Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN TUTORIAL

MANDIRI
MODUL INTEGRATIF ORGAN
SKENARIO 3

Disusun Oleh:

Dita Eka Octavia


6130018011

Dosen Pembimbing:
Abraham Ahmad Ali Firdaus, dr., Sp.JP

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA
SURABAYA

2021

1
LEMBAR PENGESAHAN DAN PENILAIAN

No Materi yang dinilai Presentase Nilai


1 Ketepatan pemilihan kata kunci dalam peta konsep 25%
2 Kesesuaian hubungan kata kunci dalam peta konsep 25%
3 Kesesuaian jawaban learning objective dengan 25%
kasus skenario
4 Pemilihan daftar pustaka dan sitasi 25%

Dosen Pembimbing

Abraham Ahmad Ali Firdaus, dr., Sp.JP

2
SKENARIO 3
Seorang laki-laki usia 58 tahun datang dengan keluhan tidak bisa kencing.
(TPL - PPL)

TPL PPL
ANAMNESIS BPH
1. Laki-laki usia 58 tahun 1. Lansia
2. Masih bisa kencing sedikit tetapi 2. Retensi urin
dengan mengejan 3. Kencing mengejan
3. Pasien batuk sejak 4 minggu 4. Pemeriksaan rectal toucher (+),
yang lalu prostat teraba kenyal, tidak
4. Kadang berdahak lebih sering berdungkul-dungkul, pole atas tidak
seperti ludah, badan gampang teraba
terasa lelah, kadang demam, 5. PSA: meningkat
5. Batuknya hilang timbul 6. IPSS: Severe
6. Terdapat penurunan berat badan TB Paru
7. Fatigue
PEMERIKSAAN FISIK 8. Penurunan BB
1. RR 24x/menit 9. Batuk 4 minggu hilang timbul
2. Pemeriksaan rectal toucher 10. Batuk kadang berdahak lebih sering
didapatkan sfingter ani menjepit seperti ludah
kuat, prostat teraba kenyal, tidak 11. Terkadang demam
berdungkul-dungkul, pole atas tidak 12. Takipneu
teraba. 13. Foto thorak didapatkan bercak
retikulogranuler yang tersebar difus
PEMERIKSAAN PENUNJANG di kedua lapang paru.
1. Foto thorak didapatkan bercak
retikulogranuler yang tersebar difus
di kedua lapang paru.
2. PSA: 3,6
3. IPSS: 34

3
STEP 5 (TABEL POMR)

PLANNING
TPL PPL Assesmen
Diagnosis Terapi Monitoring Edukasi
t
ANAMNESIS BPH BPH 1. USG? 1. Medikamentos 1. Keluhan -
7. Laki-laki 1. Laki-laki usia 2. Urinalisis a: a1-blocker, pasien Menghindar
usia 58 58 tahun 3. Pemeriksaan antagonis 2. PSA i asupan
tahun 2. Retensi urin panendosko receptor 3. IPSS caffein,
8. Masih bisa 3. Kencing pi muscarinic, 5a 4. Pengukuran alkohol dan
kencing mengejan 4. Pemeriksaan reductase volume rokok
sedikit 4. Pemeriksaan fungsi ginjal inhibitor, redisu pasca -Edukasi
tetapi rectal toucher 5. Biopsi phosfodiesteras berkemih agar tidak
dengan (+), prostat prostat i 5 inhibitor menahan
mengejan teraba kenyal, 6. Uroflowmetr 2. Pembedahan kencing
9. Pasien tidak i dengan TURP, -
batuk sejak berdungkul- laser menghindar
4 minggu dungkul, pole prostatektomi, i obat-
yang lalu atas tidak TUIP obatan
10. Kadang teraba seperti
berdahak 5. PSA: antihistamin
lebih meningkat ,
sering 6. IPSS: Severe 1. OAT kategori 5. Evaluasi dekongestan

4
seperti TB Paru TB Paru 1, 2RHZE/4RH klinis:
ludah, 7. Fatigue 1. Pemeriksaan (terapi intensif keteraturan
badan 8. Penurunan BB sputum BTA 2 bulan dengan minum -minum
gampang 9. Batuk 4 2. Mantoux test RHZE, terapi obat, efek obat teratur
terasa minggu hilang 3. Kultur lanjutan 4 samping sesuai
lelah, timbul sputum bulan dengan pengobatan ketentuan
kadang 10. Batuk kadang 4. Analisa gas RH) 6. Evaluasi -menjaga
demam, berdahak lebih darah bakteriologi ventilasi
11. Batuknya sering seperti 5. Biopsi s dahak rumah
hilang ludah jaringan 7. Evaluasi -menutup
timbul 11. Terkadang paru radiologis mulut
12. Terdapat demam 8. Pemeriksaa ketika batuk
penurunan 12. Takipneu n sputum atau bersin
berat 13. Foto thorak BTA serta
badan didapatkan memakai
bercak masker
PEMERIKSAAN retikulogranule -tidak
FISIK r yang tersebar meludah
3. RR 24x/menit difus di kedua sembarang
4. Pemeriksaan lapang paru. tempat
rectal toucher -menjaga
didapatkan kontak

5
sfingter ani langsung
menjepit kuat, dengan
prostat teraba orang lain
kenyal, tidak
berdungkul-
dungkul, pole
atas tidak
teraba.

PEMERIKSAAN
PENUNJANG
4. Foto thorak
didapatkan
bercak
retikulogranul
er yang
tersebar difus
di kedua
lapang paru.
5. PSA: 3,6
6. IPSS: 34

6
7
Define Learning Objective

1. Mahasiswa mampu mengetahui definisi, etiologi, epidemiologi BPH


2. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi dan manifestasi klinis BPH
3. Mahasiswa mampu mengetahui penegakkan diagnosis dan diagnosis banding BPH
4. Mahasiswa mampu mengetahui tatalaksana promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif BPH
5. Mahasiswa mampu mengetahui komplikasi dan prognosis BPH
6. Mahasiswa mampu mengetahui definisi, epidemiologi, klasifikasi, etiologi TB Paru
7. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi dan manifestasi klinis TB Paru
8. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi, manifestasi klinis, penegakkan
diagnosis dan diagnosis banding TB Paru
9. Mahasiswa mampu mengetahui tatalaksana promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitative TB Paru
10. Mahasiswa mampu mengetahui komplikasi dan prognosis TB Paru

Jawaban Learning Objective

1. Mahasiswa mampu mengetahui definisi, etiologi, epidemiologi BPH


A. Definisi

Hiperplasia prostat jinak / Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), dahulu dikenal


sebagai hipertrofi prostat jinak, adalah pertumbuhan berlebihan sel-sel prostat yang tidak
ganas. BPH kadang tidak menimbulkan gejala, tetapi jika tumor ini terus berkembang,
pada akhirnya akan mendesak uretra yang mengakibatkan rasa tidak nyaman pada
penderita.

B. Etiologi

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia
prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat
adalah:

o Teori Hormonal

8
Selain androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya
BPH. Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal,
yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di
perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan
merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa
testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogen
lah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan
konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi
faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat.
Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan,
bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan
produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan
makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler
(spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi
androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang
produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat
terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan
bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.

o Teori Growth Factor (Faktor Pertumbuhan)


Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar
prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu: Basic Transforming Growth
Factor, Transforming Growth Factor B1, Transforming Growth Factor B2, dan
Epidermal Growth Factor.

o Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkurangnya Sel yang Mati.
Kematian sel prostat (apotosis) pada sel prostat adalah mekanisme fsiologik
untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apotosis terjadi kondensasi
dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel sel yang mengalami apoptosis akan
difagositosis oleh sel sel disekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisososom.

9
Berkurangnya jumlah sel-sel dalam prostat yang mengalami apoptosis
menyebabkan jumlah sel sel dalam prostat secara keseluruhan menjadi meningkat
sehingga menyebabkan petambahan massa prostat. Diduga hormon adrogen berperan
dalam menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi
peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat. Estrogen diduga mampu
memperpanjang usia sel prostat. Sedangkan faktor pertumbuhan TGB beta berperan
dalam proses apotosis.

o Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)

Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang
dewasa berada dalam keadaan keseimbangan steady state, antara pertumbuhan sel dan
sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam
jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi.
Pada keadaan tertentu, jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi
lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi
atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi
berlebihan.

o Teori Dihydrotestosteron (DHT)


Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari
kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh
globulin menjadi Sex Hormone Binding Globulin (SHBG). Sedangkan hanya 2%
dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam
target cell, yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam
sitoplasma. Di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5
dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi
“hormone receptor complex”.
Kemudian “hormone receptor complex” ini mengalami transformasi reseptor,
menjadi “nuclear receptor” yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada
chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese
protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.

o Teori Reawakening

10
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma
pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme “glandular
budding” kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona
preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan “glandular morphogenesis” yang terjadi
pada embrio dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan adanya
“reawakening” yaitu jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat
embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan
sekitarnya, sehingga teori ini terkenal dengan nama teori Reawakening of Embryonic
Induction Potential of Prostatic Stroma During Adult Hood.
Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan tentang
penyebab terjadinya BPH seperti, teori tumor jinak, teori rasial dan faktor sosial, teori
infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori yang berhubungan dengan aktifitas
hubungan seks, teori peningkatan kolesterol, dan Zn yang kesemuanya tersebut masih
belum jelas hubungan sebab akibatnya.

