Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KELOMPOK

PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN DAN MANUSIA


Sebagai Tugas Mandiri Mata Kuliah Praktikum Fisiologi Hewan dan Manusia
Dosen Pengampu : Dr. Delima Engga Maretha, M. Kes

Disusun Oleh:
Kelompok 5

1. Dinda Dwi Fahmi (1930207087)


2. Indah Rahmadhanniati (1930207093)
3. A. Febriansyah Ilham (1930207094)
4. Adinda (1930207107)
Kelas Pendidikan Biologi 4

Asisten Praktikum :
1. Mira Sri Damayanti
2. Indah Rizky Pratiwi

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2021
Termoregulasi

A. Judul
1. Penyesuaian Hewan Poikilotermik Terhadap Suhu Lingkungan

B. Alat dan Bahan


1. Penyesuaian Hewan Poikilotermik Terhadap Suhu Lingkungan
a. Ikan Hidup Berukuran Sedang
b. Air Biasa Suhu Sedang
c. Air Panas
d. Air Dingin (Es)

C. Hasil
Adapun hasil dari praktikum yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Suhu Normal (23ºC)
Pengamatan Jumlah Gerakan Operkulum
1 menit pertama 1 menit kedua 1 menit ketiga
Gerakan
operkulum 90 110 115
pada ikan

Tabel 2. Suhu Turun 5ºC dari Suhu Normal (18ºC)


Pengamatan Jumlah Gerakan Operkulum
1 menit pertama 1 menit kedua 1 menit ketiga
Gerakan
operkulum 110 100 89
pada ikan
Tabel 3. Suhu Naik 5ºC dari Suhu Normal (28ºC)
Pengamatan Jumlah Gerakan Operkulum
1 menit pertama 1 menit kedua 1 menit ketiga
Gerakan
operkulum 87 78 75
pada ikan

Tabel 4. Suhu Naik 5ºC dari Suhu pada Tabel 3 (28ºC)


Pengamatan Jumlah Gerakan Operkulum
1 menit pertama 1 menit kedua 1 menit ketiga
Gerakan
operkulum 85 80 80
pada ikan

D. Pembahasan
Termoregulasi merupakan salah satu hal yang penting dalam homeostatis.
Termoregulasi adalah proses yang melibatkan mekanisme homeostatis yang
mempertahankan suhu tubuh dalam kisaran normal, yang dicapai dengan
mempertahankan keseimbangan antara panas yang dihasilkan dalam tubuh dan panas
yang dikeluarkan (Brooker, 2008). Sistem termoregulasi diatur fisiologis yang
terintregasi dari respon sistem efferent dan sentral. Reseptor sensitif suhu terdapat
pada kulit dan membran mukosa yang selanjutnya akan berintregasi menuju spinal
cord dan berakhir di hipotalamus anterior yang merupakan pusat control sistem
termoregulasi.
Dimana suhu sangat berpengaruh pada proses metabolisme mahluk hidup.
Salah satunya adalah pernapasan atau respirasi pada hewan. Dalam hal ini, dilakukan
pengamatan terhadap penyesuaian hewan poikilotermik terhadap suhu lingkungan.
Hewan poikiloterm yang digunakan merupakan ikan yang berukuran sedang. Pisces
(ikan) disebut hewan poikiloterm, karena suhu tubuhnya tidak tetap (berdarah dingin),
yaitu terpengaruh suhu di sekelilingnya.
Adapun suhu menurut Susanto (2008), suhu merupakan suatu besaran untuk
mengukur tinggi atau rendahnya suatu kondisi pada suatu benda yang dinyatakan
dalam bentuk celcius. Suhu merupakan pengaruh yang besar dalam sistem
metabolisme tubuh ikan dan berpengaruh pada kelangsungan hidup ikan. Apabila
kondisi suhu tidak ideal, maka ikan tidak akan mampu bertahan hidup dalam waktu
yang lama. Suhu mempunyai peranan yang cukup penting dalam pertumbuhan ikan
nila, karena semakin tinggi suhu semakin tinggi pula laju metabolisme ikan yang
berarti semakin cepat pertumbuhannya.
Suhu tubuh hewan tergantung pada neraca keseimbangan antara panas yang
diproduksi dan atau diabsorbsi dengan panas yang hilang atau dilepaskan dapat
berlangsung secara radiasi, konduksi, konveksi ataupun evaporasi.
1. Radiasi merupakan transfer energi secara elektromagnetik yang tidak memerlukan
medium untuk merambat dengan kecepatan cahaya.
2. Konduksi merupakan transfer panas secara langsung antara dua materi padat yang
berhubungan langsung tanpa adanya transfer molekul.
3. Konveksi suatu perambatan panas melalui aliran cairan atau gas, besarnya
konveksi juga tergantung pada luas kontak permukaan dan perbedaan suhu
4. Evaporasi merupakan konversi dari zat cair menjadi uap air, besarnya laju
konversi kehilangan panas.
Secara umum laju pertukaran panas ke dalam dan keluar tubuh hewan
tergantung pada luas permukaan tubuh, perbedaan suhu dan konduktan spesifik.
Selain itu, proses-proses yang dapat mempengaruhi produksi panas tubuh, yaitu
mekanisme gerakan, mekanisme otonom, serta mekanisme adaptif.
Dalam praktikum ini dilakukan pengamatan yang menggunakan ikan nila
(Oreochromis mossambicus) sebagai objek yang diamati. Ikan nila (Oreochromis
mossambicus) adalah salah satu jenis ikan konsumsi air tawar yang telah lama
dibudidayakan di Indonesia bahkan telah dikembangkan di lebih dari 85 negara
sebagai komoditi ekspor. Ikan ini berasal dari kawasan Sungai Nil dan danau-danau
sekitarnya di Afrika. Saat ini, ikan nila telah tersebar ke negara beriklim tropis
maupun subtropis, sedangkan pada wilayah beriklim dingin ikan nila tidak dapat
hidup dengan baik (Kemal, 2000).
Pertumbuhan ikan nila secara umum dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor
internal meliputi genetik dan kondisi fisiologis ikan serta faktor eksternal yang
berhubungan dengan pakan dan lingkungan. Faktor lingkungan tersebut diantaranya
kuantitas dan kualitas air yang meliputi komposisi kimia air, temperatur air, agen
penyakit, dan tempat pemeliharaan (Hepher & Prugnin, 1990).
Menurut Suyanto (2003), ikan nila (Oreochromis mossambicus) dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Class : Osteichthyes
Subclass : Acanthoptherygii
Ordo : Percomorphi
Subordo : Percoidea
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis mossambicus

Gambar 1 ikan nila (docpribadi, 2021)


Secara morfologi ikan nila merah memiliki bentuk tubuh pipih lebar, tubuhnya
lebih kecil dari pada panjang tubuh, sisik besar dan kasar, serta kepala relatif kecil.
Berdasarkan jenis siripnya, ikan nila merah memiliki sirip dada (pectoral fin), sirip
perut (ventral fin), sirip punggung (dorsal fin), sirip ekor (caudal fin), dan sirip anal
(anal fin). Selain itu, ada gurat sisi (Linea lateralis) pada ikan nila tidak terputus
(Affandi et al, 1992).
Bentuk tubuh ikan ini panjang dan ramping dengan sisik berukuran besar.
Matanya besar dan menonjol, bagian tepinya berwarna putih. Gurat sisi (linea
literalis) terputus dibagian tengah badan kemudian berlanjut, tetapi letaknya lebih ke
bawah dari pada letak garis yang memanjang di atas sirip dada. Sirip punggung, sirip
perut dan sirip dubur mempunyai jari-jari lemah tetapi keras dan tajam seperti duri.
Sirip punggungnya berwarna hitam dan sirip dadanya juga tampak hitam (Khairuman
& Amri, 2007).
Perbedaan jenis kelamin pada ikan nila merah, yaitu nila merah jantan
memiliki ukuran sisik yang lebih besar dari pada ikan nila merah betina. Alat kelamin
ikan nila merah jantan berupa tonjolan yang agak runcing yang berfungsi sebagai
muara saluran urin dan saluran sperma yang terletak di depan anus. Jika diurut, perut
ikan nila merah jantan akan mengeluarkan cairan bening. Sedangkan ikan nila merah
betina mempunyai lubang genital terpisah dengan lubang saluran urine yang terletak
di depan anus.
Ikan nila (Oreochromis sp.) dikenal sebagai organisme sexual dimorphism,
yaitu ikan jantan menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan
ikan betina dan kemampuan mengkonversi pakan yang lebih baik, sehingga pada
umur yang sama ukuran tubuh jantan lebih besar dari pada ikan betina. Budidaya ikan
nila jantan tunggal kelamin dipandang lebih menguntungkan dari segi efisiensi biaya
produksi dan peningkatan profit, karena dapat mengatasi penurunan biomas saat
panen hingga 30-50% yang disebabkan oleh maturasi dini pada populasi mixed-sex
(Soelistyowati et. al., 2010).
Ikan nila dapat hidup di perairan yang dalam dan luas maupun di kolam yang
sempit dan dangkal. Nila juga dapat hidup di danau, waduk, rawa, sawah, tambak air
payau, dan keramba umum. Nilai pH optimal air untuk memelihara ikan nila adalah
6,5-8,5. Sedangkan, kadar oksigen terlarutnya minimal 3 ppm. Salinitas optimal untuk
budidaya ikan nila merah adalah 0-10 ppt. Suhu kolam atau perairan yang bisa
ditolerir ikan nila adalah 15-370C. Suhu optimum untuk pertumbuhan nila adalah 25-
300C. Oleh karena itu ikan nila dapat dipelihara di daratan rendah hingga ketinggian
800 meter di atas permukaan laut. Ikan ini mudah untuk dibudidayakan dan tergolong
ikan pemakan segala (omnivora) (Ningrum, 2012).
Dalam praktikum ini juga dilakukan pengamatan terhadap gerakan operkulum
ikan. Ikan yang digunakan merupakan ikan nila merah dengan berat sekitar 10 gram
dan panjangnya 15 cm. Dimana diketahui bahwa perubahan perilaku ikan dapat
berupa cepatnya gerakan operkulum, ikan mengambil udara dipermukaan air, dan
ikan menjadi tidak aktif (Reebs, 2009). Operkulum sendiri merupakan lipatan atau
flap pada bagian tulang yang melindungi bagian ingsang pada ikan. Dengan adanya
operkulum ini, maka akan mampu membuat air mengalir menuju arah yang tepat pada
insang. Sehingga, air yang melewati ikan tidak akan menyebabkan berbagai
permasalahan.
Seperti yang diketahui bahwa proses pernapasan pada ikan adalah dengan
membukanya mulut, sehingga terdapat sedikit tekanan negatif dalam rongga maupun
rongga insang. Begitu mulut ditutup, tekanan dalam rongga mulut meningkat
(menjadi positif), air di dorong masuk rongga insang dan selanjutnya mendorong
operkulum, dan air keluar rongga insang. Tekanan dalam rongga mulut dari rongga
insang menjadi lebih kecil daripada tekanan air diluar tubuh, sehingga tutup insang
menutup kembali. Pada saat air masuk ke dalam rongga, maka oksigen yang terlarut
dalam air masuk berdifusi ke dalam pembuluh kapiler darah yang terdapat dalam
insang, sedangkan pada saat air keluar melalui insang karbondioksida juga
dikeluarkan.
Insang ikan nila merah terdiri atas beberapa lembaran daging yang penuh
pembuluh darah halus. Air melalui insang, oksigen di dalam air diserap masuk ke
dalam darah, sedangkan zat asam arang yang ada di dalam darah diserap oleh air.
Permukaan luar insang kaya akan sisi muatan negatif seperti fosfolipid (dua lapisan
membran sel) dan glikoprotein dari lapisan lendir yang menutupi permukaan insang.
Sedangkan menempel pada lengkung insang, yang ditutupi oleh ephitelium dan
mengandung jaringan pembuluh darah kapiler, ditempat inilah terjadi difusi oksigen
dari air ke dalam darah. Filamen-filamen insang ikan ini dilapisi oleh sel-sel epitel
yang bersisik dan terdiri dari bagian-bagian yang disebut lamella (Huri &
Syafriadiman, 2010).
Operkulum ikan nila merah merupakan kepingan tulang yang terletak di
belakang kepala melindungi insang. Bukaan operkulum ikan nila dimaksudkan
sebagai proses ikan menelan air dengan mulutnya dan menekannya melewati insang
kemudian keluar melalui lubang di bawah operkulum. Perubahan gerakan operkulum
lebih cepat terjadi dibandingkan perubahan refleks dan pergerakan tubuh. Apabila
ikan mengalami kekurangan oksigen, maka ikan tersebut akan mempercepat
pergerakan operkulumnya disertai dengan pergerakan mengambil udara di permukaan
air dan pergerakan ikan menjadi pasif.

Gambar 2. Struktur tubuh ikan (https://pengayaan.com, 2018)


Pengamatan operkulum ikan nila yang diamati dalam praktikum ini, dilakukan
dengan melihat gerakan operkulum ikan di suhu sedang air biasa (keran), air dingin,
dan air panas. Pada suhu air biasa (keran) dengan suhu normal (23ºC), didapatkan
hasil bahwa jumlah gerakan operkulum ikan yang diamati pada satu menit pertama itu
berjumlah 90 kali, menit kedua, yaitu 110 kali serta menit ketiga 115 kali. Gerakan
ikan nila juga pada suhu normal ini melakukan gerakan renang atau berpindah tempat
dengan gerakan stabil dan beraturan setiap menitnya, maupun gerakan dari
operkulumnya normal. Laju metabolisme ikan dengan suhu normal diperuntukkan
untuk pertumbuhan dan perkembangan serta reproduksi, sehingga ikan melakukan
aktivitas renang dengan teratur.
Pada suhu turun 5ºC dari suhu normal (18ºC), yaitu suhu air dingin terdapat
gerakan operkulum ikan nila pada satu menit pertama, yaitu 110 kali, pada menit
kedua 100 kali dan pada menit ketiga 89 kali. Dimana gerakan renang ikan menjadi
lambat setiap menitnya maupun gerakan operkulumnya menjadi sangat cepat dan ikan
terlihat lebih diam. Suhu lingkungan yang rendah menyebabkan degenerasi sel darah
merah, sehingga proses respirasi terganggu, laju metabolisme turun, ikan menjadi
pasif dan tidak mau berenang. Insang ikan mulai terlihat memerah, serta pada
pengamatan dilakukan terdapat sisik ikan nila yang mengelupas. Hal ini, dikarenakan
suhu dingin membuat enzim dalam tubuh ikan nila tidak bekerja dan menyebabkan
laju aktivitas berkurang. Umumnya suhu yang dingin akan membuat enzim dalam
tubuh mahluk hidup ataupun pada ikan yang termasuk hewan berdarah dingin akan
sangat dipengaruhi oleh lingkungan sehingga bila suhu lingkungan turun akan
memperlambat laju aktivitas enzim, metabolisme dan gerakan operkulum
(Ridwantara, 2019).
Pada suhu naik 5ºC dari suhu normal (28ºC), yaitu suhu air panas gerakan
operkulum ikan di menit pertama itu menjadi 87 kali, di menit kedua 78 kali dan di
menit ketika yaitu 75 kali. Pada naik 5ºC dari suhu pada tabel 3 (28ºC), yaitu suhu air
panas didapatkan hasil bahwa gerakan operkulum ikan menjadi 85 kali pada menit
pertama, 80 kali pada menit kedua dan pada menit ketiga gerakan operkulum ikan
menjadi 80 kali. Perlakuan suhu tersebut, didapatkan hasil bahwa aktivitas gerak
renang atau berpindah tempat menjadi cepat, ikan berenang cepat tidak beraturan
dengan menabrak wadah air dan terkadang lompat keluar dari wadah air, yang
menunjukkan tanda kritis tingkah laku ikan nila terhadap kenaikan suhu. Gerakan
operkulum insangnya menjadi lambat dan lemah, kondisi tubuh ikan lama-kelamaan
menjadi terbalik ke samping, tubuh menjadi kaku dan dingin, mulai pingsan ringan,
ikan menjadi stress dan akhirnya tidak ada gerakan lagi.
Suhu di atas kisaran normal membuat enzim dalam tubuh ikan bekerja cepat
menyebabkan gerakan bukaan operkulum membuka dengan cepat untuk membantu
insang dalam pengambilan oksigen yang terlarut dalam air wadah, agar ikan tetap
dapat melakukan respirasi. Suhu di atas kisaran normal akan menaikkan laju
metabolisme dengan kebutuhan oksigen yang bertambah, namun dengan suhu yang
tinggi akan menurunkan jumlah oksigen terlarut dalam lingkungan air, sehingga ikan
akan kesusahan bernapas dan gerakan renang tidak beraturan (Kelabora, 2010).
Ikan nila dengan perlakuan suhu di atas dan di bawah kisaran normal akan
menurunkan daya adaptasi kelangsungan hidupnya. Adapun apabila ikan nila dengan
perlakuan suhu 36oC akan menunjukkan gerakan renang yang lebih sedikit jumlahnya
dibanding dengan ikan yang berada di perlakuan suhu 33oC, yang masih menunjukkan
daya adaptasinya masih bertahan dengan suhu tersebut dalam waktu singkat.
Perubahan suhu air di atas dan di bawah kisaran suhu normal ikan, akan
mempengaruhi daya adaptasi ikan yang menurun, sehingga kelangsungan hidup ikan
akan cepat menurun (Wangni, Prayogo, & Sumantriyadi, 2019).
Dibawah suhu 250C, konsumsi oksigen mencapai 1,2 mg/l berat tubuh-jam.
Pada suhu 18-250C, ikan masih dapat bertahan hidup tetapi nafsu makannya mulai
nurun. Suhu air 12-180C mulai membahayakan ikan, sedangkan suhu dibawah 120C
akan menyebabkan ikan tropis mati kedinginan (Kordi, 2010). Suhu perairan
memegang peran penting dalam kaitannya dengan pertumbuhan ikan nila. Suhu air
sangat berpengaruh terhadap sifat fisika kimia perairan maupun sifat fisiologi ikan.
Selain itu, pengaruh suhu terhadap pertumbuhan ikan juga bergantung kepada
interaksi konsumsi pakan dan metabolisme. Kenaikan suhu dalam suatu perairan akan
menaikkan laju metabolisme dalam tubuh, sehingga kebutuhan oksigen lebih kritis
dalam air yang bersuhu tinggi dibandingkan air yang suhunya relative rendah
(Raharjo, 2004).
Pada suhu yang turun mendadak akan terjadi degenarasi sel darah merah,
sehingga proses respirasi mengganggu. Selain itu, suhu rendah dapat menyebabkan
ikan tidak aktif, bergerombol serta ikan tidak mau berenang dan makan, sehingga
imunitasnya terhadap penyakit berkurang. Sebaliknya pada suhu yang meningkat
tinggi mengakibatkan ikan aktif bergerak, tidak mau berhenti makan dan
metabolismenya cepat meningkat, sehingga kotorannya menjadi lebih banyak.
Sementara kebutuhan oksigen menjadi naik, padahal ketersediaan oksigen pada air
yang buruk akan berkurang sehingga ikan akan mengalami kekurangan oksigen dalam
darah.
Adapun juga kualitas air yang baik ini minimal mengandung oksigen terlarut
sebanyak 5 ml/l oksigen terlarut ini dapat ditingkatkan dengan menambah oksigen ke
dalam air dengan menggunakan aerator atau air yang terus mengalir. Pada ikan nila
oksigen terlarut merupakan kebutuhan yang sangat penting, karena ikan ini
merupakan ikan yang memiliki pertahanan hidup yang tinggi dan juga ikan nila
merupakan ikan yang aktif dalam air. Dalam kadar pemeliharaan ikan paling sedikit
harus berkadar oksigen ± 5 mg/l.
Dalam pengamatan ini menggunakan air yang pH airnya 6 yang diketahui dari
pengamatan kertas pH air. Air yang menjadi media ikan dalam praktikum ini juga
merupakan air PDAM. Pada pH rendah (keasaman yang tinggi), kandungan oksigen
terlarut akan berkurang. Akibatnya, konsumsi oksigen menurun, aktivitas pernapasan
naik, dan selera makan berkurang. Hal yang sebaliknya terjadi pada suasana basa,
sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar
7-8,5. Nilai pH sangat memengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses
nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah (Kordi, 2010).
Keadaan pH yang dapat mengganggu kehidupan ikan adalah pH yang terlalu
rendah (sangat asam) atau sebaliknya terlalu tinggi (sangat basa). Setiap jenis ikan
akan memperlihatkan respon yang berbeda terhadap perubahan pH dan dampak yang
ditimbulkannya berbeda (Daelami, 2001). pH (derajat keasaman) merupakan
logaritma negatif dari kepekatan ion-ion H yang terlepas didalam suatu perairan, dan
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi lingkungan dan juga
organisme yang ada didalam suatu perairan tersebut. Nilai pH yang mampu
ditoleransi oleh ikan nila berkisar antara 6-9, tetapi untuk pertumbuhan dan
perkembangan yang optimal berada pada kisaran 7-8 (Permatasari, 2012).

E. Kesimpulan
Gerakan ikan nila pada suhu normal, yaitu melakukan gerakan renang atau
berpindah tempat dengan gerakan stabil dan beraturan setiap menitnya, maupun
gerakan dari operkulumnya normal. Pada suhu turun 5ºC dari suhu normal (18ºC),
yaitu suhu air dingin terdapat gerakan operkulum ikan nila pada satu menit pertama,
yaitu 110 kali, pada menit kedua 100 kali dan pada menit ketiga 89 kali. Dimana
gerakan renang ikan menjadi lambat setiap menitnya dan ikan terlihat lebih diam.
Pada suhu naik 5ºC dari suhu normal (28ºC), yaitu suhu air panas gerakan operkulum
ikan di menit pertama itu menjadi 87 kali, di menit kedua 78 kali dan di menit ketika
yaitu 75 kali. Pada naik 5ºC dari suhu pada tabel 3 (28ºC), yaitu suhu air panas
didapatkan hasil bahwa gerakan operkulum ikan menjadi 85 kali pada menit pertama,
80 kali pada menit kedua dan pada menit ketiga gerakan operkulum ikan menjadi 80
kali. Perlakuan suhu tersebut, didapatkan hasil bahwa aktivitas gerak renang atau
berpindah tempat menjadi cepat, ikan berenang cepat tidak beraturan dengan
menabrak wadah air dan terkadang lompat keluar dari wadah air.

F. Daftar Pustaka
Affandi, R. S. (1992). Fisiologi Ikan (Pencernaan). Bogor: Pusat Antar Universitas
llmu Hayat Institut Pertanian Bogor.

Brooker, C. (2008). Ensiklopedia Keperawatan. Jakartan: EGC.


Daelami, D. (2001). Agar Ikan Sehat. Cianjur: Penerbit Swadaya.
Hepher, B., & Prugnin, Y. (1990). Nutrition of Pond Fishes. New York: Cambrige
University Press.

Huri, E., & Syafriadiman. (2010). Pengaruh Konsentrasi Alk(So4)2 12h2o


(Aluminium Potassium Sulfat) Terhadap Perubahan Bukaan Operkulum Dan
Sel Jaringan Insang Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus). Jurnal
Penelitian Berkala Perikanan Terubuk, 38(2), 64-79.

Kelabora, D. M. (2010). Pengaruh Suhu Terhadap Kelangsungan Hidup dan


Pertumbuhan Larva Ikan Mas (Cyprinus carpio). Jurnal Berkala Perikanan
Terubuk, 38(1), 71-81.

Kemal. (2000). Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan. Jakarta:


Bappenas.

Khairuman, & Amri, K. (2007). Budidaya Ikan Nila Secara Intensif. Jakarta:
Agromedia Pustaka.

Kordi, M. G. (2010). Panduan Lengkap Memelihara Ikan Tawar di Kolam Terpal.


Yogyakarta: ANDI.

Ningrum, N. E. (2012). Keragaan Pertumbuhan Ikan Nila Best ((Oreochromis


niloticus) Hasil Seleksi F3, F4, dan Nila Lokal. Surakarta: Universitas Sebelas
Maret.

Permatasari, D. W. (2012). Kualitas Air pada Pemeliharaan Ikan Nila (Oreochromis


sp) Intensif di Kolam Departemen Budidaya Perairan. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Raharjo, E. I. (2004). Pengaruh Daphnia sp yang diperkaya dengan kadar Ascorbic
Acid- Ethyl Cellulose Berbeda Terhadap Kinerja Pertumbuhan dan Tingkat
Kelangsungan Hidup Larva Ikan Nila (Oreochromis niloticus Trewavas).
Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Ridwantara, D. B. (2019). Uji Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih Ikan Mas
Mantap (Cyprinus carpio) pada Rentang Suhu yang Berbeda. Jurnal
Perikanan dan Kelautan, 10(1), 46-54.
Soelistyowati, D. T. (2010). Maskulinisasi pada Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.)
Menggunakan Bahan Alami Resin Lebah Melalui Pakan Buatan. Jurnal
Akuakultur Indonesia, 9(2), 178-183.

Susanto, H. (2008). Budidaya Ikan di Pekarangan. Jakarta: Penebar Swadaya.


Wangni, G. P., Prayogo, S., & Sumantriyadi. (2019). Kelangsungan Hidup dan
Pertumbuhan Benih Ikan Patin Siam (Pangasius hypophthalmus) pada Suhu
Media Pemeliharaan yang Berbeda. urnal Ilmu-Ilmu Perikanan dan Budidaya
Perairan, 14(2), 21-28.

G. Lampiran Kegiatan

Lampiran Lampiran

Ikan Nila (Oreochromis mossambicus) Percobaan ikan nila (Oreochromis


mossambicus) pada air biasa suhu
sedang
Praktikan Adinda dalam mengamati
gerakan operkulum ikan nila
(Oreochromis mossambicus) pada air
biasa suhu sedang (suhu normal (23ºC))

Praktikan Indah Rahmadhanniati dalam


mengamati gerakan operkulum ikan nila
(Oreochromis mossambicus) pada air
biasa suhu sedang (suhu normal (23ºC))

Praktikan Dinda Dwi Fahmi dalam


mengamati gerakan operkulum ikan nila
(Oreochromis mossambicus) pada air
biasa suhu sedang (suhu normal (23ºC))

Praktikan A. Febriansyah Ilham dalam


mengamati gerakan operkulum ikan nila
(Oreochromis mossambicus) pada air
biasa suhu sedang (suhu normal (23ºC))
Percobaan ikan nila (Oreochromis
mossambicus) pada air dingin suhu
turun 5ºC dari suhu normal (18ºC)

Praktikan Adinda dalam mengamati


gerakan operkulum ikan nila
(Oreochromis mossambicus) pada air
dingin suhu turun 5ºC dari suhu normal
(18ºC)

Praktikan Indah Rahmadhanniati dalam


mengamati gerakan operkulum ikan nila
(Oreochromis mossambicus) pada air
dingin suhu turun 5ºC dari suhu normal
(18ºC)
Praktikan Dinda Dwi Fahmi dalam
mengamati gerakan operkulum ikan nila
(Oreochromis mossambicus) pada air
dingin suhu turun 5ºC dari suhu normal
(18ºC)

Praktikan A. Febriansyah Ilham dalam


mengamati gerakan operkulum ikan nila
(Oreochromis mossambicus) pada air
dingin suhu turun 5ºC dari suhu normal
(18ºC)

Percobaan ikan nila (Oreochromis


mossambicus) pada air panas naik 5ºC
dari suhu normal (28ºC)
Praktikan Adinda dalam mengamati
gerakan operkulum ikan nila
(Oreochromis mossambicus) pada air
panas naik 5ºC dari suhu normal (28ºC)

Praktikan Indah Rahmadhanniati dalam


mengamati gerakan operkulum ikan nila
(Oreochromis mossambicus) pada air
panas naik 5ºC dari suhu normal (28ºC)

Praktikan Dinda Dwi Fahmi dalam


mengamati gerakan operkulum ikan nila
(Oreochromis mossambicus) pada air
panas naik 5ºC dari suhu normal (28ºC)

Praktikan A. Febriansyah Ilham dalam


mengamati gerakan operkulum ikan nila
(Oreochromis mossambicus) pada air
panas naik 5ºC dari suhu normal (28ºC)
Percobaan ikan nila (Oreochromis
mossambicus) pada suhu naik 5ºC dari
suhu pada tabel 3 (28ºC)

Praktikan Adinda dalam mengamati


gerakan operkulum ikan nila
(Oreochromis mossambicus) pada suhu
naik 5ºC dari suhu pada tabel 3 (28ºC)

Praktikan Indah Rahmadhanniati dalam


mengamati gerakan operkulum ikan nila
(Oreochromis mossambicus) pada suhu
naik 5ºC dari suhu pada tabel 3 (28ºC)

Praktikan Dinda Dwi Fahmi dalam


mengamati gerakan operkulum ikan nila
(Oreochromis mossambicus) pada suhu
naik 5ºC dari suhu pada tabel 3 (28ºC)
Praktikan A. Febriansyah Ilham dalam
mengamati gerakan operkulum ikan nila
(Oreochromis mossambicus) pada suhu
naik 5ºC dari suhu pada tabel 3 (28ºC)

Kertas pH air dari sampel pengambilan


air untuk percobaan

Termometer Alkohol

Anda mungkin juga menyukai