Anda di halaman 1dari 11

BLOK ELEKTIF

NYERI NEUROPATI PERIFER PADA LANSIA PENDERITA


DIABETES MELITUS TIPE 2 DI PANTI SOSIAL TRESNA
WERDHA BUDI MULIA 1 CIPAYUNG

MUTIA HAYU
NPM 1102014176
KELOMPOK 3 BIDANG GERIATRI

Pembimbing
DR. EDWARD SYAM, M.KES

UNIVERSITAS YARSI
TAHUN 2018
NYERI NEUROPATI PERIFER PADA LANSIA PENDERITA DIABETES
MELITUS TIPE 2 DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI MULIA 1
CIPAYUNG

Abstrak

Latar belakang: Diabetes sering terjadi pada usia lanjut. Prevalensi di seluruh dunia meningkat secara
dramatis selama dua dekade. Salah satu komplikasi mengenai diebetes melitus adalah neuropati
diabetikum. Sekitar 25-30% pasien dengan diabetes melitus memiliki nyeri neuropati perifer.
Kasus: Pada kasus ini ditemukan seorang pria suku Jawa dengan usia 62 tahun, tinggi badan 163 cm,
berat badan 57 kg, dan IMT 21 memiliki riwayat diabetes melitus tipe 2 sejak tahun 2016. Tn. S juga
melaporkan adanya nyeri pada pinggang yang menjalar hingga kaki (ischialgia), rasa gatal-gatal,
konstipasi, hingga sulit tidur. Keluhan-keluhan ini menetap hingga tahun 2018 dan berdampak pada
penurunan aktivitas sehari-hari. Obat-obatan yang ia minum berupa metformin, simvastatin, allopurinol,
klorfeniramin maleat, dan deksametason.
Konklusi: Diabetes melitus dapat menimbulkan komplikasi berupa nyeri neuropati, pada kasus ini adalah
ischialgia. Komplikasi ini dapat berdampak pada penurunan aktivitas hingga gangguan tidur pada
beberapa penderita. Walaupun deksametason bukan obat lini pertama untuk mengobati nyeri neuropati,
obat dapat menjadi pilihan terapi pada nyeri neuropati.

Kata kunci: nyeri neuropati, neuropati diabetikum, ischialgia, deksametason.

Background: Diabetes usually occurs in elderly. The prevalence throughout the world has increased
dramatically over the past two decades. One of the complications of diebetes mellitus is diabetic
neuropathy. About 25-30% of patients with diabetes mellitus have peripheral neuropathy pain.
Case: In the case found a Javanese male with 62 years, 163 cm height, 57 kg body weight, and BMI 21
had a history of type 2 diabetes mellitus since 2016. Mr. S also reported symptoms of pain from waist that
spread to the legs (sciatica), a feeling of itching, constipation, and insomnia. These complaints continue
until 2018 and have an impact on decreasing daily activities. The drugs used were metformin,
simvastatin, allopurinol, chlorpheniramine maleate, and dexamethasone.
Conclusion: Diabetes mellitus can cause complications in the form of neuropathic pain, in this case
sciatica. This complication can result in decreased activity until finally sleeping in some patients.
Although dexamethasone is not a first-line drug for treating pain neuropathy, it can be a therapeutic
choice for neuropathic pain.

Keywords: pain neuropathy, diabetes neuropathy, sciatica pain, dexamethasone.

