Anda di halaman 1dari 6

rektorat Jenderal Pajak (DJP) kembali mengkritik lewat data soal rendahnya kepatuhan wajib

pajak orang kaya atau pengusaha, kalah jauh dibandingkan dengan kalangan pekerja. (ANTARA
FOTO/Wahyu Putro A)
Jakarta, CNN Indonesia -- Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali mengkritik lewat data soal
rendahnya kepatuhan wajib pajak orang kaya atau pengusaha, kalah jauh dibandingkan dengan
kalangan pekerja.

Hal itu tercermin dari realisasi penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi pasal 25/26
tahun lalu yang hanya sebesar Rp8,26 triliun, lebih rendah dibandingkan setoran PPh pasal 21
yang dibayarkan karyawan sebesar Rp114,48 triliun.

Berdasarkan laporan terkini, hingga  31 Oktober 2016, penerimaan PPh 25/26 orang pribadi baru
Rp4,81 triliun atau turun 5,9 persen dari periode yang sama tahun lalu. Realisasi  ini masih jauh
di bawah penerimaan PPh Pasal 21 OP karyawan per 31 Oktober 2016 yang telah mencapai
Rp90,64 triliun.

Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak DJP Yon Arsal mengungkapkan,  rendahnya
penerimaan pajak dari wirausaha, salah satunya, disebabkan oleh minimnya data pembanding
penghasilan wajib pajak non karyawan. Sementara, mekanisme pelaporan pajak di Indonesia
berdasarkan penilaian sendiri (self-assesment) wajib pajak.  

“Misalnya, seseorang berusaha di Pasar Tanah Abang dan melaporkan omzetnya mencapai Rp5
miliar per tahun. Saya tahunya dia omzetnya Rp5 miliar darimana kalau tidak ada data yang
menunjukkan bahwa dia itu omzetnya Rp5 miliar,” tutur Yon kepada cnnindonesia.com saat
ditemui di kantornya, Selasa (15/11).

Karakterisitik ini, lanjut Yon berbeda dengan PPh 21 yang data penghasilannya bisa diperoleh
langsung dari kantor tempat wajib pajak bekerja.

Sementara bagi pengusaha besar, lanjut Yon, sebagian pajaknya biasanya sujdah dipotong
langsung melalui mekanisme PPh Final. Misalnya, untuk aset yang disimpan dalam bentuk
deposito perbankan maupun deviden saham.

Terkait penerimaan tahun ini, ia menilai turunnya penerimaan pajak non karyawan hingga
Oktober tahun ini disebabkan oleh implementasi amnesti pajak. Pasalnya, proses pemeriksaan
diarahkan agar wajib pajak mengikuti amnesti pajak. Setelah seorang wajib pajak mengikuti
amnesti pajak, proses pemeriksaan terhenti.

Sementara untuk penerimaan PPh 25/29 tahun lalu, lebih dari 40 persennya berasal dari terbitnya
Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang baru bisa diterbitkan setelah ada hasil pemeriksaan.

 “Tahun ini tidak bisa efektif untuk memeriksa, karena ada ketentuan amnesti pajak,” jelas Yon.

Menurut Yon, untuk meningkatkan penerimaan PPh non karyawan, DJP harus mengumpulkan
data pihak ketiga untuk mengkonfirmasi data penghasilan yang diberikan oleh WP non
karyawan. Tantangannya, DJP memiliki sumber daya manusia yang terbatas.

Secara terpisah, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga
Saksama mengakui bahwa penerimaan pajak non karyawan masih rendah.

“Memang ke depan kita perlu lebih meningkatkan basis pemajakan kepada wajib pajak
pengusaha yang OP,” kata Yoga saat ditemui di Hotel Sultan Jakarta.

Dia mengungkapkan, ke depan DJP bakal mengintensifkan pendekatan pembinaan


pengembangan usaha (business development service/BDS)  guna meningkatkan penerimaan
pajak dari sektor wirausaha termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Saat ini, katanya, jumlah wajib pajak UMKM yang terdaftar mencapai 600 ribu wajib pajak. Jika
dibandingkan dengan total UMKM di Indonesia, lebih dari 55 juta, jumlah wajib pajak terdaftar
masih sangat kecil.

“Konsep BDS yaitu kami mengumpulkan UMKM bekerjasama dengan pihak lain dan tidak
semata-mata berbicara dulu masalah perpajakan tetapi bagaimana mereka berkembang dari usaha
bisnis mereka,” ujarnya.

Implementasi BDS, lanjut Yoga, diantaranya dilakukan melalui kerjasama dengan universitas
untuk memberikan materi pengembangan bisnis. Pendekatan terbalik ini diharapkan bisa
memberikan pemahaman bahwa membayar pajak merupakan bagian dari berkembangnya suatu
usaha.

Selain itu, Yoga mengatakan, data dari program amnesti pajak diharapkan bisa memberikan
gambaran yang lebih baik lagi dari penghasilan wajib pajak orang pribadi non karyawan.

