Disusun Oleh :
Kelompok 3
FAKULTAS PSIKOLOGI
1. Trauma
Trauma adalah suatu keadaan ketika seseorang, menunjukan respon terhadap suatu hal dengan rasa
takut yang sangat berlebihan atau horor akibat pengalaman traumatis yang melibatkan suatu kematian,
perasaan terancam, cedera serius, atau ancaman terhadap kesehatan diri atau yang lain (APA, 2000).
Trauma merupakan suatu kata serapan yang berasal dari bahasa Yunani yang memiliki makna luka
(Weaver et al., 2004). Trauma merupakan keadaan ketika seseorang baik mengalami peristiwa secara
langsung ataupun tidak yang menjadikan dirinya terguncang atau mengalami kecemasan atau gangguan
psikologis yang berkelanjutan (Handoyo, 2019).
Rasa trauma pada umumnya akan selalu berhuungan dengan peristiwa adanya suatu situasi luar biasa
yang dialami seseorang baik langsung maupun tidak sehingga menimbulkan rasa cemas yang
berkelanjutan (Rusmana, 2009).
Trauma akan muncul beberapa bulan bahkan beberapa tahun pasca kejadian traumatik. Banyak kasus
menunjukkan bahwa meskipun diawal korban bencana terlihat baik baik saja, namun justru setelahnya,
apabila mendapatkan pemicu yang tepat, maka trauma tersebut akan muncul. Kejadian serupa juga bisa
terjadi bagi seseorang yang sempat dinyatakan terbebas dari trauma. Pemicu yang tepat bisa menjadikan
orang yang pernah sembuh dari trauma, muncul traumanya kembali (APA, 2000). Peristiwa tersebut
sering digolongkan sebagai Post Traumatic Stress Dissorder (PTSD). PTSD akan terjadi saat seorang
individu mengalami atau mengetahui suatu peristiwa yang dianggap tidak wajar secara ekstrim (Kaap-
Deeder, 2015; Kinchin, 2007). PTSD merupakan dampak dari pengalaman akan kejadian atau
serangkaian kejadian yang menjadikan seseorang merasa sangat tertekan (Schiraldi,
2011). Beberapa contoh penyebab PTSD antara lain perang, pemerkosaan, bencana alam, atau
kekerasan.
Terdapat lima macam bentuk gangguan pada aspek kehidupan (Rusmana, 2009). Kelima aspek tersebut
adalah
a. Aspek fisik (gejala 1)
b. Aspek Emosi (gejala 2)
c. Aspek Mental (gejala 3)
d. Aspek perilaku (gejala 4)
e. Aspek spiritual (gejala 5)
Upaya yang bisa dilakukan untuk menyembuhkan trauma pada dasarnya adalah kegiatan mengajak
korban untuk dapat merasa lebih tenang dan damai sehingga dapat memiliki pandangan baru (Malone,
2016).
Kesalahan yang terjadi adalah menyamakan aktivitas penyembuha trauma sebagai suatu pengobatan.
Penyembuhan trauma bukan merujuk pada aktivitas pengobatan. Penyembuhan trauma merupakan suatu
proses yang membutuhkan usaha oleh semua pihak yang terlibat baik terapis/konselor dan korban
Leveton, 2010). Trauma merupakan permasalahan yang sangat berat dan jika tidak
segera ditangani maka bisa “menular” dari satu individu ke individu lain bahkan lintas
generasi (Goodman, 2013). Salah satu bentuk terapi yang bisa diberikan kepada korban trauma bencana
alam adalah kegiatan terapi bermain (Handoyo, 2015)
2. Terapi Bermain
Sejarah terapi bermain
Penggunaan bermain dalam terapi anak dapat diadaptasi menurut orientasi teori yang dianut konselor
atau terapis. Dua pendekatan utama terapi bermain adalah psikodinamika dan client
centered (Dwijandono, 2005:297). Bentuk terapi bermain dikembangkan melalui pekerjaan Anna Freud
dan Melanie Klein. Ada perbedaan dan persamaan antara dua pendekatan ini. Anna Freud (dalam
Dwijandono, 2005:298) “menekankan beberapa perbedaan penting yang ada dalam terapi anak
dibandingkan dengan orang dewasa, dan ini akan dipegang kebenarannya tanpa memandang pendekatan
konseling yang digunakan”. Supaya konseling dengan anak dapat sukses, konselor harus dapat
menerapkan minat anak dan memotivasinya. Meskipun demikian, tanpa kerjasama dengan orang tua
barangkali kurang sukses. Terapi bermain berkembang secara perlahan dari usaha awal mengadaptasi
psikoanalisis untuk menyembuhkan anak. Sesudah ditemukan bahwa anak-anak tidak dapat
menggunakan asosiasi bebas untuk menjelaskan kecemasan mereka, Anna Freud, 926-1964 dan Melani
Klein, 1932 (dalam Dwijandono, 2005:298-299) menggabungkan kegiatan bermain ke dalam proses
terapeutik.