Pendahuluan
Diabetes tipe 2, atau yang sebelumnya disebut sebagai “diabetes yang
bergantung pada non-insulin” atau “diabetes onset dewasa” menyumbang 90-95% dari
semua tipe diabetes. Tipe ini meliputi individu yang memiliki defisiensi insulin yang
relatif (daripada absolut) dan memiliki resistensi pada insulin di perifer.[4] Diabetes lebih
sering terjadi pada usia lanjut. Prevalensi DM di seluruh dunia telah meningkat secara
dramatis selama dua dekade terakhir, dari sekitar 30 juta kasus pada tahun 1985 hingga
285 juta di 2010. Berdasarkan riset saat ini, Federasi Diabetes Internasional
memproyeksikan bahwa 438 juta orang akan menderita diabetes pada tahun 2030.[17]
Diabetes mellitus dikaitkan dengan berbagai sindrom neuropati. Prevalensi
neuropati secara keseluruhan adalah 66% untuk tipe 1 dan 59% untuk diabetes tipe 2.
[5,17]
Sekitar 25-30% pasien dengan diabetes melitus memiliki nyeri neuropati perifer,
painful diabetic neuropathy (PDN). PDN merupakan suatu kondisi yang kompleks yang
diketahui secara negatif mempengaruhi fungsi psikososial seperti depresi.[9]
Kasus ini terkait dengan pemahaman mengenai painful diabetic neuropathy
yang dialami oleh penderita diabetes melitus tipe 2.

Persentasi Kasus
Tn. S seorang laki-laki suku Jawa, Indonesia berusia 62 tahun dengan tinggi
badan 163 cm, berat badan 57 kg, dan Indeks Masa Tubuh 21. Beliau dahulu bekerja
sebagai mandor disebuah gudang yang tidak dapat disebutkan alamatnya. Beliau mulai
masuk panti sosial pada 29 Januari 2016 sampai saat ini beliau tinggal di panti jompo.
Keluhan-keluhan yang diutarakan berupa pusing, sulit tidur, pinggang nyeri
yang menjalar hingga kaki membuat Tn. S sulit berjalan sehingga menggunakan alat
bantu seperti tongkat. Nyeri yang dialami hanya pada satu sisi yaitu kaki kanan. Untuk
hal ini, beliau diberikan obat deksametason yang diminum tiga kali sehari (dosis tidak
tercantum pada rekam medis). Nyeri sudah dirasakan dari tahun 2016. Beliau juga
mengeluhkan gatal-gatal terutama di daerah selangkangan. Keluhan lain yaitu mengaku
sulit untuk buang air besar dan tidak mengeluhkan adanya mulas.
Tn. S didiagnosis diabetes melitus tipe 2 di panti sosial pada bulan November
2016 silam. Riwayat keluarga disangkal untuk penyakit ini. Namun beliau mengaku
memiliki riwayat keluarga seperti asam urat.

Status fisik
Status fisik dari rekam medis di bulan November 2016 didapatkan tekanan
darah sistolik/diastolik 130/80 mmHg, nadi 82 kali/menit, suhu badan 36,5 oC, keadaan
umum baik komposmentis Glasgow Coma Scale E=4 M=6 V=5. Keadaan emosi tenang.
Adapun fungsi pendengaran dan penglihatan masih baik. Warna kulit normal. Tidak
ditemukan luka pada tubuh.
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan bulan April 2018 didapatkan tekanan
darah sistolik/diastolik 117/74 mmHg, nadi 69 kali/menit, suhu badan 36,2oC. Keadaan
umum baik. Keluhan Tn. S berupa sulit tidur (insomnia) dan masih mengeluh nyeri.
Sehingga dokter mengajarkan teknik relaksasi napas dalam.

Hasil pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan laboratorium pada bulan November tahun 2016 ditemukan, gula
darah sewaktu= 254 mg/dL (N= <200 mg/dL), lemak total= 220 mg/dL (N= <170
mg/dL), dan asam urat= 7,5 mg/dL (N= 3.4 – 7 mg/dL), hemoglobin= 11,1 g/dL (N=
13.2 – 17.3 g/dL), hematokrit= 33,6% (N= 40 – 52%), eritrosit= 3,87 10x6/ μL (4,4 – 5,9
10x6/ μL), MCV= 86,8 fL (N= 80 – 100 fL), MCH= 28,7 pg (N= 26 – 34), MCHC= 33
g/dL (N= 32 – 36 g/dL), leukosit= 9,3 10x3/ μL (N= 3.8 – 10.6 103/μL.), trombosit= 424
10x3/ μL (150 – 440 10x3/ μL). Dari hasil tersebut Tn.S mengalami hiperglikemia,
hiperurisemia, dislipidemia, dan anemia normositik.

Aktivitas keseharian
Aktivitas seperti mandi, menggosok gigi, hingga makan masih dapat
dilakukan sendiri. Tn. S memiliki nafsu makan yang baik, beliau dapat makan tiga hari
sekali seperti pada umumnya. Untuk pola tidur, Tn. S mengaku sulit tidur pada malam
hari sehingga hanya terbiasa tidur sebanyak 6 jam pada malam hingga pagi hari.
Namun, beliau terbiasa untuk tidur pada siang hari sebanyak 1 hingga 2 jam. Riwayat
sehari-hari Tn. S hampir serupa dengan teman-teman di panti sosial. Beliau dapat
bergaul seperti pada orang umumnya. Beberapa rutinitas seperti pengajian dan
panggung hiburan masih dapat dilakukan, walaupun aktivitas panti sosial seperti
angklung, senam, dan kerajinan tidak dapat diikuti dikarenakan keterbatasan fisik yang
ia alami.
Tn. S diberikan beberapa obat terkait dengan keluhan-keluhan yang ia alami.
Obat dirincikan pada tabel 1.
Tabel 1. Jenis obat yang dikonsumsi Tn.S
No Nama obat Jumlah
1. Metformin 3 kali sehari
2. Simvastatin 1 kali sehari
3. Allopurinol 1 kali sehari
4. Klorfeniramin 3 kali sehari
maleat
5. Dexamethasone 3 kali sehari

Obat-obatan diatas dikonsumsi semenjak Tn. S didiagnosis diabetes melitus


pada bulan November tahun 2016. Dexamethasone diberikan untuk meredakan nyeri
yang ia miliki. Sedangkan Klorfeniramin maleat diberikan untuk gatal-gatal. Intensitas
nyeri yang dilaporkan berkurang walaupun keluhan nyeri tetap berlanjut hingga tahun
2018. Tn.S masih menggunakan tongkat untuk sehari-hari.

Diskusi
Diabetes melitus tipe 2 (DM 2) merupakan sebuah kelompok gangguan yang
dicirikan dengan resisten insulin, gangguan sekresi insulin, dan peningkatan produksi
glukosa. Meskipun prevalensi diabetes melitus tipe 1 dan 2 meningkat di seluruh dunia,
DM 2 meningkat lebih cepat dibandingkan DM 1. Penyakit ini poligenik dan
multifaktorial, karena selain kerentanan genetik, faktor lingkungan (obesitas, nutrisi,
dan aktivitas fisik) memodilasi fenotipe. Gen yang mempengaruhi DM 2 tidak dapat
diidentifikasi secara lengkap. Polimorfisme genetik yang terkait dengan DM 2 telah
ditemukan pada gen yang mengkode peroxisome proliferators–activated receptor-γ,
channel potassium, transporter zinc, IRS, dan calpain 10.[18]
Komplikasi kronis DM mempengaruhi banyak sistem organ dan bertanggung
jawab untuk sebagian besar morbiditas dan mortalitas terkait dengan penyakit. Terdapat
empat teori yang telah ditemukan sebagai faktor penyebab komplikasi kronik DM 2.
Teori pertama, meningkatnya glukosa intraseluler dapat membuat formasi glikosilasi
produk akhir (advanced glycosylation end products), yang mana dapat menempel pada
reseptor permukaan. Glikosilasi dapat menciptakan interaksi dengan kolagen, matriks
ekstraselular yang mempercepat proses aterosklerosis. Teori kedua, hiperglikemia
meningkatkan metabolisme glukosa dengan jalur sorbitol. Meningkatnya jalur sorbitol
mempengaruhi potensi redoks, meningkatkan osmolaritas seluler, hingga meningkatkan
ROS. Teori ketiga, hiperglikemia meningkatkan formasi diasilgliserol yang dapat
meningkatkan aktivasi protein kinase C (PKC). PKC mempengaruhi transkripsi gen
untuk fibronektin, kolagen tipe IV, protein kontraktil, dan matriks ekstraseluler pada sel
endotel dan syaraf. Teori ke empat, hiperglikemia meningkatkan influks melalui jalur
heksoamin, yang meningkatkan fruktosa-6-phospat, sebuah substrat untuk O-linked
glycosylation dan produk proteoglikan. Jalur heksoamin dapat mempengaruhi
glikosilasi pada sel endotel, sintesis nitrit oksida, dan perubahan ekspresi gen pada
transforming growth factor β (TGF-β) atau plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1).
[18]