C. Epidemiologi
Pembesaran prostat dianggap sebagai bagian dari proses pertambahan usia,
seperti halnya rambut yang memutih. Oleh karena itulah dengan meningkatnya usia
harapan hidup, meningkat pula prevalensi BPH. Office of Health Economic Inggris
telah mengeluarkan proyeksi prevalensi BPH bergejala di Inggris dan Wales beberapa
tahun ke depan. Pasien BPH bergejala yang berjumlah sekitar 80.000 pada tahun 1991,
diperkirakan akan meningkat menjadi satu setengah kalinya pada tahun 2031.
Bukti histologis adanya benign prostatic hyperplasia(BPH) dapat
diketemukan pada sebagian besar pria, bila mereka dapat hidup cukup lama. Namun
demikian, tidak semua pasien BPH berkembang menjadi BPH yang bergejala
(symptomatic BPH). Prevalensi BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49 tahun
mencapai hampir 15%. Angka ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga
pada usia 50-59 tahun prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60 yahun
mencapai angka sekitar 43%. Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum
pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital prevalence di dua rumah sakit besar
di Jakarta yaitu RSCM dan Sumberwaras selama 3 tahun (1994-1997) terdapat 1040
kasus.

D. Klasifikasi

11
Menurut Rumahorbo (2000:71), terdapat empat derajat pembesaran kelenjar prostat
yaitu sebagai berikut:
A. Derajat Rektal
Derajat rektal dipergunakan sebagai ukuran dari pembesaran kelenjar prostat ke
arah rektum. Rectal toucher dikatakan normal jika batas atas teraba konsistensi
elastis, dapat digerakan, tidak ada nyeri bila ditekan dan permukaannya rata.
Tetapi rectal toucher pada hipertropi prostat di dapatkan batas atas teraba
menonjol lebih dari 1 cm dan berat prostat diatas 35 gram.Ukuran dari
pembesaran kelenjar prostat dapat menentukan derajat rectal yaitu sebagai
berikut :
o Derajat O : Ukuran pembesaran prostat 0-1 cm
o Derajat I : Ukuran pembesaran prostat 1-2 cm
o Derajat II : Ukuran pembesaran prostat 2-3 cm
o Derajat III : Ukuran pembesaran prostat 3-4 cm
o Derajat IV : Ukuran pembesaran prostat lebih dari 4 cm

Gejala BPH tidak selalu sesuai dengan derajat rectal, kadang-kadang


dengan rectal toucher tidak teraba menonjol tetapi telah ada gejala, hal ini dapat
terjadi bila bagian yang membesar adalah lobus medialis dan lobus lateralis. Pada
derajat ini klien mengeluh jika BAK tidak sampai tuntas dan puas, pancaran urine
lemah, harus mengedan saat BAK, nocturia tetapi belum ada sisa urine.
B. Derajat Klinik

Derajat klinik berdasarkan kepada residual urine yang terjadi. Klien


disuruh BAK sampai selesai dan puas, kemudian dilakukan katerisasi. Urine yang
keluar dari kateter disebut sisa urine atau residual urine. Residual urine dibagi
beberapa derajat yaitu sebagai berikut:

o Normal sisa urine adalah nol


o Derajat I sisa urine 0-50 ml
o Derajat II sisa urine 50-100 ml
o Derajat III sisa urine 100-150 ml
o Derajat IV telah terjadi retensi total atau klien tidak dapat BAK sama
sekali.

12
Bila kandung kemih telah penuh dan klien merasa kesakitan, maka urine akan
keluar secara menetes dan periodik, hal ini disebut Over Flow Incontinencia.
Pada derajat ini telah terdapat sisa urine sehingga dapat terjadi infeksi atau
cystitis, nocturia semakin bertambah dan kadang-kadang terjadi hematuria.

C. Derajat Intra Vesikal

Derajat ini dapat ditentukan dengan mempergunakan foto rontgen atau


cystogram, panendoscopy. Bila lobus medialis melewati muara uretra, berarti telah
sampai pada stadium tida derajat intra vesikal. Gejala yang timbul pada stadium ini
adalah sisa urine sudah mencapai 50-150 ml, kemungkinan terjadi infeksi semakin
hebat ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, menggigil dan nyeri di daerah
pinggang serta kemungkinan telah terjadi pyelitis dan trabekulasi bertambah.

D. Derajat Intra Uretral

Derajat ini dapat ditentukan dengan menggunakan panendoscopy untuk


melihat sampai seberapa jauh lobus lateralis menonjol keluar lumen uretra. Pada
stadium ini telah terjadi retensio urine total.

2. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi dan manifestasi klinis BPH


Perubahan paling awal pada BPH adalah di kelenjar periuretra sekitar
verumontanum. Perubahan hiperplasia pada stroma berupa nodul fibromuskuler,
nodulasinar atau nodul campuran fibroadenomatosa. Hiperplasia glandular terjadi
berupa nodulasinar atau campuran dengan hiperplasia stroma. Kelenjar-kelenjar
biasanya besar danterdiri atas tall columnar cells. Inti sel-sel kelenjar tidak
menunjukkan proses keganasan. Proses patologis lainnya adalah penimbunan jaringan
kolagen dan elastin di antara otot polos yang berakibat melemahnya kontraksi otot.
Hal ini mengakibatkan terjadinyahipersensitivitas pasca fungsional,
ketidakseimbangan neurotransmiter, dan penurunaninput sensorik, sehingga otot
detrusor tidak stabil.
Seperti yang didiskusikan sebelumnya, proses berkembangnya BPH terjadi
di zona transisional. BPH merupakan suatu proses hyperplasia yang diakibatkan oleh
peningkatan jumlah sel. Evaluasi mikroskopis mengungkapkan pola pertumbuhan
nodular yang terdiri dari berbagai jumlah stroma dan epitel. Stroma terdiri dari
berbagai jumlah kolagen dan otot polos. Gambaran yang berbeda dari komponen

13
histologis BPH menjelaskan potensi respon terhadap pengobatan medis. Jadi terapi
alpha-blocker dapat memberikan respon baik pada pasien dengan BPH yang memiliki
komponen penting otot polos, sedangkan pasien BPH yang dominan terdiri dari epitel
akan menghasilkan respon lebih baik terhadap 5-alpha-reductase inhibitor. Pasien
dengan komponen kolagen dalam stroma yang signifikan mungkin tidak merespon
salah satu bentuk terapi medis. Sayangnya, respon terhadap terapi tertentu tidak dapat
diprediksi sebelumnya. Semakin nodul BPH di zona transisional membesar, mereka
menekan zona luar prostat, menghasilkan pembentukan kapsul. Batas ini memisahkan
zona transisiinal dengan zona perifer dan berfungsi sebagai bidang pemisah untuk
enuklleasi terbuka prostat selama prostatectomi terbuka sederhana yang dilakukan
pada BPH.

Patofisiologi
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya
gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini
berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak
uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal)
sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang
merupakan reseptor alpha adrenergik. Stimulasi pada reseptor alpha adrenergik akan
menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen
dinamik ini tergantung dari stimulasi saraf simpatis, yang juga tergantung dari
beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga
perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal,
terjadi pembesaran prostat , peningkatan retistensi pada leher buli-buli dan daerah
prostat. Selanjutnya hal ini akan menyebabkan sumbatan aliran kemih. Untuk
mengatasi resistensi uretra yang meningkat, otot-otot detrusor akan berkontraksi
untuk mengeluarkan urine. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan
anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya
selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase
kompensasi. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan
pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang
dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.

14
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke
dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke
seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada
kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter
atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam
gagal ginjal.

Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala adalah:


 Penurunan kekuatan dan kaliber aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah
gambaran awal dan menetap dari BPH. - Hesitancy terjadi karena detrusor
membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra. -
Intermittency terjadi detrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir
miksi. Terminal dribbling dan rasa puas sehabis miksi akan terjadi karena jumlah
residu urin yang banyak dalam buli-buli.
 Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan tidak lengkap pada tiap miksi
sehingga interval miksi menjadi lebih pendek.
 Frekuensi biasa terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal dari
korteks berkurang dan tonus spingter dan uretra berkuang selama tidur.
 Urgensi dan disuria jarang terjadi, dan jika ada disebabkan oleh ketidakstabilan
detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
 Inkontinensia bukan gejala khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit urin
keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai compliance
maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan spingter.

Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstuksi dan iritasi. Gejala obstruksi
disebabkan oleh karena dektrusor gagal berkontaksi cukup lama sehingga kontraksi
terputus-putus, sedangkan gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan yang tidak
sempurna saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesika,
sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh, keadaan ini membuat sistem
skoring untuk menentukan besarnya keluhan klinik. Gejala iritatif yang sering dijumpai
ialah bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih dirasakan pada malam hari.
Sering miksi paada malam hari disebut nokturia, hal ini disebabkan oleh menurunnya

15
hambatan kotikal selama tidur dan juga menurunkan tonus sfingter dan uretra. Simptom
obstruksi biasanya disebabkan oleh karena prostat volumenya terlalu besar. Apabila
vesika menjadi dekompensasi, maka akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi
masih ditemukan sisa urin didalam vesika, hal ini menyebabkan rasa tidak tuntas pada
akhir miksi. Jika hal ini berlanjut setiap saat akan terjadi kemacetan total, sehingga
penderita tidak bisa miksi lagi.

Oleh karena produksi urin akan terus terjadi maka suatu saat vesika tidak
mampu lagi menampung urine sehingga tekanan intravesika akan naik terus dan jika
tekanan intravesika ini akan naik terus maka dan apabila tekanan vesika akan menjadi
lebih tinggi dari tekanan spingter akan terjadi inkontensia paradoks (overflow
incontinence). Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya refluks vesiko urethral dan
menyebabkan dilatasi ureter dan sistem pelvio kalises ginjal akan rusak dan adanya
infeksi. Di samping kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat obstuksi kronik
pendeita harus selalu mengedan pada waktu miksi. Tekanan intraabdomen dapat
meningkat dan lama-kelamaan akan menyebabkan terjadinya hernia, hemorroid,. Oleh
karena selalu terdapat sisa kencing didalam vesika maka akan terbentuk batu dalam
vesika dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan iritasi dan
menimbulkan hematuri. Disamping pembentukan batu retensi kronik dapat menyebabkan
terjadinya infeksi sehingga terjadi sintitis dan apabila terjadi refluks dapat terjadi juga
pyelonefitis.

Manifestasi klinis

Gejala hiperplasia prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih


maupun keluhan di luar saluran kemih.

1. Gejala pada saluran kemih:


 Gejala pada saluran kemih bagian atas

Nyeri pinggang, demam (infeksi), hidronefrosis.

 Gejala pada saluran kemih bagian bawah

Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah ( LUTS ) terdiri atas gejala obstruktif dan
gejala iritatif. Gejalaobstruktif disebabkan oleh karena penyempitan Uretra pars prostatika
karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi
cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus.

16
Gejala obstruktif ialah :

o Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistancy)


o Pancaran miksi yang lemah (Weak stream)
o Miksi terputus (Intermittency)
o Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
o Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of Incomplete Bladder Emptying )

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga
faktor, yaitu :

o Volume kelenjar periuretral


o Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
o Kekuatan kontraksi otot detrusor

Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga
meskipun volume kelenjar periurethral sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot
polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan
kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.

Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaria yang tidak sempurna
pada saat miksi atau disebabkan oleh hipersensitivitas otot detrusor karena pembesaran
prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun
belum penuh. Gejala iritatifialah :

o Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)


o Nokturia
o Miksi sulit ditahan (Urgency)
o Disuria (Nyeri pada waktu miksi)

Gejala-gejala tersebut di atas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis derajat
berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :

o Grade I: Gejala prostatismus + sisa kencing <>


o Grade II: Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml
o Grade III: Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas + sisa
urin > 150 ml

17
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah, WHO
menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut Skor
Internasional Gejala Prostat atau IPSS (International Prostatic Symptom Score). Sistem
skoring IPSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS)
dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang
menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7. Dari skor IPSS itu dapat
dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:

o Ringan: skor 0-7


o Sedang: skor 8-19
o Berat: skor 20-35

Timbulnya gejala LUTS merupakan menifestasi kompensasi otot vesica urinaria untuk
mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot-otot vesica urinaria akan mengalami kepayahan
(fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi
urin akut.

Timbulnya dekompensasi vesica urinaria biasanya didahului oleh beberapa faktor


pencetus, antara lain:

o Volume vesica urinaria tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan
kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung
diuretikum (alkohol, kopi) dan minum air dalam jumlah yang berlebihan.
o Massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau
mengalami infeksi prostat akut.
o Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor
atau yang dapat mempersempit leher vesica urinaria, antara lain: golongan
antikolinergik atau alfa adrenergik.
2. Gejala di luar saluran kemih :

Keluhan pada penyakit hernia/hemoroid sering mengikuti penyakit hipertropi prostat.


Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal. Benigna Prostat Hipertropi selalu
terjadi pada orang tua, tetapi tak selalu disertai gejala-gejala klinik, hal ini terjadi karena dua
hal yaitu:

18
o Penyempitan uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih.
o Retensi urin dalam kandung kemih menyebabkan dilatasi kandung kemih, hipertrofi
kandung kemih dan cystitis (Hidayat, 2009).

Adapun gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan Benigna Prostat Hipertrofi:

o Retensi urin (urine tertahan di kandung kemih, sehingga urin tidak bisa keluar).
o Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing.
o Miksi yang tidak puas.
o Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia).
o Pada malam hari miksi harus mengejan.
o Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria).
o Massa pada abdomen bagian bawah.
o Hematuria (adanya darah dalam urin).
o Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk mengeluarkan urin).
o Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi.
o Kolik renal (kerusakan renal, sehingga renal tidak dapat berfungsi).
o Berat badan turun.
o Anemia, kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui.
o Pasien sama sekali tidak dapat berkemih sehingga harus dikeluarkan dengan kateter.
Karena urin selalu terisi dalam kandung kemih, maka mudah sekali terjadi cystitis dan
selaputnya merusak ginjal.

Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksia, mual dan
muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik.

Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu:

o Derajat 1: Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (colok dubur)


ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang dari 50 ml.
o Derajat 2: Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih
menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi kurang dari
100 ml.
o Derajat 3: Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin
lebih dari 100 ml.

19
o Derajat 4: Apabila sudah terjadi retensi total.

3. Mahasiswa mampu mengetahui penegakkan diagnosis dan diagnosis banding


BPH

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani,
reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan di dalam
rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :

1. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)


2. Adakah asimetris
3. Adakah nodul pada prostate
4. Apakah batas atas dapat diraba
5. Sulcus medianus prostate
6. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat teraba membesar, konsistensi
prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, permukaan rata, lobus kanan dan kiri simetris,
tidak didapatkan nodul, dan menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia
prostat, batas atas semakin sulit untuk diraba. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi
prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada
batu prostat akan teraba krepitasi.

Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-
kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis akan disertai sakit pinggang
dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi
total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia
eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat
menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis
daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus.

Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba
masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan
supra simfisis.

20
Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi.

1. Darah :
o Ureum dan Kreatinin
o Elektrolit
o Blood urea nitrogen
o Prostate Specific Antigen (PSA)
o Gula darah
2. Urin :
o Kultur urin + sensitifitas test
o Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik
o Sedimen

Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine berguna dalam mencari jenis kuman yang
menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa
antimikroba yang diujikan.

Faal ginjal diperiksa untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang mengenai
saluran kemih bagian atas. Sedangkan gula darah dimaksudkan untuk mencari kemungkinan
adanya penyakit diabetes mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada vesica
urinaria.

Pemeriksaan pencitraan

1. Foto polos abdomen (BNO)

BNO berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa
prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan vesica urinaria yang penuh terisi urin,
yang merupakan tanda dari suatu retensi urine. Selain itu juga bisa menunjukkan adanya
hidronefrosis, divertikel kandung kemih atau adanya metastasis ke tulang dari carsinoma
prostat.

2. Pielografi Intravena (IVP)

Pemeriksaan IVP dapat menerangkan kemungkinan adanya:

21
a. kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis
b. memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya
indentasi prostat (pendesakan vesica urinaria oleh kelenjar prostat) atau ureter
di sebelah distal yang berbentuk seperti mata kail atau hooked fish
c. penyulit yang terjadi pada vesica urinaria yaitu adanya trabekulasi, divertikel,
atau sakulasi vesica urinaria
d. Foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin
3. Sistogram retrograde

Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram
retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.

4. USG secara transrektal (Transrectal Ultrasonography = TURS)

Untuk mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan


pembesaran prostat maligna, sebagai petunjuk untuk melakukan biopsi aspirasi prostat,
menentukan volume vesica urinaria dan jumlah residual urine, serta mencari kelainan lain
yang mungkin ada di dalam vesica urinaria seperti batu, tumor, dan divertikel.

5. Pemeriksaan Sistografi

Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urine
ditemukan mikrohematuria. Sistografi dapat memberikan gambaran kemungkinan tumor di
dalam vesica urinaria atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari muara ureter,
atau batu radiolusen di dalam vesica. Selain itu juga memberi keterangan mengenai basar
prostat dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke
dalam uretra.

Pemeriksaan fisik dan penunjang telah dijelaskan pada point diatas, untuk penegakan
diagnosis. Berikut beberapa pemeriksaan penunjang lainnya :

Pemeriksaan penunjang lainnya

1. Uroflowmetri

Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh :

 daya kontraksi otot detrusor

 Tekanan intravesica
 Resistensi uretra

22
Angka normal laju pancaran urin ialah 10-12 ml/detik dengan puncak laju pancaran
mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8 ml/detik
dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah
pancaran urin yang dihasilkan.

2. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)

Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat
membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang
melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran
dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan
intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur.

3. Pemeriksaan Volume Residu Urin

Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat sederhana
dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang masih tinggal atau
ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat pula dilakukan dengan
membuat foto post voiding pada waktu membuat IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya
kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa
urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi
pada penderita prostat hipertrofi.

Diagnosis dan Diagnosis Banding BPH

Kriteria Pembesaran Prostat

Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat dilakukan dengan beberapa cara,
diantaranya adalah :

1) Rektal grading

Berdasarkan penonjolan p1rostat ke dalam rektum :

 derajat 1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum


 derajat 2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum
 derajat 3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum
 derajat 4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum
2) Berdasarkan jumlah residual urine

23
 derajat 1 : < 50 ml
 derajat 2 : 50-100 ml
 derajat 3 : >100 ml
 derajat 4 : retensi urin total
3) Intra vesikal grading
 derajat 1 : prostat menonjol pada bladder inlet
 derajat 2 : prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter
 derajat 3 : prostat menonjol sampai muara ureter
 derajat 4 : prostat menonjol melewati muara ureter
4) Berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi :
 derajat 1 : kissing 1 cm
 derajat 2 : kissing 2 cm
 derajat 3 : kissing 3 cm

derajat 4 : kissing >3 cm8

Diagnosis banding

Kelemahan detrusor kandung kemih

Gangguan neurologik

a. kelainan medula spinalis


b. neuropatia diabetes mellitus
c. pasca bedah radikal di pelvis
d. farmakologik
Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh :

a. kelainan neurologik
b. neuropati perifer
c. diabetes mellitus
d. alkoholisme
e. farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik)

Obstruksi fungsional :

a. dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi detrusor


dengan relaksasi sfingter

24
b. ketidakstabilan detrusor

Kekakuan leher kandung kemih :fibrosis

Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh :

a. hiperplasia prostat jinak atau ganas


b. kelainan yang menyumbatkan uretra
c. uretralitiasis
d. uretritis akut atau kronik
e. striktur uretra

Prostatitis akut atau kronis

4. Mahasiswa mampu mengetahui tatalaksana promotif, preventif, kuratif, dan


rehabilitatif BPH

Tatalaksana

Konsensus IAUI 2015 maupun Panduan AUA 2010 membagi manajemen BPH menjadi
beberapa kelompok, yaitu kelompok terapi konservatif (watchful waiting),
medikamentosa, dan pembedahan. Tujuan utama penatalaksanaan terhadap pasien BPH
adalah perbaikan kualitas hidup. Indikasi absolut dilakukan operasi adalah:

 Retensi urin berulang (berat), yaitu retensi urin yang gagal dengan pemasangan
kateter urin sedikitnya satu kali.
 Infeksi saluran kencing berulang.
 Gross hematuria berulang.
 Batu buli-buli.
 Insufisiensi ginjal.

25
 Divertikula buli-buli.

Tabel 1. Pilihan Tatalaksana BPH

26
Gambar 1. Algoritma Tatalaksana Konservatif dan Medikamentosa BPH

1.Konservatif

Pada manajemen konservatif, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dari dokter.
Meski demikian, perkembangan penyakit prostat yang dialami pasien tetap akan diawasi oleh
dokter. Pengawasan ini biasanya dilaksanakan dalam bentuk kontrol berkala setiap 3-6 bulan
sekali untuk melihat perubahan pada keluhan, skor IPSS, uroflowmetry, dan volume residu

27
urin. Manajemen konservatif hanya direkomendasikan bagi pasien dengan keluhan ringan
yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari alias memiliki skor IPSS.

Selain melakukan pengawasan berkala, pasien juga diberikan edukasi mengenai faktor
risiko dan tindakan pencegahan untuk menghambat perkembangan penyakit BPH sang
pasien. Edukasi ini meliputi anjuran untuk mengurangi asupan minum, kopi, atau alkohol
setelah makan malam, konsumsi cokelat serta bahan makanan yang menyebabkan iritasi
vesica urinaria, penggunaan obat-obatan golongan fenilpropanolamin pada influenza, serta
kebiasaan menahan urinasi dalam waktu lama. Selain itu, bila pasien memiliki riwayat
konstipasi, dokter juga perlu menatalaksana keluhan tersebut. Medikamentosa

Terapi medikamentosa atau farmakologis digunakan pada pasien BPH yang memiliki
gejala mengganggu atau skor IPSS > 7. Algoritma pemilihan tipe obat menurut gejala yang
ditemukan dapat dilihat pada bagan berikut. Adapun beberapa golongan obat yang kerap
digunakan sebagai terapi medikamentosa BPH meliputi:

a. Penghambat alfa (alpha blocker )

Obat golongan α1-blocker bekerja dengan cara menghambat kontraksi lapisan otot polos
dinding prostat. Hal ini dapat mengurangi tahanan leher vesica urinaria dan uretra sehingga
mampu mengurangi keluhan iritatif (storage), ditandai dengan peningkatan frekuensi urinasi,
dan obstruktif (voiding), ditandai dengan kencing mengejan, sekaligus. Beberapa obat
meliputi terazosin, doksazosin, alfazosin, dan tamsulosin yang dinimum sekali sehari dengan
dosis yang perlu dititrasi. Sekitar 30-45% pasien yang diberikan obat ini memiliki penurunan
skor IPSS. Bahkan, pada sekitar 15-30% pasien, skor tersebut turun 4 hingga 6 poin. Setiap
α1-blocker memiliki efek samping yang berbeda-beda. Meski demkian, efek samping
tersebut biasanya termanifestasi pada sistem kardiovaskular dan neurologi sehingga muncul
gejala hipotensi, asthenia, vertigo, dan intraoperative floppy iris syndrome (IFIS). IFIS
umumnya disebabkan oleh tamsulosin dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan dilasi
pupil, miosis progresif, gas dalam iris, dan prolaps iris pada operasi katarak. Meski demikian,
obat golongan ini sangat direkomendasikan pada kasus BPH dengan gejala sedang menuju
berat.

b. Penghambat 5α-Reduktase (5α-Reductase inhibitors)

28
Obat golongan penghambat 5αreduktase bekerja dengan cara menginduksi apoptosis pada
sel-sel penyusun jaringan epitel prostat melalui inhibisi isoenzim 5α-reduktase, enzim yang
dapat mengkonversi testosteron menjadi dihidrotestosteron (DHT). Oleh sebab itu, obat-obat
golongan ini mampu mengecilkan volume prostat. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
dampak pengecilan ini mampu mencapai 30% ukuran pembesarannya. Ada dua jenis obat
golongan penghambat 5αreduktase, yaitu finasteride dan dutasteride. Keduanya baru akan
menghasilkan efek setelah lewat 6 bulan.4 Indikasi penggunaan dutasteride adalah jika
volume prostat > 30 cc, sementara indikasi finasteride bila volume > 40 cc. Dutasteride
digunakan dengan dosis 0,5 mg, sementara finasteride dengan dosis lebih tinggi yaitu 5 mg.
Penggunaannya sangat direkomendasikan oleh AUA dan IAUI untuk kasus BPH yang lebih
berat, meski tidak didukung oleh literatur selengkap α1-blocker.

Beberapa efek samping yang dapat diakibatkan penggunaan penghambat 5α-reduktase


meliputi disfungsi ereksi, penurunan libidio, ginekomastia, dan muncul bercak-bercak
kemerahan di kulit. Selain itu, penghambat 5αreduktase dapat menurunkan kadar PSA sampai
setengah dari nilai awalnya sehingga dapat menimbulkan negatif palsu dalam deteksi kanker
prostat. Meski demikian, efek samping tersebut tidak begitu besar dan minimal.

c. Antagonis reseptor muskarinik

Cara kerja obat-obatan antagonis reseptor muskarinik adalah dengan menginhibisi


stimulasi reseptor muskarinik. Hal ini menyebabkan berkurangnya kontraksi jaringan otot
polos pada vesica urinaria. Oleh sebab itu, antagonis reseptor muskarinik, seperti fesoterodine
fumarate, propiverine HCl, tolterodine l-tartrate, dan solifenacin succinate, kerap digunakan
jika α1-blocker tidak berhasil mengurangi gejala iritatif BPH. Antagonis reseptor muskarinik
diduga sangat bermanfaat dalam penurunan gejala iritatif BPH pada pasein dengan volume
prostat yang belum begitu besar. Di sisi lain, penggunaan antagonis muskarinik dapat
menimbulkan kekeringan mulut, konstipasi, pusing, nasofaringitis, dan kesulitan berkemih.
Efek samping yang cukup banyak dan masih minimnya literatur mengenai efektivitas
antagonis reseptor muskarinik, membuat IAUI tidak begitu merekomendasikan
penggunaannya kecuali pada gejala iritatif yang tidak dapat disembuhkan α1- blocker.

d. Penghambat fosfodiesterasi-5

Penghambat fosfodiesterase-5, atau penghambat PDE-5, merupakan golongan obat


dengan kemampuan meningkatkan konsentrasi dan aktivitas cyclic guanosine monophosphate

