Anda di halaman 1dari 32

Mo DUL 4

Faktor-faktor Alami yang


Mempengaruhi Nilai Gizi Protein
Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, M.S.

PENDAHULUAN

P rotein yang terkandung dalam bahan pangan setelah dikonsumsi akan


mengalami pencernaan (pemecahan/hidrolisis oleh enzim-enzim protein)
menjadi unit-unit penyusunnya, yaitu asam-asam amino. Asam-asam amino
inilah yang selanjutnya diserap oleh tubuh melalui usus kecil, yang kemudian
dialirkan ke seluruh tubuh untuk digunakan dalam pembentukan jaringan-
jaringan baru dan mengganti jaringan-jaringan yang rusak. Asam-asam
amino yang berlebihan dapat juga digunakan sebagai sumber energi bagi
tubuh atau disimpan dalam bentuk lemak sebagai cadangan energi.
Nilai gizi protein ditentukan oleh daya cerna (nilai cerna) dan komposisi
asam amino yang dikandungnya. Daya cerna protein menunjukkan
kemampuan enzim-enzim protease dalam saluran pencernaan untuk
menghidrolisis protein menjadi asam-asam amino. Terdapat beberapa macam
faktor alami yang terkandung dalam bahan pangan (terutama bahan pangan
nabati), yang dapat mempengaruhi kinerja enzim-enzim protease tersebut.
Faktor-faktor alami tersebut adalah antitripsin dan antikhimotripsin,
fitohemaglutinin, dan senyawa polifenol (tanin). Mekanisme penurunan daya
cerna protein oleh faktor-faktor tersebut berbeda-beda; ada yang
mempengaruhi kerja enzim dengan cara mengikat enzim tersebut, ada yang
mempengaruhi penyerapan asam-asam amino, ada juga yang berikatan baik
dengan enzim protease maupun dengan protein bahan pangan.
Modul 4 ini terdiri dari dua kegiatan belajar, yaitu : (1) Antitripsin dan
Antikimotripsin serta (2) Fitohemaglutinin dan Senyawa Polifenol. Setelah
mempelajari Modul 4 ini, secara umum Anda diharapkan akan dapat
menjelaskan faktor-faktor alami yang mempengaruhi nilai gizi protein.
Secara khusus setelah mempelajari modul ini diharapkan Anda mampu:
4. EVALUASI NILAI GIZI PANGAN

1. menjelaskan mekanisme kerja pengaruh faktor-faktor alami terhadap


nilai gizi protein;
2. menjelaskan cara-cara menghilangkan efek dari pengaruh faktor-faktor
alami terhadap nilai gizi protein.
 PANG4325/MODUL 4.

K EGIATAN B ELAJA R 1

Antitripsin dan Antikimotripsin

A. SIFAT FISIK DAN KOMPOSISI ASAM AMINO

Senyawa yang mempunyai kemampuan untuk menghambat aktivitas


proteolitik beberapa macam enzim protease telah ditemukan dalam bahan
pangan nabati, terutama kacang-kacangan; dan telah dibuktikan bahwa
senyawa aktifnya adalah suatu protein. Inhibitor protease dalam kacang-
kacangan adalah protein yang molekulnya kecil, mengandung atau tidak
gugus gula dan berat molekulnya bervariasi antara 4.000 sampai 80.000.
Meskipun antiprotease terdapat dalam bermacam-macam kacang-kacangan,
namun yang telah dipelajari secara mendalam adalah yang terdapat dalam
kacang kedelai.
Meskipun sekarang telah diketahui bahwa paling sedikit terdapat lima
atau mungkin enam macam inhibitor protease dalam kacang kedelai, tetapi
yang paling banyak dipelajari adalah yang pertama kali diisolasi dan
dikarakterisasi oleh Kunitz pada tahun 1945 dan oleh karena itu disebut
sebagai Inhibitor Kunitz. Beberapa konstanta fisik-kimia inhibitor tersebut
dapat dilihat pada Tabel 4.1. Selain dari komposisi asam aminonya, sedikit
sekali yang diketahui tentang struktur primer inhibitor tersebut, kecuali
bahwa merupakan rantai polipeptida tunggal yang disusun oleh sekitar 200
buah asam amino dan mempunyai berat molekul sekitar 21.000. Inhibitor
Kunitz mudah didenaturasi oleh panas, asam atau alkali, urea 9 M, serta
kondisi yang dapat memecah ikatan disulfida. Pada pH rendah, inhibitor ini
dapat dihidrolisis secara lambat oleh enzim pepsin.
4. EVALUASI NILAI GIZI PANGAN

Tabel 4.1.
Beberapa Konstanta Fisik dan Kimia Inhibitor Protease Kacang Kedelai yang
Telah Dimurnikan

Konstanta Volume Titik Iso Kadar


Berat
Jenis Sedimentasi Spesifik Elektrik Nitrogen
Molekul
(S20. W) (ml/g) (pH) (%)
Kunitz 20.000- 2,3 0,745-0,698 4,5-4,6 15,68-
24.000 16,74
SBTI - A1 14.300 1,8 0,736 - 14,69
SBTI - B 1 - 4,07 - - -
SBTI - B2 - 4,62 - - -
Bowman- 20.435 2,3 - 4,2 15,9
Birk
1,9S 16.400 1,9 0,690 4,0 15,28
F1 18.300 - - - -
F3 23.400 - - - -
Sumber: Liener dan Kakade (1969)

Dalam penelitiannya mengenai antitripsin dalam kedelai, Bowman pada


tahun 1946 telah membuktikan bahwa paling sedikit terdapat dua inhibitor
tripsin lain, yang dapat dibedakan dari inhibitor Kunitz berdasarkan
kelarutannya dalam aseton, alkohol, asam trikloroasetat, dan amonium sulfat.
Salah satu dari inhibitor ini, yaitu yang tidak larut dalam aseton, lebih lanjut
dimurnikan oleh Birk pada tahun 1961, dan oleh karena itu sebagai inhibitor
Bowman-Birk (Tabel 4.1. dan Tabel 4.2.). Selain berbeda dalam sifat-sifat
kromatografik dan mobilitas elektroforetik dibandingkan dengan inhibitor
Kunitz, inhibitor Bowman-Birk mempunyai daya menghambat yang lebih
kuat terhadap enzim tripsin dan ditemukan 13 kali lebih kuat dalam
menghambat aktivitas enzim kimotripsin.
Pengamatan yang lebih menarik adalah bahwa kompleks antara enzim
tripsin dan inhibitor masih mempunyai kemampuan untuk menghambat
aktivitas enzim kimotripsin; inhibitor mampu untuk menghambat aktivitas
enzim tripsin. Hasil pengamatan ini menguatkan dugaan bahwa inhibitor
tersebut mempunyai dua sisi aktif, di mana sisi pertama dapat berinteraksi
dengan enzim tripsin, sedangkan sisi lainnya dengan enzim kimotripsin. Dan
tidak seperti halnya inhibitor Kunitz, inhibitor Bowman-Birk tidak
 PANG4325/MODUL 4.

terpengaruh oleh perlakuan pemanasan, asam, alkali atau oleh enzim pepsin
dan papain.

Tabel 4.2.
Komposisi Asam Amino Inhibitor Protease Kacang Kedelai

Inhibitor
Inhibitor
Asam amino Bowman- 1,9S F1 F3
Kunitz
Birk
…. (Jumlah residu per mole protein) ….
Alanin 9 10 8 5
Arginin 0- 10 5 4 9 8
As. Aspartat 29 28 23 21 30
Sistein 4 14 26 14 12
As. Glutamat 19-21 18 14 23 49
Glisin 17-18 0 10 10
Histidin 2 3 2 3 5
Isoleusin 14 - 15 5 4 7 7
Leusin 15 - 16 5 4 11 13
Lisin 11-12 12 10 11 13
Metionin 3 3 2 10 6
Fenilalanin 9-10 5 4 2 4
Prolin 10-11 15 12 8 6
Serin 12-13 24 18 15 11
Treonin 8 6 4 6 5
Triptofan 2 0 1 1 3
Tirosin 4 5 4 5 0
Valin 12-15 3 2 4 2
Jumlah : 194 -197 182 142 163 199
Sumber: Liener dan Kakade (1969)

Rackis, dkk. pada tahun 1959 membuktikan terdapatnya tiga inhibitor tripsin
tambahan dalam kacang kedelai, yaitu yang disebut SBTI-Al, SBTI-Bl, dan
SBTI-B2 (SBTI = Soybean Trypsin Inhibitor) (Tabel 4.1.), yang mempunyai
sifat berbeda dengan kedua jenis inhibitor tripsin di atas. Yamamoto dan
Ikenaka pada tahun 1967 telah berhasil mengisolasi inhibitor tripsin lain dari
kedelai, yang disebut sebagai inhibitor 1,9 S karena mempunyai konstanta
4. EVALUASI NILAI GIZI PANGAN

sedimentasi yang berbeda dengan inhibitor Kunitz (2,3 S). Seperti halnya
inhibitor Bowman-Birk, inhibitor 1,9 S ini mengandung banyak asam amino
sistein (Tabel 4.2.) dan mempunyai kemampuan untuk menghambat aktivitas
enzim kimotripsin. Frattali dan Steiner pada Taboo (1968) berhasil
memisahkan komponen-komponen dari inhibitor Kunitz, baik yang berasal
dari bentuk kristal (inhibitor yang telah dimurnikan) maupun bentuk
kasarnya. Salah satu inhibitor hasil pemisahan tersebut (F2) mempunyai sifat
kromatografik yang sama dengan inhibitor Kunitz, tetapi dua inhibitor
lainnya (Fl dan F3) mempunyai sifat yang berbeda dengan inhibitor tripsin
yang telah dikemukakan (Tabel 4.1 dan Tabel 4.2).