“Jadi setelah mereka mendeklarasikan hartanya, kami berharap mereka akan lebih jujur soal
penghasilannya di Surat Pemberitahuan Tahunan,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai
seharusnya penerimaan pajak non karyawan lebih besar dibandingkan penerimaan pajak
karyawan mengingat golongan pengusaha tidak hanya pengusaha UMKM tetapi juga pengusaha
besar.

“Kelompok orang kaya ini kan seharusnya kena PPh Pasal 25/29 tetapi mereka berlindung
dibalik status karyawan. Mereka jadi komisaris, direktur, di perusahaan sendiri, digaji dan
dipotong perusahaan. Tetapi, yang tidak terdeteksi kan banyak,” jelasnya.

Hal itu, kata Yustinus, tercermin dari penerimaan uang tebusan amnesti pajak periode pertama
dimana 90 persen penerimaan uang tebusan disumbang oleh 9 ribu wajib pajak atau sekitar 2,5
persen dari total peserta amnesti pajak periode pertama.

“Artinya, mengawasi 2,5 persen dari populasi itu sudah bisa mendapatkan potensi penerimaan
pajak sebesar 90 persen,” jelasnya.
Bagikan :  
Safyra Primadhita, CNN Indonesia | Selasa, 15/11/2016 18:26 WIB

PERNAH nggak sih, saat mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, kita bertanya-tanya,
mengapa saya harus melaporkan harta saya di SPT? Lalu apa efek/pengaruh dari pelaporan harta
ini bagi pelaporan pajak saya? Apa pelaporan harta ini berbahaya bagi saya dan keluarga saya?
Apakah ada hubungannya antara harta yang saya laporkan dengan pajak-pajak yang saya bayar?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, kita bisa berangkat dari pengertian / definisi
penghasilan di Undang-undang PPh kita:

“Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama
dan dalam bentuk apa pun.”

Mari kita urai:

1. penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis


Setiap tambahan kemampuan untuk membeli/menguasai barang dan jasa merupakan
penghasilan. Yang dimaksud dengan tambahan adalah jumlah neto. Misalnya pada tahun
2012 Tuan A mempunyai uang Rp2 juta, kemudian karena bekerja dan menabung dengan
tekun, pada tahun 2013 jumlah uang Tuan A menjadi Rp2,5 juta. Dalam hal ini Tuan A
memperoleh tambahan kemampuan untuk membeli suatu barang atau suatu jasa sebesar
Rp500 ribu, sehingga Rp500 ribu adalah penghasilan Tuan A.
2. tambahan kemampuan ekonomis tersebut diterima atau diperoleh Wajib Pajak
Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh Tuan A sebagaimana contoh di atas
benar-benar telah diterima oleh Tuan A, bukan sesuatu yang masih dikhayalkan atau
dijanjikan pihak lain namun belum terealisasi. Sehingga maksud dari frasa diterima atau
diperoleh Wajib Pajak berarti penghasilan tersebut benar-benar telah diterima secara
nyata oleh Wajib Pajak. Secara akuntansi, diakui baik dengan cash basis maupun acrual
basis.
3. baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia
penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak merupakan penghasilan yang bersifat world
wide, tanpa dibatasi 0leh batas-batas yurisdiksi kenegaraan.
4. yang dapat dipakai untuk konsumsi maupun untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan
Di dalam ilmu ekonomi kita mengenal rumus Y = C + S, dimana penghasilan
/pendapatan merupakan penjumlahan dari konsumsi dan tabungan masyarakat.
Penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak akan dipergunakan untuk konsumsi dan
menabung.
5. dengan nama dan dalam bentuk apapun
Undang-undang PPh mengadopsi prinsip substance over form yang dipergunakan dalam
akuntansi. Bahwa nama dan bentuk tidak membatasi sesuatu barang/kondisi menjadi
bukan penghasilan. Yang menentukan sesuatu barang/kondisi disebut sebagai
penghasilan adalah hakikat ekonomisnya, bukan nama maupun bentuknya. Oleh karena
itu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh Wajib Pajak, dengan nama
apapun dan dalam bentuk apapun merupakan penghasilan. Contohnya, Tuan B
mempunyai hutang kepada Tuan C sebesar Rp2 juta. Sudah 10 tahun Tuan B tidak juga
membayar hutang tersebut karena kesulitan dana. Karena kebaikan Tuan C, pada tahun
ke-11 hutang tersebut, Tuan C mengatakan dan dibuktikan dengan dokumen yang sah
bahwa hutang tersebut dihapuskan, sehingga Tuan B tidak lagi mempunyai hutang
kepada Tuan C. Meskipun nyata-nyata Tuan B tidak memperoleh penghasilan berupa
uang, namun Tuan B memperoleh tambahan kemampuan ekonomis dari hutang yang
dibebaskan. Sehingga Tuan B memperoleh penghasilan yang harus dilaporkan pajaknya
sebesar Rp2 juta.