29
(cGMP) intraselular. Oleh sebab itu, obat ini mampu mengurangi tonus otot polos pada
dinding m. detrusor, prostat, dan uretra. Meski tersedia dalam bentuk sildenafil, vardenafil,
dan tadalafil, IAUI hanya merekomendasikan penggunaan tadalafil.4 Dosis yang
direkomendasikan oleh IAUI adalah tadalafil 5 mg perhari. Obat golongan ini dapat
menurunkan skor IPSS hingga sebesar 37% dari nilai semula. Alasan pemilihan tadalafil
ketimbang 2 jenis obat lainnya adalah karena tadalafil tidak menyebabkan gangguan visual
dan flushing akibat cross-reaction berlebihan dengan PDE6. Meski demikian, tadalafil dapat
menyebabkan nyeri punggung pada beberapa penggunanya. Salah satu efek lain yang
dimiliki oleh seluruh golongan penghambat PDE-5 adalah kemampuannya mengobati
disfungsi ereksi.6Sebuah studi Cochrane menyebutkan bahwa penggunaan penghambat PDE-
5 sama efektifnya dengan penggunaan α1-blocker pada BPH sedang hingga berat. Konsensus
IAUI juga merekomendasikan penggunaan penghambat PDE-5 sebagai alternatif α1-blocker
yang sederajat.

e. Terapi kombinasi

Kombinasi α1-blocker dan penghambat 5α-reduktase dapat menghasilkan efek sinergis


yang mampu mengkombinasikan keuntungan dari kedua golongan obat tersebut. Salah satu
keuntungannya adalah dengan mempercepat efek klinis obat karena obat golongan
penghambat 5αreduktase membutuhkan waktu berbulan-bulan sebelum perubahan klinis
terlihat. Selain itu, efek sinergis hasil kombinasi kedua golongan obat yang ditemukan pada
terapi kombinasi juga lebih efektif dalam mengurangi kemungkinan retensi urin dan progresi
ke arah kanker yang membutuhkan terapi bedah. Meski demikian, kombinasi ini turut
memperbesar risiko terjadinya efek samping. Oleh sebab itu, pengobatan ini hanya
dikhususkan bagi pasien dengan keluhan sedang-berat dan risiko progresi tinggi. Selain itu,
obat ini hanya digunakan pada rencana jangka panjang atau lebih dari 1 tahun. Kombinasi α1-
blocker dan antagonis reseptor muskarinik dapat melakukan inhibisi reseptor jaringan otot
polos saluran perkemihan bagian bawah dalam jumlah yang lebih besar dari monoterapi salah
satu penyusunnya. Hal ini dapat terjadi karena kombinasi ini mampu memblok baik reseptor
α1 maupun reseptor muskarinik M2 dan M3. Dengan demikian, pasien yang memiliki
keluhan iritatif dan overaktivitas detrusor mampu mengalami penurunan keluhan secara
signifikan. Pengobatan dengan kombinasi obat ini dapat mengurangi frekuensi urinasi, gejala
nokturia, urgensi, inkontinensia, dan skor IPSS. Dalam menatalaksana pasien dengan
pengobatan ini, dibutuhkan pemeriksaan residu urin secara berkala untuk mengamati proses
penyembuhan dengan baik.

30
f. Fitofarmaka

Fitofarmaka merupakan ekstrak dari tumbuh-tumbuhan herbal tertentu yang dipercaya


memiliki khasiat terapetik. Meski demikian, hanya sedikit literatur yang berhasil membahas
dan membuktikan efektivitas zat aktif yang tergantung dalam fitofarmaka sebagai agen terapi
medikamentosa BPH. Oleh sebab itu, baik IAUI maupun AUA tidak merekomendasikan
penggunaan fitofarmaka sebagai agen terapi BPH. Meski demikian, penggunaannya dapat
dipakai sesuai dengan permintaan pasien atau kebijaksanaan dokter selama fitofarmaka yang
digunakan tidak memiliki interaksi buruk dengan obatobatan konvensional lain. Beberapa
fitofarmaka yang kerap digunakan dalam tatalaksana BPH meliputi Pygeum africanum,
Hypoxis rooperi, Serenoa repens, dan lain-lain.

3. Pembedahan

Pembedahan merupakan suatu tindakan tatalaksana BPH yang bersifat invasif. Oleh
sebab itu, indikasi yang jelas perlu ditemukan sebelum seorang klinisi memutuskan untuk
melakukan pembedahan. Indikasi-indikasi tersebut, meliputi retensi urin akut, infeksi saluran
kemih berulang, hematuria makroskopik, sistolitiasis, penurunan fungsi ginjal, gagal
berkemih setelah melepaskan kateter, perubahan patologis pada vesica urinaria, keluhan telah
memberat, tidak adanya perbaikan setelah terapi konservatif dan medikamentosa, serta pasien
menolak terapi selain bedah. Adapun berikut merupakan beberapa pilihan terapi pembedahan
yang dapat dilakukan.

31
Gambar 2. Algoritma Tatalaksana Intervensi BPH.

3.1 Operasi konvensional


o Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
Sembilan puluh lima persen simpel prostatektomi dapat dilakukan melalui endoskopi.
Umumnya dilakukan dengan anastesi spinal dan dirawat di rumah sakit selama 1-2 hari.
Perbaikan symptom score dan aliran urin dengan TURP lebih tinggi dan bersifat invasif
minimal. Risiko TURP adalah antara lain ejakulasi retrograde (75%), impoten (5-10%) dan
inkotinensia urin (<1%) > (2).
o Transurethral Incision of the Prostate(TUIP)
Pasien dengan gejala sedang dan berat, prostat yang kecil sering terjadi hiperplasia
komisura posterior (menaikan leher buli-buli).Pasien dengan keadaan ini lebih mendapat
keuntungan dengan insisi prostat.Prosedur ini lebih cepat dan kurang menyakitkan
dibandingkan TURP. Retrograde ejakulasi terjadi pada 25% pasien.
o Open Simple Prostatectomy
Jika prostat terlalu besar untuk dikeluarkan dengan endoskopi, maka enukleasi terbuka
diperlukan.Kelenjar lebih dari 100 gram biasanya dipertimbangkan untuk dilakukan
enukleasi.Open prostatectomy juga dilakukan pada BPH dengan divertikulum buli-buli, batu

32
buli-buli dan pada posisi litotomi tidak memungkinkan. Open prostatectomy dapat dilakukan
dengan pendekatan suprapubik ataupun retropubik.
1. Terapi minimal invasif
 Laser
Dua sumber energi utama yang digunakan pada operasi dengan sinar laser adalah YAG
dan holomium: YAG. Keuntungan operasi dengan sinar laser adalah:
 Kehilangan darah minimal.
 Sindroma TUR jarang terjadi.
 Dapat mengobati pasien yang sedang menggunakan antikoagulan.
 Dapat dilakukan out patient procedure.
Kerugian operasi dengan laser
 Sedikit jaringan untuk pemeriksaan patologi.
 Pemasangan keteter postoperasi lebih lama.
 Lebih iritatif.
 Biaya besar
o Transurethral Electrovaporization of the Prostate
Transurethral Electrovaporization of the Prostate menggunakan resektoskop. Arus
tegangan tinggi menyebabkan penguapan jaringan karena panas, menghasilkan cekungan
pada uretra pars prostatika. Prosedurnya lebih lama dari TUR.
o Hyperthermia
Hipertermia dihantarkan melaluli kateter transuretra.Bagian alat lainnya mendinginkan
mukosa uretra.Namun jika suhu lebih rendah dari 45°C, alat pendingin tidak diperlukan.
o Transurethal Needle Ablation of the Prostate
Transurethal Needle Ablation of the Prostate menggunakan kateter khusus yang akan
melalui uretra.
o High Intensity Focused Ultrasound
High Intensity Focused Ultrasound berarti melakukan ablasi jaringan dengan panas.
Untrasound probe ditempatkan pada rektum.
o Intraurethral Stents
Intraurethral stents adalah alat yang ditempatkan pada fossa prostatika dengan endoskopi
dan dirancang untuk mempertahankan uretra pars prostatika tetap paten.
o Transurethral Balloon Dilation of the Prostate

33
Balon dilator prostat ditempatkan dengan kateter khusus yang dapat melebarkan fossa
prostatika dan leher buli- buli.Lebih efektif pada prostat yang ukurannya kecil
(<40>3).Teknik ini jarang digunakan sekarang ini.

Para pria setelah perawatan bedah menunjukkan penurunan pada semua kelompok gejala
LUTS.Namun, di antara orang-orang dirawat dan diobati secara medikamentosa, semua
gejala memburuk selama tindak lanjut.Proporsi pria dengan gejala setelah operasi lebih
rendah dibandingkan pada pria ditangani secara medikamentosa.Pada pria dengan pengobatan
medikamentosa, prevalensi semua 12 LUT meningkat. Disuria dan postmicturition
dribbleadalah satu-satunya gejala yang memiliki hasil sedikit lebih baik dalam
medikamentosa dibandingkan dengan kelompok pengobatan bedah.