B. MEKANISME PENGHAMBATAN ENZIM PROTEASE

Mekanisme penghambatan aktivitas enzim proteolitik (tripsin dan


kimotripsin) oleh inhibitor protease terjadi karena terbentuknya ikatan
kompleks antara kedua senyawa tersebut (interaksi protein-protein). Langkah
pertama dalam interaksi tersebut menyangkut pemutusan ikatan arginin-
isoleusin pada inhibitor yang terdapat di antara ikatan disulfida, oleh enzim
tripsin, untuk membentuk suatu inhibitor termodifikasi, seperti dapat dilihat
pada Gambar 4.1. Hal ini diikuti oleh pembentukan ikatan antara fungsi
alkohol dari serin yang terdapat pada sisi aktif enzim tripsin dengan gugus
karbonil dari arginin pada inhibitor termodifikasi yang baru saja dibebaskan
ikatannya, seperti terlihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1.
Reaksi transformasi inhibitor aseli menjadi inhibitor termodifikasi, pada
inhibitor Kunitz dari kacang kedelai (Liener dan Kakade, 1969)
 PANG4325/MODUL 4.

Gambar 4.2.
Skema Interaksi antara Enzim Tripsin dan Anti-Tripsin Termodifikasi,
Membentuk Kompleks Tripsin-Inhibitor

Faktor yang menentukan daya hambat dari inhibitor tripsin adalah


konsentrasinya. Kunitz tahun 1947 merupakan orang pertama yang
mempelajari hal ini. Ini menyatakan bahwa daya hambat suatu inhibitor
terhadap aktivitas enzim tripsin adalah berbanding lurus dengan jumlah
inhibitor yang terdapat. Karena berat molekul enzim tripsin dan inhibitor
Kunitz hampir sama (sekitar 24.000) maka umumnya molar binding ratio-nya
dianggap 1 : 1. Pada kenyataannya perbandingan tersebut berkisar antara
0,425 sampai 1,85; hal ini disebabkan karena sukar sekali untuk memperoleh
baik enzim maupun inhibitor Kunitz dalam keadaan benar-benar umum.

C. PENGARUH FISIOLOGIS

Tepung kedelai mentah yang telah dihilangkan lemaknya ditemukan


dapat menghambat pertumbuhan tikus percobaan, menurunkan absorpsi gula
dan lemak, mengurangi daya cerna protein, menyebabkan hipertrofi
(pembesaran) pankreas, menstimulir hiper-sekresi enzim-enzim pankreas dan
mengurangi ketersediaan (availabilitas) asam-asam amino, vitamin serta
mineral.
Faktor antitripsin mempunyai andil besar dalam menghambat
pertumbuhan dan hipertrofi pankreas hewan percobaan yang mengkonsumsi
kedelai mentah. Seorang peneliti memperkirakan bahwa andil antitripsin
dalam menghambat pertumbuhan hewan percobaan yang mengkonsumsi
kedelai mentah adalah sekitar 30 - 50 persen, sedangkan hipertrofi pankreas
4. EVALUASI NILAI GIZI PANGAN

seluruhnya disebabkan oleh faktor tersebut. Sedangkan peneliti lain


menyatakan bahwa antitripsin bertanggung jawab hanya untuk 40 persen
dalam hal penghambatan pertumbuhan dan hipertrofi pankreas hewan
percobaan yang mengkonsumsi kedelai mentah.
Mekanisme terjadinya hipertrofi pankreas tersebut belum sepenuhnya
diketahui. Salah satu hipotesis yang dikemukakan adalah sebagai berikut:
derajat sekresi enzim tripsin dari pankreas ditentukan oleh konsentrasi enzim
tripsin bebas yang terdapat dalam usus. Bila konsentrasi enzim ini menurun
sampai di bawah batas tertentu, pankreas akan bereaksi untuk memproduksi
lebih banyak enzim; dan sebaliknya bila konsentrasi enzim dalam usus
kembali normal, aktivitas pankreas tersebut akan dihambat. Zat yang
mengatur mekanisme ini adalah suatu hormon, yaitu kolesistokinin
(cholecystokinine, CCK), yang dapat menstimulir aktivitas pankreas. Tetapi
pelepasan CCK dari mukosa usus dapat dihambat oleh enzim tripsin bebas.
Dari hipotesis tersebut jelas bahwa penurunan jumlah tripsin bebas
dalam usus (karena adanya interaksi dengan antitripsin), akan menstimulir
aktivitas pankreas untuk memproduksi L' lebih banyak enzim; dan untuk
mencapai tujuan ini maka akan terjadi pembesaran (hipertrofi) pankreas.
Secara skematis hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3.
Skema Mekanisme Pengaturan Sekresi Enzim Tripsin dan Pankreas
(Liener, 1979)

Penghambatan pertumbuhan hewan percobaan oleh antitripsin adalah


sebagai akibat dari kehilangan asam-asam amino esensial endogen, yang
diprovokasi oleh aktivitas hipersekresi pankreas. Hiperaktivitas pankreas
menyebabkan asam-asam amino esensial yang seharusnya digunakan untuk
 PANG4325/MODUL 4.

sintesis jaringan tubuh, diubah fungsinya dan digunakan untuk sintesis


enzim-enzim pankreas; dan asam-asam amino tersebut akhirnya akan
terbuang karena diekskresikan keluar bersama feses, berupa kompleks
tripsin-inhibitor.
Enzim-enzim yang diproduksi oleh pankreas (tripsin, kimotripsin)
diketahui banyak mengandung asam amino sistin. Oleh karena sebagian besar
sistin ini disintesis dari metionin maka peningkatan kecepatan sintesis enzim
oleh pankreas akan menyebabkan lebih cepat berkurangnya metionin dari
jaringan tubuh. Hal ini akan memperburuk keadaan, karena protein kedelai
sendiri kekurangan asam-asam amino dan metionin, dan sebagian dari asam-
asam amino tersebut terdapat dalam protein yang berupa antitripsin (Tabel
4.2) sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh.
Umumnya diasumsikan bahwa antitripsin adalah faktor utama yang
menyebabkan hipertrofi pankreas dan penghambat pertumbuhan hewan
percobaan yang mengkonsumsi kedelai mentah. Telah dibuktikan tidak
adanya korelasi antara kandungan antitripsin dan nilai PER (Protein
Efficiency Ratio) protein kedelai. Hal ini menunjukkan bahwa pengukuran
aktivitas antitripsin secara in vitro tidak selalu menggambarkan sifat-sifat
nutritif proteinnya.
Setelah faktor antitripsin dipisahkan dari tepung kedelai mentah, nilai
PER-nya meningkat, tetapi hipertrofi pankreas pada tikus percobaan tetap
terjadi. Hipertrofi pankreas tersebut disebabkan karena protein kedelai dalam
bentuk aslinya (native) bersifat refraktif terhadap hidrolisis oleh enzim
protease dan antitripsin bertindak lebih merendahkan lagi daya cerna protein
tersebut. Hal ini dapat lebih dijelaskan karena protein asli kedelai bersifat
sangat kompak dan sukar ditembus oleh enzim protease dibandingkan dengan
protein yang telah mengalami denaturasi. Terjadinya hipertrofi pankreas ini
perlu diperhatikan, karena seperti yang diamati pada tikus percobaan, berat
pankreas tikus berbanding terbalik dengan nilai PER protein kedelai.
Akhirnya para peneliti sampai pada kesimpulan bahwa penghambat
utama pertumbuhan hewan percobaan yang mengkonsumsi kedelai mentah
adalah kombinasi dari pengaruh antitripsin dan kenyataan bahwa protein
kedelai mentah berada dalam keadaan tidak terdenaturasi sehingga sulit
untuk dihidrolisis oleh enzim protease. Dalam kedua kasus tersebut,
mekanisme yang terjadi adalah hipertrofi pankreas dan hipersekresi enzim-
enzim oleh pankreas.
4. EVALUASI NILAI GIZI PANGAN

