Anda di halaman 1dari 7

BAB 5.

TUBERKULOSTATIKA

BAB
5 TUBERKULOSTATIKA

T uberkulosis, singkatnya TBC, adalah suatu penyakit menular yang paling sering (sekitar 80%) terjadi di paru-
paru. Penyebabnya adalah suatu basil Gram-positif tahan-asam dengan pertumbuhan sangat lamban, yakni
Mycobacterium tuberculosis (dr. Robert Koch, 1882).
Gejala TBC antara lain batuk kronis, demam, berkeringat waktu malam, keluhan pernapasan, perasaan
letih, malaise, hilang nafsu makan, turunnya berat badan, dan rasa nyeri di bagian dada. Dahak penderita
berupa lendir (mucoid), purulent, atau mengandung darah.

Gambar 5.1. Mycobacterium tuberculosis

* Infeksi primer.
Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernapasan, di dalam gelembung paru (alveoli) berlangsung reaksi
peradangan setempat dengan timbulnya benjolan-benjolan kecil (tuberkel). Sering kali sistem-tangkis tubuh yang sehat dapat
memberantas basil dan caranya adalah menyelubunginya dengan jaringan pengikat. Infeksi primer ini lazimnya menjadi
abses “terselubung” (incapsulated) dan berlangsung tanpa gejala, hanya jarang disertai batuk dan napas berbunyi.
Akan tetapi, pada orang-orang dengan sistem-imun yang lemah (anak-anak, manula, pasien AIDS) dapat timbul
radang paru hebat. Basil TBC memperbanyak diri di dalam makrofag dan benjolan-benjolan bergabung menjadi infiltrat
yang akhirnya menimbulkan rongga (caverna) di paru-paru. Bila kemudian terjadi hubungan antara paru-paru dan cabang
bronchi, maka terjadilah TBC terbuka (tuberculosis cavernosus) dengan adanya basil di dahak (sputum). TBC terbuka ini
berbahaya sekali. Walaupun hanya bercirikan batuk kronis, tetapi bersifat sangat menular. Pasien dengan kondisi seperti
itu merupakan sumber merajalelanya TBC dengan mendadak di sekelompok masyarakat. Hal ini terjadi hanya lebih kurang
10% dari semua infeksi.
Infeksi dapat pula menyebar melalui darah dan limfa ke organ lain, antara lain ginjal, tulang, dan pada anak-
anak ke otak dengan menimbulkan radang selaput otak (tuberculous meningitis). Di organ-organ ini timbul abses bernanah
atau pertumbuhan liar dari jaringan pengikat yang selalu disertai dengan pembesaran simpul limfe. Tanpa pengobatan
akhirnya dapat terjadi kerusakan hebat dan berakhir fatal.

* Reaktivasi.
Di samping infeksi primer, penyakit TBC pada orang dewasa juga dapat ditimbulkan oleh proses reaktivasi dari
penyakit lama. Reaktivasi demikian terutama dapat timbul bila daya-tangkis tubuh menurun, misalnya pada manula,
pengidap-HIV, dan pasien yang menjalankan terapi kortikosteroida atau imunosupresiva.

Mycobacteria lain.
Pengidap AIDS kini semakin sering dihinggapi infeksi dengan berbagai jenis Mycobacteria lain (“atipis”, tidak
khas), antara lain Mycobacterium avium intracellulare. MAI ini terdapat di air dan tanah. Mikroorganisme ini bersifat
resisten terhadap obat-obat TBC biasa, sehingga menjadi masalah besar pada terapi AIDS. Infeksi MAI tidak dapat ditulari
dari manusia ke manusia. Penularan Mycobacterium bovin (= sapi) melalui minum susu dari susu sapi yang menderita TBC
kelenjar susu, meskipun jarang sekali terjadi. Infeksi demikian dapat dihindari dengan mempasteurisasikan atau mendidihkan
susu.

