tahan-asam dari apus kulit atau dari selaput lendir hidung yang tidak dapat dibiakkan secara biasa.
Diagnosa definitif dicapai dengan membiakkan secara khas basil-basil ini pada telapak kaki tikus dengan hasil positif
.
Reaksi-reaksi Lepra
Kusta bercirikan periode lama dengan gejala penyakit berkurang (remisi), yang diselingi rentang waktu di mana
penyakit menjadi aktif lagi. Reaksi lepra adalah reaksi imunologi serius terhadap Mycobacterium leprae yang terjadi selama
pengobatan, jadi bukan disebabkan oleh obat lepra
Dapat dibedakan dua tipe reaksi lepra, yaitu:
a. Tipe I (reaksi kebalikan = “reversal”) menimbulkan exacerbasi mendadak dari luka-luka kulit dan saraf yang
meradang dan membengkak, terutama terjadi pada bentuk borderline dari LT dan LL. Penyebabnya adalah suatu reaksi
imun seluler (oleh limfo-T) terhadap antigen basil lepra.
b. Tipe II (erythema nodosum leprosum, ENL) terjadi hanya pada LL sebagai reaksi imun humoral (dari antibodi) terhadap
antigen basil lepra. Kompleks imun diendapkan pada endotel pembuluh dan saraf kulit, yang berakibat bertambahnya
permeabilitas dinding pembuluh dan berkurangnya oksigen di jaringan. Gejalanya berupa demam tinggi, noduli dengan
ruam merah dan radang saraf.

Bila terjadi reaksi lepra tersebut, terapi tidak boleh dihentikan. Keluhan ringan (tipe 1) dapat diatasi dengan
analgetika dan zat-zat anti radang, yang lebih serius, (tipe II) dengan imunosupresiva, seperti prednison dan talidomida.

MG – Farmakologi Dasar Prodi D-3 Farmasi STIKes Medan - 2021 68


BAB 6. LEPROSTATIKA

Talidomida (Synovir) bekerja antara lain sedatif, anti-radang, dan imunosupresif (anti-TNF) dengan jalan
mencegah produksi berlebihan dari cytokin TNF-alfa (Tumor Necrosis Factor), yang memegang peranan pada reaksi lepra.
Talidomida, yang setelah tragedi Softenon di tahun 1960-an dilarang peredarannya di seluruh dunia, sejak akhir 1997
diperbolehkan penjualannya lagi oleh FDA (USA) untuk indikasi ini (erythema nodosum leprosum). Tetapi penggunaannya
yang agak sembarangan di Amerika Selatan menyebabkan kembali terlahirnya bayi-bayi dengan kaki-tangan cacat.

PENCEGAHAN
Tes lepromin digunakan untuk menetapkan apakah seseorang memiliki daya-tangkis yang cukup terhadap bentuk
LL. Tes diberikan sebagai suatu injeksi intrakutan dari basil lepra mati. Hasil negatif berarti orang tersebut memiliki sistem-
imun lemah dan sangat peka untuk infeksi dengan basil lepra. Mereka dengan vaksinasi BCG dapat dijadikan lepromin-
positif. Pasien LL selalu memberikan hasil negatif, sedangkan pasien LTdengan imun respons agak normal memberikan
hasil positif.
Vaksinasi dengan vaksin BCG memberikan perlindungan yang cukup baik terhadap infeksi bentuk LL. Khasiat ini
telah dipertegas pada penelitian besar-besaran di Malawi pada tahun 1996.