D. PENGARUH ANTITRIPSIN PADA MANUSIA

Meskipun tidak dapat disangkal lagi bahwa antitripsin kedelai


memegang peranan penting dalam gizi hewan percobaan (terutama tikus dan
ayam), pengaruhnya terhadap gizi manusia masih dipertanyakan. Penting
untuk dicatat bahwa umumnya penelitian in vitro terhadap antitripsin kedelai
menggunakan enzim tripsin yang berasal dari sapi, karena mudah diperoleh
secara komersial dalam bentuk kristal. Telah ditunjukkan bahwa enzim
tripsin manusia hanya sedikit dihambat aktivitasnya oleh antitripsin kedelai
maupun ovomukoid putih telur (yang juga bertindak sebagai antitripsin),
dibandingkan dengan enzim tripsin dari sapi. Demikian pula telah dibuktikan
bahwa tripsin manusia hanya sedikit dihambat aktivitasnya oleh antitripsin
kedelai dibandingkan dengan enzim tripsin dari tikus, monyet, sapi, babi, dan
musang (mink).
Data literatur menunjukkan hubungan antara hipertrofi pankreas dan
berat pankreas relatif (sebagai persentase dari berat tubuh), sebagai berikut:
pada spesies dimana berat pankreasnya lebih besar dari 0,3% berat tubuhnya,
antitripsin akan menyebabkan pembesaran pankreas; sedangkan bila kurang
dari 0,3%, ia tidak akan menyebabkan hipertrofi pankreas. Dalam hubungan
ini, manusia termasuk golongan kedua. Hal tersebut diperkuat oleh hasil
penelitian lain yang menunjukkan bahwa tepung kedelai mentah, meskipun
menyebabkan hipertrofi pankreas pada tikus, tidak berpengaruh terhadap
pankreas babi dan monyet.
Dari uraian di atas, jelas bahwa pengaruh antitripsin kedelai (dan
umumnya kacang-kacangan juga telur) terhadap manusia hampir tidak ada
sama sekali. Dan walaupun ada pengaruh antitripsin terhadap aktivitas enzim
tripsin manusia, umumnya kandungan antitripsin dalam produk makanan
yang berasal dari kacang-kacangan telah berkurang sekali, karena telah
dilakukan proses pengolahan (pemanasan) yang dapat mengakibatkan
terdenaturnya antitripsion sehingga peranannya akan kecil sekali.
Disimpulkan bahwa kecepatan penghancuran inhibitor tripsin dalam
kacang-kacangan oleh panas, merupakan fungsi dari suhu, lama pemanasan,
ukuran partikel bahan, dan kadar air bahan. Pemanasan dalam otoklaf pada
tekanan 15 psi selama 15 - 20 menit dapat menghancurkan hampir seluruh
aktivitas antitripsin dalam kedelai. Bila kacang kedelai terlebih dahulu
direndam dalam air selama beberapa waktu, pengukusan pada tekanan
 PANG4325/MODUL 4.

atmosfir juga dapat menghancurkan aktivitas antitripsinnya, tetapi perlakuan


perebusan lebih efektif untuk menghancurkan faktor antitripsin dibandingkan
dengan perlakukan pengukusan. Pemasakan ekstrusi (extrusion cooking)
menggunakan extruder, juga telah diketahui dapat menghancurkan aktivitas
antitripsin dalam kedelai.

E. PENGUKURAN AKTIVITAS ANTITRIPSIN


DAN ANTIKIMOTRIPSIN IN VITRO

Penetapan aktivitas antitripsin dilakukan dengan menggunakan metode


yang didasarkan atas penurunan kecepatan hidrolisis oleh enzim tripsin, suatu
substrat alami, yaitu kasein atau substrat sintetik, yaitu benzoil-DL-arginin-p-
nitroanilid. Metode yang paling banyak digunakan adalah metode Kakade, et.
al. (1974). Metode yang paling banyak digunakan untuk analisis
antikimotripsin adalah yang ditulis oleh Kakade et. al. (1970). Metode
tersebut mendasarkan pada penurunan kecepatan hidrolisis substrat (kasein)
oleh enzim kimotripsin dengan adanya faktor antikimotripsin dari sampel
yang dianalisis.

LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,
kerjakanlah latihan berikut!

1) Terdiri dari senyawa apa antiprotease yang terkandung dalam kacang-


kacangan?
2) Sebutkan macam-macam antitripsin yang terdapat dalam kacang kedelai!
3) Jelaskan mekanisme penghambatan aktivitas enzim proteolitik (tripsin
dan kimotripsin) oleh inhibitor protease!
4) Jelaskan bagaimana mekanisme terjadinya hipertrofi pankreas pada tikus
yang mengkonsumsi kedelai mentah!
5) Apakah penghambatan pertumbuhan dan hipertrofi pankreas pada tikus
yang mengkonsumsi kedelai mentah hanya disebabkan oleh antitripsin?
6) Jelaskan mengapa konsumsi kedelai mentah dapat menghambat
pertumbuhan tikus percobaan!
4. EVALUASI NILAI GIZI PANGAN

7) Jelaskan mengapa pengaruh antitripsin kedelai pada manusia hampir


tidak ada sama sekali!
8) Jelaskan bagaimana hubungan ukuran pankreas organisme dengan
hipertrofi pankreas!
9) Jelaskan bagaimana menghilangkan aktivitas antitripsin pada produk
kedelai!
10) Terangkan prinsip penetapan aktivitas antitripsin dan antikimotripsin
secara in vitro!

Petunjuk Jawaban Latihan

Untuk dapat menjawab soal-soal latihan di atas, Anda harus mempelajari


kembali Kegiatan Belajar 1 tentang Antitripsin dan Antikimotripsin, yang
meliputi sifat fisik dan komposisi asam amino, mekanisme penghambatan
enzim protease, pengaruh fisiologis dan pengaruhnya pada manusia, serta
pengukuran aktivitas antitripsin dan antikimotripsin in vitro.

RANGKUMAN

1. Senyawa yang mempunyai kemampuan untuk menghambat aktivitas


proteolitik beberapa macam enzim protease telah ditemukan dalam
bahan pangan nabati, terutama kacang-kacangan; dan telah
dibuktikan bahwa senyawa aktifnya adalah suatu protein.
2. Inhibitor protease dalam kacang-kacangan adalah protein yang
molekulnya kecil, mengandung atau tidak gugus gula dan berat
molekulnya bervariasi antara 4.000 sampai 80.000. Meskipun
antiprotease terdapat dalam bermacam-macam kacang-kacangan,
namun yang telah dipelajari secara mendalam adalah yang terdapat
dalam kacang kedelai.
3. Sekarang telah diketahui bahwa terdapat lebih dari enam macam
inhibitor protease dalam kacang kedelai, yaitu: inhibitor Kunitz,
inhibitor Bowman-Birk, SBTI-Al, SBTI-B1, SBTI-B2, inhibitor 1,9
S, inhibitor F1, dan inhibitor F3.
4. Mekanisme penghambatan aktivitas enzim proteolitik (tripsin dan
kimotripsin) oleh inhibitor protease terjadi karena terbentuknya
ikatan kompleks antara kedua senyawa tersebut (interaksi protein-
protein). Langkah pertama dalam interaksi tersebut menyangkut
pemutusan ikatan arginin-isoleusin pada inhibitor yang terdapat di
 PANG4325/MODUL 4.

antara ikatan disulfida, oleh enzim tripsin, untuk membentuk suatu


inhibitor termodifikasi. Hal ini diikuti oleh pembentukan ikatan
antara fungsi alkohol dan serin yang terdapat pada sisi aktif enzim
tripsin dengan gugus karbonil dari arginin pada inhibitor
termodifikasi yang baru saja dibebaskan ikatannya.
5. Faktor yang menentukan daya hambat dari inhibitor tripsin adalah
konsentrasinya. Karena berat molekul enzim tripsin dan inhibitor
Kunitz hampir sama (sekitar 24.000) maka umumnya molar binding
rationya dianggap 1 : 1. Pada kenyataannya perbandingan tersebut
berkisar antara 0,425 sampai 1,85; hal ini disebabkan karena sukar
sekali untuk memperoleh baik enzim maupun inhibitor Kunitz
dalam keadaan benar-benar murni.
6. Faktor antitripsin mempunyai andil besar dalam menghambat
pertumbuhan dan hipertrofi pankreas hewan percobaan yang
mengkonsumsi kedelai mentah. Diperkirakan bahwa andil
antitripsin dalam menghambat pertumbuhan hewan percobaan yang
mengkonsumsi kedelai mentah adalah sekitar 30-50 persen,
sedangkan hipertrofi pankreas seluruhnya disebabkan oleh faktor
tersebut.
7. Mekanisme terjadinya hipertrofi pankreas tersebut belum
sepenuhnya diketahui. Salah satu hipotesis yang dikemukakan
adalah sebagai berikut : derajat sekresi enzim tripsin dari pankreas
ditentukan oleh konsentrasi enzim tripsin bebas yang terdapat dalam
usus. Bila konsentrasi enzim ini menurun sampai di bawah batas
tertentu, pankreas akan bereaksi untuk memproduksi lebih banyak
enzim; dan sebaliknya bila konsentrasi enzim dalam usus kembali
normal, aktivitas pankreas tersebut akan dihambat. Zat yang
mengatur mekanisme ini adalah suatu hormon, yaitu kolesistokinin
(cholecystokinine, CCK), yang dapat menstimulir aktivitas pankreas.
Tetapi pelepasan CCK dari mukosa usus dapat dihambat oleh enzim
tripsin bebas.
8. Penghambatan pertumbuhan hewan percobaan oleh antitripsin
adalah sebagai akibat dari kehilangan asam-asam amino esensial
endogen, yang diprovokasi oleh aktivitas hipereksresi pankreas.
Hiperaktivitas pankreas menyebabkan asam-asam amino esensial
yang seharusnya digunakan untuk sintesis jaringan tubuh, diubah
fungsinya dan digunakan untuk sintesis enzim-enzim pankreas; dan
asam-asam amino tersebut akhirnya akan terbuang karena
dieksresikan keluar bersama feses, berupa kompleks tripsininhibitor.
9. Enzim-enzim yang diproduksi oleh pankreas (tripsin, kimotripsin)
diketahui banyak mengandung asam amino sistin. Oleh karena
sebagian besar sistin ini disintesis dari metionin maka peningkatan
4. EVALUASI NILAI GIZI PANGAN

kecepatan sintesis enzim oleh pankreas akan menyebabkan lebih


cepat berkurangnya metionin dari jaringan tubuh. Hal ini akan
memperburuk keadaan, karena protein kedelai sendiri kekurangan
asam-asam amino sistin dan metionin, dan sebagian dari asam-asam
amino tersebut terdapat dalam protein yang berupa antitripsin
sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh.
10. Telah dibuktikan tidak ada korelasi antara kandungan antitripsin
dan nilai PER (Protein Efficiency Ratio) protein kedelai. Hal ini
menunjukkan bahwa pengukuran aktivitas antitripsin secara in vitro
tidak selalu menggambarkan sifat-sifat nutritif proteinnya.
11. Hipertrofi pankreas disebabkan karena protein kedelai dalam bentuk
aslinya (native) bersifat refraktif terhadap hidrolisis oleh enzim
protease dan antitripsin bertindak lebih merendahkan lagi daya cerna
protein tersebut. Hal ini dapat lebih dijelaskan karena protein asli
kedelai bersifat sangat kompak dan sukar ditembus oleh enzim
protease dibandingkan dengan protein yang telah mengalami
denaturasi.
12. Telah dibuktikan bahwa enzim tripsin manusia hanya sedikit
dihambat aktivitasnya oleh antitripsin kedelai maupun ovomukoid
putih telur (yang juga bertindak sebagai antitripsin), dibandingkan
dengan enzim tripsin dari sapi. Demikian pula telah dibuktikan
bahwa tripsin manusia hanya sedikit dihambat aktivitasnya oleh
antitripsin kedelai dibandingkan dengan enzim tripsin dari tikus,
monyet, sapi, babi, dan musang (mink).
13. Hubungan antara hipertrofi pankreas dan berat pankreas relatif
(sebagai persentase dari berat tubuh), adalah sebagai berikut: pada
spesies dimana berat pankreasnya lebih besar dari 0,3% berat
tubuhnya, antitripsin akan menyebabkan pembesaran pankreas;
sedangkan bila kurang dari 0,3%, ia tidak akan menyebabkan
hipertrofi pankreas. Dalam hubungan ini, manusia termasuk
golongan kedua.
14. Pengaruh antitripsin kedelai (dan umumnya kacang-kacangan serta
juga telur) terhadap manusia hampir tidak ada sama sekali. Dan
walaupun ada pengaruh antitripsin terhadap aktivitas enzim tripsin
manusia, umumnya kandungan antitripsin dalam produk makanan
yang berasal dari kacang-kacangan telah berkurang sekali, karena
telah dilakukan proses pengolahan (pemanasan) yang dapat
mengakibatkan terdenaturnya antitripsin sehingga peranannya akan
kecil sekali.
15. Kecepatan penghancuran inhibitor tripsin dalam kacang-kacangan
oleh panas, merupakan fungsi dari suhu, lama pemanasan, ukuran
partikel bahan dan kadar air bahan. Pemanasan dalam otoklaf pada
 PANG4325/MODUL 4.

tekanan 15 psi selama 15 - 20 menit dapat menghancurkan hampir


seluruh aktivitas antitripsin dalam kedelai. Bila kacang kedelai
terlebih dahulu direndam dalam air selama beberapa waktu,
pengukusan pada tekanan atmosfer juga dapat menghancurkan
aktivitas antitripsinnya, tetapi perlakuan perebusan lebih efektif
untuk menghancurkan faktor antitripsin dibandingkan dengan
perlakuan pengukusan. Pemasakan ekstrusi (extrusion cooking)
menggunakan extruder, juga telah diketahui dapat menghancurkan
aktivitas antitripsin dalam kedelai.
16. Penetapan aktivitas antitripsin dilakukan dengan menggunakan
metode yang didasarkan atas penurunan kecepatan hidrolisis oleh
enzim tripsin, suatu substrat alami, yaitu kasein atau substrat
sintetik, yaitu benzoil-DL-arginin-p-nitroanilid. Sedangkan untuk
analisis anti kimotripsin adalah mendasarkan pada penurunan
kecepatan hidrolisis substrat (kasein) oleh enzim kimotripsin dengan
adanya faktor antikimotripsin dari sampel yang dianalisis.

TES FORMATIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!


1) Antitripsin yang pertama kali diketahui terdapat dalam kedelai
adalah ….
A. SBTI B-I
B. inhibitor Kunitz
C. inhibitor Bowman-Birk
D. inhibitor F3

2) Antiprotease yang terdapat dalam kacang-kacangan adalah suatu ….


A. karbohidrat (gula)
B. lemak (lipida)
C. protein
D. asam amino

3) Mekanisme penghambatan aktivitas enzim tripsin oleh antitripsin adalah


karena adanya interaksi ….
A. protein-gula
B. protein-protein
C. protein-lemak
D. protein-asam amino
4. EVALUASI NILAI GIZI PANGAN

4) Selain menghambat pertumbuhan tikus percobaan, antitripsin juga


menyebabkan pembesaran organ ….
A. hati
B. usus halus
C. jantung
D. pankreas

5) Faktor penyebab terhambatnya pertumbuhan tikus percobaan yang diberi


ransum kedelai mentah ternyata adalah ….
A. antitripsin
B. antikimotripsin
C. antitripsin dan protein kedelai
D. protein kedelai yang belum terdenaturasi

6) Antitripsin kedelai tidak berpengaruh pada manusia karena ….


A. enzim tripsin manusia dapat mencerna antitripsin
B. enzim tripsin manusia tidak dapat mencerna protein kedelai
C. berat pankreas manusia berbanding berat tubuhnya > 0,3%
D. antitripsin akan menyebabkan pembesaran pankreas

7) Aktivitas antitripsin kedelai dapat dihilangkan dengan cara ….


A. perebusan pada suhu 100 °C selama 1 jam
B. pemanasan dalam otoklaf pada suhu 121 °C selama 15 menit
C. pemasakan sterilisasi
D. semua jawaban benar

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = Jumlah Soal 100%

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang
 PANG4325/MODUL 4.