PERSEBARAN
Penyakit TBC tersebar di seluruh dunia dengan banyak kasus baru (insidensi) ca 7 juta per tahun. TBC merupakan
penyakit infeksi yang sangat mematikan dan penyebab kematian nomor dua setelah penyakit jantung. Prevalensinya sangat
besar di negara-negara Asia dan Afrika, di mana 60-80% dari anak-anak di bawah usia 14 tahun sudah terinfeksi.
Misalnya, Filipina dengan prevalensi TBC 0,40%; artinya, 40 orang di antara 10.000 orang mengidap TBC positif.
Di indonesia dengan prevalensi TBC positif 0,22% (laporan Organisasi Kesehatan Dunia WHO 1998), penyakit ini
merupakan salah satu penyakit rakyat penting, yang setiap tahun mengambil banyak korban. Jumlah penderita di Indonesia
sebanyak 583.000 orang menduduki peringkat ketiga setelah Cina dan India. (2 dan 1,5 juta) dengan angka kematian sebesar

MG – Farmakologi Dasar Prodi D-3 Farmasi STIKes Indah Medan - 2021 60


BAB 5. TUBERKULOSTATIKA

140.000 per tahun dan kasus baru 262.000 per tahun (Berita DepKes R.I. PPM & PL 23 Maret 2001). Kawasan Indonesia
Timur merupakan daerah yang banyak penderitanya. Prevalensi di NTT adalah 700 per 100.000 penduduk. Penyakit ini
ditemukan terutama di antara rakyat jelata yang gizi makanannya belum sempurna dan hidup dalam keadaan sosisal-ekonomi
dan hygiene di bawah normal. Lagi pula krisis ekonomi dapat meningkatkan jumlah penderita, karena daya tahan tubuh
berkurang akibat menurunnya asupan gizi dan kualitas lingkungan.
Sejak tahun 1995, Indonesia mengembangkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) dan
diharapkan akhir tahun 2005 semua puskesmas dapat menurunkan 50% jumlah penderita TBC dengan strategi ini.
Akhir-akhir ini (1997) diberitakan oleh WHO bahwa penyebaran HIV, virus penyebab AIDS, di kawasan Asia
Pasifik meningkatkan kasus TBC. Hal ini dikarenakan HIV merusak sistem kekebalan tubuh penderita, sehingga
meningkatkan peluang terjadinya infeksi oleh kuman TBC. Mortalitasnya kini bejumlah 3 juta penderita, yang setiap tahun
semakin meningkat. Hampir dua pertiga dari penderita TBC di seluruh dunia terdapat di kawasan Asia Pasifik. Dan, sisanya
banyak terdapat di sub-sahara (Afrika), terutama sebagai infeksi-multiresisten dalam kombinasi dengan AIDS.
Di negara barat, TBC hampir terberantas seluruhnya setelah dilakukan pengobatan dan vaksinasi intensif pada
tahun 1950-an. Namun, pada dasawarsa terakhir sudah timbul kembali bersamaan dengan meningkatnya pengidap HIV dan
terjadinya resistensi terhadap obat-obat TBC. Dewasa ini, TBC merupakan penyakit infeksi yang meningkatkan kematian
utama di dunia.

PENULARAN
Penyakit TBC ditularkan dari orang ke orang, terutama melalui saluran pernapasan dengan mengisap atau menelan
tetes-tetes ludah/dahak (droplet infection), yang mengandung basil dan dibatukkan oleh penderita “TBC terbuka”. Atau,
adanya kontak dengan tetes-tetes ludah/ dahak tersebut dan luka di kulit. Untuk membatasi penyebaran, perlu sekali di-
screen semua anggota keluarga dekat yang erat hubungannya dengan penderita. Dengan demikian, penderita baru dapat
dideteksi pada waktu yang dini.
Terdapat banyak kesalahfahaman mengenai daya penularan penyakit TBC. Umumnya, ada anggapan bahwa TBC
bersifat sangat menular, tetapi pada hakikatnya bahaya infeksi relatif tidak begitu besar dan dapat disamakanya dengan
penularan pada penyakit infeksi saluran pernapasan lainnya, seperti selesma dn influenza. Akan tetapi, bahaya semakin
meningkat, karena sering kali seseorang tidak diketahui sudah menerita TBC(“terbuka”) dan telah menularkannya pada
orang-orang disekitarnya sebelum penyakitnya terdeteksi.

PENCEGAHAN
Penularan harus diwaspadai dengan mengambil tindakan-tindakan pencegahan selayaknya untuk menghindarkan
infeksi-tetes dari penderita ke orang lain. Salah satu cara adalah batuk dan bersin sambil menutup mulut/hidung dengan
saputangan atau kertas tissue untuk kemudian didesinfeksi dengan lysol atau dibakar. Bila penderita berbicara, jangan
terlampau dekat dengan lawan bicaranya. Ventilasi yang baik dari ruangan juga memperkecil bahaya penularan.
Anak-anak di bawah usia satu tahun dari keluarga yang menderita TBC perlu divaksinasi BCG sebagai pencegahan.

