DISUSUN OLEH :
MIFTAHULJANNA 1954201019
PRODI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN PETERNAKAN DAN KEHUTANAN
UNIVERSITAS MUSLIM MAROS (UMMA)
2019/2020
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT sebab karena limpahan rahmat serta
anugerah dari-Nya kami mampu untuk menyelesaikan MAKALAH ILMU USAHATANI ini
mengenai KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi agung kita, yaitu
Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan Allah SWT untuk kita semua,
yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna
dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.
Selanjutnya dengan rendah hati saya meminta kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini
supaya selanjutnya dapat kami revisi kembali.Karena saya sangat menyadari, bahwa makalah
yang telah kami buat ini masih memiliki banyak kekurangan.
Saya ucapkan banyak terimahkasih kepada setiap pihak yang telah mendukung serta
membantu kami selama proses penyelesaian makalah ini .
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.
MIFTAHUL JANNA
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam konsep pembangunan pertanian merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari pembangunan nasional, yang memiliki warna sentral karena berperan dalam meletakkan
dasar yang kokoh bagi perekonomian negara. Hal ini ditujukkan dari banyaknya penduduk atau
tenaga kerja yang bekerja pada sektor pertanian, sektor pertanian sebagai bagian dari
perekonomian nasional memiliki peranan penting, karena sektor ini mampu menyerap sumber
daya manusia yang paling besar dan memanfaatkan sumber daya secara efisien serta merupakan
sumber pendapatan mayoritas masyarakat Indonesia (Soekartawi, 2003). Teori-teori
pembangunan sepakat bahwa semakin berkembang suatu Negara, maka makin kecil kontribusi
sektor pertanian atau sektor tradisional dalam Produk Domestic Bruto (PDB). Makin besarnya
kontribusi sektor pertanian atau sektor tradisional suatu Negara tidak berarti makin
terbelakangnya Negara tersebut dipandang di mata dunia. Adanya suatu tranformasi menuju
pembangunan yang berbasis agribisnis dan agroindustri akan mampu memberikan kontribusi
yang lebih terhadap perekonomian Negara. Namun pembangunan pertanian selama ini
berorientasi kepada usahatani (on farm agribusiness) dengan sasaran utama peningkatan produksi
dan kurang mengacu pada system agribisnis, sehingga hasilnya tidak sesuai dengan potensi yang
dimilikinya, baik terhadap perekonomian nasional maupun terhadap petani sebagai pelaku usaha
terbesar sektor ini (Soekartawi, 1993).
Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam pembangunan nasional
karena sektor ini menyerap sumber daya manusia yang paling besar dan merupakan sumber
pendapatan bagi mayoritas penduduk Indonesia. Oleh karena itu pemerintah melalui program
pembangunan nasional akan melakukan pengembangan agribisnis yang bertujuan untuk
menghasilkan produk pertanian termasuk perkebunan dan kehutanan yang mampu bersaing
serta meningkatkan nilai tambah bagi masyarakat pertanian khususnya bagi petani untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional (Dinas Pertanian Sumatera Barat, 2004).
Peranan sektor pertanian dalam pembangunan di Indonesia tidak perlu diragukan lagi.
Pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan produksi pertanian guna memenuhi
kebutuhan pangan dan kebutuhan industri dalam negeri, meningkatkan ekspor, meningkatkan
pendapatan petani, memperluas kesempatan kerja dan mendorong pemerataan kesempatan
berusaha (Soekartawi, 2003).
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
PEMBAHASAN
Perbedaan Pola Pertanian di Era Orde Baru dan Reformasi Pertanian mulai timbul pada
saat manusia mulai mengendalikan pertumbuhan tanaman dan hewan, dengan mengaturnya
sedemikian rupa sehingga dapat memberikan keuntungan. Pada awalnya pertanian masih bersifat
primitif dengan hanya mengharapkan kondisi alam sebagai faktor pendukung. Namun seiring
berkembangnya zaman, pertanian menjadi lebih berkembang ke arah modernisasi.