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
4. EVALUASI NILAI GIZI PANGAN

K EGIATAN B E LAJAR 2

Fitohemaglutinin dan Senyawa Polifenol

A. FITOHEMAGLUTININ

Bahwa biji-bijian dari tanaman tertentu sangat beracun bagi hewan dan
manusia telah lama diketahui. Selama akhir abad ke-19 ketika ilmu tentang
bakteri baru berkembang, secara luas dipercaya bahwa keracunan oleh biji-
bijian tersebut disebabkan oleh toksin bakteri. Teori ini dapat disangkal
ketika Warden dan Waddell pada tahun 1884 mengamati bahwa zat racun
yang terdapat pada biji Abrus precatorius (Jeguirity bean) terdapat dalam
fraksi yang tidak diendapkan oleh alkohol dari ekstrak cair biji tersebut.
Beberapa tahun kemudian, Dixeon (1886-1887) berhasil memperoleh
konsentrat yang sangat beracun dari ekstrak biji Ricinus communis (Castor
bean, biji jarak). Akan tetapi, Stillmark pada tahun 1889 merupakan orang
pertama yang mengetahui bahwa fraksi protein dari biji jarak, yang disebut
ricin, mempunyai kemampuan untuk mengaglutinasi (mengendapkan) sel
darah merah. Sifat ini kemudian digunakan untuk memberi nama senyawa-
senyawa semacam itu sebagai fitohemaglutinin atau hemaglutinin.
Ladsteiner dan Raubitecheck pada tahun 1908 memperlihatkan untuk
pertama kalinya bahwa biji-bijian yang biasa dikonsumsi pun seperti Navy
beans dan kacang kapri, juga mengandung hemaglutinin. Landsteiner pada
tahun 1945 menemukan bahwa aktivitas hemaglutinin esktrak beberapa
macam biji-bijian menunjukkan perbedaan bila diuji dengan eritrosit dari
hewan yang berbeda. Kenyataan ini menunjukkan terdapatnya spesifisitas
terhadap jenis sel darah, dan hal ini membawa Boyd dan Shapleigh pada
tahun 1945 mengusulkan nama lectin untuk senyawa tersebut. Sekarang
nama lectin seringkali digunakan untuk menggantikan fitohemaglutinin atau
hemaglutinin.
 PANG4325/MODUL 4.

Tabel 4.3.
Sifat-sifat Hemaglutinin yang Telah Dimumikan dari Beberapa Jenis Tanaman

Sifat-sifat Hemaglutinin Pengaruh


Pemanasan
Jenis Tanaman Berat Jumlah
Gula Spesifik terhadap
Molekul Sub-unit
Nilai Gizi
Kacang tanah (Arachis 110.000 4 -D-Gal Marjinal
hypogaea)
Kacang loke (Canavalia 110.000 4 -D-Man, -D-Glc Meningkat
ensiformis)
(hemaglutininnya dikenal
sebagai Concanavalin A)
Horse gram (Dolichos 113.000 4 -D-GaINac Meningkat
bifuorus)
Koro wedus (Dolichos Belum dimumikan Meningkat
lablab)
Kacang kedelai (Glycine 122.000 4 -D-Gal, -D- Meningkat
max) GalNae
Barley (Hordeus vulgare) 40.000 2 -D-GaINac Tidak
berpengaruh
Kacang kapri (Lens 52.000 2 -D-Man, -D-Gle Marjinal
esculenta, Lens culinaria)
Kecipir (Lotus 120.000 4 -D-Fuc Meningkat
tetragonolobus)
Padi/beras (Oryza sativa) 10.000 4 Belum diketahui Tidak
berpengaruh
Kacang hijau (Phaseolus Belum dimurnikan Marginal
aureus, P. radiatus)
Scarlet runner beans 120.000 4 -D-GalNac Belum
(Phaseolus coccineus) diketahui
Kacang kerupuk 124.000 2 -D-GalNac Meningkat
(Phaseolus lunatus)
Kacang merah 120.000 4 -D-GalNac Menurun
(Phaseolus vulgaris)
Kacang arab (Pisum 53.000 4 -D-Man, -D-Glc Meningkat
sativum)
4. EVALUASI NILAI GIZI PANGAN

Sifat-sifat Hemaglutinin Pengaruh


Pemanasan
Jenis Tanaman Berat Jumlah
Gula Spesifik terhadap
Molekul Sub-unit
Nilai Gizi
Castor bean, biji jarak 60.000 2 -D-Gal, -D- Meningkat
(Ricinus communis) GalNac
(non-aglutinasi, dikenal sbg Ricin)

120.000 4 -D-Gal
Kentang (Solanum 46.000 2 (-D- Tidak
tuberosum) 1/2GIc/Nac)2 berpengaruh
Gandum (Triticum 36.000 2 (-D-Glc/Nac)2 Tidak
vulgaris) berpengaruh
Horse gram, broad bean, 50.000 4 -D-Man Meningkat
field bean (Vicia faba)
Common vetch (Vicia Belum dimurnikan Meningkat
saliva)

Keterangan:
Gula spesifik = gula yang dapat diikat oleh hemaglutinin yang bersangkutan
Gle = glukosa;
GlcN = glukosamin;
GlcNac = N-asetilglukosamin;
Fuc = fukosa;
Gal = galaktosa;
GalNac = N-asetilgalaktosamin;
Man = manosa;
(b-GIcNac)2 = diasetilkhitobiosa.
Sumber : Liener (1981)

Sejak itu diketahui bahwa hemaglutinin terdapat dalam banyak sekali


tanaman, terutama kacang-kacangan yang diketahui mempunyai nilai gizi
yang rendah, kecuali bila telah mengalami proses pemanasan (Tabel 4.3).
Hemaglutinin juga ditemukan dalam serealia maupun umbi-umbian, namun
pengaruhnya terhadap nilai gizi bahan pangan tersebut tdak jelas, karena
perlakuan pemanasan tidak dapat memperbaiki nilai gizinya (Tabel 4.3).
 PANG4325/MODUL 4.

1. Sifat-sifat Umum
Kemampuan untuk mengaglutinasi set darah merah hanya merupakan
salah satu aktivitas biologis hemaglutinin. Sebagai tambahan dari sifat
tersebut, hemaglutinin mempunyai aktivitas lain, misalnya stimulasi
mitogenik terhadap limfosit, mengaglutinasi (preferential agglutination) sel-
sel tumor, memberikan pengaruh immunosupresif, dan lain-lain. Semua sifat
ini merupakan manifestasi dari kemampuan hemaglutinin untuk berikatan
dengan gula spesifk yang terdapat pada permukaan membran set.
Dari data pada Tabel 4.3. terlihat bahwa disamping terdapatnya
perbedaan yang luas dalam hal sifat fisiko-kimianya, beberapa generalisasi
dapat dibuat. Sebagian besar hemaglutinin mempunyai berat molekul yang
bervariasi dari 100.000 sampai 150.000 dan terdiri dari dua sampai empat
sub-unit yang identik atau tidak. Sejumlah kecil hemaglutinin, seperti yang
diisolasi dari kacang kapri (lentil), kacang kerupuk (lima bean),dan lembaga
gandum, kemungkinan besar “dimer” karena mempunyai berat molekul
setengahnya dari hemaglutinin yang “tetramer”. Pada umumnya tiap-tiap
sub-unit mempunyai sisi aktif pengikat gula; hal inilah yang menyebabkan
hemaglutinin mampu mengaglutinasi sel atau mengendapkan glikoprotein.
Akan tetapi, ada pula hemaglutinin yang walaupun tidak mampu
mengaglutinasi sel, bersifat toksik pada hewan atau manusia, misalnya ricin.
Sebagian besar hemaglutinin adalah glikoprotein yang mengandung
sekitar 1 - 4% karbohidrat. Kekecualian terdapat pada Concanavalin-A dari
kacang loke (Jack bean) serta hemaglutinin dari lembaga gandum dan kacang
tanah, yang tidak mengandung karbohidrat; sedangkan hemaglutinin dari
beras dan kentang mengandung banyak sekali karbohidrat, yaitu masing-
masing 25 dan 50%. Terdapat pula variasi yang besar dalam hal kandungan
asam amino sistin. Hemaglutinin dari kedelai, kacang tanah, dan wax bean
tidak mengandung residu sistin, sedangkan hemaglutinin dari lembaga
gandum dan kentang sangat kaya akan sistin. Concanavalin-A serta
hemaglutinin dari kacang arab dan kacang kerupuk (Lima bean), memerlukan
ion metal untuk aktivitasnya.