* Reaksi Mantoux (reaksi tuberkulin, 1907).


Dilakukan untuk menentukan belum atau sudahnya seseorang terinfeksi basil TBC. Reaksi ini dilakukan dengan
penyuntikan intradermal dari tuberkulin, suatu filtrat dari pembiakan basil yang mengandung produk pemisahannya
(protein) yang khas.
Reaksi positif tampak sebagai kemerah-merahan setempat dan menunjukkan terdapatnya antibodies terhadap basil
TBC di dalam darah. Hal ini berarti bahwa yang bersangkutan pernah mengalami infeksi primer atau telah divaksinasi
dengan BCG. Antibodi tersebut telah menjadikannya kebal terhadap infeksi baru. Orang dengan reaksi tuberkulin positif
harus diperiksa lebih lanjut sputum dan paru-parunya dengan sinar rontgen.
Reaksi negatif berarti orang yang bersangkutan belum pernh mengalami infeksi primer. Ia lebih mudah diserang
TBC daripada orang dengan reaksi positif dan dianjurkan vaksinasi BCG.

Positive Reaction : 18 mm

Gambar 5.2. Reaksi Mantoux

MG – Farmakologi Dasar Prodi D-3 Farmasi STIKes Indah Medan - 2021 61


BAB 5. TUBERKULOSTATIKA

* Vaksin BCG (Basil dari Calmette dan Guerin).


Daya tangkis orang dengan reaksi tuberkulin negatif dapat diperkuat melalui vaksinasi dengan vaksin BCG. Vaksin
ini mengandung basil TBC sapi yang telah dihilangkan keganasannya (virulensi) setelah dibiakkan di laboratorium selama
berahun-tahun. Vaksinasi meninggalkan tanda bekas luka yang nyata, biasanya di lengan-bawah dan memberikan kekebalan
3-6 tahun terhadap infeksi primer dan efektif untuk rata-rata 70%. Bayi di daerah dengan insidensi TBC besar sering kali
diimunisasi dengan BCG secara rutin.
Efektivitas vaksin BCG adalah kontroversial, walaupun sudah digunakan lebih dari 50 tahun di seluruh dunia.
Hasilnya sangat bervariasi; beberapa penelitian baru telah memperlihatkan perlindungan terhadap lepra, tetapi sama sekali
tidak terhadap TBC. Vaksin BCG diberikan intradermal 0,1 ml bagi anak-anak dan orang dewasa; bayi 0,05 ml.

* Kemoprofilaksis.
Anak-anak di bawah usia satu tahun dari keluarga penderita TBC dapat diberikan secara kontinu selama 6 bulan
isoniazida dan rifampisin, tersendiri atau bersama, sebagai profilaksis. Di samping itu, dilakukan pula imunisasi dengan
BCG dari strain yang resisten terhadap INH. Untuk profilaksis terhadap infeksi M. avium, dianjurkan melakukan monoterapi
dengan antibiotikum makrolida azitromisin (1× seminggu 1.200 mg a.c.)