Sebuah hipotesis, hiperglikemia persisten menghambat transportasi


myoinositol yang bergantung pada natrium. Myoionositol intraneural yang rendah
mengurangi metabolisme phosphoinositide dan aktivitas sodium-potassium adenosine
triphosphatase (ATPase). Beberapa penemuan mengkaitkan defisiensi aldose reductase
dan peningkatan poliol (sorbitol) sebagai faktor penyebab.[13] Lesi pada syaraf nyeri baik
perifer maupun sentral dapat memicu gagalnya fungsi sensasi nyeri. Kerusakan atau
disfungsi pada jalur ini dapat menghasilkan rasa sakit.[5]
Nyeri neuropati disebabkan oleh lesi primer atau disfungsi pada syaraf. Hal ini
timbul sebagai konsekuensi atau penyakit yang mempengaruhi sistem somatosensori
perifer atau pusat. Mekanisme nyeri dikaitkan dengan substansi P yang dikeluarkan oleh
syaraf aferen nosiseptor dan memiliki fungsi biologis sebagai vasodilator, degranulasi
sel mast, dan memberi sinyal untuk leukosit serta meningkatkan produksi mediator
inflamasi. Neurotransmitter yang lain berupa glutamat, peptida kalsitonin, yang dapat
mengeksitasi syaraf tanduk dorsal dan memberik efek nyeri yang lebih lambat dan lama.
[7]

Penderita diabetes juga rentan terhadap entrapment neuropathy, termasuk


neuropati median pada pergelangan tangan (carpal tunnel syndrome), neuropati ulnaris
pada siku, fibular (peroneal) neuropati di kepala fibula, dan neuropati kulit lateral pada
ligamentum inguinalis (meralgia paresthetica). Kerentanan khusus saraf diabetes
mungkin terkait dengan edema endoneurial dan faktor vaskular.[5]
Adapun komplikasi lain yang Tn. S alami yaitu neuropati otonom berupa
konstipasi. Komplikasi pencernaan yang paling umum pada penderita diabetes adalah
gangguan motilitas lambung, disfungsi usus, dan sakit perut. Konstipasi merupakan
sebuah hal yang biasa dialami oleh penderita diabetes, diare paroksismal nokturna juga
merupakan sebuah temuan karakteristik. Kerusakan pada sel Cajal interstitial
berkontribusi pada disritmia sistem gastrointestinal.[12]
Beberapa pengobatan konvensional telah disarankan untuk nyeri pada lumbar
seperti acetaminophen, anti inflamasi non steroid, relaksan otot, anti depresan
(amitriptilin), obat anti-epilepsi (gabapentin dan pregabalin), agen penstabil membran,
dan narkotika. Hingga pengobatan seperti terapi fisik dan pijat. Atau jika pasien
memiliki nyeri yang tidak dapat ditahan atau defisit neurologis yang progresif pilihan
seperti injeksi epidural atau bedah dekompresi dapat dilakukan.[14,18]
Pada beberapa penelitian pregabalin dan gabapentin menjadi lini pertama
pengobatan nyeri neuropati dan telah terbukti menginduksi efek analgesik pada kasus
nyeri neuropati. Mekanisme obat ini yaitu mengikat subunit α 2δ dari channel Ca2+ pada
syaraf.[14] Gabapentin dapat memiliki hasil yang baik.
Trisiklik antidepresan dapat bekerja sebagai analgesik obat ini merupakan
inhibitor reuptake norepinephine dan serotonin. Keuntungan obat ini hanya sekali dosis
dan benefisial pada kasus depresi yang sering ditemukan pada pasien diabetes. Kerugian
obat ini memiliki efek antikolinergik berupa mulut kering, konstipasi, retensi urin,
hipotensi ortostatik. Sehingga obat ini jarang digunakan sebagai lini pertama
pengobatan.[13] Sebuah studi menemukan pengobatan dengan amitriptilin belum terbukti
memperingan neuropati perifer.[6]
Tabel 2. Lini pertama Nyeri Neuropati

