Anda di halaman 1dari 16

Pengertian norma 

adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu


kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan
kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial.
Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi
sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau
suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya,
norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib
sebagaimana yang diharapkan.

Siapa pun yang melanggar norma atau tidak bertingkah laku sesuai dengan ketentuan
yang tercantum dalam norma itu, akan memperoleh hukuman. Norma merupakan hasil buatan
manusia sebagai makhluk sosial. Pada awalnya, aturan ini dibentuk secara tidak sengaja. Lama-
kelamaan norma-norma itu disusun atau dibentuk secara sadar. Norma dalam masyarakat berisis
tata tertib, aturan, dan petunjuk standar perilaku yang pantas atau wajar. Misalnya, bagi siswa
yang terlambat dihukum tidak boleh masuk kelas, bagi siswa yang mencontek pada saat ulangan
tidak boleh meneruskan ulangan. Sanksi yang diterapkan oleh norma ini membedakan norma
dengan produk sosial lainnya seperti budaya dan adat. Ada atau tidak adanya norma diperkirakan
mempunyai dampak dan pengaruh atas bagaimana seseorang berperilaku.

Untuk memahami pengertian perempuan tidak bisa lepas dari persoalan gender dan sex.
Perempuan dalam konteks gender didefinisikan sebagai sifat yang melekat pada seseorang untuk
menjadi feminim. Sedangkan perempuan dalam pengertian sex merupakan salah satu jenis
kelamin yang ditandai oleh alat reproduksi berupa rahim, sel telur dan payudara sehingga
perempuan dapat hamil, melahirkan dan menyusui. Perempuan mempunyai posisi yang khas di
dalam setiap masyarakat dan negara-negara di dunia. Banyak kontribusi yang diberikan oleh
perempuan di hampir seluruh lingkup kehidupan sehari-hari, seperti mengurus rumah tangga,
mengurus anak, bekerja dan sebagainya. Namun seringkali mereka menjadi warga negara kelas 2
(dua) dan terabaikan. Mereka seakan-akan menderita dalam ketiadaan dan menjadi kelompok
dalam posisi yang sering kali tidak menguntungkan dalam menghadapi berbagai halangan dan
rintangan.

UNICEF mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan
18 tahun. Sedangkan dalam hukum nasional difinisi anak dapat ditemukan dalam beberapa
peraturan perundang-undangan, antara lain: Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan
belum menikah. Ada berbagi difinisi anak yang dijabarkan dalam hukum nasional maupun
internasional. Menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 Tahun 1973, pengertian
tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Selanjutnya dalam Convention
on The Right Of the Child Tahun 1989 yang menyebutkan: For the purposes of the present
Convention, a child means every human being below the age of 18 years unless, under the law
applicable to the child, majority is attained earlier. 12 Dengan demikian disebutkan bahwa anak
adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah.

Sementara itu, 13 Sedangkan Undang-undang Perkawinan menetapkan batas usia 16


tahun untuk anak perempuan, dan 18 tahun untuk anak laki (dalam konteks dapat melangsungkan
perkawinan). Dari difinisi-difinisi tersebut secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia
dikategorikan sebagai anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai
batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan
sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah
seseorang melampaui usia 21 tahun

Perempuan dan anak adalah kelompok yang perlu mendapatkan perlindungan, karena
sistem sosial budaya dan kondisi fisik mereka. Karena itu perlu penguatan kemampuan dan
persamaan hak berdasarkan pada sensitivitas gender di tengah-tengah masyarakat masihlah
menjadi masalah utama mereka. Intensifikasi permasalahan perempuan dan gerakan pendukung
hak-hak perempuan di seluruh dunia telah direfleksikan melalui berbagai macam Konvensi yang
telah dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Beberapa perlindungan yang diakui secara
internasional tersebut telah membantu mengartikulasikan ideologi dari para kaum pejuang hak
perempuan. Perjuangan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan anak
guna melindungi kaum perempuan dan anak-anak dari kekerasan domestik sudah dilakukan
sejak dahulu, dan perjuangan melalui pembentukan peraturan perundangundangan akhirnya
berhasil dengan disahkannya UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, UU No. 23
Tahun 2004 Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau sering disebut dengan UU KDRT, dan UU
No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan terhadap Saksi dan Saksi Korban.
Adapun contoh kasus-kasus yang paling sering terjadi seperti kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) ditambah lagi adanya pandemi Covid-19, dikutip dari kompas.com dengan
adanya kebijakan pembatasan wilayah juga berarti banyak wanita dan anak perempuan yang
tinggal di rumah. Mereka terjebak bersama pria yang kehilangan pekerjaan atau sarana hiburan
untuk melepas stres, seperti menonton siaran olahraga atau berkumpul bersama teman. Pria-pria
ini kemudian melampiaskan rasa frustrasi mereka kepada wanita dan anak perempuan.