Lalu apa hubungannya definisi penghasilan tersebut dengan harta yang saya laporkan? Sudah
sama-sama kita ketahui bahwa penghasilan berkaitan erat dengan harta, bahwa penambahan
harta berarti terdapat penghasilan pada Wajib Pajak tersebut. Namun pengurangan jumlah harta
juga bukan berarti berkurangnya penghasilan, dalam beberapa hal pengurangan harta juga berarti
penghasilan bagi Wajib Pajak.

Itulah alasannya harta wajib dilaporkan pada SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Di sisi lain,
dengan pelaporan harta tersebut DJP menjadi lebih mudah dalam melakukan pengawasan,
terutama dengan melakukan analisis penambahan/pengurangan harta, hutang dan penghasilan.

Contoh 1.
Tuan Adhitya bekerja sebagai karyawan pada PT ABC dengan penghasilan sebesar Rp2.5 juta
per bulan. Pada tahun 2012, harta-harta yang dilaporkan Tuan Adhitya berupa:

 Rumah tinggal, diperoleh tahun 2003 dengan nilai Rp250 juta


 Mobil, diperoleh tahun 2005 dengan nilai Rp120 juta
 Motor, diperoleh tahun 2011 dengan nilai Rp10 juta
 Tabungan pada akhir tahun 2012 sebesar Rp32 juta

Istri Tuan Adhitya tidak bekerja dan tidak memperoleh penghasilan apapun. Pada SPT Tahun
2013, harta-harta yang dilaporkan Tuan Adhitya berupa:

 Rumah tinggal, diperoleh tahun 2003 dengan nilai Rp250 juta


 Mobil, diperoleh tahun 2005 dengan nilai Rp120 juta
 Motor, diperoleh tahun 2011 dengan nilai Rp10 juta
 Tabungan pada akhir tahun 2013 sebesar Rp80 juta

Berdasarkan jumlah di atas, jenis harta Tuan Adhitya tidak bertambah, tetap terdiri dari rumah,
mobil, motor dan tabungan. Namun, jumlah tabungan Tuan Adhitya mengalami kenaikan dari
Rp32 juta menjadi Rp80 juta, atau naik sebesar Rp48 juta.

Dengan penghasilan sebesar Rp2,5 juta per bulan, atau sekitar Rp30 juta setahun, penambahan
tabungan sebesar Rp48 juta dapat dianalisis sebagai berikut:
 Tuan Adhitya menabungkan seluruh penghasilannya, dengan catatan Tuan Adhitya tidak
makan dan minum sepanjang tahun. Namun analisis ini lemah, karena tidak mungkin
Tuan Adhitya dan istrinya puasa sepanjang tahun, dan jumlah penghasilan selama
setahun hanya Rp30 juta, bukan Rp48 juta
 Tuan Adhitya mendapat pinjaman (baik dari bank maupun dari pihak ketiga) sebesar
Rp48 juta dan pinjaman tersebut disimpan sebagai tabungan. Analisis ini masih bisa
diterima, namun harus dibuktikan Tuan Adhitya dengan pelaporan hutang pada akhir
tahun
 Tuan Adhitya memperoleh hibah (baik dari orang tuanya, dari keluarga lainnya maupun
dari pihak ketiga) sebesar Rp48 juta. Analisis ini dapat diterima, namun Tuan Adhitya
harus melaporkan hibah tersebut pada SPT Tahunan PPh-nya, baik sebagai objek pajak
maupun bukan objek pajak, tergantung dari siapa hibah tersebut diterima.

Contoh 2.

Tuan Adin adalah seorang pengusaha mebel di daerah Jepara, memiliki usaha dengan nama UD
Kayu Agung. Pada tahun 2012 harta-harta yang dilaporkan Tuan Adin terdiri dari:

 Rumah tinggal, yang diperoleh tahun 2000 sebesar Rp400 juta


 Mobil, yang diperoleh tahun 2010 sebesar Rp250 juta
 Motor, yang diperoleh tahun 2008 sebesar Rp20 juta
 Perhiasan yang diperoleh tahun 2010 sebesar Rp100 juta
 Tanah, yang diperoleh tahun 2007 sebesar Rp500 juta

Penghasilan bersih Tuan Adin selama tahun 2013 sebesar Rp200 juta. Istri Tuan Adin tidak
memperoleh penghasilan apapun. Harta-harta yang dilaporkan Tuan Adin pada tahun 2013
adalah:

 Rumah tinggal, yang diperoleh tahun 2000 sebesar Rp400 juta


 Mobil, yang diperoleh tahun 2010 sebesar Rp250 juta
 Perhiasan yang diperoleh tahun 2010 sebesar Rp100 juta

Harta-harta yang dilaporkan Tuan Adin berkurang sebanyak 2 items, yaitu motor dan tanah.
Meskipun harta-harta tersebut berkurang, bukan berarti penghasilan Tuan Adin juga berkurang.
Justru dengan pengurangan harta tersebut penghasilan Tuan Adin bertambah. Sehingga
penghasilan yang seharusnya dilaporkan Tuan Adin pada tahun 2013 terdiri dari:

 Penghasilan dari usaha sebesar Rp200 juta


 Penghasilan dari keuntungan penjualan motor, sebut saja Rp2 juta
 Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang dikenai PPh Final.

 
Semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai