Anda di halaman 1dari 17

A.

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Restorative Justice saat ini telah menjadi istilah yang tren dan populer, khususnya
di kalangan akademisi, penegak hukum dan praktisi hukum sebagai sebuah paradigma
atau pendekatan pemidanaan dalam menangani tindak pidana atau kejahatan, baik yang
dilakukan oleh anak-anak maupun orang dewasa. Sebagai sebuah paradigma atau
pendekatan pemidanaan, Restorative Justice diharapkan menjadi salah satu cara atau
alternatif penanganan tindak pidana atau kejahatan yang lebih mengedepankan
pemulihan keseimbangan hubungan antara pelaku tindak pidana dan korban.

Kejahatan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya tidak lepas dari berbagai
tekanan hidup, baik ekonomi dan sosial. Anak yang kurang atau tidak mendapat
perhatian secara fisik, mental maupun sosial seringkali berperilaku dan bertindak anti
sosial yang merugikan dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakat Akibatnya tidak
sedikit anak-anak yang menjadi pelaku tindak pidana atau kejahatan.

Terdapat beragam sebutan untuk anak yang melanggar norma yang hidup dalam
masyarakat dan melakukan tindak pidana. Diantaranya, pertama, sebutan anak nakal,
sebagaimana dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Kedua, anak yang
bermasalah dengan hukum, sebagaimana digunakan dalam UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, Ketiga anak dalam situasi khusus (children in need of
special protetion/ CNSP), sebagaimana dalam Konvensi Hak Anak/KHA (Conevention
The Right of The Childrens/CRC, Keempat, dalam perspektif UNICEF disebut,
Children in specialy difficult circumtances (CDEC). Ini karena kebutuhankebutuhan
anak itu yang tidak terpenuhi, sehingga rentan mengalami tindak kekerasan, berada di
luar lingkungan keluarga (berada pada lingkup otoritas institusi negara), membutuhkan
proteksi berupa regulasi khusus, membutuhkan perlindungan dan kemauan diri.
Kebutuhan-kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi karena anak tersebut tidak mendapatkan
perlindungan dan perawatan yang layak dari orang dewasa yang berada di lingkungan
tempat di mana biasanya anak menjalani hidup.

1
Untuk itu, perspektif Restorative Justice penting dikedepankan dalam menangani
problematika kejahatan anak. Argumentasinya adalah bahwa Restorative Justice dapat
ditawarkan sebagai suatu pendekatan dan penyelesaian utama, yang dianggap mampu
memenuhi tuntutan pemidanaan yang berorientasi pada sesuatu hal yang
menguntungkan bagi semua pihak. Pendekatan Restorative Justice merupakan suatu
paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana
yang bertujuan menjawab ketidakpuasan bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada
saat ini.

Seiring dengan perkembangan zaman seperti sekarang ini, semakin banyak


fenomena yang dihadapi dalam kehidupan seharihari terutama di bidang hukum.
Termasuk sebuah tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak. Pada dasarnya anak-
anak adalah sosok lugu, polos dan cenderung tidak berdosa, akan tetapi seiring dengan
perkembangan zaman, anak-anak akan menjadi sosok yang mengkhawatirkan bila
tidak dipantau perkembangannya yang mengakibatkan tidak sedikit anak-anak
berhadapan dengan hukum.

Tujuan hukum itu adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib di
dalam masyarakat. Masing-masing anggota masyarakat mempunyai berbagai
kepentingan segingga dalam memenuhi kepentingannya mengadakan hubungan-
hubungan yang diatur oleh hukum untuk menciptakan keseimbangan masyarakat. Di
Indonesia, untuk menciptakan keseimbangan masyarakat, terdapat sanksi bagi
pelanggaran hukum yang berlaku, yaitu sanksi administrasi dalam bidang Hukum Tata
Negara, sanksi perdata dalam bidang Hukum Perdata, serta sanksi pidana dalam bidang
Hukum Pidana.1

Penyidik anak, penuntut umum anak, hakim anak serta petugas pemasyarakatan
anak merupakan satu kesatuan yang termasuk dalam suatu sistem yang disebut sebagai
Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justie System), bertujuan untuk

1
Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di
Indonesia, (Bandung :Refika Aditama, 2008) hlm 2

2
menanggulangi kenakalan anak sekaligus juga diharapkan dapat memberikan
perlindungan kepada anak yang mengalami masalah dengan hukum. 2

