MANDIRI
MODUL INTEGRATIF ORGAN
SKENARIO 3
Disusun Oleh:
Dosen Pembimbing:
Abraham Ahmad Ali Firdaus, dr., Sp.JP
2021
1
LEMBAR PENGESAHAN DAN PENILAIAN
Dosen Pembimbing
2
SKENARIO 3
Seorang laki-laki usia 58 tahun datang dengan keluhan tidak bisa kencing.
(TPL - PPL)
TPL PPL
ANAMNESIS BPH
1. Laki-laki usia 58 tahun 1. Lansia
2. Masih bisa kencing sedikit tetapi 2. Retensi urin
dengan mengejan 3. Kencing mengejan
3. Pasien batuk sejak 4 minggu 4. Pemeriksaan rectal toucher (+),
yang lalu prostat teraba kenyal, tidak
4. Kadang berdahak lebih sering berdungkul-dungkul, pole atas tidak
seperti ludah, badan gampang teraba
terasa lelah, kadang demam, 5. PSA: meningkat
5. Batuknya hilang timbul 6. IPSS: Severe
6. Terdapat penurunan berat badan TB Paru
7. Fatigue
PEMERIKSAAN FISIK 8. Penurunan BB
1. RR 24x/menit 9. Batuk 4 minggu hilang timbul
2. Pemeriksaan rectal toucher 10. Batuk kadang berdahak lebih sering
didapatkan sfingter ani menjepit seperti ludah
kuat, prostat teraba kenyal, tidak 11. Terkadang demam
berdungkul-dungkul, pole atas tidak 12. Takipneu
teraba. 13. Foto thorak didapatkan bercak
retikulogranuler yang tersebar difus
PEMERIKSAAN PENUNJANG di kedua lapang paru.
1. Foto thorak didapatkan bercak
retikulogranuler yang tersebar difus
di kedua lapang paru.
2. PSA: 3,6
3. IPSS: 34
3
STEP 5 (TABEL POMR)
PLANNING
TPL PPL Assesmen
Diagnosis Terapi Monitoring Edukasi
t
ANAMNESIS BPH BPH 1. USG? 1. Medikamentos 1. Keluhan -
7. Laki-laki 1. Laki-laki usia 2. Urinalisis a: a1-blocker, pasien Menghindar
usia 58 58 tahun 3. Pemeriksaan antagonis 2. PSA i asupan
tahun 2. Retensi urin panendosko receptor 3. IPSS caffein,
8. Masih bisa 3. Kencing pi muscarinic, 5a 4. Pengukuran alkohol dan
kencing mengejan 4. Pemeriksaan reductase volume rokok
sedikit 4. Pemeriksaan fungsi ginjal inhibitor, redisu pasca -Edukasi
tetapi rectal toucher 5. Biopsi phosfodiesteras berkemih agar tidak
dengan (+), prostat prostat i 5 inhibitor menahan
mengejan teraba kenyal, 6. Uroflowmetr 2. Pembedahan kencing
9. Pasien tidak i dengan TURP, -
batuk sejak berdungkul- laser menghindar
4 minggu dungkul, pole prostatektomi, i obat-
yang lalu atas tidak TUIP obatan
10. Kadang teraba seperti
berdahak 5. PSA: antihistamin
lebih meningkat ,
sering 6. IPSS: Severe 1. OAT kategori 5. Evaluasi dekongestan
4
seperti TB Paru TB Paru 1, 2RHZE/4RH klinis:
ludah, 7. Fatigue 1. Pemeriksaan (terapi intensif keteraturan
badan 8. Penurunan BB sputum BTA 2 bulan dengan minum -minum
gampang 9. Batuk 4 2. Mantoux test RHZE, terapi obat, efek obat teratur
terasa minggu hilang 3. Kultur lanjutan 4 samping sesuai
lelah, timbul sputum bulan dengan pengobatan ketentuan
kadang 10. Batuk kadang 4. Analisa gas RH) 6. Evaluasi -menjaga
demam, berdahak lebih darah bakteriologi ventilasi
11. Batuknya sering seperti 5. Biopsi s dahak rumah
hilang ludah jaringan 7. Evaluasi -menutup
timbul 11. Terkadang paru radiologis mulut
12. Terdapat demam 8. Pemeriksaa ketika batuk
penurunan 12. Takipneu n sputum atau bersin
berat 13. Foto thorak BTA serta
badan didapatkan memakai
bercak masker
PEMERIKSAAN retikulogranule -tidak
FISIK r yang tersebar meludah
3. RR 24x/menit difus di kedua sembarang
4. Pemeriksaan lapang paru. tempat
rectal toucher -menjaga
didapatkan kontak
5
sfingter ani langsung
menjepit kuat, dengan
prostat teraba orang lain
kenyal, tidak
berdungkul-
dungkul, pole
atas tidak
teraba.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
4. Foto thorak
didapatkan
bercak
retikulogranul
er yang
tersebar difus
di kedua
lapang paru.
5. PSA: 3,6
6. IPSS: 34
6
7
Define Learning Objective
B. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia
prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat
adalah:
o Teori Hormonal
8
Selain androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya
BPH. Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal,
yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di
perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan
merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa
testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogen
lah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan
konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi
faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat.
Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan,
bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan
produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan
makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler
(spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi
androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang
produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat
terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan
bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.
o Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkurangnya Sel yang Mati.
Kematian sel prostat (apotosis) pada sel prostat adalah mekanisme fsiologik
untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apotosis terjadi kondensasi
dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel sel yang mengalami apoptosis akan
difagositosis oleh sel sel disekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisososom.
