3. Jelaskan pengertian masing-masing sub hak dalam hak atas kebebasan pribadi?
(25)
Jawab :
Amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah memuat hak atas
kebcbasan pribadi ini yang terangkum dalam Pasal 28A-28J tentang Hak Asasi
Manusia. Sebelum hak ini menjadi bagian Amandemen UUD 1945, Pasal 4 Undang-
Undang HAM merumuskan bahwa hak kebebasan pribadi meliputi hak untuk hidup,
hak untuk tidak disiksa, hak kcbebasan pikiran dan hati nurani, hak beragama, serta
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Undang-Undang HAM mengelompokkan penjabaran hak atas kebebasan pribadi
secara jelas dan sistematis mulai dari Pasal 20-27 sebagai:
1) Hak untuk tidak diperbudak atau diperhamba (Pasal 20);
2) Hak atas keutuhan pribadi (Pasal 21 );
3) Kebebasan untuk memeluk agama dan beribadat (Pasal 22);
4) Kebcbasan atas keyak:inan politik dan mengeluarkan pendapat termasuk hak
mogok (Pasal 23-25);
5) Hak atas status kewamegaraan dan kebebasan untuk masuk dan meninggalkan
Indonesia (Pasal 26-27).
Selain pengelompokkan di atas, hak atas kebebasan pribadi juga dapat
diklasifikasikan ke dalam dua macam hak, yaitu:
1) Hak yang tidak dapat dikurangi (nonderogabte rights), terdiri dari: a. Hak untuk
tidak diperbudak atau diperhamba (Pasal 20); b. Hak atas keutuhan pribadi
(Pasal 21 ); c. Hak untuk memeluk agama dan beribadat (Pasal 22); d. Hak atas
keyakinan politik (Pasal 23 ayat (l) dan Pasal 24 ayat (1)) .
2) Hak yang dalam keadaan atau situasi khusus dapat dikesampingkan/tidak perlu
dipenuhi (derograble rights), terdiri dari: a. Hak mempunyai, mengeluarkan, dan
menyebarluaskan pendapat (Pasal 23 ayat (2)); b. Hak untuk mendirikan partai
politik, lembaga swadaya masyarakat, atau organisasi lainnya, hak
menyampaikan pendapat di muka umum termasuk hak mogok (Pasal 25); c. Hak
kewarganegaraan dan hak untuk berpindah keluar dan masuk Indonesia (Pasal
26 dan Pasal 27).
4. Jelaskan pelanggaran yang terjadi terhadap kasus Prita Mulyasari ditinjau dari
Pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia di Indonesia? (30)
Jawab :
1) Penyimpangan Terhadap Ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945,
Pasal 19 Deklarasi Universal (PBB) Untuk Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tanggal
10 Desember 1928, Pasal 2 Undang-Undang Pers dan Pasal 23 ayat (2) Undang-
Undang HAM. Kasus Prita ini menarik untuk dikaji baik dari segi hukum maupun
dari rasa keadilan. Seorang seperti Prita, satu sisi harus dijerat dengan pasal
pencemaran nama baik dan penghinaan karena dianggap telah mencemarkan
nama baik Rumah Sakit OMNI dan dokternya, padahal di sisi lain ia hanya
berusaha mengekspresikan (membagi) pengalaman pahit hidupnya kepada para
temannya. Jika ekspresi berkumpul dan berpendapat Prita ini dianggap sebagai
sebuah penghinaan, maka hal ini jelas merupakan sebuah pelanggaran terhdap
ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan :
”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang”. (Soetanto
Soepiadhy , 2004, hal.68). Pelanggaran lain terkait kebebasan berpendapat
adalah sebagaimana ditentukan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM), yang menyatakan : ”Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan
berpendapat dan berekspresi, dan hak ini termasuk kebebasan untuk memiliki
pendapat tanpa ada gangguan serta untuk mencari, menerima dan berbagi
informasi serta gagasan melalui apapun dan tanpa mengindahkan perbatasan
negara”. (Soetanto Soepiadhy , 2004, hal.68) 3 Lebih lanjut, kebebasan
memberikan informasi dan berita yang benar kepada publik, dilindungi oleh Pasal
2 Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyebutkan :
”Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan
prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”.
