Anda di halaman 1dari 5

TUGAS TUTORIAL III

Nama : Yogi Afrian


NIM : 041603405
Kode/Mata Kuliah : HKUM4208 / HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
Smt/Kls/Prodi : 5/A/S1-Ilmu Hukum
Tutor : Kurnisar, S.Pd.,MH

Soal dan jawaban :


1. Bagaimanakah konsep hak atas keadilan dalam kerangka negara hukum (The
rule of laws)? (20)
Jawab :
Kolonialisme dari bangsa adidaya terhadap bangsa yang lebih lemah dan
tindakan absolutisme pihak penguasa kepada rakyatnya melatarbelakangi timbulnya
konsep Hak Asasi Manusia (HAM). Konsep HAM dan kedaulatan sudah ada seiring
dengan perkembangan manusia namun mulai berkembang sejak abad pertengahan
di Eropa. Magna Charla dan Bill of Rights di Inggris yang dikeluarkan pada abad
pertengahan dianggap sebagai naskah pelopor yang memuat dan melindungi HAM,
meski sifatnya regional dan situasional untuk kondisi politik tertentu yang
berkembang di lnggris pada masa itu. Setelah perang dunia kedua menjadi puncak
momentum pelanggaran masif hak asasi manusia, pada tahun 1948, Perserikatan
Bangsa-Bangsa sepakat untuk merumuskan naskah internasional yang disebut
dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights) atau disingkat dengan DUHAM. Kemudian, setelah DUHAM, PBB
mengeluarkan instrumen internasional tentang perlindungan HAM yang dituangkan
lebih spesifik dan tegas ke dalam beberapa kovenan antara lain Kovenan tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik (International Convenant on Civil and Political Rights),
Kovenan tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya ( Convenant on Economic Social
and Cultural Rights), dll. Kovenan tersebut memiliki kekuatan hukum mengikat bagi
negara peserta yang menandatanganinya. Sebagai negara yang ikut
menandatangani DUHAM dan beberapa Kovenan , Indonesia memiliki instrumen
hukum nasional yang secara spesifik mengatur tentang perlindungan HAM, yakni
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Doktrin HAM
yang terus berkembang sampai saat ini bahkan sudah menjadi suatu landasan
berpikir dalam bemegara dan hubungan kenegaraan di dunia, tidak hanya diakui
sebagai naskah regional. Manusia memiliki akal budi dan nurani yang membuatnya
memiliki kemampuan untuk membedakan baik dan buruk, serta yang akan
membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya.
Akal budi dan nurani merupakan dua hal yang membedakan manusia untuk bebas
menentukan sikap dan perilaku. Akibat kebebasan tersebut adalah kemampuan
untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukan. Kebebasan dasar
dan hak-hak dasar itulah yang disebut HAM yang melekat secara kodrati sebagai
manusia. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti pengingkaran martabat
kemanusiaan. Dalam perkembangan doktrinnya, HAM menjadi tujuan dan dasar
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara. Negara
sebagai entitas daulat mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi HAM
setiap manusia. Salah satu bentuk perlindungan Negara terhadap HAM seseorang
adalah menjadi penengah atau pemberi jalan keluar bagi seseorang yang haknya
dilanggar. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Undang-Undang
HAM) menyebutkan beberapa hal yang berkaitan dengan hak untuk mendapatkan
keadilan. Hak-hak tersebut tentunya harus dilaksanakan oleh setiap orang yang
terkait, terlebih lagi para aparat penegak hukum. Demikian pula halnya dengan
lembaga hukum atau pengadilan yang menanganinya apabila terjadi konflik.
Mengingat masalah HAM bukanlah masalah yang hanya bersifat nasional, maka
forum penyelesaian sengketa pun dapat dilakukan melalui forum internasional, yang
telah mendapatkan pengakuan masyarakat dunia.

2. Jelaskan 5 (lima) contoh perlindungan hak kesejahteraan di Indonesia? (25)


Jawab :
Pengertian mengenai hak kesejahteraan dapat berarti luas yaitu segala hak
yang harus dimiliki oleh manusia dalam rangka mewujudkan kesejahteraannya
sebagai seorang manusia. Namun apabila dilihat dari hukum positif yang mengatur
hak asas manusia, yaitu Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 maka yang
dimaksud dengan hak kesejahteraan di Indonesia adalah sebagai berikut :
1) Setiap orang mempunyai hak milik, baik sendiri maupun bersama sama dengan
orang lain demi pengembangangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat
dengan cara yang tidak melanggar hukum. Hak milik merupakan hak mutlak
yaitu hak seseorang untuk menggunakan sesuatu yang dimiliki, hak
memperoleh hasil dan hak melakukan hak atas tindakan. Ini artinya bahwa
pemilik benda tak bergerak seperti tanah pun dapat menggunakan sesuai
kepcntingannya seperti menempatinya, menyewakan, atau menanami sehingga
memperoleh hasil. Setiap warga negara berhak mempunyai hak milik baik
pribadi atau berkelompok, namun pelaksanaan hak milik terscbut harus tetap
dijalankan dalam koridor dan tidak melanggar hukum. Aturan mengenai hak
milik ini dijamin dalam instrumen-instrumen HAM internasional dan peraturan
perundang-undangan. Hak milik pribadi bagi setiap orang adalah hak setiap
individu yang harus dihormati oleh siapa pun, sebab hak ini telah ditetapkan
sebagai dasar yang dimiliki setiap manusia sebagaimana dijelaskan dalam
Universal Declaration of Human Rights, pada Pasal 17 ayat (1) dan (2)
dijelaskan bahwa (1) setiap orang mempunyai hak milik baik secara sendiri-
sendiri maupun secara berkelompok dengan orang Lain (2) Tidak seorang pun
boleh dicabut haknya secara sewenangwenang
2) berhak memiliki harta benda secara pribadi dan juga harta benda secara
berkelompok. Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan
yang layak Setiap orang berhak bertempat tinggal serta, namun perlu
diperhatikan lebih lanjut apakah perumahan tersebut telah menjadi tempat
tinggal yang aman dan layak, dan apakah tempat tinggal tersebut dapat
melindungi kesehatan, fisik dan mental serta kualitas hidup orang yang tinggal
didalamnya. Perumahan yang layak secara umum, dapat dipandang sebagai
salah satu kebutuhan paling dasar manusia. Perumahan tidak hanya tempat
berteduh namun harus juga dapat melindungi penghuninya untuk mencapai
kualitas hidup yang layak.
3) Hak Khusus Bagi Kelompok Anggota Masyarakat tertentu: Walaupun setiap
orang mempunyai hak asas i manusia, namun terdapat beberapa kelompok
masyarakat yang memang mempunyai hak diperlakukan khusus dan diberikan
kemudahan oleh negara. Seperti penyandang cacat, anakanak, wanita hamil,
dan orang lanjut usia.
4) Hak Atas Pekerjaan Yang Layak Hak atas pekerjaan yang layak membawa
serta 2 (dua) pengertian dasar, yaitu pekerjaan dan layak. Secara umum,
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pekerjaan diartikan sebagai:
"pencaharian; yang dijadikan pokok penghidupan; sesuatu yang dilakukan untuk
mendapat nafkah" sedangkan pengertian layak adalah: ''wajar, pantas, patut"
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hak atas pekerjaan yang layak
adalah hak untuk memperoleh pencaharian sehingga mendapat nafkah yang
patul, sebagai pokok penghidupan. Hak tersebut merupakan hak asasi manusia
karena memf asilitasi penghidupan serta kelangsungan hidup seseorang dan
keluarganya secara berharkat dan bermartabat.
5) Hak Untuk Mendirikan Serikat Pekerja Hak untuk mendirikan serikat pekerja
dimaksudkan sebagai hak untuk mendirikan organisasi yang dibentuk dari, oleh,
dan untuk pekerja, baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggungjawab guna
memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan kepentingan pekerja
serta meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Dalam praktik,
terdapat beragam istilah yang digunakan untuk frasa 'serikat pekerja',
diantaranya serikat buruh, asosiasi pekerja, ikatan karyawan, paguyuban
pekerja dan lain-lain. Keragaman tersebut sesungguhnya berakar dari
pandangan bahwa 'pekerja' atau 'karyawan' adalah berbeda secara konseptual
dari 'buruh', sebagai akibat sejarah perkembangannya.

3. Jelaskan pengertian masing-masing sub hak dalam hak atas kebebasan pribadi?
(25)
Jawab :
Amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah memuat hak atas
kebcbasan pribadi ini yang terangkum dalam Pasal 28A-28J tentang Hak Asasi
Manusia. Sebelum hak ini menjadi bagian Amandemen UUD 1945, Pasal 4 Undang-
Undang HAM merumuskan bahwa hak kebebasan pribadi meliputi hak untuk hidup,
hak untuk tidak disiksa, hak kcbebasan pikiran dan hati nurani, hak beragama, serta
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Undang-Undang HAM mengelompokkan penjabaran hak atas kebebasan pribadi
secara jelas dan sistematis mulai dari Pasal 20-27 sebagai:
1) Hak untuk tidak diperbudak atau diperhamba (Pasal 20);
2) Hak atas keutuhan pribadi (Pasal 21 );
3) Kebebasan untuk memeluk agama dan beribadat (Pasal 22);
4) Kebcbasan atas keyak:inan politik dan mengeluarkan pendapat termasuk hak
mogok (Pasal 23-25);
5) Hak atas status kewamegaraan dan kebebasan untuk masuk dan meninggalkan
Indonesia (Pasal 26-27).
Selain pengelompokkan di atas, hak atas kebebasan pribadi juga dapat
diklasifikasikan ke dalam dua macam hak, yaitu:
1) Hak yang tidak dapat dikurangi (nonderogabte rights), terdiri dari: a. Hak untuk
tidak diperbudak atau diperhamba (Pasal 20); b. Hak atas keutuhan pribadi
(Pasal 21 ); c. Hak untuk memeluk agama dan beribadat (Pasal 22); d. Hak atas
keyakinan politik (Pasal 23 ayat (l) dan Pasal 24 ayat (1)) .
2) Hak yang dalam keadaan atau situasi khusus dapat dikesampingkan/tidak perlu
dipenuhi (derograble rights), terdiri dari: a. Hak mempunyai, mengeluarkan, dan
menyebarluaskan pendapat (Pasal 23 ayat (2)); b. Hak untuk mendirikan partai
politik, lembaga swadaya masyarakat, atau organisasi lainnya, hak
menyampaikan pendapat di muka umum termasuk hak mogok (Pasal 25); c. Hak
kewarganegaraan dan hak untuk berpindah keluar dan masuk Indonesia (Pasal
26 dan Pasal 27).

4. Jelaskan pelanggaran yang terjadi terhadap kasus Prita Mulyasari ditinjau dari
Pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia di Indonesia? (30)
Jawab :
1) Penyimpangan Terhadap Ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945,
Pasal 19 Deklarasi Universal (PBB) Untuk Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tanggal
10 Desember 1928, Pasal 2 Undang-Undang Pers dan Pasal 23 ayat (2) Undang-
Undang HAM. Kasus Prita ini menarik untuk dikaji baik dari segi hukum maupun
dari rasa keadilan. Seorang seperti Prita, satu sisi harus dijerat dengan pasal
pencemaran nama baik dan penghinaan karena dianggap telah mencemarkan
nama baik Rumah Sakit OMNI dan dokternya, padahal di sisi lain ia hanya
berusaha mengekspresikan (membagi) pengalaman pahit hidupnya kepada para
temannya. Jika ekspresi berkumpul dan berpendapat Prita ini dianggap sebagai
sebuah penghinaan, maka hal ini jelas merupakan sebuah pelanggaran terhdap
ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan :
”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang”. (Soetanto
Soepiadhy , 2004, hal.68). Pelanggaran lain terkait kebebasan berpendapat
adalah sebagaimana ditentukan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM), yang menyatakan : ”Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan
berpendapat dan berekspresi, dan hak ini termasuk kebebasan untuk memiliki
pendapat tanpa ada gangguan serta untuk mencari, menerima dan berbagi
informasi serta gagasan melalui apapun dan tanpa mengindahkan perbatasan
negara”. (Soetanto Soepiadhy , 2004, hal.68) 3 Lebih lanjut, kebebasan
memberikan informasi dan berita yang benar kepada publik, dilindungi oleh Pasal
2 Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyebutkan :
”Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan
prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”.
2) Kebebasan berpendapat juga dilegitimasi oleh Pasal 23 ayat (2) Undang- Undang
No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menentukan : ”Setiap orang
bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati
nuraninya secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik
dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan
umum dan keutuhan bangsa”. (Indonesia Legal Center Publishing, 2006, hal.10).