PENGOBATAN
Dahulu TBC sukar sekali disembuhkan, karena belum dikenal obat yang dapat memusnahkan Mycobacterium. Basil
ini lambat sekali pertumbuhannya dan sangat ulet, karena dinding selnya mengandung kompleks lipida-glikolipida serta lilin
(wax), yang sulit ditembus zat kimia. Mycobakteri tidak mengeluarkan enzim ekstra-seluler maupun toksin. Oleh karena itu,
penyakit timbul berdasarkan kemampuannya untuk memperbanyak diri di dalam sel-sel fagosit dan tahan terhadap
pencernaan oleh enzim-enzim intraseluler. Terapi hanya terbatas pada penanggulangan gejala penyakit (terapi simtomatis).
Pengobatan dibantu pula dengan istirahat lengkap (bedrest) dan diet sehat; di masa lalu, dianjurkan mengkonsumsi banyak
lemak dan vitamin A untuk meningkatkan daya tangkis tubuh dan lazimnya pasien dirawat di rumah sakit khusus
(sanatorium). Sering kali pasien dibedah sebagai tindakan akhir.
Terapi modern dilakukan dengan tuberkulostatika dan pasien pada umumnya dapat dirawat jalan (ambulan).
Sebagian penderita malahan dapat bekerja sebagaimana biasa. Lazimnya setelah 4-6 minggu tidak ada bahaya infeksi lagi,
walaupun sering kali dalam sputumnya masih terhadap basil TBC.
Pengobatan terdiri dari dua fase, yaitu fase pengobatan intensif dan fase pemeliharaan.
a. Fase intensif terdiri dari terapi isoniazida yang dikombinasikan dengan rifampisin dan pirazinamida selama 2 bulan.
Untuk prevensi resistensi ditambahkan lagi etambutol dan streptomisin. Etambutol lebih disukai karena dapat digunakan
per oral dan tidak ototoksis.
b. Fase pemeliharaan menggunakan isoniazida bersama rifampisin selama 7 bulan lagi, sehingga seluruh masa pengobatan
menjadi 9 bulan. Studi baru memperlihatkan bahwa kur singkat dari 6 bulan, yakni 2 bulan dengan 4 obat dan 4 bulan
dengan 2 obat, sama efektifnya dengan persentase residif yang juga lebih kurang sama (ca 1%)
Terapi kombinasi tersebut berefek potensiasi, karena obat-obat bekerja di titik tangkap berlainan, lagi pula
menghindarkan terjadinya resistensi. Sebagian penderita dapat diobati dengannya secara efektif. Semua kuman, termasuk
basil, yang berada intraseluler juga dimusnahkan. Kombinasi tersebut juga sangat praktis, karena dapat diberikan secara
serentak dalam dosis tunggal 1 kali sehari dengan efek samping ringan.
Kesetiaan minum obat. Terapi perlu dilakukan sekian lama untuk memusnahkan seluruh “sarang infeksi” dan
kuman yang sedang “tidur” intraseluler (dormant) untuk menghindari kambuhnya penyakit. Akan tetapi, faktor terpenting
untuk berhasilnya pengobatan adalah kesetiaan terapi dari penderita untuk secara teratur dan terus-menerus minum obatnya
selama 6 bulan. Sering kali penderita yang baru separuh jalan berobat sudah merasa enak sehingga mengabaikan kewajiban
menyelesaikan kur. Kurangnya patient compliance tersebut merupakan sebab utama gagalnya pengobatan bagi 5% dari
jumlah penderita. Lagi pula hal ini mengakibatkan basil TBC menjadi kebal terhadap obat.
Terapi infeksi M. avium intracellulare yang multiresiten pada pasien AIDS dapat dilakukan secara efektif dengan
makrolida klaritromisin (2 dd 0,5 g), rifampisin (10 mg/kg/hari), dan etambutol (25 mg/kg/hari). Kombinasi ini bekerja
sinergistis.

TUBERKULOSTATIKA
Obat TBC umumnya dibagi dalam obat-obat primer dan obat-obat sekunder.
a. Obat primer: isoniazida, rifampisin, pirazinamida, etambutol, dan streptomisin (kanamisin, amikasin). Obat-obat
ini paling efektif dan paling rendah toksisitasnya, tetapi menimbulkan resistensi dengan cepat bila digunakan sebagai obat
tunggal. Maka, terapi selalu dilakukan dengan kombinasi dari 3-4 obat, untuk kuman TBC yang sensitif. Suku-suku

MG – Farmakologi Dasar Prodi D-3 Farmasi STIKes Indah Medan - 2021 62


BAB 5. TUBERKULOSTATIKA

yang sekaligus kebal terhadap dua atau lebih jenis obat sangat jarang terjadi. Yang paling banyak digunakan adalah
kombinasi INH, rifampisin dan pirazinamida.
b. Obat sekunder: klofazimin, fluorkinolon, sikloserin, rifabutin dan asam p-aminosalisilat (PAS). Obat-obat ini
memiliki kegiatan yang lebih lemah dan biasanya hanya digunakan bila terdapat resistensi atau intoleransi terhadap
infeksi M. avium intracellulare pada pasien HIV .
Fluorkinolon (ciprofloxacin, ofloxacin, dan lain-lain) bekerja sebagai bakterisida berdasarkan penghambatan DNA-
gyrase kuman. Obat ini memegang peran penting pada TBC multi-resistensi; aktivitasnya dapat disamakan INH. Penggunaan
kebanyakan obat TBC harus hati-hati pada penderita fungsi hati dan ginjal.
Kemahilan dan laktasi. Wanita hamil yang menderita TBC aktif boleh diobati dengan isoniazida, rifampisin dan
pirazinamida. Etambutol dapat pula digunakan dalam keadaan tertentu. Streptomisin dan amikasin dilarang karena beresiko
ketulian pada janin. Data dari obat-obat TBC sekunder bagi kehamilan masih belum lengkap. Perlu pula diperhatikan bahwa
kebanyakan tuberkulostatika masuk ke dalam air susu ibu. Namun, bayi dapat disusui tanpa ada keberatan.

