Anda di halaman 1dari 26

PENUNTUN PRAKTIKUM ILMU GULMA

OLEH

Nama : Indra Jaya


NIM : G011191263
Kelas : Ilmu Gulma B
Kelompok :3
Asisten : Syarti

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
I. ANALISIS VEGETASI
1.1. Pendahuluan
Untuk mengetahui penyusun vegetasi dari suatu formasi tumbuh-tumbuh-an perlu di
lakukan survai. "Weed Survey" Merupakan metode penelitian vegetasi yang bertujuan
mencari gambaran umum mengenai tanaman (crop) dan vegetasi gulmanya. Hal ini termasuk
juga pekerjaan identifikasi gulma dan menyusun daftar spesies gulma yang ada di lapang. -
Dengan demikian dapat diketahui jenis apa saja yang ada, spesies apa saja yang menyusun
sebagian besar vegetasinya, dan mana yang dominan. Berdasarkan keperluan dan keadaan
lapang terdapat beberapa cara analisis Vegetasi seperti metode kuadrat, metode titik dan
metode garis/ rintisan. Pengambilan sampel gulma dilakukan dengan metode kuadrat sensus,
yaitu membuat petak sample berbentuk bujur sangkar berukuran 0,5 x 0,5 m. Selanjutnya gulma
yang berada dalam petak sampel diambil dan diidentifikasi secara deskriptif kuantitatif. Jenis
gulma yang diperoleh diidentifikasi dan diinventarisasi, kemudian ditampilkan dalam bentuk
deskriptif. Data yang diperoleh dari petak sample dihitung SDR (Summed Domination Ratio)
untuk mengetahui dominasi gulma. Keseragaman gulma dihitung menggunakan rumus koefisien
komunitas (indeks kesamaan jenis/keseragaman jenis).
Tujuan analisis vegetasi adalah akan membantu dalam melakukan pengendalian gulma pada
areal pertanaman yang diusahakan.
1.2. Bahan dan Alat
- Tali rafia
- Meteran gulung
- Hand-counter
- Alat tulis menulis
1.3. Cara Kerja
Praktikan analisis vegetasi yang dilakukan menggunakan metode kuadrat, artinya petak
contoh yang akan digunakan dalam bentuk kuadrat.
a. Menentukan petak contoh minimum.
b. Menghitung kerapatan (density), frekuensi dan dominasi mutlak dan nisbinya.
c. Menentukan nilai penting (Importance Value = IV) yang merupakan jumlah kerapatan.
Menentukan nisbi SDR (Summed Dominance Ratio) = IV/3
A. Menentukan Ukuran Petak Contoh minimum
a. Tentukan suatu titik di lapang ukuran 0,5 x 0,5 cm sebagai titik 0.
b. Melalui plot tersebut, catat semua spesies yang ada dalam plot (beri tanda  pada kolom)
e. Untuk plot selanjutnya perluas 1 x 1 m (dari plot I diperluas). Catat tambahan spesies baru
yang belum didapatkan pada plot pertama tadi.
f. Lakukan pekerjaan e dengan memprluas ukuran plot menjadi 2 x 2 m catat jenis-jenis
gulma.
g. Susun kurva species areal untuk menentukan areal minimum untuk petak contoh. Sumbu X
menyatakan luas plot dan sumbu Y menyatakan jumlah spesies gulma (Gambar 1.1).

Gambar 1.1
Y

4
3

1 2

Sumbu X
Tabel data
Plot
No. Spesies
1 2 3 4 5 6 7 dst
1. Portulaca oleracea    
2. Digitaria sanguinalis 
3. Pennisetum clandestinum    
4. Phyllantus niruri    
5. Sorghum halepense   
6. Cyperus rotundus 
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16
17
Dst

Misalnya : pada plot I dan II spesies, plot 1 + 2 ada 15 spesies, plot 1+2+3+4 ada 19 spesies, dan
plot 1+2+3+4+5 ada 20 spesies kemudian tidak ada penambahan spesies gulma lagi. Maka
(Gambar 1.2)
Y

Sumbu X

Garis ‘m’ ditarik dari titik ) ke koordinat A, yaitu 10 persen dari jumlah spesies (Y) dan 10 %
dari luas petak contoh (X). Tarik garis /n/ yang sejajar dengan ‘m’ yang menyinggung kurva
pada ‘K’. proyeksi ‘K’ pada sumbu X (titik B) adalah luas minimal petak contoh (3 m 2). Luas

minimum 1 plot adalah 3 m2

2. Menghitung Kerapatan, Frekuensi, Dominansi dan koefisien komunitas


a. Kerapatan adalah jumlah tiap-tiap spesies dalam unit area.

Jumlah dari species itu


Kerapatan mutlak suatu species =
Jumlah plot yang dibuat

Kerapatan mutlak species itu


Kerapatan nisbi dari suatu Area =
Jumlah kerapatan mutlak semua species

b. Frekuensi merupakan parameter yang menunjukkan perbandingan dan jumlah


kenampakannya dengan kemungkinan kenampakannya pada suatu Frekuensi mutlak suatu
species petak contoh yang dibuat.

Jumlah petak contoh dimana species itu ada


Frekuensi mutlak suatu spesies = X 100 %
Jumlah seluruh petak contoh yang dibuat
Frekuensi species tersebut
Frekuensi nisbi = X 100 %
Jumlah frekuensi mutlak dari semua spesies

c. Dominasi
Dominasi merupakan parameter yang digunakan untuk menunjukan luas area yang
ditumbuhi suatu species atau area yang berada suatu spesies dalam pengaruh komunitas dapat
dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

Luas basal areal (naungan) dan spesies itu Luas seluruh area contoh
Dominasi mutlak suatu spesies=
Luas seluruh area contoh

c. Koefisien komunitas
Keseragaman gulma dihitung menggunakan rumus koefisien komunitas (indeks
kesamaan jenis/keseragaman jenis), yaitu:

C = Koefisien komunitas (%),


w = Jumlah SDR dari jenis atau golongan gulma yang menghasilkan individu terendah pada dua
komunitas;
a = Jumlah SDR seluruh individu pada komunitas pertama;
b = Jumlah SDR seluruh individu pada komunitas kedua
Nilai C di atas 75%, artinya komunitas gulma yang diamati tidak mempunyai perbedaan yang
nyata (komunitas gulma seragam).
Nilai C kurang dari 75% maka komunitas gulma tersebut tidak seragam.

1.3 Hasil dan pembahasan


1.3,1. Hasil
Menentukan SDR
Jenis gulma pada petak pengamatan
No. Spesies
1 2 3 4 Rata-rata
A. Daun lebar
1. Portulaca oleracea 125 279 259 161 206
2. Phyllantus niruri 88 77 36 42 60,75

B. Daun sempit
1. Cyperus rotundus - - - 4 1
2. Sorghum halepense 140 - 154 94 97
3. Pennisetum clandestinum 173 77 122 97 117,25
4. Digitaria sanguinalis - 221 - - 55,25

C. Teki
Perhitungan :
Kerapatan Frekuensi Dominasi
No. Spesies IV SDR
mutlak nisbi mutlak nisbi Mutlak nisbi
A. Daun lebar
Portulaca
1. 206 0,38 100 % 0,23% 206 0,38 0,99 0,33
oleracea
2. Phyllantus niruri 60,75 0,11 100 % 0,23% 60,75 0,11 0,45 0,15

B. Daun sempit
1. Cyperus rotundus 1 0,001 25% 0,05% 1 0,001 0,052 0,017
Sorghum
97 0,18 75% 0,17% 97 0,18 0,53 0,17
2. halepense
Pennisetum
117,25 0,21 100 % 0,23% 117,25 0,21 0,65 0,21
3. clandestinum
Digitaria
55,25 0,10 25% 0,05% 55,25 0,10 0,25 0,83
4. sanguinalis

C. Teki
1.3.2. Pembahasan
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa jenis gulma yang paling banyak tumbuh
adalah jenis gulma berdaun sempit sebanyak 4 jenis yaitu Cyperus rotundus, Sorghum halepense,
Pennisetum clandestinum dan Digitaria sanguinalis, hal ini terjadi karena kondisi lingkungan
lahan terbuka yang sesuai dengan golongan gulma berdaun sempit . Menurut Vidya dkk (2020),
bahwa golongan gulma berdaun lebar menyukai tanah sedikit lembab, sedangkan gulma jenis
teki dan rumput lebih menyukai lahan terbuka.
Berdasarkan tabel hasil pengamatan, jenis gulma yang memiliki kerapatan dan frekuensi
yang tertinggi yaitu Portulaca oleracea dengan tingkat kerapatan mutlak 206, kerapatan nisbi
0,38, frekuensi mutlak 100 %, frekuensi nisbi 0,23 %. Hal ini terjadi karena lingkugan peneletian
yang sesuai dengan faktor tumbuh gulma Portulaca oleracea. Fitriani (2018) menyatakan
bahwa, tumbuhan Portulaca oleracea lebih memilih habitat terbuka, meskipun juga dapat
tumbuh subur di tanah yang lembab dan subur, dan dapat tumbuh dengan baik diberbagai tipe
tanah. Biji Portulaca oleracea (krokot) akan tumbuh pada tanah yang sangat hangat.
Sedangkan gulma dengan tingkat kerapatan terendah adalah jenis gulma Cyperus rotundus
dengan tingkat kerapatan mutlak 1, kerapatan nisbi 0,001, frkuensi mutlak 25 %, dan frekuensi
nisbi 0,05 %.. Hal ini terjadi karena lingkungan yang tidak sesuai untuk gulma Cyperus rotundus
dan species gulma yang tersebar secara acak atau disebut pola penyebaran acak. Pola tersebut terjadi
apabila tidak ada kesempatan hidup berkelompok karena adanya dominasi dari gulma lainnya atau
kondisi lingkungan yang seragam. Menurut Agatha Christia (2016), Cyperus rotundus tidak tahan
terhadap naungan, dimana tajuk tanaman sudah menaungi gulma sehingga intensitas cahaya
matahari yang diterima gulma mulai berkurang. Akibatnya aktivitas fotosintesis gulma menurun
dan pertumbuhannya terhambat.
5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang pengamatan, dapat disimpulkan gulma berdaun sempit adalah jenis
gulma yang memilki spesies yang paling banyak tumbuh pada lahan penelitian. Jenis gulma yang
memiliki kerapatan dan frekuensi yang tertinggi dibandingkan dengan jenis gulma lainnya yaitu
Portulaca oleracea, sementara gulma dengan tingkat kerapatan terrendah adalah jenis gulma
Cyperus rotundus.
6. Daftar Pustaka
Christia Agatha, Dad R.J.Sembodo & Kuswanta F. Hidayat. 2016. Pengaruh Jenis dab Tingkat
Kerapatan Gulma terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max
[L]. Merr). Jurnal Agrotek Tropika. Vol. 4, No. 1: 22 – 28

Imaniasita1 Vidya, Twenty Liana2, Krisyetno, Dayu Satriyo Pamungkas. (2022). Identifikasi
Keragaman dan Dominansi Gulma pada Lahan Pertanaman Kedelai. Agrotech
Res J Vol. 4, No. 1 : 11-16.

Soamole Fitriani, Zauzah Abdullatif, Hayun Abdullajh. 2018. Pengaruh Pertumbuhan Gulma
KROKOT, Portulaca oleracea, terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman
Bawang Merah Allium ascalonicum ’TOPO’. Scripta Biologica Vol. 5, No. 1.|
41–46
II. BANK BIJI (SEED BANK)
2.1.Pendahuluan
Keberadaan biji gulma yang bertahan hidup di permukan tanah dan di dalam tanah
merupakan cadangan biji gulma (seed bank) yang potensial untuk tumbuh. Benih gulma terdiri
dari biji baru yang dihasilkan gulma yang jatuh ke permukaan tanah atau biji gulma lama yang
berada di dalam tanah dan bertahan beberapa tahun, sehingga keberadaannya merupakan
indikator populasi gulma di waktu lampau dan sekarang. Lahan pertanian yang digunakan secara
intensif umumnya mempunyai simpanan biji dalam tanah yang lebih besar dibandingkan dengan
lahan-lahan yang baru dibuka. Seed bank adalah propagul dorman dari gulma yang berada di
dalam tanah yaitu berupa biji, stolon dan rimpang, yang akan berkembang menjadi individu
gulma jika kondisi lingkungan mendukung (Fenner,1995). Seed bank umumnya paling banyak
berada di permukaan tanah, tetapi adanya retakan tanah dapat menyebabkan perubahan ukuran
seed bank (seed bank size) menurut kedalaman tanah (Espinar et al., 2005).Pada tanah tanpa
gangguan, menurut Fenner (1995) seed bank berada pada kedalaman 2-5 cm dari permukaan
tanah, tetapi pada tanah pertanian, seed bank berada 12-16 cm di atas permukaan tanah (Santosa
dkk, 2009). Biji-biji gulma dalam tanah/ha dapat mencapai berjuta-juta jumlahnya dan terdiri
dari sekitar 50 species yang berbeda seperti yang ditemukan oleh Ogg dan Dawson (1984). Hal
ini dipengaruhi oleh pengolahan tanah sebelumnya maupun vegetasi di atasnya (Moenandir,
1993). Menurut Melinda dkk (1998) biji spesies gulma setahun (annual weed spesies) dapat
bertahan dalam tanah selama bertahun-tahun sebagai cadangan benih hidup atau viable seeds.
Melalui kedalaman letak biji gulma dapat diketahui bagaimana besar kecilnya persaingan gulma
terhadap tanaman pokok. Keberadaan benih gulma yang bertahan hidup di permukan tanah dan
di dalam tanah merupakan cadangan biji gulma (seed bank) yang potensial untuk kembali
tumbuh. Benih gulma terdiri dari biji baru yang dihasilkan gulma yang jatuh ke permukaan tanah
atau biji gulma lama yang berada di dalam tanah dan bertahan beberapa tahun, sehingga
keberadaan biji gulma merupakan indikator populasi gulma diwaktu lampau dan sekarang.
Pengamatan gulma pada contoh tanah menggunakan beberapa parameter seed bank gulma
dengan cara germinasi.
Tujuan untuk mengetahui potensi biji yang dapat berkecambah pada lapisan top soil, sub soil,
kedalaman 30 cm dan 50 cm.
2.2. Bahan dan Alat
- Rak telur sebanyak 6 buah/klpk
- Alat menyiram (gembor)
- Meteran
_ Mistar penggaris
- Alat tulis menulis

2.3. Metode Identifikasi


Pengambilan sampel seed bank dilakukan pada lahan yang belum diolah.
Pengambilan dilakukan pada empat kedalaman tanah yang berbeda, yaitu a) tanah lapisan top
soil, b) tanah lapisan sub soil, c) tanah kedalaman 30 cm; dan d) tanah kedalaman 50 cm. Tanah
yang telah diambil pada masing-masing kedalaman, selanjutnya diratakan di rak telur.
Diasumsikan bahwa semua biji gulma mampu tumbuh pada kotak-kotak rak telur. Pengamatan
dilakukan setiap saat sampai tiga minggu setelah semai seed bank.

Pengamatan
Variabel yang diamati adalah:
1,Summed dominance ratio (SDR) yang terdapat pada masing-masing rak telur dari tanah
kedalaman tertentu untuk mengetahui dominansi gulma.
Rumus perhitungan SDR sebagai berikut:

SDRn = [(INPn)/(Jumlah Peubah relatif)].

n adalah jenis gulma yang dianalisis INP = (KR + FR)/2.


KR = kerapatan relatif (%),
FR = Frekuensi relatif (%)
FRn = [(FMn)/(Total FMn)] × 100%.
n adalah jenis gulma yang dianalisis
KRn = [(KMn)/(Total KMn)] × 100%.
n adalah jenis gulma yang dianalisis
Parameter Pengamatan :
a. Jumlah masing-masing jenis gulma daun lebar dari setiap rak telur
b. Jumlah masing-masing jenis gulma daun sempit dari setiap rak telur
c. Jumlah masing-masing jenis gulma teki dari setiap rak telur

2.4. Hasil dan Pembahasan


2.4.1. Hasil Pengamatan
a. Parameter yang diamati: jenis-jenis gulma daun lebar
Rata-rata pengamatan ke (minggu setelah tanam)
Perlakuan
I II III IV
Gulma jenis 1 : - - - -

Top soil - - - -

Sub Soil - - - -

30 cm - - - -

50 cm - - - -

Gulma jenis 2 : - - - -

Top soil - - - -

Sub Soil - - - -

30 cm - - - -

50 cm - - - -

Gulma jenis 3 : - - - -

Top soil - - - -

Sub Soil - - - -

30 cm - - - -

50 cm - - - -

a. Parameter yang diamati: jenis-jenis gulma daun sempit


Rata-rata pengamatan ke (minggu setelah tanam)
Perlakuan
I II III IV
Gulma jenis 1 : - - - -
Top soil - - - -
Sub Soil - - - -
30 cm - - - -
50 cm - - - -
Gulma jenis 2 : - - - -
Top soil - - - -
Sub Soil - - - -
30 cm - - - -
50 cm - - - -
Gulma jenis 3 : - - - -
Top soil - - - -
Sub Soil - - - -
30 cm - - - -
50 cm - - - -
Gulma jenis 4 : - - - -
Top soil - - - -
Sub Soil - - - -
30 cm - - - -
50 cm - - - -
a. Parameter yang diamati: jenis-jenis gulma teki
Perlakuan Rata-rata pengamatan ke (minggu setelah tanam)
I II III IV
Gulma jenis 1 : - - - -
Top soil - - - -
Sub Soil - - - -
30 cm - - - -
50 cm - - - -
Gulma jenis 2 : - - - -
Top soil - - - -
Sub Soil - - - -
30 cm - - - -
50 cm - - - -
Gulma jenis 3 : - - - -
Top soil - - - -
Sub Soil - - - -
30 cm - - - -
50 cm - - - -
Gulma jenis 5 : - - - -
Top soil - - - -
Sub Soil - - - -
30 cm - - - -
50 cm - - - -

2.4.2. Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum, tidak ditemukan adanya gulma yang tuumbuh pada setiap
perlakuan yaitu top soil, sub soil 10 cm, 30 cm dan 50 cm. Hal ini terjadi karena perlakuan
mengalami kekeringan dan tidak mendapat unsur hara yang cukup sehingga gulma tidak dapat
tumbuh pada perlakuan tersebut . Menurut Purnamasari, et al. (2016) menjelaskan bahwa proses
pencangkulan pada saat pengolahan tanah dapat menyebabkan terangkatnya biji gulma ke
permukaan tanah. Simpanan biji gulma dalam tanah (seedbank) tersebut sewaktu-waktu dapat
berkecambah menjadi individu gulma apabila didukung faktor lingkungan.
Selain kekurangan air dan unsur hara, tidak tumbuhnya biji gulma juga bisa diakibatkan
karena biji gulma mengalami masa dormansi. Selain itu, dormansi dapat menjadikan biji-biji
gulma tahan bertahun-tahun dalam tanah dan hanya akan berkecambah dan tumbuh bila keadaan
lingkungannya menguntungkan. Menurut Astria (2016), Tanah mengandung biji-biji gulma yang
setiap saat dapat berkecambah yang dihasilkan dari tahun-tahun sebelumnya. Simpanan biji
dalam tanah dapat terdiri dari biji-biji dengan umur yang berbeda-beda, beberapa diantaranya
dalam keadaan dorman dan sebagian lagi siap menghadapi kondisi yang tidak menguntungkan.
Biji-biji yang lokasinya beberapa meter di dalam tanah masih digolongkan ke dalam simpanan
biji karena pada suatu saat biji-biji ini dapat terangkat ke permukaan tanah akibat adanya
pengolahan, penggalian atau oleh hewan-hewan penggali
2.4.2. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa meski didalam tanah memiliki
banyak sekali biji gulma (seedbank), biji gulma tersebut tetap membutuhkan unsur hara seperti
air, cahaya matahari dan faktor lain untuk bisa tumbuh.

Daftar Pustaka
Munthe Astria Sari, Edison Purba* , Ratna Rosanti Lahay. 2016. Respons Perkecambahan Biji
Gulma Eleusine indica L. Gaertn terhadap Kedalaman dan Waktu Terkubur.
Jurnal Agroekoteknologi. Vol.4. No.4 : 2367-2375

Purnamasari ET, Yudono P, Rogomulyo R. 2016. Pertumbuhan gulma dan hasil kedelai hitam
(Glycine max (L.) Merrill) ‘Mallika’ terhadap pengolahan tanah dan jarak tanam
di lahan pasir pantai. Veg 2016, Vol.5 N0. 1 : 23-31.
3. KALIBRASI ALAT APLIKASI HERBISIDA
3.1.PENDAHULUAN
Efektvitas dalam penggunaan herbisida salah satunya dipengaruhi oleh teknik aplikasi
yang benar. Teknik aplikasi yang benar tersebut mencakup segi penggunaan alat serta dosis pe-
makaian yang tepat. Cara aplikasi herbisida, ditentukan berdasarkan oleh formulasi dan cara
kerja dalam membunuh gulma sasaran, umumnya berbentuk cairan sehingga memerlukan
sprayer dalam aplikasinya. Kinerja sprayer sangat ditentukan kesesuaian ukuran droplet aplikasi
yang dapat dikeluarkan dalam satuan waktu tertentu sehingga sesuai dengan ketentuan peng-
gunaan dosis pestisida yang akan disemprotkan. Sprayer adalah alat/mesin yang berfungsi untuk
memecah suatu cairan, larutan atau suspensi menjadi butiran cairan (droplets) atau spray. Kinerja
sprayer sangat ditentukan kesesuaian ukuran droplet aplikasi yang dapat dikeluarkan dalam
satuan waktu tertentu sehingga sesuai dengan ketentuan penggunaan konsentrasi yang akan
disemprotkan (Moekasan dan Laksminiwati, 2011. Sprayer untuk keperluan pertanian dikenal
dengan 3 jenis sprayer, yakni knapsack sprayer, motor sprayer, dan CDA sprayer. Jenis knapsack
sprayer adalah jenis sprayer yang paling umum digunakan hampir di semua areal pertanian padi,
sayuran, atau diperkebunan.
Prinsip kerja knapsack sparayer adalah larutan dikeluarkan dari tangki akibat dari adanya
tekanan udara melalui tenaga pompa yang dihasilkan oleh gerakan tangan penyemprot. Alat ini
hanya bisa untuk bahan cair dengan bahan pelarut air. Kapasitas tangki antara 15-20 liter di-
operasikan secara manual dengan pompa tangan dan daya jangkaunnya sangat terbatas yaitu 2
meter. Hal yang perlu dilakukan kalibrasi memperhatikan kecepatan jalan harus konstan, tekan-
an semprot sprayer tetap, ukuran/tipe nosel, ketinggian nosel di atas permukaan tanah
(Djojosumarto, 2004). Sebelum melakukan pengendalian gulma, terlebih dahulu spra-
yer dikalibrasi. Kalibrasi dilakukan untuk menghindari pemborosan herbisida, memperkecil
terjadinya keracunan pada tanaman akibat penumpukan herbisida, dan memperkecil pencemaran
lingkungan (Yakup et al., 1991).

Tujuan kalibrasi alat semprot


Mahasiswa mampu melakukan kalibrasi alat semprot, menyiapkan larutan semprot, dan
melakukan penyemprotan herbisida dengan benar.
3.2.Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam praktikum antara lain : air. Alat yang digunakan adalah : alat tulis,
kalkulator, beaker glass 1000 mL, sprayer semi otomatis, meteran, dan tali rafia.

3.3.Prosedur Kerja
Pada waktu gagang pompa digerakan, larutan keluar dari tangki menuju tabung udara
sehingga tekanan di dalam tabung meningkat. Keadaan ini menyebabkan larutan pestisida dalam
tangki dipaksa ke luar melalui klep dan selanjutnya diarahkan oleh nozzle bidang sasaran
semprot. Tekanan udara yang dihasilkan oleh pompa diusahakan konstant, yaitu sebesar 0,7 - 1,0
kg/cm2 atau 10-15 Psi. Tekanan sebesar itu diperoleh dengan cara mempompa sebanyak 8 kali.
Untuk menjaga tekanan tetap stabil, pemompaan dilakukan setiap berjalan 2 langkah pompa
harus digerakan sekali naik-turun. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai bagian dari alat-alat
semprot dan kalibrasinya sangat diperlukan.

A. Kalibrasi Alat Semprot Menurut Waktu


1. Tangki alat semprot diisi dengan air sebanyak 5 liter.
2. Alat semprot di angkat ke atas punggung.
3. Alat semprot dipompa sampai tekanan maksimum.
4. Kran dibuka dan diarahkan ke beaker glass selama satu menit.
5. Jumlah air yang ada pada beaker glass diukur volumenya.
6. Catat waktu yang diperlukan untuk menyemprot sebanyak 14 liter (satu tangki).

B. Kalibrasi Alat Semprot Menurut Luas


1. Tangki alat semprot diisi dengan air sebanyak 5 liter.
2. Alat semprot diangkat ke atas punggung.
3. Alat semprot dipompa sampai tekanan maksimum.
4. Ujung nozle diarahkan pada lahan yang bergulma dengan ukuran 2 x 10 meter.
5. Ujung kran dibuka dan disemprotkan ke gulma dengan kecepatan normal
6. Jumlah air yang berkurang dihitung dengan menuang air yang tersisa dalam sprayer ke
dalam beaker glass.
7. Jumlah air yang dibutuhkan untuk menyemprot gulma seluas 20 m2 dihitung

3.3.Pengamatan
Waktu yang dibutuhkan untuk untuk menyemprot 14 L air
Volume air yang digunakan untuk menyemprot gulma seluas 20 m2

3.4.Hasil dan Pembahasan


3.4.1. Hasil Pengamatan
a. Parameter yang diamati: Kalalibrasi waktu
Kalibrasi Waktu yang dibutuhkan (detik )
I 15
II 18
III 10

a. Parameter yang diamati: Kalalibrasi luas


Kalibrasi Volume air yang dibutuhkan b(mL)
I 500
II 500
III 500

3,4,2. Pembahasan
Berdasarkan hasil yang didapatkan pada praktikum kalibrasi alat dapat diketahui bahwa
terjadi perbedaan pada kalibrasi waktu dan kalibrasi dengan volume air, alat dan nozzle sama.
Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor seperti kecapatan dalam memompa alat sehingga
volume air yang keluat dari nozzle juga berbeda. Menurut Prabaningrum (2017) menyatakan
bahwa kurangnya volume semprot akan menyebabkan butiran semprot tidak tesebar secara
merata sehingga pengendalian organisme pengganggu tamanan akan kurang efektif.
3.4.3. Kesimpulan
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, disimpulkan bahwa terjadi perbedaan waktu
yang dibutuhkan dalam melakukan penyemprotan pestisida. Hal tersebut terjadi karena
perbedaan kecepatan dalam memompa alat aplikasi pestisida.
Daftar Pustaka
Prabaningrum, L. 2017. Pengaruh arah pergerakan nozzle dalam penyemprotan pestisida
terhadap liputan dan distribusi butiran semprot dan efikasi pestisida pada
tanaman kentang. Jurnal Hortikultura. 27(1): 113-126.
IV. EFIKASI HERBISIDA
4.1 Pendahuluan
Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh pada tempat yang tidak dikehendaki, karena
merugikan baik langsung maupun tidak langsung. Dalam sistem pertanian, gulma tidak
dikehendaki karena dapat menimbulkan kerugian antara lain menurunkan hasil, menurunkan
mutu, sebagai inang hama dan penyakit, menimbulkan keracunan bagi tanaman pokok seperti
allelopati. Pengendalian gulma dapat dilakukan secara preventif, manual, kultur teknis, biologi,
hayati, kimia dengan menggunakan herbisida. terpadu, dan membakar gulma yang tumbuh.
Pengendalian secara manual saat ini kurang dikehendaki, karena biaya yang semakin
mahal (Agustina, 2013). Oleh karena itu alternatifnya pengendalian secara kimiawi,
pengendalian gulma menggunakan herbisida banyak diminati terutama untuk lahan pertanian
yang cukup luas. Hal tersebut dikarenakan herbisida lebih efektif mengen-dalikan gulma tahunan
dan semak belukar serta meningkatkan hasil panen tanaman pokok. Sehingga aplikasi herbisida
pada tanaman budidaya diperlukan pengetahuan tentang klasifikasi herbisida, respon morpologi
dan biokimia terhadap herbisida. Pengendalian dengan herbisida sebaiknya menggunakan
senyawa kimia yang selektif untuk meng-hambat dan bahkan mematikan pertumbuhan gulma
(Kadir, 2007). Pengendalian secara kimiawi saat ini terbatas pada pengendalian secara tunggal
atau satu jenis bahan (Umiyati, 2005).
Selektivitas herbisida pada dasarnya adalah peningkatan kemampuan untuk
mengendalikan gulma, tanpa mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Menurut Dermiyati (1997)
sebagian besar herbisida yang diaplikasikan ke tanaman akhirnya akan jatuh ke tanah, kemudian
mengalami perubahan dan dalam waktu tertentu akan terjerap oleh fraksi liat dan bahan organik
dalam tanah, yang secara umum dikenal sebagai residu herbisida. Residu herbisida beracun
dalam tanah dapat membunuh mikroba tanah, yang sebenarnya bukan targetnya (non target
microorganism) sehingga mengganggu aktivitas mikro-organisme tanah yang pada akhirnya
dapat mempengaruhi siklus hara di dalam tanah. Bahan aktif yang terkandung di dalam herbisida
dapat teresidu di tanah, sehingga tidak hanya bersifat toksin pada gulma tetapi juga dapat
mempengaruhi aktivitas biota tanah.
Tujuan Praktikum Efikasi herbisida
1. Mengetahui jenis/ golongan gulma apa yang dapat di kendalikan
2. Mengetahui selektifitas herbisida terhadap gulma
3. Membandingan hasil aplikasi herbisida di tempat terbuka dan ternaungi

4.2.Metode
Metode yang digunakan dalam praktikum ini dibagi menjadi 3 subbagian, yakni
mempelajari pengaruh herbisida terhadap morfologi gulma, kerusakan fisiologi pada gulma serta
pengaruh herbisida pada gulma. Praktikum diawali dengan pemakaian APD, kemudian dilanjut
dengan membuat larutan herbisida sesuai dosis anjuran kemudian melakukan aplikasi herbisida
menggunakan knapsack sprayer pada 3 golongan gulma yang telah disiapkan (herbisida post
emergence) serta pada pot berisi tanah yang diperkirakan mengandung seed bank (herbisida pre
emergence).

4.3.Cara kerja
Praktikum dilakukan dengan cara:
1. Pilih lokasi dengan presentasi penutupan gulma pada permukaan tanah lebih dari 75% serta
didapat lebih dari 5 jenis gulma dengan kondisi gulma yang cukup seragam.
2. Setiap kelompok membuat petakan yang ditumbuhi gulma dengan luas 2x5 meter berjumlah
4 petak. Lokasi petakan yang dipilih adalah terbuka dan tertutup. Setiap petakan di buat satu
kontrol sebagai pembanding.
3. Dilakukan analisis gulma awal untuk menentukan peniaian tingkat penutupan masing-masing
jenis gulma serta dibuat peringkat dominansinya.
4. Dilakukan kalibrasi sprayer sebelum aplikasi herbisida dengan metode luas
5. Dosis yang digunakan adalah dosis sesuai rekomendasi yang tertera pada label
herbisida yaitu 1,5 liter/ha atau 3 mL/20 m2 dengan volume semprot sebanyak 0,29 liter/20
m2 .
6. Gunakan nozzel yang khusus untuk aplikasi herbisida (berwarna kuning).
7. Aplikasi dilakukan setelah herbisida di campur dengan air sebanyak yang dibutuhkan.
8. Setelah dimasukkan ke dalam sprayer maka tengki di pompa dengan tekanan maksimal.
9. Herbisida disemprotkan ke dalam petakan yang telah ditentukan.
10. Pengamatan tingkat keracunan dilakukan sebanyak tiga kali pada hari ke tiga setelah aplikasi
(3HSA), kemudian satu minggu setelah aplikasi (1MSA), dan penilaian akhir yaitu dua
minggu setelah aplikasi (2MSA).
7. Pengamatan dilakukan dengan membandingkan presentasi keracunan dan tingkat penutupan
pada masing-masing petakan yang ternaungi dan terbuka dengan kontrolnya.
V. PENGENDALIAN GULMA DENGAN BIOHERBISIDA
5.1. Pendahuluan
Keterbatasan tenaga kerja, petani mulai beralih dari penyiangan gulma secara manual ke
pemakaian herbisida. Penggunaan herbisida lebih ekonomis dan efektif mengendalikan gulma
dibandingkan cara lain, terutama pada hamparan yang luas. Pengendalian gulma dimaksudkan
untuk menekan atau mengurangi populasi gulma sehingga penurunan hasil secara ekonomis
menjadi tidak berarti (Soerjandono, 2005). Pencemaran dari residu zat kimia sintetik yang
banyak digunakan untuk mengendalikan gulma akan sangat berbahaya terhadap lingkungan dan
kesehatan. Perlu ada pengendalian dan pembatasan penggunaan bahan kimia sehingga
mengurangi pencemaran yang diakibatkan oleh residu herbisida. Pengendalian gulma secara
kimiawi, memberikan pengaruh buruk terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Salah satu
alternatif pengendalian gulma yang aman adalah dengan bioherbisida.
Salah satu upaya alternatif dalam pengendalian gulma yang aman yaitu dengan
menggunakan bioherbisida. Bioherbisida adalah senyawa yang berasal dari organisme hidup
yang mampu mengendalikan gulma (Senjaya dan Wahyu Surakusumah, 2008). Manfaat yang
dapat diperoleh dari penggunaan bioherbisida dari organisme hidup untuk mengendalikan gulma
bersifat ramah terhadap lingkungan. Selain itu, pemberian bioherbisida juga dapat menekan
biaya produksi dari penggunaan herbisida sintetik. Bioherbisida tidak meninggalkan residu yang
bersifat toksik pada produk pertanian sehingga lebih aman dan sehat dikonsumsi.
Saat ini alternatif pengendalian gulma yang berwawasan lingkungan sedang marak
dilakukan. Pengendalian tersebut dapat dilakukan dengan mencari potensi senyawa golongan
fenol dari tumbuhan lain sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bioherbisida. Pengaruh alelopati
yang dihasilkan tumbuhan dapat bersifat merusak, menghambat, dan merugikan bagi tanaman di
lingkungan sekitarnya. Penghasil senyawa alelopati yaitu gulma, tanaman pangan dan horti-
kultura (semusim), tanaman berkayu, residu dari tanaman dan gulma, serta mikroorganisme
(Junaedi et al., 2006). Senyawa metabolit sekunder seperti terpenoid, alkaloid, steroid dan
minyak esensial dilaporkan memiliki aktivitas alelopati (Junaedi et al., 2006). Alelopati sebagai
pengaruh langsung maupun tidak langsung dari suatu tumbuhan terhadap tumbuhan lainnya, baik
yang bersifat positif maupun negatif melalui pelepasan senyawa kimia ke lingkungannnya
(Junaedi et al., 2006). Alelopati yang dihasilkan tanaman dalam mengendalikan pertumbuhan
gulma dapat dimanfaatkan sebagai herbisida alami (bioherbisida) yang kemampuannya sama
dengan herbisida sintetik.
Tujuan Praktikum.
Tujuan praktikum adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak gulma sebagai
bioherbisida terhadap pertumbuhan dan perkecambahan tanaman dan gulma.

5.2.Bahan dan Alat


Tumbuhan: daun bamboo (Dendrocalamus sasper), teki (C. kyllinga), kirinyuh
(C.odorata), babadotan (A.conyzoides), umbi gulma teki (C. killingia), rimpang alang-alang (I.
cylindrica) yang dijadikan sebagai ekstrak berpotensi bioherbisida. aquadest, dan bahan
pendukung lainnya. Alat yang digunakan adalah blender, labu, gelas ukur, timbangan analitik,
jeregen (wadah), penggaris, pisau, oven, plastik, corong, dan ATK.

5.3.Cara kerja
1. Pembuatan ektrak dari tumbuhan: daun bamboo (Dendrocalamus sasper), teki (C.
kyllinga), kirinyuh (C.odorata), babadotan (A.conyzoides), Umbi gulma teki (C.
killingia), rimpang ilalang (I. cylindrica)
2. Cuci tumbuhan yang akan digunakan
3. Blender tanpa menambahkan air sampai menjadi serbuk
4. Rendam serbuk selama 24 jam di dalam larutan etanol 96%
5. Simpna larutan dalam wadah tertutup agar serbuk dan larutan etanol menyatu.
6. Saring rendaman dan mengambil sarinya kemudian dipekatkan pada suhu 400C-500C
untuk dievaporasi menggunakan evaporator sehingga diperolehlah hasil akhir berupa
ekstrak dengan konsentrasi 100%.
Fitotoksisitas
Fitoksisitas pada gulma diamati setiap dua minggu sekali dengan sistem skor truelove, yakni :
0 = tidak terjadi keracunan, 0 - 5% bentuk dan warna daun tidak normal.
1 = keracunan ringan, 6 – 10% bentuk dan warna daun tidak normal.
2 = keracunan sedang, 11 – 20% bentuk dan warna daun tidak normal.
3 = Keracunan berat, 21 – 50% bentuk dan warna daun tidak normal.
4 = keracunan sangat berat, >51% bentuk dan warna daun tidak normal, sehingga daun
mengering rontok dan mati (Lasmini dan Wahid, 2008)
Parameter Pengamatan
Persentase kematian gulma, diamati pada 5-7 hari setelah aplikasi secara visual.
Persentase gulma yang hidup, diamati pada 5-7 hari setelah aplikasi secara visual.
Identifikasi jenis gulma, gulma yang terdapat pada 2 petak contoh (30 cm x 30 cm) di pisahkan
menurut jenisnya
Mengamati Jenis gulma yang tumbuh.

Anda mungkin juga menyukai