Di Perancis, kasus KDRT meningkat hingga sepertiga dalam satu minggu. Sementara,
Afrika Selatan melaporkan bahwa otoritas setempat menerima setidaknya 90.000 pengaduan
KDRT terhadap wanita pada minggu pertama diberlakukannya pembatasan wilayah. Pemerintah
Australia turut melaporkan bahwa pencarian online terhadap layanan bantuan KDRT meningkat
sebesar 75 persen. Di Turki, para aktivis menuntut perlindungan yang lebih baik setelah kasus
pembunuhan terhadap wanita meningkat pesat selama periode pembatasan wilayah yang
diberlakukan sejak 11 Maret 2020. 

Berdasarkan data Sistem Informasi Online PPPA (Simfoni-PPPA) pada 2 Maret hingga
25 April 2020, terdapat 275 kasus kekerasan perempuan dewasa dengan total korban 277 orang.
Selanjutnya, terdapat 368 kasus kekerasan anak dengan korban sebanyak 470 anak. Periode
tersebut merupakan waktu ketika kasus Covid-19 pertama kali dikonfirmasi di Indonesia.

Kekerasan bukan hanya berupa perlakuan fisik, dewasa ini ada pula kekerasan melalui
media ciber yang terdapat di internet. Komisi Nasional ( Komnas) Perempuan mencatat kenaikan
sebesar 300 persen dalam kasus kekerasan terhadap perempuan lewat dunia siber yang
dilaporkan melalui Komnas Perempuan. Kenaikan tersebut cukup signifikan dari semula 97
kasus pada 2018 menjadi 281 kasus pada tahun 2019. "Komnas Perempuan memberikan catatan
khusus terhadap siber ini yaitu kenaikan sebesar 300 persen dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya,"
Kenaikan tersebut, kata Mariana, dikarenakan perempuan banyak menjadi korban intimidasi
berupa penyebaran foto atau video porno. Parahnya, pelaku merupakan orang terdekat, pasangan,
ataupun orang-orang yang berada di lingkungan terdekatnya. "Yang menjadi catatan adalah
adanya peningkatan kasus siber sebagai pola baru di tahun ini yang ternyata persoalannya adalah
belum memiliki perlindungan hukum dan keamanan dalam internet terutama untuk perempuan,"
kata Mariana.
Selain itu ada pula perdagangan manusia yang masih mengintai kaum perempuan dan
anak, memperdagangkan manusia tampaknya dianggap sebagai hal lumrah. Sebuah kisah tragis
dalam peradaban dunia. Persoalan ini menindas hak-hak fundamental dan martabat manusia.
Kita tahu, human trafficking menjadi kejahatan internasional ketiga, di samping penjualan ganja
dan penjualan senjata (arms trafficking). Organisasi Buruh International (The International
Labour Organization, ILO) baru-baru ini memperkirakan 11, 4 orang menjadi korban kejahatan
ini, di mana 55 persen adalah kaum perempuan dan anak-anak. Indonesia menjadi salah satu
negara pelaku. Bahkan Indonesia menjadi negara transit bagi perempuan, anak-anak dan orang-
orang sasaran human trafficking, termasuk prostitusi paksa dan kerja paksa. Hal kerap timbul
karena ketidaktahuan masyarakat akan modus-modus perdagangan manusia.