Sumber: Pharmacotherapy for Neuropathic Pain in Japan.

Blok pada syaraf dan injeksi epidural dapat membantu pada beberapa pasien.
[17]
Lidokain terbukti mempunyai efek imunoregulator pada sel T hingga menghambat
produksi nitrit oksida dari makrofag, sehingga obat ini dapat mensupresi mediator
inflamasi pada nyeri. Keefektifan dan keamanan Lidokain 5% terbukti pada kasus nyeri
neuropati, dan nyeri muskuloskeletal.[3] Nyeri neuropati akibat kompresi dapat
dilakukan pembedahan, terlebih apabila sudah terjadi kerusakan jaringan.
Pada kasus ini Tn. S hanya mendapatkan deksametason untuk nyeri neuropati
yang dideritanya. Tn. S merasa lebih baik dengan pemberian obat ini meskipun dirinya
tetap memakai tongkat. Pada sebuah penelitian, kortikosteroid terbukti mengurangi
bengkak pada syaraf terkait dan menurunkan gejala ischialgia. [15] Cara kerja obat ini
dengan menempel reseptor jaringan target dan meregulasi ekspresi gen. Efek ini terbukti
pada jumlah sel limfosit, kortikosteroid mempengaruhi respon imun dari limfosit.
Kortikosteroid menurunkan faktor-faktor inflamasi seperti sitokin (IL-1, IL-2, IL-3,IL-
6, TNF-α, GM-CSF, interferon γ ). Pada sel makrofag dan monosit, kortikosteroid
menurunkan asam arakidonat, prostaglandin, leukotrien, dan reaktan fase akut.
Meskipun penggunaan kortikosteroid tidak dapat menetralisir penyebab, penggunaan
obat ini sering diresepkan.[11] Deksametason dipercaya memiliki efek analgesik dengan
menghambat gerbang kalium pada serabut nosiseptif C.[14]
Penggunaan deksametason pada percobaan binatang tidak menunjukkan
adanya alterasi pada fungsi dan histologi dari syaraf perifer. Penggunaan secara topikal
sebanyak 0,4% pada syaraf ishcia tikus secara signifikan mengurangi laju darah pada
syaraf, namun tidak mengakibatkan perubahan sampai iskemik.[20]
Salah satu efek dari kortikosteroid adalah meningkatkan gula darah dengan
cara menstimulasi pembentukan glukosa dari asam amino dan gliserol serta menyimpan
glukosa pada hati sebagai glikogen. Di perifer, glukokortikoid menekan utilisasi
glukosa.[11] Efek ini tidak menguntungkan Tn. S yang memiliki diabetes melitus tipe 2.
Sehingga pemberian obat ini harus sesuai dengan aturan.
Meskipun data mengenai dosis deksametason tidak ditemukan dalam rekam
medis, penggunaan deksametason dengan dosis rendah sangat diharapkan untuk tren
pengobatan. Dimana deksametason dosis tinggi tidak menunjukkan efek yang lebih
efektif melainkan dapat menyebabkan efek sitotoksik.[19]
Tindakan preventif pada diabetes neuropati adalah menjaga gula darah pada
rentang normal. Teori ini terkait pada sebuah penemuan dimana penderita diabetes