9
Berkurangnya jumlah sel-sel dalam prostat yang mengalami apoptosis
menyebabkan jumlah sel sel dalam prostat secara keseluruhan menjadi meningkat
sehingga menyebabkan petambahan massa prostat. Diduga hormon adrogen berperan
dalam menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi
peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat. Estrogen diduga mampu
memperpanjang usia sel prostat. Sedangkan faktor pertumbuhan TGB beta berperan
dalam proses apotosis.
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang
dewasa berada dalam keadaan keseimbangan steady state, antara pertumbuhan sel dan
sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam
jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi.
Pada keadaan tertentu, jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi
lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi
atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi
berlebihan.
o Teori Reawakening
10
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma
pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme “glandular
budding” kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona
preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan “glandular morphogenesis” yang terjadi
pada embrio dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan adanya
“reawakening” yaitu jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat
embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan
sekitarnya, sehingga teori ini terkenal dengan nama teori Reawakening of Embryonic
Induction Potential of Prostatic Stroma During Adult Hood.
Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan tentang
penyebab terjadinya BPH seperti, teori tumor jinak, teori rasial dan faktor sosial, teori
infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori yang berhubungan dengan aktifitas
hubungan seks, teori peningkatan kolesterol, dan Zn yang kesemuanya tersebut masih
belum jelas hubungan sebab akibatnya.
C. Epidemiologi
Pembesaran prostat dianggap sebagai bagian dari proses pertambahan usia,
seperti halnya rambut yang memutih. Oleh karena itulah dengan meningkatnya usia
harapan hidup, meningkat pula prevalensi BPH. Office of Health Economic Inggris
telah mengeluarkan proyeksi prevalensi BPH bergejala di Inggris dan Wales beberapa
tahun ke depan. Pasien BPH bergejala yang berjumlah sekitar 80.000 pada tahun 1991,
diperkirakan akan meningkat menjadi satu setengah kalinya pada tahun 2031.
Bukti histologis adanya benign prostatic hyperplasia(BPH) dapat
diketemukan pada sebagian besar pria, bila mereka dapat hidup cukup lama. Namun
demikian, tidak semua pasien BPH berkembang menjadi BPH yang bergejala
(symptomatic BPH). Prevalensi BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49 tahun
mencapai hampir 15%. Angka ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga
pada usia 50-59 tahun prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60 yahun
mencapai angka sekitar 43%. Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum
pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital prevalence di dua rumah sakit besar
di Jakarta yaitu RSCM dan Sumberwaras selama 3 tahun (1994-1997) terdapat 1040
kasus.
D. Klasifikasi
11
Menurut Rumahorbo (2000:71), terdapat empat derajat pembesaran kelenjar prostat
yaitu sebagai berikut:
A. Derajat Rektal
Derajat rektal dipergunakan sebagai ukuran dari pembesaran kelenjar prostat ke
arah rektum. Rectal toucher dikatakan normal jika batas atas teraba konsistensi
elastis, dapat digerakan, tidak ada nyeri bila ditekan dan permukaannya rata.
Tetapi rectal toucher pada hipertropi prostat di dapatkan batas atas teraba
menonjol lebih dari 1 cm dan berat prostat diatas 35 gram.Ukuran dari
pembesaran kelenjar prostat dapat menentukan derajat rectal yaitu sebagai
berikut :
o Derajat O : Ukuran pembesaran prostat 0-1 cm
o Derajat I : Ukuran pembesaran prostat 1-2 cm
o Derajat II : Ukuran pembesaran prostat 2-3 cm
o Derajat III : Ukuran pembesaran prostat 3-4 cm
o Derajat IV : Ukuran pembesaran prostat lebih dari 4 cm
12
Bila kandung kemih telah penuh dan klien merasa kesakitan, maka urine akan
keluar secara menetes dan periodik, hal ini disebut Over Flow Incontinencia.
Pada derajat ini telah terdapat sisa urine sehingga dapat terjadi infeksi atau
cystitis, nocturia semakin bertambah dan kadang-kadang terjadi hematuria.
13
histologis BPH menjelaskan potensi respon terhadap pengobatan medis. Jadi terapi
alpha-blocker dapat memberikan respon baik pada pasien dengan BPH yang memiliki
komponen penting otot polos, sedangkan pasien BPH yang dominan terdiri dari epitel
akan menghasilkan respon lebih baik terhadap 5-alpha-reductase inhibitor. Pasien
dengan komponen kolagen dalam stroma yang signifikan mungkin tidak merespon
salah satu bentuk terapi medis. Sayangnya, respon terhadap terapi tertentu tidak dapat
diprediksi sebelumnya. Semakin nodul BPH di zona transisional membesar, mereka
menekan zona luar prostat, menghasilkan pembentukan kapsul. Batas ini memisahkan
zona transisiinal dengan zona perifer dan berfungsi sebagai bidang pemisah untuk
enuklleasi terbuka prostat selama prostatectomi terbuka sederhana yang dilakukan
pada BPH.
Patofisiologi
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya
gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini
berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak
uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal)
sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang
merupakan reseptor alpha adrenergik. Stimulasi pada reseptor alpha adrenergik akan
menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen
dinamik ini tergantung dari stimulasi saraf simpatis, yang juga tergantung dari
beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga
perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal,
terjadi pembesaran prostat , peningkatan retistensi pada leher buli-buli dan daerah
prostat. Selanjutnya hal ini akan menyebabkan sumbatan aliran kemih. Untuk
mengatasi resistensi uretra yang meningkat, otot-otot detrusor akan berkontraksi
untuk mengeluarkan urine. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan
anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya
selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase
kompensasi. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan
pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang
dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.