Sering kita jumpai adanya tindakan kejahatan yang bahkan pelakunya merupakan
anak-anak, dimana para pelakunya dikatakan anak-anak apabila ditinjau berdasarkan
Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan anak, karena pelakunya
berumur kurang dari 18 tahun dan diatas 8 tahun. akan tetapi terdapat pembaharuan
hukum yang mengklasifikasikan definisi anak yang menghasilkan UndangUndang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang dimana terdapat
perubahan ketentuan anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah
berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun. Dalam hal ini tentu pemidanaan akan
diproses secara pidana anak dan tentu akan mendapatkan perlindungan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Mejadi Undang-
Undang yang dimana terkait dengan pembaharuan Hukum yang terdapat di dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

2. Identifikasi Masalah
1. Bagaimanakah Penerapan Restorataive Justice Sistem Peradilan Anak ?
2. Bagaimanakah Pengaruh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 terhadap
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Dan Perlindungan Terhadap Anak
Pelaku Tindak Pidana Di Tingkat Penyidikan ?

2
Ibid

3
B. PEMBAHASAN

1. Penerapan Restorataive Justice Sistem Peradilan Anak

Implementasi Restorative Justice dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak adalah


dilakukan melalui mekanisme Diversi, dengan produk pengadilan berupa penetapan
(Pasal 12 dan 52, dan non diversi/mediasi, yang bisa dilakukan di luar atau di dalam
persidangan, dengan produk pengadilan berupa putusan, yaitu pidana atau tindakan
(Pasal 69). Mekanisme dialog dan mediasi dilangsungkan dengan melibatkan selain
kedua belah pihak pelaku dan korban, dapat juga pihak lain. Berdasarkan kesimpulan
hasil penelitian dalam praktek peradilan pidana, penerapan Restorative Justice sebagai
wujud perlindungan hak anak yang berhadapan dengan hukum belum menjadi
kecenderungan utama

Terdapat banyak variasi bentuk pendekatan yang digunakan dalam penerapan


Restorative Justice. Secara umum model-model tersebut dapat dikelompokan menjadi
3 (tiga) bentuk utama yang dikenal, sebagai berikut:3

1) Victim offender mediation adalah salah satu bentuk pendekatan restoratif, di mana
dibuat suatu forum yang mendorong pertemuan antara pelaku dan korban yang
dibantu oleh mediator sebagai koordinator dan fasilitator dalam pertemuan
tersebut. Bentuk ini dirancang untuk mencari kebutuhan yang menjadi prioritas
korban, khususnya kebutuhan untuk didengar keinginan-keinginannya mengenai:
a) bentuk tanggungjawab pelaku;
b) b) kebutuhan akan pengobatan atau pendampingan bagi korban; dan
c) c) keinginan korban untuk didengarkan pelaku terhadap dampak tindak pidana
bagi kedua pihak dan berdiskusi tentang penanganan, usaha perbaikan dari
dampak yang diderita oleh keduanya.
2) Adapun conferencing adalah bentuk penerapan pendekatan Restorative Justice
yang dikembangkan di New Zealand, dan merupakan reaksi dari proses
penyelesaian perkara pidana secara tradisional yang ada di suku Maori, penduduk

3
Zulfa Eva Achjani, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Lubuk Agung, 2011)

4
asli bangsa Negara tersebut. Bentuk ini kemudian diadopsi oleh banyak Negara
seperti Australia, Afrika Selatan, Amerika Serikat dan beberapa Negara Eropa.
Dalam bentuk conferencing ini penyelesaian perkara bukan hanya melibatkan
pelaku dan korban langsung (primary victim), tetapi juga korban secara tidak
langsung (secondary victim) seperti keluarga atau kawan dekat korban serta
keluarga dan kawan dekat pelaku. Dari beberapa model conferencing yang
berkembang, model yang disebut Family Group Conference(FCG) menjadi model
yang berkembang terkait dengan penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan
oleh anak. Dalam model ini penyelesaian akhir difokuskan pada upaya pemberian
pelajaran atau pendidikan kepada pelaku atas perbuatannya terhadap korban.
3) circles adalah bentuk penerapan Restorative Justiceyang diadopsi dari praktek di
Kanada, di mana para pihak yang terlibat meliputi pelaku, korban, keluarga, dan
pihak lain yang terlibat termasuk di dalamnya penegak hukum. Berbeda dengan
dua model sebelumnya, dalam model ini, setiap anggota masyarakat yang merasa
berkepentingan dengan perkara tersebut dapat datang dan ikut berpartisipasi.
Dalam hal ini, Circles didefinisikan sebagai pihak-pihak yang berkepentingan
dengan tindak pidana secara meluas.

Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak


menggunakan istilah anak yang berkonflik dengan hukum. Anak yang berkonflik
dengan hukum adalah anak yang berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur
18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Anak yang berkonflik
dengan hukum dapat didefinisikan sebagai anak yang disangka, dituduh, atau diakui
sebagai anak yang telah melanggar Undang-Undang Hukum Pidana (Pasal 40 ayat (1)
Konvensi Hak Anak) 4. Dalam prespektif Konvensi Hak Anak, anak yang berkonflik
dengan hukum dikategorikan sebagai anak dalam situasi yang khusus. Anak yang
berkonflik dengan hukum adalah anak yang kebutuhankebutuhanya tidak terpenuhi,
sering mengalami tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga dan

4
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2009) hlm 113

5
membutuhkan perlindungan dan keamanan diri. Peran orang tua sangat dibutuhkan
dalam hal membina dan memberikan perlindungan kepada anak. Menurut Pasal 26 ayat
(1) huruf a Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak bahwa
“orang tua berkewajiban untuk mengasuh, memelihara, dan melindungi anak”

Konsep Restorative Justice telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang lalu
sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dengan pelaku anak. Kelompok Kerja
Peradilan Anak Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) mendefnisikan restorative Justice
sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu
duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan pemikiran bagaimana mengatasi
akibat pada masa yang akan datang. Restorative Justice pada prinsipnya merupakan
suatu falsafah (pedoman dasar) dalam proses perdamaian di luar peradilan dengan
menggunakan cara mediasi atau musyawarah dalam mencapai suatu keadilan yang
diharapkan oleh para pihak yang terlibat dalam hukum pidana tersebut yaitu pelaku
tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak pidana (keluarganya) untuk mencari
solusi terbaik yang disetujui dan disepakati para pihak. 5

Restorative Justice merupakan proses penyelesaian yang dilakukan di luar sistem


peradilan pidana (criminal Justice System) dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga
korban dan pelaku, masyarakat, serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu
tindak pidana yang terjadi untuk mencapai suatu kesepakatan 6. Konsep Restorative
Justice mempunyai pengertian dasar bahwa kejahatan merupakan sebuah tindakan
melawan orang atau masyarakat dan berhubungan dengan pelanggaran sebagai
pengrusakan norma hukum.

Masih banyaknya anak yang berkonflik dengan hukum melewati proses peradilan
dan masih banyaknya anak yang berkonlik dengan hukum dijatuhi pidana penjara.
Konsep Restorative Justice bisa dijadikan masukan dalam rangka memberikan
perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan hukum. Tujuan utama dari
Restorative Justice adalah perbaikan atau pergantian kerugian yang diderita oleh

5
Ibid hlm 135
6
Marlina, op cit, hlm 23

6
korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang diderita oleh korban atau masyarakat
akibat tindakannya, konsiliasi dan rekonsiliasi pelaku, korban dan masyarakat.
Restorative Justice juga bertujuan merestorasi kesejahteraan masyarakat, memperbaiki
diri dengan cara menghadapkan anak sebagai pelaku berupa pertanggungjawaban
kepada korban atas tindakanya. Contoh pertanggungjawaban kepada korban dalam
tindak pidana pencurian, anak sebagai pelaku dapat mengganti kerugian, atau
mengembalikan barang yang telah dia curi dari korban. Konsep Restorative Justice
tidak akan berjalan secara efektif tanpa adanya kerjasama dan keterlibatan antara
korban, pelaku, dan masyarakat. Jika antara kedua belah pihak antara korban dan
pelaku tidak menghendaki proses penyelesaian konflik secara musyawarah, proses
peradilan baru berjalan. Artinya, perkara betul-betul dipegang oleh aparat penegak
hukum yang mempunyai minat, perhatian, dedikasi, memahami masalah anak dan telah
mengikuti pelatihan Restorative Justice, dan penahanan dilakukan sebagai cara terakhir
dengan mengindahkan hak dari anak yang berkonflik.

