Anda di halaman 1dari 6

Nama : Asmita Ayu Ananda

NIM : 2013211031
Prodi : S1 Gizi
Judul esai : Telaah Globalisasi Berdasarkan Kearifan Lokal Untuk Generasi Unggul dan Mandiri

PENDAHULUAN
Memasuki abad ke-21 ini Bangsa Indonesia tengah dihadapkan pada berbagai isu krusial terkait
globalisasi. Dalam hal ini gelombang globalisasi memberikan dampak luar biasa terhadap proses
kehidupan berbangsa dan bernegara. Globalisasi pada dasarnya telah memberi jalan bagi terhubungnya
berbagai kebudayaan di seluruh Indonesia maupun dunia. Namun, kapitalisme dan konsumerisme kerap
menjadi corak dominan dalam globalisasi. Pemujaan terhadap gaya hidup ‘modern’ yang lebih
konsumeristis dan kapitalis memiliki kecenderungan untuk semakin menggeser nilai kearifan lokal.

Di tingkat pelaksana pendidikan kondisi memprihatinkan masih menggelayuti. Visi dan Misi antara
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dan Kementerian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) menunjukkan adanya ketidaksinambungan. Pada Kemendikbud visi
dan misi sangat menekankan peran pendidikan karakter berbasis kebudayaan dan prinsip gotong royong.

Di sisi lain, visi dan misi Kemristekdikti semata mengarah pada capaian kemajuan iptek tanpa adanya
tindak lanjut pada pengembangan nilai-nilai karakter. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
pendidikan, yang memiliki kata dasar didik, berarti memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak
dan kecerdasan pikiran. Semangat pendidikan berarti dorongan untuk mengembangkan kecerdasan
pikiran dan akhlak yang mengarah pada karakter yang baik, bukan sekedar menyiapkan tenaga terampil
yang menghamba pada sistem kapital. Pendidikan hendaknya dijalani karena kebaikan dalam dirinya
sendiri (an sich).  Strategi pembelajaran berbasis kearifan lokal harus menjadi titik pijak bagi proses
pendidikan yang berkelanjutan. Belum lama ini masyarakat justru dikejutkan dengan kasus pengusiran
Orang Rimba di daerah Jambi demi kepentingan perkebunan. Meskipun jauh dari unsur pendidikan
praktis, kasus tersebut hanyalah potret kecil bagaimana pemerintah dan masyarakat kerap mengabaikan
bentuk-bentuk kebudayaan lokal demi keuntungan kapital semata.

Pada posisi inilah kearifan lokal menghadapi tantangannya untuk menunjukkan eksistensinya.
Kearifan lokal harus dinarasikan ulang sesuai dengan perkembangan zaman sehingga nilai kebajikannya
mampu menjawab berbagai permasalahan aktual, seperti persoalan keadilan, pendidikan yang
memanusiakan, perbaikan moralitas manusia, dan pembelaan kaum marjinal. Mengutip ucapan Soekarno,
“Bangsa sebagai individu mempunyai keperibadian sendiri. Keperibadian yang terwujud dalam pelbagai
hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya…” Demikianlah bagaimana
strategi pembelajaran harus disusun, yakni dengan mengedepankan kearifan lokal sebagai bagian dari
entitas bangsa, sebagai kepribadian yang khas Indonesia di tengah globalisasi.

PEMBAHASAN
Kesulitan-Kesulitan

Merumuskan strategi pembelajaran berbasis kearifan lokal bukanlah perkara mudah. Gelombang
globalisasi selama lebih didominasi oleh kepentingan kapital. Proses produksi menjadi fokus utama ketika
kepentingan kapital hadir menawarkan wacana ‘kemajuan’. Capaian-capaian ilmu alam dan teknik
diyakini akan mampu menghantar manusia pada suatu kemajuan. Permasalahannya kepentingan kapital
kerap menggunakan logika penguasaan.

Alam dan segala isinya, termasuk manusia, hanya ditempatkan sebagai objek penguasaan. Logika
penguasaan yang hadir secara tersirat cenderung mengaburkan makna manusia dan posisi alam, dan
melanggengkan ketidakadilan. Kini bagaimanakah kearifan lokal mampu melepaskan diri dari itu?