Dalam studi, pengobatan operasi tampaknya untuk meringankan LUTS, sedangkan


pengobatan medikamentosa hanya memperlambat perkembangan.Temuan ini menunjukkan
bahwa pria dengan pengobatan bedah mengalami hasil yang lebih menguntungkan pada
LUTS daripada mereka yang menerima perawatan medikamentosa.

Pencegahan

BPH sejatinya merupakan kondisi yang tidak dapat dicegah karena merupakan kejadian
yang akan menimpa hampir semua laki-laki di masa tua. Akan tetapi, beberapa kebiasaan dan
pilihan gaya hidup dapat mengurangi faktorfaktor induktor BPH sehingga mampu
meringankan gejala-gejala yang muncul. Faktor-faktor tersebut meliputi riwayat pemakaian
obat-obatan, perilaku merokok, berat badan, aktivitas fisik, dan diet yang dimiliki seseorang.
Obat-obatan tertentu diduga dapat menimbulkan risiko munculnya BPH dan memperparah
gejala yang terjadi. Obatobatan ini meliputi obat golongan antidepresan, antihistamin, dan
bronkodilator. Selain itu, obat-obatan pilek yang bekerja sebagai αsimpatomimetik juga dapat
memperparah gejala BPH karena efeknya pada otot polos vesica urinaria.10 Merokok dapat
meningkatkan kadar testosteron dan estrogen tubuh akibat dampak nikotin yang terkandung
di dalamnya. Kadar hormon yang tinggi ini dapat dikompensasi oleh tubuh dengan mengubah
ekses testosteron menjadi DHT.

Oleh sebab itu, merokok diduga dapat menginduksi dan berpengaruh positif terhadap
perkembangan BPH. Beberapa penelitian mengaitkan riwayat merokok dengan berkurangnya
volume urin serta munculnya efek iritatif dan obstruktifnya. Akan tetapi, pengaruhnya dirasa
tidak begitu besar. Berat badan dan aktivitas fisik merupakan dua hal yang saling berkaitan
satu sama lain. Aktivitas fisik yang mumpuni didukung dengan indeks massa tubuh yang

34
ideal merupakan faktor protektif dari pembentukan gejala BPH. Hal ini diduga merupakan
akibat dari eksistensi jaringan adiposa yang tinggi dalam diri pengidap obesitas. Jaringan
adiposa yang tinggi menginduksi aromatisasi testosteron menjadi estrogen sehingga
mengakibatkan ketidakseimbangan hormonal tubuh.

Oleh sebab itu, terjadi perubahan kadar testosteron menjadi DHT yang mampu
meningkatkan risiko BPH pada pasien dengan obesitas. Faktor diet juga dapat mempengaruhi
risiko terjadinya BPH. Diet rendah lemak dan rendah daging merah yang dikombinasikan
dengan peningkatan jumlah nutrisi protein dan sayur-sayuran dapat menurunkan
kemungkinan terjadinya gejala-gejala BPH. Di sisi lain, studi yang sama juga
mengasosiasikan konsumsi alkohol secara berkala dengan penurunan risiko terjadinya BPH.
Meski demikian, asosiasi antara alkohol dan risiko BPH ini perlu dicermati dengan bijak
karena alcohol memiliki banyak dampak negatif bagi berbagai penyakit lainnya.

5. Mahasiswa mampu mengetahui komplikasi dan prognosis BPH

Komplikasi

 Perdarahan
 Pembentukan bekuan
 Obstruksi kateter
 Disfungsi seksual tergantung pembedahan
 Stasis urin
 ISK
 Batu ginjal
 Trabekulasi dinding kandung kemih
 Hipertrofi m.detrusor
 Kandung kemih divertikula dan saccules
 Stenosis uretra
 Hidronefrosis
 Paradoks (overflow) inkontinensia
 Gagal ginjal aku atau gagal ginjal kronis
 Akut postobstructive diuresis

Prognosis

Menurut Birowo dan Rahardjo prognosis BPH adalah:

1. Tergantung dari lokasi, lama dan kerapatan retensi.


2. Keparahan obstruksi yang lamanya 7 hari dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Jika
keparahan obstruksi diperiksa dalam dua minggu, maka akan diketahui sejauh mana

35
tingkat keparahannya. Jika obstruksi keparahannya lebih dari tiga minggu maka akan
lebih dari 50% fungsi ginjal hilang.
3. Prognosis yang lebih buruk ketika obstruksi komplikasi disertai dengan infeksi.
4. Umumnya prognosis lebih bagus dengan pengobatan untuk retensi urine.

6. Mahasiswa mampu mengetahui definisi, epidemiologi, klasifikasi, etiologi TB


Paru
A. Definisi

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular pada organ paru – paru dan
bisa menyerang organ di luar paru – paru seperti tulang, usus atau kelenjar.
Ditularkan hampir sering oleh percikan dahak batuk, bersin atau aerosol oleh
penderita TBC. TBC disebabkan oleh kompleks Mycobacterium tuberculosis,
yakni kuman aerob yang dapat. hidup terutama di paru atau di berbagai organ
tubuh hidup lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi.
Peradangan biasanya di paru-paru kurang lebih 85% kasus, meskipun hampir
semua organ ekstrapulmonal dapat
terlibat. (Dheda, 2015)
B. Epidemiologi

Insiden tuberkulosis global telah perlahan menurun selama 13 tahun terakhir


sekitar 1,5% per tahun. Pada tahun 2013, diperkirakan 9 juta kasus kejadian
tuberkulosis (setara dengan 126 kasus per 100.000 penduduk) telah di laporkan.
Namun, kasus tingkat deteksi hanya sekitar 64%, dan yang mengkhawatirkan,
sekitar 3,3 juta orang dengan tuberkulosis tidak terjawab (tidak terdiagnosis atau
tidak dilaporkan). Sebaliknya, tuberkulosis kematian telah menurun secara
substansial dalam 20 tahun terakhir dari hampir 30 per 100.000 menjadi sekitar
16 per 100.000 orang pada tahun 2013. (Dheda, 2015)
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017
(data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun
2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan
berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih
tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara
lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko
TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini

36
menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak
68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok. Berdasarkan Survei
Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi TBC dengan konfirmasi
bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun
ke atas dan prevalensi TBC BTA positif sebesar 257 per 100.000 penduduk
berumur 15 tahun ke atas. Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin
bertambah usia, prevalensinya semakin tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi
TBC dan durasi paparan TBC lebih lama dibandingkan kelompok umur di
bawahnya. (Kemenkes RI, 2015)
C. Klasifikasi
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting dilakukan untuk
menetapkan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang sesuai dan dilakukan
sebelum pengobatan dimulai. Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru
a. Tuberculosis Paru
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC Paru dibagi dalam :
1) Tuberkulosis Paru BTA (+)

Kriteria hasil dari tuberkulosis paru BTA positif adalah Sekurang-


kurangnya 2 pemeriksaan dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+)
atau 1 spesimen dahak SPS hasilnya (+) dan foto rontgen dada menunjukan
gambaran tuberculosis aktif.

2) Tuberkulosis Paru BTA (-)

Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (-) dan foto rontgen
dada menunjukan gambaran Tuberculosis aktif. TBC Paru BTA (-),
rontgen (+) dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu
bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgan dada
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas.

b. Tuberculosis Ekstra Paru


TBC ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu :
1) TBC ekstra-paru ringan
Misalnya : TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

37
2) TBC ekstra-paru berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran
kencing dan alat kelamin
c. Tipe Penderita

Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, ada beberapa tipe penderita yaitu:

1) Kasus Baru Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).

2) Kambuh (Relaps) Adalah penderita Tuberculosis yang sebelumnya pernah


mendapat pengobatan Tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA (+).

3) Pindahan (Transfer In) Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di


suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah (Form TB.09).

4) Setelah Lalai (Pengobatan setelah default/drop out) Adalah penderita yang sudah berobat
paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali dengan
hasil pemeriksaan dahak BTA (+).

D. Etiologi

TBC disebabkan oleh kompleks Mycobacterium tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat.


hidup terutama di paru atau di berbagai organ tubuh hidup lainnya yang mempunyai tekanan
parsial oksigen yang tinggi (Dheda, 2015).

7. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi dan manifestasi klinis TB Paru


a. Patofisiologi
Pada pasien tanpa paparan MTBC sebelumnya reseptor pengenalan pola
diekspresikan oleh makrofag, sel dendritik, dan sel epitel lalu berinteraksi dengan
ligan MTBC. Ini menghasilkan produksi sitokin inflamasi dan kemokin merekrut
sel-sel baru ke tempat infeksi dan memulai pembentukan granuloma oleh sistem
imun bawaan. Pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di

38
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus
Primer GOHN. Respon imun adaptif biasanya terjadi setelah sekitar 4-6 minggu
pada manusia, mengikuti presentasi antigen MTBC oleh sel dendritik di kelenjar
getah bening. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai
jumlah 103 -104 yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas
seluler. Kekebalan sistem imun bawaan atau adaptif kurang efisien dalam
menahan infeksi. Sistem imun adaptif sebagian besar merupakan tipe TH1-
delayed membantu melawan infeksi dengan mengasingkan MTBC dalam
granuloma, mencegahnya menyebar ke jaringan lain dengan cepat dan mematikan
kuman terjadi di granuloma. Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di
jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis
atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar
ini. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau
pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan
mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan
paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran
normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut.
Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
dapat menyebabkan ateletaksis (Cadena, 2016)
8. Mahasiswa mampu mengetahui penegakkan diagnosis dan diagnosis banding
TB Paru.
a. Penegakan Diagnosis:
o Pemeriksaan Laboratorium

Diagnosis TB paru aktif melibatkan memperoleh anamnesis riwayat yang


tepat, memunculkan tanda-tanda klinis yang relevan, evaluasi mikrobiologis untuk
MTBC, dan penilaian radiografi toraks. Meskipun kultur mikrobiologi atau
Pemeriksaan Biakan dilakukan dengan media padat (LowensteinJensen) dan
media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube) untuk identifikasi
Mycobacterium tuberculosis (MTBC) dianggap sebagai standar emas untuk
diagnosis, tetapi memerlukan waktu selama 8-10 minggu sebelum hasilnya

39
terlihat, dan hasilnya telah dilaporkan oleh beberapa penulis sebanyak 80%
(Sathekge, 2013). Hasil mikroskopis terlihat jauh lebih awal namun tes ini
memiliki hasil diagnostik yang jauh lebih rendah. Selain itu, pada beberapa
populasi seperti anak-anak dan individu yang sangat lemah, sulit untuk
mendapatkan sampel dahak untuk pengujian. Studi imunologi seperti uji kulit
tuberkulin (TST) dan pelepasan gamma interferon assay (IGRA) dapat
menentukan bahwa pasien telah terpapar ke MTBC di masa lalu tetapi tidak
menentukan keaktifan dari penyakit. Pengenalan tes reaksi berantai polimerase
(PCR) yang mampu mendeteksi bahan asam nukleat MTBC sangat membantu
memperjelas diagnosis TB. Keuntungan lebih lanjut dari pengujian ini adalah
kemampuan mereka untuk mendeteksi urutan asam nukleat yang menyarankan
obat perlawanan atau terapi. Sensitivitas tes ini bervariasi dari 67% dalam pasien
dengan dahak negatif dengan TB menjadi 89% bila digunakan sebagai tes awal
dalam diagnosis TB (Ankrah, 2017).

o Imaging
Rontgen thorax sudah terdapat di sebagian besar dunia dan relatif murah
dibandingkan dengan pemeriksaan lain dan pada TB paru adalah gambaran
yang paling umum digunakan untuk diagnosis infeksi. Rotgen memiliki
peranan penting dalam hal skrining, diagnosis, dan respons terhadap
pengobatan TBC. Radiografi thorax mungkin normal atau menunjukkan
perubahan nonspesifik ringan pada TB aktif. Sedangkan CT thorax lebih baik
dalam mendeteksi dan mengkarakterisasi baik yang terlokalisasi halus dan
penyakit parenkim diseminata. Hal ini juga lebih baik dalam mendefinisikan
limfadenopati mediastinum. Akurasi diagnostik thorax dada pada TB paru
telah dilaporkan 49% dan CT dada 91%. CT resolusi tinggi sangat membantu
dalam menentukan aktivitas penyakit dan melihatkan rongga untuk melihat
adanya penyebaran endobronkial (Ghambir, 2017).
b. Diagnosis Banding
1. Pneumonia
TB paru merupakan gabungan antara airspace and interstitial lung disease,
dimana salah satu manifestasi pada TB primer menunjukkan gambaran
pneumonia lobaris. (Herring, 2016)
2. Kanker Paru

40
Tingginya prevalensi TB paru dan kesamaan gambaran radiologi
menyebabkan banyak penderita kanker paru mendapatkan penatalaksanaan
awal sebagai kasus TB paru berdasarkan gambaran radiologi saja. (MLB
Bhatt, 2012)
3. Abses Paru
Gambaran kavitasi pada pemeriksaan foto toraks yang sering ditemukan pada
TB paru pasca primer dapat menyerupai gambaran kavitasi yang terbentuk
akibat kanker bronkogenik dan abses paru. (Herring, 2016)

9. Mahasiswa mampu mengetahui tatalaksana promotif, preventif, kuratif, dan


rehabilitative TB Paru
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT. Dalam pengobatan TB digunakan OAT dengan jenis,
sifat dan dosis sebagaimana pada tabel 1. (Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis.)
Tabel 1. Jenis, sifat, dan dosis OAT

Dosis yang direkomendasikan


Jenis OAT Sifat (mg / kgBB)
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampisin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12 - 18)
Eethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)

Prinsip pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:


a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOTS = Directly Observed Treatment Shortcourse) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).

41
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.3,8

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB di


Indonesia terdiri dari:

1) Kategori 1: 2HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).


2) Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.
3) Kategori OAT TB Resisten Obat: terdiri dari OAT lini 2 yaitu, Kanamisin,
Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin, PAS,
Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan obat TB baru lainnya serta OAT
lini 1, yaitu Pirazinamid dan Etambutol.

Terbagi dalam 2 jenis pemilihan jenis sediaan obat, obat kombinasi dan obat lepas. Obat
tersebut disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT -KDT)
dengan jenis 2 obat atau 4 obat dalam satu tablet dan dosisnya disesuaikan dengan berat
badan pasien. Kemudian disediakan juga dalam bentuk kombipak , yaitu sediaan obat
lepas yang dikemas dalam 1 blister berisi Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid
(Z) dan Etambutol (E)

1. Kategori 1
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien dengan kriteria:
 Pasien baru terkonfirmasi bakteriologis
 Pasien TB paru terdiagnosis klinis
 Pasien TB ekstra paru

Tabel 2. Dosis Paduan OAT sedian KDT Kategori 1 dengan terapi lanjutan dosis
harian (2(HRZE)/4(HR)).

Tahap Intensif Tahap Lanjutan


2 Bulan 4 Bulan
(56 hari) (16 minggu)
Berat Badan Setiap hari Setiap hari
RHZE RH
Tablet 4KDT Tablet 2KDT
(150/75/400/275) (150/75)
30 – 37 kg 2 tablet 2 tablet
38 – 54 kg 3 tablet 3 tablet
55 – 70 kg 4 tablet 4 tablet
≥ 71 kg 5 tablet 5 tablet

42
Tabel 3. Dosis Paduan OAT sediaan KDT Kategori 1 dengan terapi lanjutan dosis
intermiten (2(HRZE)/4(HR)3).

Tahap Intensif Tahap Lanjutan


2 Bulan 4 Bulan
(56 hari) (16 minggu)
Berat Badan Setiap hari 3x seminggu
RHZE RH
Tablet 4KDT Tablet 2KDT
(150/75/400/275) (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 2 tablet
38 – 54 kg 3 tablet 3 tablet
55 – 70 kg 4 tablet 4 tablet
≥ 71 kg 5 tablet 5 tablet

Tabel 4. Dosis Paduan OAT sediaan lepas/kombipak Kategori 1 dengan terapi dosis
harian.

Dosis per hari / kali Jumlah


Tablet Tablet Tablet Tablet
Tahap hari /
Isoniazid Rifampisin Pirazinami Etambutol
Pengobata kali
@300 mg @450 mg d @250 mg
n menelan
@500 mg
obat
Intensif
1 tablet 1 tablet 3 tablet 3 tablet 56
(2 bulan)
Lanjutan
2 tablet 1 tablet - - 48
(4 bulan)

2. Kategori 2

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang), yaiitu:

 Pasien kambuh

43
 Pasien gagal dalam pengobatan dengan panduan OAT kategori 1
sebelumnya
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow up)

Tabel 5. Dosis Paduan OAT sediaan KDT Kategori 2 dengan terapi intermiten
(2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3).

Tahap Intensif Tahap Lanjutan


Setiap hari 3x seminggu
RHZE + S RH + E
Berat Badan
(150/75/400/275) (150/150) + (400)
56 hari 28 hari 20 minggu
pertama kedua berikutnya
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 2 tablet +
500 mg 4KDT 3 tablet
Streptomisin inj. Etambutol
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 3 tablet +
750 mg 4KDT 3 tablet
Streptomisin inj. Etambutol
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
+ 4 tablet +
1000 mg 4KDT 4 tablet
Streptomisin inj. Etambutol
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
+ 5 tablet +
1000 mg 4KDT 5 tablet
Streptomisin inj. Etambutol

Tabel 6. Dosis Paduan OAT sediaan lepas/kombipak Kategori 1 dengan terapi dosis
intermiten (2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3).

44
Setelah dilakukan pengobatan dilakukan pemantauan kemajuan dan hasil
pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara
mikroskopis. Pemantauan kemajuan pengobatan dilakukan dengan pemeriksaan dua
contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Semua pasien TB pada akhir 2 bulan pengobatan
tahap awal, tanpa pemberian paduan sisipan, pengobatan dilanjutkan ke paduan tahap
lanjutan. Pemeriksaan dahak diulang pada akhir bulan-3 pengobatan. Bila hasil teteap
BTA positif, pasien ditetapkan sebagai pasien terduga TB Resisten Obat (TB RO),
jika BTA negatif pengobatan tetap dilanjutkan sampai pemeriksaan ulang dahak
selanjutnya dilakukan pada akhir bulan ke 5 pengobatan, pabila hasilnya negatif,
pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan
pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan. Bilamana hasil
pemeriksaan mikroskopis nya positif pasien dianggap gagal pengobatan dan
dimasukkan kedalam kelompok terduga TB RO.