2) Kebebasan berpendapat juga dilegitimasi oleh Pasal 23 ayat (2) Undang- Undang
No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menentukan : ”Setiap orang
bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati
nuraninya secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik
dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan
umum dan keutuhan bangsa”. (Indonesia Legal Center Publishing, 2006, hal.10).
Selain penyimpangan terhadap UUD 1945 & UU No. 39 tahun 2009 tentang HAM,
kasus ini juga terdapat penyimpangan lain yaitu :
1) Penyimpangan Terhadap Ketentuan Pasal 28B UUD’45, dan Undang- Undang
No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Tindakan sewenang-wenang
Kejaksaan Negeri Tanggerang yang menahan Prita Mulyasari, ibu rumah tangga
dengan 2 (dua) orang anak yang masih batita (bawah tiga tahun) yang masih
membutuhkan ASI dari Prita, jelas merupakan sebuah pelanggaran terhadap
Pasal 28B Undang-Undang Dasar 1945, yang menentukan : ”Setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. (Soetanto Soepiadhy , 2004,
hal.69) Hal ini juga merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4 Undang-
Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan :
”Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan 4 diskriminasi”. (Syaifullah, 2008, hal. 46, atau
baca, Visimedia, 2007, hal. 8).
2) Penyimpangan Terhadap Ketentuan Undang-Undang Konsumen dan Praktek
Kedokteran Dalam kasus Prita, telah jelas bahwa hak-haknya sebagai konsumen
dan pasien dari rumah sakit OMNI International Hospital telah terenggut misalnya
hak untuk mendapat informasi yang benar atas hasil diagnosa dokter terhadap
pemeriksaan kondisi tubuhnya (sakitnya), oleh karena pihak OMNI tidak
memberikan respon positif saat Prita menanyakan perihal penyakit Prita yang
sebenarnya. Hal ini jelas merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4
huruf (c) Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
yang menyatakan : ”Hak konsumen antara lain adalah hak atas informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa”.
(Redaksi Sinar Grafika, 1999, hal.2). Prita yang mendapat berbagai infus dan
berbagai suntikan tanpa penjelasan dan izin dari Prita (pasien) atau keluarga
Prita (keluarga pasien) untuk apa hal itu dilakukan, bahkan ketika Prita meminta
keterangan perihal tujuan berbagai suntikan dan infus dimaksud, tidak ada
keterangan, penjelasan dan jawaban apapun, hal demikian jelas merupakan
sebuah pelanggaran terhadap ketentuan pasal 45 ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6)
Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yang
menyatakan : (1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasienharus mendapat
persetujuan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. (3) Penjelasan
sebagaimana dimaksud ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup : a. Diagnosis
dan tata cara tindakan medis, b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan, c.
Alternatif tindakan lain dan resikonya, d. Resiko dan kompilasi yang mungkin
terjadi. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan baik
secara tertulis maupun lisan. 5 (5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis
yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. (6) Ketentuan
mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) diatur dengan
Peraturan Menteri. (IKAPI, 2004, hal.22-23). Dari uraian penyimpangan-
penyimpangan di atas, jelas terbaca bahwa dalam kasus Prita para aparat
penegak hukum telah melakukan pelanggaran terhadap asas, dasar dan kaidah
hukum yang menyatakan ”lex superiori duroget lex inferiori”, dengan kata lain
bahwa hukum yang ada di bawah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang
ada di atasnya. Tindakan dan Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Prita
jelasjelas telah bertentangan dengan ketentuan hirarki perundang-undangan di
Indonesia yakni bertentangan dengan : - Pancasila ; dan - UUD 1945.