Selain itu juga diterapkan teknologi yang lebih modern untuk kemajuan pertanian seperti
pemberantasan hama pembibitan maupun sistem irigasi yang mulai berkembang untuk
mempermudah para petani mengairi sawahnya. Bahkan sawah juga selain dugunakan untuk
menanam padi, juga dapat digunakan untuk menanam tanaman hortikultura.
Tidak hanya berhenti pada lahan datar yang digunakan untuk lahan pertanian, lahan gambut pun
mulai digunakan menjadi lahan pertanian bagi para petani sebagai areal persawahan, selain itu
juga dikembangkn sitem reboisasi dan terassering sebagi bagian dari teknologi modern pada
masa orde baru.
Di era reformasi, dewasa ini tentunya sistem pola pembangunan pertanian di Indonesia
semakin berkembang dibanding era orde baru. Para petani melanjutakan pembangunan era orde
baru yang menggunakan pembasmi hama, teknik pembibitan yang lebih ditingkatkn sehinnga
padi dapat menghasilkan panen yang lebih banyak dan lebih meningkat pada kualitas hasil
produksi.
Selain itu pola memanen yang dulunya dilakukan secara sendiri kini sudah menggunakan
mesin untuk mempercepat proses memanen dan lahan dapat segera ditanami kembali. Dan
semakin berkembangnya teknologi pertanian di Indonesia, lahan-lahan yang sulit digunakan
untuk ditanami pun mulai dibuka menjadi areal tanam bagi tanaman yang memberikan
penghasilan bagi devisa negara, seperti halnya penanaman di lahan yang tergenang maupun
lahan yang tidak rata ataupun berbukit.
Namun pada dasarnya penggunaan pembasmi hama dan pembibitan untuk mencari bibit
unggul serta lahan yang tidak biasa dibuka untuk lahan pertanian biasanya akan menimbulkan
permasalahan yang akan menyulitkan bagi pertumbuhan tanaman tersebut
4. Kebijakan-Kebijakan yang Sudah Dilakukan Oleh Pemerintah Era Orde Baru dan
Reformasi dalam Pembangunan Pertanian
REPELITA adalah Rencana Pembangunan Lima Tahun yang menjadi kebijakan dari Presiden
Soeharto pada masa Orde Barru untuk meningkatkan pembangunan Indonesia dari segi apa saja,
tetapi lebih diutamakan pada pembangunan sektor pertanian.
REPELITA sendiri terdiri dari berberapa tahap yang kesemuanya difokuskan untuk membangun
sistem pertanian Indonesia dengan turut memajukan sektor lain yang juga mendukung
pembangunan sektor pertanian seperti sektor industri dan teknologi.
b. REVOLUSI HIJAU
Revolisi Hijau merupakan upaya untuk meningkatkan produksi biji-bijian dari hasi penemuan
ilmiahberupa benih unggul baru dari beragam varietas gandum, padi dan jagung yang membuat
hasi panen komoditas tersebut meningkat di negara-negara berkembang.
Revolusi Hijau dipicu dari pertambahan penduduk yang pesat, yakni bagaimana mengupayakan
peningkatan hasil produksi pertanian. Peningkatan jumlah penduduk harus diimbangi dengan
peningkata produksi pertanian. Perkembangan Revolusi Hijau yang sangat pesat juga
berpengaruh pada masyarakat Indonesia. Sebagian besar kondisi sosial-ekonomi mayarakat
Indonesia berciri agraris. Oleh karena itu pembangunan pertanian menjadi sektor yang sangat
penting dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonmi Indonesia. Hal tersebut didasari oleh:
Mengenai perkembangan luas lahan dan luas produksi padi yang dihasilkan, terlihat
bahwa sejak masa Orde Baru memegang pemerintahan (1966) sampai dengan tahun 1987 luas
lahan irigasi melonjak hampir 2 kali lipat dengan laju sebesar 2,4% per tahun. Luas kenaikan
maksimum dicapai pada tahun 1987. tendensi ini diikuti dengan melonjaknya jumlah
produktifitas padi. Pada tahun 1987 produksi padi meningkat hingga 44 juta ton, naik 3 kali lipat
sejak tahun 1966. Tingkat produksi yang dicapai ini diperoleh dengan naiknya intensitas tanam
hingga mencapai rata-rata 1,8. Mengenai kenaikan produksi persatuan luas, tercatat naik dari 2,4
ton/ha menjadi 4,5 ton/ha. Nilai ini bila diplotkan ke dalam sejarah evolusi padi di negara-negara
berkembang dengan Jepang sebagai perbandingan, telah berada di fase keempat bersama-sama
dengan Taiwan. Walaupun demikian masih lebih rendah Korea dan Jepang yang telah mencapai
6-7 ton/ha, tetapi jauh lebih tinggi dari Philipina, Laos, Myanmar maupun Vietnam.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa lahan irigasi memberikan peranan yang besar dalam
mencapai swasembada pangan. Kira-kira 60-70% padi diproduksi dari lahan beririgasi.
Walaupun demikian, bila melihat perkembangn penduduk, untuk terus mempertahankan
swasembada pangan masih perlu banyak inovasibaru. Perhitungan secara sederhana mengenai
luas lahan beririgasi terus meningkat seirama dengan pertambahan penduduk. Padahal kalau
melihat besarnya derajad irigasi seperti telah diuraikan di atas, peluang mengembangkan lahan
irigasi secara horizontal, terutama di pulau-pulau yang termasuk dalam grup pertama,
nampaknya semakin sempit. Yang menjadi persoalannya adalah bagaimana menyeimbangkan
antar penyediaan sumberdaya air dari alam dengan kebutuhan air khususnya untuk memproduksi
bahan pangan yang semakin menigkat itu tetapi tanpa merusak kondisi hidrologinya sendiri.
Perkembangan pdi SRI (System of Rice Intensification) yang terkenal dengan motonya “More
Rice with Less Water” atau hasil beras meningkat dengan penggunaan air yang sedikit, sampai
saat ini masih mengalami kendala teknis dan non teknis di tingkat lapangan. Dengan melihat
keistimewaan sistem ini, terutama dari segi produktifitas dan efisiensi pengairan ( yang identik
dengan perluasan areal irigasi), beberapa perbaikan sistem harus dilakukan agar
pengembangannya dapat dilaksanakan seluas-luasnya.
Berikut adalah beberapa keistimewaan sistem SRI bagi pengembangan budidaya padi sawah:
SRI hanya membutuhkan benih yang jauh lebih sedikit, yaitu 5-10 kg per-hektar yang
berbanding 40-60 kg padi per-hektar pada sistem konvensional.
Produktifitas dengan sistem SRI telah terbukti secara signifikan meningkat dengan B/C rato
(perbandingan nilai hasil terhadap biaya) yang lebih baik dibanding sistem konvesional. Hal
ini jelas akan meningkatkan pendaptan petani.
Sistem pengairan yang intermitten / terputus sampai kondisi tanah kering meretak akan
memperbaiki lingkungan mikro bagi tanah sehingga secara pasti akan memperbaiki kondisi
tanah, baik fisik, kimia maupun biologi. Hal ini dapat dipercepat apabila pemupukannya
menggunakan pupuk organik. Beberapa artikel penelitian membuktikan bahwa kandungan
mikro organisme pada tanah yang ditanami padi SRI mengalami peningkatan kualitas. Tentu
saja harus diperhatikan pula proses pengembalian serasah padi pada tanah asalnya.
Penggunaan air yang jauh lebih sedikit dibanding dengan sistem konvensional akan
memperbaiki efisiensi pengairan dan dengan demikian memiliki potensi bagi perluasan areal
irigasi.
Dengan demikian SRI sangat menunjang program ekstensifikasi areal irigasi yang merupakan
sumber utama ketahanan pangan (terutama beras). Sampai saat ini, areal irigasi yang ada masih
banyak yang belum mampu mengairi padi 100% pada musim tanam kedua (kemarau).
Namun demikian, ternyata pengembangan SRI di banyak areal irigasi masih menghadapi
beberapa kendala yang cukup mengganggu, yaitu:
Metode penanaman dengan bibit muda dan hanya satu bibit pertitik tanam dianggap masih
merepotkan bagi petani. Hal ini terutama dialami pada daerah-daerah yang kekurangan buruh
tani. Biasanya daerah seperti ini adalah daerah yang berada tidak jauh dari perkotaan karena
banyak buruh tani yang bekerja sambilan di kota sebagai tukang atau buruh industri, atau
juga di daerah yang terpencil dimana jumlah penduduk masih kurang. Selain itu, banyak pula
daerah yang buruh taninya merupakan pendatang musiman yang belum familier dengan SRI
sehingga hasil tanamnya kurang baik. Hal ini tentunya membutuhkan pembinaan yang lebih
cermat.
Petani yang baru pertama kali melaksanakan SRI banyak yang mengeluhkan pertumbuhan
gulma yang jauh lebih banyak dibanding dengan sistem konvensional. Hal ini dapat
dimengerti karena pengeringan akan mendorong benih gulma tumbuh dengan leluasa (pada
jenis gulma yang berkembang melalui biji atau umbi). Oleh karena itu pengembangan SRI
perlu disertai dengan pembinaan pengendalian gulma yang baik (pada pelaksanaan demplot
SRI sangat disarankan utuk menggunakan lalandak dalam mengendalikan gulma).
SRI masih menyebakan kebingunan dalam sistem pembagian air karena belum adanya
panduan yang pasti mengenai hal ini. Dalam hal perencanaan, operasional irigasi dengan SRI
belum mempunyai angka dasar hidrologi yang baku, sehingga para ahli hidrologi masih
belum dapat merencanakan sistem pembagian air yang ideal. Penelitian akan hal ini sangat
diperlukan guna mendapatkan angka koefisien yang baku. Pembagian air irigasi dalam SRI
juga sangat menuntut sistem pertanaman serempak, terutama pada satu petak tersier yang
sama. Dilain pihak, sistem pertanaman serempak ini sampai sekarang belum dapat
dilaksanakan secara optimal sekalipun pada sistem konvensional.
Selain SRI, sistem Jajar Legowo yang dikombinasikan dengan pupuk organik dan juga padi
Hibrida yang menggunakan sistem pengairan konvensional yang juga memberikan hasil
produksi yang relatif sama, menjadi pesaing utama bagi pengembangan SRI.
Pada akhirnya, betatapapun banyaknya kelebihan yang dimiliki SRI, beberapa penyesuaian
budaya, kebijakan pembangunan, maupun teknis, sangat diperlukan. Yang jelas, dengan kondisi
lahan irigasi yang ada di Indonesia, SRI masih sangat diharapkan dapat dikembangkan secara
luas terutama pada daerah irigasi yang pemenuhan airnya terbatas seperti di wilayah-wilayah
Timur Indonesia.
Sesuai pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi, pengelolaan sistem
irigasi diselenggarakan melalui azas partisipatif, terpadu, berwawasan lingkungan hidup,
transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Apa yang dimaksud dengan poin-poin tersebut ? Inilah
kira-kira yang dimaksudkan dengan kaidah pengelolaan yang diharapkan dari peraturan tersebut
Partisipatif ; sudah saatnya semua pihak, baik unsur pemerintah maupun pemanfaat jaringan
irigasi (petani / P3A) memiliki dan mewujudkan azas inisiatif guna mengelola dan
memelihara jaringan irigasi demi kemanfaatan yang sebesar-besarnya. Disini, pola
desentralisasi sangat diharapkan terutama pada areal-areal yang merupakan kewenangan
daerah (Baca Pasal 16, 17, dan 18 PP 20/2006). Petani melalui P3A dan GP3A, diharapkan
memiliki inisisatif swadaya ataupun swakelola dalam melestarikan kedayagunaan jaringan
irigasi, sementara pemerintah sesuai daerah kewenangannya bertanggungjawab untuk
mendukung inisiatif yang muncul dari petani.
Terpadu ; keterpaduan yang dimaksud bukan hanya pada proses pemeliharaan pelestarian
jaringan, akan tetapi lebih diutamakan pada pemanfaatan yang sebesar-besarnya untuk
meningkatkan kesejahteraan petani lahan beririgasi yang pada akhirnya mewujudkan
ketahanan pangan yang solid. Disini, dituntut koordinasi dan konsolidasi program antara 4
pemangku kepentingan pembangunan lahan beririgasi, yaitu Petani (P3A), PU Pengairan,
Dinas Pertanian Tanaman Pangan, dan Bappeda sebagai motor pembangunan daerah.
Keterpaduan bukan hanya dari segi pemanfaatan, akan tetapi juga dari segi pembiayaan
operasional dan pemeliharaan.
Berwawasan lingkungan ; dimaksudkan sebagai pemenuhan azas kelestarian pemanfaatan
dan kegunaan. Oleh karenanya, disini dituntut pelaksanaan program pemeliharaan yang baik
dan terstruktur serta dukungan program pelestarian sumber daya air itu sendiri yang
merupakan wewenang dan tanggung jawab Ditjen SDA dan Kehutanan. Dari segi teknis
pemanfaatan, Dinas Pertanian dituntut pula melaksanakan sistem pertanian yang mendukung
azas pelestarian lingkungan hidup seperti menerapkan sistem pertanian terpadu, integrasi
tanaman dan ternak, metode budidaya padi organik (melalui metode SRI atau Jajar Legowo),
PHT, dan lain-lain.
Transparansi, akuntabel, dan berkeadilan ; poin ini merupakan hal yang gampang-gampang
susah untuk dilaksanakan. Tidak ada kriteria yang jelas untuk memonitor realisasinya. Paling
tidak kita dapat mengharapkan partisipasi masyarakat petani untuk dapat mengontrol ketiga
poin tersebut. Dengan adanya peraturan ini, petani melalui organisasi P3A / GP3A dapat
melakukan aksi pengawasan langsung atas proses dan pembiayaan operasi dan pemeliharaan
di wilayah kewenangannya. Azas ini mensyiratkan bahwa proses pembangunan adalah milik
masyarakat petani dan petani mempunyai hak untuk menentukan arah pembangunan
daerahnya dan menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan kebijakan yang
dilaksanakan.
Sistem pertanian dari masa ke masa yang dibangun oleh berbagai generasi tentunya akan
menghasilkan dampak positif bagi masyarakat, tetapi begitupun tentunya juga memiliki
kekurangan yang timbul akibat kebijakan-kenijakan tersebut. Berikut akan dibahas beberapa hal
yang menjadi kelebihan maupun kekurangan pembangunan sistem pertanian pada masa Orde
Baru dan Masa Reformasi.
1. KELEBIHAN
a. Orde Baru
b. Reformasi
Pada program yang dijalankan pemerintah tentng program SRI dapat dilihat beberapa kelebihan
di antaranya:
Pada kebijakan tentang Pembangunan Pertanian Lahan Beririgasi dapat dilihat beberapa
kelebihan di antaranya:
2. KEKURANGAN
a. Orde Baru
Timbulnya kesulitan untuk mengatasi dampak dari kemajuan pengolahan tanaman yang lebih
modern
Petani menjadi tertinggal kerena kurangnya penyuluhan pertaniankepada para petani
Terjadi keterbelakangan subsektor selain pangan dikarenakan pemerintah lebih
mengutamakan kemajuan dalam produksi tanaman pangan
b. Reformasi
Petani belum siap dengan beberapa kebijkan dari pemerintah yang dianggap terlalu sulit dan
merepotkan.
Dalam permasalahan irigai petani menjadi kebingungan akibat tidak memahami penduan
yang tidak pasti dalam sistem pembagian air
Solusi
Permasalahan tentang lahan irigasi yang ingin memperluas areal untuk meningkatkan
produksi padi sawah sebenarnya telah terjawab dengan hadirnya padi SRI yang mampu
menghasilkan padi lebih banyak namun dengan konsumsi air yang sedikit. Hanya saja dalam
penanaman padi SRI ini juga mengalami hambatan dengan kurangnya buruh tani yang bekerja
untuk mengembangkan sistem padi ini diakibatkan para petani yang sebagian besar memiliki
pekerjaan lain dan menjadikan kegiatan pertanian menjadi pekerjaan sampingan. Seharusnya
pengembangan padi SRI menjadi solusi tepat bagi sulitnya membuka areal irigasi bagi petani,
hanya saja hal itu harus sejalan dengan kegiatan petani yang lebih fokus pada produktifitas
tanaman-tanaman pangan.
Sedangkan permasalahan penggunaan air lahan irigasi yang membingungkan petani akibat
ketidakjelasan panduan penggunaan dan pembagian air seharusnya menjadi perhatian yang lebih
bagi penyuluh pertanian sehingga lebih meningkatkan penyuluhan untuk menambah
pengetahuan para petani yang tidak hanya terfokus tentang penggunaan air lahan irigasi, tetapi
juga pada masalah pembibitan, pembasmian hama, maupun pada pemberian pupuk dengan dosis
yang tepat bagi tanaman.
Pada kebijakan pemerintah tentang REPELITA dan Revolusi Hijau yang bertujuan
meningkatkan ketahanan pangan dengan meningkatkan produktifitas tanaman pangan menuju
swasembda pangan mengakibatkan permasalahan pada keterbelakangan produktifitas subsektor
tanaman selain tanaman pangan seperti hortikultura. Seharusnya peningkatan produktifitas dari
tanman pangan juga diimbangi dengan peningkatan produktifitas tanaman lainnya seperti
tanaman hortikultura.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembangunan pertanian merupakan hal yang harus bagi setiap negara untuk terus
memperbaharui produktifitas hasil buminya yang berupa tanaman, seperti tanamn pangan,
tanaman hortikultura maupun tanaman perkebunan untuk meningkatkan ketahanan pangan bagi
bangsanya yang terus meningkan. Selain itu juga bisa menghasilkan devisa yang cukup besar
bagi negara.
Pada masa Orde Baru presiden Soeharto giat melakukan pembangunan pertanian dengan
melakukan beberapa kebijakan seperti REPELITA, Revolusi Hijau, BIMAS, INMAS, INSUS,
dan Panca Usaha Pertanian untuk meningkatkan pembangunan pertanian khususnya dalam
peningkatana produktifitas tanaman pangna yang akhirnya mampu mewujudkan Indonesia
swasembada pangan
Kebijakan-kebijakan juga terus berlanjut pada masa Reformasi hingga sekarang yang
menghasilkan cara-cara yang lebih modern dan tidak menyulitkan bagi para petani untuk
memberikan hasil terbaik dari sektor pertanian Indonesia seperti pembuatan areal irigasi maupun
penemuan bibit-bibit unggul yang menghasilkan hasil terbaik dari sektor pertanian.
B. Saran
Pada sistem pertanian pada daerah yang masih menggunakan sistem pertanian yang lebih
tertinggal dari daerah lainnya hendaknya meningkatkan penyuluh pertanian untuk memberikan
penyuluhan bagi para petani. Selain itu pembangunan areal irigasi hendaknya merata pada setiap
daerah, begitupun dengan pengembangan sistem SRI yang dinilai cukup memberikan banyak
keuntungan untuk diaplikasikan secara merata
DAFTAR PUSTAKA
Pusposutardjo, Suprodjo dan Susanto, Sahid. 1992. Perspektif dari Pengembangan Managemen
Sumber Air dan Irigasi Untuk Pembangunan Pertanian. Yogyakarta: Liberty (Hal 26-28)
Mosher, A.T. 1965. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. New York: Franklin Book
Programs.Inc ( Hal 13-17)
http://sukatani-banguntani.blogspot.com/2010/03/pembangunan-pertanian-lahan-beririgasi.html
(28 Maret 2010)
http://sukatani-banguntani.blogspot.com/2010/03/pembangunan-pertanian-lahan-beririgasi.html
(26 Maret 2010)