14
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke
dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke
seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada
kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter
atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam
gagal ginjal.
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstuksi dan iritasi. Gejala obstruksi
disebabkan oleh karena dektrusor gagal berkontaksi cukup lama sehingga kontraksi
terputus-putus, sedangkan gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan yang tidak
sempurna saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesika,
sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh, keadaan ini membuat sistem
skoring untuk menentukan besarnya keluhan klinik. Gejala iritatif yang sering dijumpai
ialah bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih dirasakan pada malam hari.
Sering miksi paada malam hari disebut nokturia, hal ini disebabkan oleh menurunnya
15
hambatan kotikal selama tidur dan juga menurunkan tonus sfingter dan uretra. Simptom
obstruksi biasanya disebabkan oleh karena prostat volumenya terlalu besar. Apabila
vesika menjadi dekompensasi, maka akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi
masih ditemukan sisa urin didalam vesika, hal ini menyebabkan rasa tidak tuntas pada
akhir miksi. Jika hal ini berlanjut setiap saat akan terjadi kemacetan total, sehingga
penderita tidak bisa miksi lagi.
Oleh karena produksi urin akan terus terjadi maka suatu saat vesika tidak
mampu lagi menampung urine sehingga tekanan intravesika akan naik terus dan jika
tekanan intravesika ini akan naik terus maka dan apabila tekanan vesika akan menjadi
lebih tinggi dari tekanan spingter akan terjadi inkontensia paradoks (overflow
incontinence). Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya refluks vesiko urethral dan
menyebabkan dilatasi ureter dan sistem pelvio kalises ginjal akan rusak dan adanya
infeksi. Di samping kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat obstuksi kronik
pendeita harus selalu mengedan pada waktu miksi. Tekanan intraabdomen dapat
meningkat dan lama-kelamaan akan menyebabkan terjadinya hernia, hemorroid,. Oleh
karena selalu terdapat sisa kencing didalam vesika maka akan terbentuk batu dalam
vesika dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan iritasi dan
menimbulkan hematuri. Disamping pembentukan batu retensi kronik dapat menyebabkan
terjadinya infeksi sehingga terjadi sintitis dan apabila terjadi refluks dapat terjadi juga
pyelonefitis.
Manifestasi klinis
Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah ( LUTS ) terdiri atas gejala obstruktif dan
gejala iritatif. Gejalaobstruktif disebabkan oleh karena penyempitan Uretra pars prostatika
karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi
cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus.
16
Gejala obstruktif ialah :
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga
faktor, yaitu :
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga
meskipun volume kelenjar periurethral sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot
polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan
kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaria yang tidak sempurna
pada saat miksi atau disebabkan oleh hipersensitivitas otot detrusor karena pembesaran
prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun
belum penuh. Gejala iritatifialah :
Gejala-gejala tersebut di atas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis derajat
berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :
17
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah, WHO
menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut Skor
Internasional Gejala Prostat atau IPSS (International Prostatic Symptom Score). Sistem
skoring IPSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS)
dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang
menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7. Dari skor IPSS itu dapat
dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:
Timbulnya gejala LUTS merupakan menifestasi kompensasi otot vesica urinaria untuk
mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot-otot vesica urinaria akan mengalami kepayahan
(fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi
urin akut.
o Volume vesica urinaria tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan
kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung
diuretikum (alkohol, kopi) dan minum air dalam jumlah yang berlebihan.
o Massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau
mengalami infeksi prostat akut.
o Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor
atau yang dapat mempersempit leher vesica urinaria, antara lain: golongan
antikolinergik atau alfa adrenergik.
2. Gejala di luar saluran kemih :
18
o Penyempitan uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih.
o Retensi urin dalam kandung kemih menyebabkan dilatasi kandung kemih, hipertrofi
kandung kemih dan cystitis (Hidayat, 2009).
Adapun gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan Benigna Prostat Hipertrofi:
o Retensi urin (urine tertahan di kandung kemih, sehingga urin tidak bisa keluar).
o Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing.
o Miksi yang tidak puas.
o Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia).
o Pada malam hari miksi harus mengejan.
o Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria).
o Massa pada abdomen bagian bawah.
o Hematuria (adanya darah dalam urin).
o Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk mengeluarkan urin).
o Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi.
o Kolik renal (kerusakan renal, sehingga renal tidak dapat berfungsi).
o Berat badan turun.
o Anemia, kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui.
o Pasien sama sekali tidak dapat berkemih sehingga harus dikeluarkan dengan kateter.
Karena urin selalu terisi dalam kandung kemih, maka mudah sekali terjadi cystitis dan
selaputnya merusak ginjal.
Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksia, mual dan
muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik.
19
o Derajat 4: Apabila sudah terjadi retensi total.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani,
reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan di dalam
rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-
kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis akan disertai sakit pinggang
dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi
total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia
eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat
menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis
daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus.
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba
masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan
supra simfisis.
20
Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah :
o Ureum dan Kreatinin
o Elektrolit
o Blood urea nitrogen
o Prostate Specific Antigen (PSA)
o Gula darah
2. Urin :
o Kultur urin + sensitifitas test
o Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik
o Sedimen
Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine berguna dalam mencari jenis kuman yang
menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa
antimikroba yang diujikan.
Faal ginjal diperiksa untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang mengenai
saluran kemih bagian atas. Sedangkan gula darah dimaksudkan untuk mencari kemungkinan
adanya penyakit diabetes mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada vesica
urinaria.
Pemeriksaan pencitraan
BNO berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa
prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan vesica urinaria yang penuh terisi urin,
yang merupakan tanda dari suatu retensi urine. Selain itu juga bisa menunjukkan adanya
hidronefrosis, divertikel kandung kemih atau adanya metastasis ke tulang dari carsinoma
prostat.