Dalam akhir tahun 1930an terdapat dua pendekatan yang berbeda dalam terpi bermain muncul yaitu:
terapi bermain aktif di mana anak-anak diberikan kebebasan dalam menyusun sesuatu dengan ketentuan
tertentu, terapis menggunakan permainan secara berlebih langsung sesuai dengan pendekatan yang
berorientasi pada model psikoanalisis tradisional dan terapi pasif di mana terapis membiarkan anak
terlibat tanpa batas dalam permainan (Dwijandono, 2005:300). Dasar aslinya terapi hubungan datang
dari hasil karya Otto Rank, yang menekankan pentingnya ketidaksadaran dan sejarah masa lalu dan
menekankan hubungan terapis klien sebagai sesuatu yang penting dan konsisten dan memfokuskan pada
ada, di sini dan sekarang. (Landreth, dalam Dwijandono, 2005:301).
Dalam tahun 1940an Carl Rogers (Dwijandono, 2005:301) mengembangkan terapi Client Centered Non
Directive (terapi yang berpusat pada anak secara tidak langsung) dengan orang dewasa yang
dimodifikasikan oleh Virginia Axline (1947) untuk digunakan dalam terapi bermain dengan anak-anak.
Konselor atau terapis dalam pendekatan Client Centered memusatkan pada hubungan fenomenologi
antara klien dan konselor. Konselor harus memberikan lingkungan permisif di mana anak di bebaskan
untuk menggambarkan konflik dan kesulitan-kesulitannya. Anak tidak pernah diberitahu bahwa dia
sedang dalam proses penyembuhan dalam suatu masalah dan tidak dikontrol atau diberikan struktur
dalam kegiatan bermainnya. Konselor yang berpusat pada klien percaya bahwa bermain adalah suatu
yang paling wajar dalam mengekspresikan diri. Axline (Dwijandono, 2005:302-303) mengungkapkan
delapan prinsip dasar dari pendekatan terapi bermain dari client centered non-directive adalah sebagai
berikut:
1. Terapis harus menciptakan suasana yang hangat, hubungan yang bersahabat pada anak, di mana
rapport yang baik berkembang sesegera mungkin.
3. Terapis harus mengembangkan perasaan permisif dalam hubungan dengan anak sehingga anak
merasa bebas mengekspresikannya secara terbuka.
4. Terapis harus waspada terhadap perasaan anak yang diekspresikan dan direfleksikan kembali
dalam bentuk tingkah laku.
5. Terapis diharapkan menghargai kemampuan anak dalam memecahkan masalahnya sendiri jika
diberikan kesempatan untuk melakukannya. Terapis bertanggung jawab dalam membuat pilihan dan
memulai mengubah anak.
6. Terapis tidak diperkenankan langsung menegur perbuatan anak atau bercakap-cakap dengan cara
apapun. Anaklah yang mengarahkan dan terapis mengikuti.
7. Terapis jangan cepat-cepat melakukan terapi. Ini merupakan proses yang perlahan-lahan dan
terapis harus mengenal anak dan orang tua terlebih dulu.
2. Model Terapi Client-Centered, Teori yang mendasari adalah teori Rogers, yang
berpandangan bahwa motivasi internal yang dimiliki anak-anak mendorong pertumbuhan dan aktualisasi
diri. Terapi bermain dengan pendekatan Client Centered Non Directive (terapi yang berpusat pada anak
secara tidak langsung), ini sesuai untuk anak-anak yang mengalami ketidaksesuaian antara kejadian
hidup dengan dirinya
3. Model Kognitif-Behavioral, Model ini berpandangan bahwa anak memiliki pikiran dan perasaan
yang sama seperti orang dewasa yaitu ditentukan melalui bagaimana anak berfikir tentang diri dan
dunianya. Model ini digunakan untuk menangani anak dengan kepercayaan irrasional yang
membawanya keluar dari perilaku maladaptif.
4. Model Ekosistemik, Dasar yang digunakan adalah teori dari terapi realitas, yang
mempunyai pandangan bahwa berada dalam interaksi terhadap lingkungan dapat mempengaruhi
perkembangan.
5. Model Eksistensialisme, Memiliki
pandangan bahwa anak-anak adalah manusia berguna, unik, ekspresi diri dan pertolongan terhadap diri
sendiri mendorong aktualisasi diri. Pendekatan ini menangani anak-anak yang mengalami kesulitan
untuk berkembang sesuai dengan keunikannya yang melemahkan pertumbuhandirinya sehingga
mengalami penolakan dalam menjalin hubungan dengan teman-temannya.
6. Model Gestalt, Model Gestalt melihat manusia secara total, dilahirkan dengan fungsi utuh.
Pendekatan ini untuk terapi anak yang mengalami kesulitan bertumbuh secara alami, anak yang
mencoba untuk memenuhi kebutuhan dengan cara yang tidak biasa, dan memiliki pengalaman luka baik
secara fisik maupun psikologis.