Salah satu pemicu paling besar bagi masalah ini adalah kemiskinan. Ada beberapa faktor
katalis yang mendorong pertumbuhan kemiskinan, termasuk rendahnya kesadaran untuk bekerja
dan terampil mengolah usaha, kurangnya lapangan pekerjaan bagi yang berpendidikan dan tak
berpendidikan. Kemiskinan bertumbuh pesat dan memaksa masyarakat kecil untuk mencari
pekerjaan ke daerah atau negara yang surplus uang, tanpa melihat risiko. David Wyatt, peneliti
dari Australia melihat adanya penyebab struktural seperti pendidikan yang rendah. Kebanyakan
anak Indonesia tidak berpendidikan, karena subsidi pendidikan minim untuk anak-anak miskin.
Kesenjangan sosial antara orang kaya dan miskin melebar dan rendahnya komitmen penegak
hukum serta negara untuk mengatasi persoalan sosial turut menjadi pemicu.

Faktor-faktor di atas akan sangat mudah dimanfaatkan oleh agen-agen trafficking. Prinsip


mendulang keuntungan dalam kemelaratan sosial menyebabkan persoalan menjadi lebih rumit.
Ada kecurigaan terselubung bahwa agen-agen bisa saja berkolaborasi dengan aparat hukum dan
kepolisian. Kisah menyuap aparat hukum memang bukan hal baru di Indonesia. Kalau dalam
persoalan trafficking mereka bermain di dalamnya, komplikasi persoalan digandakan.

Munculnya banyak kasus trafficking juga sangat bertautan dengan lemahnya penerapan


UU Nomor 21 / 2007 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Perdagangan Orang ( PTPPO).
Dalam kasus perdagangan manusia aparat hukum menerapkan KUHP dan tidak menggunakan
UU PTPPO. Ketidakjelasan menerapkan sebuah UU bisa membuat agen-agen trafficking yang
terkena UU PTPPO lolos dari jeratan hukum.
Ini merupakan kesalahan praksis hukum yang memicu bertumbuhnya persoalan ini.
Ketika kasus trafficking hanya ditakar oleh aparat hukum yang melihat dari tujuan sebuah kasus
saja dan hanya menuntut bukti materiil, maka persoalan tidak bisa secara komprehensif
diselesaikan. Pembuktian materiil tidak cukup mengatasi persoalan ini. Modus, tujuan dan resiko
(psikologis dan fisik korban) dari persoalan mesti menjadi pertimbangan hukum dalam
mengadvokasi korban.

Pada Maret 2005, sebuah kasus perdagangan orang terungkap atas laporan dari salah
seorang korban yang masih berusia 16 tahun. Dia melarikan diri dari tempat penampungan di
Pangadegan, Jakarta Selatan. Polisi menggerebek tempat penampungan dan menemukan 12
wanita, lima orang di antaranya anak-anak. Kepolisian Resor Jakarta Selatan sedang memeriksa
empat orang dari perusahaan pengerah tenaga kerja yang diduga memperdagangkan orang
dengan kedok pengiriman tenaga kerja ke luar neger dan dua pengawas penampungan.

Ada pula modus baru perdagangan manusia yang baru-baru ini terjadi, yaitu dengan
modus beasiswa belajar di Taiwan. Para korban dijanjikan kuliah sekaligus bisa bekerja dengan
upah minimum kurang lebih 10 juta rupiah per bulan dengan modal administrasi keberangkatan
sejumlah 35 juta. Namun setelah 18 bulan bekerja, tetapi hanya menerima sekira Rp2 juta dan
ada pula yang lebih parah karena tidak mendapatkan uang tersebut sama sekali sehingga
melaporkan ke pihak yang berwajib termasuk kepada kepolisian RI. Dalam menjalankan aksi,
kedua pelaku itu berbagi tugas. Tersangka (1) berperan sebagai orang yang menampung,
membantu medical dan pembuatan paspor. Selanjutnya tersangka (2) berperan sebagai orang
yang mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan keberangkatan calon pekerja migran
Indonesia (PMI) dan pihak yang berkoordinasi dengan agensi luar negeri tersebut. Para pelaku
dijerat Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara serta
Pasal 83 dan Pasal 86 huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan
Pekerja Migran dengan ancaman hukuman penjara maksimal 10 tahun atau denda Rp15miliar.