ZAT-ZAT TERSENDIRI
1. Isoniazid (F.I.): INH, Isonex
Derivat asam isonikotinat ini (1952) berkhasiat tuberkulostatis paling kuat terhadap M. tuberculosis
(dalam fase istirahat) dan bersifat bakterisid terhadap basil yang sedang tumbuh pesat. Aktif terhadap
kuman yang berada intraseluler dalam makrofag maupun di luar sel (ekstraseluler). Obat ini praktis tidak
aktif terhadap bakteri lain. Mekanisme kerjanya berdasarkan terganggunya sintesa mycolic acid, yang
diperlukan untuk membangun dinding baktri.
Isoniazida masih tetap merupakan obat kemoterapi terpenting terhadap berbagai tipe tuberkulosa dan selalu dalam bentuk
multiple terapi dengan rifampisin dan pirazinamida. Untuk profilaksis digunakan sebagai obat tunggal bagi orang-orang
yang berhubungan dengan pasien TBC terbuka.
Resorpsinya dari usus sangat cepat; difusinya ke dalam jaringan dan cairan tubuh baik sekali, bahkan menembus jaringan
yang sudah mengeras. Penetrasi yang cepat ini sangat penting dalam pengobatan tuberculous meningitis. Di dalam hati,
INH diasetilasi oleh enzim asetiltransferase menjadi metabolit inaktif. PP-nya ringan sekali, plasma-t½-nya antara 1 dan
4 jam tergantung pada kecepatan asetilasi. Ekskresinya terutama melalui ginjal (75-95% dalam 24 jam) dan sebagian
besar sebagai asetilisoniazid.
Efek sampingnya pada dosis normal (200-300 mg sehari) jarang dan ringan (gatal-gatal, ikterus), tetapi lebih sering
terjadi bila dosis melebihi 400 mg. Yang terpenting adalah polineuritis, yakni radang syaraf dengan gejala kejang dan
gangguan penglihatan. Penyebabnya adalah persaingan dengan piridoksin yang rumus kimianya mirip INH. Perasaan
tidak sehat, letih dan lemah, serta aneroksia adalah lazim pula. Guna menghindari reaksi toksik ini biasanya diberikan
vitamin B6 (piridoksin) 10-20 mg sehari bersama vitamin B1 (aneurin) 100 mg.
Kadang-kadang terjadi kerusakan hati dengan hepatitis dan ikterus yang fatal, khususnya pada orang pengasetilir
lambat (slow-acetylators) terutama bila dikombinasikan dengan rifampisin. Kecepatan proses asetilasi yang
mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan masa paruhnya, tergantung dari banyaknya asetiltransferase yang pada
masing-masing orang berbeda secara genetis. Antasida yang mengandung aluminium dapat mengganggu absorpsi INH.
Resistensi dapat timbul agak cepat bila digunakan sebagai obat tunggal, tetapi resistensi silang dengan obat-obat TBC
lainnya tidak terjadi. Perlu waspada bila digunakan oleh penderita gangguan fungsi ginjal/hati dan mereka yang berusia di
atas 45 tahun, karena resiko timbulnya efek samping meningkat sesuai usia. Dianjurkan untuk secara periodik memantau
pasien yang menjalani terapi dengan obat ini terhadap gejala hepatitis (anoreksia, keletihan, mual, dan ikterus).
Dosis: oral/i.m. dewasa dan anak-anak 1 dd 4-8 mg/kg/hari sehari atau 1 dd 300-400 mg, atau sebagai single-dose
bersama rifampisin, pagi hari a.c. atau sesudah makan bila terjadi gangguan lambung.
Profilaksis: 5-10 mg/kg/hari
2. Rifampisin: Rifampin, Rifadin, Rimactane, *Rimactazid
Antibiotikum ini adalah derivat semisintesis dari rifampisin B (1965) yang dihasilkan
oleh Streptomyces mediterranei, yaitu suatu jamur tanah yang berasal dari Perancis
Selatan. Zat yang berwarna merah-bata ini bermolekul besar dengan banyak cincin
(makrosiklis). Rifampisin berkhasiat bakterisid luas terhadap fase pertumbuhan M.
tuberkulosae dan M.leprae, baik berada di luar maupun di dalam sel
(ekstra-/intraseluler). Obat ini mematikan kuman yang “dormant” selama fase
pembelahannya yang singkat. Maka, obat ini sangat penting untuk membasmi semua
basil guna mencegah kambuhnya TBC.
Rifampisin aktif terhadap kuman Gram-positif lain dan kuman Gram-negatif, (antara lain E.coli, Klebsiella, suku-suku
Proteus dan Pseudomonas), terutama terhadap stafilokoki, termasuk yang resisten terhadap penisilin. Terhadap kuman

MG – Farmakologi Dasar Prodi D-3 Farmasi STIKes Indah Medan - 2021 63


BAB 5. TUBERKULOSTATIKA

yang terakhir aktivitanya agak lemah. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan spesifik dari suatu enzim bakteri
RNA-polymerase, sehingga sintesa RNA terganggu.
Penggunaannya pada terapi TBC paru sangat dibatasi oleh harganya yang cukup mahal. Manfaat utamanya terletak
pada terapi yang sangat dipersingkat dari lebih kurang 2 tahun hingga 6-12 bulan. Rifampisin juga merupakan obat
pilihan pertama terhadap penyakit lepra dan sebagai obat pencegah infeksi meningococci pada orang-orang yang telah
berhubungan dengan paien meningitis. Obat ini sangat efektif terhadap gonore (lebih kurang 90%).
Resorpsinya di usus sangat tinggi; distribusinya ke jaringan dan cairan tubuh juga baik, termasuk CCS. Hal ini nyata
sekali pada pewarnaan jingga/merah dari air seni, tinja, ludah, keringat, dan air mata. Lensa kontak (lunak) juga dapat
berwarna permanen. Plasma-t½-nya berkisar antara 1,5 sampai 5 jam dan meningkat bila ada gangguan fungsi hati. Di
lain pihak, masa paruh ini akan turun pada pasien yang bersamaan waktu menggunakan isoniazida. Dalam hati terjadi
desasetilasi dengan terbentuknya metabolit-metabolit dengan kegiatan antibakteriil. Ekskresinya khusus melalui empedu,
sedangkan melalui ginjal berlangsung secara fakultatif.
Efek sampingnya yang terpenting tetapi tidak sering terjadi adalah penyakit kuning (icterus), terutama bila
dikombinasikan dengan INH yang juga agak toksik bagi hati. Pada penggunaan lama, dianjurkan untuk memantau fungsi
hati secara periodik. Obat ini agak sering juga menyebabkan gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, sakit ulu hati,
kejang perut, dan diare, begitu pula gejala ganguan SSP dan reaksi hipersensif.
Interaksi. Rifampisin mempercepat perombakan obat-obat lain bila diberikan bersamaan waktu dengan jalan induksi
enzim (sistem-mikrosomal P450) dalam hati. Akibatnya, BA diturunkan, misalnya dari klaritromisin dan penghambat
protease (obat-obat AIDS). Kadar darah dari obat-obat ini dapat menurun sampai 80%, yang dapat mengakibatkan
pembentukan resistensi cepat dari HIV. Obat lain yang dipercepat metabolisme adalah antikoagulansia, sehingga harus
dinaikkan dosisnya. Pil antihamil menjadi tidak terjamin lagi efeknya, karena rifampisin mempercepat katabolisme dari
berbagai zat steroid. Resistensi dapat terjadi dengan agak cepat.
Kehamilan. Pada umumnya rifampisin dapat diberikan pada wanita hamil. Penggunaan pada minggu-minggu terakhir
kehamilan dapat menimbulkan pendarahan postnatal pada ibu dan bayi. Untuk pencegahannya dapat diberikan
fitomenadion (vitamin K). Rifampisin mencapai air susu ibu, namun ibu diperbolehkan menyusui bayinya.
Dosis: pada TBC oral 1 dd 450-600 mg sekaligus pagi hari sebelum makan, karena kecepatan dan kadar resorpsi
dihambat oleh isi lambung. Selalu diberikan kombinasi dengan INH 300 mg dan untuk 2 bulan pertama ditambah pula
dengan 1,5-2 g pirazinamida setiap hari. Pada gonore: oral 1 dd 900 mg sekaligus selama 2-3 hari; pada infeksi lain 2
dd 300 mg a.c. Profilaksis pada meningitis 2 dd 10 mg/kg/hari selama 2 hari.
* Rifabutin (Ansamycine)
adalah derivat baru (1995) dengan khasiat dan sifat mirip rifampisin. Obat ini
terutama digunakan pada pasien HIV-positif dan selalu terkombinasi dengan
minimal 2 obat TBC lainnya bila ada (multi)resistensi terhadap obat-obat lain.
Dengan rifampisin terdapat resistensi-silang. Rifabutin digunakan untuk
profilaksis dan terapi dari infeksi M . avium complex (MAC) pada pasien dengan
sistem-imun menurun, misalnya pada panderita AIDS.
Ternayata yang efektif sebagai profilaksis MAC adalah kombinasi rifabutin +
azitromisin, dan untuk terapi kombinasi rifabutin + etambutol + klaritromisin.
Efek sampingnya yang paling sering terjadi mirip rifampisin dan berupa gangguan lambung-usus, reaksi kulit, kelainan
darah dan hati, adakalanya gejala influenza (demam, nyeri otot). Berlainan dengan rifampisin, rifabutin dapat
menimbulkan artritis dan artralgia. Kombinasi rifabutin/rifampisin dengan klaritromisin dan penghambat protease
(indinavir, ritonavir, saquinavir) sangat mempertinggi kadar rifabutin/rifampisin di dalam darah dengan peningkatan
toksisitasnya. Oleh karena itu, dosis rifabutin (c.q. rifampisin) harus diparuh.
Dosis: TBC, MAC oral 1dd 300-600 mg dalam kombinasi dengan 2 dd klaritromisin 0,5 g dan etambutol 1 dd 150 mg.
Profilaksis MAC: 1 dd 300 mg.
3. Pirazinamida: pirazinkarboksamida, Prazina, Pezeta.
Analogon pirazin dari nikotinamida ini (1952) bekerja bakterisid (pada susana asam: pH 5-6) atau
bakteriostatis, tergantung pada pH dan kadarnya di dalam darah. Spektrum kerjanya sangat sempit
dan hanya meliputi M.tuberculosis. Mekanisme karjanya berdasarkan pengubahannya menjadi
asam pirazinat oleh enzim pyrazinamidase yang berasal dari basil TBC.
Begitu pH dalam makrofag diturunkan, maka kuman yang berada di “sarang” infeksi yang menjadi asam akan mati.
Khasiatnya diperkuat oleh INH. Obat ini khusus digunakan pada fase intensif; pada fase pemeliharaan hanya bila terdapat
multiresistensi.
Resorpsinya cepat dan hampir sempurna; kadar maksimal dalam plasma sudah dicapai dalam 1-2 jam. PP-nya ca 50%,
plasma-t½-nya 9-10 jam. Distribusinya ke jaringan dan cairan serebrospinal baik, maka digunakan terhadap meningitis