2. Sifat-sifat Berdasarkan Sumber Tanaman


Telah dibuktikan bahwa inhibitor tripsin bukan merupakan satu-satunya
penyebab terhambatnya pertumbuhan tikus percobaan yang diberi ransum
kedelai mentah. Hasil pengamatan ini diikuti oleh isotasi fraksi protein
kedelai yang mempunyai kemampuan untuk mengaglutinasi sel darah merah
4. EVALUASI NILAI GIZI PANGAN

dan bersifat toksik setelah disuntikkan pada tikus. Oleh karena destruksi
hemaglutinin sejalan dengan peningkatan nilai gizi kedelai maka disimpulkan
bahwa hemaglutinin ikut bertanggung jawab atas rendahnya nilai gizi kacang
kedelai mentah. Akan tetapi penelitian selanjutnya, di mana hemaglutinin
dipisahkan dari esktrak kedelai mentah dengan cara kromatografi afinitas,
membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan pertumbuhan hewan
percobaan yang diberi ransum ekstrak ini dibandingkan dengan yang
menerima ransum kedelai mentah utuh. Dari penelitian ini disimpulkan
bahwa hemaglutinin kedelai kecil sekali peranannya dalam menentukan nilai
gizi kacang kedelai.
Meskipun demikian, ternyata bahwa hemaglutinin yang terdapat dalam
common bean (Phaseolus vulgaris) bersifat toksik. Para peneliti memberikan
ransum pada tikus percobaan yang telah dicampur dengan hemaglutinin yang
telah diisolasi dari dua varietas P. vulgaris, yaitu black bean dan kidney bean;
dan mereka menemukan bahwa konsentrasi hemaglutinin dalam ransum
serendah 0,5% sudah mampu menghambat pertumbuhan tikus, sedangkan
konsentrasi yang lebih tinggi menyebabkan kematian hewan percobaan (lihat
Tabel 4.4.). Hasil yang sama telah pula ditemukan oleh peneliti-peneliti lain
untuk hemaglutinin dari kidney bean. Peneliti-peneliti ini juga melaporkan
bahwa setelah hemaglutininnya dipisahkan dengan cara kromatografi afinitas,
kacang tersebut tidak bersifat toksik lagi.

Tabel 4.4.
Pengaruh Hemaglutinin dari Black Bean dan Kidney Bean terhadap
Pertumbuhan Tikus Percobaan

Jumlah
Sumber Pertambahan Berat Kematian
Hemaglutinin
Hemaglutinin Badan (g/hari) (pd hari ke)
dalam Ransum (g)
0 +2,51
0,5 +1,04
0,75 -0,20
Black bean 1,2 -0,91 15-19
2,3 -1,61 12-17
4,6 -1,72 5-7
0 +2,31
Kidney bean 0,5 -0,60 13 -16
 PANG4325/MODUL 4.

Jumlah
Sumber Pertambahan Berat Kematian
Hemaglutinin
Hemaglutinin Badan (g/hari) (pd hari ke)
dalam Ransum (g)
1,0 -0,87 11-13
1,5 -1,22 4-7
Sumber: Honavar et. al. (1962)

Perendaman dalam air sebelum dilakukan pemanasan dalam otoklaf


diperlukan untuk menghilangkan toksisitas kidney bean secara keseluruhan
meskipun pemanasan dalam otoklaf selama 5 menit cukup untuk
menghilangkan toksisitas tepung navy bean. Akan tetapi, untuk beberapa
varietas P. vulgaris dari Afrika, diperlukan pemanasan selama 30 menit
dalam otoklaf untuk menghancurkan aktivitas hemaglutinin yang
dikandungnya.
Hemaglutinin yang terdapat dalam kacang-kacangan memperlihatkan
derajat spesifisitas yang berbeda tergantung pada jenis hewan darimana
darahnya digunakan untuk percobaan dan apakah sel darah merah tersebut
telah mengalami perlakuan (hidrolisis sebagian?) oleh enzim tripsin atau
tidak. Para peneliti telah membuat suatu studi yang sistematis mengenai
aktivitas hemaglutinin dan bermacam-macam varietas dan kultivar P.
vulgaris terhadap sel dash mesh dari hewan yang berbeda, dengan atau tanpa
tripsinasi, serta toksisitas ekstrak kacang-kacangan tersebut setelah
disuntikkan pada tikus.
Seperti dapat dilihat pada Tabel 4.5, hanya ekstrak yang mengaglutinasi
sel darah merah sapi yang telah diinkubasikan dengan tripsin yang bersifat
toksik bila disuntikkan pada tikus. Percobaan sebelumnya memperlihatkan
bahwa tikus yang diberi ransum yang mengandung ekstrak tersebut
pertumbuhan badannya terhambat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
pengujian aktivitas hemaglutinin sebaiknya dilakukan terhadap beberapa
jenis darah hewan dan sel darah merah sapi yang telah mengalami tripsinasi
merupakan sarana yang paling baik untuk menentukan toksisitas
hemaglutinin tersebut.
Ricin, hemaglutinin dari biji jarak, adalah yang pertama-tama menarik
perhatian para peneliti, karena toksisitasnya yang tinggi (dosis mematikannya
minimum 0,001 mcg/g pada mencit) sehingga membuatnya 1.000 kali lebih
beracun dibandingkan hemaglutinin lainnya. Keracunan dapat timbul setelah
mengkonsumsi biji jarak, karena itu detoksifikasi bungkil biji jarak perlu
4. EVALUASI NILAI GIZI PANGAN

dilakukan sebelum diberikan pada ternak. Pemanasan dengan nap yang biasa
dilakukan untuk memperoleh kembali pelarut dalam ekstraksi minyak biji
jarak, ditemukan efektif dalam menurunkan toksisitas ricin dalam bungkil
biji jarak sampai seperseribu kalinya sehingga bungkil tersebut tidak beracun
lagi baik bagi sapi, kelinci maupun tikus, meskipun diberikan sampai
sebanyak 10 persen dalam ransum.
Peneliti-peneliti terdahulu menyimpulkan bahwa toksisitas dan aktivitas
hemaglutinasi biji jarak disebabkan oleh komponen protein (hemaglutinin)
yang sama. Penelitian lebih lanjut membuktikan bahwa di dalam biji jarak
terdapat dua komponen protein, yang pertama adalah protein toksik (yang
dikenal sebagai Ricin) yang tidak mempunyai kemampuan untuk
mengaglutinasi sel darah mesh dan yang kedua (dikenal sebagai Castor Bean
Aglutinin) mempunyai kemampuan untuk mengaglutinasi sel darah merah
tetapi tidak bersifat toksik.

Tabel 4.5.
Korelasi antara Aktivitas Hemaglutinasi Spesifik dengan Toksisitas
Intraperitoneal pada Tikus, Ekstrak P. vulgaris dari Varietas dan Kultivar
yang Berbeda

Darah Darah Sapi, Toksisitas (Jumlah Tikus


Varietas/Kultivar
Kelinci Tripsinasi Disuntik/Jumlah Tikus Mati)
Valinde-albenga + + 5/4
Merida + + 9/9
Negro nicoya + + 5/4
Saxa + + 5/5
Peruvita + - 5/0
Palleritos + - 6/0
Juli + - 5/0
Cubagua + 5/0
Porillo - + 5/5
Negro No. 584 - 5/3
Vaennica seavagra - + 10/6
Hallado - - 5/0
Madrileno - - 5/0
Alabaster - - 5/0
Triguito - - 6/0
Sumber: Jaffe dan Brucher (1972)
 PANG4325/MODUL 4.

Concanavalin-A adalah nama yang diberikan pada hemaglutinin kacang


loke (Jack bean, Canavalia ensiformis), yang diisolasi untuk pertama kalinya
oleh Sumner pada tahun 1919. Telah diketahui bahwa penyuntikan langsung
Concanavalin-A pada hewan percobaan menyebabkan terjadinya aglutinasi
sel darah merah, diikuti oleh hemolisis dan akhirnya kematian hewan
percobaan. Demikian pula diketahui bahwa kacang loke tersebut mempunyai
nilai gizi yang rendah, kecuali setelah diberi perlakuan pemanasan. Yang
masih menjadi pertanyaan adalah apakah pengaruh negatif yang ditimbulkan
tersebut hanya disebabkan oleh Concanavalin-A.
Para peneliti telah memisahkan bagian protein yang mempunyai aktivitas
hemaglutinasi dari ekstrak kacang; akan tetapi mereka menemukan bahwa
fraksi lainnya masih memberikan efek racun (meskipun lebih rendah), setelah
dibuktikan pada tikus. Hal ini menunjukkan bahwa toksisitas yang
ditimbulkan oleh konsumsi kacang loke sebagian disebabkan oleh fraksi yang
tidak mempunyai aktivitas hemaglutinasi.
Hemaglutinin dari sumber-sumber lain (lihat Tabel 4.3), tidak akan
dibahas lebih lanjut dalam modul ini, karena sebagian besar meskipun
menunjukkan aktivitas hemaglutinasi in vitro, tetapi pengaruhnya terhadap
nilai gizi bahan pangan tersebut bagi manusia kecil sekali artinya.

3. Mekanisme Kerja
Aglutinasi sel darah merah oleh hemaglutinin dalam beberapa kasus
dapat dicegah dengan penambahan beberapa macam gula. Penemuan tersebut
memberi pengarahan pada kesimpulan yang akhirnya diambil, bahwa
mekanisme aglutinasi menyangkut terbentuknya ikatan spesifik antara
hemaglutinin dan gugus gula yang terdapat pada permukaan sel. Oleh karena
hemaglutinin adalah suatu glikoprotein maka nampaknya ikatan yang
terbentuk adalah antara gugus gula yang terdapat pada hemaglutinin dengan
gugus gula yang terdapat pada permukaan sel.
Dikemukakan bahwa pengaruh toksik hemaglutinin bila dikonsumsi
(oral) adalah karena kemampuannya untuk mengikat sisi reseptor spesifik
dari permukaan sel epitelial usus sehingga menyebabkan pengaruh non-
spesifik terhadap penyerapan zat-zat gizi melalui dinding usus. Hal ini
direfleksikan secara in vivo dengan menurunnya daya cerna protein. Telah
dibuktikan bahwa pencampuran hemaglutinin ke dalam ransum tikus
(kasein), menyebabkan penurunan daya cerna protein. Telah ditemukan
bahwa hemaglutinin bereaksi dengan brush border enterosit dari duodenum
4. EVALUASI NILAI GIZI PANGAN

dan jejunum (usus kecil) sehingga menyebabkan terganggunya proses


penyerapan zat-zat gizi. Keadaan ini menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan hewan percobaan dan dalam kasus ekstrim dapat menyebabkan
kematian.
Beberapa penelitian mendapatkan bahwa senyawa toksik dari Phaseolus
vulgaris tidak selalu identik dengan senyawa yang mempunyai aktivitas
hemaglutinasi Telah dibuktikan bahwa fraksi non-aglutinasi yang diisolasi
dari kacang-kacangan tersebut lebih beracun dibandingkan dengan fraksi
yang mempunyai kemampuan aglutinasi. Mekanisme toksisitas dari fraksi
non-aglutinasi tersebut belum diketahui. Akan tetapi, telah ditunjukkan
bahwa senyawa toksik non-aglutinasi dari biji jarak dapat menghambat
sistesis protein, dengan cara menginaktifkan komponen yang sangat
diperlukan untuk pemanjangan rantai peptida.

4. Pengaruh Hemaglutinin pada Manusia


Adalah sulit untuk menyatakan pengaruh hemaglutinin terhadap manusia
bila hanya didasarkan pada hasil-hasil penelitian menggunakan hewan
percobaan. Sepanjang perlakuan pemanasan dilakukan untuk menghancurkan
aktivitas hemaglutinin maka sesungguhnya tidak ada yang harus
dikhawatirkan dalam mengkonsumsi kacang-kacangan atau bahan lain yang
mengandung hemaglutinin. Akan tetapi kadang-kadang proses pemanasan
tersebut tidak cukup tinggi suhunya atau tidak cukup lama waktunya
sehingga inaktivasi hemaglutinin secara total tidak tercapai.
Campuran tepung kacang-kacangan dan serealia telah dianjurkan dalam
program perbaikan gizi anak-anak di negara-negara berkembang. Campuran
tersebut dibuat dari bahan-bahan yang tersedia secara lokal, dengan formulasi
sedemikian rupa agar komposisi asam-asam aminonya mendekati susu
bubuk. Akan tetapi, pemasakan campuran tersebut seringkali hanya
dilakukan dalam waktu singkat sehingga aktivitas hemaglutininnya tidak
dapat dihancurkan secara keseluruhan. Lebih lanjut, umumnya pemasakan
tersebut dilakukan dengan peralatan sederhana, tanpa pengadukan yang
cukup sehingga suhu yang dicapai oleh campuran tersebut tidak cukup tinggi
untuk menghancurkan hemaglutinin.
Daya tahan hemaglutinin yang tinggi terhadap pemanasan secara kering
perlu juga mendapat perhatian. Sebagai contoh, penambahan tepung kacang
kedelai mentah kepada tepung terigu untuk membuat roti dan kue-kue, perlu
 PANG4325/MODUL 4.

dilakukan secara hati-hati; karena ada kemungkinan hemaglutinin masih tetap


aktif dalam produk yang dihasilkan.

5. Penetapan Aktivitas Hemaglutinin


Penetapan aktivitas hemaglutinin secara in vitro dipengaruhi oleh jenis
darah yang digunakan serta perlakuan pendahuluan yang diberikan pada
darah tersebut. Telah ditemukan bahwa ekstrak hemaglutinin kedelai dapat
segera mengaglutinasi sel darah merah kelinci; tetapi eritrosit tikus hanya
dapat teraglutinasi oleh sejumlah besar ekstrak, sedangkan eritrosit domba
serta sapi sama sekali tidak teraglutinasi. Telah pula ditemukan bahwa
sensibilitas eritrosit kelinci untuk teraglutinasi oleh hemaglutinin akan
meningkat setelah diinkubasikan dengan papain atau enzim tripsin.
Disimpulkan bahwa penetapan aktivitas hemaglutinin perlu dilakukan
terhadap beberapa jenis sel darah merah, sebelum menetapkan toksik atau
tidaknya suatu jenis kacang-kacangan.
Sel darah merah sapi yang telah diinkubasikan dengan enzim tripsin
merupakan sarana yang paling baik untuk menetapkan potensi toksik suatu
kacang-kacangan; di mana hemaglutinin yang dapat mengaglutinasi sel darah
merah sapi umumnya bersifat toksik bagi hewan percobaan.

B. SENYAWA POLIFENOL

1. Reaksi Polifenol dengan Protein


Senyawa polifenol yang terdapat dalam tanaman termasuk asam fenolat,
flavonoid, dan tanin. Senyawa tersebut terdistribusi secara luas dalam daun,
batang, akar, bunga, buah dan biji, serta secara universal terdapat dalam
makanan hewan dan manusia yang berasal dari tanaman. Senyawa polifenol
dari kelas yang berbeda mempunyai pengaruh fisiologis dan gizi yang agak
berbeda. Misalnya, tanin dapat menurunkan daya cerna protein dan mungkin
bioavailabilitas nutrien lain (mineral). Flavonoid seringkali diteliti
sehubungan dengan pengaruhnya terhadap metabolisme vitamin C, tetapi
juga dilaporkan bahwa senyawa ini mempunyai aktivitas farmakologis dan
gizi.
Asam-asam fenolat terutama merupakan turunan dan asam sinamat dan
tersebar luas dalam tanaman pangan, di mana senyawa ini mungkin
merupakan alat mempertahankan diri terhadap serangan infeksi, predator, dan
parasit. Salah satu sifat kimianya yang penting adalah kemudahannya untuk
4. EVALUASI NILAI GIZI PANGAN

teroksidasi. Dengan adanya oksigen, asam klorogenat, asam kafeat, dan


senyawa orto-difenol lainnya dapat teroksidasi dalam larutan alkalis atau
karena aksi enzim polifenol oksidase. Produk pertama hasil oksidasi tersebut
adalah radikal orto-semikuinon atau molekul orto-kuinon yang bersifat sangat
reaktif, dan biasanya bereaksi lebih lanjut untuk menghasilkan produk
berwarna coklat dengan berat molekul tinggi. Jenis reaksi pencoklatan
enzimatis ini akan segera terjadi bila hancuran atau irisan sayuran atau buah-
buahan terkena udara.
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa grup sulfhidril dari sistein dan
grup epsilon-amino dari lisin serta grup alfa-amino terminal dapat mudah
bereaksi dengan kuinon. Metionin dan triptofan dapat juga bereaksi, dan
selain itu, metionin, sistein, dan triptofan dapat juga teroksidasi oleh kuinon.
Telah dilaporkan terbentuknya metionin sulfoksida selama ekstraksi protein
daun.
Bukti pertama mengenai pengaruh reaksi-reaksi tersebut terhadap mutu
protein ditunjukkan oleh reaksi larutan kasein dengan asam kafeat yang telah
dioksidasi secara enzimatis, asam isoklorogenat dan polifenol lain.
Dilaporkan bahwa protein berwarna coklat yang diperoleh mempunyai nilai
biologis, daya cerna, dan lisin tersedia (available lysine) yang lebih rendah
dibandingkan dengan kasein asal.
Melalui sistem model cairan yang mengandung kasein (5 persen) dan
asam kafeat (0,21,5 persen), ditemukan bahwa reaksi lisin tergantung pada
pH, oksigen, waktu, dan suhu reaksi serta konsentrasi asam fenolat. Dengan
adanya tirosinase, kehilangan lisin yang maksimum terjadi pada pH 7,0. Pada
pH 6,8 dan 7,5 kehilangan lisin reaktif hanya setengah dari jumlah yang
terjadi pada pH 7,0. Dengan tidak adanya tirosinase, hanya terjadi sedikit
kehilangan lisin sampai pH sistem tersebut dinaikkan menjadi 10,0; dan hal
tersebut hanya terjadi pada sistem yang mengalami pemberian oksigen
dengan disertai pengadukan.
Sebagian besar lisin reaktif yang hilang pada pH 10,0 terjadi selama 30
menit pertama reaksi. Reaksi pada pH 7,0 dengan adanya tirosinase terjadi
lebih lambat, yang mungkin disebabkan karena kecepatan oksidasi asam
kafeat yang rendah sehingga kehilangan lisin pada jam-jam pertama reaksi
sangat minimal. Jelaslah bahwa dalam pembentukan isolat protein dari bahan
nabati misalnya biji bunga matahari dan daun-daunan, yang mengandung
asam fenolat dalam jumlah tinggi, harus diupayakan agar penggunaan alkali
sama sekali dihindarkan. Meskipun enzim fenolase terdapat secara alami
 PANG4325/MODUL 4.

pada bahan-bahan tersebut, kelihatannya akan kecil kemungkinan terjadinya


kehilangan lisin yang cukup banyak, terutama bila pH sistem diatur antara
8,0 dan 9,0 atau lebih kecil dari 6,0.
Dalam penelitian menggunakan tikus percobaan, ransum yang diberikan
pada tikus berasal dari hasil reaksi larutan kasein (5 persen) dengan asam
kafeat (0,5 persen) selama 3 jam pada suhu 20°C, kemudian senyawa
kompleks kasein-asam kafeat yang terbentuk dikeringbekukan. Dari
penelitian ini ditemukan bahwa kehilangan lisin tersedia, metionin, dan
triptofan adalah sebesar 44, 26, dan 13 persen pada pH 10; dan sebesar 19,
13, dan 8 persen pada pH 7,0 dengan adanya tirosinase (Gambar 4.4.).
Hilangnya triptofan tersedia mungkin disebabkan karena menurunnya daya
cerna protein. Sedangkan hilangnya metionin tersedia mungkin terutama
disebabkan oleh oksidasi asam amino tersebut membentuk metionin
sulfoksida, yang pada kondisi tertentu berlangsung sempurna.

Gambar 4.4.
Persentase Asam-asam Amino yang Tersedia dan Daya Cerna Nitrogen Produk
Kafein yang Direaksikan dengan Asam Kafeat
(Hurell et. al., 1982)

Jumlah metionin sulfoksida, yang diukur setelah hidrolisis alkalis, adalah


1,4, 2,1, dan 2,2 g/16 g N berturut-turut dalam sistem yang berisi larutan
kasein (5 persen) pada pH 10,0 serta mengandung asam kafeat sebanyak 0,2;
0,5 dan 1,5 persen. Nilai-nilai yang hampir sama ditemukan juga dalam
sistem pada pH 7,0 dengan adanya tirosinase. Kasein yang tidak direaksikan
mengandung 2,7 g/16 g N metionin dan tidak mengandung senyawa
sulfoksida. Metionin sulfoksida tidak dapat digunakan oleh tubuh tikus
4. EVALUASI NILAI GIZI PANGAN

sebaik metionin aslinya. Lisin ditemukan dapat membentuk senyawa


kompleks berikatan kovalen dengan kafeokuinon. Hasil penelitian metabolik
membuktikan bahwa kompleks tersebut tidak dapat diserap oleh tikus, tetapi
secara langsung dalam feses (Gambar 4.5).
Dari Gambar 4.5 terlihat bahwa tikus-tikus yang diberi ransum campuran
kasein - asam kafeat yang mengandung 4 persen kafeat dan dibuat pada pH
10,0; mengeluarkan kembali sekitar 26 persen produk dari jumlah yang
dikonsumsinya dalam feses. Sedangkan sampel yang dibuat pada pH 7,0
dengan menambahkan tirosinase, dikeluarkan kembali dalam feses sebanyak
12 persen.

Gambar 4.5.
Ekskresi Radioaktivitas oleh Tikus yang Diberi Ransum Kasein Domba
Berlabel H - lisin, dalam Bentuk Asli dan Setelah Direaksikan dengan Asam
Kafeat (Hurrell et. al., 1982)

Reaksi-reaksi yang mungkin terjadi pada lisin yang terikat dalam protein
dengan asam kafeat diperlihatkan pada Gambar 4.6. Tahap pertama dalam
reaksi tersebut adalah konversi asam polifenat menjadi kuinon. Hal ini dapat
terjadi di bawah kondisi alkalis atau karena pengaruh enzim. Reaksi
berikutnya antara kuinon dan lisin adalah merupakan reaksi kovalen non-
enzimatis. Skema pada Gambar 4.6. juga memberi petunjuk bahwa senyawa
kompleks yang terjadi di bawah kondisi alkalis atau enzimatis adalah
berbeda, dan tiap-tiap unit lisin terikat dapat berasosiasi dengan beberapa unit
kuinon.
 PANG4325/MODUL 4.

Pada Gambar 4.6. dilukiskan dua jalur reaksi. Jalur pertama terjadi baik
dalam kondisi netral atau alkalis dan dalam jalur ini pertama-tama lisin akan
disubstitusikan ke dalam cincin kuinon. Diduga bahwa titik utama
pensubstitusian lisin adalah pada posisi 6 cincin kuinon, meskipun dapat pula
terjadi pada posisi 5. Pada langkah berikutnya terbentuk senyawa kompleks
antara lisin dengan polimer kafeokuinon. Ikatan silang (crosslinkage) dapat
terjadi bila unit lisin yang terikat pada rantai protein bersubstitusi pada posisi
2 cincin kuinon. Jalur kedua hanya terjadi dalam kondisi alkalis. Pada jalur
ini grup kuinon membentuk kuinonimin. Seperti pada jalur pertama, reaksi-
reaksi selanjutnya mengarah ke pembentukan senyawa kompleks antara lisin
dan polimer kuinon dan pembentukan ikatan silang juga mungkin terjadi.

Gambar 4.6.
Beberapa Reaksi yang Mungkin Terjadi antara Lisin yang Terikat pada
Protein dengan Asam-asam Kafeat dan Klorogenat
(Hurrell, 1984)
4. EVALUASI NILAI GIZI PANGAN

Pada Gambar 4.6. tersebut hanya diperlihatkan dua macam ikatan silang,
padahal banyak sekali ikatan silang yang mungkin terjadi, karena terdapat
lima posisi yang mungkin digunakan oleh lisin untuk berkombinasi dengan
kuinon.
Dapat disimpulkan bahwa selama ekstraksi protein (nabati)
menggunakan alkali, kafekuinon dan klorogenokuinon yang terbentuk karena
oksidasi senyawa fenolatnya, dapat bereaksi dengan residu lisin dalam
protein sehingga membuatnya menjadi tidak dapat digunakan lagi secara
biologis oleh tubuh. Konversi asam-asam fenolat menjadi kuinon dapat juga
terjadi karena pengaruh enzim-enzim fenolase pada pH netral, dan kuinon
yang terbentuk dapat bereaksi dengan lisin melalui cara yang sama. Tetapi
reaksi enzimatis lebih lambat dibandingkan dengan yang terjadi pada kondisi
alkalis sehingga pengaruhnya terhadap nilai gizi protein juga tidak terlalu
nyata.

2. Analisis Kadar Tanin


Telah dibuktikan bahwa senyawa polifenol (terutama tanin dan asam
fenolat) dapat menghambat aktivitas enzim-enzim seperti tripsin, kimotripsin,
amilase, dan lipase sehingga dapat menghambat pertumbuhan hewan
percobaan. Pengaruh tersebut disebabkan karena terjadinya penurunan daya
cerna protein dan karena terjadinya sedikit penurunan availabilitas
karbohidrat dan lipida; dan selain itu, tanin ditemukan juga dapat
menghambat penyerapan mineral terutama zat besi.
Kadar tanin biasanya ditentukan dengan menggunakan prosedur; uji
vanillin, uji Prussian Blue dan uji Folin-Denis; yang ketiganya didasarkan
atas sifat karakteristik kimia tanin. Suatu pengujian main yang didasarkan
atas kemampuannya untuk mengendapkan protein, mungkin dapat
memberikan data yang lebih terinci mengenai nilai gizi suatu bahan pangan.
Beberapa metode yang berdasarkan hal ini mempunyai kelemahan-
kelemahan. Metode AOAC untuk penetapan kadar tanin dalam daun teh,
yang berdasarkan pengendapan gelatin; ternyata tidak dapat digunakan untuk
menetapkan kadar tanin dalam sorgum. Metode yang didasarkan atas
kemampuan tanin untuk menghambat aktivitas enzim beta-glukosidase, tidak
mudah untuk diinterpretasikan, karena hubungan antara pembentukan
kompleks yang tidak larut dengan aktivitas enzim tidak dapat dimengerti
sepenuhnya.

Anda mungkin juga menyukai