Masih banyak lagi modus yang digunakan dalam perdagangan manusia ini, banyaknya
permintaan organ dalam manusia untuk transplantasi menjadikan maraknya penculikan anak-
anak maupun penjualan organ tubuh ilegal di pasar gelap mejadi kian marak. Dibanding modus
lain, Perkawinan (paksa) cenderung luput dari perhatian. Upaya-upaya sosialisasi belum banyak
mengangkat modus ini, sehingga praktik-praktik dan potensi resikonya relatif tidak/sulit dikenali
di masyarakat dan akhirnya calon korban mudah terjerat menjadi korban. Modus pengantin
pesanan memang menargetkan perempuan dan atau anak perempuan. Ini melibatkan jaringan
perekrut dan perantara atau comblang di berbagai level, seperti di Kalimantan Baran dan Jakarta
hingga internasional untuk mencari dan pemperkenalkan kepada laki-laki asal Cina untuk
dinikahi dan kemudian dibawa ke Cina. Cara penipuan yang digunakan yaitu dengan
memperkenalkan calon suami sebagai orang kaya dan membujuk korban untuk menikah dengan
iming-iming akan dijamin seluruh kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Keluarga korban pun
diberi sejumlah uang. Banyak pula wanita-wanita yang berakhir menjadi korban di tempat-
tempat, prostitusi, disko dan bar. Sejauh ini tidak ada data pasti tentang berapa jumlah orang
yang menjadi korban perdagangan manusia di Indonesia karena kesulitan pemantauan.
Undang-undang yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap korban tindak
pidana kejahatan yang selama ini ada masih bersifat parsial dan keberadaannya tersebar dalam
berbagai peraturan perundangundangan sehingga hanya berlaku bagi kejahatan-kejahatan
tertentu. Sebagai contoh adalah Pasal 35 Undang-undang No. 26 Tahun 2000, tentang pengadilan
Hak Azasi Manusia dan Pasal 36 sampai dengan Pasal 42

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Hak atas perlindungan dan pemulihan


kepentingan hukum dalam proses peradilan pidana sebagaimana yang tertuang dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan terumuskan pula secara
moral dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and abuse of Power,
yang meliputi : jalan untuk memperoleh keadilan dan perlakuan yang adil, antara lain men
cakup;hak atas suatu mekanisme dalam mendapatkan keadilan; berhak memperoleh
ganti kerugian atas penderitaan yang dideritanya; memungkinkan untuk mendapatkan ganti
kerugian dengan tatacara formal (hukum) maupun secara non formal (dengan arbitrase,
praktek-praktek kebiasaan atau hukum adat), yang cepat, jujur, murah dan dapat diterima,
Namun dalam realitasnya korban tidak memperoleh apa-apa

Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang
berhasil diungkap atau ditemukan. Dalam proses persidangan, terutama yang berkenaan dengan
Saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya Saksi yang dapat mendukung
tugas penegak hukum. Padahal, adanya Saksi dan Korban merupakan unsur yang sangat
menentukan dalam proses peradilan pidana. Keberadaan Saksi dan Korban dalam proses
peradilan pidana selama ini kurang mendapat perhatian masyarakat dan penegak hukum. Kasus-
kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh Saksi dan Korban
takut memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak
tertentu. Tak jarang pula seorang korbanlah yang menjadi saksi dalam sebuah kasus tindak
pidana. Lalu siapa itu korban? Menurut Bambang Waluyo dalam bukunya yang berjudul
Victimologi Perlindungan Korban dan Saksi, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah
“orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau
mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak
pidana dan lainnya”. Disini jelas yang dimaksud “orang yang mendapat penderitaan fisik dan
seterusnya” itu adalah korban dari pelanggaran atau tindak pidana. Pada tahap
perkembangannya, korban kejahatan bukan saja orang perorangan, tetapi meluas dan kompleks.
Persepsinya tidak hanya banyaknya jumlah korban (orang), namun juga korporasi, institusi,
pemerintah, bangsa, dan negara. Mengenai korban perseorangan, institusi, lingkungan hidup,
masyarakat, bangsa, dan negara, dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Korban perseorangan adalah setiap orang sebagai individu mendapat penderitaan baik
jiwa, fisik, materiil, maupun nonmateriil;
2. Korban institusi adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian dalam
menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari
kebijakan pemerintah, kebijakan swasta maupun bencana alam;
3. Korban lingkungan hidup adalah setiap lingkungan alam yang didalamnya berisikan
kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat serta semua jasad
hidup yang tumbuh berkembang dan kelestariannya sangat tergantung pada
lingkungan alam tersebut yang telah mengalami gundul, longsor, banjir, dan
kebakaran yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan
manusia baik individu maupun masyarakat yang tidak bertanggung jawab;
4. Korban masyarakat, bangsa, dan negara adalah masyarakat yang diperlakukan
diskriminatif tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan serta hak sipil,
hal politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih baik setiap tahun.