Konsep restorative Justice yang diimplementasikan dalam Undang-Undang No.11


Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mempunyai dasar yuridis. Pasal
28 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan kembang, serta berhak atas perlindungan dan diskriminasi”. Hal ini
dijabarkan dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No.23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak dibuat sesuai dengan Konvensi Hak-Hak anak yang
diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan keputusan Presiden Nomor 36
Tahun1990.7

Peradilan pidana dengan Konsep Restorative Justice bertujuan untuk:

1) Mengupayakan perdamaian antara korban dan anak;


2) Mengutamakan penyelesaian di luar proses peradilan;
3) Menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan;

7
Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Di Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm 53

7
4) Menanamkan rasa tanggung jawab anak;
5) Mewujudkan kesejahteraan anak;
6) Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
7) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;
8) Meningkatkan keterampilan hidup anak

Sebenarnya dalam UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah ada upaya
pengubahan paradigma pemidanaan anak di Indonesia yang bukan lagi ditujukan untuk
memberikan pembalasan (dalam pandangan retributif), akan tetapi lebih diarahkan
pada proses pembinaan agar masa masa depannya menjadi lebih baik. Namun,
paradigma ini dirasakan tidak cukup karena perkembangan lebih jauh dari aturan dalam
Undang-Undang pengadilan anak di mana paradigma yang berkembang kemudian
bukan lagi sekedar mengubah jenis pidana menjadi jenis pidana yang bersifat
mendidik, tetapi seminimal mungkin memasukan anak ke dalam proses peradilan
pidana. Oleh sebab itu, dimasukan konsep Restorative Justice ke dalam pembahasan
dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak.

Pemahaman bahwa menjauhkan anak dari proses peradilan pidana menjadi penting
karena hal ini merupakan bagian upaya perlindungan hak asasi anak sebagaimana
tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang memberikan peluang untuk dilakukannya
proses pengalihan perkara (Diversi) yang dilakukan oleh Polisi dan Penuntut Umum
serta pejabat lain yang berwenang menjauhkan anak dari proses peradilan.

Konsep mengenai Restorative Justice masuk dalam Pasal 5, bahwa Sistem Peradilan
Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif (ayat (1)), yang
meliputi (ayat (2)):

a) Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan


ketentuan peraturan perundangundangan, kecuali ditentukan lain dalam
undang-undang ini;
b) Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan
umum;

8
c) Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama
proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau
tindakan. Dan ditegaskan bahwa pada huruf a dan b wajib diupayakan diversi
(ayat (3)).

Pasal 5 ayat (1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan
keadilan restoratif. Dapat dikatakan bahwa konsep Restorative Justice merupakan
sebuah terobosan hukum yang harus dan wajib digunakan dalam setiap perkara anak
yang berkonflik dengan hukum, dan mempunyai peran yang besar dalam masa depan
peradilan anak di Indonesia, karena Restorative Justice atau keadilan restoratif
mengangkat harkat dan martabat anak seperti yang dituangkan dalam Konvensi Hak
Anak. Restorative Justice mengupayakan perdamaian dalam perkara anak,
menyelesaikan konflik yang melibatkan anak, sehingga menanamkan rasa tanggung
jawab kepada anak serta dapat memberikan dampak positif dalam masa depan anak
yang berkonflik dengan hukum.

2. Pengaruh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 terhadap Undang-Undang


Nomor 11 Tahun 2012 Dan Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak
Pidana Di Tingkat Penyidikan

Sejak tahun 1901, yakni sejak dikeluarkannya UndangUndang tanggal 12 Februari


1901, Staatsblad Nomor 63 yang mengatur masalah pertanggungjawaban anak-anak
menurut hukum pidana di negeri Belanda, pemikiran-pemikiran banyak ditinggalkan
oleh pembentuknya, dimana mengenai anak-anak itu menurut pembentuk undang-
undang tersebut adalah bukan masalah pemidanaan bagi mereka, namun masalah
pendidikan yang perlu mereka terima. Menurut Pompe, dengan melihat pada ketentuan
pidana pasal 45 KUHP dimana ketentuan tentang langkah-langkah yang dapat diambil
oleh hakim:

1) Mengembalikan orang yang bersalah kepada orang tua atau walinya


2) Menempatkan orang yang bersalah dibawah pengawasan pemerintah

9
3) Menjatuhkan pidana bagi orang yang bersalah. 8

Maka dewasa ini anak-anak tersebut dapat dipidana, walaupun anak-anak tersebut
tidak dapat membedakan perbuatan baik dan buruk (oordeel des onderscheids) pada
saat mereka melakukan tindak pidana. hakim harus menyadari bahwa dalam
menghadapi anak-anak yang melakukan tindak pidana, yang penting bukanlah apakah
anak-anak tersebut dapat dihukum atau tidak, melainkan tindakan apa yang harus
diambil untuk mendidik anak-anak tersebut. Jenis-jenis pidana yang telah diancamkan
bagi pelaku dari berbagai tindak pidana dalam KUHP tidaklah penting bagi hukum
pidana anak, karena bagi anak yang melakukan tindak pidana adalah pidana dan
tindakan khusus yang berlaku bagi mereka.

Pidana anak adalah suatu penderitaan yang oleh undangundang pidana telah
dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim
telah dijatuhkan bagi anak yang melakukan kesalahan atau anak yang melakukan delik.
Sedangkan pemidanaan anak adalah penetapan hukuman pidana terhadap anak yang
melakukan delik.

Berdasarkan pasal 1 ayat (6) dan (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
menyatakan bahwa keadilan restoratif merupajan penyelesaian perkara tindak pidana
dengan melibatkan pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama
mencari penyelesaian yang asli dengan menekankan pemulihan kembali pada keadan
semula tanpa pembalasan, sedangkan Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara
anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana.

Dalam tahap penyidikan, penyidik wajib mengupayakan diversi dalam waktu


paling lama tujuh hari setelah penyidikan dimulai dan diversi dilaksanakan paling lama
tiga puluh hari setelah dimulainya diversi. Berdasarkan bahan yang telah dibaca oleh
penulis, maka tahapan Diversi dalam tahap penyidikan kurang lebih dapat dijelaskan
sebagai berikut:

8
Soekanto Soerjono dan H. Abdurahman, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta: Rineka Cipta,
2003) hlm 56

10
1) Laporan aduan diketahui sendiri oleh penyidik
2) Laporan dilanjutkan pada Penyidik anak dengan wajib meminta
pertimbangan petugas Bapas
3) Disaat yang bersamaan Bapas, Tenaga Sosial Profesional, Tenaga
kesejahteraan sosial, bekerja sama dengan Penyidik anak.
4) Hasil penelitian wajib diserahkan Bapas pada penyidik dalam waktu
paling lama 3x24 jam setelah permintaan penyidik diterima
5) Proses mediasi diversi antara Penyidik, pelaku, dan orang tua/wali,
korban dan orang tua/wali, pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial
Profesional
6) Apabila diversi diterima maka masuk ke tahap Program Diversi
7) Apabila ditolak, maka dilimpahkan ke Penuntut Umum anak dengan
melampirkan berita acara diversi dan laporan penelitian masyarakat dari
petugas Bapas.

Berdasarkan Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 huruf c dan
f menyatakan akan penyediaan sarana dan prasarana khusus untuk anak yang
berkonflik dengan hukum dan pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan
dengan orang tua atau keluarga. Hal ini berkonflik dengan pasal 9 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 karena pada pelaksanaan diversi tidak mengatur dan di
Indonesia masih belum menyediakan sarana maupun prasarana, hanya pelaksanaan nya
saja serta hasil penelitian kemasyarakatan dari bapas tanpa adanya penyediaan sarana
untuk melakukan proses diversi tersebut.

Ketentuan diatas juga bertentangan dengan pasal 32 ayat (2) Undang-Undang


Nomor 11 Tahun 2012 yang dimana untuk usia anak diatas 14 tahun dan dengan
ancaman pidana diatas 7 tahun maka akan dilakukan penahanan terhadap anak dan
menjauhkan anak tersebut dari keluarga dengan adanya penahanan tersebut, terlebih
dengan dua ketentuan tersebut anak tidak dapat diupayakan proses diversi yang dimana
hal ini bertentangan dengan ketentuan pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Juncto Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa

11
perlindungan anak menjamin dan melindungi hak anak untuk hidup, tumbuh, dan
berkembang secara optimal.

