Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

“AMBIGUOUS GENITALIA”

Disusun Oleh :
Meilita Mutiara Hanifah 2010221008

Pembimbing :
dr. Kesuma Mulya, Sp. Rad

DEPARTEMEN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
RSUD KOTA CILEGON
PERIODE 14 JUNI – 3 JULI 2021
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

AMBIGUOUS GENITALIA

Disusun Oleh:

Meilita Mutiara Hanifah 2010221008

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik

Di SMF Radiologi

RSUD Cilegon

Telah disetujui dan dipresentasikan pada

Tanggal, Juni 2021

Cilegon, Juni 2021

Pembimbing,

dr. Kesuma Mulya, Sp.Rad

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin. Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat


dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan referat dengan judul “Ambiguous
Genitalia”. Referat ini ditulis merupakan salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
di Departemen Radiologi.

Pada kesempatan ini penulis hendak mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing,
dr. Kesuma Mulya, Sp.Rad, atas jasanya dalam meluangkan waktu untuk membimbing dan
memberikan pengarahan dalam penyusunan makalah dari awal hingga selesai. Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua.

Cilegon, Juni 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................................. i


KATA PENGANTAR .................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................................. iii
BAB I .............................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1
BAB II ............................................................................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................. 2
2.1 Anatomi ............................................................................................................................ 2
2.2 Ambiguous Genitalia........................................................................................................ 2
2.2.1 Definisi...................................................................................................................... 2
2.2.2 Etiologi...................................................................................................................... 3
2.2.3 Epidemiologi ............................................................................................................. 3
2.2.4 Klasifikasi ................................................................................................................. 3
2.2.5 Patogenesis................................................................................................................ 4
2.2.6 Gejala klinis .............................................................................................................. 6
2.2.7 Diagnosis................................................................................................................... 7
2.2.8 Tatalaksana ............................................................................................................. 15
2.2.9 Komplikasi .............................................................................................................. 17
BAB III ......................................................................................................................................... 18
PENUTUP..................................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Ambiguous genitalia adalah suatu kondisi dimana alat kelamin individu tidak terbentuk
dengan sempurna sebagaimana laki-laki atau perempuan pada umumnya. Dalam istilah Bahasa
Indonesia, seringkali digunakan dengan istilah kerancuan kelamin atau kelamin ganda. Istilah
kelamin ganda sesungguhnya kurang tepat dan seringkali justru menimbulkan salah persepsi
karena seolah individu memiliki kedua alat kelamin laki-laki dan perempuan, padahal
sesungguhnya tidaklah demikian kondisinya. Di kalangan klinisi medis, istilah ambiguous
genitalia, intersex, ataupun hermaphrodit diganti dengan istilah baru, yakni
Disorders/Differentiation of Sex Development atau disingkat DSD.1,2,4 Kelahiran bayi dengan
ambiguous genitalia dapat menimbulkan kecemasan yang besar baik bagi keluarga maupun tenaga
kesehatan. Penetapan jenis kelamin yang tepat waktu dan tepat diperlukan untuk perkembangan
fisik dan psikologis yang sehat bagi individu dengan genitalia ambigu. 5 Pemeriksaan pasien ini
paling baik dilakukan dengan tim medis terkoordinasi yang mencakup ahli endokrinologi, ahli
genetika, ahli urologi, dan ahli radiologi untuk memastikan diagnosis tepat waktu dan manajemen
yang tepat. Pencitraan memainkan peran penting dalam menunjukkan secara akurat anatomi dan
kemungkinan efek pada organ lain.2,3 Data tentang insiden dan prevalensi kondisi yang
menyebabkan genitalia ambigu dan gangguan perkembangan seks secara keseluruhan (DSD)
terbatas. Sebagian, ini adalah hasil dari kebingungan atas nomenklatur dan klasifikasi. Jika DSD
didefinisikan sebagai suatu kondisi di mana jenis kelamin kromosom tidak konsisten dengan jenis
kelamin fenotipik, atau di mana fenotipe tidak dapat diklasifikasikan sebagai laki-laki atau
perempuan, perkiraan prevalensi sekitar 0,018% (yaitu, satu dari 5.500 orang).1,2,4

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Gambar 1. Organ Genitalia Feminina Eksterna

Gambar 2. Organ Genitalia Masculina Eksterna

2.2 Ambiguous Genitalia


2.2.1 Definisi
Ambiguous genitalia adalah suatu kondisi dimana alat kelamin individu tidak
terbentuk dengan sempurna sebagaimana laki-laki atau perempuan atau bisa juga
disebutkan sebagai seseorang yang mempunyai jenis kelamin ganda.