MG – Farmakologi Dasar Prodi D-3 Farmasi STIKes Indah Medan - 2021 64


BAB 5. TUBERKULOSTATIKA

tuberkulosa. Lebih kurang 70% pirazinamida dieksresikan lewat urin, sebagai produk hidrolisanya, yakni asam
pirazinat.
Efek sampingnya yang sering kali terjadi dan berbahaya adalah kerusakan hati dengan ikterus (hepatotoksis), terutama
pada dosis di atas 2 g sehari. Pengobatan harus segera dihentikan bila ada tanda-tanda kerusakan hati. Pada hampir semua
pasien, pirazinamida menghambat pengeluaran asam urat sehingga meningkat kadarnya dalam darah (hiperuricemia)
dan menimbulkan serangan encok (gout). Obat ini dapat pula menimbulkan gangguan lambung-usus, fotosensibilisasi
dengan reaksi kulit (menjadi merah-coklat), artralgia, demam, malaise, dan anemia, juga menurunkan kadar gula darah.
Resistensi dapat timbul dengan cepat bila digunakan sebagai monoterapi.
Dosis: oral 1 dd 30 mg/kg selama 2-4 bulan, maksimum 2 g sehari, pada meningitis TBC 50 mg/kg/hari.
4. Streptomisin (F.I.)
Streptomisin, suatu aminoglikosida, diperoleh dari Streptomyces griseus (1944),
sedangkan kanamisin dari Str. kanamycetius. Senyawa ini berkahsiat bakterisid
terhadap kuman Gram-positif dan Gram-negatif, termasuk M. tuberculosis dan
beberapa M. atipis. Steptomisin khusus aktif terhadap mycobacteria ekstraseluler
yang sedang membelah aktif dan pesat (misalnya di dalam caverne). Mekanisme
kerjanya berdasarkan penghambatan sistesa protein kuman dengan jalan pengikatan
pada RNA ribosomal.
Kedua antibiotika ini toksik untuk organ pendengaran dan keseimbangan. Oleh karena itu, sebaiknya jangan digunakan
untuk jangka waktu lama, karena efek neurotoksis dari obat ini terhadap saraf cranial ke-8 dapat menimbulkan ketulian
permanen.
Resorpsinya di usus buruk sekali, maka hanya diberikan injeksi i.m. Sejak adanya obat-obat ampuh lain, penggunaan
streptomisin terhadap TBC paru telah jauh berkurang. Obat ini masih digunakan bersama dengan tiga obat lainnya untuk
TBC otak yang sangat parah (meningitis).
Dosis: i.m 1 dd 0,5-1 g tergantung dari usia (garam sulfat) selama maksimum 2 bulan.
* Kanamisin (Kanoxin) adalah derivat (1958) dengan khasiat dan sifat yang sama dengan
streptomisin. Obat ini jarang digunakan lagi pada TBC. Dosis : i.m./i.v. 15 mg/kg dalam
2-3 kali (garam sulfat) setiap hari atau 2-4 × seminggu, maksimum 1 g sehari.