Tabel 7. Pemeriksaan dahak ulang untuk pemantuan hasil pengobatan.

45
Tabel 8. Hasil Pengobatan Pasien TB.

Hasil pengobatan Definisi


Sembuh Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis
positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan
bakteriologis pada akhir pengobatan menjadi negatif dan
pada salah satu pemeriksaan sebelumnya. Kemudian pada
pemeriksaan radiologi didapatkan foto perbaikan.
Pengobatan Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara
lengkap lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum
akhir
pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil
pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan.
Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selama masa pengobatan; atau kapan saja dalam masa
pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang
menunjukkan adanya resistensi OAT.
Meninggal Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum
memulai atau sedang dalam pengobatan
Putus Obat Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang
pengobatannya terputus terus menerus selama 2 bulan
atau lebih
Tidak dievaluasi Pasien TB yang tidak diketahui akhir pengobatannya.

46
Termasuk kriteria ini pasien pindah (transfer out) ke
kabupaten / kota lain dimana hasil akhir pengobatannya
tidak diketahui kabupaten kota yang yang ditinggalkan.

Terdapat penatalaksaanaan pada keadaan khusus, dalam kasus ini yaitu


diabetes mellitus, yaitu:

a. Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan regulasi baik/ gula darah terkontrol


b. Bila gula darah tidak terkontrol, fase lanjutan 7 bulan : 2 RHZ(E-S)/ 7 RH
c. DM harus dikontrol
d. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol ke mata;
sedangkan penderita DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
e. Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin akan mengurangi efektivitas obat oral
anti diabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan

Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol / mendeteksi


dini bila terjadi kekambuhan

Pencegahan

Salah satu langkah untuk mencegah TBC (tuberkulosis) adalah dengan


menerima vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Di Indonesia, vaksin ini termasuk
dalam daftar imunisasi wajib dan diberikan sebelum bayi berusia 2 bulan. Bagi yang
belum pernah menerima vaksin BCG, dianjurkan untuk melakukan vaksin bila terdapat
salah satu anggota keluarga yang menderita TBC.

TBC juga dapat dicegah dengan cara yang sederhana, yaitu mengenakan masker saat
berada di tempat ramai dan jika berinteraksi dengan penderita TBC, serta sering mencuci
tangan.

Walaupun sudah menerima pengobatan, pada bulan-bulan awal pengobatan (biasanya


2 bulan), penderita TBC juga masih dapat menularkan penyakit. Jika Anda menderita TBC,
langkah-langkah di bawah ini sangat berguna untuk mencegah penularan, terutama pada
orang yang tinggal serumah dengan Anda:

 Tutupi mulut saat bersin, batuk, dan tertawa, atau kenakan Apabila menggunakan tisu
untuk menutup mulut, buanglah segera setelah digunakan.

47
 Tidak membuang dahak atau meludah sembarangan.
 Pastikan rumah memiliki sirkulasi udara yang baik, misalnya dengan sering membuka
pintu dan jendela agar udara segar serta sinar matahari dapat masuk.
 Jangan tidur sekamar dengan orang lain, sampai dokter menyatakan TBC yang Anda
derita tidak lagi menular.

(kemenkes, http://www.padk.kemkes.go.id/health/read/2019/03/25/6/pencegahan-
tuberkulosis-tbc-tuberkulosis.html)

10. Mahasiswa mampu mengetahui komplikasi dan prognosis TB Paru


a. Komplikasi
Jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat, TBC bisa menimbulkan berbagai
komplikasi, menurut (Suyono, 2011) dibagi menjadi 2 yaitu :
- Komplikasi dini : Pleuritis, Efusi pleura, Empisema, Laringitis, Menyebar ke
organ lain (usus), Poncets arthropathy.
- Komplikasi Lanjut : Obstruksi jalan nafas (SOPT: Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis), Kerusakan parenkim berat (SOPT/fibrosa paru, kor pulmonal),
Amiloidasis, Karsinoma paru, Sindrom gagal nafas dewasa (ARDS).
b. Prognosis
Tingkat kematian kasus TBC dalam 10 tahun terakhir adalah 70% untuk yang
tidak diobati TB BTA-positif dan 20% untuk TB BTA-negatif. Kematian kasus
untuk orang dengan HIV adalah 83% untuk BTA-positif pasien dan 74% untuk
pasien BTA-negatif pada lansia, penyakit bawaan, dan koinfeksi HIV. Kematian
dengan pengobatan adalah sekitar 2,5% untuk orang tanpa HIV dan sekitar 14%
pada orang dengan HIV. Tuberkulosis paru dapat menyebabkan penyakit kronis
yang substansial morbiditas karena sisa bronkiektasis pasca-tuberkulosis, penyakit
paru obstruktif kronik (COPD), aspergilloma, dan kerusakan paru-paru (appendix)
(Moodley, 2014). Gangguan ini menyebabkan kerusakan substansial dan cacat
paru-paru progresif, yang berpuncak pada pernapasan gagal ginjal atau hemoptisis
masif. Aspergilloma terjadi pada rongga sisa (contoh dari paru-paru yang
dieksplan ditampilkan di apendiks) dan dapat menyebabkan hemoptisis massif
membutuhkan pembedahan atau embolisasi arteri bronkial (the strategi
manajemen optimal tidak jelas), atau kronis aspergillosis invasif (Field, 2014). Di
negara berkembang, tuberkulosis adalah penyebab penting PPOK, terutama

48
karena penyakit saluran udara kecil dan menyumbatan gas dari emfisema (Odone,
2017).

DAFTAR PUSTAKA

AUA practice guidelines committee. 2003. AUA guideline on management of benign


prostatic hyperplasia (2003). Chapter 1: diagnosis and treatment recommendations. J Urol
170: 530-547

Ankrah, Alfred O.; Glaudemans, Andor W.J.M.; Maes, Alex; Van de Wiele, Christophe;
Dierckx, Rudi A.J.O.; Vorster, Mariza; Sathekge, Mike M. (2017). Tuberculosis.
Seminars in Nuclear Medicine, (),
S0001299817301009–. doi:10.1053/j.semnuclmed.2017.10.005

49
Cadena AM, Flynn JL, Fortune SM. 2016. The importance of first impressions: Early events
in Mycobacterium tuberculosis infection influence outcome. MBio 7:2016, e00342-16

Dheda, Keertan; Barry, Clifton E; Maartens, Gary (2015). Tuberculosis. The Lancet, (),
S0140673615001518–. doi:10.1016/S0140-6736(15)00151-8 

Field N, Lim MS, Murray J, Dowdeswell RJ, Glynn JR, Sonnenberg P. 2014. Timing, rates,
and causes of death in a large South African tuberculosis programme. BMC Infect Dis ;
14: 3858

Gambhir S, Ravina M, Rangan K, et al. 2017. Imaging in extrapulmonary tuberculosis. Int J


Infect Dis 56:237-247.

Herring, William. 2016. Learning Radiology: Recognizing The Basic 3rd Ed. Philadelphia:
Elsevier.

Kementerian Kesehatan RI, 2015. Survei Prevalensi Tuberkulosis 2013-2014. Jakarta.

Lepor H dan Lowe FC. 2002. Evaluation and non-surgical management of benign
prostatic hyperplasia. Dalam: Campbell’s urology, edisi ke 7. editor: Walsh PC, Retik AB,
Vaughan ED, dan Wein AJ. Philadelphia: WB Saunders Co., 1337-1378

Moodley L, Pillay J, Dheda K. 2014. Aspergilloma and the surgeon. J Thorac Dis: 202–09.

Purnomo, Basuki B. . 2003. p. 69-85.Hiperplasia prostat dalam: Dasar-dasar urologi.,


Edisi ke 2. Jakarta: Sagung Seto.

Roehborn CG, McConnell JD. 2002. p. 1297-1330. Etiology, Pathophysiology, and


Natural History of Benign prostatic hyperplasia. In: Campbell’s Urology. 8th ed. W.B.
Saunders

Sathekge M, Maes A, Van de Wiele C. 2013. FDG-PET imaging in HIV infection and
tuberculosis. Semin Nucl Med 43:349-366

Setiati S, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam, Jakarta: Interna Publishing,
2014

Sjamsuhidayat. R dan Wim De Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta, EGC : 2004

Suyono. 2011. Ilmu Kesehatan Masyarakat Dalam Konteks Kesehatan Lingkungan. Jakarta:
EGC.

50
Sutanto, Reynardi Larope. 2021. Hyperplasia prostat jinak : manajemen tatalaksana dan
pencegahan. 1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas
Indonesia, Jakarta. JIMKI.

Tanagho EA, McAninch JW. 2008, p 348. Benign Prostatic Hyperplasia. In: Smith’s
General Urology. 17th ed. California: Mc Graw Hill : Lange.

51

Anda mungkin juga menyukai