2
Seseorang dicurigai ambiguous genitalia apabila alat kelamin kecil, disebut penis
terlalu kecil sedangkan klitoris terlalu besar, atau bilamana skrotum melipat pada garis
tengah sehingga tampak seperti labium mayor yang tidak normal dan gonas tidak teraba. 1,2,4

Gambar 3. Pasien dengan Ambiguous Genitalia

2.2.2 Etiologi
Ketika genitalia eksternal tidak mempunyai penampakan anatomi yang sesuai
dengan jenis kelamis laki-laki dan perempuan secara normal, maka dikenal sebagai
ambiguous genitalia. Keadaan ini dapat disebabkan oleh berbagai DSD. Akan tetapi, tidak
semua DSD berupa ambiguous genitalia eksternal, beberapa DSD memiliki genital
eksterna yang normal (seperti Turner Syndrome [45,XO] dengan fenotip wanita,
Klinefelter syndrome [47,XXY] dengan fenotip laki-laki.1,2,4
2.2.3 Epidemiologi
Ambiguous genitalia merupakan ketidaksesuaian karakteristik yang menentukan
jenis kelamin seseorang, secara umum tingkat kejadiannya pada penyakit ini adalah
1:2000. Data mengenai insidens dan prevalensi penyakit ambiguous genitalia sangat
terbatas. Meskipun tidak ada jumlah pasti prevalensi penyakit ambiguous genitalia pada
akhir tahun 2006, di Jerman telah ditemukan 2 kasus dari 10.000 kelahiran. Kasus DSD
secara umum dapat dialami baik laki-laki, maupun perempuan dan biasanya pada saat
kelahiran bayi didiagnosis dengan ambiguous genitalia.1,4
2.2.4 Klasifikasi
The lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society (LWPES) dan The European
Society for Paediatric Endocrinology (ESPE) telah mengumumkan usulan perubahan

3
nama dan definisi berdasarkan gangguan perkembangan kromosom, gonad, atau fenotip
yang bersifat atipik.
Istilah Disorders of Sexual Development (DSD) pun diusulkan untuk merujuk
kondisi kongenital tersebut.1,3,5

Tabel 1. Istilah yang digunakkan sebelumnya dan penamaan hasil revisi dari Disorder of Sexual
Development (DSD)
Terminologi Lama Terminologi Baru
Female pseudohermaphrodite 46,XX DSD
Male pseudohermaphrodite 46,XY DSD
True hermaphrodite Ovotesticular DSD
XX male 46,XX testicular DSD
XY sex reversal 46,XY complete gonadal dysgenesis

2.2.5 Patogenesis
Untuk mengetahui patofisiologi ambiguous genitalia, harus memahami diferensiasi
seksual normal dan abnormal yang merupakan pengertian dasar pada kelainan.
Embriologi diferensiasi seksual
Penentuan fenotip seks dimulai dari seks genetik yang kemudian diikuti oleh
kaskade: kromosom seks menentukan seks gonad, akhirnya menentukan fenotip seks. Tipe
gonad menentukan diferensiasi/regresi duktus internal (mulleri dan wolfili). Identitas
gender tidak hanya ditentukan oleh fenotip individu, tetapi juga oleh perkembangan otak
prenatal dan postnatal.
Diferensiasi gonad
Dalam bulan kedua kehidupan fetus, gonad indeferen dipandu menjadi testes oleh
informasi genetik yang ada pada lengan pendek kromosom Y disebut Testes Determining
Factor (TDF), merupakan rangkaian 35-kbp dalam subband 11.3, area ini disebut daerah
penentu seks pada kromosom Y (SRY). Bilamana daerah ini tidak ada atau berubah, maka
gonad indeferen menjadi ovarium.
Diferensiasi duktus internal
Perkembangan duktus internal akibat efek parakrin gonad ipsilateral. Penelitian
klasik Jost pada tahun 1942 dengan kelinci menjelaskan dengan sangat baik peran gonad

4
dalam mengendalikan perkembangan duktus internal dan fenotip genitalia eksterna. Bila
ada jaringan testes, maka ada dua substansi produk untuk perkembangan duktus internal
laki-laki dan fenotip laki-laki, yaitu testosteron dan substansi penghambat mulleri (MIS)
atau hormon anti-mulleri (AMH).
Testosteron diproduksi sel leydig testis, merangsang duktus wolfii menjadi
epididimis, vas deferens dan vesikula seminalis. Struktur wolfii terletak paling dekat
dengan sumber testosteron, duktus wolfii tidak berkembang seperti yang diharapkan bila
testes atau gonad disgenetik sehingga tidak memproduksi testosteron. Kadar testosteron
lokal yang tinggi penting untuk diferensiasi duktus wolfii namun pada fetus perempuan
androgen ibu saja yang tinggi tidak menyebabkan diferensiasi duktus internal alki-laki, hal
ini jug atidak terjadi pada bayi perempuan dengan Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH).
MIS diproduksi oleh sel sertoli testes, penting untuk perkembangan duktus internal
laki-laki normal, merupakan suatu protein dengan berat molekul 15.000, yang disekresi
mulai minggu ke delapan. Peran utamanya adalah represi perkembangan pasif duktus
mulleri (tuba falopi, uterus, vagina superior). Testosteron dan estrogen tidak
mempengaruhi peran MIS.
Diferensiasi genitalia eksterna
Genitalia eksterna kedua jenis kelamin masih identik sampai 7 minggu pertama
masa gestasi. Tanpa hormon androgen (testosteron dan dihidrotestosteron-DHT), genitalia
eksterna secara fenotip perempun. Bila ada gonad laki-laki, diferensiasi terjadi secara aktif
setelah minggu ke-8 menjadi fenotip laki-laki. Diferensiasi ini dipengaruhi oleh
testosteron, yang berubah menjadi DHT karena pengaruh enzim 5-alfa reduktase dalam
sitoplasma sel genitalia eksterna dan sinus urogenital. DHT berikatan dengan reseptor
androgen dalam sitoplasma kemudian ditranspor ke nukleus, menyebabkan translasi dan
transkripsi material genetik, akhirnya menyebabkan perkembangan genitalia eksterna laki-
laki normal, bagian primordial membentuk skrotum, dari pembengkakan genital
membentuk batang penis, dari lipatan tuberkel membentuk glans penis, dari sinus
urogenitalis menjadi prostat. Maskulinisasi tidak sempurna bila testosteron gagal berubah
menjadi DHT atau DHT gagal bekerja dalam sitoplasma atau nukleus sel genitalia eksterna
dan sinus urogenital. Kadar testosteron tetap tinggi sampai minggu ke-14. Setelah minggu
ke-14, kadar testosteron fetus menetap pada kadar yang lebih rendah dan dipertahankan

5
oleh stimulasi human chorionic gonadotrophin (hCG) maternal daripada oleh LH.
Kemudian pada fase gestasi selanjutnya testosteron bertanggung jawab terhadap
pertumbuhan falus yang responsif terhadap testosteron dan DHT. 1,3,4,10

Gambar 4. Ilustrasi perkembangan system reproduksi normal pada manusia.

2.2.6 Gejala klinis


Gejala dari kelamin ganda (ambiguous genitalia), pada bayi yang secara genetika
seorang perempuan (kedua chromosome XX), maka:1,2,4
1. Terlihat clitoris yang membesar yang sering dikira sebagai penis
2. Bibir bawah yang tertutup atau seperti lipatan hingga dikira sebagai scrotum
3. Benjolan dibawah kelamin yang dikira sebagai testis.
Pada bayi yang secara genetika adalah laki laki, maka gejalanya adalah:
1. Saluran kencing tidak sampai ke depan penis (berhenti dan keluar ditengah atau
dipangkal penis)
2. Penis sangat kecil dengan lubang saluran kencing dekat dari scrotum
3. Testis tidak ada atau hanya ada satu buah.

6
Gambar 5. Ambiguous genitalia, diantaranya adalah true hermaphrodite (A) dan congenital
virilizing adrenal hyperplasia (B-E)

2.2.7 Diagnosis
2.2.7.1 Anamnesis
Pada ananmnesis perlu diperhatikan mengenai: 1,3,8,10
• Riwayat kehamilan: adakah pemakian obat-obatan seperti homonal atau alkohol,
terutama pada trimester I kehamilan.
• Riwayat keluarga: adakah anggota keluarga dengan kelainan jenis kelamin.
• Riwayat kematian neonatal dini
• Riwayat infertilitas dan polikistik ovarii pada saudara sekandung orangtua
penderita.
• Perhatikan penampilan ibu: akne, hirsustisme, suara kelaki-lakian.
2.2.7.2 Pemeriksaan Fisik

7
• Khusus terhadap genitalia eksterna/status lokalis: tentukan apakah testes teraba
keduanya, atau hanya satu, atau tidak teraba. Bila teraba di mana lokasinya, apakah
di kantong skrotum, di inguinal atau di labia mayora. Tentukan apakah
klitoromegali atau mikropenis, hipospadia atau muara uretra luar. Bagaimana
bentuk vulva dan adakah hiperpigmentasi.
• Tentukan apakah ada anomali kongenital yang lain.
• Tentukan adakah tanda-tanda renjatan.
• Bagi anak-anak periksalah status pubertas, tentukan apakah ada gagal tumbuh atau
tidak.3,4,9
2.2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
2.2.7.3.1 Laboratorium
a. Analisis kromosom
b. Pemeriksaan hormonal disesuaikan dengan keperluannya seperti
testosteron, uji HCG, 17-OH progesteron.
c. Pemeriksaan elektrolit seperti natrium dan kalium.
2.2.7.3.2 Pencitraan
Imaging memainkan peranan penting dalam menggambarkan organ-organ internal
dan anatomi urogenital pada anak-anak dengan ambiguous genitalia. Ultrasonografi
adalah modalitas utama untuk evaluasi organ reproduksi internal, sedangkan
genitografi dan cystourethrography digunakan untuk evaluasi saluran uretra, vagina
dan fistula. Pencitraan MRI berfungsi untuk memperjelas anatomi internal dan mencari
gonad internal.
a. USG untuk menetapkan ada tidaknya gonad dan turunan Mullerian. Pemeriksaan
ini dapat dilakukan dengan cepat dan tidak melibatkan radiasi atau sedasi.
Pemeriksaan mencakup daerah inguinal, perineum, ginjal, dan adrenal, untuk
memeriksa keadaan genital interna. Pseudohermafroditisme Wanita (46,XX DSD)
termasuk Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH) dan pajanan androgen
transplasenta. CAH merupakan penyebab paling umum dari alat kelamin ambigu.
Hal ini bermanifestasi pada tingkat virilisasi pada anak perempuan dan sebagai
pubertas dini pada anak laki-laki (Gambar 6).1,3,4

8
Gambar 6. Pseudohermafroditisme wanita (46,XX DSD) Pada bayi dengan genitalia ambigu.
Uterus dan ovarium normal terlihat di panggul. (a, b) Gambar membujur (a) dan melintang (b) US
menunjukkan pembesaran kelenjar adrenal kanan (panah; kursor dalam a) dengan diferensiasi
kortikomedullary yang dipertahankan. (c) Gambar US menunjukkan pembesaran kelenjar adrenal
kiri (panah).

Pseudohermafroditisme Pria (46,XX DSD) dapat bermanifestasi sebagai fenotipe


Wanita dengan berbagai derajat undervirilization sekunder akibat insensitivitas androgen
parsial. Pada sindrom CAI, tidak ada ambiguitas, dan janin XY lahir dengan fenotipe
perempuan, dengan diagnosis biasanya dibuat saat pubertas selama pemeriksaan untuk
amenore. Testis dapat ditemukan di kanalis inguinalis atau abdomen (Gambar 7).1,2

9
Gambar 7. Pseudohermafroditisme laki-laki (46,XY DSD) pada seorang gadis fenotipik
remaja yang disajikan dengan amenore dan lipatan labioscrotal menonjol yang menyebabkan
beberapa derajat ambiguitas genital. (a) Gambar panggul AS tidak menggambarkan uterus atau
ovarium. (b, c) Gambar Color Doppler US menunjukkan testis kanan (b) dan kiri (c) (panah) di
kanalis inguinalis. Dalam kasus ini, sindrom insensitivitas androgen parsial (sindrom Reifenstein)
menyebabkan ambiguitas genital.

DSD Ovotesticular (Hermafroditisme Sejati). Fitur pencitraan karakteristik


hermafroditisme sejati adalah adanya ovotestis atau satu testis dan satu ovarium pada
pasien yang sama. Ovotestis dapat dilihat sebagai struktur dengan kombinasi ekotekstur
testis dan folikel. Gonad dengan tampilan ovarium dan testis yang normal mungkin pada
USG terbukti sebagai ovotestes pada analisis histologis (Gambar 8). Uterus hampir selalu
ada pada DSD ovotesticular.1,2,4

10
Gambar 8. Ovotesticular DSD (hermafroditisme sejati) pada anak dengan genitalia eksterna
ambigu. (a) Citra US dari panggul menunjukkan uterus yang normal (panah). (b, c) gambar US
menunjukkan jaringan gonad di kanalis inguinalis kanan (panah dan kursor di b) dan fossa iliaka
kiri (panah di c) memiliki penampilan testis. Tidak ada folikel yang terlihat di kedua gonad. (d)
Genitogram menunjukkan vagina normal (panah) dengan refluks bahan kontras ke dalam serviks
(panah besar). Konfigurasi uretra (panah kecil) menunjukkan tipe wanita yang tidak biasa atau
hipospadia berat. Biopsi gonad kanan dan kiri menunjukkan jaringan testis yang belum matang dan
ovotestis. Analisis sitogenetik mengungkapkan genotipe 46,XY di kedua gonad.

Mixed Gonadal Dysgenesis adalah terdapatnya testis di satu sisi dan gonad
beruntun di sisi lain, menetapkan diagnosis MGD. Streak gonad sulit untuk
divisualisasikan dan dikarakterisasi pada pencitraan, termasuk pencitraan USG dan MRI.
Sebuah gonad dengan penampilan morfologi testis atau ovarium di USG mungkin terbukti
menjadi gonad disgenetik pada biopsi (Gambar 9). Minimal, uterus yang belum sempurna
atau tuba fallopi dapat terlihat di samping dengan gonad yang bergaris. Di sisi testis, difusi
MIS lokal mencegah perkembangan tuba fallopi.1,3,4

11
Gambar 9. MGD pada anak dengan genitalia ambigu, hipospadia perineum, dan fusi labial.
(a) Gambar USG menunjukkan uterus infantil normal (panah). (b) Gambar USG menunjukkan
gonad dengan penampilan testis (panah) anterolateral ke kandung kemih (UB) di sisi kanan. (c)
Gambar USG menunjukkan gonad dengan penampakan ovarium dengan area kistik di sisi kiri
(kursor). (d) Gambar USG menunjukkan jaringan gonad dengan area kistik sentral (panah)
anterolateral ke kandung kemih (UB) di sisi kiri. (e) Gambar AS menunjukkan lingga panjang

12
yang terkubur di bawah kulit (panah). (f) Genitogram menunjukkan vagina normal (panah)
dengan uterus di atas (panah). Biopsi gonad kanan menunjukkan jaringan testis, biopsi gonad
ovarium morfologis sisi kiri menunjukkan tuba fallopi dan epididimis tanpa jaringan ovarium,
dan biopsi jaringan gonad kiri anterolateral kandung kemih menunjukkan gonad disgenetik
dengan komponen tali kelamin primitif. Genotipenya adalah mosaik 46,XY–45,XO.

b. Genitografi; untuk menetukan apakah saluran genital interna perempuan ada atau
tidak. Jika ada, lengkap atau tidak. Jadi pencitraan ini ditujukan terutama untuk
menentukan ada/tidaknya organ yang berasal dari saluran Muller. 1,3,4,8

Gambar 10. Anomali sinus urogenital kompleks pada anak dengan ambiguitas genital.
Genitogram yang diperoleh setelah injeksi bahan kontras melalui lubang tepat di bawah phallus
menunjukkan saluran buram (panah besar) mungkin uretra dan triangular area (panah kecil).
Bahan kontras kemudian direfluks ke dalam uretra dan kandung kemih di anterior dan vagina
di posterior dari triangular pouch. Traktus lain (kepala panah) terlihat muncul dari triangular
area di atas traktus kanula dan membuka di ujung phallus.

c. MRI: berguna dalam evaluasi dengan pemnggambaran uterus pada 93%, vagina pada
95%, penis pada 100%, testis pada 88%, dan ovarium pada 74% kasus. Pencitraan MRI
dan USG dianggap sama sensitifnya dalam evaluasi gonad namun belum sepenuhnya
dapat diandalkan (Gambar 11 dan 12).1,3,9

13
Gambar 11. (a) Gambar MR T2-weighted menunjukkan testis normal sebagai struktur oval
hiperintens dengan tepi gelap (panah). (b) Gambar MR aksial T2-weighted dari panggul
menunjukkan corpora cavernosa normal sebagai struktur hiperintens panjang (panah).

Gambar 12. (a, b) Koronal (a) dan sagital (b) Gambar MR T2-weighted menunjukkan
ovarium kanan normal (panah lurus di a) dan uterus (panah melengkung di a, panah di b). (c)
Gambar MR aksial T2-weighted yang diperoleh pada pasien dengan agenesis mulleria

14
2.2.8 Tatalaksana
a. Pengobatan endokrin1,7,9,10
Bila pasien menjadi laki-laki, maka tujuan pengobatan endokrin adalah mendorong
perkembangan maskulisasi dan menekan berkembangnya tanda- tanda feminisasi
(membesarkan ukuran penis, menyempurnakan distribusi rambut dan massa tubuh) dengan
memberikan testosteron.
Bila pasien menjadi perempuan, maka tujuan pengobatan adalah mendorong secara
simultan perkembangan karakteristik seksual ke arah feminin dan menekan perkembangan
maskulin (perkembangan payudara dan menstruasi yang dapat timbul pada beberapa
individu setelah pengobatan estrogen).
Pada CAH diberikan glukokortikoid dan hormon untuk retensi garam.
Glukokortikoid dapat membantu pasien mempertahankan reaksi bila terjadi stres fisik dan
menekan perkembangan maskulinisasi pada pasien perempuan.
Pengobatan dengan hormon seks biasanya mulai diberikan pada saat pubertas dan
glukokortikoid dapat diberikan lebih awal bila dibutuhkan, biasanya dimulai pada saat
diagnosis ditegakkan. Bilamana pasien diberikan hormon seks laki-laki, hormon seks
perempuan atau glukokortikoid, maka pengobatan harus dilanjutkan selama hidup.
Misalnya, hormon seks laki- laki dibutuhkan pada saat dewasa untuk mempertahankan
karakteristik maskulin, hormon seks perempuan untuk mencegah osteoporosis dan
penyakit kardiovaskuler, dan glukokortikoid untuk mencegah hipoglikemia, dan penyakit-
penyakit yang menyebabkan stres.

b. Pengobatan pembedahan1,11
Tujuan pembedahan rekonstruksi pada genitalia perempuan adalah agar
mempunyai genitalia eksterna feminin, sedapat mungkin seperti normal dan mengkoreksi
agar fungsi seksualnya normal. Tahap pertama adalah mengurangi ukuran klitoris yang
membesar dengan tetap mempertahankan persarafan pada klitoris dan menempatkannya
tidak terlihat seperti posisi pada wanita normal. Tahap kedua menempatkan vagina keluar
agar berada di luar badan di daerah bawah klitoris.

15
Tahap pertama biasanya dilakukan pada awal kehidupan. Sedangkan tahap kedua
mungkin lebih berhasil bilamana dilakukan pada saat pasien siap memulai kehidupan
seksual.
Pada laki-laki, tujuan pembedahan rekonstruksi adalah meluruskan penis dan
merubah letak urethra yang tidak berada di tempat normal ke ujung penis. Hal ini dapat
dilakukan dalam satu tahapan saja. Namun demikian, pada banyak kasus, hal ini harus
dilakukan lebih dari satu tahapan, khususnya bilamana jumlah jaringan kulit yang
digunakan terbatas, lekukan pada penis terlalu berat dan semua keadaan-keadaan tersebut
bersamaan sehingga mempersulit teknik operasi.
Bilamana pengasuhan seks sudah jelas ke arah laki-laki, maka dapat dilakukan
operasi rekonstruksi antara usia 6 bulan sampai 11,5 tahun. Secara umum, sebaiknya
operasi sudah selesai sebelum anak berusia dua dua tahun , jangan sampai ditunda sampai
usia pubertas.
Bilamana pengasuhan seks sudah jelas ke arah perempuan, bilamana pembukaan
vagina mudah dilakukan dan klitoris tidak terlalu besar, maka rekonstruksi vagina dapat
dilakukan pada awal kehidupan tanpa koreksi klitoris. Bilamana maskulinisasi membuat
klitoris sangat besar dan vagina tertutup (atau lokasi vagina sangat tinggi dan sangat
posterior), maka dianjurkan untuk menunda rekonstruksi vagina sampai usia remaja.
Namun hal ini masih merupakan perdebatan, beberapa ahli menganjurkan agar
rekonstruksi dilakukan seawal mungkin atau setidaknya sebelum usia dua tahun, namun
ahli yang lain menganjurkan ditunda sampai usia pubertas agar kadar estrogennya tinggi
sehingga vagina dapat ditarik ke bawah lebih mudah.
c. Pengobatan psikologis1,6
Sebaiknya, semua pasien interseks dan anggota keluarganya harus
dipertimbangkan untuk diberikan konseling. Konseling dapat diberikan oleh ahli endokrin
anak, psikolog, ahli psikiatri, ahli agama (ustadz, pastur, atau pendeta), konselor genetik
atau orang lain dimana anggota keluarga lebih dapat berbicara terbuka. Yang sangat
penting adalah bahwa yang memberikan konseling harus sangat familier dengan hal-hal
yang berhubungan dengan diagnosis dan pengelolaan interseks. Sebagai tambahan, sangat
membantu bilamana konselor mempunyai latar belakang terapi seks atau konseling seks.

16
Topik yang harus diberikan selama konseling adalah pengetahuan tentang keadaan
anak dan pengobatannya, infertilitas, orientasi seks, fungsi seksual dan konseling genetik.
Bilamana pada suatu saat di sepanjang hidupnya, pasien dan orangtuanya mempunyai
masalah dengan topik tersebut maka dianjurkan konsultasi.

2.2.9 Komplikasi
• Infertilitas
• Gangguan orgasme
• Kanker, termasuk kanker testis
• Gangguan Psikis

17
BAB III

PENUTUP

Sangat penting pada seorang anak dengan genital ambigu dievaluasi oleh tim multidisiplin
(termasuk ahli radiologi dan ahli pediatrik lainnya) menggunakan pendekatan terkoordinasi untuk
sampai mendiagnosis tepat waktu sehingga penetapan jenis kelamin yang tepat dapat dilakukan
sejak dini. Pencitraan memainkan peran penting dalam menunjukkan anatomi dan efek potensial
pada organ lain. USG adalah modalitas pilihan untuk evaluasi awal. Genitografi digunakan untuk
menilai uretra, vagina, sambungan fistula, dan traktus kompleks. Pencitraan MRI dapat berfungsi
sebagai modalitas pemecahan masalah yang dapat dengan jelas menggambarkan alat kelamin dan
gonad.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Chavhan, Govind B, et al. Imaging of Ambiguous Genitalia: Calssification and Diagnostic


approach. 2008. 19 Juni 2021. Available from:
http://radiographics.rsna.org/content/28/7/1891.full
2. Hutcheson, Joel, et al. Ambiguous Genitalia and Intersexuality. 2012. 19 Juni 2021.
Available from: www.emedicine.medscape.com/article/1015520-overview.htm#showall
3. Houk, Cristopher P, et al. Summary of Consesus Statement on Intersex Disorders and Their
Management. 2012. 19 Juni 2021. Available from:
http://pediatrics.aappublications.org/content/106/1/138.full
4. U, Thyen, et al. Epidemiology and Initial Management of Ambiguous Genitalia at Birth in
Germany. 2006. 19 Juni 2021. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16877870
5. Susanto, Rudi. Ambiguous Genitalia pada Bayi Baru Lahir. 2006. 19 Juni 2021.
6. Sowande, Oludayo A, et al. Management of Ambiguous Genitalia in ile ife, Nigeria:
Challenge and Outcome. 2009. 19 Juni 2021. Available from:
http://indexmedicus.afro.who.int/iah/fulltext/AJPS/vol6%20n1/manageme nt%2014-
18.pdf
7. Mirani, erna. Pengaruh Konseling Genetik pada Tingkat Kecemasan dan Depresi Terhadap
Penentuan Gender Ambigus Genitalia. 2010. 19 Juni 2021.
8. Khanna, K., Sharma, S., Gupta, D. K. A Clinical Approach to Diagnosis of Ambiguous
Genitalia. 2019. Journal of Indian Association of Pediatric Surgeons, 24 (3), pp. 162-169.
9. Gargari, et al. A Case with late onset of ambiguous genitalia. 2017. International Journal
of Reproductive BioMedicine, 15 (3), pp. 175-178.
10. National Health Service UK. Health A to Z. Differences in sex development.
National Institute of Health. 2019. U.S. National Library of Medicine MedlinePlus.
Ambiguous genitalia.
11. Boston Children’s Hospital. Conditions. Ambiguous Genitalia | Diagnosis & Treatment.
2020

19

Anda mungkin juga menyukai