Selain penyimpangan terhadap UUD 1945 & UU No. 39 tahun 2009 tentang HAM,
kasus ini juga terdapat penyimpangan lain yaitu :
1) Penyimpangan Terhadap Ketentuan Pasal 28B UUD’45, dan Undang- Undang
No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Tindakan sewenang-wenang
Kejaksaan Negeri Tanggerang yang menahan Prita Mulyasari, ibu rumah tangga
dengan 2 (dua) orang anak yang masih batita (bawah tiga tahun) yang masih
membutuhkan ASI dari Prita, jelas merupakan sebuah pelanggaran terhadap
Pasal 28B Undang-Undang Dasar 1945, yang menentukan : ”Setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. (Soetanto Soepiadhy , 2004,
hal.69) Hal ini juga merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4 Undang-
Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan :
”Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan 4 diskriminasi”. (Syaifullah, 2008, hal. 46, atau
baca, Visimedia, 2007, hal. 8).
2) Penyimpangan Terhadap Ketentuan Undang-Undang Konsumen dan Praktek
Kedokteran Dalam kasus Prita, telah jelas bahwa hak-haknya sebagai konsumen
dan pasien dari rumah sakit OMNI International Hospital telah terenggut misalnya
hak untuk mendapat informasi yang benar atas hasil diagnosa dokter terhadap
pemeriksaan kondisi tubuhnya (sakitnya), oleh karena pihak OMNI tidak
memberikan respon positif saat Prita menanyakan perihal penyakit Prita yang
sebenarnya. Hal ini jelas merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4
huruf (c) Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
yang menyatakan : ”Hak konsumen antara lain adalah hak atas informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa”.
(Redaksi Sinar Grafika, 1999, hal.2). Prita yang mendapat berbagai infus dan
berbagai suntikan tanpa penjelasan dan izin dari Prita (pasien) atau keluarga
Prita (keluarga pasien) untuk apa hal itu dilakukan, bahkan ketika Prita meminta
keterangan perihal tujuan berbagai suntikan dan infus dimaksud, tidak ada
keterangan, penjelasan dan jawaban apapun, hal demikian jelas merupakan
sebuah pelanggaran terhadap ketentuan pasal 45 ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6)
Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yang
menyatakan : (1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasienharus mendapat
persetujuan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. (3) Penjelasan
sebagaimana dimaksud ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup : a. Diagnosis
dan tata cara tindakan medis, b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan, c.
Alternatif tindakan lain dan resikonya, d. Resiko dan kompilasi yang mungkin
terjadi. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan baik
secara tertulis maupun lisan. 5 (5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis
yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. (6) Ketentuan
mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) diatur dengan
Peraturan Menteri. (IKAPI, 2004, hal.22-23). Dari uraian penyimpangan-
penyimpangan di atas, jelas terbaca bahwa dalam kasus Prita para aparat
penegak hukum telah melakukan pelanggaran terhadap asas, dasar dan kaidah
hukum yang menyatakan ”lex superiori duroget lex inferiori”, dengan kata lain
bahwa hukum yang ada di bawah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang
ada di atasnya. Tindakan dan Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Prita
jelasjelas telah bertentangan dengan ketentuan hirarki perundang-undangan di
Indonesia yakni bertentangan dengan : - Pancasila ; dan - UUD 1945.

Anda mungkin juga menyukai