5. Etambutol: Myambutol, Abbutol, *Intam-6


Derivat etilendiamin ini (1961) berkhasiat spesifik terhadap M.tuberculosis dan beberapa M.
atipis (termasuk MAI), tetapi tidak pada bakteri lain. Kerja bakteriostatisnya sama kuatnya
dengan INH, tetapi pada dosis terapi kurang efektif dibandingkan obat-obat primer.
Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sintesa RNA pada kuman yang sedang
membelah, juga menghindarkan terbentuknya mycolic acid pada dinding sel.
Resorpsinya baik (75-80%) dan dengan mudah memasuki eritrosit, yang berfungsi sebagai depot dan lambat-laun
melepaskan kembali obat ke plasma. Penetrasinya ke CCS buruk. PP-nya 20-30%, plasma-t½-nya 3-4 jam dan dapat
meningkat sampai lebih kurang 8 jam pada gangguan ginjal. Ekskresinya lewat ginjal (80%) yang separuhnya dalam
bentuk utuh dan 15% sebagai metabolit non-aktif.
Efek sampingnya yang terpenting adalah neuritis optica (radang saraf mata) yang mengakibatkan gangguan
penglihatan, antara lain kurang tajamnya penglihatan dan buta-warna terhadap warna merah-hijau. Reaksi toksik ini baru
timbul pada dosis besar (di atas 50 mg/kg/hari) dan bersifat reversibel bila pengobatan segera dihentikan, tetapi akan
menimbulkan kebutaan bila pemberian obat dilanjutkan. Sebaiknya, jangan diberikan pada anak kecil, karena
kemungkinan gangguan penglihatan (visus) sulit dideteksi. Dianjurkan untuk memeriksakan mata secara periodik,
terutama kepekaannya terhadap warna. Etambutol juga meningkatkan kadar asam urat dalam plasma akibat penurunan
ekskresinya pada ginjal.
Kehamilan: dapat diberikan pada wanita hamil. Ethambutol masuk ke dalam air susu ibu.
Dosis: oral sekaligus 20-25 mg/kg/hari (garam di-HCl), selalu dalam kombinasi dengan INH. i.v.(infus) 1 dd 15 mg/kg
dalam 2 jam.

6. Obat tuberkulosa lainnya.

MG – Farmakologi Dasar Prodi D-3 Farmasi STIKes Indah Medan - 2021 65


BAB 5. TUBERKULOSTATIKA

Obat-obat cadangan yang tersebut di bawah ini hanya digunakan bilamana terdapat resistensi atau hipersensitasi
terhadap obat TBC primer.
a. Klofazimin : Lamprene.
Derivat-fenazin ini (1967) berkhasiat bakterisid terhadap basil lepra dan TBC/avium, juga
yang multiresisten. Maka, obat ini digunakan pada infeksi dengan Mycobacteria tersebut.
Dosis : oral 2-3 dd 100 mg bersamaan dengan 2-3 obat TBC lainnya.

b. PAS : para-aminosalicylic
PAS berkhasiat bakteriostatis sangat lemah terhadap mycobakteria, maka
penggunaannya sebagai obat TBC sudah terdesak oleh obat-obat tersebut di atas yang
jauh lebih kuat, kurang toksis, dan lebih baik penerimaannya oleh pasien. Obat yang
menggantikan PAS dalam terapi TBC adalah terutama etambutol.

MG – Farmakologi Dasar Prodi D-3 Farmasi STIKes Indah Medan - 2021 66

Anda mungkin juga menyukai