21
a. kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis
b. memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya
indentasi prostat (pendesakan vesica urinaria oleh kelenjar prostat) atau ureter
di sebelah distal yang berbentuk seperti mata kail atau hooked fish
c. penyulit yang terjadi pada vesica urinaria yaitu adanya trabekulasi, divertikel,
atau sakulasi vesica urinaria
d. Foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin
3. Sistogram retrograde
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram
retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.
5. Pemeriksaan Sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urine
ditemukan mikrohematuria. Sistografi dapat memberikan gambaran kemungkinan tumor di
dalam vesica urinaria atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari muara ureter,
atau batu radiolusen di dalam vesica. Selain itu juga memberi keterangan mengenai basar
prostat dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke
dalam uretra.
Pemeriksaan fisik dan penunjang telah dijelaskan pada point diatas, untuk penegakan
diagnosis. Berikut beberapa pemeriksaan penunjang lainnya :
1. Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh :
Tekanan intravesica
Resistensi uretra
22
Angka normal laju pancaran urin ialah 10-12 ml/detik dengan puncak laju pancaran
mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8 ml/detik
dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah
pancaran urin yang dihasilkan.
Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat
membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang
melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran
dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan
intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur.
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat sederhana
dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang masih tinggal atau
ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat pula dilakukan dengan
membuat foto post voiding pada waktu membuat IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya
kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa
urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi
pada penderita prostat hipertrofi.
Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat dilakukan dengan beberapa cara,
diantaranya adalah :
1) Rektal grading
23
derajat 1 : < 50 ml
derajat 2 : 50-100 ml
derajat 3 : >100 ml
derajat 4 : retensi urin total
3) Intra vesikal grading
derajat 1 : prostat menonjol pada bladder inlet
derajat 2 : prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter
derajat 3 : prostat menonjol sampai muara ureter
derajat 4 : prostat menonjol melewati muara ureter
4) Berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi :
derajat 1 : kissing 1 cm
derajat 2 : kissing 2 cm
derajat 3 : kissing 3 cm
Diagnosis banding
Gangguan neurologik
a. kelainan neurologik
b. neuropati perifer
c. diabetes mellitus
d. alkoholisme
e. farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik)
Obstruksi fungsional :
24
b. ketidakstabilan detrusor
Tatalaksana
Konsensus IAUI 2015 maupun Panduan AUA 2010 membagi manajemen BPH menjadi
beberapa kelompok, yaitu kelompok terapi konservatif (watchful waiting),
medikamentosa, dan pembedahan. Tujuan utama penatalaksanaan terhadap pasien BPH
adalah perbaikan kualitas hidup. Indikasi absolut dilakukan operasi adalah:
Retensi urin berulang (berat), yaitu retensi urin yang gagal dengan pemasangan
kateter urin sedikitnya satu kali.
Infeksi saluran kencing berulang.
Gross hematuria berulang.
Batu buli-buli.
Insufisiensi ginjal.
25
Divertikula buli-buli.
26
Gambar 1. Algoritma Tatalaksana Konservatif dan Medikamentosa BPH
1.Konservatif
Pada manajemen konservatif, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dari dokter.
Meski demikian, perkembangan penyakit prostat yang dialami pasien tetap akan diawasi oleh
dokter. Pengawasan ini biasanya dilaksanakan dalam bentuk kontrol berkala setiap 3-6 bulan
sekali untuk melihat perubahan pada keluhan, skor IPSS, uroflowmetry, dan volume residu
27
urin. Manajemen konservatif hanya direkomendasikan bagi pasien dengan keluhan ringan
yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari alias memiliki skor IPSS.
Selain melakukan pengawasan berkala, pasien juga diberikan edukasi mengenai faktor
risiko dan tindakan pencegahan untuk menghambat perkembangan penyakit BPH sang
pasien. Edukasi ini meliputi anjuran untuk mengurangi asupan minum, kopi, atau alkohol
setelah makan malam, konsumsi cokelat serta bahan makanan yang menyebabkan iritasi
vesica urinaria, penggunaan obat-obatan golongan fenilpropanolamin pada influenza, serta
kebiasaan menahan urinasi dalam waktu lama. Selain itu, bila pasien memiliki riwayat
konstipasi, dokter juga perlu menatalaksana keluhan tersebut. Medikamentosa
Terapi medikamentosa atau farmakologis digunakan pada pasien BPH yang memiliki
gejala mengganggu atau skor IPSS > 7. Algoritma pemilihan tipe obat menurut gejala yang
ditemukan dapat dilihat pada bagan berikut. Adapun beberapa golongan obat yang kerap
digunakan sebagai terapi medikamentosa BPH meliputi:
Obat golongan α1-blocker bekerja dengan cara menghambat kontraksi lapisan otot polos
dinding prostat. Hal ini dapat mengurangi tahanan leher vesica urinaria dan uretra sehingga
mampu mengurangi keluhan iritatif (storage), ditandai dengan peningkatan frekuensi urinasi,
dan obstruktif (voiding), ditandai dengan kencing mengejan, sekaligus. Beberapa obat
meliputi terazosin, doksazosin, alfazosin, dan tamsulosin yang dinimum sekali sehari dengan
dosis yang perlu dititrasi. Sekitar 30-45% pasien yang diberikan obat ini memiliki penurunan
skor IPSS. Bahkan, pada sekitar 15-30% pasien, skor tersebut turun 4 hingga 6 poin. Setiap
α1-blocker memiliki efek samping yang berbeda-beda. Meski demkian, efek samping
tersebut biasanya termanifestasi pada sistem kardiovaskular dan neurologi sehingga muncul
gejala hipotensi, asthenia, vertigo, dan intraoperative floppy iris syndrome (IFIS). IFIS
umumnya disebabkan oleh tamsulosin dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan dilasi
pupil, miosis progresif, gas dalam iris, dan prolaps iris pada operasi katarak. Meski demikian,
obat golongan ini sangat direkomendasikan pada kasus BPH dengan gejala sedang menuju
berat.