melitus tipe 1 di follow up selama 6 hingga 10 tahun dengan penjagaan gula darah yang
ketat berbanding dengan berkurangnya PDN, retinopati, dan nefropati. Hal ini juga
ditemui pada kasus diabetes melitus tipe 2.[5, 18] Perubahan pola hidup, seperti olah raga
dapat meringankan nyeri pada neuropati.[13]
Neuropati diabetik menyebabkan defisit sensorik dan motorik, perubahan
stabilitas gait dan gangguan keseimbangan, sehingga berpotensi mengakibatkan
peningkatan resiko jatuh.[8] Peningkatan nyeri dapat berkorespon dengan kecemasan,
depresi, sulit tidur dan beberapa masalah yang dapat dihubungkan dengan kondisi fisik
dan mental.[9]
Pada kasus ini Tn. S mengalami PDN berupa ischialgia. Sulit tidur yang
dialami Tn. S dapat dikaitkan akibat dari PDN. Dimana berasosiasi pada penurunan
kualitas hidup. Untuk nyeri yang dialami Tn. S hanya mendapatkan terapi berupa
deksametason, dimana obat ini merupakan bukan obat lini pertama pada pengobatan
nyeri neuropati.
Marhalah syaikhûhah (masa tua) merupakan fase terakhir yang akan dihadapi
dan dialami manusia. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa sesungguhnya
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Usia umatku (umat Islam) antara
60 hingga 70 tahun. Dan sedikit dari mereka yang melewatinya”. [HR. At-Tirmidzi dan
Ibnu Mâjah. ShahîhulJâmi’ 1073] [10]
Saat fase ini mulai datang, kekuataan fisik sedikit demi sedikit menyusut,
ketajaman mata mulai berkurang sehingga dibutuhkan alat bantu untuk melihat, daya
ingat menurun dan kulit mengendur serta guratan-guratan tanda penuaan pun muncul.
Rambut-rambut putih sedikit demi sedikit menghiasai kepalanya.[17]
Rasulillah SAW bersabda, “Tidaklah seorang muslim yang tertimpa gangguan
berupa penyakit atau semacamnya, kecuali Allah akan menggugurkan bersama
dengannya dosa-dosanya, sebagaimana pohon yang menggugurkan dedaunannya .”
(HR. Bukhari dan Muslim).[10]
Al-Quran surat Al-Mukmin ayat 67:
Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air
mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang
anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa),
kemudian (dibiarkan kamu hidup) sampai tua. Di antara kamu ada yang diwafatkan
sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang
ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).” (QS Al Mukmin (40):67)
Sebagian dari senjata tersebut adalah tawakkal yang baik kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, yaitu berusaha untuk mencari sebab dan selanjutnya
menyerahkan perkara tersebut kepada Allah semata. Seorang mukmin memiliki
beberapa senjata untuk menghadapi penyakit yang paling parah dan takdir yang paling
pahit. Di antara senjata yang paling besar adalah tauhid yang murni. [17]