PENGOBATAN
Sejak dahulu, obat satu-satunya terhadap kusta adalah minyak kaulmogra, yang sering kali efektif untuk meredakan
gejala tanpa menyembuhkan penyakit. Penelitian akan obat-obat yang lebih baik dan bekerja kausal menemui banyak
kesulitan, karena basil lepra tidak dapat dikembangbiakkan in vitro. Baru pada tahun 1962 penelitian berhasil menularkan
lepra pada binatang percobaan (telapak kai tikus) dan kemudian pada binatang armadillo (1971). Di tahun 1975, ditemukan
bahwa Mycobacterium leprae bisa dibiakkan jika pada persemaian dibubuhi hyaluronic acid.
Dapson diintroduksi pada tahun 1948 dan menimbulkan revolusi pada terapi lepra. Obat ini mampu menghentikan
pertumbuhan basil lepra, yang kemudian - walaupun lama - dapat dimusnahkan oleh sistem-tangkis tubuh sendiri. Dengan
sendirinya, tindakan biasa untuk mencegah penularan pada keluarganya harus tetap ditaati.
Kemudian ditemukan obat-obat lepra lain dengan kerja bakterisid, anatara lain rifampisin (1965) dan klofazimin
(1967). Meskipun harga obat ini jauh lebih mahal dari pada dapson, namun penyembuhan berlangsung lebih cepat dan
efektif. Dapson dan rifampisin dapat dengan cepat menimbulkan resistensi. Guna mengurangi resiko resistensi obat-obat
tersebut kini tidak dipergunakan lagi sebagai monoterapi, melainkan dalam kombinasi dari 3 obat (Multidrug therapy).

Multidrug therapy (MDT) yang dianjurkan WHO sebagai terapi pilihan pertama adalah:
 Lepra tuberkuloid: dapson 100 mg 1 kali sehari dan rifampin 600 mg 1 kali sebulan selama 6 bulan.
 Lepra lepromatosus: dapson 100 mg 1 kali sehari, rifampin 600 mg 1 kali sebulan, dan klofazimin 50 mg 1 kali sehari +
300 mg 1 kali sebulan selama 2 tahun (dan maksimal 3 tahun).

WHO menganggap penderita yang telah menyelesaikan kur dan tidak usah minum obat lagi sebagai “sembuh”. Akan
tetapi, pasien demikian perlu dipantau selama 8-10 tahun untuk mewaspadai timbulnya residif.

Lamanya pengobatan. Dengan MDT, gejala kulit dan luka akan sembuh dalam beberapa bulan. Tetapi, kuman
masih tetap berada dalam selaput lendir, kulit, dan syaraf. Maka, terapi harus dilanjutkan lama sekali sampai lenyap
seluruhnya dari jaringan tersebut, yaitu 6 bulan untuk LT dan 2-3 tahun untuk LL.

Wanita hamil dan laktasi. Dari dapson dan klofazimin belum terdapat cukup data mengenai keamanannya untuk
janin. Obat-obat ini juga mencapai air susu ibu, maka selama terapi tidak dianjurkan menyusui bayi. Rifampisin bila
digunakan selama minggu terakhir kehamilan dapat menimbulkan perdarahan pada ibu dan anak. Untuk menghindarinya
diberikan vitamin K pada kedua-nya. Penggunaan rifampisin selama laktasi diperbolehkan, walaupun masuk dalam air susu
ibu.

Rehabilitasi Sosial
Karena banyak pasien kusta menderita cacat di muka atau mutilasi lain pada tubuhnya, maka hal ini akan membawa
stigma bagi dirinya dan seumur hidup akan dianggap sebagai pasien lepra. Mereka dikucilkan dari masyarakat, dijauhi dari
pergaulan sehari-hari, dan terpaksa menjalani penghidupan terisolasi. Oleh karenanya setelah penyembuhan adalah penting
sekali untuk menjalani psikoterapi guna memungkinkan rehabilitasi sosialnya.

MG – Farmakologi Dasar Prodi D-3 Farmasi STIKes Medan - 2021 69


BAB 6. LEPROSTATIKA

ZAT-ZAT TERSENDIRI
1. Dapson: diaminodifenilsulfon, DDS.
Dapson termasuk kelompok sulfon dengan rumus bangun, aktivitas antimikroba dan
mekanisme kerja yang lebih kurang sama dengan sulfonamida. Khasiatnya lebih kurang
10 kali lebih kuat dan juga lebih toksis.
Kerja leprostatisnya kuat berdasarkan persaingan subtrat dengan PABA serta pencegahan pembentukan folat dan
DNA basil. Aktivitasnya ditiadakan oleh turunan PABA. Digunakan pada lepra, tbc, dan dermatitis herpetiformis, juga
sebagai profilaksis terhadap malaria (bersama pirimetamin). Penggunaannya selalu dalam kombinasi dengan obat-obat
lain karena monoterapi dengan cepat menimbulkan resistensi.
Resorpsi dari usus hampir lengkap dengan kadar darah puncak dalam 1-3 jam. PP-nya 70%, plasma-t 1/2-nya rata-rata 28
jam (10-50) jam. Di dalam hati, zat ini mengalami siklus enterohepatik dan terjadi asetilasi menjadi metabolit inaktif.
Ekskresinya berlangsung 20% melalui kemih dan sebagian kecil lewat tinja.
Efek sampingnya jarang terjadi pada dosis biasa, antara lain sakit kepala, mual, muntah, sukar tidur, dan tachycardia.
Pada dosis tinggi dapat terjadi kelainan darah, antara lain hemolysis dan methemoglobinemia.
Dosis: lepra 1 dd 100 mg, maksimum 200 mg, anak-anak 1 kali sehari 1-1,5 mg /kg. Pada dermatitis h. 3-4 dd 50 mg,
maksimum 300 mg/hari.
2. Rifampisin: Rifampin, Rifadin, Rimactane.
Antibiotikum ini dari kelompok rifamisin berkhasiat leprosida berdasarkan
penghambatan enzim kuman RNA-polymerase. Kerjanya lebih cepat dan efektif
daripada dapson. Dalam waktu 3-4 minggu, bentuk LL yang ganas sudah menjadi
tidak bersifat menular lagi. Resistensi dapat timbul dalam waktu singkat, sehingga
selalu digunakan bersama obat lain, terutama pada lepra dan tbc. Kemih berwarna
merah muda. Interaksi. Akibat induk enzim rifampisin dapat mengurangi efek
estrogen (pil antihamil), fenitoin, siklosporin, dan turunan kumarin, mungkin juga
kortikosteroida, kinidin, dan metadon. INH dan halotan meningkatkan risikonya akan
toksisitas hati. Dosis: umumnya 1 dd 600 mg a.c., atau menurut WHO 1 kali sebulan.
3. Klofazimin: Lamprene
Derivat fenazin ini (1967) juga memiliki khasiat bakterisida, berdasarkan pengikatan
pada DNA sehingga fungsinya diblokir. Kerjanya lambat dan efeknya baru nyata
sesudah lebih kurang 2 bulan. Basil-basil di dalam mukosa dan kulit dimusnahkan,
kecuali di tempat yang sulit dicapai, seperti dalam saraf dan otot, yang memerlukan
waktu lebih lama. Begitu pula untuk mengeluarkan seluruh basil dari jaringan. Di
samping itu, klofazimin juga berkhasiat antiradang dan khusus digunakan pada
bentuk LL dan terhadap benjolan (ENL). Lagi pula zat ini digunakan pada tuberkulosa
yang multiresisten dan pada infeksi dengan Mycobacterium avium (MAI) pada pasien
AIDS.
Resorpsinya dari usus lambat dan kurang baik (50%), kadar puncak darah baru dicapai setelah 8-12 jam. Zat ini bersifat
lifofil kuat, ditimbun dalam jarinagan lemak dan makrofag dari sistem tangkis untuk kemudian dilepaskan lagi secara
berangsur-angsur. Plasma t1/2-nya lama sekali, ca 70 hari, maka dapat ditakarkan secara intermiten. Ekskresinya
berlangsung terutama lewat tinja. Efek samping terpentingnya berupa pewarnaan merah yang reversibel dari kemih,
keringat, air mata dan selaput mata, ludah dan tinja. Gangguan lambung-usus biasanya baru terjadi sesudah 6 bulan.
Lebih serius adalah pengendapan kristal klofazimin pada dinding usus dan di cairan mata pada dosis tinggi yang
diperlukan pada ENL, sehingga penggunaannya lebih dari 3 bulan tidak dianjurkan.
Dosis: lepra lepromateus bersama dapson dan rifampisin: 3 kali seminggu 100 mg + 1 kali sebulan 300 mg d.c . selama
minimal 2 tahun atau sampai pembiakan apus kulit menjadi negatif. Pada ENL: 2-3 dd 100 mg selama maksimun 3 bulan.
Infeksi basil tbc multiresisten atau M. Avium: 2-3 dd 100 mg bersama 2-3 obat-obat tbc lain.

4. Minyak kaulmogra: Oleum hydnocarpi. Minyak nabati ini sudah dianggap obsolet.

MG – Farmakologi Dasar Prodi D-3 Farmasi STIKes Medan - 2021 70

Anda mungkin juga menyukai