28
Obat golongan penghambat 5αreduktase bekerja dengan cara menginduksi apoptosis pada
sel-sel penyusun jaringan epitel prostat melalui inhibisi isoenzim 5α-reduktase, enzim yang
dapat mengkonversi testosteron menjadi dihidrotestosteron (DHT). Oleh sebab itu, obat-obat
golongan ini mampu mengecilkan volume prostat. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
dampak pengecilan ini mampu mencapai 30% ukuran pembesarannya. Ada dua jenis obat
golongan penghambat 5αreduktase, yaitu finasteride dan dutasteride. Keduanya baru akan
menghasilkan efek setelah lewat 6 bulan.4 Indikasi penggunaan dutasteride adalah jika
volume prostat > 30 cc, sementara indikasi finasteride bila volume > 40 cc. Dutasteride
digunakan dengan dosis 0,5 mg, sementara finasteride dengan dosis lebih tinggi yaitu 5 mg.
Penggunaannya sangat direkomendasikan oleh AUA dan IAUI untuk kasus BPH yang lebih
berat, meski tidak didukung oleh literatur selengkap α1-blocker.
d. Penghambat fosfodiesterasi-5
29
(cGMP) intraselular. Oleh sebab itu, obat ini mampu mengurangi tonus otot polos pada
dinding m. detrusor, prostat, dan uretra. Meski tersedia dalam bentuk sildenafil, vardenafil,
dan tadalafil, IAUI hanya merekomendasikan penggunaan tadalafil.4 Dosis yang
direkomendasikan oleh IAUI adalah tadalafil 5 mg perhari. Obat golongan ini dapat
menurunkan skor IPSS hingga sebesar 37% dari nilai semula. Alasan pemilihan tadalafil
ketimbang 2 jenis obat lainnya adalah karena tadalafil tidak menyebabkan gangguan visual
dan flushing akibat cross-reaction berlebihan dengan PDE6. Meski demikian, tadalafil dapat
menyebabkan nyeri punggung pada beberapa penggunanya. Salah satu efek lain yang
dimiliki oleh seluruh golongan penghambat PDE-5 adalah kemampuannya mengobati
disfungsi ereksi.6Sebuah studi Cochrane menyebutkan bahwa penggunaan penghambat PDE-
5 sama efektifnya dengan penggunaan α1-blocker pada BPH sedang hingga berat. Konsensus
IAUI juga merekomendasikan penggunaan penghambat PDE-5 sebagai alternatif α1-blocker
yang sederajat.
e. Terapi kombinasi
30
f. Fitofarmaka
3. Pembedahan
Pembedahan merupakan suatu tindakan tatalaksana BPH yang bersifat invasif. Oleh
sebab itu, indikasi yang jelas perlu ditemukan sebelum seorang klinisi memutuskan untuk
melakukan pembedahan. Indikasi-indikasi tersebut, meliputi retensi urin akut, infeksi saluran
kemih berulang, hematuria makroskopik, sistolitiasis, penurunan fungsi ginjal, gagal
berkemih setelah melepaskan kateter, perubahan patologis pada vesica urinaria, keluhan telah
memberat, tidak adanya perbaikan setelah terapi konservatif dan medikamentosa, serta pasien
menolak terapi selain bedah. Adapun berikut merupakan beberapa pilihan terapi pembedahan
yang dapat dilakukan.
31
Gambar 2. Algoritma Tatalaksana Intervensi BPH.
32
buli-buli dan pada posisi litotomi tidak memungkinkan. Open prostatectomy dapat dilakukan
dengan pendekatan suprapubik ataupun retropubik.
1. Terapi minimal invasif
Laser
Dua sumber energi utama yang digunakan pada operasi dengan sinar laser adalah YAG
dan holomium: YAG. Keuntungan operasi dengan sinar laser adalah:
Kehilangan darah minimal.
Sindroma TUR jarang terjadi.
Dapat mengobati pasien yang sedang menggunakan antikoagulan.
Dapat dilakukan out patient procedure.
Kerugian operasi dengan laser
Sedikit jaringan untuk pemeriksaan patologi.
Pemasangan keteter postoperasi lebih lama.
Lebih iritatif.
Biaya besar
o Transurethral Electrovaporization of the Prostate
Transurethral Electrovaporization of the Prostate menggunakan resektoskop. Arus
tegangan tinggi menyebabkan penguapan jaringan karena panas, menghasilkan cekungan
pada uretra pars prostatika. Prosedurnya lebih lama dari TUR.
o Hyperthermia
Hipertermia dihantarkan melaluli kateter transuretra.Bagian alat lainnya mendinginkan
mukosa uretra.Namun jika suhu lebih rendah dari 45°C, alat pendingin tidak diperlukan.
o Transurethal Needle Ablation of the Prostate
Transurethal Needle Ablation of the Prostate menggunakan kateter khusus yang akan
melalui uretra.
o High Intensity Focused Ultrasound
High Intensity Focused Ultrasound berarti melakukan ablasi jaringan dengan panas.
Untrasound probe ditempatkan pada rektum.
o Intraurethral Stents
Intraurethral stents adalah alat yang ditempatkan pada fossa prostatika dengan endoskopi
dan dirancang untuk mempertahankan uretra pars prostatika tetap paten.
o Transurethral Balloon Dilation of the Prostate
33
Balon dilator prostat ditempatkan dengan kateter khusus yang dapat melebarkan fossa
prostatika dan leher buli- buli.Lebih efektif pada prostat yang ukurannya kecil
(<40>3).Teknik ini jarang digunakan sekarang ini.
Para pria setelah perawatan bedah menunjukkan penurunan pada semua kelompok gejala
LUTS.Namun, di antara orang-orang dirawat dan diobati secara medikamentosa, semua
gejala memburuk selama tindak lanjut.Proporsi pria dengan gejala setelah operasi lebih
rendah dibandingkan pada pria ditangani secara medikamentosa.Pada pria dengan pengobatan
medikamentosa, prevalensi semua 12 LUT meningkat. Disuria dan postmicturition
dribbleadalah satu-satunya gejala yang memiliki hasil sedikit lebih baik dalam
medikamentosa dibandingkan dengan kelompok pengobatan bedah.
Pencegahan
BPH sejatinya merupakan kondisi yang tidak dapat dicegah karena merupakan kejadian
yang akan menimpa hampir semua laki-laki di masa tua. Akan tetapi, beberapa kebiasaan dan
pilihan gaya hidup dapat mengurangi faktorfaktor induktor BPH sehingga mampu
meringankan gejala-gejala yang muncul. Faktor-faktor tersebut meliputi riwayat pemakaian
obat-obatan, perilaku merokok, berat badan, aktivitas fisik, dan diet yang dimiliki seseorang.
Obat-obatan tertentu diduga dapat menimbulkan risiko munculnya BPH dan memperparah
gejala yang terjadi. Obatobatan ini meliputi obat golongan antidepresan, antihistamin, dan
bronkodilator. Selain itu, obat-obatan pilek yang bekerja sebagai αsimpatomimetik juga dapat
memperparah gejala BPH karena efeknya pada otot polos vesica urinaria.10 Merokok dapat
meningkatkan kadar testosteron dan estrogen tubuh akibat dampak nikotin yang terkandung
di dalamnya. Kadar hormon yang tinggi ini dapat dikompensasi oleh tubuh dengan mengubah
ekses testosteron menjadi DHT.
Oleh sebab itu, merokok diduga dapat menginduksi dan berpengaruh positif terhadap
perkembangan BPH. Beberapa penelitian mengaitkan riwayat merokok dengan berkurangnya
volume urin serta munculnya efek iritatif dan obstruktifnya. Akan tetapi, pengaruhnya dirasa
tidak begitu besar. Berat badan dan aktivitas fisik merupakan dua hal yang saling berkaitan
satu sama lain. Aktivitas fisik yang mumpuni didukung dengan indeks massa tubuh yang
34
ideal merupakan faktor protektif dari pembentukan gejala BPH. Hal ini diduga merupakan
akibat dari eksistensi jaringan adiposa yang tinggi dalam diri pengidap obesitas. Jaringan
adiposa yang tinggi menginduksi aromatisasi testosteron menjadi estrogen sehingga
mengakibatkan ketidakseimbangan hormonal tubuh.
Oleh sebab itu, terjadi perubahan kadar testosteron menjadi DHT yang mampu
meningkatkan risiko BPH pada pasien dengan obesitas. Faktor diet juga dapat mempengaruhi
risiko terjadinya BPH. Diet rendah lemak dan rendah daging merah yang dikombinasikan
dengan peningkatan jumlah nutrisi protein dan sayur-sayuran dapat menurunkan
kemungkinan terjadinya gejala-gejala BPH. Di sisi lain, studi yang sama juga
mengasosiasikan konsumsi alkohol secara berkala dengan penurunan risiko terjadinya BPH.
Meski demikian, asosiasi antara alkohol dan risiko BPH ini perlu dicermati dengan bijak
karena alcohol memiliki banyak dampak negatif bagi berbagai penyakit lainnya.
Komplikasi
Perdarahan
Pembentukan bekuan
Obstruksi kateter
Disfungsi seksual tergantung pembedahan
Stasis urin
ISK
Batu ginjal
Trabekulasi dinding kandung kemih
Hipertrofi m.detrusor
Kandung kemih divertikula dan saccules
Stenosis uretra
Hidronefrosis
Paradoks (overflow) inkontinensia
Gagal ginjal aku atau gagal ginjal kronis
Akut postobstructive diuresis
Prognosis
35
tingkat keparahannya. Jika obstruksi keparahannya lebih dari tiga minggu maka akan
lebih dari 50% fungsi ginjal hilang.
3. Prognosis yang lebih buruk ketika obstruksi komplikasi disertai dengan infeksi.
4. Umumnya prognosis lebih bagus dengan pengobatan untuk retensi urine.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular pada organ paru – paru dan
bisa menyerang organ di luar paru – paru seperti tulang, usus atau kelenjar.
Ditularkan hampir sering oleh percikan dahak batuk, bersin atau aerosol oleh
penderita TBC. TBC disebabkan oleh kompleks Mycobacterium tuberculosis,
yakni kuman aerob yang dapat. hidup terutama di paru atau di berbagai organ
tubuh hidup lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi.
Peradangan biasanya di paru-paru kurang lebih 85% kasus, meskipun hampir
semua organ ekstrapulmonal dapat
terlibat. (Dheda, 2015)
B. Epidemiologi
36
menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak
68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok. Berdasarkan Survei
Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi TBC dengan konfirmasi
bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun
ke atas dan prevalensi TBC BTA positif sebesar 257 per 100.000 penduduk
berumur 15 tahun ke atas. Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin
bertambah usia, prevalensinya semakin tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi
TBC dan durasi paparan TBC lebih lama dibandingkan kelompok umur di
bawahnya. (Kemenkes RI, 2015)
C. Klasifikasi
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting dilakukan untuk
menetapkan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang sesuai dan dilakukan
sebelum pengobatan dimulai. Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru
a. Tuberculosis Paru
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC Paru dibagi dalam :
1) Tuberkulosis Paru BTA (+)
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (-) dan foto rontgen
dada menunjukan gambaran Tuberculosis aktif. TBC Paru BTA (-),
rontgen (+) dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu
bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgan dada
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas.
37
2) TBC ekstra-paru berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran
kencing dan alat kelamin
c. Tipe Penderita
1) Kasus Baru Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
4) Setelah Lalai (Pengobatan setelah default/drop out) Adalah penderita yang sudah berobat
paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali dengan
hasil pemeriksaan dahak BTA (+).
D. Etiologi
38
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus
Primer GOHN. Respon imun adaptif biasanya terjadi setelah sekitar 4-6 minggu
pada manusia, mengikuti presentasi antigen MTBC oleh sel dendritik di kelenjar
getah bening. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai
jumlah 103 -104 yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas
seluler. Kekebalan sistem imun bawaan atau adaptif kurang efisien dalam
menahan infeksi. Sistem imun adaptif sebagian besar merupakan tipe TH1-
delayed membantu melawan infeksi dengan mengasingkan MTBC dalam
granuloma, mencegahnya menyebar ke jaringan lain dengan cepat dan mematikan
kuman terjadi di granuloma. Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di
jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis
atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar
ini. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau
pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan
mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan
paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran
normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut.
Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
dapat menyebabkan ateletaksis (Cadena, 2016)
8. Mahasiswa mampu mengetahui penegakkan diagnosis dan diagnosis banding
TB Paru.
a. Penegakan Diagnosis:
o Pemeriksaan Laboratorium
39
terlihat, dan hasilnya telah dilaporkan oleh beberapa penulis sebanyak 80%
(Sathekge, 2013). Hasil mikroskopis terlihat jauh lebih awal namun tes ini
memiliki hasil diagnostik yang jauh lebih rendah. Selain itu, pada beberapa
populasi seperti anak-anak dan individu yang sangat lemah, sulit untuk
mendapatkan sampel dahak untuk pengujian. Studi imunologi seperti uji kulit
tuberkulin (TST) dan pelepasan gamma interferon assay (IGRA) dapat
menentukan bahwa pasien telah terpapar ke MTBC di masa lalu tetapi tidak
menentukan keaktifan dari penyakit. Pengenalan tes reaksi berantai polimerase
(PCR) yang mampu mendeteksi bahan asam nukleat MTBC sangat membantu
memperjelas diagnosis TB. Keuntungan lebih lanjut dari pengujian ini adalah
kemampuan mereka untuk mendeteksi urutan asam nukleat yang menyarankan
obat perlawanan atau terapi. Sensitivitas tes ini bervariasi dari 67% dalam pasien
dengan dahak negatif dengan TB menjadi 89% bila digunakan sebagai tes awal
dalam diagnosis TB (Ankrah, 2017).
o Imaging
Rontgen thorax sudah terdapat di sebagian besar dunia dan relatif murah
dibandingkan dengan pemeriksaan lain dan pada TB paru adalah gambaran
yang paling umum digunakan untuk diagnosis infeksi. Rotgen memiliki
peranan penting dalam hal skrining, diagnosis, dan respons terhadap
pengobatan TBC. Radiografi thorax mungkin normal atau menunjukkan
perubahan nonspesifik ringan pada TB aktif. Sedangkan CT thorax lebih baik
dalam mendeteksi dan mengkarakterisasi baik yang terlokalisasi halus dan
penyakit parenkim diseminata. Hal ini juga lebih baik dalam mendefinisikan
limfadenopati mediastinum. Akurasi diagnostik thorax dada pada TB paru
telah dilaporkan 49% dan CT dada 91%. CT resolusi tinggi sangat membantu
dalam menentukan aktivitas penyakit dan melihatkan rongga untuk melihat
adanya penyebaran endobronkial (Ghambir, 2017).
b. Diagnosis Banding
1. Pneumonia
TB paru merupakan gabungan antara airspace and interstitial lung disease,
dimana salah satu manifestasi pada TB primer menunjukkan gambaran
pneumonia lobaris. (Herring, 2016)
2. Kanker Paru
40
Tingginya prevalensi TB paru dan kesamaan gambaran radiologi
menyebabkan banyak penderita kanker paru mendapatkan penatalaksanaan
awal sebagai kasus TB paru berdasarkan gambaran radiologi saja. (MLB
Bhatt, 2012)
3. Abses Paru
Gambaran kavitasi pada pemeriksaan foto toraks yang sering ditemukan pada
TB paru pasca primer dapat menyerupai gambaran kavitasi yang terbentuk
akibat kanker bronkogenik dan abses paru. (Herring, 2016)
41
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.3,8
Terbagi dalam 2 jenis pemilihan jenis sediaan obat, obat kombinasi dan obat lepas. Obat
tersebut disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT -KDT)
dengan jenis 2 obat atau 4 obat dalam satu tablet dan dosisnya disesuaikan dengan berat
badan pasien. Kemudian disediakan juga dalam bentuk kombipak , yaitu sediaan obat
lepas yang dikemas dalam 1 blister berisi Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid
(Z) dan Etambutol (E)
1. Kategori 1
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien dengan kriteria:
Pasien baru terkonfirmasi bakteriologis
Pasien TB paru terdiagnosis klinis
Pasien TB ekstra paru
Tabel 2. Dosis Paduan OAT sedian KDT Kategori 1 dengan terapi lanjutan dosis
harian (2(HRZE)/4(HR)).
42
Tabel 3. Dosis Paduan OAT sediaan KDT Kategori 1 dengan terapi lanjutan dosis
intermiten (2(HRZE)/4(HR)3).
Tabel 4. Dosis Paduan OAT sediaan lepas/kombipak Kategori 1 dengan terapi dosis
harian.
2. Kategori 2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang), yaiitu:
Pasien kambuh
43
Pasien gagal dalam pengobatan dengan panduan OAT kategori 1
sebelumnya
Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow up)
Tabel 5. Dosis Paduan OAT sediaan KDT Kategori 2 dengan terapi intermiten
(2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3).
Tabel 6. Dosis Paduan OAT sediaan lepas/kombipak Kategori 1 dengan terapi dosis
intermiten (2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3).
44
Setelah dilakukan pengobatan dilakukan pemantauan kemajuan dan hasil
pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara
mikroskopis. Pemantauan kemajuan pengobatan dilakukan dengan pemeriksaan dua
contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Semua pasien TB pada akhir 2 bulan pengobatan
tahap awal, tanpa pemberian paduan sisipan, pengobatan dilanjutkan ke paduan tahap
lanjutan. Pemeriksaan dahak diulang pada akhir bulan-3 pengobatan. Bila hasil teteap
BTA positif, pasien ditetapkan sebagai pasien terduga TB Resisten Obat (TB RO),
jika BTA negatif pengobatan tetap dilanjutkan sampai pemeriksaan ulang dahak
selanjutnya dilakukan pada akhir bulan ke 5 pengobatan, pabila hasilnya negatif,
pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan
pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan. Bilamana hasil
pemeriksaan mikroskopis nya positif pasien dianggap gagal pengobatan dan
dimasukkan kedalam kelompok terduga TB RO.
45
Tabel 8. Hasil Pengobatan Pasien TB.
46
Termasuk kriteria ini pasien pindah (transfer out) ke
kabupaten / kota lain dimana hasil akhir pengobatannya
tidak diketahui kabupaten kota yang yang ditinggalkan.
Pencegahan
TBC juga dapat dicegah dengan cara yang sederhana, yaitu mengenakan masker saat
berada di tempat ramai dan jika berinteraksi dengan penderita TBC, serta sering mencuci
tangan.
Tutupi mulut saat bersin, batuk, dan tertawa, atau kenakan Apabila menggunakan tisu
untuk menutup mulut, buanglah segera setelah digunakan.
47
Tidak membuang dahak atau meludah sembarangan.
Pastikan rumah memiliki sirkulasi udara yang baik, misalnya dengan sering membuka
pintu dan jendela agar udara segar serta sinar matahari dapat masuk.
Jangan tidur sekamar dengan orang lain, sampai dokter menyatakan TBC yang Anda
derita tidak lagi menular.
(kemenkes, http://www.padk.kemkes.go.id/health/read/2019/03/25/6/pencegahan-
tuberkulosis-tbc-tuberkulosis.html)
48
karena penyakit saluran udara kecil dan menyumbatan gas dari emfisema (Odone,
2017).
DAFTAR PUSTAKA
Ankrah, Alfred O.; Glaudemans, Andor W.J.M.; Maes, Alex; Van de Wiele, Christophe;
Dierckx, Rudi A.J.O.; Vorster, Mariza; Sathekge, Mike M. (2017). Tuberculosis.
Seminars in Nuclear Medicine, (),
S0001299817301009–. doi:10.1053/j.semnuclmed.2017.10.005
49
Cadena AM, Flynn JL, Fortune SM. 2016. The importance of first impressions: Early events
in Mycobacterium tuberculosis infection influence outcome. MBio 7:2016, e00342-16
Dheda, Keertan; Barry, Clifton E; Maartens, Gary (2015). Tuberculosis. The Lancet, (),
S0140673615001518–. doi:10.1016/S0140-6736(15)00151-8
Field N, Lim MS, Murray J, Dowdeswell RJ, Glynn JR, Sonnenberg P. 2014. Timing, rates,
and causes of death in a large South African tuberculosis programme. BMC Infect Dis ;
14: 3858
Herring, William. 2016. Learning Radiology: Recognizing The Basic 3rd Ed. Philadelphia:
Elsevier.
Lepor H dan Lowe FC. 2002. Evaluation and non-surgical management of benign
prostatic hyperplasia. Dalam: Campbell’s urology, edisi ke 7. editor: Walsh PC, Retik AB,
Vaughan ED, dan Wein AJ. Philadelphia: WB Saunders Co., 1337-1378
Moodley L, Pillay J, Dheda K. 2014. Aspergilloma and the surgeon. J Thorac Dis: 202–09.
Sathekge M, Maes A, Van de Wiele C. 2013. FDG-PET imaging in HIV infection and
tuberculosis. Semin Nucl Med 43:349-366
Setiati S, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam, Jakarta: Interna Publishing,
2014
Sjamsuhidayat. R dan Wim De Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta, EGC : 2004
Suyono. 2011. Ilmu Kesehatan Masyarakat Dalam Konteks Kesehatan Lingkungan. Jakarta:
EGC.
50
Sutanto, Reynardi Larope. 2021. Hyperplasia prostat jinak : manajemen tatalaksana dan
pencegahan. 1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas
Indonesia, Jakarta. JIMKI.
Tanagho EA, McAninch JW. 2008, p 348. Benign Prostatic Hyperplasia. In: Smith’s
General Urology. 17th ed. California: Mc Graw Hill : Lange.
51