Menghadapi permasalahan modern adalah sekaligus menghadapi manusiamanusia yang


menghidupinya. Strategi pembelajaran berbasis kearifan lokal tidak semata dilihat sebagai proses
kemunduran, yakni kembali pada masa lalu. Keharusan menarasikan ulang kearifan lokal menjadi
jembatan dalam menghubungkan masa lalu dan masa kini. Oleh karena itu, perlu pemahaman yang baik
dalam melihat perkembangan masyarakat millenium ini sekaligus membaca kebutuhan riilnya.

Pada akhirnya sebagai suatu proses perumusan strategi pembelajaran perlu diperhatikan adanya suatu
struktur yang utuh dan menyeluruh. Strategi yang baik harus mengindahkan berbagai aspek lokalitas.
Oleh karena itu, strategi pendidikan karakter harus mampu mengakomodasi segala aspek sehingga
pendidikan itu menjadi suatu model yang sungguh matang. Dengan strategi pendidikan yang baik,
diharapkan mendorong munculnya manusia-manusia yang sungguh unggul dan mandiri, berani
mengambil sikap kritis dan peka terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakatnya.

Memahami Gelombang Zaman Baru

Menengok kembali pada masa lalu, sekitar abad ke-16 dan ke-17 di Inggris Bernard de Mandeville dan
Adam Smith menjadi perintis kelahiran ‘Masyarakat Pasar’. Masyarakat model ini ditandai dengan
pembagian kerja yang sistematis, dan sangat menghormati hak milik pribadi. Namun, sebelum mereka
terdapat tokoh bernama John Locke, seorang pencetus liberalisme ternama. Ketiga orang filsuf Inggris itu
amat menekankan adanya hak-hak milik pribadi yang harus dihormati. Berangkat dari pemikiran mereka
paham liberalisme dan kapitalisme muncul demi mewujudkan adanya masyarakat bebas.

Memasuki abad ke-21 dunia bermetamorfosis menjadi sosok baru. Perkembangan pesat teknologi-
komunikasi menjadi katalis bagi terwujudnya masyarakat yang saling terhubung. Pada tahun 2009 Jumlah
pelanggan telpon mencapai 198.507.788 sambungan. Selain itu, saat tahun 2019 diperkirakan akan
terdapat 133.5 juta pengguna internet di Indonesia, mangalami kenaikan 40.1 juta dibandingkan pada
tahun 2015. Berbagai lonjakan keterhubungan ini menunjukkan kuatnya arus penetrasi teknologi dan
perkembangan telekomunikasi.

Pada akhirnya setiap lapisan masyarakat terus dihadapkan pada pertukaran nilai-nilai budaya. Berbagai
bentuk pertukaran lintas masyarakat di seluruh dunia inilah yang kemudian dipahami sebagai globalisasi.
Namun, secara jelasnya bagaimanakah globalisasi ini dipahami? David Henderson, mantan ekonom
kepala Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan, mengatakan, globalisasi ialah
pergerakan bebas barang, jasa, buruh, dan modal, sehingga menciptakan satu pasar tunggal…dan
perlakuan bersifat nasional terhadap investor asing, sehingga, tidak ada orang asing. Meskipun ungkapan
itu disampaikan dalam konteks perekonomian, maknanya tetap jelas, yakni bahwa dalam globalisasi
setiap orang saling terhubung dalam komunitas universal sehingga kata ‘asing’ menjadi relatif maknanya.

Melalui keterbukaanya, globalisasi mampu membongkar sekat-sekat sosiogeografis, dan menyatukan


setiap masyarakat ke dalam komunitas universal. Dalam globalisasi adanya suatu masyarakat yang bebas
harus diniscayakan. Kebebasan dan hak milik pribadi menjadi unsur dasar akan adanya suatu masyarakat
bebas. Masyarakat yang bebas ditandai dengan bentuk-bentuk keterlibatan sosial sebagai suatu pilihan,
bukan paksaan.