7. Model Jungian, Didasarkan pada teori analitik Jung, yang melihat bahwa psikis terdiri dari ego,
ketidaksadaran diri, dan ketidaksadaran kolektif, kekuatan menyembuhkan adalah bawaan. Pendekatan
ini biasanya digunakan untuk membantu anak yang mengalami ketidakseimbangan psikis, ego tidak
dapat menjebatani antara dunia luar dan dalam dirinya.
8. Model Psikoanalitik, Pendekatan ini menggunakan teori psikoanalisa tradisional, yang memiliki
dasar filosofi tentang anak yaitu anak memiliki rasa takut, memerlukan rasa aman, berusaha
berhubungan dengan tuntutan lingkungan. Pendekatan ini sesuai untuk anak yang mengalami konflik
internal, kekawatiran, represi, hambatan perkembangan, dan agresivitas.Terap bermain mempunyai akar
dalam model psikoanalisis tradisional. Pioner-pioner awal seperti Melanie Klein dan Anna Freud
menginterpretasikan bermain sebagai simbol dari konflik anak
Manfaat Bermain
Bermain merupakan aktivitas penting pada masa anak-anak. Berikut ini adalah bererapa manfaat
bermain pada anak-anak :
1. Perkembangan aspek fisik. Anggota tubuh mendapat kesempatan untuk digerakkan, anak dapat
menyalurkan tenaga (energi) yang berlebihan, sehingga ia tidak merasa gelisah. Dengan demikian otot-
otot tubuh akan tumbuh menjadi kuat.
2. Perkembangan aspek motorik kasar dan halus.
3. Perkembangan aspek sosial. Ia akan belajar tentang sistem nilai, kebiasaan-kebiasaan dan standar
moral yang dianut oleh masyarakat.
4. Perkembangan aspek emosi atau kepribadian. Anak mendapat kesempatan untuk melepaskan
ketegangan yang dialami, perasaan tertekan dan menyalurkan dorongan-dorongan yang muncul dalam
Materi Bermain
Materi bermain dalam terapi bermaian dapat diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
1. Mainan untuk memudahkan ekspresi,
Mainan adalah kata-kata anak-anak dan bermain adalah bahasa mereka. Oleh karena itu dalam terapi
bermain harus tersedia mainan yang memudahkan anak untuk mengekspresikan pikiran dan
perasaannya. Misalnya keluarga boneka manusia, keluarga boneka binatang, mobil, truk, bis
dll
2. Mainan yang mendorong kreativitas,
Beberapa mainan, sudah menjadi sifat dasarnya mendorong kreativitas. Sebuah kotak di pojok bisa
menjadi rumah. Contoh lain seperti krayon, malam, kertas lipat, balok kayu dll.
3. Mainan untuk menyalurkan emosi, Anak dapat menggunakan cat, pasir, tanah liat untuk
menyalurkan perasaannya yang kuat dimana dia tidak berani mengkomunikasikan dengan lebih terbuka
4. Mainan yang dapat mengekspresikan sifat agresi, Mainan senjata, pisau karet, pedang plastik,
perisai dari kayu, palu, catut menggambarkan kepada anak suatu arti yang mengekspresikan permusuhan
dan agresif. Menembak, menusuk, memukul, dan meninju dengan keras adalah ekspresi simbolik dari
kemarahan, dan jika diberi kebebasan bermain akan memberikan terapeutik katarsis, konsentrasi dan
koordinasi.
TERAPI BERMAIN
STANDAR
OPERASIONAL
PROSEDUR
1. Cara alamiah bagi anak untuk mengungkapkan konflik
dirinya yang tidak disadari (Wong: 1991)
2. Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
kesenangan yang ditimbulkannya tanpa mempertimbangkan
hasil akhirnya (Hurlock: 1978)
PENGERTIAN
3. Kegiatan yang dilakukan sesuai dengan keinginan dalam
mengatasi konflik dari dalam dirinya yang tidak disadari
serta dengan keinginan sendiri ubtuk memperoleh
kesenangan (Roster: 1987)
A. TUJUAN
B. PERENCANAAN
2. Karakteristik Bermain
a. Melatih ketenangan
b. Melatih kontak mata
3. Karakteristik Peserta
a. Usia 3 – 6 tahun
b. Pasien dan keluarga diberitahu tujuan bermain
c. Melakukan kontrak waktu
d. Tidak ngantuk dan tidak rewel
e. Keadaan umum mulai membaik
f. Klien bisa dengan tiduran atau duduk, sesuai kondisi klien
C. STRATEGI PELAKSANAAN
DAFTAR PUSTAKA
Hurlock, Elizabeth B. 1995. Perkembangan Anak Jilid 1. Alih bahasa : Med.
Meitasari T. dan Muslichah Zarkasih. Jakarta : Erlangga.
Landreth, Garry L. 2001. Innovations In Play Therapy. Taylor & Francis Group.
Mc.Mahon, Linnet. The Handbook of Play Therapy. London and New York.