Artinya: “Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak


ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan
bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan
itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Yunus (10): 107)
Ibnu Hajar berkata di dalam Fath Al-Bari, Al-Qarafi mengatakan, “Musibah itu
adalah penghapus dosa secara pasti, sama saja baik dibarengi dengan ridha ataupun
tidak. Namun, jika disertai dengan ridha maka penghapusannya menjadi besar dan jika
tidak disertai ridha maka penghapusannya pun sedikit.” [17]
Berprasangka baik kepada Allah, yang memberikan musibah sebagai ujian untuk
membersihkan diri dari dosa-dosa, dan dengan itu seorang mukmin bisa menghilangkan
rasa gelisah dari dirinya. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik orang adalah orang
yang panjang umurnya dan amalannya baik.” (HR. At-Tirmidzi).[17]
Datang serombongan Arab dusun. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah,
bolehkah kami berobat?” Beliau menjawab: “Iya, wahai para hamba Allah, berobatlah.
Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan
meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya: “Penyakit apa itu?”
Beliau menjawab: “Penyakit tua.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-adabul Mufrad,
Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi). Jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah dan
Malikiyah berpendapat bahwa berobat hukumnya mubah (boleh). Sementara ulama
Syafi’iyah, Al-Qadhi, Ibnu Aqil dan Ibnul Jauzi dari kalangan ulama Hambali
berpendapat hukumnya mustahab (dianjurkan). Berobat hukumnya tidaklah wajib
menurut jumhur ulama, kecuali jika mesti (tidak bisa tidak) harus dilakukan, menurut
sebagian ulama.[2]
Sebagian dari senjata tersebut adalah berprasangka baik kepada Allah, yang
memberikan musibah sebagai ujian untuk membersihkan diri dari dosa-dosa, dan
dengan itu seorang mukmin bisa menghilangkan rasa gelisah dari dirinya.[17]

Kesimpulan
Painful diabetic neuropathy (PDN) berdampak pada psikososial dan aktivitas
keseharian sehingga perlu adanya beberapa pengawasan dan penanganan lebih lanjut.
Terutama pada lansia dimana sangat berisiko untuk jatuh. Meskipun lini pertama
pengobatan nyeri neuropati adalah gabapentin atau pregabalin, golongan kortikosteroid
seperti deksametason juga dapat menjadi sebuah alternatif untuk pengobatan nyeri.
Golongan glukokortikoid dapat menaikan gula darah, sehingga pemakaian obat ini
harus sesuai indikasi terutama pada kasus diabetes melitus. Menurut islam, hukum
berobat adalah mubah dan mustahab. Namun apabila tidak dilakukan tidak
menimbulkan dosa karena hukumnya tidak wajib.

Ucapan terima kasih


Terima kasih kepada dr. RW Susilowati, M.Kes, PA yang telah memberikan
penulis kesempatan untuk membuat laporan kasus ini, kepada dr. Edward Syam, M.Kes
selaku tutor yang telah membimbing penulis selama penulisan kasus ini. Terima kasih
khususnya kepada panti sosial Tresna Werda Budi Mulya 1 Cipayung, Jakarta Timur
yang sudah memberikan tempat dan fasilitas untuk penulis sehingga dapat menyusun
artikel ini.

Saran
Penulisan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, adanya kesulitan pada saat
wawancara maupun hasil wawancara yang subjektif mungkin terlibat dikarenakan usia
pasien yang sudah tua sangat sulit untuk meningkatkan akurasi dari jawaban dan
periode waktu yang dituturkan oleh pasien.
Referensi

1. Al Quran dan terjemahannya.


2. Al-Munajid Muhammad Sholih. 2002. Hukum Berobat.
https://islamqa.info/id/answers/2438/hukum-berobat (di akses pada tanggal 20
November 2018)
3. Amato F, Duse G, Consoletti L, et al. 2017. Efficacy and safety of 5% lidocaine-
medicated plasters in localized pain with neuropathic and/or inflammatory
characteristics: an observasional, real-world study. European Review for
Medical and Pharmacological Sciences. 21 pp. 4228-4235.
4. American Diabetes Association. 2018. Classification and Diagnosis of
Diabetes: Standards of Medical Care in Diabetes-2018. Diabetes Care 41 (1).
pp. 513-527. Januari.
5. Chaudry, Vinay. 2010. Chapter 40 Peripheral Neuropathy. Harrison’s
Neurology in Clinical Medicine Second edition. p 534. USA:McGrawHill.

6. Dinat Natalya, Marinda Edmore, Moch Shirra, Rice Andrew S C, Kamerman


Peter R. 2015. Randomized, Double-Blind, Crossover Trial of Amitriptyline for
Analgesia in Painful HIV- Associated Sensory Neuropathy. PloS ONE 10(5):
e0126297. pp 1 – 15. Mei.
7. Fields Howard L, Marthin Joseph B. 2010. Chapter 5 Pain: Pathophysiology and
Management. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine Second edition. p 41 –
44. USA:McGrawHill.
8. Geelen C C, Smeets R.J.E.M, Schmitz S, Van den Bergh J P, Goossens M.E.J.B,
Verbunt J.A. 2017. Anxiety affects dissability and quality of life in patients with
painful diabetic neuropathy. Eur J Pain 21 pp. 1632-1641. Mei.
9. Gore M, Brandenburg N.A, Dukes E, Hoffman D.L., Tai K.S, Stacey B. 2005.
Pain severity in diabetic peripheral neuropathy is associated with patient
functioning, symptom levels of anxiety and depression, and sleep. J Pain
Symptom Manage 30. pp 374–385. Oktober.
10. Hidayat, Firman. 2012. Dan Jika Aku Sakit, Dialah Yang Menyembuhkanku.
https://muslim.or.id/10924-dan-jika-aku-sakit-dialah-yang-
menyembuhkanku.html (diakses pada 17 November 2018)
11. Hilal-Dandan Randa, Brunton Laurance L. 2014. Chapter 42 Adrenal Cortex.
Goodman & Gilman’s Manual of Pharmacology and Therapeutics 2 nd edition. p
372. USA:McGrawHill.
12. Kempler Peter, Varkonyi, Tamas, Korei Anna E, Horvath, Viktor, J. 2016.
Gastrointestinal autonomic neuropathy in diabetes: the unattended borderline
between diabetology and gastoenterology. Diabetologia 59. pp 401 – 403.
Desember.
13. Kluding P.M, Pasnoor M, Singh R, Jernigan S, Farmer K, Rucker J, et al. 2012.
The effect of exercise on neuropathic symptom, nerve function, and cutaneous
innervation in people with diabetic peripheral neuropathy. J Diabetes
Complications. 26(5). p 424 – 9. September.
14. Knezvenic Nebojsa Nick, Anantamongkol Utchariya, Candido Kenneth D. 2015.
Perineural Dexamethasone Added to Local Anasthesia for Brachial Plexux
Block Improves Pain but Delays Block Onset and Motor Blockade Recovery.
Pain Physician (18). pp 1-14. Agustus.
15. Ko Sangbong, Kim Sungguk, Kim Jaejung, Oh Taebum. 2016. The Effectiveness
of Oral Corticosteroids for Management of Lumbar Radiating Pain:
Randomized, Controlled Trial Study. Clinics in Orthopedic Surgery (8). pp 262-
267. Agustus.
16. Masuda Ritsuko, Ajimi Junko, Murata Tomohiko. 2017. Pharmacotherapy for
Neuropathic Pain in Japan. J Nippon Med Sch 84 (6). pp 258 – 267.
17. Minhal, Abu. 2018. Melawan Masa Tua. https://almanhaj.or.id/8268-melawan-
masa-tua.html (diakses pada 17 November 2018)
18. Powers Alvin C. 2012. Chapter 344 Diabetes Meillitus. Harrison’s Principle of
Internal Medicine. 18th edition. p 2968. USA:McGrawHill.
19. Ropper Allan. H, Samuels Martin A, Klein Joshua P. 2014. Chapter 46 Disease
of the Peripheral Nerves. Adams and Victor’s Pricciples of Neurology Tenth
edition. p 1340. Massachusetts:McGrawHill.
20. Williams BA, Schott NJ, Mangione MP, Ibinson JW. 2014. Perineural
dexamethasone and multimodal perineural analgesia: How much is too much?
Anesth Analg (118). pp. 912-914.

Anda mungkin juga menyukai