PENDAHULUAN
K EGIATAN B ELAJA R 1
Tabel 4.1.
Beberapa Konstanta Fisik dan Kimia Inhibitor Protease Kacang Kedelai yang
Telah Dimurnikan
terpengaruh oleh perlakuan pemanasan, asam, alkali atau oleh enzim pepsin
dan papain.
Tabel 4.2.
Komposisi Asam Amino Inhibitor Protease Kacang Kedelai
Inhibitor
Inhibitor
Asam amino Bowman- 1,9S F1 F3
Kunitz
Birk
…. (Jumlah residu per mole protein) ….
Alanin 9 10 8 5
Arginin 0- 10 5 4 9 8
As. Aspartat 29 28 23 21 30
Sistein 4 14 26 14 12
As. Glutamat 19-21 18 14 23 49
Glisin 17-18 0 10 10
Histidin 2 3 2 3 5
Isoleusin 14 - 15 5 4 7 7
Leusin 15 - 16 5 4 11 13
Lisin 11-12 12 10 11 13
Metionin 3 3 2 10 6
Fenilalanin 9-10 5 4 2 4
Prolin 10-11 15 12 8 6
Serin 12-13 24 18 15 11
Treonin 8 6 4 6 5
Triptofan 2 0 1 1 3
Tirosin 4 5 4 5 0
Valin 12-15 3 2 4 2
Jumlah : 194 -197 182 142 163 199
Sumber: Liener dan Kakade (1969)
Rackis, dkk. pada tahun 1959 membuktikan terdapatnya tiga inhibitor tripsin
tambahan dalam kacang kedelai, yaitu yang disebut SBTI-Al, SBTI-Bl, dan
SBTI-B2 (SBTI = Soybean Trypsin Inhibitor) (Tabel 4.1.), yang mempunyai
sifat berbeda dengan kedua jenis inhibitor tripsin di atas. Yamamoto dan
Ikenaka pada tahun 1967 telah berhasil mengisolasi inhibitor tripsin lain dari
kedelai, yang disebut sebagai inhibitor 1,9 S karena mempunyai konstanta
4. EVALUASI NILAI GIZI PANGAN
sedimentasi yang berbeda dengan inhibitor Kunitz (2,3 S). Seperti halnya
inhibitor Bowman-Birk, inhibitor 1,9 S ini mengandung banyak asam amino
sistein (Tabel 4.2.) dan mempunyai kemampuan untuk menghambat aktivitas
enzim kimotripsin. Frattali dan Steiner pada Taboo (1968) berhasil
memisahkan komponen-komponen dari inhibitor Kunitz, baik yang berasal
dari bentuk kristal (inhibitor yang telah dimurnikan) maupun bentuk
kasarnya. Salah satu inhibitor hasil pemisahan tersebut (F2) mempunyai sifat
kromatografik yang sama dengan inhibitor Kunitz, tetapi dua inhibitor
lainnya (Fl dan F3) mempunyai sifat yang berbeda dengan inhibitor tripsin
yang telah dikemukakan (Tabel 4.1 dan Tabel 4.2).
Gambar 4.1.
Reaksi transformasi inhibitor aseli menjadi inhibitor termodifikasi, pada
inhibitor Kunitz dari kacang kedelai (Liener dan Kakade, 1969)
PANG4325/MODUL 4.
Gambar 4.2.
Skema Interaksi antara Enzim Tripsin dan Anti-Tripsin Termodifikasi,
Membentuk Kompleks Tripsin-Inhibitor
C. PENGARUH FISIOLOGIS
Gambar 4.3.
Skema Mekanisme Pengaturan Sekresi Enzim Tripsin dan Pankreas
(Liener, 1979)
LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,
kerjakanlah latihan berikut!
RANGKUMAN
TES FORMATIF 1
K EGIATAN B E LAJAR 2
A. FITOHEMAGLUTININ
Bahwa biji-bijian dari tanaman tertentu sangat beracun bagi hewan dan
manusia telah lama diketahui. Selama akhir abad ke-19 ketika ilmu tentang
bakteri baru berkembang, secara luas dipercaya bahwa keracunan oleh biji-
bijian tersebut disebabkan oleh toksin bakteri. Teori ini dapat disangkal
ketika Warden dan Waddell pada tahun 1884 mengamati bahwa zat racun
yang terdapat pada biji Abrus precatorius (Jeguirity bean) terdapat dalam
fraksi yang tidak diendapkan oleh alkohol dari ekstrak cair biji tersebut.