Pengertian korban menurut beberapa peraturan hukum yang berlaku di Indonesia adalah
sebagai berikut :

1. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (3) tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Korban adalah orang yang mengalami penderitaan
fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.
2. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (3) tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi
“Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam
lingkup rumah tangga”.
3. Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (5) tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pengertian korban dalam Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi
“Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami
penderitaan baik fisik, mental ataupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami
pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat
langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah juga
ahli warisnya”.

Bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
kepada saksi dan korban dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Perlindungan fisik dan psikis: Pengamanan dan pengawalan,penempatan di rumah aman,
mendapat identitas baru, bantuan medis dan pemberian kesaksian tanpa hadir langsung di
pengadilan, bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
2. Perlindungan hokum: Keringanan hukuman, dan saksi dan korban serta pelapor tidak
dapat dituntut secara hukum (Pasal 10 UU 13/2006).
3. Pemenuhan hak prosedural saksi: Pendampingan, mendapat penerjemah, mendapat
informasi mengenai perkembangan kasus, penggantian biaya transportasi, mendapat
nasihat hukum, bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan dan lain
sebagainya sesuai ketentuan Pasal 5 UU 13/2006.
Kebijakan pemerintah adalah keputusan yang dibuat oleh suatu lembaga pemerintahan
atau organisasi dan bersifat mengikat para pihak yang terkait dengan lembaga tersebut untuk
mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu atau untuk mencapai tujuan
tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan manfaat orang banyak. (Peraturan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: Per/04/M.PAN/4/2007 Tentang Pedoman
Umum Formulasi, Implementasi, Evaluasi Kinerja, dan Revisi Kebijakan Publik Di Lingkungan
Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah – selanjutnya disebut Permenpan 2007).

Konsep kebijakan dalam Permenpan tersebut mengandung unsur: Pilihan pemerintah


untuk melakukan sesuatu dan melakukan sesuatu itu adalah mengatasi permasalahan tertentu
yang berkenaan dengan kepentingan orang banyak. Dalam kerangka pemikiran Thomas R. Dye,
konsep kebijakan publik dalam Permenpan tersebut termasuk dalam “apapun yang dipilih oleh
pemerintah untuk dilakukan”. Menurut Thomas R. Dye, “kebijakan publik adalah apapun yang
dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan” (dalam Budi Winarno 2002 dan
Irfan Islamy, 1992). Dalam kerangka pemikiran James Andersen tentang beberapa implikasi dari
konsep kebijakan publik, konsep kebijakan publik dalam Permenpan tersebut tersebut termasuk
dalam kebijakan publik yang bersifat positif, yakni bentuk tindakan pemerintah untuk
mempengaruhi suatu masalah tertentu.

Bentuk-bentuk kebijakan publik yang terkodifikasi adalah segenap peraturan perundang


undangan di tingkat pusat dan daerah. Pernyataan pejabat publik adalah pernyataan-pernyataan
dari pejabat publik di depan publik, baik dalam bentuk pidato tertulis, pidato lisan, termasuk
pernyataan kepada media massa. Catatan, Pejabat publik adalah setiap aparatur Negara yang
mempunyai kewenangan membuat kebijakan publik di lingkungan lembaga pemerintah pusat
dan daerah. Lembaga Pemerintah Pusat adalah Lembaga Kepresidenan, Kementrian Koordinator,
Kementrian yang memimpin Departemen, Kementrian Negara, dan Lembaga Pemerintah Non-
Departemen. Lembaga Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten,
dan Pemerintah Kota.