Setiap individu dalam masyarakat bebas dihargai atas nilai intrinsik mereka sendiri, artinya
penghargaan atas individu terletak pada kebebasan masing-masing pribadi dalam menentukan tindakan. 
Dalam menghadapi perubahan masyarakat dunia ini, bangsa Indonesia harus kembali berpijak pada
kekhasan dirinya. Di satu sisi, globalisasi sungguh menawarkan berbagai pembaruan, tetapi di sisi lain
globalisasi menimbulkan permasalahan-permasalahan baru yang harus dibenahi. Sosiolog Peter Berger,
dari Boston University, mengungkapkan, dalam tingkat budaya, ini [globalisasi] adalah tantangan besar
pluralisme: kehancuran tradisi yang sudah dianggap terbiasa dan timbulnya pilihan beragam untuk
keyakinian, nilai, dan gaya hidup.
Globalisasi harus mendatangkan sebanyak mungkin manfaat bagi masyarakat setempat. Selama ini
globalisasi seolah hanya menjadi jalan satu arah di mana masyarakat selalu dipenetrasi dengan nilai-nilai
budaya ‘global’. Penetrasi yang intens menampilkan pemujaan berlebihan akan nilai-nilai dan gaya hidup
modernisme yang cenderung meremehkan nilai kearifan lokal. Kini tiba saatnya masyarakat setempat
terjun aktif dalam mendorong nilai-nilai budaya lokal.

Globalisasi harus dipandang sebagai kesempatan untuk menampilkan kepada dunia keunikan dan
kekhasan nilai-nilai kearifan lokal. Nilai-nilai kearifan lokal hendaknya dimunculkan sebagai tawaran
balik atas kekosongan yang ditimbulkan oleh globalisasi. Dalam kebudayaan tradisional di Indonesia
peran kebersamaan sebagai komunitas, prinsip gotong royong, prinsip saling menerima dan menghargai
harus lebih ditonjolkan. Melalui pendidikan prinsip-prinsip tersebut harus ditanamkan dalam kesadaran
generasi-generasi baru.

Menarasikan Kearifan Lokal

Kebudayaan mengambil peran sentral dalam kehidupan manusia baik sebagai hasil ciptaan maupun
refleksi atas kehidupan sosial manusia. Unsur-unsur kebudayaan mencakup perlengkapan hidup manusia,
mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem
kepercayaan. Dengan demikian, untuk memahami makna kearifan lokal diperlukan suatu pemahaman
yang lebih jelas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, kearifan berasal dari kata “arif” yang
berarti bijaksana, cerdik dan pandai. Sementara itu kata “kearifan” bermakna kebijaksanaan atau
kecendikiaan. Secara khusus kearifan lokal mengacu pada nilai-nilai kebijaksanaan yang terkandung
dalam kebudayaan setempat.

Dalam konteks Indonesia, setiap etnis atau suku memiliki kearifan lokal sesuai dengan kondisi
kebudayaan masing-masing. Hal ini menjadi keunggulan sekaligus tantangan dalam merumuskan suatu
nilai kearifan lokal bersama. Merancang suatu strategi pembelajaran yang terintegrasi hanya dengan
mengedepankan nilai kearifan lokal khusus jelas merupakan hal yang mustahil.

Dalam kearifan lokal terkandung prinsip lokalitas, yakni setiap daerah memiliki nilai-nilai kearifan
masing-masing. Strategi pembelajaran yang baik hendaknya berangkat dari keberagaman ini. Setiap
daerah wajib menempatkan nilai kearifan lokal dalam pembelajaran generasi mudanya, meskipun hal ini
akan berkonsekuensi munculnya beragam bentuk pembelajaran dalam tingkat praktis.

Perkembangan zaman menuntut adanya suatu nilai-nilai sosial yang lebih universal dan terbuka. Nilai-
nilai kearifan lokal harus dapat diuniversalkan apabila eksistensinya ingin tetap diakui. Konsekuensi
globalisasi adalah adanya kesalingterhubungan, artinya tidak ada suatu masyarakat yang terisolasi,
kecuali dalam kasus-kasus tertentu. Oleh karena itu, kearifan lokal harus dapat mengambil nilai-nilai
universal yang terkandung dalam tradisi setempat sehingga mampu menjadi solusi atas permasalahan
yang dihadapi manusia masa kini.

Perkataan Francis Bacon, knowledge is power, mengungkapkan bagaimana alam dapat ditundukkan
manusia dengan mengikuti hukum-hukumnya. Perkataan itu menandai masuknya manusia pada zaman
modern, yakni penguasaan manusia atas alam. Auguste Comte, seorang sosiolog, membagi tahapan
perkembangan masyarakat menjadi tiga, yakni: pertama, tahap teologis, yang menekankan pada kekuatan
supernatural dan tokoh agamis. Kedua, tahap metafisik, yang ditandai dengan kepercayaan adanya daya-
daya abstrak seperti “alam”. Ketiga, tahap positivistik, ditandai dengan kepercayaan pada ilmu. Pada
perkembangannya proses alienasi itu terlahir akibat pendewaan masyarakat atas ilmu-ilmu positivistik.
Dalam proses alienasi itu, manusia dianggap tidak lebih dari objek yang dapat dikuasai.

Wacana kemajuan memberikan dampak luas bagi manusia. Fakta menunjukkan bahwa perkembangan
manusia justru semakin kabur, dan menjauh dari wacana kemajuan tersebut. Krisis ekonomi, krisis moral,
eksploitasi alam dan manusia, semua itu buah dari proses alienasi manusia. Kini menjadi pertanyaan,
dapatkah kearifan lokal mampu menjawab permasalahan-permasalahan itu? Kearifan lokal hendaknya
mampu menempatkan diri sebagai landasan pijak, dan mengantisipasi kehidupan di masa mendatang.
Oleh karena itu, kearifan lokal tidak cukup dengan membakukan nilai-nilai yang selama ini diyakini.
Kearifan lokal sendiri harus terbuka untuk didiskusikan sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
dapat mencakup permasalahan yang aktual dan mencakup wilayah yang luas.

Merumuskan Strategi Pembelajaran yang Membebaskan

Upaya perumusan strategi pembelajaran berdasarkan kearifan lokal tidak sekedar menghasilkan
manusia unggul dan mandiri sesuai dengan proses baku. Istilah “unggul dan mandiri” hendaknya tidak
direduksi menjadi capaian berbasis prestasi akademis maupun sekedar keterampilan teknis. “unggul dan
mandiri” hendaknya menjadi tanda suatu generasi yang mampu bersikap kritis sekaligus mandiri atas
godaan zaman yang cenderung mengaburkan makna manusia. Karakter kritis dan peka harus ditanamkan
melalui pendekatan berbasis humanisme, contohnya tinggal bersama dalam komunitas masyarakat
tertentu, mengadakan bakti sosial dan anjang sana ke panti sosial, serta turut terlibat dalam kehidupan
budaya para seniman.

Strategi pembelajaran juga perlu memberikan ruang diskusi bagi proses dialog. Kecenderungan
membakukan nilai-nilai kearifan justru membuat kearifan semakin partikular dan terbatas. Di setiap
kebudayaan di Indonesia, selalu terdapat ruang publik di mana para warganya mampu berdialog bersama
untuk mencari mufakat. Tradisi ini menjadi modal penting dalam menciptakan suatu strategi
pembelajaran yang mencakup banyak kebudayaan. Dengan demikian, prinsip keterbukaan dan toleransi
harus ditumbuhkan melalui forum diskusi antarpembelajar baik lintas institusi maupun lintas daerah.

KESIMPULAN DAN PENUTUP

Dari keseluruhan pembahasan dapatlah dikatakan bahwa strategi pembelajaran berbasis kearifan lokal
hendaknya memberikan pandangan baru relasi antara manusia dengan alam. Selama ini modernitas telah
menempatkan alam sebagai hamba dari manusia yang dapat dieksploitasi dan dikuasai.

Salah satu nilai kearifan lokal adalah relasi manusia-alam yang sejajar. Manusia menempatkan diri
sebagai sahabat alam, bukan penguasa. Logika penguasaan harus ditanggalkan. Relasi manusia-alam yang
sejajar dapat diwujudkan dengan metode belajar yang dekat dengan alam. Kegiatan pembelajaran tidak
melulu terjadi dalam ruang kelas tetapi juga menyentuh lingkungan hidup.

Anda mungkin juga menyukai