Beberapa tahun kemudian, Dixeon (1886-1887) berhasil memperoleh
konsentrat yang sangat beracun dari ekstrak biji Ricinus communis (Castor
bean, biji jarak). Akan tetapi, Stillmark pada tahun 1889 merupakan orang
pertama yang mengetahui bahwa fraksi protein dari biji jarak, yang disebut
ricin, mempunyai kemampuan untuk mengaglutinasi (mengendapkan) sel
darah merah. Sifat ini kemudian digunakan untuk memberi nama senyawa-
senyawa semacam itu sebagai fitohemaglutinin atau hemaglutinin.
Ladsteiner dan Raubitecheck pada tahun 1908 memperlihatkan untuk
pertama kalinya bahwa biji-bijian yang biasa dikonsumsi pun seperti Navy
beans dan kacang kapri, juga mengandung hemaglutinin. Landsteiner pada
tahun 1945 menemukan bahwa aktivitas hemaglutinin esktrak beberapa
macam biji-bijian menunjukkan perbedaan bila diuji dengan eritrosit dari
hewan yang berbeda. Kenyataan ini menunjukkan terdapatnya spesifisitas
terhadap jenis sel darah, dan hal ini membawa Boyd dan Shapleigh pada
tahun 1945 mengusulkan nama lectin untuk senyawa tersebut. Sekarang
nama lectin seringkali digunakan untuk menggantikan fitohemaglutinin atau
hemaglutinin.
PANG4325/MODUL 4.
Tabel 4.3.
Sifat-sifat Hemaglutinin yang Telah Dimumikan dari Beberapa Jenis Tanaman
120.000 4 -D-Gal
Kentang (Solanum 46.000 2 (-D- Tidak
tuberosum) 1/2GIc/Nac)2 berpengaruh
Gandum (Triticum 36.000 2 (-D-Glc/Nac)2 Tidak
vulgaris) berpengaruh
Horse gram, broad bean, 50.000 4 -D-Man Meningkat
field bean (Vicia faba)
Common vetch (Vicia Belum dimurnikan Meningkat
saliva)
Keterangan:
Gula spesifik = gula yang dapat diikat oleh hemaglutinin yang bersangkutan
Gle = glukosa;
GlcN = glukosamin;
GlcNac = N-asetilglukosamin;
Fuc = fukosa;
Gal = galaktosa;
GalNac = N-asetilgalaktosamin;
Man = manosa;
(b-GIcNac)2 = diasetilkhitobiosa.
Sumber : Liener (1981)
1. Sifat-sifat Umum
Kemampuan untuk mengaglutinasi set darah merah hanya merupakan
salah satu aktivitas biologis hemaglutinin. Sebagai tambahan dari sifat
tersebut, hemaglutinin mempunyai aktivitas lain, misalnya stimulasi
mitogenik terhadap limfosit, mengaglutinasi (preferential agglutination) sel-
sel tumor, memberikan pengaruh immunosupresif, dan lain-lain. Semua sifat
ini merupakan manifestasi dari kemampuan hemaglutinin untuk berikatan
dengan gula spesifk yang terdapat pada permukaan membran set.
Dari data pada Tabel 4.3. terlihat bahwa disamping terdapatnya
perbedaan yang luas dalam hal sifat fisiko-kimianya, beberapa generalisasi
dapat dibuat. Sebagian besar hemaglutinin mempunyai berat molekul yang
bervariasi dari 100.000 sampai 150.000 dan terdiri dari dua sampai empat
sub-unit yang identik atau tidak. Sejumlah kecil hemaglutinin, seperti yang
diisolasi dari kacang kapri (lentil), kacang kerupuk (lima bean),dan lembaga
gandum, kemungkinan besar “dimer” karena mempunyai berat molekul
setengahnya dari hemaglutinin yang “tetramer”. Pada umumnya tiap-tiap
sub-unit mempunyai sisi aktif pengikat gula; hal inilah yang menyebabkan
hemaglutinin mampu mengaglutinasi sel atau mengendapkan glikoprotein.
Akan tetapi, ada pula hemaglutinin yang walaupun tidak mampu
mengaglutinasi sel, bersifat toksik pada hewan atau manusia, misalnya ricin.
Sebagian besar hemaglutinin adalah glikoprotein yang mengandung
sekitar 1 - 4% karbohidrat. Kekecualian terdapat pada Concanavalin-A dari
kacang loke (Jack bean) serta hemaglutinin dari lembaga gandum dan kacang
tanah, yang tidak mengandung karbohidrat; sedangkan hemaglutinin dari
beras dan kentang mengandung banyak sekali karbohidrat, yaitu masing-
masing 25 dan 50%. Terdapat pula variasi yang besar dalam hal kandungan
asam amino sistin. Hemaglutinin dari kedelai, kacang tanah, dan wax bean
tidak mengandung residu sistin, sedangkan hemaglutinin dari lembaga
gandum dan kentang sangat kaya akan sistin. Concanavalin-A serta
hemaglutinin dari kacang arab dan kacang kerupuk (Lima bean), memerlukan
ion metal untuk aktivitasnya.
dan bersifat toksik setelah disuntikkan pada tikus. Oleh karena destruksi
hemaglutinin sejalan dengan peningkatan nilai gizi kedelai maka disimpulkan
bahwa hemaglutinin ikut bertanggung jawab atas rendahnya nilai gizi kacang
kedelai mentah. Akan tetapi penelitian selanjutnya, di mana hemaglutinin
dipisahkan dari esktrak kedelai mentah dengan cara kromatografi afinitas,
membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan pertumbuhan hewan
percobaan yang diberi ransum ekstrak ini dibandingkan dengan yang
menerima ransum kedelai mentah utuh. Dari penelitian ini disimpulkan
bahwa hemaglutinin kedelai kecil sekali peranannya dalam menentukan nilai
gizi kacang kedelai.
Meskipun demikian, ternyata bahwa hemaglutinin yang terdapat dalam
common bean (Phaseolus vulgaris) bersifat toksik. Para peneliti memberikan
ransum pada tikus percobaan yang telah dicampur dengan hemaglutinin yang
telah diisolasi dari dua varietas P. vulgaris, yaitu black bean dan kidney bean;
dan mereka menemukan bahwa konsentrasi hemaglutinin dalam ransum
serendah 0,5% sudah mampu menghambat pertumbuhan tikus, sedangkan
konsentrasi yang lebih tinggi menyebabkan kematian hewan percobaan (lihat
Tabel 4.4.). Hasil yang sama telah pula ditemukan oleh peneliti-peneliti lain
untuk hemaglutinin dari kidney bean. Peneliti-peneliti ini juga melaporkan
bahwa setelah hemaglutininnya dipisahkan dengan cara kromatografi afinitas,
kacang tersebut tidak bersifat toksik lagi.
Tabel 4.4.
Pengaruh Hemaglutinin dari Black Bean dan Kidney Bean terhadap
Pertumbuhan Tikus Percobaan
Jumlah
Sumber Pertambahan Berat Kematian
Hemaglutinin
Hemaglutinin Badan (g/hari) (pd hari ke)
dalam Ransum (g)
0 +2,51
0,5 +1,04
0,75 -0,20
Black bean 1,2 -0,91 15-19
2,3 -1,61 12-17
4,6 -1,72 5-7
0 +2,31
Kidney bean 0,5 -0,60 13 -16
PANG4325/MODUL 4.
Jumlah
Sumber Pertambahan Berat Kematian
Hemaglutinin
Hemaglutinin Badan (g/hari) (pd hari ke)
dalam Ransum (g)
1,0 -0,87 11-13
1,5 -1,22 4-7
Sumber: Honavar et. al. (1962)
dilakukan sebelum diberikan pada ternak. Pemanasan dengan nap yang biasa
dilakukan untuk memperoleh kembali pelarut dalam ekstraksi minyak biji
jarak, ditemukan efektif dalam menurunkan toksisitas ricin dalam bungkil
biji jarak sampai seperseribu kalinya sehingga bungkil tersebut tidak beracun
lagi baik bagi sapi, kelinci maupun tikus, meskipun diberikan sampai
sebanyak 10 persen dalam ransum.
Peneliti-peneliti terdahulu menyimpulkan bahwa toksisitas dan aktivitas
hemaglutinasi biji jarak disebabkan oleh komponen protein (hemaglutinin)
yang sama. Penelitian lebih lanjut membuktikan bahwa di dalam biji jarak
terdapat dua komponen protein, yang pertama adalah protein toksik (yang
dikenal sebagai Ricin) yang tidak mempunyai kemampuan untuk
mengaglutinasi sel darah mesh dan yang kedua (dikenal sebagai Castor Bean
Aglutinin) mempunyai kemampuan untuk mengaglutinasi sel darah merah
tetapi tidak bersifat toksik.
Tabel 4.5.
Korelasi antara Aktivitas Hemaglutinasi Spesifik dengan Toksisitas
Intraperitoneal pada Tikus, Ekstrak P. vulgaris dari Varietas dan Kultivar
yang Berbeda
3. Mekanisme Kerja
Aglutinasi sel darah merah oleh hemaglutinin dalam beberapa kasus
dapat dicegah dengan penambahan beberapa macam gula. Penemuan tersebut
memberi pengarahan pada kesimpulan yang akhirnya diambil, bahwa
mekanisme aglutinasi menyangkut terbentuknya ikatan spesifik antara
hemaglutinin dan gugus gula yang terdapat pada permukaan sel. Oleh karena
hemaglutinin adalah suatu glikoprotein maka nampaknya ikatan yang
terbentuk adalah antara gugus gula yang terdapat pada hemaglutinin dengan
gugus gula yang terdapat pada permukaan sel.
Dikemukakan bahwa pengaruh toksik hemaglutinin bila dikonsumsi
(oral) adalah karena kemampuannya untuk mengikat sisi reseptor spesifik
dari permukaan sel epitelial usus sehingga menyebabkan pengaruh non-
spesifik terhadap penyerapan zat-zat gizi melalui dinding usus. Hal ini
direfleksikan secara in vivo dengan menurunnya daya cerna protein. Telah
dibuktikan bahwa pencampuran hemaglutinin ke dalam ransum tikus
(kasein), menyebabkan penurunan daya cerna protein. Telah ditemukan
bahwa hemaglutinin bereaksi dengan brush border enterosit dari duodenum
4. EVALUASI NILAI GIZI PANGAN
B. SENYAWA POLIFENOL
Gambar 4.4.
Persentase Asam-asam Amino yang Tersedia dan Daya Cerna Nitrogen Produk
Kafein yang Direaksikan dengan Asam Kafeat
(Hurell et. al., 1982)
Gambar 4.5.
Ekskresi Radioaktivitas oleh Tikus yang Diberi Ransum Kasein Domba
Berlabel H - lisin, dalam Bentuk Asli dan Setelah Direaksikan dengan Asam
Kafeat (Hurrell et. al., 1982)
Reaksi-reaksi yang mungkin terjadi pada lisin yang terikat dalam protein
dengan asam kafeat diperlihatkan pada Gambar 4.6. Tahap pertama dalam
reaksi tersebut adalah konversi asam polifenat menjadi kuinon. Hal ini dapat
terjadi di bawah kondisi alkalis atau karena pengaruh enzim. Reaksi
berikutnya antara kuinon dan lisin adalah merupakan reaksi kovalen non-
enzimatis. Skema pada Gambar 4.6. juga memberi petunjuk bahwa senyawa
kompleks yang terjadi di bawah kondisi alkalis atau enzimatis adalah
berbeda, dan tiap-tiap unit lisin terikat dapat berasosiasi dengan beberapa unit
kuinon.
PANG4325/MODUL 4.
Pada Gambar 4.6. dilukiskan dua jalur reaksi. Jalur pertama terjadi baik
dalam kondisi netral atau alkalis dan dalam jalur ini pertama-tama lisin akan
disubstitusikan ke dalam cincin kuinon. Diduga bahwa titik utama
pensubstitusian lisin adalah pada posisi 6 cincin kuinon, meskipun dapat pula
terjadi pada posisi 5. Pada langkah berikutnya terbentuk senyawa kompleks
antara lisin dengan polimer kafeokuinon. Ikatan silang (crosslinkage) dapat
terjadi bila unit lisin yang terikat pada rantai protein bersubstitusi pada posisi
2 cincin kuinon. Jalur kedua hanya terjadi dalam kondisi alkalis. Pada jalur
ini grup kuinon membentuk kuinonimin. Seperti pada jalur pertama, reaksi-
reaksi selanjutnya mengarah ke pembentukan senyawa kompleks antara lisin
dan polimer kuinon dan pembentukan ikatan silang juga mungkin terjadi.
Gambar 4.6.
Beberapa Reaksi yang Mungkin Terjadi antara Lisin yang Terikat pada
Protein dengan Asam-asam Kafeat dan Klorogenat
(Hurrell, 1984)
4. EVALUASI NILAI GIZI PANGAN
Pada Gambar 4.6. tersebut hanya diperlihatkan dua macam ikatan silang,
padahal banyak sekali ikatan silang yang mungkin terjadi, karena terdapat
lima posisi yang mungkin digunakan oleh lisin untuk berkombinasi dengan
kuinon.
Dapat disimpulkan bahwa selama ekstraksi protein (nabati)
menggunakan alkali, kafekuinon dan klorogenokuinon yang terbentuk karena
oksidasi senyawa fenolatnya, dapat bereaksi dengan residu lisin dalam
protein sehingga membuatnya menjadi tidak dapat digunakan lagi secara
biologis oleh tubuh. Konversi asam-asam fenolat menjadi kuinon dapat juga
terjadi karena pengaruh enzim-enzim fenolase pada pH netral, dan kuinon
yang terbentuk dapat bereaksi dengan lisin melalui cara yang sama. Tetapi
reaksi enzimatis lebih lambat dibandingkan dengan yang terjadi pada kondisi
alkalis sehingga pengaruhnya terhadap nilai gizi protein juga tidak terlalu
nyata.