Proses pembuatan kebijakan dimulai dari formulasi kebijakan adalah suatu kegiatan yang
bertujuan merumuskan dan menetapkan suatu kebijakan tertentu. Kemudian implementasi
kebijakan adalah suatu kegiatan atau proses pelaksanaan atau penerapan kebijakan publik yang
telah ditetapkan. Dilanjutkan dengan evaluasi kinerja kebijakan adalah suatu kegiatan atau proses
yang mencakup penilaian suatu kebijakan publik yang telah berjalan dalam kurun waktu tertentu,
yang mencakup evaluasi pada kinerja formulasi kebijakan, kinerja hasil atau manfaat yang
dirasakan oleh publik, dengan memperhatikan factor lingkungan kebijakan yang bersangkutan.
Jika revisi kebijakan publik adalah suatu kegiatan atau proses perbaikan suatu kebijakan publik
tertentu, baik karena kebutuhan publik, maupun antisipasi kondisi di masa depan. Proses
pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses
maupun variabel. Beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik
membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik ke dalam beberapa tahap. Tujuan
pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan di dalam mengkaji kebijakan publik.

Selain memiliki persamaan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana


dikemukakan diatas, ada juga peraturan kebijakan yang berbeda dengan peraturan perundang-
undangan dari segi bentuk formalnya. Oleh karena itu, peraturan-peraturan kebijakan tersebut
dengan mudah dibedakan dari peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, format peraturan
kebijakan tersebut tersebut lebih sederhana daripada format peraturan perundang-undangan
misalnya nota dinas, surat edaran, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis, pengumuman dan
sebagainya.

Dapat dikatakan bahwa kebijakan pemerintah adalah suatu keputusan yang diambil oleh
lembaga pemerintahan guna mengatasi masalah yang yang terjadi namun tidak melangar hukum
maupun norma yang berlaku. Terkadang kebijakan pemerintah ini diambil saat adanya kasus
ataupun masalah yang sebenarnya bisa diatasi dengan undang-undang namun akan lebih baik
jika dibuatkan sebuah kebijakan guna menangani kasus tersebut.
Penanganan korban pasca terjadinya sebuah kejahatan yang menimpa korbannya
merupakan sebuah keharusan. Dalam kata pena Ada yang dengan mudahnya bangkit dan ada
juga yang memerlukan penanganan extra guna memulihkan trauma yang ditinggalkan dari kasus
tersebut. Adapula korban yang harus mendapatkan kesembuhan fisik karena sebuah tindakan
kejahatan yang dialaminya. Selain adanya undang-undang yang mengatur tentang perlindungan
terhadap korban, pemerintah juga menyediakan penanganan mental dengan melibatakan
psikiater. Kenapa penanganan korban pasca kejahatan menjadi penting?

Korban dalam Sistem Peradilan Pidana semestinya diberikan access to justice, yaitu
kesempatan untuk bersaksi secara aman dan nyaman (terhindar dari ancaman dan kekerasan
fisik), demikian juga diberikan berbagai kebutuhan baik pengantian biaya yang dikeluarkan atau
biaya yang mungkin hilang apabila korban melaksanakan aktivitasnya membantu mengungkap
kejahatan, serta terhindar dari adanya pertanyaan yang menjerat dan rasa takut untuk berhadapan
dengan pelaku kejahatan ataupun penegak hukum. Di samping itu korban juga seharusnya
diberikan kesempatan untuk menceritakan dampak kejahatan yang dideritanya (victim impact
statement), maupun opininya tentang kejahatan yang terjadi ataupun tentang pelaku kejahatan
(victim opinion statement).

Peran serta negara (masyarakat) dalam membantu memberikan bantuan pemulihan


korban, selain melalui kompensasi juga dapat dilakukan dengan memberikan bantuan. Berbagai
bentuk batuan seperti konseling (bimbingan secara psikologis), bantuan keterampilan kerja,
dapat diilakukan melalui lembaga bantuan terhadap korban (victim assistence program). Program
ini menekankan pada peranan lembaga-lembaga yang dibentuk oleh negara ataupun lembaga-
lembaga sosial kemasyarakatan (LSM) lainnya.

Korban tidak saja dipahami sebagai obyek dari suatu kejahatan tetapi juga harus
dipahami sebagai subyek yang perlu mendapat perlindungan secara social dan hukum . pada
dasarnya korban adalah orang baik, individu, kelompok ataupun masyarakat yang telah
menderita kerugian yang secara langsung telah terganggu akibat pengalamannya sebagai target
dari kejahatan subyek lain yang dapat menderita kerugian akibat kejahatan adalah badan hukum.
Menurut Arif Gosita Pengertian korban adalah mereka yang menderita jasmani dan
rohani sebagai tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang
lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.