Terdapat keunggulan perlindungan hukum terhadap anak dalam Ius Constitutum,


hal ini secara langsung maupun tidak langsung menjadi acuan yang tertera dalam
produk hukum pidana anak. jenis pemidanaan anak, tidak diatur secara tegas dalam
KUHP. Sebelum pasal 45 KUHP dihapus, Hakim dapat memberikan putusan secara
alternatif menjadi tiga jenis pemidanaan:

1. Dikembalikan kepada orang tua/wali tanpa pidana


2. Diserahkan kepada pemerintah/lembaga sosial untuk dididik sebagai anak
negara tanpa pidana\
3. Dipidana terhadap seseorang yang belum dewasa

Penjatuhan pidana terhadap anak adalah upaya hukum yang bersifat Ultimum
Remidium, yang dimana maksudnya adalah penjatuhan hukuman terhadap anak
merupakan upaya hukum yang paling terakhir. Dimana dalam kondisi anak tersebut
sudah melakukan tindak pidana berulang kasi dan di satu sisi pihak keluarga tidak
mampu untuk mendidik dan mengawasi, maka berdasarkan Pasal 47 KUHP Hakim
dapat melakukan;

1. Mengurangi sepertiga dari pidana pokok


2. Menjatuhkan pidana penjara selama-lamanya 15 tahun bagi yang diancam
pidana mati atau seumur hidup
3. Meniadakan pidana tambahan, pencabutan beberapa hak tertentu dan
pengumuman keputusan hakim.

Banyaknya keunggulan-keunggulan pada hukum positif Indonesia terkait


perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana di tahap Penyidikan,
terdapat pula kekurangan-kekurangannya. Dalam hal ini diversi sebagai salah satu
keunggulan dari Ius Constitutum berpotensi melanggar hak anak karena pembentuk
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tidak mengatur secara eksplisit klausula,

12
“Anak yang telah mengaku bersalah melakukan tindak pidana/kejahatan”, sebagai
salah satu syarat penentu atau pertimbangan untuk dilakukannya diversi.

Selain itu, kewajiban dari pelaksanaan diversi senyatanya melanggar hak anak atas
asas praduga tak bersalah (Presumption Of Innocence), serta kewajiban pelaksanaan
diversi melanggar hak atas peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial). Hal-hal
ini menyebabkan kontroversi dan menjadi problematika didalam diversi. Sejatinya
pengupayaan diversi juga untuk kebaikan kedua belah pihak dalam penerapan
perlindungan anak agar tidak terdapat unsur pembalasan.

Berikut adalah beberapa kekurangan dari Ius Constitutum:

1) Ancaman Pidana 7 Tahun

Yang dimaksud disini adalah upaya diversi hanya dilaksanakan dalam hal tindak
pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara dibawah tujuh tahun. sehingga
diversi tidak dapat dilakukan terhadap terpidana anak yang diancam dengan pidana
penjara diatas tujuh tahun sehingga menimbulkan kesan diskriminatif, Dimana
seharusnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menganut filosofis untuk
kepentingan terbaik bagi anak

2) Bukan pengulangan tindak pidana

Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf a dan b Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012

3) Ultimum Remedium yang diskriminatif

Penempatan pidana terhadap anak sebagai upaya terakhir hanya dilakukan kepada
anak yang telah berumur 14 tahun atau lebih, dalam hal ini terdapat pembeda antara
anak yang telah dan belum berusia 14 tahun sedangkan dimana mereka masih masuk
kedalam kategori anak

4) Persetujuan korban

13
Dalam diversi untuk mencapai kesepakatan maka diperlukan persetujuan dari
pihak korban, dimana biasanya terdapat unsur pembalasan dari pihak korban untuk
memidanakan pelaku sehingga akan susah untuk memperoleh persetujuan dari korban.

Berdasarkan kekurangan diatas, maka agar terciptanya Ius Constituendum


terdapat beberapa solusi:

1. Peniadaan batas ancaman pidana untuk upaya diversi, sehingga anak akan
mendapatkan haknya untuk mendapatkan masa depan yang cerah dan
berdasarkan kepada kepentingan yang terbaik bagi anak.
2. Pengulangan tindak pidana terjadi karena kurangnya upaya dan sarana
prasarana yang bersifat preventif maupun kuratif. Dengan adanya kedua
tindakan ini maka akan meminimalisir pengulangan tindak pidana.
3. Batasan 14 tahun dihapuskan dan kembali kepada konsep awal dimana menurut
undang-undang nomor 11 Tahun 2012 anak adalah mereka yang telah berusia
12 tahun dan belum berumur 18 tahun
4. Upaya diversi diberikan sarana dan prasarana untuk mempermudah proses
mediasi antara pihak pelaku dengan korban, agar tidak terjadi unsur pembalasan
pada teori absolut dan berdasarkan teori relative dimana kejahatan tidak harus
diikuti dengan suatu pidana.

14
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
1. Konsep Restorative Justice dapat melengkapi penyelesaian anak yang
berkonflik dengan hukum, karena Restorative Justice dapat memperjuangkan
hak-hak anak di masa depan. Penerapan Restorative Justice terhadap tindak
pidana pencurian oleh anak di bawah umur mengikuti mekanisme pelaksanaan
diversi yaitu pengalihan hukum dari proses pidana ke proses luar pidana. Proses
diversi sebagaimana dimuat dalam UndangUndang Sistem Peradilan Pidana
Anak tidak akan berjalan tanpa menggunakan pendekatan Restorative Justice.
Dalam penerapan Restorative Justice dikenal adanya proses mediasi, negosiasi
antara pelaku tindak pidana, korban, keluarga pelaku dan korban, masyarakat
dan penegak hukum. Lebih efektif dan efesiensi bagi tindak pidana, di mana
melalui proses mediasi dan negosiasi disatukan mereka (pelaku, korban,
keluarga korban dan pelaku), masyarakat yang terkena dampak langsung tindak
pidana tersebut, dan melibatkan pihak yang netral untuk memediasi antara
pelaku dan korban sehingga mendapatkan kesepakatan bersama, sanksi
berdasarkan kesepakatan bersama terhadap pelaku tindak pidana pencurian
yang dilakukan oleh anak di bawah umur dapat berupa mengembalikan barang
atau kerja sosial sesuai dengan kesepakatan bersama sebagai kompensasi dari
perbuatanya.
2. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
tidak serta merta dapat dijalankan begitu saja, karena terdapat pada beberapa
pasal yang berkonflik dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan anak, terutama terletak pada Pasal 64 ayat (2) Huruf C dan F. Ius
Constitutum memiliki kekurangan dan kelebihan, keunggulannya terletak pada
pasal 26 ayat (3) UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012, Proses Diversi,
Keadilan Restoratif dan pasal 109 ayat (2) KUHAP. Sedangkan kekurangannya
adalah batasan 7 tahun ancaman pidana penjara, pengulangan tindak pidana,

15
Ultimum Remidium yang bersifat diskriminatif, dan membutuhkan persetujuan
dari pihak korban dalam diversi.
2. Saran
1. Dalam konsep Restorative Justice dalam melengkapi masalah anak yang
berkonflik dengan hukum harus mendapat perhatian khusus dari penegak
hukum. Sehingga konsep restorative justice dapat menyelesaikan masalah anak
yang berkonflik dengan hukum serta melakukan penyuluhan kepada
masyarakat, memberikan pengetahuan hukum dan memberikan pengetahuan
mengenai konsep restorative justice dalam penanganan anak yang berkonflik
dengan hukum agar tercipta kedamaian.
2. Dalam penerapan Restorative Justice terhadap tindak pidana anak di bawah
umur penyidik yaitu pihak kepolisian dalam hal ini harus membentuk 1 (satu)
tim khusus yang diberikan wewenang untuk melihat layak atau tidaknya suatu
perkara untuk diteruskan ke pengadilan. Proses penghukuman merupakan jalan
terakhir bagi anak dengan tidak mengabaikan hak-hak anak. Bentuk
penyelesaian harus menggunakan konsep Restorative Justice semuanya
menjadi jelas dan mempunyai kepastian hukum sehingga dapat mengurangi
perkara yang masuk ke pengadilan serta menghemat pengeluaran negara dan
mengurangi jumlah tahanan yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Djamil Nasir, Anak Bukan Untuk Di Hukum, Sinar Grafika, Jakarta 2013

Maramis, Frans Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2012,

Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung 2008.

Hilman, Adikusuma Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
Mandar Maju, Bandung 1995.

Soerjono, Soekanto dan H. Abdurahman , Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta,


Jakarta 2003.

P.A.F Lamintang dan T. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, \


Jakarta 2012.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Prenadamedia Group, Jakarta
2014.

Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. 2013,

17

Anda mungkin juga menyukai