Hak-hak korban yaitu :

1. mendapatkan ganti kerugian atas penderitaanya,

2. menolak restitusi dari pelaku / tidak memerlukanya

3. mendapatkan restitusi/ kompensasi

4. mendapatkan pembinaan dan rehabilitas

5. mendapatkan hak miliknya

6. mendapatkan bantuan penasehat korban

7. mempergunakan upaya hukum.

Korban biasanya menderita secara fisik dan emosional setelah tindak pidana, ada yang
perlu perawatan medis, kebanyakan memerlukan dukungan emosional. Peran teman atau
keluarga sangat berarti di sini; Di lain pihak, pengaruh mental, fisik dan pengaruh keluarga dan
lingkungan sosial akan memberatkan bagi korban. Mereka merasakan hal ini sangat berat.
Beberapa dari mereka mengharap dukungan dari kelompok penyantun dan pendukung korban.

Dalam sebuah contoh kasus pemerkosaan seorang siswi SD di Semarang, kita ketahui
bahwa korban selalu menanggung dampak fisik dan psikis. Apalagi jika korban masih anak-
anak, korban PL diketahui dipeskosa berulang kali oleh 21 orang pria. Dalam kasus ini Wakil
Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti yang ditugasi mendampingi korban mengungkapkan,
PL mengalami gangguan pada organ reproduksi pasca-pemerkosaan itu. Selain itu, ia juga
trauma jika berhadapan dengan laki-laki dan malu bergaul dengan teman-temannya.
Tidak mudah untuk PL pulih. Ia tak hanya memerlukan perawatan medis, tetapi juga konseling.
Penanganan pertama pada korban pelecehan dan perkosaan adalah memastikan
keamanannya, termasuk keamanan emosional. Dalam penanganan psikologis, pada tahap awal
akan dilakukan pemeriksaan psikologis untuk mengetahui kondisi korban,
Menurut Ivon, proses pemulihan trauma membutuhkan waktu yang tak sebentar bagi korban.
Tujuannya adalah korban benar-benar bisa menerima dan berdamai dengan kejadian tersebut.
Berikut sejumlah cara mengatasi trauma akibat pelecehan seksual pada pria dan wanita;

1. Terbuka dengan kejadian yang dialami


Jangan menyimpan sendiri atau bahkan menutup-nutupi kejadian pelecehan seksual.
Terbukalah dengan kejadian negatif yang dialami tersebut. Berbagi cerita dengan orang
yang dapat dipercaya dan dapat membantu melewati masa-masa sulit seperti keluarga,
sahabat, pasangan, dan tenaga ahli seperti polisi, psikolog atau dokter.

2. Mengikuti support group


Bergabung dengan support group merupakan salah satu bentuk terapi penyembuhan.
Support group merupakan kelompok dukungan yang terdiri dari orang-orang yang
memiliki atau pernah mengalami masalah yang serupa.

3. Menenangkan diri
Kejadian traumatis dapat tiba-tiba muncul kembali dalam ingatan pada situasi yang tak
terduga. Ingatan ini dapat memunculkan kepanikan, kecemasan, dan ketakutan. Saat hal
itu muncul, cobalah untuk menenangkan diri.

4. Menenangkan diri dapat dilakukan dengan menarik napas panjang secara perlahan. Pergi
ke tempat lain juga dapat membuat perasaan lebih tenang. Menghubungi orang yang
dipercaya juga dapat meringankan perasaan khawatir dan cemas.

5. Kegiatan sosial
Jangan mencoba untuk menutup atau mengisolasi diri. menyarankan untuk selalu
terhubung dengan lingkungan sosial. Misalnya, dengan berpartisipasi dalam kegiatan
sosial seperti aktivitas relawan. Studi menunjukkan aktivitas relawan dapat meredakan
stres dan rasa sakit.
Selain itu, dukungan dari orang terdekat juga penting untuk dapat bangkit kembali menjalani
kehidupan. Kesehatan mental korban sama pentingnya dengan kesehatan fisiknya, jika tidak
disembuhkan dapat memungkinkan seorang korban yang mengalami trauma seperti diatas dapat
menjadi pelaku di kemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai